Anda di halaman 1dari 8

Yoni dan Prasasti Plandi-Magelang

Suatu hari di bulan puasa tahun 2016, tepatnya 28 Juni, bersama beberapa

teman dari komunitas benda cagar budaya, kami sepakat untuk kluyuran dengan

menyusuri beberapa desa di daerah Blabak-Blondo-Sawitan.

Sesampai di dusun Plandi, desa Pasuruhan, kec. Mertoyudan kami bertemu dengan

seorang pembuat bata. Dari beliau diketahui bahwa beberapa bulan sebelumnya telah

ditemukan sebuah batu bertulis yang sekarang disimpan oleh penduduk setempat. Tanpa

membuang waktu, kami segera menemui penemu batu bertulis itu.

Tulisan ini bukan dimaksudkan untuk menggali lebih dalam tentang apa dan

bagaimana batu bertulis itu, akan tetapi sekedar sebagai laporan awal mengenai temuan

sebuah batu bertulis. Tulisan ini lebih sebagai kenangan akan hal hal kecil yang sering

dilakukan oleh komunitas pecinta budaya-budaya klasik Indonesia yang saat ini mulai

banyak tumbuh di kalangan anak-anak muda bangsa ini. Cara ataupun metode penulisan

mungkin akan sangat jauh dari kaidah-kaidah keilmiahan yang kerap digunakan oleh para

peneliti. Penulis hanya akan membandingkan data-data tertulis yang telah ada dengan isi

pokok dari batu bertulis ini. Kajian yang dilakukan hanya sebatas kajian awal. Penulis

tidak akan membuat kesimpulan atas tulisan ini.

Batu bertulis itu berbentuk persegi (stele) dengan bagian atas cenderung

kurawal, pada bagian bawah terdapat semacam alas untuk menjaga batu ini kokoh
berdiri. Tinggi batu sekitar 50 cm, lebar atas 38 dan bawah 41 cm dan tebal 9.5 cm.

tinggi alas penahan 11.5 cm. Batu bertulis dikedua sisinya. Bagian depan terdapat 8 baris

dan bagian belakang 5 baris yang telah aus. Berhuruf dan berbahasa Jawa kuna dari

kata “tita” dan angka 7 yang samar samar terbaca, setelah batu itu diguyur air untuk

memperjelas pahatannya. Pengamatan sepintas menunjukkan ukuran besar huruf yang

tidak beraturan, dengan pahatan yang tidak terlalu dalam, meskipun ciri dari huruf masa

Kayuwangi-Balitung yang cenderung bundar jelas terlihat. Karena waktu telah sore, maka

kami kembali pulang dengan janji untuk kembali lagi dan menyarankan pada penemu untuk

melaporkan hal itu pada apparat desa setempat. Seusai lebaran kamipun mencoba untuk

kembali ke Plandi guna membaca batu bertulis itu, namun sesampai di sana kami diberi

tahu bahwa batu tersebut telah diambil oleh petugas BPCB Jawa tengah dan telah

dibawa ke Manisrenggo. Usaha untuk membacanyapun kemudian di lanjutkan dengan

mendatangi kantor BPCB Jateng di lain waktu.

Dari yang telah bisa terbaca diketahui


depan
1. (swa) 1sti çaka wa(r) 2sātitā 7 (=selamatlah tahun saka yang telah berjalan 7
2. 91 māsa mārggaṣi(ra) 3 (hari ke 7 paro gelap)
3. tīthi çaptami kṛṣṇapakṣa (91, bulan marggasira)
4. wara4 wā ka bu tatkala ra (hari Was Kaliwuan Buda ketika ra)
5. kai sīrat(k) lawan hyaŋ guru marhya(ŋ)
5
(kai sirat dan guru pendeta kuil
6
6. ira kiwan manusuk sīma sawaḥ ta (nya [yang berada di] kiri,
membatasi sima sawahnya)
7
7. nikanaŋ rāma i raŋkīṭakida mwaḥ gu (para rāma di ………………………
8. pa na __saŋ ka ___________
belakang
lebih aus dan tipis dibandingkan bagian depan. Hanya beberapa huruf yang dapat
terbaca tanpa menjadi sebuah kata yang lengkap.

