Anda di halaman 1dari 30

Fraktur Tibia Fibula

1. Konsep Dasar Fraktur


1.1. Pengertian Fraktur
Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang (Doenges, 2000 ; 761).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, retak atau patahnya tulang yang utuh, yang
biasanya disebabkan oleh trauma/rudapaksa atau tenaga fisik yang ditentukan jenis dan luasnya
trauma (Lukman dan Nurna, 2009; 26).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Sjamsuhidayat, 2005; 840).
Fraktur adalah patahnya kontinuitas tulang yang terjadi ketika tulang tidak mampu lagi
menahan tekanan yang diberikan kepadanya (Donna L. Wongg, 2004 ; 625).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya,
fraktur terjadi jika tulang dikenai stres yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya (Brunner
dan Suddarth, 2002: 2357).
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik ( Price dan
Wilson, 1995 ;1183).
Berdasarkan pengertian fraktur di atas maka penulis menyimpulkan bahwa fraktur adalah
terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang terjadi ketika tekanan pada tulang lebih kuat dari
pada pertahanan tulang tersebut, sehingga mengakibatkan gangguan pada sistem
muskuloskeletal.

1.2. Klasifikasi Fraktur


Lukman dan Nurna Ningsih (2009 : 27) mengatakan bahwa ada lebih dari 150 klasifikasi
fraktur, yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini yang merupakan klasifikasi fraktur menurut
para ahli.
Tabel 1.1
klasifikasi fraktur
Price Sjamsuhidayat(1995) Doenges Reeves Smeltzer
(1995) (2000) (2001) (2002)
Transversal Tertutup Incomplete Tertutup Komplit
Oblik Terbuka Complete Terbuka Tidak
Spiral Fisura Tertutup Komplit komplit
Segmental Serong Sederhana Terbuka Retak tak Tertutup
Impaksi Lintang Sederhana patologis komplit Terbuka
Patologik Kominutif Oblik Greenstick
Greenstick Segmental Spiral Transversal
Avulsi Dahan hijau Transversal Oblik
Sendi Kompresi Segmental Spiral
Beban Impaksi kominutif Kominutif
lainnya Impresi Depresi
patologis Kompresi
Patologik
Avulsi
Epifiseal
impaksi
Sumber: Lukman dan Ningsih, Nurna. (2009; 27). Asuhan Keperawatan Pada Klien
DenganGangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika

Patah tulang dapat dibagi menurut ada tidaknya hubungan antara patah tulang dengan
dunia luar, yaitu patah tulang tertutup dan patah tulang terbuka yang memungkinkan tulang dari
luar dapat masuk ke dalam luka sampai ketulang yang patah (Sjamsuhidayat, 2005; 841).
1. Fraktur Terbuka
Fraktur terbuka (compound): fragmen tulang meluas melewati otot dan kulit, dimana
potensial untuk terjadi infeksi (Doenges at al 2000, 761).
Fraktur terbuka atau compound adalah fraktur dengan luka terbuka dimana tulang menonjol
keluar melalui luka tersebut (Donna L. Wongg, 2004 ; 625).
Fraktur terbuka (fraktur komplikata/kompleks) merupakan fraktur dengan luka pada kulit
atau membran mukosa sampai ke patahan tulang (Brunner dan Suddarth, 2001 : 2357).
Konsep penting yang harus diperhatikan pada fraktur terbuka adalah apakah terjadi
kontaminasi oleh lingkungan pada tempat terjadinya fraktur tersebut (Price dan Wilson, 1995;
1186).
Patah tulang terbuka dapat dibagi menjadi tiga derajat yang ditentukan oleh berat ringannya
patah tulang (Sjamsuhidayat, 2005; 841).
Tabel 1.2
Derajat patah tulang terbuka
Derajat Luka Fraktur
I Laserasi <2cm Sederhana, dislokasi fragmen minimal
II Laserasi >2cm, kontuksi otot dislokasi fragmen jelas
disekitarnya
III Luka lebar, rusak hebat atau Kominutif, segmental, fragmen tulang ada
hilangnya jaringan yang hilang
disekitarnya
Sumber: Sjamsuhidayat R., dan Jong W.D. (2005; 841). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta:
EGC.
2. Fraktur Tertutup
Fraktur tertutup(simple): tidak meluas melewati kulit (Doenges at al 2000, 761).
Fraktur tertutup adalah fraktur dimana kulit tidak ditembus oleh fragment tulang, sehingga
tempat fraktur tidak tercemar oleh lingkungan (Price dan Wilson, 1995; 1186).
Fraktur sederhana atau tertutup – fraktur tidak menimbulkan kerusakan pada kulit (Donna
L. Wongg, 2004 ; 625).
Fraktur tertutup adalah fraktur yang tidak menyebabkan robeknya kulit atau kulit tidak
ditembus oleh fragmen tulang

1.3 Etiologi Fraktur


Setiawan et al (2000, hal 112) menjelaskan bahwa fraktur dapat terjadi karena hal berikut:
1. Karena adanya tekanan yang menimpa tulang lebih besar dari daya tahan tulang
2. Karena tulang yang sakit, dinamakan fraktur Patologik ialah kelemahan tulang akibat penyakit
kanker atau osteoporosis

1.4 Anatomi Fisiologi


1.4.1 Anatomi
Gambar 1.1
Anatomi tulang Tibia dan Fibulla
Sumber: Indratni, Sri. (2007; 80). Skeleton Humanum. Surakarta: UNS Press

1. Tibia (tulang kering)


Tulang ini termasuk tulang panjang, sehingga terdiri dari tiga bagian:
1. Epiphysis proximalis (ujung atas)
Bagian ini melebar secara transversal dan memiliki permukaan sendi superior pada tiap
condylus, yaitu condylus medial dan condylus lateral. Ditengah-tengahnya terdapat suatu
peninggian yang disebut eminenta intercondyloidea.
2. Diaphysis (corpus)
Pada penampang melintang merupakan segitiga dengan puncaknya menghadap ke muka,
sehingga corpus mempunyai tiga sisi yaitu margo anterior (di sebelah muka), margo medialis (di
sebelah medial) dan crista interossea (di sebelah lateral) yang membatasi facies lateralis, facies
posterior dan facies medialis.Facies medialis langsung terdapat dibawah kulit dan margo
anterior di sebelah proximal.
3. Epiphysis distalis (ujung bawah)
Ke arah medial bagian ini kuat menonjol dan disebut maleolus medialis (mata kaki). Epiphysis
distalis mempunyai tiga dataran sendi yaitu dataran sendi yang vertikal (facies articularis
melleolaris), dataran sendi yang horizontal (facies articularis inferior) dan disebelah lateral
terdapat cekungan sendi (incisura fibularis).
2. Fibula
Merupakan tulang yang panjang, langsing, terletak di sebelah lateral tibia. Epiphysis
proximalis membulat disebut capitulum fibulae. Ke arah proximal meruncing menjadi apex.
Pada capitulum terdapat dua dataran sendi yang disebut facies articularis capitulli fibulae, untuk
bersendi dengan tibia. Pada corpus terdapat empat buah crista yaitu, crista lateralis, crista
anterior, crista medialis dan crista interosssea. Datarannya ada tiga buah yaitu facies lateralis,
facies medialis dan facies posterior. Pada bagian distal ke arah lateral membulat menjadi
maleolus lateralis.

