Kata kunci : pendarahan uterus abnormal, ablasi endometrium, pendarahan berat yang tidak
teratur, pendarahan menstruasi berlebih
Pendahuluan
Pendarahan uterus abnormal (PUA) adalah salah satu gejala klinis ginekologik yang
paling sering membuat wanita datang ke palayanan kesahatan.1,2 Prevalensi terjadinya
pendarahan uterus yang hebat dan tidak teratur mengalami peningkatan, hal ini disebabkan
adanya peningkatan prevalensi obesitas dan polycystic ovarian syndrome (PCOS) yang
berhubungan dengan disfungsi ovulasi.3 Wanita dengan PUA yang gagal pada terapi medika
mentosa atau memiliki kontraindikasi untuk dilakukan terapi secara medikamentosa, dapat
dilakukan terapi bedah seperti ablasi endometrial dan histerektomi..4-6 Ablasi endometrial
merupakan terapi yang efektik untuk PUA-E, dimana pendarahan disebabkan karena disfungsi
hemostatik endometrial. Namun, studi mengenai ablasi endometrial mengeksklusi wanita dengan
pola pendarahan yang dicurigai berasal dari disfungsi ovulasi PUA-O sehinnga efektivitas ablasi
endometrial pada PUA-O belum bisa ditegakan. Wanita dengan PUA-O memiliki risiko yang
lebih tinggi untuk gagal dalam pengobatan dibandingkan dengan PUA-E, hal ini disebabkan
akibat dari proliferasi endometrium yang tetap berlangsung karena ablasi tidak mendestruksi
endometrium secara keseluruhan. Ablasi endometrium tidak direkomendasikan sebagai terapi
lini pertama untuk PUA-O,6 namun terapi ini dilakukan pada populasi penelitian ini dengan
dilakukannya konseling terlebih dahulu mengenai keuntungan dan risiko tindakan tersebut.
Peningkatan prevalensi obesitas dapat memberikan data klinis yang lebih baik mengenai
hasil dari terapi ablasi endometrial untuk wanita dengan PUA-O. Tujuan dari studi ini adalah
untuk menentukan pola pendarahan dan karakteristik pre-operatif berhubungan dengan risiko
kegagalan terapi dan tindakan ginekologik lanjutan setelah ablasi endometrial. Hipotesa kami
adalah wanita dengan pendarahan yang hebat dan tidak teratur suspek PUA-O memiliki angka
kegagalan terapi dan dilakukannya tindakan ginekologik lanjutan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan wanita dengan pendarahan yang hebat dan teratur suspek PUA-E.
Metode Penelitian
Studi kohort retrospektif ini menginklusi pasien dengan riwayat ablasi endometrium yang
pertama dari Januari 2007 sampai Juni 2009 di rumah sakit Ibu dan anak. Peneliti mengeksklusi
wanita yang pernah dilakukan ablasi endometriium sebelumnya. Studi ini disetujui oleh
Institutional Review Board of Women and Infants Hospital (no. 12-0051). Peneliti
mengumpulkan data demografik, riwayat pengobatan, pola pendarahan pre-operatif, dan
informasi bedah dari rekam medis rumah sakit. Variabel independent yang utama adalah pola
pendarahan pre-operatif ( berat, dan tidak teratur atau berat dan teratur) ditentukan dengan
dokumentasi pada rekam medis di rumah sakit dan dalam anamnesa dan pemeriksaan fisik
sebelum operasi. Diagram digunakan saat pola pendarahan tidak dapat diklasifikasikan dengan
informasi dari rekam medis. Untuk mencegah kesalahan pengertian dari istilah seperti
mennorrhagia, menometrorrhagia dan pendarahan uterus disfungsional, peneliti tidak
menggunakan istilah tersebut untuk menentukan teratur tidaknya pendarahan. Contoh dari istilah
yang menandakan suatu pendarahan teratur adalah teratur, setiap bulan, dapat di prediksi, siklik
atau muncul pernyataan pendarahan muncul dari hari X ke hari Y. Contoh dari istilah yang yang
menunjukan pendarahan yang tidak teratur adalah, tidak teratur, tidak dapat diprediksi, tidak
menentu, disfungsi ovulasi atau anovulasi.
