Anda di halaman 1dari 13

KEMATIAN akibat ASFIKSIA MEKANIK

Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran udara
pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai dengan peningkatan
karbon di-: ■ s da (hiperkapnea). Dengan demikian organ tubuh mengalami kekangan
oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian.
Dari segi Etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut:
1. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan seperti
laringitis difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru.
2. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang mengakibatkan
emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral; sumbatan atau halangan pada saluran
napas dan sebagainya.
3. Keracunan bahan yang menimbulkan depresi pusat pernafasan misalnya barbiturat, narkotika.
ASFIKSIA MEKANIK.
Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara per--apasan terhalang
memasuki saluran pernapasan oleh berbagai «skerasan (yang bersifat mekanik), misalnya :
Penutupan lubang saluran pernapasan bagian atas : Pembekapan (smothering)
Penyumbatan (Gagging dan choking)
Penekanan dinding saluran pernapasan : Penjeratan (strangulation) Pencekikan
(manual strangulation, throttling) Gantung (hanging)
Penekanan dinding dada dari luar (asfiksia traumatik)
Saluran pernapasan terisi air (tenggelam, drowning)
Karena mekanisme kematian pada kasus tenggelam bukan murni disebabkan oleh asfiksia, maka
ada sementara ahli yang tidak agi memasukkan tenggelam ke dalam kelompok asfiksia mekanik,
tetapi dibicarakan tersendiri.
Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang capat dibedakan dalam 4
fase, yaitu :
1. Fase dispnea. Penurunan kadar oksigen sel darah merah dan penimbunan C02 dalam plasma
akan merangsang pusat pernapasan di medula oblongata, sehingga amplitudo dan frekuensi
pernapasan akan meningkat, nadi cepat, tekanan darah meninggi dan mulai tampak tanda-
tanda sianosis terutama pada muka dan tangan.
2. Fase konvulsi. Akibat kadar CO? yang naik maka akan timbul rangsangan terhadap
susunan saraf pusat sehingga terjadi konvulsi (kejang), yang mula-mula berupa kejang kionik
tetapi kemudian menjadi kejang tonik, dan akhirnya timbul spasme opistotonik.
Pupil mengalami dilatasi, denyut jantung menurun, tekanan darah juga menurun. Efek
ini berkaitan dengan paralisis pusat yang lebih tinggi dalam otak akibat kekurangan O2.
3. Fase apnea. Depresi pusat pernapasan menjadi lebih hebat, pernapasan melemah dan
dapat berhenti. Kesadaran menurun dan akibat relaksasi sfingter dapat terjadi pengeluaran
cairan sperma, urin dan tinja.
4. Fase akhir. Terjadi paralisis pusat pernapasan yang lengkap. Pernafasan berhenti setelah
kontraksi otomatis otot pernapasan kecil pada leher. Jantung masih berdenyut beberapa
saat setelah pernapasan berhenti.
Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi. Umumnya berkisar
antara 4-5 menit. Fase 1 dan 2 berlangsung lebih kurang 3-4 menit, tergantung dari tingkat peng-
halangan oksigen, bila tidak 100% maka waktu kematian akan lebih lama dan tanda-tanda
asfiksia akan lebih jelas dan lengkap.
PEMERIKSAAN JENAZAH
Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan
kuku.
Perbendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan merupakan
tanda klasik pada kematian akibat asfiksia.
Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat. Distribusi lebam
lebih luas akibat kadar CO2 yang tinggi dan aktivitas fibrinolisin dalam darah sehingga darah
sukar membeku dan mudah mengalir. Tingginya fibrinolisin ini sangat berhubungan dengan
cepatnya proses kematian.
Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan aktivitas
pernapasan pada fase 1 yang disertai sekresi selaput lendir saluran napas bagian atas. Keluar
masuknya udara yang cepat dalam saluran sempit akan menimbulkan busa yang kadangkadang
bercampur darah akibat pecahnya kapiler.