Apabila pembacaan batu prasasti ini betul dan tepat maka isi pokoknya adalah

adanya sebuah Sīma berupa sawah yang diresmikan pada tanggal 30 November 869 M

1
Huruf aus, sulit untuk membacanya. Pada konteksnya adalah “swa”sebagai awalan kata “swasti”
2
Tidak terlihat tanda “layar” untuk dapat dibaca “r”
3
Huruf “RA” terlihat samar
4
Terlihat samar
5
Perbedaan pokok antara huruf Ta dan Ka adalah pada lengkung di bawah dua “kaki” depannya
yang kurang terlihat jelas pada karakter di sini.
6
Huruf aus
7
Urutan huruf setelah huruf I, belum dapat diartikan
oleh rakai Sirat atau Sirak dan gurunya yang juga merupakan seorang pendeta kuil yang

berada di kiri.

Banyak pertanyaan yang belum terjawab dari batu bertulis itu, di antaranya ; Siapa rakai

Sirat dan pendeta kuil (marhyang)-nya itu? Daerah manakah yang dibuatnya menjadi

sebuah Sīma? Berapa luas dan mengapa daerah itu di jadikan sebuah Sīma?

Pertanyaan itu mungkin akan dapat terjawab apabila tulisan tipis pada baris baris

di bagian berikutnya itu dapat terbaca, yang karena keterbatasan penulis dalam melihat

huruf-huruf tipis yang tergores dalam prasasti itu, hal itu belum dapat dilakukan. Akan

tetapi mungkin juga tidak akan dapat dijumpai keterangan lebih banyak karena, seperti

yang pernah dikatakan seorang ahli, bahwa masyarakat masa itu bukan meninggalkan

tulisan untuk dapat di ketahui oleh orang orang jauh dari masanya. Mereka telah cukup

tahu, siapakah para tokoh yang tertulis dalam prasasti itu sehingga tidak perlu lagi

penjelasan lebih banyak tentang si tokoh.

Seperti umumnya susunan kalimat di dalam prasasti-prasasti masa pemerintahan

Rakai Pikatan dan Rakai Kayuwani, yang dibuat sesingkat singkatnya, dengan

mengorbankan kejelasan (Boechari 1975; 145)8, maka susunan kalimat dalam prasasti

inipun sangat pendek. Selain penyebutan penanggalan dan tokoh yang bernama rakai

Sirat atau Sirak serta pendeta kuil tidak ada keterangan lain yang dapat diketahui.

Beberapa meter dari tempat penemuan

prasasti ini, terdapat sebuah Yoni dengan

ukuran yang cukup besar, pada ceratnya

terdapat seekor Garuda (?) atau Gana bersayap

(?) dalam posisi jongkok di atas seekor kura-

kura bertopangkan tiga kepala naga. Sebuah

bentuk penyangga cerat yang tidak begitu umum

seperti yoni-yoni yang sering ditemukan dan jumpai. Mahluk penopang itu di gambarkan

dengan kedua tangan dalam posisi ke atas menahan beban cerat, berhiaskan kalung,

8
Boechari, 1975, “MANFAAT STUDI BAHASA DAN SASTRA JAWA KUNA DITINJAU DARI
SEGI SEJARAH DAN ARKEOLOGI” dalam LAPORAN SEMINAR AHLI-AHLI JAWA KUNA di
selenggarakan oleh FS UNUD dan UI DENPASAR, 23 NOPEMBER s/d 1 DESEMBER 1975, hal
133-152.
gelang tangan dan kaki serta anting anting dikedua telinganya. Bagian mulut yang

mungkin adalah paruhnya (bila dianggap Garuda) telah sedikit aus dan hilang. Yoni dengan

ukuran 120 x 120 cm ini terbuat dari batu Andesit, bidang datar tempat lubang lingga,

telah aus di bagian kirinya karena sering digunakan untuk menggosok/mengasah alat alat

pertanian oleh para petani setempat. Bagian cerat-nya, yang di bawahnya ditopang oleh

arca “Garuda” jongkok itu telah patah, dan patahannya sampai pada separuh tubuh

“Garuda”. Sebagian besar bagian bawah dari Yoni ini masih tertutup tanah, sehingga