Variabel dipenden yang utama yaitu kegagalan terapi, didefinisikan sebagai histerektomi
yang dilakukan dengan indikasi ringan atau ablasi endometrium berulang setealh 36 bulan
dilakukannya ablasi endometrium yang pertama. Variable dependen yang kedua ialah tindakan
ginekologik lanjutan seperti biopsi endometrium, dilatasi dan kuretase, histeroskopi dan
pengulangan ablasi atau histerektomi setelah 36 bulan ablasi endometrium yang pertama.
Untuk perhitungan sampel, peneliti mengasumsikan alpha ¼ 0.05 dan beta ¼ 0.2.
Peneliti mengestimasi ukuran sampel yang diperlukan untuk ratio 1:1 sampai 3:1 untuk wanita
dengan pendarahan yang berat dan teratur dibanding dengan wanita dengan pendarahan berat dan
tidak teratur.Estimasi kegagalan terapi mencapai 15% dalam 3 tahun setelah ablasi endometrial
pada wanita dengan pendarahan yang berat dan teatur berdasarkan dengan studi sebelumnya.7,8
peneliti menentukan perbedaan pada kegagalan terapi yang dapat dideteksi pada setiap kelompok
yaitu 10%. Berdasarkan asumsi tadi, mana sampel yang dibutuhkan adalah 560 pasien dengan
data yang daoat dianalisa. Untuk mengantisipasi data yang hilang pada studi kohort retrospektif
ini, peneliti menggunakan 960 data rekam medis. Variabel kategorik dibandingkan dengan
metode C2 atau tes Fisher exact. Variabel kontinu dibandingan antar kelompok dengan tes
Student t atau tes Wilcoxon rank-sum. Regresi logistik multipel digunakan untuk mengestimasi
odds ratios dan 95% confidence intervals (CIs) untuk kumpulan variabel denganhasil akhir
kegagalan pengobatan. Semua nilai P dalam penelitian ini adalah 2 tailed dengan P<0.5 dinilai
signifikan secara statistik.
Hasil
Terdapat 968 data wanita yang dilakukan ablasi endometrium dalam rentang waktu studi
dan dapat dimasukan dalam studi ini. Sembilan ratus enam puluh (99.3%) pasien dilakukan
ablasi endomtrium radiofrequency bipolar. Dua ratus sembilan puluh tiga wanita masuk dalam
kelompok pendarahan yang berat dan teratur dan 352 wanita masuk dalam kelompok pendarahan
berat dan tidak teratur. Pola pendarahan dari 286 wanita (29.5%) tidak dapat
diklasifikasikan.tidak ada perbedaan yang signifikan secara demografis dan karakteristik klinis
antara wanita dengan pola pendarahan yang berbeda (Tabel 1).
Wanita dengan riwayat ligasi tuba memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami
kegagalan berobat setelah ablasi endometrial dibandingkan dengan wanita yang tidak memiliki
riwayat ligasi tuba (16.4% vs 9.0%, P ¼ .0008) (Tabel 3).
Tabel 3, karakteristik preoperatif dan tindakan ginekologi lanjutan a, kegagalan terapi b
Wanita yang memiliki dismenorrhea pre-operatif atau nyeri pelvis atau obesitas memiliki
risiko yang lebih tinggi untuk mengalami kegagalan berobat setelah dilakukannya ablasi
endometrium. (21.8% vs 10.7%, P ¼.002 and 16.7% vs 9.8%, P ¼ .003). Insiden dilakukannya
tindakan ginekologik setelah 36 bulan ablasi endometrium juga lebih tinggi pada pasien yang
memiliki riwayat ligasi tuba, nyeri pelvis pre-operatif dan obesitas (Tabel 3). Regresi logistik
multipel dilakykan untuk mengestimasi kegagalan berobat dan tindakan ginekologi lanjutan.