Gambaran perbendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah konjungtiva bulbi
dan palbebra yang terjadi pada fase 2. Akibatnya tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah
meningkat terutama dalam vena, venula dan kapiler. Selain itu, hipoksia dapat merusak endotel
kapiler sehingga dinding kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah dan timbul bintik-bintik
perdarahan yang dinamakan sebagai Tardieu's spot.
Kapiler yang lebih mudah pecah adalah kapiler pada jaringan ikat longgar, misalnya pada
konjungtiva bulbi, palpebra dan subserosa lain. Kadang-kadang dijumpai pula di kulit wajah.
Penulis lain mengatakan bahwa Tardieu's spot ini timbul karena permeabilitas
kapiler yang meningkat akibat hipoksia.
PEMERIKSAAN BEDAH JENAZAH.
Kelainan yang umum ditemukan pada pembedahan jenasah korban mati akibat asfiksia adalah:
1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibri-nolisin darah yang
meningkat pasca mati.
2. Busa halus di dalam saluran pernafasan.
3. Perbendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih berat,
berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak mengeluarkan darah.
4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikar-dium pada bagian belakang jantung
daerah aurikulo-ventrikular, subpleura viseralis paru terutama di lobus bawah pars
diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit kepala sebelah dalam terutama daerah otot temporal,
mukosa epiglotis dan daerah sub-glotis.
5. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhu- bun-gan dengan hipoksia.
6. Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan, seperti fraktur laring langsung
atau tidak langsung, perdarahan faring terutama bagian belakang rawan krikoid (pleksus vena
submukosa dengan dinding tipis).
PEMBEKAPAN
Smothering (pembekapan) adalah penutupan lubang hidung zan mulut yang menghambat
pemasukan udara ke paru-paru. Pem-r-eopan menimbulkan kematian akibat asfiksia. Cara
kematian yang berkaitan dengan pembekapan dapat
berupa :
1. Bunuh diri (suicide). Bunuh diri dengan cara pembekapan masih mungkin terjadi
misalnya pada penderita penyakit jiwa, orang tahanan dengan menggunakan gulungan kasur,
bantal, pakaian, yang diikatkan menutupi hidung dan mulut.
2. Kecelakaan (accidental smothering). Kecelakaan dapat terjadi misalnya pada bayi dalam
bulan-bulan pertama kehidupannya, terutama bayi prematur bila hidung dan mulut tertutup oleh
bantal atau selimut.
Anak-anak dan dewasa muda yang terkurung dalam suatu tempat yang sempit dengan
sedikit udara, misalnya terbekap dengan atau dalam kantung plastik.
Orang dewasa yang terjatuh waktu bekerja atau pada penderita epilepsi yang mendapat serangan dan
terjatuh, sehingga mulut dan hidung tertutup dengan pasir, gandum, tepung dan sebagainya..
3. Pembunuhan {homicidal smothering). Biasanya terjadi pada kasus pembunuhan anak sendiri.
Pada orang dewasa hanya terjadi pada orang yang tidak berdaya seperti orang tua, orang sakit
berat, orang dalam pengaruh obat atau minuman keras.
Bila pembekapan terjadi dengan benda yang lunak, maka pada pemeriksaan luar jenazah
mungkin tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan. Tanda kekerasan yang dapat ditemukan
tergantung dari jenis benda yang digunakan dan kekuatan menekan.

Luka memar atau lecet pada bagian/permukaan dalam bibir akibat bibir yang terdorong dan
menekan gigi, gusi dan lidah. Luka memar atau lecet pada bagian belakang tubuh korban.
Selanjutnya ditemukan tanda-tanda asfiksia baik pada pemeriksaan luar maupun pada
pembedahan jenazah. Perlu pula dilakukan pemeriksaan kerokan bawah kuku korban,
adakah darah atau epitel kulit si pelaku.
GAGGING DAN CHOCKING
Pada keadaan ini, terjadi sumbatan jalan napas oleh benda asing, yang mengakibatkan
hambatan udara untuk masuk ke paru-paru.
Pada gagging, sumbatan terdapat dalam orofaring, sedangkan aoa choking sumbatan
terdapat lebih dalam pada laringofaring.