tinggi total dari Yoni ini belum dapat diketahui dengan

pasti. Lubang untuk Lingga berbentuk kotak dengan

ukuran 27 cm x 27 cm dengan kedalaman 20 cm. Apabila

posisinya masih sama seperti dahulu ketika masih

digunakan, Yoni ini menghadap ke utara (?) sesuai dengan

arah ceratnya. Yoni ini kemungkinan besar adalah Yoni

yang sama dengan yang pernah di temukan pada saat

survey tahun 1975/1976. Pada saat itu dinyatakan bahwa

bagian ceratnya hilang. 9

Lingga dari Yoni ini tidak dapat ditemukan lagi.

Yoni secara umum dapat diartikan

perwujudan lambang Parwati sebagai pasangan

Lingga berbentuk kemaluan wanita. Berfungsi

sebagai landasan lingga. Pada permukaan yoni

terdapat sebuah lubang berbentuk segi

empat di bagian tengah -untuk meletakkan

lingga- yang dihubungkan dengan cerat melalui

sebuah saluran air sempit. Cerat hanya terdapat pada salah satu sisi dan berfungsi

sebagai pancuran. Yoni dan lingga biasanya dihubungkan dengan kehadiran candi. Dari

9
Pada tulisan Bambang Budi Utomo disebut dengan desa Kedon. Bambang Budi Utomo, Persebaran
Yoni di Kedu, skripsi sarjana UI. 1981 hal 55. Verbeek menuliskan berada di desa Tegal Plandi,
demikian pula Krom yang merujuk pada tulisan Verbeek. (Verbeek 1891: 148; Krom 1914a: 213).
De Groot dalam disertasinya menuliskannya pula namun tanpa menyebutkan adanya cerat.
(Véronique Myriam Yvonne Degroot, Candi Space and Landscape. Hal 290)
pengertian tentang yoni tadi tidaklah begitu menyimpang apabila dianggap keberadaan

Sīma di sana adalah karena adanya kuil atau candi beserta pendetanya (marhyang) di

sana.

Marhyang diartikan sebagai seorang pendeta di suatu bangunan suci/kuil/candi.

Ada Marhyang wetan/timur dan ada pula marhyang lor/utara. (prasasti Wurutunggal

807 Ç)10 Akan tetapi Marhyang kadang diartikan pula sebagai seorang penjaga suatu

bangunan suci atau candi. (prasasti Kwak I 801 Ç11, prasasti Panuŋgalan 818 Ç12 dan

prasasti Lintakan 841 Ç13) Dalam menjalankan tugasnya seorang Marhyang dibuatkan

sebuah pos/gardu penjaga yang didirikan di dekat bangunan suci tersebut. Tugas

utamanya adalah menjaga bangunan suci dari kerusakan yang dihubungkan dengan adanya

pencurian. Jabatan Marhyang dapat diduduki seorang pendeta ataupun rakyat jelata14.

Verbeek dalam daftar kekunaan yang diterbitkan tahun 1891 menduga adanya

sebuah candi kecil (een tempeltje) di daerah ini berdasar temuan potongan yoni,

tumpukan bata dan pecahan bata yang ada15. De Groot dalam disertasinya

menyinggungnya pula dengan kondisi lingkungan di sekitarnya pada saat ini16.

Situs ini oleh penduduk setempat disebut Candi Wurung. Candi Wurung merupakan

istilah bahasa Jawa yang artinya Candi yang belum jadi/selesai dibangun. Hal ini akan

sangat baik dan menarik untuk di kaji lebih lanjut. Benarkah Yoni ini merupakan bagian

dari sebuah bangunan candi. Apabila sisa-sisa bata itu adalah bagian dari sebuah

bangunan yang pernah diisi oleh Yoni ini, maka penelitian atau bahkan penggalian

arkeologis atau ekskavasi lebih lanjut akan sangat penting. Salah satu contoh adanya

situs “terlupakan” yang akhirnya di-ekskavasi dengan lebih serius setelah adanya temuan

yang unik adalah situs candi Mantub di Yogyakarta. Dalam laporan purbakala tahun 1948,

situs ini pernah di singgung karena adanya beberapa temuan arca, namun tidak ditindak

