Oleh :
Jl. Slamet Riyadi 183, Surakarta 57131, Telp. (0271) 632453, 642083
Jl. Slamet Riyadi 445-447, Surakarta 57146, Telp. (0271) 712940
Jl. KH. Agus Salim 10, Surakarta, Telp.(0271) 714751, Fax.(0271) 740160
Email: shadibakri@yahoo.com
1. Pendahuluan
Dunia kini memasuki peradaban gelombang keempat, yang disebut dengan era
kreatif. Tiga gelombang sebelumnya, mengutip futurolog Alvin Toffler dalam bukunya
Future Shock (1970), adalah era pertanian, era industri, dan era informasi. Adapun
penggerak utama pertumbuhan ekonomi sebuah bangsa pada era keempat ini adalah
kreativitas dan inovasi. Kedua hal itu menjadi keniscayaan, jika sebuah bangsa ingin
bersaing di tengah dinamika ekonomi dunia yang penuh guncangan. Dalam lima tahun
terakhir, misalnya, dunia diguncang oleh rentetan krisis ekonomi. Pada tahun 2007/2008,
krisis sub prime mortgage terjadi di Amerika Serikat dan mengakibatkan keruntuhan
raksasa-raksasa ekonomi seperti Lehman Brothers, Bear Stearns, dan AIG. Kini, krisis
ekonomi mengguncang Eropa akibat krisis utang di Yunani, yang mengancam
keberlangsungan Zona Euro.
Beruntung dampak krisis global terhadap Indonesia tidak terlalu besar, mengingat
pangsa ekspor Indonesia terhadap GDP hanya sekitar 45%. Angka itu jauh berbeda
dengan Singapura yang mencapai 377% atau Hong Kong yang mencapai 380% (data riset
Standard Chartered Bank). Indonesia juga memiliki ketahanan ekonomi yang kuat dari
sisi cadangan devisa, mencapai USD112,2 miliar di akhir Februari 2012.
Kondisi tersebut merupakan momentum yang harus dimanfaatkan, khususnya oleh
para wirausahawan yang bergerak di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah. Sebab,
ekonomi Indonesia saat ini ditopang oleh konsumsi domestik dan tidak bergantung pada
luar negeri. Menurut catatan Kementerian Koperasi dan UMKM, dalam setahun terakhir
terjadi penambahan wirausahawan baru yang luar biasa, sekitar 3,2 juta. Tentu saja kita
tidak menginginkan penambahan yang tinggi itu tidak disertai kualitas dan kontinuitas
dari usaha yang dilakukan para wirausahawan. Kuncinya adalah inovasi dan kreativitas.
Belakangan ini kita kerap mendengar istilah industri kreatif. Industri ini diartikan sebagai
kumpulan aktivitas ekonomi yang terkait dengan penciptaan atau penggunaan
pengetahuan dan informasi. Industri kreatif adalah industri yang berasal dari pemanfaatan
kreativitas untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan, dengan
menghasilkan dan mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta. Industri kreatif dipandang
semakin penting dalam mendukung kesejahteraan dalam perekonomian. Dalam hal ini
kreativitas manusia adalah sumber daya ekonomi utama.
Semangat pemerintah untuk mengembangkan ekonomi kreatif, menurut catatan
penulis, setidaknya dimulai ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan
sambutannya dalam acara pembukaan Pekan Produk Budaya Indonesia pada Juli 2007
silam. Ekonomi kreatif, sebagaimana disampaikan Presiden SBY ketika itu, bersumber
dari ide, seni, dan teknologi yang dikelola untuk menciptakan kemakmuran. Penulis juga
mencatat beberapa kali seruan Presiden SBY mengenai pentingnya inovasi dan
kreativitas bagi dunia industri. Hal tersebut menunjukkan besarnya perhatian pemerintah
terhadap ekonomi kreatif. Sampai-sampai ketika melakukan perombakan kabinet pada
Oktober 2011 lalu, Presiden SBY mengubah Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan
menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia.