Mekanisme kematian yang mungkin terjadi adalah asfiksia atau =*eks vagal akibat rangsangan
pada reseptor nervus vagus di arkus arng, yang menimbulkan inhibisi kerja jantung dengan
akibat car-zac arrest dan kematian.
Kematian dapat terjadi sebagai akibat:
1. Bunuh diri (suicide). Hal ini jarang terjadi karena sulit untuk memasukkan benda asing ke
dalam mulut sendiri disebabkan adanya refleks batuk atau muntah. Umumnya korban adalah
penderita sakit mental atau tahanan.
2. Pembunuhan (homicidal choking). Umumnya korban adalah bayi, orang dengan fisik
lemah atau tidak berdaya.
3. Kecelakaan {accidental choking). Pada bolus death yang terjadi bila tertawa atau menangis
saat makan, sehingga makanan tersedak ke dalam saluran pernapasan. Mungkin pula terjadi
akibat regurgitasi makanan yang kemudian masuk ke dalam saluran pernapasan.
Pada pemeriksaan jenazah dapat ditemukan tanda-tanda asfik-a baik pada pemeriksaan luar
maupun pembedahan jenazah. Dalam rongga mulut (orofaring atau laringofaring) ditemukan
sumbatan berupa sapu tangan, kertas koran, gigi palsu, bahkan pernah atemukan arang, batu
dan sebagainya. Bila benda asing tidak ^temukan, cari kemunginan adanya tanda kekerasan
yang diaki-atkan oleh benda asing.
€NCEKIKAN {MANUAL STANGULATION)
Pencekikan adalah penekanan leher dengan tangan, yang me-ecabkan dinding saluran napas
bagian atas tertekan dan terjadi enyempitan saluran nafas sehingga udara pernafasan tidak
dapat e.'.at.
Mekanisme kematian pada pencekikan adalah :
1. Asfiksia.
2. Refleks vagal, terjadi sebagai akibat rangsangan pada reseptor nervus vagus pada corpus
caroticus (carotid body) di percabangan arteri karotis interna dan eksterna. Refleks vagal ini
jarang sekali terjadi.
Pada pemeriksaan jenazah ditemukan perbendungan pada -^ka dan kepala karena turut tertekan
pembuluh darah vena dan teri yang superfisial, sedangkan arteri vertebralis tidak terganggu.
Tanda-tanda kekerasan pada leher ditemukan dengan dis-ousi berbeda-beda, tergantung pada
cara mencekik: Luka-luka ecet pada kulit, berupa luka lecet kecil, dangkal, berbentuk bulan abit
akibat penekanan kuku jari.
Luka-luka memar pada kulit, bekas tekanan jari, merupakan petunjuk berharga untuk
menentukan bagaimana posisi tangan pada saat mencekik. Akan menyulitkan bila terdapat
memar subkutan luas, sedangkan pada permukaan kulit hanya tampak memar berbintik.
Memar atau perdarahan pada otot-otot bagian dalam leher, dapat terjadi akibat kekerasan
langsung. Perdarahan pada otot ster-nokleido-mastoideus dapat disebabkan oleh kontraksi
yang kuat pada otot tersebut saat korban melawan.
Fraktur pada tulang lidah (os hyoid) dan kornu superior rawan gondok yang unilateral lebih
sering terjadi pada pencekikan, namun semuanya tergantung pada besar tenaga yang
dipergunakan saat pencekikan. Patah tulang lidah kadang-kadang merupakan satu-satunya
bukti adanya kekerasan, bila mayat sudah lama dikubur sebelum diperiksa.
Pada pemeriksaan jenazah, bila mekanisme kematian adalah asfiksia, maka akan ditemukan
tanda-tanda asfiksia. Tetapi bila mekanisme kematian adalah refleks vagal, yang menyebabkan
jantung tiba-tiba berhenti berdenyut, sehingga tidak ada tekanan in-travaskular untuk dapat
menimbulkan perbendungan, tidak ada perdarahan petekial, tidak ada edema pulmoner dan pada
otot-otot leher bagian dalam hampir tidak ditemukan perdarahan. Diagnosis kematian akibat
refleks vagal hanya dapat dibuat pereksklusionam.