1.4.2 Fisiologi
Menurut Long, B.C, fungsi tulang secara umum yaitu :
1. Menahan jaringan tubuh dan memberi bentuk kepada kerangka tubuh.
2. Melindungi organ-organ tubuh (contoh:tengkorak melindungi otak)
3. Untuk pergerakan (otot melekat kepada tulang untuk berkontraksi dan bergerak).
4. Merupakan gudang untuk menyimpan mineral (contoh kalsium dan posfor)
5. Hematopoiesis (tempat pembuatan sel darah merah dalam sum-sum tulang).
Menurut Price, Sylvia Anderson, Pertumbuhan dan metabolisme tulang dipengaruhi oleh
mineral dan hormon :
1. Kalsium dan posfor tulang mengandung 99 % kalsium tubuh dan 90 % posfor. Konsentrasi
kalsium dan posfor dipelihara hubungan terbalik, kalsitonin dan hormon paratiroid bekerja untuk
memelihara keseimbangan.
2. Kalsitonin diproduksi oleh kelenjar tiroid dimana juga tirokalsitonin yang memiliki efek untuk
mengurangi aktivitas osteoklast, untuk melihat peningkatan aktivitas osteoblast dan yang terlama
adalah mencegah pembentukan osteoklast yang baru.
3. Vitamin D mempengaruhi deposisi dan absorbsi tulang. Dalam jumlah besar vitamin D dapat
menyebabkan absorbsi tulang seperti yang terlihat dalam kadar hormon paratiroid yang tinggi.
Bila tidak ada vitamin D, hormon paratiroid tidak akan menyebabkan absorbsi tulang sedang
vitamin D dalam jumlah yang sedikit membantu klasifikasi tulang dengan meningkatkan
absorbsi kalsium dan posfat oleh usus halus.
4. Paratiroid Hormon, mempunyai efek langsung pada mineral tulang yang menyebabkan kalsium
dan posfat diabsorbsi dan bergerak melalui serum. Peningkatan kadar paratiroid hormon secara
perlahan-lahan menyebabkan peningkatan jumlah dan aktivitas osteoklast sehingga terjadi
demineralisasi. Peningkatan kadar kalsium serum pda hiperparatiroidisme dapat menimbulkan
pembentukan batu ginjal.
5. Growth Hormon (hormon pertumbuhan), disekresi oleh lobus anterior kelenjar pituitary yang
bertanggung jawab dalam peningkatan panjang tulang dan penentuan jumlah matriks tulang yang
dibentuk pada masa sebelum pubertas.
6. Gluikokortikoid, adrenal glukokortikoid mengatur metabolisme protein. Hormon ini dapat
meningkatkan atau menurunkan katabolisme untuk mengurangi atau meningkatkan matriks
organ tulang dan membantu dalam regulasi absorbsi kalsium dan posfor dari usus kecil.
7. Estrogen menstimulasi aktifitas osteoblast. Penurunan estrogen setelah menopause mengurangi
aktifitas osteoblast yang menyebabkan penurunan matriks organ tulang. Klasifikasi tulang
berpengaruh pada osteoporosis yang terjadi pada wanita sebelum usia 65 tahun namun matriks
organiklah yang merupakan penyebab dari osteoporosis.

1.4. Patofisiologi
Fraktur dapat terjadi karena trauma / rudapaksa sehingga dapat menimbulkan luka terbuka
dan tertutup. Fraktur luka terbuka memudahkan mikroorganisme masuk kedalam luka tersebut
dan akan mengakibatkan terjadinya infeksi.
Pada fraktur dapat mengakibatkan terputusnya kontinuitas jaringan sendi, tulang bahakan
kulit pada fraktur terbuka sehingga merangsang nociseptor sekitar untuk mengeluarkan histamin,
bradikinin dan prostatglandin yang akan merangsang serabut A-delta untuk menghantarkan
rangsangan nyeri ke sum-sum tulang belakang, kemudian dihantarkan oleh serabut-serabut saraf
aferen yang masuk ke spinal melalu “dorsal root” dan sinaps pada dorsal horn. Impuls-impuls
nyeri menyeberangi sum-sum belakang padainterneuron-interneuron dan bersambung dengan
jalur spinal asendens, yaitu spinothalamic tract (STT) danspinoreticuler tract (SRT). STT
merupakan sistem yang diskriminatif dan membawa informasi mengenai sifat dan lokasi dari
stimulus kepada thalamus kemudian ke korteks untuk diinterpretasikan sebagai nyeri.
Nyeri bisa merangsang susunan syaraf otonom mengaktifasi norepinephrin, sarap msimpatis
terangsang untuk mengaktifasi RAS di hipothalamus mengaktifkan kerja organ tubuh sehingga
REM menurun menyebabkan gangguan tidur.
Akibat nyeri menimbulkan keterbatasan gerak (imobilisasi) disebabkan nyeri bertambah bila
digerakkan dan nyeri juga menyebabkan enggan untuk bergerak termasuk toiletening,
menyebabkan penumpukan faeses dalam colon. Colon mereabsorpsi cairan faeses sehingga
faeses menjadi kering dan keras dan timbul konstipasi.
Imobilisasi sendiri mengakibatkan berbagai masalah, salah satunya dekubitus, yaitu luka pada
kulit akibat penekanan yang terlalu lama pada daerah bone promenence.
Perubahan struktur yang terjadi pada tubuh dan perasaan ancaman akan integritas stubuh,
merupakan stressor psikologis yang bisa menyebabkan kecemasan.
Terputusnya kontinuitas jaringan sendi atau tulang dapat mengakibatkan cedera neuro
vaskuler sehingga mengakibatkan oedema juga mengakibatkan perubahan pada membran
alveolar (kapiler) sehingga terjadi pembesaran paru kemudian terjadi kerusakan pada pertukaran
gas, sehingga timbul sesak nafas sebagai kompensasi tubuh untk memenuhi kebutuhan oksigen.
Diagram 1.1
Patofisiologi Fraktur

Rudapaksa atau trauma berat


Penyakit
(Osteoporosis)

Fraktur

Luka terbuka

Terputusnya kontinuitas jaringan

Nyeri saat digerakan
dan keengganan bergerak

Kerusakan mobilitas fisik Merangsang
↓ nociceptor
Mobilisasi sekret terganggu sekitar untuk
↓ mengeluarka
Kerusakan pertukaran gas histamin,
bradikinin,
prostaglandin

Nyeri
dihantarkan
melalui
Serabut A-
delta dan
Adanya hubungan dengan ↓
dunia luar

Organisme merugikan
mudah masuk

Resiko infeksi

Cedera vaskuler, Penekanan yang Tirah baring yang Sumsum


pembentukan trombus terlalu lama cukup lama tulang
↓ ↓ ↓ belakang
Oedema Sirkulasi darah Bising usus menurun ↓
↓ terganggu ↓ Serabut saraf
Disfungsi ↓ Retensi faeces dalam aferen
Neurovaskuler Pemenuhan nutrisi colon ↓
dan O2 ke jaringan ↓ Spinal melalui
menurun Cairan faeces sinap
↓ direabsorpsi oleh colon padadorsal
↓ Ischemia ↓ root dan sinap
perubahan aliran darah ↓ faeces kering pada dorsal
↓ Nekrosis jaringan ↓ horn
Perubahan membran ↓ Konstipasi ↓
Alveolar (kapiler) Dekubitus Spinal
↓ assenden
edema paru (STT/SRT)
↓ ↓
kerusakan Thalamus
pertukaran gas ↓
Kortek Serebri

Ancaman integritas Timbul Nyeri

Stressor
↓ ↓
cemas


Merangsang
RAS di
Hipothalamus

REM
Menururn

Terjaga

1.5. Manifestasi klinis


Menurut Brunner dan Suddart (2002; 2358) Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri,
hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstermitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan
perubahan warna.
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot
yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untum meminimalkan
gerakan antar fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian yang tak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara
alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada
fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas (terliahat maupun teraba) ekstermitas yang
bisa diketahui dengan membandingkan ekstermitas yang normal. Ekstermitas tak dapat berfungsi
dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur tulang panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot
yang melekat diatas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melengkapi satu sama lain
sampai 2,5-5cm (1-2 inchi).
4. Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus yang
teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. Uji kreptus dapat mengakibatkan
kerusakan jaringan yang lebih berat.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagi akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah beberapa jam atau cedera.

