Anda di halaman 1dari 12

CMV Congenital

1.1 Pendahuluan

Human Cytomegalovirus (CMV) adalah virus DNA spesifik manusia,


termasuk dalam keluarga Herpesviridae. Sebagian besar infeksi CMV tidak
menunjukkan gejala dan dapat sembuh spontan pada hospes imunokompeten.
Sementara pada hospes imunokompromais CMV dapat menyebabkan beban
penyakit yang cukup tinggi atau berat. Infeksi CMV sendiri merupakan penyebab
non genetik utama dari gangguan pendengaran sensorineural dan keterlambatan
neurodevelopmental di negara-negara maju (Marsico dan Kimberlin, 2017).

Di negara maju, seroprevalensi CMV pada wanita usia subur berkisar


antara 50 hingga 85%, sementara di negara-negara berkembang dengan
pemukiman padat penduduk, seroprevalensi diperkirakan bisa mencapai 100%. Di
negara-negara berkembang, infeksi biasa terjadi pada masa awal kehidupan
melalui laktasi. Beberapa faktor lain yang terkait dengan seroprevalensi yang lebih
tinggi adalah tingkat sosioekonomi yang lebih rendah, bukan ras kulit putih,
perawat anak-anak, dan aktivitas seksual beresiko. Perkiraan insiden infeksi CMV
kongenital di negara berkembang adalah 0,6-0,7% dari semua kelahiran hidup
(Marsico dan Kimberlin, 2017).

Cytomegalovirus (CMV) dapat mengalami reaktivasi pada masa laktasi


hingga 96% ibu positif seropositif. Hal ini akan sangat berpengaruh terutama pada
bayi-bayi imunokompromais, prematur dan bayi dengan berat badan rendah
(Hamprecht dan Goelz, 2016). Pada tinjauan pustaka ini akan dibahas mengenai
patofisiologi, diagnosis, tatalaksana serta pencegahan infeksi CMV kongenital.

1.2 Tujuan

1. Mengetahui patofisiologi infeksi CMV kongenital


2. Mengetahui diagnosis, tatalaksana dan pencegahan infeksi CMV
kongenital

1.3 Manfaat

Meningkatkan pengetahuan mengenai patofisiologi, diagnosis tatalaksana


dan pencegahan infeksi CMV kongenital.
Tinjauan Pustaka

2.1 Citomegalovirus

Human Cytomegalovirus (CMV) adalah virus DNA yang termasuk dalam keluarga
Herpesviridae dan merupakan salah satu virus yang spesifik menyerang manusia
(Marsico dan Kimberlin, 2017). Di Amerika Serikat, hampir satu dari tiga anak telah
terinfeksi CMV pada usia 5 tahun. Lebih dari setengah orang dewasa pada usia
40 telah terinfeksi CMV. Setelah seseorang terinfeksi CMV, virus ini akan menetap
pada tubuh hospes dan dapat mengalami reaktivasi (CDC, 2018)

2.2 Patofisiologi

CMV akan menetap setelah infeksi primer untuk seumur hidup di sel
prekursor hematopoetik CD341 dan bisa mengalami reaktivasi apabila inang
mengalami stres, kehilangan sementara kekebalan sel CD41 dan CD81,
pensinyalan interleukin (IL)-6, berhentinya siklus sel, atau kerusakan DNA. Selain
itu reaktivasi CMV juga dapat terjadi pada ibu imunokompeten saat masa laktasi 3
bulan pertama. Reaktivasi CMV ini dapat dideteksi pada kolostrum ibu dan
kebanyakan menghilang pada bulan ke 3 setelah melahirkan (Hamprecht dan
Goelz, 2016). Pada penelitian lain disebutkan bahwa reaktivasi virus dan
penularannya melalui ASI dapat dimulai pada minggu pertama kelahiran dengan
puncak pada minggu ke 4 hingga 8 dan menurun dengan cepat pada minggu ke 9
hingga 12 (Yoo et al., 2015). Puncak virolaksia dan DNA virus laksia bervariasi
antara 103-106 kopi/ml susu wheybebas lemak. Onset, dinamika dan akhir
penyebaran virus pada ASI bervariasi pada setiap individu (Hamprecht dan Goelz,
2016).

