Segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, shalawat
serta salam terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para
Tiada gading yang tak retak, begitu pun referat ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya dan
mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Semoga referat ini dapat
menambah wawasan dan bermanfaat bagi penulis dan pihak yang bersangkutan.
Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
Lien merupakan organ yang paling sering cedera pada saat terjadi
trauma tumpul abdomen atau trauma toraks kiri bagian bawah. Ruptur lien
hebat. Lien mendapat vaskularisasi yang banyak, yaitu dilewati kurang lebih 350
liter darah per harinya yang hampir sama dengan satu kantung unit darah sekali
hidup seseorang.
lalu lintas, terjatuh dari tempat tinggi, pada olahraga luncur atau olahraga kontak,
seperti yudo, karate, dan silat. Trauma lien terjadi pada 25% dari semua trauma
kasar pada laki-laki. Angka kejadian tertinggi pada umur 15-35 tahun. Mengingat
besarnya masalah serta tingginya angka kematian dan kesakitan akibat rupture lien
serta perlunya penanganan segera, maka kami menulis referat yang membahas
yang ada di rongga abdomen. Ruptur pada lien biasanya disebabkan hantaman pada
abdomen kiri atas atau abdomen kiri bawah. Kejadian yang paling sering
Oleh sebab itu, penyusunan referat kasus ini bertujuan untuk menjelaskan
lebih dalam tentang Ruptur Lien dan ditujukan untuk praktisi klinis yang membaca
referat kasus ini. Diharapkan setelah membaca laporan kasus ini, pembaca dapat
sedikit ataupun lebih banyak mengerti tentang Ruptur Lien dan tatalaksananya.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui lebih jauh tentang
1.3 Manfaat
dan penangananannya.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
cedera pada organ berongga berupa perforasi atau pada organ padat berupa perda
-rahan. Cedera deselerasi sering terjadi pada kecelakaan lalu lintas karena setelah
tabrakan badan masih melaju dan tertahan suatu benda keras sedangkan bagian
tubuh yang relatif tidak terpancang bergerak terus dan mengakibatkan robekan pada
menciderai organ limpa, dan usus halus. Sedangkan pada retroperitoneal, organ
yang paling sering cedera adalah ginjal, dan organ yang paling jarang cedera adalah
2.2 Patofsiologi
energi melalui dinding dada posterolateral diatas limpa, atau tuskuan dari fraktur
struktur dankepadatan limpa yang solid, energy yang di transfer ke limpa relative
hasil dari hantaman langsung diatas dinding dada bawah dengan transimis energy
robeknya organ berongga, organ padat, organ viseral dan pembuluh darah,
khususnya pada ujungorgan yang terkena. Contoh pada aorta distal yang
menyebabkan rupture. Situasi yang sama dapat terjadi pada pembuluh darah
ginjal.
columna vertebra atau tulang toraks posterior. Hal ini dapat menyebabkan
organ berongga.
2.3 Klasifikasi
Berdasaran jenis organ yang cedera dapat dibagi dua. Pada organ padat
seperti hepar dan limpa dengan gejala utama perdarahan. Pada organ berongga
seperti usus dan saluran empedu dengan gejala utama adalah peritonitis.
seperti hati, limpa, lambung, colon transversum, usus halus, dan colon sigmoid.
dan vena cava. Trauma pada struktur ini sulit ditegakkan diagnosis berdasarkan
intravenous pyelogram.
2.4 Diagnosis
samping, terserempet, tabrakan dari belakang atau pun terguling), berapa besar
digunakan, ada atu tidaknya airbag. Posisi pasien dalam kendaraan, dan status
harusdiarahkan pada waktu terjadinya trauma, jenis senjata yang digunakan (pisau,
pistol, senapan), jarak dari pelaku (terutama pada shotgun, karena insiden trauma
viscera berkurang bila jarak >3m atau 10 kaki), jumlah tikaman atau tembakan, dan
informasi tambahan harus diperoleh dari pasien mengenai hebatnya maupun lokasi
dari setiap abdominalnya, apakah ada nyeri alih ke bahu (tanda kehr).
2.5 Pemeriksaan Fisik
Tanda fisik yang ditemukan pada ruptur limpa bergantung pada adanya
organ lain yang ikut cedera,banyak sedikitnya perdarahan, dan adanya kontaminasi
mengakibatkan renjatan (syok) hipovolemik hebat yang fetal. Dapat pula terjadi
abdomen secara berulang-ulang oleh pemeriksa yang sama karena yang lebih
penting adalah mengamati perubahan gejala umum (syok, anemia) dan lokal di
perut (cairan bebas, rangsangan peritoneum). Pada rupture yang lambat, biasanya
dengan gambaran seperti ada tumor intraabdomen pada bagian kiri atas yang nyeri
tekan disertai tanda anemia sekunder. Oleh karena itu, menanyakan riwayat trauma
yang terjadi sebelumnya sangat penting dalam menghadapi kasus seperti ini.