1.6. Komplikasi
Brunner dan Suddarth (2002; 2365) membagi komplikasi fraktur kedalam empat macam,
antara lain :
1. Syok hipovolemik atau traumatik yang terjadi karena perdarahan dan kehilangan cairan ekstra
sel kejaringan yang rusak.
2. Sindrome emboli lemak (terjadi dalam 24 sampai 72 jam setelah cedera). Berasal dari sumsum
tulang karena perubahan tekanan dalam tulang yang fraktur mendorong molekul-molekul lemak
dari sumsum tulang masuk ke sistem sirkulasi darah ataupun karena katekolamin yang
dilepaskan oleh reaksi stres.
3. Sindrom Kompartemen terjadi karena perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan
untuk kehidupan jaringan. Ini bisa diakibatkan karna:
a. Penurunan ukuran kompartemen otot karena fasia yang membungkus otot terlalu ketat atau gips
atau balutan yang terlalu menjerat
b. Peningkatan isi kompartemen otot karena edema.
4. Tromboemboli, infeksi dan Koagulopati Intravaskuler Desiminata (KID)

2.1.7. Manajemen medik secara umum


Menurut Price, Sylvia Anderson, alih bahasa Peter Anugerah, (1994:1187), empat konsep
dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur :
1. Rekognisi, menangani diagnosis pada tempat kejadian kecelakaan dan kemudian dibawa ke
rumah sakit.
2. Reduksi, reposisi fragmen-fragmen fraktur semirip mungkin dengan keadaan letak normal,
usaha-usaha tindakan manipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah sedapat mungkin untuk
kembali seperti letak asalnya.
3. Retensi, menyatakan metoda-metoda yang dilaksanakan untuk menahan fragmen-fragmen
tersebut selama penyembuhan.
4. Rehabilitasi, dimulai segera setelah dan sesudah dilakukan bersamaan pengobatan fraktur, untuk
menghindari atropi otot dan kontraktur sendi.
Penatalaksanaan klien dengan fraktur dapat dilakukan dengan cara :
1. Traksi
Yaitu penggunaan kekuatan penarikan pada bagian tubuh dengan memberikan beban yang cukup
untuk penarikan otot guna meminimalkan spasme otot, mengurangi dan mempertahankan
kesejajaran tubuh, untuk memobilisasi fraktur dan mengurangi deformitas.
2. Fiksasi interna
Yaitu stabilisasi tulang yang patah yang telah direduksi dengan skrup, plate, paku dan pin logam
dalam pembedahan yang dilaksanakan dengan teknik aseptik.
3. Reduksi terbuka
Yaitu melakukan kesejajaran tulang yang patah setelah terlebih dahulu dilakukan fiksasi dan
pemanjangan tulang yang patah.
4. Gips
Adalah fiksasi eksterna yang sering dipakai terbuat dari plester ovaria, fiber dan plastik.

