Patogenesis
1.1. SLE
Patogenesis SLE melibatkan interaksi yang kompleks dan multifaktorial antara
variasi genetik dan faktor lingkungan. Kombinasi faktor-faktor tersebut menyebabkan
hilangnya toleransi imun yang mengakibatkan peningkatan beban antigenik, bantuan
sel T yang berlebihan, gangguan supresi sel B dan peralihan respon imun dari T
helper 1 (Th1) ke Th2 yang menyebabkan hiperaktifitas sel B dan memproduksi
autoantibodi patogenik.
a. Faktor Genetik
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan terutama gen
yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Diduga berhubungan dengan gen
respons imun spesifik pada kompleks histokompabilitas mayor kelas II, yaitu
HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta dengan komponen komplemen yang berperan
dalam fase awal reaksi ikat komplemen ( yaitu C1q, C1r, C1s, C4, dan C2).
b. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi
ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada selfimmunity
dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit. Kebiasaan
merokok berhubungan dengan zat yang terkandung dalam tembakau yaitu amino
lipogenik aromatik. Virus rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi
sel permukaan dan apoptosis.
c. Faktor Hormonal
Estrogen mengaktifasi sel B poliklonal sehingga mengakibatkan produksi
autoantibodi berlebihan pada pasien LES.
1.2. Infeksi HIV pada anak
1.3. Urtikaria
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang meningkat
dan menyebabkan terjadi transudasi cairan dan berujung kepada pengumpulan cairan
setempat, sehingga secara klinis tampak edema setempat disertai kemerahan.
Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi akibat pelepasan
mediator-mediator misalnya histamine, kinin, serotonin, slow reacting substance of
anaphylaxis (SRSA), dan prostaglandin oleh sel mast dan atau basofil.2
1.4. Dermatitis Atopik
Secara umum terdapat dua faktor yang berperan dalam pathogenesis Dermatitis
Atopik yaitu faktor endogen dan eksogen. Faktor endogen yang berperan meliputi
faktor genetik, hipersensitivitas akibat peningkatan kadar immunoglobulin (Ig)E total
dan spesifik, kondisi kulit yang relatif kering (disfungsi sawar kulit), dan gangguan
psikis. Faktor eksogen pada Dermatitis Atopik antara lain trauma fisik (kimia maupun
panas), bahan iritan, allergen debu, tungau debu rumah, makanan (susu sapi, telur),
infeksi mikroba, perubahan iklim (peningkatan suhu dan kelembaban), serta hygiene
lingkungan. Faktor endogen lebih berperan sebagai faktor predisposisi sedangkan
faktor eksogen cenderung menjadi faktor pencetus.
1.5. DM Tipe 1
DMT 1 merupakan DM yang tergantung insulin. Pada DMT 1 kelainan terletak
pada sel beta yang bisa idiopatik atau imunologik sehingga pankreas tidak mampu
mensintesis dan mensekresi insulin dalam kuantitas dan atau kualitas yang cukup.
Pada DMT 1 biasanya reseptor insulin di jaringan perifer kuantitas dan kualitasnya
cukup atau normal (jumlah reseptor insulin DMT 1 30.000-35.000) sedangkan pada
DMT 2 ± 20.000 reseptor insulin.
1.6. Ketoasidosis Diabetikum (DKA)
Seluruh gangguan metabolik yang ditemukan pada DKA tergolong konsekuensi
langsung atau tidak langsung dari kekurangan insulin. Menurunnya transport glukosa
kedalam jaringan jaringan tubuh akan menimbulkan hyperglycaemia yang
meningkatkan glycosuria. Sedangkan meningkatnya lipolysis akan menyebabkan
over-produksi asam asam lemak, yang sebagian diantaranya akan dikonversi
(dirubah) menjadi ketone, menimbulkan ketonnaemia, asidosis metablik dan
ketonuria.
Glycosuria akan menyebabkan diuresis osmotik yang menimbulkan kehilangan
air dan elektrolite seperti sodium, potassium, kalsium, magnesium, fosfat dan klorida.
Dehidrasi, bila terjadi secara hebat, akan menimbulkan uremia pra renal dan dapat
menimbulkan shock hypovolemik. Asidodis metabolik yang hebat sebagian akan
dikompensasi oleh peningkatan derajat ventilasi (peranfasan Kussmaul). Muntah juga
sering terjadi dan akan mempercepat kehilangan air dan elektrolite.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan perkembangan DKA adalah
merupakan rangkaian dari iklus interlocking vicious yang seluruhnya harus
diputuskan untuk membantu pemulihan metabolisme karbohidrat dan lipid normal.
1.7. Hipoglikemia
Penurunan kadar gula darah dapat memicu serangkaian respon yang bertujuan
meningkatkan kadar gula darah. Pertahanan fisiologis yang pertama terhadap
hipoglikemia adalah penurunan sekresi insulin oleh sel beta pancreas, pasien diabetes
melitus tipe 1 yang menerima terapi substitusi insulin tidak memiliki penurunan
sekresi insulin fisiologis (sekresi insulin berkurang saat kadar gula darah rendah)
karena insulin yag beredar dalam tubuh merupakan insulin pengganti yang berasal
dari luar (eksogen). Pertahanan fisiologis yang kedua terhadap hipoglikemia adalah
peningkatan sekresi glucagon, sekresi glukagon meningkatkan produksi glukosa di
hepar dengan memacu glikogenolisis.
Pertahanan fisiologis yang ketiga terhadap hipoglikemia adalah peningkatan
sekresi epinefrin adrenomedullar, sekresi ini terjadi apabila sekresi glukagon tidak
cukup untuk meningkatkan kadar gula darah. Sekresi epinefrin adrenomedullar
meningkatkan kadar gula darah dengan cara stimulasi hepar dan ginjal untuk
memproduksi glukosa, membatasi penyerapan glukosa oleh jaringan yang sensitif
terhadap insulin, perpindahan substrat glukoneogenik (laktat dan asam amino dari
otot, dan gliserol dari jaringan lemak).
Sekresi insulin dan glukagon dikendalikan oleh perubahan kadar gula darah dalam
pulau Langerhans di pancreas sedangkan pelepasan epinefrin (aktivitas
simpatoadrenal) dikendalikan secara langsung oleh sistem saraf pusat. Bila
pertahanan fisiologis ini gagal mencegah terjadinya hipoglikemia, kadar glukosa
plasma yang rendah menyebabkan respon simpatoadrenal yang lebih hebat yang
menyebabkan gejala neurogenik sehingga penderita hipoglikemia menyadari keadaan
hipoglikemia dan bertujuan agar penderita segera mengkonsumsi karbohidrat.
Seluruh mekanisme pertahanan ini berkurang pada pasien dengan diabetes tipe 1 dan
pada advanced diabetes mellitus tipe 2.
1.25. Asfiksia
Gangguan suplai darah teroksigenasi melalui vena umbilical dapat terjadi pada
saat antepartum, intrapartum, dan pascapartum saat tali pusat dipotong. Hal ini diikuti
oleh serangkaian kejadian yang dapat diperkirakan ketika asfiksia bertambah berat.