10
Machi Suhadi dan MM Sukarto K Atmodjo, 1986, Laporan Penelitian Epigrafi Jawa Tengah no
37, Proyek Penelitian Purbakala, Dep P&K, Jakarta. Hal 29
11
Boechari dan AS Wibowo, 1986, Prasasti Koleksi Museum Nasional I. Jakarta hal 31
12
Boechari dan AS Wibowo, 1986, Prasasti Koleksi Museum Nasional I. Jakarta hal 45
13
Boechari dan AS Wibowo, 1986, Prasasti Koleksi Museum Nasional I. Jakarta hal 48
14
Rita Margaretha Setianingsih, 1991, Sekilas tentang Petugas Bangunan Suci di dalam
Masyarakat Jawa Kuna. Diskusi Ilmiah Epigrafi. Yogyakarta.
15
Verbeek 1891: 148
16
Véronique Myriam Yvonne Degroot, 2009, Candi Space and Landscape. Hal 290
lanjuti dengan penelitian lebih lanjut17. Akan tetapi sekitar tahun 1991, setelah

ditemukan arca dewa-dewi bergandengan tangan di sana, situs ini menarik perhatian lagi

dan diadakan penggalian arkeologis yang akhirnya berhasil menampakkan 3 buah bentuk

candi meskipun hanya pada bagian kakinya saja.

Tidak jauh dari daerah temuan prasasti ini, terdapat dua buah temuan prasasti

lain yang menyatakan pemberian tanda batas sebuah daerah Sīma di Kurambittan oleh pu

Apus18. Tahun dan bulannya sama hanya berbeda sekitar 19 hari, dengan penanggalan

prasasti dari Plandi terlebih dahulu. Apabila kedua tempat penemuan prasasti itu di

gambarkan dalam sebuah peta, hasilnya adalah sebuah tempat yang berimpitan antara

desa tempat dua lingga prasasti dengan desa tempat Yoni dan prasasti Plandi itu

ditemukan. Meskipun

temuan dua lingga ini

belum menggambarkan

dengan jelas batas-

batasnya, namun paling

tidak satu sisi dari batas

itu telah dapat

diketahui. Hal ini

merupakan sebuah bukti

yang sungguh menarik

karena dengan demikian

membuktikan adanya wilayah Sīma yang saling berbatasan.

Dalam prasasti Kurambittan disebutkan bahwa Sīma di Kurambittan di tetapkan

untuk sebuah tempat suci (dharma) di Salīsiṅan seluas 3 tampaḥ, sedangkan dalam

prasasti Plandi disebutkan bahwa sebuah Sīma berupa sawah telah pula ditetapkan yang

besarnya belum diketahui karena keterbatasan penulis dalam melihat huruf-huruf tipis

yang tergores dalam prasasti itu. Tampaḥ adalah salah satu ukuran luas tanah yang

17
OD 1948, 1950, Bandung, A.C Nix & Co hal 37
18
WF Stutterheim, 1934, Beschreven lingga van Krapyak, dalam TBG, LXXIV, 1934, hal. 85-93;
Boechari, 1959, An Inscribed Linga from Rambianak, In BEfEO 49 N°2, hal. 405-408.
sudah dikenal masyarakat Jawa Kuna. Boechari mengatakan bahwa tampaḥ “biasa” untuk

membedakannya dengan “tampaḥ haji” sebagai ukuran tradisional saat itu disamakan

dengan bahu = 7096 meter persegi. Sedangkan tampaḥ haji sebagai ukuran standar

disamakan dengan 10000 meter persegi atau 1 Ha19. Dari ukuran ini dapat diperkirakan

bahwa luas tanah di Kurambittan yang ditetapkan sebagai Sīma adalah sekitar 21288

meter persegi. Sedangkan luas Sīma di dalam prasasti Plandi masih perlu pembacaan

yang lebih teliti lagi untuk mengetahuinya. Bentang luasan daerah masing masing Sīma

akan dapat lebih jelas lagi terlihat apabila temuan lain lingga patok sejenis dengan