2.1.8. Proses penyembuhan fraktur


Akibat dari fraktur tulang akan mengadakan atau mengalami proses penyembuhan,
penyembuhan tersebut memerlukan proses agak lambat, karena melibatkan pembentukan tulang
baru. Empat tahap proses penyembuhan fraktur, yaitu :
1. Pembentukan Prokallus/Haematoma
Haematoma terbentuk pada 48 sampai 72 jam pertama pada daerah fraktur yang
disebabkan karena adanya perdarahan yang terkumpul di sekitar fraktur yaitu darah dan eksudat,
kemudian akan diserang oleh kapiler sel darah putih terutama nertrofil dan diikat oleh makrofag,
sehingga terbentuk jaringan granulasi,
2. Pembentukan Kallus
Selama empat sampai lima hari osteoblast menyusun trabekula di sekitar ruangan-
ruangan yang kelak menjadi saluran averst. Jaringan itu ialah jaringan osteoid, disebut
juga kallus yang berfungsi sebagai bidai (splint) yang terbentuk pada akhir minggu kedua.
3. Ossifikasi (Kalsifikasi)
Dimulai pada dua sampai tiga minggu setelah fraktur jaringan kallus akhirnya akan
diendapi oleh garam-garam mineral, dan akan terbentuk tulang yang akan menghubungkan
kedua sisi yang patah.
4. Penggabungan dan Remodelling
Kallus tebal diabsorbsi oleh aktivitas dari osteoklast dan osteoblast menjadi konteks baru
yang sama dengan konteks sebelum fraktur.
Remodelling berlangsung empat sampai delapan bulan.
2.1.9. Dampak masalah terhadap perubahan struktur/ pola fungsi sistem tubuh tertentu
Menurut Long, B.C, (1996:380), terdapat perubahan-perubahan pada sistem tubuh
akibat dari fraktur yaitu :
1. Perubahan Sistem Muskuloskeletal
a. Terhadap Otot
Perubahan muskuloskeletal dipengaruhi oleh aktifitas, kurangnya rangsangan, dan stress
menyebabkan penurunan kekuatan otot, masa otot dan atropi. Atropi otot terjadi akibat
immobilisasi yang mempengaruhi kurangnya impuls dan motor neuron dan tidak terjadi
pelepasan asetilkolin. Sehingga potensial aksi tidak terjadi. Apabila kondisi ini terjadi secara
terus-menerus mengakibatkan kelelahan pada otot (kondisi atropi).
b. Terhadap Tulang
Kondisi immobilisasi mengakibatkan aktifitas pertumbuhan tulang (osteoblast) dan
penghancuran tulang (osteoklast) menjadi terganggu. Aktifitas osteoklast meningkat daripada
osteoblast sehingga mengakibatkan matriks tulang rusak dan kalsium terbuang, hal ini pada
akhirnya menyebabkan osteoporosis.
c. Terhadap Sendi
Jaringan otot yang diganti dengan jaringan penyambung akan menyebabkan persendian menjadi
kaku, sehingga tidak dapat digerakan secara maksimal dan cacat yang tidak dapat disembuhkan.
Klasifikasi atropik pada jaringan lunak sekitar persendian dapat menyebabkan ankilosis yang
menetap pada persendian.
2. Perubahan Sistem Kardiovaskuler
Perubahan sistem kardiovaskuler disebabkan oleh perubahan irama sirkandian, posisi
tubuh, kekuatan kontraksi otot jantung dan perubahan endokrin.
a. Perdarahan
Perubahan awal setelah fraktur adalah syok, yang bisa berakibat fatal dalam beberapa jam setelah
cedera, syok yang timbul adalah syok hipovolemik atau traumatik, akibat perdarahan (baik
kehilangan darah exsterna maupun yang tidak kelihatan) dan kehilangan cairan ekstrasel ke
jaringan yang rusak, dapat terjadi pada fraktur exstremitas, toraks, pelvis dan vertebra. Karena
tulang merupakan organ yang sangat vaskuler, maka dapat terjadi kehilangan darah dalam
jumlah yang besar sebagai akibat trauma, khususnya pada fraktur femur dan pelvis. Hal ini dapat
menimbulkan nadi cepat, nafas cepat dan dangkal, klien terlihat pucat, konjungtiva pucat, pasien
terlihat sangat lemah sampai terjadi penurunan kesadaran.
Penanganan meliputi mempertahankan volume darah, mengurangi nyeri yang diderita pasien,
memasang pembebatan yang memadai dan melindung pasien dari cedera lebih lanjut.
b. Peningkatan Beban Kerja Jantung
Immobilisasi dengan posisi horizontal akan meningkatkan aliran balik vena. Darah yang
terkumpul di ekstremitas bawah akan kembali kejantung lebih cepat, sehingga beban kerja
jantung meningkat. Akibatnya jantung harus meningkatkan isi sekuncupnya.
c. Peningkatan Denyut Nadi
Pengaruh faktor metabolik, endokrin dan mekanisme pada keadaan yang menghasilkan
adrenergik, manifestasinya adalah peningkatan denyut nadi. Peningkatan denyut nadi lebih dari
80 x/menit sering ditemukan pada klien immobilisasi.
d. Orthostatik Hipotensi
Orthostatik hipotensi adalah penurunan tekanan darah kurang dari 15 mmHg, pada saat klien
bangun dari posisi tidur. Klien dengan immobilisasi beresiko tinggi untuk mengalami orthostatik
hipotensi karena kemampuan sistem syaraf otonom untuk mengatur jumlah darah kurang. Dalam
keadaan normal, refleks baroreseptor menimbulkan respon simpatis dengan segera terhadap
penurunan tekanan darah arteri bila individu berdiri. Respon simpatis menimbulkan
vasokontriksi peripheral untuk mencegah darah mengalir ke ekstremitas bawah dan
mempertahankan tekanan arteri, disamping melawan efek gravitasi. Pengurangan vasokontriksi
peripheral ini menyebabkan darah terkumpul di ekstremitas bawah, menurunkan volume darah
yang bersirkulasi, menurunkan aliran balik vena sehingga jumlah darah yang dikeluarkan saat
diastolik tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan perfusi jaringan otak serta tekanan darah
menurun. Akibatnya klien merasa pusing saat bangun bahkan dapat pingsan. Disamping itu
kelemahan otot pada klien juga menimbulkan orthostatik hipotensi, kemunduran tekanan darah,
mengurangi kegiatan pemompaan otot pada vena ekstremitas bagian bawah akibatnya aliran
balik vena menurun sehingga menimbulkan hipotensi.
e. Plebotrombosis
Plebotrombosis adalah pembentukan thrombus tanpa disertai peradangan pada vena. Posisi tubuh
yang horizontal pada waktu yang lama akan mengakibatkan peningkatan proses pembekuan
darah, sehingga akan terbentuk thrombus. Terrjadinya trombosis disebabkan thrombus yang
menyebabkan emboli.
3. Perubahan Sistem Pernafasan
a. Perubahan yang terjadi pada sistem pernafasan akibat fraktur adalah terjadi banyak
penyumbatan pada banyak pembuluh darah kecil mengakibatkan tekanan paru meningkat,
memungkinkan mengakibatkan gagal jantung ventrikel kanan. Edema dan perdarahan dalam
alveoli mengganggu transfor oksigen, mengakibatkan hipoksia, terjadi peningkatan kecepatan
respirasi, nyeri dada prekordial, batuk, dispneu dan edema paru akut. Selain itu perubahan yang
timbul pada sitem pernafasan adalah respon pernafasan meliputi takipneu, dispneu, krepitasi,
mengi, sputum putih kental banyak, gas darah menunjukan PO2 dibawah 60 mmHg, dengan
alkalosis respiratori lebih dulu dan kemudian asidosis respiratori. Sinar -X dada menunjukan
infiltrat khas “badai salju”. Maka terjadi sindrom distres pernafasan dewasa dan gagal jantung.
b. Pengaturan pergerakan pernafasan akan mengakibatkan adanya retraksi dada akibat kehilangan
koordinasi otot. Ekspansi dada menjadi terbatas karena posisi berbaring akibatnya ventilas paru
menurun sehingga dapat menimbulkan atelektasis.
c. Akumulasi sekret pada saluran pernafasan mengakibatkan terjadinya penurunan efisiensi siliaris,
sehingga retensi mukosa pernafasan cenderung berakumulasi pada bronkhialis. Sekret menjadi
lebih kental dan menganggu kegiatan siliaris dan melekat pada saluran pernafasan. Kelemahan
pada otot pernafasan akan menimbulkan mekanisme batuk tidak efektif. Pembersihan jalan nafas
yang tidak efektif dapat menimbulkan bronkhopneumonia.
d. Ketidakseimbangan rasio O2 dan CO2 diakibatkan oleh terjadinya atelektasis pada paru-paru
sehingga pertukaran O2 dan CO2 di paru-paru smenjadi tidak adekuat.
4. Perubahan Sistem Persyarafan
Kerusakan syaraf terjadi karena cidera saraf itu sendiri atau karena adanya penekanan oleh gips
atau peralatan lain. Kerusakan syaraf ini akan menyebabkan kerusakan fungsi sensorik.
5. Perubahan Sistem Integumen
Pada sistem integumen terjadi kerusakan pada jaringan kulit, hal ini dikarenakan kulit menjadi
robek akibat mencuatnya tulang yang fraktur kedunia luar. Sehingga timbulah luka disekitar
permukaan tulang yang mengalami fraktur tersebut. Hal ini nantinya akan meninggalkan jaringan
parut setelah terjadi penyembuhan atau pemulihan pada luka bekas pembedahan, menyebabkan
terjadi perubahan pada fungsi estetika kulit klien sehingga klien merasa malu dengan orang lain
yang melihat dirinya. Sedangkan perubahan yang lain pada sistem integumen adalah efek
immobilisasi pada kulit dipengaruhi oleh gangguan metabolisme tubuh. Tekanan yang tidak
merata dan terjadi terus-menerus akan menghambat aliran darah sehingga penyediaan nutrisi dan
oksigen menurun. Apabila aliran darah menurun akan mengakibatkan iskemik dan akan terjadi
nekrosis pada jaringan yang tertekan.
6. Perubahan Sistem Eliminasi ( BAK dan BAB )
Kenaikan kalsium dalam urine karena tulang yang rusak, kenaikan pH alkalis meningkat acid
atrik / asam citrun yang dapat mempresipitasi garam kalsium, air kencing yang statis dalam
kandung kencing serta infeksi semuanya dapat menimbulkan masalah. Konstipasi merupakan
komplikasi yang sering terjadi akibat immobilisasi, perubahan makan dan minum yang normal,
kegiatan yang kurang serta harus menggunakan pispot, merupakan hal yang menambah
terjadinya susah BAB.
7. Pengaruh Terhadap Psikososial
Pasien sering kali merasa ketakutan, khawatir lukanya tidak dapat sembuh dan takut tidak bisa
berjalan lagi. Bisanya klien dirawat lama di Rumah Sakit, sehingga dapat menimbulkan
perubahan –perubahan kehidupan kuhususnya hubungan dengan keluarga, pekerjaan dan
lingkungan sekitarnya.
Kondisi sistem muskuloskeletal akan mempengaruhi emosi seseorang sebab kondisi tersebut
mempengaruhi mobilitas dan ketergantungan seseorang, karena ketergantungan tersebut maka
pasien akan kehilangan kekuatan dan hilang rasa aman serta menurunnya harga diri. Seseorang
yang mempunyai masalah muskuloskeletal akan merasa jadi asing serta merasa tidak dibutuhkan
oleh orang lain.
Gangguan body image, persepsi klien selalu dihubungkan dengan kondisi tubuhnya seperti
pemasangan traksi. Disfungsi seksual mungkin terjadi sehubungan dengan depresi dan cemas
serta persepsi pasangan pasien dalam melakukan hubungan seksual.

2.2. Konsep Asuhan Keperawatan


Proses keperawatan adalah serangkaian tindakan yang sistematis dan berkesinambungan
meliputi tindakan untuk mengidentifikasi masalah kesehatan individu atau kelompok baik yang
aktual maupun potensial, kemudian merencanakan tindakan untuk menyelesaikan, mengurangi,
atau mencegah terjadinya masalah baru dan melaksanakan tindakan atau menugaskan orang lain
untuk melaksanakan tindakan keperawatan serta mengevaluasi keberhasilan dari tindakan yang
dikerjakan (Rahmah, Nikmatur dan Saiful walid. 2009;19).
Proses keperawatan harus saling berkeseninambungan dan berkaitan satu sama lainnya dari
pengkajian, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

2.2.1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan tahap yang paling menentukan
bagi tahap berikutnya. Kegiatan dalam pengkajian adalah pengumpulan data (Rahmah, Nikmatur
dan Saiful walid. 2009; 24).
1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan proses yang berisikan status kesehatan klien dengan menggunakan
teknik anamnesis (autoanamnesa dan aloanamnesa) dan observasi.
a. Biodata Klien
1) Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin perlu dikaji karena biasanya laki-laki lebih
rentan terhadap terjadinya fraktur akibat kecelakaan bermotor, pendidikan, pekerjaan, agama,
suku/bangsa, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, diagnosa medis, nomor medrek
dan alamat.
2) Identitas penanggung jawab meliputi : nama, umur, pekerjaan, agama, pendidikan, suku/bangsa,
alamat, hubungan dengan klien.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
Keluhan utama adalah alasan klien masuk rumah sakit yang dirasakan saat dilakukan pengkajian
yang ditulis dengan singkat dan jelas, dua atau tiga kata yang merupakan keluhan yang membuat
klien meminta bantuan pelayanan kesehatan.