I T R I F
N E E N
C S S
I
D
H O T N
U N U I A
S O R T
T L C U
N
R O E T C
Y G S I I
Y O
N
A
L
PEOPLE
CULTUTRE
Analisis Triple Helix pertama kali diungkapkan oleh Henry Etzkowitz dan Loet
Leydesdorff, dan kemudian diulas lebih lanjut oleh Gibbons et.al.(1994) dalam The New
Production of Knowledge, dan Nowotny et.al. (2001) dalam Re-Thinking Science.
Pemikiran ekonomi kreatif, sistem Triple Helix menjadi payung yang menghubungkan
antara Cendekiawan (Intellectuals), Bisnis (Business), dan Pemerintah (Government)
dalam kerangka bangunan ekonomi kreatif. Di mana ketiga helix tersebut merupakan
aktor utama penggerak lahirnya kreativitas, ide, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang
vital bagi tumbuhnya industri kreatif. Hubungan yang erat, saling menunjang, dan
bersimbiosis mutualisme antara ke-3 aktor tersebut dalam kaitannya dengan landasan dan
pilar-pilar model ekonomi kreatif akan menentukan pengembangan ekonomi kreatif yang
kokoh dan berkesinambungan.
Pertumbuhan industri di Indonesia baik manufaktur maupun jasa terus meningkat
dan berkembang, seiring dengan perkembangan industri didunia. Salah satu strategi
pembangunan ekonomi dan industri di Indonesia yaitu industri kreatif. Industri kreatif
memiliki ketergantungan impor yang rendah, dan memiliki potensi ekspor, karena adanya
keunggulan komparatif. selain itu, di Indonesia juga telah memiliki beberapa kota yang di
dalamnya berkembang industri kreatif yang cukup potensial, yaitu Bandung, Jakarta,
Yogyakarta, Solo, Pekalongan dan Bali. sektor kreatif akan memberikan harapan baru
untuk kegiatan ekonomi (peluang usaha baru) yang mengandalkan kreativitas dan bakat
individu guna menciptakan nilai tambah berupa produk atau jasa kreatif. Jika
dikembangkan dan dikelola dengan baik, industri kreatif mampu menjadi penyumbang
devisa negara apabila diekspor keluar negeri.
Mengutip dari situs resmi Kementerian Perindustrian Indonesia, Direktur Jenderal
Industri Kecil dan Menengah (IKM) Euis Saedah mengatakan bahwa industri kreatif
adalah kegiatan usaha yang fokus pada kreasi dan inovasi. UK DCMS Task Force 1998
menyebut industri kreatif sebagai industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas,
keterampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta
lapanganpekerjaan dengan menghasilkan dan mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta
individu tersebut. Menyikapi perkembangan industri kreatif dalam negeri, Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) telahmenggolongkan industri kreatif ke
dalam subsektor-subsektor yang meliputi; industri media; TV dan radio; periklanan;
layanan komputer dan pirantilunak; permainan interaktif; kuliner; film; video, dan foto;
juga industri seni. yang meliputi seni pertunjukan; arsitektur; riset dan
pengembangan;penerbitan dan percetakan; musik; fesyen; desain; kerajinan; dan
pasar seni dan barang antik. Sebenarnya potensi industri kreatif masih begitu besar
untukdapat digarap oleh pelaku bisnis Indonesia khususnya yang ada di kota Solo.
Produk kerajinan yang potensial, di antaranya furniture ukir, rotan,ukiran kaca, kulit,
keris, dan batik. Kota Solo masuk sebagai Kota Kreatif dengan kategori kota desain.
Setelah ditetapkan menjadi Kota Kreatif olehKemenparekraf, selanjutnya Solo akan
didaftarkan ke UNESCO sebagai Kota Kreatif Dunia. Batik Tulis Solo sudah diekspor ke
mancanegara dan menjadi lambang khas Indonesia.
Bahkan di Kota Solo, sentra industri batik dengan berbagai skala kini terus
bertumbuh, seperti Kampoeng Batik Laweyan, Kauman, Tegalsari, Tegalayu, Tegalrejo,
Sondakan, Batikan, dan Jongke. Industri kreatif juga secara nyata dapat mengurangi
angka pengangguran. Industri kreatif sendiri naik sekitar 7% setiap tahunnya.
