Anda di halaman 1dari 11

1.

Patogenesis
1.1. SLE
Patogenesis SLE melibatkan interaksi yang kompleks dan multifaktorial antara
variasi genetik dan faktor lingkungan. Kombinasi faktor-faktor tersebut menyebabkan
hilangnya toleransi imun yang mengakibatkan peningkatan beban antigenik, bantuan
sel T yang berlebihan, gangguan supresi sel B dan peralihan respon imun dari T
helper 1 (Th1) ke Th2 yang menyebabkan hiperaktifitas sel B dan memproduksi
autoantibodi patogenik.
a. Faktor Genetik
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan terutama gen
yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Diduga berhubungan dengan gen
respons imun spesifik pada kompleks histokompabilitas mayor kelas II, yaitu
HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta dengan komponen komplemen yang berperan
dalam fase awal reaksi ikat komplemen ( yaitu C1q, C1r, C1s, C4, dan C2).
b. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi
ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada selfimmunity
dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit. Kebiasaan
merokok berhubungan dengan zat yang terkandung dalam tembakau yaitu amino
lipogenik aromatik. Virus rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi
sel permukaan dan apoptosis.
c. Faktor Hormonal
Estrogen mengaktifasi sel B poliklonal sehingga mengakibatkan produksi
autoantibodi berlebihan pada pasien LES.
1.2. Infeksi HIV pada anak
1.3. Urtikaria
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang meningkat
dan menyebabkan terjadi transudasi cairan dan berujung kepada pengumpulan cairan
setempat, sehingga secara klinis tampak edema setempat disertai kemerahan.
Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi akibat pelepasan
mediator-mediator misalnya histamine, kinin, serotonin, slow reacting substance of
anaphylaxis (SRSA), dan prostaglandin oleh sel mast dan atau basofil.2
1.4. Dermatitis Atopik
Secara umum terdapat dua faktor yang berperan dalam pathogenesis Dermatitis
Atopik yaitu faktor endogen dan eksogen. Faktor endogen yang berperan meliputi
faktor genetik, hipersensitivitas akibat peningkatan kadar immunoglobulin (Ig)E total
dan spesifik, kondisi kulit yang relatif kering (disfungsi sawar kulit), dan gangguan
psikis. Faktor eksogen pada Dermatitis Atopik antara lain trauma fisik (kimia maupun
panas), bahan iritan, allergen debu, tungau debu rumah, makanan (susu sapi, telur),
infeksi mikroba, perubahan iklim (peningkatan suhu dan kelembaban), serta hygiene
lingkungan. Faktor endogen lebih berperan sebagai faktor predisposisi sedangkan
faktor eksogen cenderung menjadi faktor pencetus.
1.5. DM Tipe 1
DMT 1 merupakan DM yang tergantung insulin. Pada DMT 1 kelainan terletak
pada sel beta yang bisa idiopatik atau imunologik sehingga pankreas tidak mampu
mensintesis dan mensekresi insulin dalam kuantitas dan atau kualitas yang cukup.
Pada DMT 1 biasanya reseptor insulin di jaringan perifer kuantitas dan kualitasnya
cukup atau normal (jumlah reseptor insulin DMT 1 30.000-35.000) sedangkan pada
DMT 2 ± 20.000 reseptor insulin.
1.6. Ketoasidosis Diabetikum (DKA)
Seluruh gangguan metabolik yang ditemukan pada DKA tergolong konsekuensi
langsung atau tidak langsung dari kekurangan insulin. Menurunnya transport glukosa
kedalam jaringan jaringan tubuh akan menimbulkan hyperglycaemia yang
meningkatkan glycosuria. Sedangkan meningkatnya lipolysis akan menyebabkan
over-produksi asam asam lemak, yang sebagian diantaranya akan dikonversi
(dirubah) menjadi ketone, menimbulkan ketonnaemia, asidosis metablik dan
ketonuria.
Glycosuria akan menyebabkan diuresis osmotik yang menimbulkan kehilangan
air dan elektrolite seperti sodium, potassium, kalsium, magnesium, fosfat dan klorida.
Dehidrasi, bila terjadi secara hebat, akan menimbulkan uremia pra renal dan dapat
menimbulkan shock hypovolemik. Asidodis metabolik yang hebat sebagian akan
dikompensasi oleh peningkatan derajat ventilasi (peranfasan Kussmaul). Muntah juga
sering terjadi dan akan mempercepat kehilangan air dan elektrolite.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan perkembangan DKA adalah
merupakan rangkaian dari iklus interlocking vicious yang seluruhnya harus
diputuskan untuk membantu pemulihan metabolisme karbohidrat dan lipid normal.