2) Riwayat Kesehatan Sekarang


Merupakan penjelasan dari permulaan klien merasakan keluhan sampai dengan dibawa ke rumah
sakit dan pengembangan dari keluhan utama dengan menggunakan PQRST.
P (Provokative/Palliative), apa yang menyebabkan gejala bertambah berat dan apa yang dapat
mengurangi gejala.
Q (Quality/Quantity), bagaimana gejala dirasakan klien dan sejauh mana gejala dirasakan.
R (Region/Radiation) dimana gejala dirasakan ? apakah menyebar? apa yang dilakukan untuk
mengurangi atau menghilangkan gejala tersebut ?
S (Saferity/Scale), seberapa tingkat keparahan gejala dirasakan? Pada skala berapa?
T (Timing), berapa lama gejala dirasakan ? kapan tepatnya gejala mulai dirasakan, apakah ada
perbedaan intensitas gejala misalnya meningkat di malam hari.
3) Riwayat Kesehatan Dahulu
Tanyakan mengenai masalah-masalah seperti adanya riwayat trauma, riwayat penyakit tulang
seperti osteoporosis, osteomalacia, osteomielitis, gout ataupun penyakit metabolisme yang
berhubungan dengan tulang seperti diabetes mellitus (lapar terus-menerus, haus dan kencing
terus–menerus), gangguan tiroid dan paratiroid.
4) Riwayat Kesehatan Keluarga
Hal yang perlu dikaji adalah apakah dalam keluartga klien terdapat penyakit keturunan ataupun
penyakit menular dan penyakit-penyakit yang karena lingkungan yang kurang sehat yang
berdampak negatif pada kesehatan anggota keluarga termasuk klien.
c. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan dengan menggunakan teknik inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi terhadap
berbagai sistem tubuh.
1) Keadaan Umum
Klien yang mengalami immobilisasi perlu dilihat dalam hal penampilan, postur tubuh, kesadaran,
gaya berjalan, kelemahan, kebersihan dirinya dan berat badannya.
2) Sistem Pernafasan
Bentuk hidung, ada atau tidaknya sekret, PCH (Pernafasan Cuping Hidung), kesimetrisan dada
dan pernafasan, suara nafas dan frekwensi nafas. Pengaturan pergerakan pernafasan akan
mengakibatkan adanya retraksi dada akibat kehilangan koordinasi otot. Ekspansi dada menjadi
terbatas karena posisi berbaring akibatnya ventilas paru menurun sehingga dapat menimbulkan
atelektasis. Akumulasi sekret pada saluran pernafasan mengakibatkan terjadinya penurunan
efisiensi siliaris yang dapat menyebabkan pembersihan jalan nafas yang tidak efektif. Kelemahan
pada otot pernafasan akan menimbulkan mekanisme batuk tidak efektif.
3) Sistem Kardiovaskuler
Warna konjungtiva pada fraktur, terutama fraktur terbuka akan terlihat pucat dikarenakan
banyaknya perdarahan yang keluar dari luka, terjadi peningkatan denyut nadi karena pengaruh
metabolik, endokrin dan mekanisme keadaaan yang menghasilkan adrenergik sereta selain itu
peningkatan denyut jantung dapat diakibatkan pada klien immobilisasi. Orthostatik hipotensi
biasa terjadi pada klien immobilisasi karena kemampuan sistem syaraf otonom untuk mengatur
jumlah darah kurang. Rasa pusing saat bangun bahkan dapat terjadi pingsan, terdapat kelemahan
otot. Ada tidaknya peningkatan JVP (Jugular Vena Pressure), bunyi jantung serta pengukuran
tekanan darah. Pada daerah perifer ada tidaknya oedema dan warna pucat atau sianosis.
4) Sistem Pencernaan
Keadaan mulut, gigi, bibir, lidah, kemampuan menelan, peristaltik usus dan nafsu makan. Pada
klien fraktur dan dislokasi biasanya diindikasikan untuk mengurangi pergerakan (immobilisasi)
terutama pada daerah yang mengalami dislokasi hal ini dapat mengakibatkan klien mengalami
konstipasi.
5) Sistem Genitourinaria
Ada tidaknya pembengkakan dan nyeri daerah pinggang, palpasi vesika urinaria untuk
mengetahui penuh atau tidaknya, kaji alat genitourinaria bagian luar ada tidaknya benjolan,
lancar tidaknya pada saat klien miksi serta warna urine. Pada klien fraktur dan dislokasi biasanya
untuk sementara waktu jangan dulu turun dari tempat tidur, dimana hal ini dapat mengakibatkan
klien harus BAK ditempat tidur memaskai pispot sehingga hal ini menambah terjadinya susah
BAK karena klien tidak terbiasa dengan hal tersebut.
6) Sistem Muskuloskeletal
Derajat Range Of Motion pergerakan sendi dari kepala sampai anggota gerak bawah,
ketidaknyamanan atau nyeri ketika bergerak, toleransi klien waktu bergerak dan observasi
adanya luka pada otot akibat fraktur terbuka, tonus otot dan kekuatan otot. Pada klien fraktur dan
dislokasi dikaji ada tidaknya penurunan kekuatan, masa otot dan atropi pada otot. Selain itu
dapat juga ditemukan kontraktur dan kekakuan pada persendian.
7) Sistem Integumen
Keadaan kulit, rambut dan kuku. Pemeriksaan kulit meliputi tekstur, kelembaban, turgor, warna
dan fungsi perabaan. Pada klien fraktur dan dislokasi yang immobilisasi dapat terjadi iskemik
dan nekrosis pada jaringan yang tertekan, hal ini dikarenakan aliran darah terhambat sehingga
penyediaan nutrisi dan oksigen menurun.
8) Sistem Persyarafan
Mengkaji fungsi serebral, fungsi syaraf cranial, fungsi sensorik dan motorik sertsa fungsi refleks.
d. Pola Aktivitas Sehari-hari
1) Pola Nutrisi
Kebiasaan makan klien sehari-hari dan kebiasaan makan-makanan yang mengandung kalsium
yang sangat berpengaruh dalam proses penyembuhan tulang dan kebiasaan minum klien sehari-
hari, meliputi frekwensi, jenis, jumlah dan masalah yang dirasakan.
2) Pola Eliminasi
Kebiasaan BAB dan BAK klien, apakah berpengaruh terhadap perubahan sistem tubuhnya yang
disebabkan oleh fraktur.
3) Pola Istirahat Tidur
Kebiasaan klien tidur sehari-hari, apakah terjadi perubahan setelah mengalani fraktur.
4) Personal Hygiene
Kebiasaan mandi, cuci rambut, gosok gigi dan memotong kuku perlu dkaji sebelum klien sakit
dan setelah klien dirawat dirumah sakit.
5) Pola Aktivitas
Sejauh mana klien mampu beraktivitas dengan kondisinya saat ini dan kebiasaan klien berolah
raga sewaktu masih sehat.
e. Aspek Psiko Sosial Spiritual
1) Data Psikologis Pengkajian psikologis yang dilakukan pada klien dengan fraktur pada dasarnya
sama dengan pengkajian psikososial dengan gangguan sistem lain yaitu mengenai konsep diri
(gambaran diri, ideal diri, harga diri, peran diri dan identitas diri). Pada klien fraktur adanya
perubahan yang kurang wajar dalam status emosional, perubahan tingkah laku dan pola koping
yang tidak efektif.
2) Data sosial
Pada data sosial yang dikaji adalah hubungan klien dengan keluarga dan hubungan klien dengan
petugas pelayanan kesehatan.
3) Data Spiritual
Perlu dikaji agama dan kepribadiannya, keyakinan dan harapan yang merupakan aspek penting
untuk penyembuhan penyakitnya.
f. Data Penunjang
Menurut Doengoes et. al (2002:762), pemeriksaaan diagnostik yang biasa dilakukan pada
pasien dengan fraktur:

1) Pemeriksaan rontgen
Menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma.
2) Computed Tomography (CT-SCAN).
Memperlihatkan fraktur dan dislokasi, dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan
jaringan lunak dan untuk mengetahui lokasi dan panjangnya patah tulang didaerah yang sulit
dievaluasi.
3) Arteriogram
Dilakukan bila dicurigai terdapat kerusakan vaskuler.
4) Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan darah lengkap meliputi kadar haemoglobin yang biasanya lebih rendah karena
perdarahan akibat trauma. Hematokrit mungkin meningkat atau menurun (perdarahan bermakna
pada sisi fraktur atau organ jauh dari trauma multiple). Kreatinin (trauma otot meningkatkan
beban kreatinin untuk klirens ginjal). Profil koagulasi (perubahan dapat terjadi pada kehilangan
darah, tranfusi multipel atau cedera hati).
2. Analisa Data
Data yang sudah dikumpulkan kemudian dikelompokkan berdasarkan masalahnya kemudian
dianalisa dengan menggunakan tabel yang terdiri dari nomer, data yang terdiri dari data subjektif
dan objektif, etiologi dan masalah, sehingga menghasilkan suatu kesimpulan berupa masalah
keperawatan yang nantinya akan menjadi diagnosa keperawatan.

2.2.2. Diagnosa Keperawatan


Doenges et.al (2000; 762-775) merumuskan delapan diagnosa keperawatan, Brunner dan
Suddarth (2002; 2363) merumuskan tiga diagnosa keperawatan yang dapat terjadi pada fraktur
tertutup dan Engram, Barbara (1999; 268-271) merumuskan lima diagnosa keperawatan pada
klien dengan fraktur.
Dari tiga pendapat tersebut dapat di simpulkan bahwa diagnosa keperawatan yang
mungkin muncul pada gangguan sistem muskuloskeletal dengan fraktur adalah:
1. Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, cedera pada jaringan
lunak, alat traksi/imobilisasi
2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskuler.
3. Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit dan terpajannya dengan lingkungan akibat
fraktur terbuka, fiksasi pen eksternal.
4. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi dan terpasangnya alat
fiksasi.
5. Risiko perubahan eliminasi : konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas usus
6. Kerusakan pola istirahat dan tidur behubungan dengan nyeri
7. Depisit perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan pergerakan akibat fraktur.
8. Resiko disfungsi Neurovaskuler berhubungan dengan cedera vaskuler
9. Resiko pola nafas tidak efektif berhubungan dengan edema paru dan mobilisasi sekret tidak
adekuat
10. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan
pengobatan.

2.2.3. Perencanaan
Perencanaan keperawatan adalah menyusun rencana tindakan keperawatan yang
dilaksanakan untuk menanggulangi masalah dengan diagnosa keperawatan yang telah ditentukan
dengan tujuan terpenuhinya kebutuhan pasien.
1. Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, cedera pada jaringan
lunak, alat traksi/imobilisasi
Tupan : Nyeri hilang.
Tupen : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 hari di harapkan nyeri berkurang,
dengan kriteria :
a. Klien mengatakan nyeri berkurang.
b. Skala nyeri menjadi 2 dari skala nyeri 0-5
c. Tanda-tanda vital dalam batas normal ( TD = 120/80 mmHg; RR = 16-24 x/menit; N = 60-80
x/menit; S = 36,5-37,50 C).
d. Klien dapat melakukan teknik distraksi dan relaksasi yang tepat.
Rencana :
Tabel 2.4
Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, cedera pada jaringan lunak, alat
traksi/imobilisasi
Intervensi rasionalisasi
a. Pertahankan imobilisasi a. Menghilangkan nyeri dan mencegah
bagian
yang sakit dengan tirah baring, gips, kesalahan posisi tulang/tegangan jaringan
pembebat, traksi. yang cedera.
b. Tinggikan dan sokong ekstremitas b. Untuk meingkatkan aliran darah balik vena,
yang mengalami luka/fraktkur. menurunkan edema, menurunkan nyeri.
c. Kaji tngkat nyeri klien c. Dengan menkaji tingkat nyeri klien untuk
keefektifan pengawasan intervensi. Tingkat
ansietas dapat mempengaruhi persepsi/reaksi
terhadap nyeri.
d. Dengan melakukan teknik distraksi pada klien
d. Lakukan tekhnik distraksi dengan cara
dengan cara berbincang-bincang, dapat
mengajak klien berbincang-bincang mengalihkan perhatian klien tidak hanya
tertuju pada nyeri.
e. Berikan alternatif e.
tindakan Meningkatkan sirkulasi umum ; msnurunkan
kenyamanan, contoh pijatan, pijatan area tekanan lokal dan kelelahan otot.
punggung, perubahan posisi.
f. Lakukan dan awasi latihan rentang f. Mempertahankan kekuatan/mobilitas otot
gerak pasif/aktif. yang sakit dan memudahkan resolasi inflamasi
pada jaringan yang cedera.
g. Dorong klien untuk menggunakan g. Memfokuskan kembali perhatian,
teknik manajemen stres, contoh meningkatkan rasa kontrol, dan dapat
relaksasi progresif, latihan napas meningkatkan kemampuan koping dalam
dalam, imajinasi visualisasi. Sentuhan manajemen nyeri, yang mungkin menetap
terapeutik. untuk periode lebih lama.

Sumber: Doenges et. al. (2000, hal 765) Rencana Asuhan Keperawatan Untuk
PerencanaanDan Pendokumentasian Perawatan Pasien (edisi 3), EGC, Jakarta.

2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskuler.


Tupan : Immobilisasi fisik tidak terjadi.
Tupen :Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 hari diharapkan dapat melakukan
mobilitas fisik dengan bantuan minimal, denngan Kriteria hasil :
a. Klien mampu meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada paling tinggi.
b. Klien mampu mempertahankan posisi fungsional.
c. Klien mampu meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit dan/ mengkompensasi bagian tubuh.
d. Klien mampu menunjukan kemampuannya.
Rencana :
Tabel 2.5
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskuler.

Intervensi Rasionalisasi
a. a.
Lakukan rentang gerak aktif pada anggota Mencegah/menurunkan insiden komplikasi kulit,
gerak sehat sedikitnya 4 kali/hari menghindari spasme otot, dan gerak aktif
meningkatkan kemandirian dalam pergerakkan
b. b.
Lakukan latihan rentang gerak pasif pada Gerak pasif dapat mencegah kontraktur, dan
anggota gerak yang sakit dengan hati-hati, dengan cara disangga, agar tidak terjadi
dan sangga ekstrimitas yang fraktur. pergeseran pada tulang yang fraktur
c. Ubah posisi setiap 2-4 jam
c. Melancarkan sirkulasi sehingga mempercepat
penyembuhan serta mencegah/menurunkan
insiden komplikasi kulit.
d. Rentang grak secara bertahap dimungkinkan
d. Tingkatkan latihan gerak secara perlahan.
tidak menyebabkan keterkejutan pada klien
- Hari kedua post op, klien bisa duduk di
tempat tidur dengan nyaman
- Hari ketiga post op, klien bisa turun dari
tempat tidur dan jalan-jalan di sekitar
dengan tangan yang fraktur disangga