PENJERATAN (STRANGULATION)
Penjeratan adalah penekanan benda asing berupa tali, ikat pinggang, rantai, stagen, kawat,
kabel, kaos kaki dan sebagainya, melingkari atau mengikat leher yang makin lama makin kuat,
se-hingga saluran pernapasan tertutup.
Berbeda dengan gantung diri yang biasanya merupakan suicide (bunuh diri) maka
penjeratan biasanya adalah pembunuhan.
Mekanisme kematian pada penjeratan adalah akibat asfiksia atau refleks vaso-
vagal (perangsangan reseptor pada carotid body).
Pada gantung diri, semua arteri di leher mungkin tertekan, sedangkan pada penjeratan, arteri
vertebralis biasanya tetap paten. Hal ini disebabkan oleh karena kekuatan atau beban yang
menekan pada penjeratan biasanya tidak besar.
Jerat. Bila jerat masih ditemukan melingkari leher, maka jerat tersebut harus disimpan dengan
baik sebab merupakan benda bukti dan dapat diserahkan kepada penyidik bersama-sama
dengan Visum et Repertum nya.
Terdapat dua jenis simpul jerat, yaitu simpul hidup (lingkar jerat dapat diperbesar atau
diperkecil) dan simpul mati (lingkar jerat tidak dapat diubah). Simpul harus diamankan dengan
melakukan pengikatan dengan benang agar tidak berubah pada waktu mengangkat jerat. Untuk
melepaskan jerat dari leher, jerat harus digunting serong .angan melintang) pada tempat yang
berlawanan dari letak simpul, sehingga dapat direkonstruksikan kembali di kemudian hari.
Kedua -, jng jerat harus diikat sehingga bentuknya tidak berubah.
Jejas jerat Jejas jerat pada leher biasanya mendatar, melingkari leher dan terdapat lebih
rendah daripada jejas jerat pada kasus gantung. Jejas biasanya terletak setinggi atau di bawah
rawan gondok.
Keadaan jejas jerat pada leher sangat bervariasi. Bila jerat -nak dan lebar seperti handuk atau
selendang sutera, maka jejas -iungkin tidak ditemukan dan pada otot-otot leher sebelah dalam
aapat atau tidak ditemukan sedikit resapan darah. Tali yang tipis seperti kaus kaki nylon akan
meninggalkan jejas dengan lebar tidak eoih dari 2-3 mm.
Pola jejas dapat dilihat dengan menempelkan transparant scotch tape pada daerah jejas di leher,
kemudian ditempelkan pada «aca obyek dan dilihat dengan mikroskop atau dengan sinar ultra .
olet.
Bila jerat kasar seperti tali, maka bila tali bergesekan pada saat orban melawan akan
menyebabkan luka lecet di sekitar jejas jerat, .ang tampak jelas berupa kulit yang mencekung
berwarna coklat dengan perabaan kaku seperti kertas perkamen (luka lecet tekan). 3ada otot-otot
leher sebelah dalam tampak banyak resapan darah. Cara kematian dapat berupa:

1. Bunuh diri (self strangulation). Hal ini jarang dan menyu- lit-kan diagnosis. Pengikatan
dilakukan sendiri oleh korban dengan simpul hidup atau bahan hanya dililitkan saja, dengan
jumlah lilitan lebih dari satu.
2. Pembunuhan. Pengikatan biasanya dengan simpul mati dan sering terlihat bekas luka pada
leher.
3. Kecelakaan. Dapat terjadi pada orang yang sedang bekerja
dengan selendang di leher dan tertarik masuk ke mesin.
GANTUNG (HANGING)
Kasus gantung hampir sama dengan penjeratan. Perbedaannya terdapat pada asal tenaga
yang dibutuhkan untuk memperkecil lingkaran jerat.