1.7. Hipoglikemia
Penurunan kadar gula darah dapat memicu serangkaian respon yang bertujuan
meningkatkan kadar gula darah. Pertahanan fisiologis yang pertama terhadap
hipoglikemia adalah penurunan sekresi insulin oleh sel beta pancreas, pasien diabetes
melitus tipe 1 yang menerima terapi substitusi insulin tidak memiliki penurunan
sekresi insulin fisiologis (sekresi insulin berkurang saat kadar gula darah rendah)
karena insulin yag beredar dalam tubuh merupakan insulin pengganti yang berasal
dari luar (eksogen). Pertahanan fisiologis yang kedua terhadap hipoglikemia adalah
peningkatan sekresi glucagon, sekresi glukagon meningkatkan produksi glukosa di
hepar dengan memacu glikogenolisis.
Pertahanan fisiologis yang ketiga terhadap hipoglikemia adalah peningkatan
sekresi epinefrin adrenomedullar, sekresi ini terjadi apabila sekresi glukagon tidak
cukup untuk meningkatkan kadar gula darah. Sekresi epinefrin adrenomedullar
meningkatkan kadar gula darah dengan cara stimulasi hepar dan ginjal untuk
memproduksi glukosa, membatasi penyerapan glukosa oleh jaringan yang sensitif
terhadap insulin, perpindahan substrat glukoneogenik (laktat dan asam amino dari
otot, dan gliserol dari jaringan lemak).
Sekresi insulin dan glukagon dikendalikan oleh perubahan kadar gula darah dalam
pulau Langerhans di pancreas sedangkan pelepasan epinefrin (aktivitas
simpatoadrenal) dikendalikan secara langsung oleh sistem saraf pusat. Bila
pertahanan fisiologis ini gagal mencegah terjadinya hipoglikemia, kadar glukosa
plasma yang rendah menyebabkan respon simpatoadrenal yang lebih hebat yang
menyebabkan gejala neurogenik sehingga penderita hipoglikemia menyadari keadaan
hipoglikemia dan bertujuan agar penderita segera mengkonsumsi karbohidrat.
Seluruh mekanisme pertahanan ini berkurang pada pasien dengan diabetes tipe 1 dan
pada advanced diabetes mellitus tipe 2.

1.8. Penyakit Refluks


Patogenesis penyakit refluks meliputi ketidakseimbangan antara faktor ofensif
dan faktor defensif dari bahan refluksat, yang termasuk faktor defensif antara lain
‘disfungsi’ SEB atau sfingter esophagus bawah (lower esophageal sphincter/LES),
bersihan asam dari lumen esofagus, dan ketahanan epitel esophagus. Bentuk anatomik
SEB yang melipat berbentuk sudut, dan kekuatan menutup dari sfingter, menjadikan
SEB berperan penting dalam mekanisme antirefluks. Peningkatan tekanan
intraabdomen (misalnya saat batuk), proses gravitasi saat berbaring, dan kelainan
anatomis seperti sliding hernia hiatal mempermudah terjadinya refluks.
Bersihan asam dari lumen esofagus adalah kemampuan esophagus untuk
membersihkan dirinya dari bahan refluksat. Kemampuan esophagus ini berasal dari
peristaltik esofagus primer, peristaltic esofagus sekunder (saat menelan), dan produksi
saliva yang optimal. Ketahanan epitel esofagus berasal dari lapisan mukus di
permukaan mukosa, produksi mukus, dan mikrosirkulasi aliran darah di post epitel.
Sementara yang menjadi faktor ofensif adalah peningkatan asam lambung, dilatasi
lambung, beberapa kondisi patologis yang mengakibatkan berkurangnya kemampuan
pengosongan lambung seperti obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying.
1.9. Gastroenteritis
Sebagian besar gastroenteritis disebabkan oleh proses infeksi, mikroorganisme
masuk ke dalam saluran pencernaan yang kemudian berkembang dalam usus dan
merusak sel mukosa usus yang dapat menurunkan daerah permukaan usus.
Selanjutnya terjadi perubahan kapasitas usus yang akhirnya mengakibatkan gangguan
fungsi usus, sel mukosa mengalami iritasi dan kemudian sekresi cairan serta elektrolit
meningkat menyebabkan diare. Kerusakan pada mukosa usus juga dapat
menyebabkan malabsorbsi yang mengakibatkan tekanan osmotik meningkat sehingga
terjadi pergeseran air dan elektrolit ke rongga usus yang dapat meningkatkan isi
rongga usus sehingga memperparah diare.