Sumber: Doenges et. al. (2000, hal 769) Rencana Asuhan Keperawatan Untuk Perencanaan
Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien (edisi 3), EGC, Jakarta

3. Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit dan terpajannya dengan lingkungan akibat
fraktur terbuka, fiksasi pen eksternal.
Tupan : Infeksi tidak terjadi.
Tupen : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 hari, diharapkan tanda-tanda infeksi
tidak terjadi, dengan Kriteria :
a. Tidak ditemukannya tanda – tanda infeksi.
b. Tanda vital terutama suhu tidak terjadi peningkatan atau dalam batas normal.
c. Leukosit normal (4.000 – 10.000)

Rencana :
Tabel 2.6
Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit dan terpajannya dengan lingkungan akibat fraktur
terbuka, fiksasi pen eksternal

Intervensi Rasional
1. Observasi luka untuk pembentukan bula, 1. Tanda perkiraan gangren.
krepitasi, perubahan warna kulit, bau drainage
yang tidak enak/asam.
2. Kaji sisi pen/kulit, perhatikan keluhan
peningkatan nyeri/rasa terbakar atau adanya
2. Dapat mengindikasikan timbulnya infeksi
oedema, eritema, drainage / bau tak enak. lokal/nekrosis jaringan yang dapat
3. Berikan perawatan pen/kawat steril sesuai menimbulkan adanya osteomeilitis.
protokol dan latihan mencuci tangan.
4. Kaji tonus otot, reflek tendon dalam dan 3. Dapat mencegah kontaminasi silang dan
kemampuan untuk berbicara. kemungkinan infeksi.
4. Kekuatan otot, spasme tonik otot rahang dan
5. Lakukan prosedur isolasi. disphagia menunjukan adanya tetanus.
5. Adanya drainage purulen akan memerlukan
kewaspadaan luka untuk mencegah
6. Berikan obat sesuai dengan indikasi, contoh kontaminasi silang.
antibiotik IV/topikal. 6. Antibiotik spektrum luas dapat digunakan
7. Kolaborasi pemeriksaan laboraorium, hitung secara propilaktip pada mikroorganisme
darah lengkap. khusus.
7. Leukositosis biasanya ada dengan proses
infeksi.
Sumber: Doenges et. al. (2000, hal 765) Rencana Asuhan Keperawatan Untuk Perencanaan Dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien (edisi 3), EGC, Jakarta

4. Resiko Kerusakan Integritas Kulit berhubungan dengan Imobilisasi dan Terpasangnya Alat
Fiksasi.
Tupan : Integritas kulit terpelihara
Tupen : Setelah dilakukan perawatan selam 2 hari, diharapkan tanda-tanda dekubitus tidak
terjadi, dengan kriteia:
a. Tidak ada kemerahan pada daerah yang tertekan terutama bokong dan tumit
b. Tidak teraba panas pada daerah tertekan
c. Tidak terdapat lecet pada daerah tertekan

Tabel 2.7
Resiko Kerusakan Integritas Kulit berhubungan dengan
Imobilisasi dan Terpasangnya Alat Fiksasi.

Intervensi Rasionalisasi
a. Kaji kulit untuk luka terbuka, benda
a. Memberikan informasi tentang sirkulasi kulit
asing, kemerahan, perdarahan, dan masalah yang mungkin disebabkan oleh
perubahan warna, kelabu, memutih. alat dan/atau pemasangan bebat atau traksi,
atau pembentukan edema yang membutuhkan
intervensi medik lanjut.
b. Masase kulit dan penonjolan tulang. b. Menurunkan tekanan konstan pada area yang
Pertahankan tempat kering dan bebas peka da risik abrasi/kerusakan kulit
kerutan. Tempatkan bantalan
air/bantalan lain bawah kiku/tumit
sesuai inidikasi.
c. Kaji posisi bebat pada alat traksi c. Posisi yang tak tepat dapat menyebabkan
cedera kulit/kerusakan.
d. Lakukan mobilisai aktif maupun pasif.
d.
Dengan mobilisasi aktif maupun pasif
sirkulasi darah pada daerah tertentu lancar dan
penekanan-penekanan pada daerah tertentu
tidak berlebihan
Sumber: Doengoes, et. al. (2000, hal 771). Rencana Asuhan Keperawatan Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien (edisi 3), EGC, Jakarta

5. Kerusakan pola istirahat dan tidur behubungan dengan nyeri


Tupan : kerusakan pola istirahat teratasi
Tupen : setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam Kebutuhan istirahat tidur
terpenuhi, dengan kriteria:
a. Tidur/istirahat diantara gangguan
b. Melaporkan peningkatan rasa sehat dan merasa dapat istirahat
Rencana:
Tabel .2.8
Gangguan Pola Tidur berhubungan dengan Nyeri

Intervensi Rasionalisasi
a. a. Meningkatkan relaksasi dengan perasaan
Berikan makanan kecil, susu hangat
sore hari mengantuk
b. b. Menurunkan kebutuhan akan bangun untuk
Turunkan jumlah minum sore hari,
lakuikan berkemih sebelum tidur pergi ke kamar mandi
c. Batasi masukan makanan dan
minuman mengandung kafein c. Kafein dapat memperlambat klien untuk tidur
dan memopengaruhi tidur tahap REM.

d. d.
Kolaborasi dalam pemberian obat Nyeri meruhi kemampuan klien untuk tidur,
analgetik dan sedatif dsan sedatif obat yang tepat untuk
menuiingkatkan istiraht
Sumber : Doengoes, et. al. (2000, hal 493, 385). Rencana Asuhan Keperawatan Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien (edisi 3), EGC, Jakarta

6. Risiko perubahan eliminasi : konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas usus


Tupan : BAB lancar

Tupen : Setelah dilakukan perawatan selama 2 hari diharapkan klien dapat BAB dengan lancar
dengan konsistensi lunak, dengan kriteria :

a. Klien dan keluarga mengetahui tentang jenis-jenis makanan yang dapat dikonsumsi.

b. BAB lancar dan normal (1-2 x/hari) dengan warna kuning, konsistensi lembek dan bau khas
feces.
c. Tidak terjadi distensi pada abdomen

d. Hasil auskultasi peristaltik usus normal 4-12 x/menit

Rencana :
Tabel 2.9

Risiko perubahan eliminasi : konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas usus

Intervensi Rasional

1. Melatih klien untuk melakukan 1. Dengan tindakan tersebut akan


pergerakan yang melibatkan daerah meningkatkan ketegangan otot abdomen yang
abdomen seperti miring kanan dan miring membantu peningkatan peristaltik sehingga
kiri. feses yang keluar lancar.

2. Berikan cairan yang adekuat. 2. Dengan memberikan cairan akan


meningkatkan kandungan air dalam feses
sehingga BAB menjadi lancar.
3. Beri makanan yang tinggi serat. 3. Makanan tinggi serat akan menarik cairan
dari lumen usus sehingga feses menjadi
lembek dan mudah untuk dikeluarkan.
Sumber: Doenges et. al. (2000, hal 576) Rencana Asuhan Keperawatan Untuk Perencanaan Dan

Pendokumentasian Perawatan Pasien (edisi 3), EGC, Jakarta

7. Defisit Perawatan Diri berhubungan dengan Keterbatasan Pergerakan Akibat Fraktur


Tujuan : Kebutuhan perawatan diri terpenuhi
Tupen: setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam defisit perawatan diri teratasi, dengan
kriteria:
a. Mendemontrasikan teknik perubahan gaya hidup untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri
b. Melakukan perawatan diri dalam tingkat kemampuan sendiri
Rencana:
Tabel 2.10
Defisit Perawatan Diri berhubungan dengan
Keterbatasan Pergerakan Akibat Fraktur