Untuksubsektor seni pertunjukan, Solo adalah gudang seniman. Ada Institut Seni
Indonesia (ISI) Surakarta dan Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 8 yang dulunya
konservatorium, serta puluhan sanggar tari, teater, dan musik yang menyediakan sumber
daya manusia berlimpah. Ada juga Wayang Orang Sriwedari dan Ketoprak
Balekambang.
Kota Solo memiliki potensi industri kreatif yang cukup besar akan tetapi belum
tergarap secara maksimal. Hal ini disebabkan karena belum adanya sinergitas antara
pelaku industri di bidang ini. Cara untuk melakukan sinergitas adalah dengan
menggabungkan industri ini dalam sebuah kerangka pariwisata. Persoalan utama dari
pengembangan industry kreatif di Solo adalah belum adanya komunikasi yang baik antar
pelaku industri di bidang ini.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam rangka memperkenalkan industri kreatif
seringkali tidak diketahui oleh pelaku industri pariwisata, kerajinan, maupun fashion.
Dalam satu tahun sendiri ada sekitar 100 pertunjukan seni yang digelar di Solo. Acara ini
dapat dimanfaatkan para pelaku industri kreatif dengan cara membuat paket-paket wisata
yang menggabungkan seni pertunjukan dan pameran dalam sebuah event wisata di hotel-
hotel yang ada di Solo. Masalah lain yang muncul adalah adanya miskomunikasi antar
pelaku industri pariwisata dengan kalangan seniman. Agar lebih memaksimalkan daya
kreativitas masyarakat, Pemerintah Kota Solo perlu memberikan ruang yang cukup untuk
berkembangnya ide-ide kreatif masyarakat yang dieksplorasi sehingga ada temuan-
temuan baru dari masyarakat Solo yang dapat dijual baik ke pasar lokal, nasional bahkan
internasional. Solo Techno Park ke depan bisa menjadi pusat pengembangan teknologi
yang mampu menghasilkan teknologi kreatif yang diakui kompetensinya di dunia
internasional.
Komitmen Pemkot Solo untuk menjadikan Solo sebagai Kota MICE (meeting,
incentive, convention, exhibition) akan bersinergi dengan pembangunan ekonomi kreatif.
Program MICE seharusnya diikuti dengan pertumbuhan industri kreatif sehingga
multiplier effect dan spillover effect dari MICE dapat ditangkap dengan produk
barang/jasa industri kreatif sehingga secara nyata perekonomian dapat bertumbuh dan
pada akhirnya pendapatan dan kesejahteraan masyarakat Solo meningkat.
Potensi wisata tersebut dapat dikembangkan melalui ekonomi kreatif. Ekonomi
kreatif di sini tidak hanya melibatkan masyarakat atau komunitas sebagai sumber daya
yang berkualitas, tetapi juga melibatkan unsur birokrasi dengan pola entrepreneurship
(kewirausahaan). Konsep pelibatan birokrasi dalam ekonomi kreatif adalah bahwa
birokrasi tidak hanya membelanjakan tetapi juga menghasilkan (income generating)
dalam arti positif (Obsore dan Gaebler, 1992). Pertentangan pajak untuk penganggaran
unit-unit birokrasi harus dihentikan dan birokrasi harus dapat menciptakan “pemasukan”
baru melalui ekonomi kreatif (Gale Wilson, Mantan Manajer Kota Fairled, California).
Strategi pengembangan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata budaya
kota Solo dirumuskan sebagai berikut:
1) Meningkatkan peran seni dan budaya pariwisata
2) Memperkuat keberadaan kluster-kluster industri kreatif
3) Mempersiapkan sumber daya manusia yang kreatif
4) Melakukan pemetaan aset yang dapat mendukung munculnya ekonomi kreatif.
5) Mengembangkan pendekatan regional, yaitu membangun jaringan antar kluster-
kluster industri kreatif.
