Diabetes merupakan sindrom atau kumpulan gejala penyakit metabolik yang ditandai
dengan hiperglikemia akibat kekurangan insulin, gangguan kerja insulin, atau kombinasi
keduanya (ADA, 2013). Ada beberapa jenis diabetes melitus (DM) yaitu diabetes melitus
tipe 1, diabetes melitus tipe 2, diabetes melitus tipe gestasional, dan diabetes melitus tipe
lainnya. Jenis diabetes melitus yang paling banyak diderita adalah DM tipe 2 (ADA, 2013).
Saat ini diabetes mellitus menjadi suatu masalah kesehatan dunia seiring
meningkatnya prevalensi penyakit ini ini di berbagai negara (Waspadjiet al., 2013).
Prevalensi diabetes di dunia sebesar 8,3% dan jumlah penderita diabetes diperkirakan akan
terus meningkat dari 371 juta orang pada tahun 2012 menjadi 552 juta orang pada tahun 2030
(IDF, 2012).
Indonesia pada tahun 2012 berada di urutan ketujuh dalam sepuluh negara dengan
penderita diabetes terbanyak (IDF, 2012). World Health Organization (WHO)
memperkirakan prevalensi diabetes melitus di Indonesia akan meningkat 154% dari tahun
2000 sampai tahun 2030.
Diabetes melitus merupakan penyakit kronis yang akan diderita seumur hidup dan
penderita berisiko tinggi mengalami komplikasi seperti penyakit jantung koroner, gagal
ginjal, stroke, retinopati diabetika, kaki diabetik dan sebagainya. Hal ini tentu akan
berpengaruh pada tingginya biaya pelayanan kesehatan. Penanganan diabetes harus
berkelanjutan dan mencakup berbagai intervensi baik medis maupun non medis, serta
melibatkan banyak pihak, tidak hanya tenaga kesehatan tetapi juga peran keluarga dan pasien
sendiri (ADA, 2013). Program kesehatan yang bersifat preventif, promotif, kuratif, dan
rehabilitatif secara paralel dinilai sangat penting dalam pengendalian penyakit kronis seperti
diabetes melitus.
Banyaknya kasus penderita DM dan angka kematiannya yang tinggi tampaknya
berbanding terbalik dengan perkembangan terapi untuk penyakit ini. Terapi yang ada hanya
bersifat simptomatik dan suportif. Karena itulah angka mortilitas akan penyakit ini masih
terbilang cukup tinggi. Untuk itu perlu adanya inovasi dalam pengobatan DM di Indonesia.
Bentuk inovasi tersebut adalah dengan menggunakan bahan-bahan sumber daya alam dari
lingkungan yang mudah ditemukan di Indonesia, salah satunya adalah tanaman pepaya.
Carica papaya atau yang lebih dikenal dengan tanaman pepaya merupakan tanaman
yang banyak diteliti saat ini terutama untuk manfaat farmakologisnya. Salah satu bagian
dari tanaman pepaya yang menjadi perhatian khusus adalah daunnya. Selama ini daun
papaya (Carica papaya folium) hanyalah menjadi sampah dan jarang sekali digunakan di
masyarakat. Penggunaannya hanya sebatas dikonsumsi sebagai lalapan saja. Padahal daun
pepaya memiliki manfaat dalam pengobatan yang sangat beragam karena kandungan
senyawa aktif yang kaya dalam tanaman papaya yaitu enzim papain, karotenoid, alkaloid,
monoterpenoid, dan flavonoid, saponin, glikosida jantung, dan alkaloid. Selain itu daun
papaya juga mengandung mineral Ca, Mg, Mn, Na, K, dan Fe yang tinggi (Sharma, 2013).
Carica papaya diketahui memiliki dua zat yang mempunyai fungsi sebagai
antidiabetik atau antihiperglikemik yaitu flavonoid dan seskuiterpen yang paling banyak
ditemukan pada bagian daun pepaya. Berdasarkan dari beberapa penelitian, flavonoid
diketahui memiliki aktifitas antioksidan yang yang dipercaya dapat memproteksi tubuh
terhadap kerusakan yang disebabkan spesies oksigen reaktif, sehingga mampu mencegah
terjadinya penyakit degeneratif seperti DM.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ruhe & Mc Donald pada tahun 2001,
dibuktikan bahwa antioksidan yang terkandung dari flavonoid dapat menghambat apoptosis
sel β tanpa mengganti proliferasi sel β pankreas. Berkaitan dengan hal tersebut, menurut
Winarsi et al. (2012) flavonoid juga bekerja di luar pankreas dengan cara merangsang
penggunaan glukosa perifer yang meningkatkan jalur glikolitik dan glikogenik, sehingga
menghambat jalur glikogenolisis dan glukoneogenesis. Antioksidan pada flavonoid juga
diketahui dapat memberikan atom hidrogen yang akan teroksidasi dan berikatan dengan
radikal bebas sehingga radikal bebas menjadi senyawa yang lebih stabil.
Daun pepaya juga memiliki zat yang disebut seskuiterpen yang dapat mereduksi
ketidaksensitifan terhadap insulin. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Zhao et, al
pada tahun 2012, didapatkan bahwa seskuiterpen secara signifikan dapat meningkatkan
metabolisme glukosa tanpa efek toksik pada adiposit dan menghambat faktor inflamasi pada
sel mesangial ginjal manusia dalam kondisi Hal ini terkait dengan kemampuannya dalam
menghambat (Inhibit) Advanced Oxidation Protein Product-Induced MCP-1 Expression in
Podocytes. Advanced oxidation protein products (AOPPs) pertama kali ditemukan dan
dilaporkan sebagai racun uremik oleh Witko-SARSAT dan ditemukan hubungannya dengan
diabetes (Piwowar et al., 2009).
Berdasarkan berbagai uraian di atas dapat dikatakan bahwa Carica papaya folium
memiliki efek terhadap metabolisme glukosa melalui berbagai mekanisme termasuk dalam
fungsinya yang seperti subtansi insulin, menghambat aktivitas insulinase, meningkatkan
sekresi insulin dari sel β-pankreas atau dari sumber insulin, dan memungkinkan peningkatan
regenerasi sel pankreas. Menurut Thongsom et al. (2013) T. diversivolia memang merupakan
sumber antioksidan, dapat meningkatkan metabolisme glukosa, dan mampu mereduksi
elevasi profil lipid dan peroksidasi lipid. Penelitian lebih lanjut mengenai cara administrasi dan
dosis efektif perlu dilakukan untuk memberikan efek terapi yang yang lebih baik.