Intervensi Rasionalisasi
a. a.
Beri informasi tentang pentingnya Dengan memberikan informasi dapat
perawatan diri bagi klien menambah wawasan pengetahuan klien
b. Bantu dan fasilitasi klien dalam tentang cara perawatan diri yang benar
melakukan personal higiene b. Dengan menyediakan dan mendekatkan akan
mendorong kemandirian klien dalam hal
c. melakukan aktivitas
Jaga kebersihan pakaian dan alat tenun
klien c.
Pakaian yang bersih dan alat tenun yang
d. kering
Berikan lotion dan talk setelah mandi dapat mencegah terjadinya gatal.
d. Untuk meningkatkan rasa nyaman klien dan
dapat mencegah terjadinya biang keringat
Sumber:Doengoes, et. al. (2000, hal 301). Rencana Asuhan Keperawatan Untuk Perencanaan
Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien (edisi 3), EGC, Jakarta

8. Resiko Disfungsi Neurovaskuler berhubungan dengan cedera vaskuler


Tupan : Perfusi jaringan adekuat
Tupen : setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam diharapkan tidak ada tanda-tanda
penurunan perfusi jaringan, dengan kriteria :
a. Kesadaran kompos mentis
b. Tanda-tanda vital dalam batas normal ( TD = 120/80 mmHg; RR = 16-24 x/menit; N = 60-80
x/menit; S = 36,5-37,50 C)
c. Akral hangat
Rencana:
Tabel 2.11
Resiko Disfungsi Neurovaskuler berhubungan dengan
cedera vaskuler

Intervensi Rasionalisasi
a. Lepaskan perhiasan dari ekstrimitas a. Dapat membendung sirkulasi bila terjad
yang sakit edema
b. Kaji aliran kapiler, warna kulit, dan b. Warna kulit putih menunjukkan gangguan
kehangatan distal pada fraktur arterial. Sianosis diduga gangguan vena
c. Gangguan perasaan kebas, kesemutan,
peningkatan nyeri terjadi bila sirkulasi pada
c. Lakukan pengkajian neuromuskular, saraf tidak adekuat atau saraf rusak
perhatikan perubahan fungsi
motor/sensor
d. Faktor ini disebabkan atau
mengidentifikasikan tekanan
d. Kaji keluhan rasa terbakar dibawah mjaringan/iskemia, menimbulkan kerusakan
gips atau nekrosis
e. Alat traksi dapat menyebabkan tekanan pada
pembuluh darah/saraf, terutama pada aksila
e. Awasi posisi/lokasi cincin penyokong dan lipat paha.
bebat f. Dislokasi fraktur sendi (khususnya lutut)
dapat menyebabkan kerusakan arteriyang
f. Selidiki tanda iskemia ekstrimitas tiba- berdekatan, dengan akibata hilangnya aliran
tiba, contoh peniurunan suhu kulit, dan darah ke distal
peningkatan nyeri] g. Meningkatkan sirkulasi dan menurunkan
pengumpulan darah khususnya pada
g. Dorong pasien untuk melakukan ekstrimitas bawah
ambulasi sesegera mungkin h. Terdapat peningkatan untuk tromboplebitis
dan emboli paru pada pasien imobilisasi
h. Selidiki nyeri tekan, pembengkakan selama lima hari
pada dorso fleksi kaki. i. Perubahan tanda-tanda vital menunjukkan
peningkatan sirkulasi
i. Awasi tanda vital.
Sumber:Doengoes, et. al. (2000, hal 766). Rencana Asuhan Keperawatan Untuk Perencanaan
Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien (edisi 3), EGC, Jakarta

9. Ansietas berhubungan dengan Kurang pengetahuan


Tupan : Cemas hilang
Tupen : setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam cemas berkurang, dengan
kriteria:
a. Klien tampak rileks
b. Melaporkan ansietas berkurang
Rencana:
Tabel 2.12
Ansietas berhubungan dengan
Kurang pengetahua

Intervensi Rasionalisasi
a. Jalin rasa percaya a. Rasa percaya dapat melahirkan keterbukaan
b. Dapat mengetahui derajat kecemasan klien
b. Kaji ulang tingkat kecemasan klien sehingga memudahkan intervensi selanjutnya
c. Beban kecemasan dapat berkurang dengan
diekspresikan
c. Berikan kesempatan mengekspresikan d. Dengan mengetahui penyakit, dimungkinkan
perasaannya klien akan merasa tenang
d. Berikan penjelasan tentang penyakit
yang diderita
e. Dimungkinkan dapat mengetahui hal yang
tidak diketahui
e. Berikan kesempatan bertanya untuk

Sumber: Doengoes, et. al. (2000, hal 922) . Rencana Asuhan Keperawatan Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien (edisi 3), EGC, Jakarta

10. Resiko pola nafas tidak efektif berhubungan dengan edema paru dan mobilisasi sekret tidak
efektif
Tupan : pola nafas adequat
Tupen : setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam tidak ditemukannya tanda-tanda
ketidak efektifan pola nafas, dengan kriteria:
a. Mempertahankanpola nafas adequat
b. Frekuensi nafas 12-24x/menit
c. Tidak adanya dispneu/sianosis
Rencana:
Tabel 2.13
Resiko pola nafas tidak efektif berhubungan dengan
Edema paru dan mobilisasi sekret tidak efektif

Intervensi Rasionalisasi
a. Awasi frekuensi pernafasan dan a. Tarkifne, dispnea, dan perubahan dalam
upayanya. Perhatikan stridor, mental dan tanda dini insufisiensi pernafasan
penggunaan otot bantu, retraksi, dan mungkin hanya indikator terjadinya
terjadinya sianosis sentral. emboli paru tahap awal
b. Perubahan dalam bunyi adventisius
b Auaskultasi bunyi nafas perhatikan menunjukan terjadinya komplikasi pernafasan
terjadinya ketidak samaan c. Dapat mencegah terjadinya emboli lemak,
yang erat hubungannya dengan fraktur.
c. Atasi jaringan cedera/tulang dengand. Menungkatkan ventilasi alveolar dan prfusi.
lembut, khusunya selama beberapa hari Reposisi meningkatkan drimnage sekret dan
pertama menurunkan kongesti pada area dependen.
e. Hemodialisa dapat terjadi dengan emboli
d. Bantu dalam latihan nafas dalam paru

e Observasi sputum untuk tanda adanya


darah
Sumber:Doengoes, et. al. (2000, hal 768) . Rencana Asuhan Keperawatan Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien (edisi 3), EGC, Jakarta

2.2.4. Implementasi
Implementasi atau pelaksanaan adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Kegiatan dalam implementasi juga meliputi pengumpulan data berkelanjutan,
mengobservasi respon klien selama dan sesudah pelaksanaan tindakan dan menilai data yang
baru (Rahmah, Nikmatur dan Saiful walid. 2009; 89).
Menurut wilknison (2007; dalam Nurjanah, Intansari. 2010; 186) implementasi yang bisa
dilakukan oleh perawat terdiri dari: do (melakukan), delegate (mendelegasikan)
dan record (mencatat).

2.2.5. Evaluasi
Rahmah, Nikmatur dan Saiful walid (2009; 94-96) menjelaskan bahwa evaluasi adalah
penilaian dengan cara membandingkan perubahan keadaan pasien (hasil yang diamati) dengan
tujuan dan kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan.
Evaluasi bertujuan untuk mengakhiri rencana tindakan keperawatan, memodifikasi rencana
tindakan keperawatan dan meneruskan rencana keperawatan.
Evaluasi terdiri dari evaluasi proses (formatif) dan evaluasi hasil (sumatif). Evaluasi formatif
adalah evaluasi yang dilakukan setiap selesai tindakan, berorientasi pada etiologi dan dilakukan
secara terus-menerus sampai tujuan yang telah ditentukan berhasil. Sedangkan evaluasi sumatif
dilakukan setelah akhir tindakan keperawatan secara paripurna, berorientasi pada masalah
keperawatan, menjelaskan keberhasikan/ketidak berhasilan, rekaputasi dan kesimpulan status
kesehatan klien sesuai dengan kerangka waktu yang ditetapkan.

Anda mungkin juga menyukai