Pada penjeratan, tenaga tersebut datang dari luar, sedangkan pada kasus gantung, tenaga
tersebut berasal dari berat badan korban sendiri, meskipun tidak perlu seluruh berat badan
digunakan. Mekanisme kematian pada kasus gantung:
1. Kerusakan pada batang otak dan medulla spinalis. Hal
ini terjadi akibat dislokasi atau fraktur vertebra ruas leher, misalnya pada judicial
hanging (hukum gantung).
Terhukum dijatuhkan dari ketinggan 2 meter secara mendadak dengan "menghilangkan"
tempat berpijaknya sehingga mengakibatkan terpisahnya C2-C3 atau C3-C4, yang juga terjadi
akibat terdorong oleh simpul besar yang terletak pada sisi leher. Medula spinalis bagian atas
akan ter-tarik/teregang atau terputar dan menekan medula oblong-ata. Kadang-kadang medula
oblongata pada batas pons terputar sehingga mennyebabkan hilang kesadaran, sedangkan
denyut jantung dan pernapasan masih berlangsung sampai 10-15 menit.
Pada autopsi sering ditemukan adanya faring yang terluka dan biasanya tidak ada
perbendungan, sedangkan arteri karotis terpu tar sebagian atau seluruhnya.
2. Asfiksia akibat terhambatnya aliran udara pernapasan.
3. Iskemia otak akibat terhambatnya aliran arteri-arteri leher.
4. Refleks vagal.
Kasus gantung biasanya merupakan kasus bunuh diri (gantung diri) meskipun kasus
pembunuhan kadang-kadang dilaporkan, yaitu untuk menunjukan kesan seolah-olah si
korban bunuh diri dengan maksud untuk menghilangkan jejak pembunuhan. Posisi korban
pada kasus gantung diri:
1. Kedua kaki tidak menyentuh lantai (complete hanging).
2. Duduk berlutut (biasanya menggantung pada daun pintu).
3. Berbaring (biasanya di bawah tempat tidur). Diketahui terdapat beberapa jenis gantung diri:
1. Typical hanging, terjadi bila titik gantung terletak di atas darah oksiput dan tekanan
pada arteri karotis paling besar.
2. Atypical hanging, bila titik penggantungan terdapat di samping, sehingga leher dalam posisi
sangat miring (fleksi lateral) yang akan mengakibatkan hambatan pada arteri karotis dan arteri
vertebralis. Saat arteri terhambat, korban segera tidak sadar.
3. Kasus dengan letak titik gantung di depan atau dagu.
Pada pemeriksaan jenazah, kelainan pada autopsi tergantung pada apakah arteri pada leher
tertutup atau tidak. Bila jerat kecil dan keras maka terjadi hambatan total arteri sehingga muka
akan tampak pucat dan tidak terdapat petekie pada kulit maupun konjungtiva.
Bila jerat lebar dan lunak maka hambatan hanya terjadi pada saluran pernapasan dan pada aliran
vena dari kepala ke leher, sehingga akan tampak perbendungan pada daerah sebelah atas ikatan.
Kadangkadang perbendungan akan dialirkan melalui pleksus vena vertebralis yang tidak begitu
mudah tertekan seperti sistem vena jugularis, meskipun pengikatan tetap atau tidak berubah.
Pada keadaan di atas, darah tidak terkumpul di otak, se-pangkan pada kulit dan konjungtiva
masih terdapat petekie yang -erupakan akibat terkumpulnya darah ekstra-vaskular.
Jejas jerat relatif terletak lebih tinggi pada leher dan tidak menatar, melainkan lebih meninggi
di bagian simpul, kulit men- cekung • i dalam sesuai dengan bahan penjeratnya, berwarna
coklat, perabaan kaku, dan akibat bergesekan dengan kulit leher, maka =ada tepi jejas dapat
ditemukan luka lecet.
Kadang-kadang pada tepi jejas jerat akan terdapat sedikit perdarahan, sedangkan pada jaringan
bawah kulit dan otot-otot sebelah padam terdapat memar jaringan. Namun ini tidak selalu terjadi,
untuk fcj perlu dilakukan pemeriksaan mikroskopik untuk melihat reaksi .•-.al pada jaringan di
bawah jejas untuk menentukan apakah jejas terjadi pada waktu orang masih hidup atau setelah
meninggal.