6) Mengidentifikasi kepemimpinan (leadership) untuk menjaga keberlangsungan dari
ekonomi kreatif, termasuk dengan melibatkan unsur birokrasi sebagai bagian dari
leadership dan facilitator.
7) Membangun dan memperluas jaringan di seluruh sektor
8) Mengembangkan dan mengimplementasikan strategi, termasuk mensosialisasikan
kebijakan terkait dengan pengembangan ekonomi kreatif dan pengembangan wisata
kepada pengrajin. Pengrajin harus mengetahui apakah ada insentif bagi
pengembangan ekonomi kreatif, ataupun pajak ekspor jika diperlukan.
Dalam konteks kepariwisataan, diperlukan ruang-ruang kreatif bagi para pengrajin untuk
dapat menghasilkan produk khas daerah wisata yang tidak dapat ditemui di daerah lain. Salah
satu tempat yang paling penting bagi seorang pengrajin untuk bisa menghasilkan karya adalah
bengkel kerja atau studio. Bengkel kerja atau studio sebagai ruang kreatif harus dihubungkan
dengan daerah wisata sehingga tercipta linkage atau konektivitas. Konektivitas tersebut
diperlukan untuk mempermudah rantai produksi (Evans, 2009). Dari segi ekonomi kreatif,
produk kerajinan dalam bentuk souvenir dapat terjual sementara dari sektor wisata, wisatawan
memperoleh suatu memorabilia mengenai daerah wisata tersebut. Konektivitas atau linkage
antara ekonomi kreatif dan wisata dapat berbentuk outlet penjualan yang terletak di daerah
wisata. Dengan kata lain, wisata menjadi venue bagi ekonomi kreatif untuk proses produksi,
didtribusi, sekaligus pemasaran. Seperti dijelaskan pada Gambar 3.
Venue Supply
EKONOMI
WISATA OUTLET KREATIF
Memorabilia Penyerapan
produk kreatif
Gambar 3: Bagan Linkage Antara Ekonomi Kreatif dan Sektor Wisata Budaya
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam implementasi model linkage tersebut adalah
penetapan lokasi outlet yang harus diusahakan berada di tempat stratgis dan dekat dengan tempat
wisata. Upaya ini telah dilakukan sejumlah industri kreatif, di antaranya Dagadu yang
meletakkan outlet-nya di pusat perbelanjaan. Contoh lain adalah industri batik di Kampung
Laweyan, Solo. Wisatawan dapat melihat proses pembuatan batik, beberapa paket wisata malah
menawarkan wisatawan untuk mencoba membatik, dan setelah melihat proses pembatikan
wisatawan dapat berkunjung ke outlet penjualan batik untuk membeli batik sebagai souvenir.
Pengembangan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata walau terdengar sangat
menjanjikan, namun tetap memiliki sejumlah tantangan. Tantangan tersebar terkait dengan
keberlanjutan industri kreatif itu sendiri untuk menggerakkan sektor wisata. Trend wisata
cenderung cepat berubah sehingga pengrajin dituntut untuk bisa menciptakan produk-produk
kreatif dan inovatif. Di sisi lain, pengarajin juga tidak boleh terjebak pada selera pasar karena
dapat menghilangkan orisinalitas dan keunikan produk (Syahram, 2000) dan (Ooi, 2006),
mengindentifikasi sejumlah tantangan pengembangan sebagai berikut:
1) Kualitas produk.
2) Dengan bertumpu pada pengembangan wisata, maka produk ekonomi kreatif akan lebih
berorientasi pada selera wisatawan dan diproduksi dalam jumlah yang cukup banyak
sebagai souvenir. Hal ini dapat mengakibatkan hilangnya keunikan ataupun nilai khas
dari produk hasil ekonomi kreatif tersebut.
3) Konflik sosial terkait dengan isu komersialisasi dan komodifikasi.
4) Pengembangan ekonomi kreatif melalui wisata seringkali ”mengkomersialisasikan”
ruang-ruang sosial dan kehidupan sosial untuk dipertontonan pada wisatawan sebagai
atraksi wisata. Bila tidak dikelola dengan melibatkan komunitas lokal, hal ini dapat
berkembang menjadi konflik sosial, karena di beberapa komunitas terdpat ruang-ruang
sosial yang bersifat suci dan tidak untuk dipertontonkan pada wisatawan.