Pola pendarahan uterus pre-operatif dan faktor lain diasosiasikan dengan variabel dependen
dalam analisis univariate. Kemungkinan kegagalan terapi pada wanita dengan pendarahan yang
hebat dan teratur tidak meningkat secara signifikan dibandingkan dengan wanita dengan
pendarahan hebat dan tidak teratur (adjusted OR [aOR], 1.07; 95% CI, 0.65e1.74). Namun
sejalan dengan analisis univariat pada penelitian ini, peneliti mengidentifikasi faktor lain yang
memperangruhi dengan kegagalan terapi. Dibandingkan dengan wanita tanpa riwayat ligasi tuba,
wanita dengan riwayat ligasi tuba memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk mendapatkan
kegagalan terapi dan tindakan ginekologik lanjutan. (aOR, 1.94; 95% CI, 1.30e2.91, aOR, 1.71;
95% CI, 1.20e2.43, respectively). Wanita dengan nyeri pelvis atau obesitas juga memiliki
kemungkinan meningkatnya kegagalan terapi dan tindakan ginekologik lanjutan. (aOR, 2.42;
95% CI, 1.44e4.06 and aOR, 1.93; 95% CI, 1.20e3.13 untuk nyeri, aOR, 1.82; 95% CI,
1.21e2.73 dan aOR, 1.75; 95% CI, 1.22e2.50 untuk obesitas) (tabel 4)
Untuk mencegah terjadinya bias, yang dapat menuju kepada temuan yang palsu mengenai
hubungan antar kelompok studi, peneliti menggunakan kriteria stringent terstandarisasi untuk
klasifikasi pola pendarahan dan pola pendarahan hanya ditentukan oleh peneliti utama. Bias
dalam penyeleksian sampel dihindari dengan pengumpulan semua data ablasi endometrium yang
dilakukan di institusi kamu dalam rentang waktu yang sama, dan bias pemastian dapat dihindari
dengan menentukan pola pendarahan sebelum mengumpulkan data pada tindakan lanjutan
ginekologi atau menggunakan personel terpisah untuk mengklasifikasi variabel independent dan
dependent. Peneliti tidak mampu dalam menilai kepuasan daln kualitas hidup pasien setelah
dilakukan ablasi dengan desain studi ini. Rekam medis memiliki kurangnya detil untuk
mengklasifikasikan pola pendarahan pada 33% pasien, namun dengan jumlah sampel yang besar,
peneliti mampu membandingkan pola wanita dengan pendarahan hebat teratur dan hebat tidak
teratur. Peneliti juga tidak mengumpulkan data mengenai terapi medikamentosa
lanjutan(kontrasepsi oral atau levonorgestrel intrauterine) untuk mengatasi pendarahan atau nyeri
yang mungkin berpengaruh terhadap kegagalan. Terakhir, karena 99.3% ablasi endometrium
pada institusi kami dilakukan dengan menggunakan radiofrequency bipolar, penemuan kami
tidak dapat digeneralisir dengan tipe ablasi endometrium yang lain. Kekhawatiran dalam
melakuan ablasi endometrial pada wanita dengan PUA-O tidak hanya hasil yang kurang
memuaskan namun juga menjadi sulit untuk mengevaluasi perkembangan hiperplasia
endometrium dan kanker pada wanita setelah dilakukan ablasi. Paparan esterogen yang
berlangsung kronis pada pasien dengan obesitas, policystic ovarian syndrome, dan PUA-O
kronis meningkatkan risiko terjadinya hiperplasia endometrium dan kanker. Salah satu studi oleh
Dood et al13 membahas mengenai ini namun gagal menunjukan adanya perbedaan dalam
insidensi kanker endometrium dan rentang waktu dari pengobatan hingga diagnosis kanker pada
wanita dengan PUA yang dilakukan ablasi dan wanita dengan PUA yang diberikan terapi medika
mentosa. Namun demikian, evaluasi pasien PUA setelah dilakukan ablasi dan risiko hiperplasia
masih menjadi kekhawatiran utama pada wanita dengan PUA-O. hasil dari studi ini tidak
menunjukan bahwa ablasi endometrial merupakan opsi terbaik untuk pasien dengan PUA-O
namun penelitian ini menunjukan bahwa pada wanita dengan PUA-O yang dipilih dengan hati-
hati melalui pertimbangan klinis dan diberikan konseling mengenai risikonya, terapi ablasi dapat
masuk kedalam pilihan terapi. American College of Obstetricians and Gynecologists
mengatakan bahwa wanita dengan pendarahan uterus tanoa ovulasi merupakan kandidat untuk
6
dilakukannya ablasi endometrial jika gagal dalam terapi medikamentosa.” seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya adanya kemungkinan pasien dengan PUA-O dan berbagai faktor risiko
untuk hiperplasia endometrium diarahkan kepada opsi lain selain ablasi endometrium.