prasasti Kurambittan dapat ditemukan suatu saat nanti dan pembacaan prasasti Plandi

dapat diselesaikan dengan lebih baik. Kedua sisi yang telah dapat diperkirakan

panjangnya dapat dijadikan dasar bagi bentang luasan ini. Dari luasan ini dapat pula

diperkirakan hasil “panen”yang didapat dari luas sawah itu. Yang pada akhirnya akan

dapat pula diketahui hasil yang didapat oleh para Marhyang. Marhyang atau para penjaga

bangunan suci dan atau para pendeta bangunan suci mendapatkan penghasilan dari

sepertiga hasil pajak daerah itu. Jumlah pajak yang diberikan sebuah daerah kepada

kerajaan hasilnya akan dibagi 3, sepertiga untuk manilala drawya haji, sepertiga untuk

bangunan suci dan sepertiga lainnya untuk para pemelihara bangunan suci itu. Hal ini

dapat diketahui dari berita yang ada dalam prasasti Telang II20.

Dari beberapa hal dalam paparan di atas dapat diketahui bahwa batu bertulis

yang di temukan itu berasal dari pertengah tahun 800 an M, tepatnya 30 November 869

M, yang berisi tentang adanya sebuah penetapan sima (daerah perdikan otonom). Adanya

temuan lain berupa Yoni di sekitar daerah penemuan batu bertulis tersebut, menarik

untuk dicermati lebih lanjut, bahkan kalau survey dan penelitian arkeologis lebih serius

dilakukan, dapat di lanjutkan dengan sebuah penggalian arkeologis di daerah tersebut.

Goenawan A. Sambodo,
Menjelang kebangkitan nasional rongewu pitulas

19
Boechari 1981, “Ulah para Pemungut Pajak di dalam Masyarakat Jawa Kuna”, Majalah Arkeologi
th. IV no 1-2 hal 78.
20
Rita Margaretha Setianingsih, 1991, Sekilas tentang Petugas Bangunan Suci di dalam
Masyarakat Jawa Kuna. Diskusi Ilmiah Epigrafi. Yogyakarta
Bacaan.

 Boechari, An Inscribed Linga from Rambianak, In BEfEO 49 N°2, 1959. pp. 405-
408.
 Boechari, 1975, “Manfaat Studi Bahasa dan Sastra Jawa Kuna ditinjau dari segi
Sejarah dan Arkeologi, dalam Laporan Seminar Ahli-ahli Jawa Kuna. Di
selenggarakan oleh FS UNUD dan UI. Denpasar, 23 November s/d 1 Desember
1975, hal 133-152.
 Boechari, 1980 “Candi dan Lingkungannya”, dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi I,
Cibulan 1977. Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional. Hal 319-341
 Boechari, 1981, “Ulah para Pemungut Pajak di dalam Masyarakat Jawa Kuna”,
Majalah Arkeologi th. IV no 1-2 hal 67-87.
 Boechari dan AS Wibowo, 1986, Prasasti Koleksi Museum Nasional I. Jakarta
 L. Mardiwarsito, 1986. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Ende-Flores. Nusa Indah.
 Oudheidkundige Verslag 1948, 1950, Bandung, A.C Nix & Co.
 RDM Verbeek, Oudheden van Java List, dalam VBG 46,1891, Batavia
Landsdrukkerij-'s Hage M Nijhoff
 Rita Margaretha Setianingsih, 1991, Sekilas tentang Petugas Bangunan Suci di
dalam Masyarakat Jawa Kuna. Diskusi Ilmiah Epigrafi. Yogyakarta.
 Véronique Myriam Yvonne Degroot, 2009, Candi Space and Landscape. Disertasi
Leiden
 WF. Stutterheim : Beschreven lingga van Krapyak, dalam TBG, LXXIV, 1934, p.
85-93.
 Zoetmoelder, 1974, Kalangwan, A Survey of Old Javanese Literature.
Translation Series, 16. The Hague.

Peta

 Magelang en Omstreken / Topographische Inrichting code D E 47,4


Topographische Inrichting, Batavia, 1915. Koleksi Media-KITLV.nl diunduh Mei
2017

Anda mungkin juga menyukai