5) Manajemen ekonomi kreatif.
6) Ekonomi kreatif seringkali menyajikan produk-produk yang berbau isu politik ataupun
isu sosial yang sangat sensitif (misal: rasialisme). Untuk mengatasi hal ini, dibutuhkan
manajemen ekonomi kreatif yang baik, dengan salah satu fungsinya menentukan
”guideline” ekonomi kreatif mana yang harus dikembangkan dan mana yang sebaiknya
tidak dikembangkan.
6. Kesimpulan
Sinergi antara ekonomi kreatif dengan sektor wisata budaya merupakan sebuah model
pengembangan ekonomi yang cukup potensial untuk dikembangkan di Indonesia, termasuk
Kota Solo. Untuk mengembangkan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata
dibutuhkan konektivitas, yaitu dengan menciptakan outlet produk-prouk kreatif di lokasi
yang strategis dan dekat dengan lokasi wisata. Outlet tersebut dapat berupa counter atau
sentra kerajinan yang dapat dikemas dalam paket-paket wisata. Outlet kerajinan berupa
counter atau kios atau toko sebaiknya dikembangkan pada tempat wisata yang sudah popular
seperti mesjid Gede dan alun-alun kidul. Pada sentra kerajinan wisatawan tidak hanya
sekedar membeli souvenir, tetapi juga melihat proses pembuatannya dan bahkan ikut serta
dalam proses pembuatan tersebut (souvenir sebagai memorabilia).
Potensi batik selain untuk kebutuhan souvenir pariwisata juga bisa untuk kebutuhan seragam
sekolah dan pegawai. Untuk menggerakkan industry keratif dalam perekonomian dan
kepariwisataan Solo, maka potensi kerajinan batik perlu dikembangkan dan didukung
melalui kebijakan pemerintah. Sebagai contoh, Pemda Solo bekerja sama dengan DPR, tokoh
dan pengusaha batik menyusun Perda seragam batik untuk para pegawai negeri, swasta,
sekolah (SD, SMP, SMA). Perda perlu disiapkan dengan instansi terkait untuk
mengembangkan produksi batik cap secara bertahap sesuai dengan kebutuhan seragam.
Setelah akes cukup jelas, maka usaha kerajinan perlu ditingkatkan pada aspek ketrampilan
SDM perajin, akses teknologi dan financial atau permodalan. Sehingga peran pemerintah,
perguruan tinggi dan dana bergulir dari BUMN sangat dibutuhkan.
Daftar Pustaka
Alvian, 1991.. “Rethinking of Cities, Culture and Tourism within a Creative Perspective”
sebuah editorial dari PASOS, Vol. 8(3) Special Issue 2010-06-16
Dos Santos, 2007, “Trip to Kanazawa, City of Crafts 2007 Dates: Jan. 1 - March 31, 207,”
accessed on May 12, 2007 from http://www.kanazawa-
tourism.com/eng/campaign/images/VJY_winter.pdf
Evans, Graeme L, 2009. “From Cultural Quarters to Creative Clusters – Creative Spaces in
The New City Economy” UK.
Gibson et al, 1994.. “The Creative Economy in Maine: Measurement dan Analysis”, The
Southern Maine Review, University of Southern Maine
Howkins, 2008. “The Creative Economy” New York University, Stanford University
Kemal Idris, 2001. “Intellectual Property, A Pawer Tool Tor Economic Growth”, Wipo
Geneua.
Nowoty et al, 2001. “Creative Economy Strategies For Small and Medium Size Cities:
Options for New York State”, Quality Communities Marketing and Economics
Workshop, Albany New York, April 20, 2004
Obsore and Gaebler, 1992. Protection of Traditional Knowledge and Genetic Resources. A
Bottom-up Approach to Development, WIPO Magazine.
Paul Romer, 1993. Looting: The Economic Underworld of Bankruptcy for Profit. UK