Kesimpulam dari penelitian ini adalah tidak ada perbedaan angka kegagalan setelah
dilakukannya ablasi endometrium pada wanita dengan pendarahan hebat yang teratur dan wanita
dengan pendarahan hebat yang tidak teratur. Wanita dengan riwayat ligasi tuba, nyeri pelvis dan
obesitas memiliki peningkatan kemungkinan utuk kegagalan terapi. Hasil dari penelitian ini
mendukung ablasi endometrium merupakan terapi yang dapat digunakan pada wanita dengan
pendarahan berat yang tidak teratur (PUA-O) yang gagal atau memiliki kontraindikasi dalam
terapi medikamentosa dan ingin menghindari kemungkinan dilakukannya histerektomi.
Pemahaman yang lebih baik mengenai kegagalan terapi dan tindakan ginekologi lanjutan setelah
ablasi endometrium dapat memberikan informasi yang lebih baik pula pada wanita dengan PUA
yang berobat.
Daftar Pustaka
1. Oehler MK, Rees MC. Menorrhagia: an update. Acta Obstet Gynecol Scand 2003;82: 405-22.
2. Liu Z, Doan QV, Blumenthal P, Dubois RW. A systematic review evaluating health-related
quality of life, work impairment, and health care costs and utilization in abnormal uterine
bleeding. Value Health 2007;10:173-82.
3. Committee on Practice Bulletins—Gynecology. Practice bulletin no. 136: management of
abnormal uterine bleeding associated with ovulatory dysfunction. Obstet Gynecol
2013;122:176-85.
4. Dickersin K, Munro MG, Clark M, et al; Surgical Treatments Outcomes Project for
Dysfunctional Uterine Bleeding (STOP-DUB) Research Group. Hysterectomy compared with
endometrial ablation for dysfunctional uterine bleeding: a randomized controlled trial. Obstet
Gynecol 2007;110:1279-89.
5.Matteson KA, Abed H, Wheeler TL 2nd; Society of Gynecologic Surgeons Systematic
Review Group. A systematic review comparing hysterectomy with less-invasive treatments
for abnormal uterine bleeding. J Minim Invasive Gynecol 2012;19:13-28.
6. American College of Obstetricans and Gynecologists. Endometrial ablation. ACOG Practice
bulletin no. 81; 2007.
7. El-Nashar SA, Hopkins MR, Creedon DJ, Cliby WA, Famuyide AO. Efficacy of bipolar
radiofrequency endometrial ablation vs. thermal balloon ablation for management of
menorrhagia: a population-based cohort. J Minim Invasive Gynecol 2009;16:696-9.
8. Penninx JPM, Herman MV, Mol BW, Bongers MY. Five-year follow-up after comparing
bipolar endometrial ablation with HTA for menorrhagia. Obstet Gynecol 2011;118: 1287-92.
9. Sharp HT. Endometrial ablation: postoperative complications. Am J Obstet Gynecol
2012:242-7.
10. Madsen A, El-Nashar SA, Hopkins MR, Khan Z, Famuyide AO. Endometrial ablation for the
treatment of heavy menstrual bleeding in obese women. Int J Gynaecol Obstet 2013;121: 20-
3.
11. Fakih M, Cherfan V, Abdallah E. Success rate, quality of life, and descriptive analysis after
generalized endometrial ablation in an obese population. Int J Gynaecol Obstet 2011;113:
120-3.
12. MPI Data hub. Rhode Island Social and Demographic Characteristics 2009. Available at:
http://www.migrationinformation.org/datahub/ state.cfm?ID¼RI. Accessed March 16, 2012.
13. Dood RL, Gracia CR, Sammel MD, Haynes K, Senapati S, Strom BL. Endometrial cancer
after endometrial ablation vs medical management of abnormal uterine bleeding. J Minim
Invasive Gynecol 2014 [Epub ahead of print].