Patah tulang lidah atau rawan gondok atau keduanya tidak sering terjadi pada kasus gantung.
Rawan gondok biasanya patah pada persambungan kornu superior dengan lamina sedangkan
tulang lidah patah pada atau dekat persambungan taju dan korpus. Fraktur biasanya diliputi se-
dikit
perdarahan.
Distribusi lebam mayat pada kasus gantung, mengarah ke pawah yaitu pada kaki, tangan dan
genitalia eksterna, bila korban T gantung cukup lama. Pada korban wanita, labium membesar dan
terdapat lebam, sedangkan pada korban laki-laki hal ini terjadi pada skrotum. Penis dapat tampak
seolah mengalami ereksi akibat terkumpulnya darah, sedangkan semen keluar karena relaksasi
otot sf.ngter post mortal.
Asfiksia seksual terjadi pada kasus deviasi seksual yang -enggunakan cara gantung atau jerat
untuk mendapatkan kepuasan, yang karena terlambat mengendurkan tali atau sukar memaskan
diri sesudah tercapai keadaan penurunan kesadaran. Kor-pan biasanya lelaki, pasca adolesens
dan ditemukan tanda penyimpangan seksual lain.
Efek lanjut penekanan saluran pernapasan. Bila korban masih hidup setelah penjeratan, sebagai
akibat perbendungan, maka perdarahan petekie akan menetap selama beberapa hari. Se-pangkan
jejas jerat akan membengkak dan terbentuk kulit keras zada epidermis yang telah terkikis.
Keadaan ini akan menghilang setelah 1-2 minggu. Luka pada laring akan menimbulkan kesulitan
menelan karena nyeri, dan suara serak selama beberapa hari sampai peberapa minggu. Patah tulang
akan menyembuh. Hipoksia serebral ■ ang menimbulkan koma, dapat bersifat menetap
(irreversible), yang bila sembuh akan meninggalkan gejala sisa seperti psikosis, ke-ainan
neurologik, dan lain-lain.
Pemeriksaan di Tempat Kejadian Perkara (TKP) untuk memperkirakan cara
kematian memberikan gambaran:
Pembunuhan Bunuh Diri
Alat penjerat:
simpul biasa simpul mati simpul hidup
jumlah lilitan hanya satu satu atau lebih
arah mendatar serong ke atas
jarak ttk tumpu dekat jauh
-simpul
Korban:
jejas jerat berjalan mendatar meninggi ke arah simpul
luka perlawanan + -
luka-luka lain ada, sering di dae- biasanya tidak ada,
rah leher mungkin terdapat luka
percobaan lain.
jarak dari lantai jauh dekat, dapat tidak ter-
gantung
TKP:
Lokasi bervariasi tersembunyi
Kondisi tidak teratur teratur
Pakaian tak teratur, robek.
Rapi dan baik
Alat: dari si pembunuh Berasal dari yang ada di
TKP
Surat peninggalan: - +
Ruangan: tak teratur, terkunci terkunci dari dalam
dari luar
ASFIKSIA TRAUMATIK
Kematian akibat asfiksia traumatik terjadi karena penekanan dari luar pada dinding dada yang
menyebabkan dada terfiksasi dan menimbulkan gangguan gerak pernapasan; misalnya
tertimbun pasir, tanah, runtuhan tembok atau tergencet saat saling berdesakan. Mekanisme
kematian dapat diakibatkan oleh kegagalan pernapasan dan sirkulasi. Pada mayat ditemukan
sianosis dan bendungan hebat.
Perbendungan pada muka menyebabkan muka membengkak dan penuh dengan petekie, edema
konjungtiva dan perdarahan sub-konjungtiva. Petekie terdapat pula pada leher, bokong dan
kaki. TENGGELAM (DROWNING)
Diagnosis kematian akibat tenggelam kadang-kadang sulit ditegakkan, bila tidak dijumpai tanda yang
khas baik pada pemeriksaan luar atau dalam. Pada mayat yang ditemukan terbenam dalam air, perlu
pula diingat bahwa mungkin korban sudah meninggal sebelum masuk ke dalam air.