1.10. Anemia Defisiensi Besi
Perdarahan menahun yang menyebabkan kehilangan besi atau kebutuhan besi
yang meningkat akan dikompensasi tubuh sehingga cadangan besi makin menurun.
Hal tersebut menyebabkan keseimbangan zat besi yang negatif ang disebut dengan
tahap deplesi besi (iron depleted state). Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka
cadangan besi menjadi kosong sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis
berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit namun anemia
secara klinis belum terjadi, keadaan ini disebut sebagai iron deficient erythropoiesis.
Apabila penurunan jumlah besi terus terjadi maka eritropoesis semakin terganggu
sehingga kadar hemoglobin mulai menurun, akibatnya timbul anemia hipokromik
mikrositik yang disebut sebagai anemia defisiensi besi (iron deficiency anemia).
1.11. Infeksi Virus Dengue
Virus Dengue yang masuk kedalam tubuh akan beredar dalam sirkulasi darah dan
akan ditangkap oleh makrofag (Antigen Presenting Cell). Viremia akan terjadi sejak 2
hari sebelum timbul gejala hingga setelah lima hari terjadinya demam. Antigen yang
menempel pada makrofag akan mengaktifasi sel T- Helper dan menarik makrofag
lainnya untuk menangkap lebih banyak virus. Sedangkan sel T-Helper akan
mengaktifasi sel TSitotoksik yang akan melisis makrofag.
Telah dikenali tiga jenis antibodi yaitu antibody netralisasi, antibodi
hemagglutinasi, antibody fiksasi komplemen. Proses ini akan diikuti dengan
dilepaskannya mediator-mediator yang merangsang terjadinya gejala sistemik seperti
demam, nyeri sendi, nyeri otot, dan gejala lainnya. Juga bisa terjadi aggregasi
trombosit yang menyebabkan trombositopenia ringan. Demam tinggi (hiperthermia)
merupakan manifestasi klinik yang utama pada penderita infeksi virus dengue sebagai
respon fisiologis terhadap mediator yang muncul.
Sel penjamu yang muncul dan beredar dalam sirkulasi merangsang terjadinya
panas. Faktor panas yang dimunculkan adalah jenis-jenis sitokin yang memicu panas
seperti TNF-α, IL-1, IL-6, dan sebaliknya sitokon yang meredam panas adalah TGF-
β, dan IL-10. Beredarnya virus di dalam plasma bisa merupakan partikel virus yang
bebas atau berada dalam sel platelet, limfosit, monosit, tetapi tidak di dalam eritrosit.
1.12. Malaria
Terdapat tiga stadium parasit yang berpotensi invasif, sporozoit, merozoit, dan
ookinete. Sporozoit malaria dilepaskan kedalam darah manusia melalui gigitan
nyamuk terinfeksi, biasanya kurang dari 1.000 sporozoit. Sporozoit beredar dalam
sirkulasi dalam waktu yang sangat singkat. Sebagian mencapai hati, sebagian lain
disaring keluar. Sebagian sporozoit dihancurkan oleh fagosit, tetapi sebagian besar
masuk sel parenkim hati dan memperbanyak diri secara aseksual (prosesskizogoni
eksoeritrositer), dapat menjadi sebanyak 30.000 merozoit. Setelah 6-16 hari
terinfeksi, sel hati yang mengandung skizon jaringan pecah dan merozoit yang masuk
sirkulasi darah mengalami proses skizogoni eritrositer (fase intraeritrositer).
Didalam sel darah merah (fase eritrositik/intraeritrositer) parasit akan
berkembang biak sehingga menimbulkan kerusakan sel darah merah dan mengalami
lisis sehinga dapat menyebabkan anemia. Anemia yang terjadi menimbulkan anoksia
(tidak terdapat oksigen) pada jaringan dan menimbulkan berbagai kelainan organ.
Selain itu, demam yang tinggi juga akan semakin mengganggu sirkulasi darah yang
menyebabkan statis pada otak serta penurunan sirkulasi pada ginjal, kongesti
sentrilobular dan degenarasi hati.