- Hematologi
sayuran atau empedu yang keluar melalui tube DPL pada pasien
laparotomi.B ila tidak ada darah segar (<10 cc) ataupun cairan feses,
(+) bilaeri > 100.000/mm3, leuko >500/ mm3, atau pengecatan gram (+)
untuk bakteri.
diidentifikasi dansemikuantitatif.
2.7 Tatalaksana
terapi tanpa pembedahan. CT scan dapat membantu menentukan tata laksana yang
akurat dan menentukan klasifikasi dari beratnya cedera. Indikasi pembedahan lien
adalah hipersplenisme, anemia hemolitik jenis tertentu, kista, abses, ruptur, tumor,
besarnya jumlah darah yang terkandung di dalam organ lien. Curiga ruptur lien
segera dioperasi bila ada tanda meliputi hipotensi (Tekanan darah sistol < 90
mmHg), takikardi (heart rate > 100x/mnt), hematokrit < 30.%, protrombin time >14
detik, cedera multipel dan memerlukan transfusi darah. Agar pajanan adekuat,
dilakukan insisi garis tengah, subkosta kiri, paramedialis atau tranversus. Selain itu,
lambung di dekompresi dengan selang nasogaster agar lapang pandang lebih jelas
Hematom dan robeknya jaringan kapsular lien yang tidak dalam dapat
identifikasi menggunakan CT scan dan radiologi untuk melihat berapa besar cedera
organ tubuh yang terkena. Penatalaksanaan ruptur lien non operatif dilakukan pada
pasien yang sadar, mengalami hemodinamika stabil, dan tanpa adanya cedera serius
pada cedera abdomen. Pada skala I dan II robekan pada kapsul lien cukup aman,
tidak mengenai tubuh trabekular lien dapat dilakukan terapi konservatif. hal-hal
yang perlu diperhatikan pada penatalaksanaan non operatif yaitu: monitoring vital
Splenektomi dilakukan jika terdapat kerusakan lien yang tidak dapat diatasi
traumatik dilakukan untuk cedera pada lien yang menyebabkan perdarahan intra
abdomen. Prosedur ini mengikuti pedoman untuk splenektomi elektif dan digabung
dengan reparasi cedera lain sesuai yang diindikasikan saat laparotomi darurat.
Spelenektomi parsial terdiri atas eksisi satu segmen, dilakukan jika ruptur lien tidak
mengenai hilus dan bagian yang tidak cedera masih vital. Sedangkan splenektomi
total harus selalu diikuti dengan reimplantasi lien yang merupakan suatu
pinggang pada belakang peritoneum dengan harapan lien dapat tumbuh dan
berfungsi kembali.
terbalik dan dengan memiringkan sisi kanan meja operasi ke arah bawah.
subkostal kiri memberikan pemaparan yang baik. Pada kasus trauma abdomen, atau
- Mobilisasi lengkap lien untuk kemudahan ligasi, agar arteri dan vena lienalis dapat
terlihat.
diselesaikan dengan lien dibawa ke insisi abdomen atau pada lien yang masif ke
dinding abdomen. - Ligasi arteri dan vena lienalis yang dekat dengan hilus dengan
jahitan ganda.
- Lien diangkat Pada pasien dengan keadaan hemodinamik tidak stabil, splenektomi
tetap merupakan terapi pilihan. Jika ruptur lien sangat serius (skala V) pemelihan
KESIMPULAN
Ruptur lien sering disebabkan akibat trauma tumpul pada perut bagian atas.
cedera pada organ berongga berupa perforasi atau pada organ padat berupa perda
-rahan. Trauma limpa dapat dihasilkan oleh deselerasi cepat, kompresi, transmisi
energi melalui dinding dada posterolateral diatas limpa, atau tuskuan dari fraktur
costayang berdekatan
sebagai tanda patognomonis. Diagnosis harus segera ditegakkan saat masuk di IGD
dengan mengenali tanda dan gejala serta di dukung alat penunjang diagnostik yang
memadai. USG portable hendaknya harus selalu ada di setiap IGD, karena alat ini
perdarahan intraabdomen.
dipertahankan akibat robekan parenkim yang berat disertai perdarahan aktif yang
hebat.
DAFTAR PUSTAKA
Gouhua Li, Susan P. Baker. Injury Research Theories, methodes and approaches.
Sander, Mochamad Aleq. 2013. Kasus Serial Ruptur Lien Akibat Trauma
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/keperawatan/article/vie w/2377/3216 .