Keadaan sekitar individu penting. Tenggelam tidak hanya terbatas di dalam air dalam
seperti laut, sungai, danau atau kolam renang, tetapi mungkin pula terbenam dalam
kubangan atau selokan dengan hanya muka yang berada di bawah permukaan air.
Tenggelam biasanya didefinisikan sebagai kematian akibat -a:, lemas (asfiksia) disebabkan
masuknya cairan ke dalam saluran ze-napasan. Sebenarnya istilah tenggelam harus pula
mencakup D-cses yang terjadi akibat terbenamnya korban dalam air yang me--\ebabkan
kehilangan kesadaran dan mengancam jiwa.
Beberapa istilah drowning
1. Wet drowning. Pada keadaan ini cairan masuk ke dalam saluran pernapasan setelah
korban tenggelam.
2. Dry drowning. Pada keadaan ini cairan tidak masuk ke dalam saluran pernapasan,
akibat spasme laring.
3. Secondary drowning. Terjadi gejala beberapa hari setelah korban tenggelam (dan diangkat
dari dalam air) dan korban meninggal akibat komplikasi.
4. Immersion syndrome. Korban tiba-tiba meninggal setelah tenggelam dalam air dingin
akibat refleks vagal. Alkohol dan makan terlalu banyak merupakan faktor pencetus.
Tenggelam dalam air tawar
Pada keadaan ini terjadi absorpsi cairan yang masif. Karena konsentrasi elektrolit dalam air
tawar lebih rendah daripada kon-se-:rasi dalam darah, maka akan terjadi hemodilusi darah,
air masuk ce dalam aliran darah sekitar alveoli dan mengakibatkan pecahnya se darah merah
(hemolisis).
Akibat pengenceran darah yang terjadi, tubuh mencoba mengaisi keadaan ini dengan
melapaskan Ion kalium dari serabut otot antung sehingga kadar ion Kalium dalam plasma
meningkat, terjadi pe-jbahan keseimbangan ion K+ dan Ca++ dalam serabut otot jan--_-g dapat
mendorong terjadinya fibrilasi ventrikel dan penurunan K*anan darah, yang kemudian
menyebabkan timbulnya kematian »cbat anoksia otak. Kematian terjadi dalam waktu 5 menit.
Tenggelam dalam air asin (hipertonik)
Konsentrasi elektrolit cairan air asin lebih tinggi daripada dalam zarah, sehingga air akan
ditarik dari sirkulasi pulmonal ke dalam a'ngan interstisial paru yang akan menimbulkan
edema pulmoner, -e-.okon sentrasi, hipovolemi dan kenaikan kadar magnesium da-am
darah. Hemokonsentrasi akan mengakibatkan sirkulasi menjadi a~.bat dan menyebabkan
terjadinya payah jantung. Kematian terjadi «.ra-kira dalam waktu 8-9 menit setelah
tenggelam. Mekanisme kematian pada korban tenggelam
1. Asfiksia akibat spasme laring.
2. Asfiksia karena gagging dan choking.
3. Refleks vagal.
4. Fibrilasi ventrikel (dalam air tawar).
5. Edema pulmoner (dalam air asin).
Pada pemeriksaan mayat akibat tenggelam, pemeriksaan harus seteliti mungkin agar
mekanisme kematian dapat ditentukan, karena seringkali mayat ditemukan sudah dalam
keadaan membusuk. Hal penting yang perlu ditentukan pada pemeriksaan adalah :
1. Menentukan identitas korban.
Identitas korban ditentukan dengan memeriksa antara lain:
a. Pakaian dan benda-benda milik korban.
b. Warna dan distribusi rambut dan identitas lain.
c. Kelainan atau deformitas dan jaringan parut.
d. Sidik jari.
e. Pemeriksaan gigi.
f. Teknik identifikasi lain.

Anda mungkin juga menyukai