1.13. Demam Tifoid
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses mulai dari penempelan bakteri ke
lumen usus, bakteri bermultiplikasi di makrofag Peyer’s patch, bertahan hidup di
aliran darah dan menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan keluarnya elektrolit
dan air ke lumen intestinal. Bakteri Salmonella Typhi bersama makanan atau
minuman masuk ke dalam tubuh melalui mulut, pada saat melewati lambung dengan
suasana asam banyak bakteri yang mati. Bakteri yang masih hidup akan mencapai
usus halus, melekat pada sel mukosa kemudian menginvasi dan menembus dinding
usus tepatnya di ileum dan yeyunum.
Sel M, sel epitel yang melapisi Peyer’s patch merupakan tempat bertahan hidup
dan multiplikasi Salmonella Typhi. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus
menimbulkan tukak pada mukosa usus, kemudian mengikuti aliran ke kelenjar limfe
mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan Reticulo
Endothelial System (RES) di organ hati dan limpa.
Setelah periode inkubasi, Salmonella Typhi keluar dari habitatnya melalui duktus
torasikus masuk ke sirkulasi sistemik mencapai hati, limpa, sumsum tulang, kandung
empedu dan Peyer’s patch dari ileum terminal. Endotoksin merangsang makrofag di
hati, limpa, kelenjar limfoid intestinal dan mesenterika untuk melepaskan produknya
yang secara lokal menyebabkan nekrosis intestinal ataupun sel hati dan secara
sistemik menyebabkan gejala klinis pada demam tifoid.
1.14. Gagal Jantung Akut
1.15. Demam Reumatik
Terdapat tiga hal yang berperan penting dalam terjadinya demam rematik, yakni
agen penyebab penyakit yaitu Streptokokus β-hemolitikus grup A, host (manusia),
dan faktor lingkungan. Streptokokus akan menyerang sistem pernafasan bagian atas
dan melekat pada jaringan faring. Protein M, faktor virulen yang terdapat pada
dinding sel Streptokokus, secara immunologi memiliki kemiripan dengan struktur
protein yang terdapat dalam tubuh manusia seperti miokardium (miosin dan
tropomiosin), katup jantung (laminin), sinovial (vimentin), kulit (keratin) juga
subtalamus dan nucleus kaudatus (lysogangliosides) yang terdapat diotak. Adanya
kemiripan pada struktur molekul inilah yang mendasari terjadinya respon autoimun
yang pada demam rematik.
1.16. Infeksi Saluran Kemih
Bakteri patogen dari urin (urinary pathogen) dapat menyebabkan presentasi klinis
ISK tergantung juga dari faktor lainnya seperti perlengketan mukosa oleh bakteri,
faktor virulensi, dan variasi fase faktor virulensi. Pada individu normal, laki-laki
maupun perempuan urin selalu steril karena dipertahankan jumlah dan frekuensi
kencing. Uretro distal merupakan tempat kolonisasi mikroorganisme non-pathogenic
fastidious gram-positive dan gram negatif. Hampir semua ISK disebabkan invasi
mikroorganisme asending dari uretra ke dalam saluran kemih yang lebih distal,
misalnya kandung kemih28. Pada beberapa pasien tertentu invasi mikroorganisme
dapat mencapai ginjal. Proses ini dipermudah refluks vesikoureter. Proses invasi
mikroorganisme hematogen sangat jarang ditemukan di klinik, mungkin akibat lanjut
dari bakteriemia. Ginjal diduga merupakan lokasi infeksi sebagai akibat lanjut
septikemi atau endokarditis akibat S. aureus.
1.17. Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus (GNAPS)
Antibodi dari tubuh akan bereaksi dengan antigen yang beredar dalam darah dan
komplemen untuk membentuk suatu kompleks imun. Kompleks imun yang beredar
dalam darah dalam jumlah yang banyak dan waktu yang singkat melekat pada
kapiler-kapiler glomerulus dan terjadi kerusakan mekanis melalui aktivasi sistem
komplemen, reaksi peradangan dan mikrokoagulasi
1.18. Kejang Demam
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10-15% dan meningkatnya kebutuhan oksigen sebesar 20%. Pada
seorang anak usia 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh sirkulasi tubuh,
dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi kenaikan suhu tubuh pada
seorang anak dapat mengubah keseimbangan membran sel neuron dan dalam waktu
singkat terjadi difusi ion Kalium dan ion Natrium melalui membran tersebut sehingga
mengakibatkan terjadinya lepas muatan listrik. Lepasnya muatan listrik ini demikian
besar sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel lain yang ada
didekatnya dengan perantaraan neurotransmitter sehingga terjadilah kejang.
1.19. Meningitis
Meningitis pada umumnya sebagai akibat dari penyebaran penyakit di organ atau
jaringan tubuh yang lain. Virus / bakteri menyebar secara hematogen sampai ke
selaput otak. Mula-mula pembuluh darah meningeal yang kecil dan sedang
mengalami hiperemi; dalam waktu yang sangat singkat terjadi penyebaran sel-sel
leukosit polimorfonuklear ke dalam ruang subarakhnoid, kemudian terbentuk eksudat.
Dalam beberapa hari terjadi pembentukan limfosit dan histiosit dan dalam minggu
kedua selsel plasma. Eksudat yang terbentuk terdiri dari dua lapisan, bagian luar
mengandung leukosit polimorfonuklear dan fibrin sedangkan di lapisaan dalam
terdapat makrofag. Proses radang selain pada arteri juga terjadi pada vena-vena di
korteks dan dapat menyebabkan trombosis, infark otak, edema otak dan degenerasi
neuronneuron. Trombosis serta organisasi eksudat perineural yang fibrino-purulen
menyebabkan kelainan kraniales.
1.20. Ensefalitis
1.21. Malnutrisi Energi Protein
Kekurangan energi protein dalam makanan yang dikonsumsi akan menimbulkan
kekurangan berbagai asam amino essensial yang dibutuhkan untuk sintesis, oleh
karena dalam diet terdapat cukup karbohidrat, maka produksi insulin akan meningkat
dan asam amino di dalam serum yang jumlahnya sudah kurang tersebut akan
disalurkan ke otot. Berkurangnya asam amino dalam serum merupakan penyebab
kurangnya pembentukan alkomin oleh heper, sehingga kemudian timbul edema
perlemahan hati terjadi karena gangguan pembentukan lipo protein beta sehingga
transport lemak dari hati ke hati dapat lemak juga terganggu dan akibatnya terjadi
akumuasi lemak dalam hepar.
1.22. Obesitas
Obesitas terjadi akibat ketidakseimbangan masukan dan keluaran kalori dari
tubuh serta penurunan aktifitas fisik (sedentary life style) yang menyebabkan
penumpukan lemak di sejumlah bagian tubuh. Penelitian yang dilakukan menemukan
bahwa pengontrolan nafsu makan dan tingkat kekenyangan seseorang diatur oleh
mekanisme neural dan humoral (neurohumoral) yang dipengaruhi oleh genetik,
nutrisi,lingkungan, dan sinyal psikologis.
Apabila asupan energi melebihi dari yang dibutuhkan, maka jaringan adiposa
meningkat disertai dengan peningkatan kadar leptin dalam peredaran darah.
Kemudian, leptin merangsang anorexigenic center di hipotalamus agar menurunkan
produksi Neuro Peptida Y (NPY) sehingga terjadi penurunan nafsu makan. Demikian
pula sebaliknya bila kebutuhan energi lebih besar dari asupan energi, maka jaringan
adiposa berkurang dan terjadi rangsangan pada orexigenic center di hipotalamus yang
menyebabkan peningkatan nafsu makan. Pada sebagian besar penderita obesitas
terjadi resistensi leptin, sehingga tingginya kadar leptin tidak menyebabkan
penurunan nafsu makan
1.23. Tetanus Neonatorum
Manifestasi klinis tetanus neonatorum disebabkan oleh toksin tetanospasmin yang
dihasilkan bakteri tetanus, tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme,
bekerja pada beberapa level dari susunan syaraf pusat, dengan cara :
a.Tobin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat
pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot.
b.Kharekteristik spasme dari tetanus (seperti strichmine) terjadi karena toksin
mengganggu fungsi dari refleks synaptik di spinal cord.
c.Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral
ganglioside.
d.Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System (ANS)
dengan gejala: berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti takikhardia, aritmia
jantung, peninggian cathecholamine dalam urine.
1.24. Sepsis Neonatal
Sepsis terjadi karena adanya gangguan keseimbangan antara sitokin proinflamasi
dan antiinflamasi, komponen koagulan dan antikoagulan serta antara integritas
endotel dan sel yang beredar. Gangguan keseimbangan tersebut disebabkan oleh
infeksi bakteri patogen. Bakteri mencapai aliran darah melalui aspirasi janin atau
tertelan melalui kontaminasi cairan amnion, menyebabkan bakteremia. Proses
molekuler dan seluler yang memicu respon sepsis berbeda tergantung dari
mikroorganisme penyebab baik bakteri gram positif dan negative. Kedua kelompok
bakteri tersebut akan memicu kaskade sepsis yang dimulai dengan pelepasan
mediator inflamasi sepsis. Mediator inflamasi primer dilepaskan oleh sel-sel yang
teraktivasi makrofag.
Pelepasan mediator akan mengaktivasi sistem koagulasi dan komplemen. Sistem
komplemen merupakan komponen yang sangat penting dari sistem imun bawaan
yang memfasilitasi pembunuhan bakteri melalui opsonisasi dan aktivitas bakterisidal
secara langsung. Komponen komplemen juga memiliki aktivitas kemotaktik atau
anafilaktik yang akan meningkatkan agregasi leukosit dan permeabilitas vaskuler di
tempat yang terinvasi. Selain itu, komponen komplemen juga saling mengaktifkan
sejumlah proses penting lainnya seperti koagulasi, produksi sitokin proinflamasi dan
aktivasi leukosit. Disregulasi dari aktivasi komplemen dapat menyebabkan efek yang
tidak diinginkan seperti pada neonatus dengan sepsis berat atau syok septik. Pada
neonatus prematur terjadi penurunan kadar protein komplemen dan fungsi dari kedua
jalur sistem imun. Opsonisasi yang dimediasi oleh komplemen juga sangat rendah
pada neonatus prematur dan terbatas pada neonatus cukup bulan.

1.25. Asfiksia
Gangguan suplai darah teroksigenasi melalui vena umbilical dapat terjadi pada
saat antepartum, intrapartum, dan pascapartum saat tali pusat dipotong. Hal ini diikuti
oleh serangkaian kejadian yang dapat diperkirakan ketika asfiksia bertambah berat.

1.26. Dengue Shock Syndrome


Infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang me-fagositosis
kompleks virus-antibody non netralisasi sehingga virus bereplikasi di makrofag.
Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T helper dan T
sitotoksik sehingga diprosuksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma
akan mengaktivasi monosit sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti
TNF-α, IL-1, PAF (platelet activating factor), IL- 6 dan histamine yang
mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi kebocoran plasma.
Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi oleh kompleks virus-antibodi yang
juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma. Trombositopenia pada infeksi
dengue terjadi melalui mekanisme Supresi sumsum tulang, dan Destruksi dan
pemendekan masa hidup trombosit.
1.27. Syok
1.28. Bronkiolitis
Bronkiolitis biasanya didahului oleh suatu infeksi saluran nafas bagian atas yang
disebabkan virus, parainfluenza, dan bakteri. Bronkiolitis akut ditandai obstruksi
bronkiole yang disebabkan oleh edema, penimbunan lendir serta debris jebris seluler.
Tekanan udara pada lintasan udara kecil akan meningkat baik selama fase inspirasi
maupun selama fase ekspirasi, karena jari-jari suatu saluran nafas mengecil selama
ekspirasi, maka obstruksi pernafasan akan mengakibatkan terrperangkapnya udara
serta pengisian udara yang berlebihan.
Proses patologis yang terjadi akan mengganggu pertukaran gas normal di dalam
paru-paru. Ventilasi yang semakin menurun pada alveolus akan mengakibatkan
terjadinya hipoksemia dini. Retensi karbon dioksida (hiperkapnia) biasanya tidak
terjadi kecuali pada penderita yang terserang hebat. Pada umumnya semakin tinggi
pernafasan, maka semakin rendah tekanan oksigen arteri. Hiperkapnia biasanya tidak
dijumpai hingga kecepatan pernafasan melebihi 60 x / menit yang kemudian
meningkat sesuai dengan takipne yang terjadi
1.29. Pneumonia
Patogen yang sampai ke trakea berasal dari aspirasi bahan yang ada di
orofaring, kebocoran melalui mulut saluran endotrakeal, inhalasi dan sumber
patogen yang mengalami kolonisasi di pipa endotrakeal. Proses infeksi
dimana patogen tersebut masuk ke saluran nafas bagian bawah setelah dapat melewati
mekanisme pertahanan inang berupa daya tahan mekanik (epitel,cilia, dan mukosa),
pertahanan humoral (antibodi dan komplemen) dan seluler (leukosit, makrofag,
limfosit dan sitokinin). Kemudian infeksi menyebabkan peradangan membran paru
(bagian dari sawar-udara alveoli) sehingga cairan plasma dan sel darah merah dari
kapiler masuk. Hal ini menyebabkan rasio ventilasi perfusi menurun, saturasi oksigen
menurun.

Anda mungkin juga menyukai