Salah satu sel ASI yang terlibat pada reaktivasi CMV adalah makrofag
CD141. Telah ditemukan bahwa sel-sel susu yang telah terinfeksi CMV tidak
berperan dalam transmisi virus ini. Sel-sel susu yang dimaksud termasuk laktosit,
sel-sel myoepithel,juga sel-sel turunan darah seperti sel imun/leukosit serta
progenitor hematopoietik dan sel punca. Kadar DNA CMV ASI dan CD4 maternal
memiliki hubungan kuat, dimana jumlah CD4 kurang dari 450 sel/mm3 akan
meningkatkan transmisi CMV dari ibu.

Selain itu masa gestasi kurang dari 32 minggu atau berat lahir kurang dari
1500 g pada ibu dengan seropositif CMV, juga dapat meningkatkan resiko
transimisi virus pada bayi (Hamprecht dan Goelz, 2016). Bayi sangat prematur
sendiri memiliki resiko terjadinya infeksi CMV simtomatis yang lebih besar
dibandingkan bayi tidak prematur. Resiko meningkat pada pemberian ASI segar
yang ditambah dengan susu formula (Omarsdottir et al, 2015).

Transmisi CMV melalui ASI pada bayi BBLSAR telah diketahui menjadi
sumber utama infeksi CMV postnatal. Mayoritas wanita dengan seropositif
immunoglobulin G (IgG) CMV mengalami reaktivasi selama laktasi, dan kemudian
mengekskresikan CMV dalam ASI tanpa tanda klinis atau laboratorium adanya
infeksi sistemik Oleh karena itu, risiko infeksi CMV postnatal mungkin lebih besar
pada bayi BBLSAR yang lahir di negara atau etnis dengan prevalensi tinggi dari
wanita dengan seropositif IgG CMV (Yoo et al, 2015).

Bahwa pembekuan ASI mengurangi tetapi tidak sepenuhnya mencegah


transmisi CMV melalui ASI,16 kebijakan kami diubah untuk menguji apakah
pasteurisasi dapat menghilangkan akuisisi infeksi CMV postnatal melalui ASI, dan,
oleh karena itu, bayi diberi ASI yang telah dipasteurisasi secara konvensional pada
63 ° C selama 30 menit selama periode II (Yoo et al, 2015).

2.3 Diagnosis

Infeksi CMV kongenital sering tidak terdeteksi saat lahir karena sebagian
besar bersifat asimtomatis dan juga masih kurangnya tes skrining yang cocok
untuk analisis dengan hasil akurat pada tahun-tahun sebelumnya (Marsico dan
Kimberlin, 2017).

Optimalisasi teknologi real-time polymerase chain reaction (real time PCR)


telah menghasilkan kemajuan penting dalam kemungkinan diagnostik dimana
sebelumnya isolasi virus yang dijadikan metode standar untuk mendiagnosis
infeksi CMV kongenital, namun kelemahan metode ini tidak dapat dilakukan untuk
skrining karena membutuhkan banyak tenaga kerja dan sumber daya, dan
membutuhkan kultur jaringan (Marsico dan Kimberlin, 2017).

Dried blood spots (DBS) telah dihipotesiskan sebagai spesimen skrining


praktis untuk infeksi CMV kongenital, dengan perbandingan prospektif CMV DNA
dan berbasis populasi dengan real-time PCR (Marsico dan Kimberlin, 2017).

Pada penelitian melaporkan sensitivitas untuk deteksi DNA CMV lebih


tinggi dari uji PCR, tetapi penelitain yang dilakukan merupakan penelitian
retrospektif atau studi prospektif dari populasi yang dipilih dengan infeksi CMV
yang sudah diketahui. Maka dari itu, pengujian CMV dengan DBS real-time PCR
tidak sesuai untuk skrining CMV, namun kegunaan utamanya tetap sebagai
diagnosis retrospektif infeksi CMV kongenital pada anak-anak yang muncul
dengan kecacatan dengan onset tertunda (Marsico dan Kimberlin, 2017).

Berbeda dengan spesimen DBS, uji real-time PCR pada hapusan saliva
dari penelitian CHIMES memberikan hasil yang sangat baik, baik untuk hapusan
udara kering dan untuk hapusan yang dikirim ke laboratorium dalam media
transpor virus. Pada uji PCR saliva yang digunakan untuk menskrining bayi baru
lahir, hasil skrining positif harus dikonfirmasi dalam 3 minggu pertama kehidupan
untuk menghindari hasil skrining positif palsu. Sensitivitas analitis pada uji ini
sangat baik dan kemudahan dalam pengumpulan saliva pada neonatus membuat
spesimen ini mudah untuk skrining CMV neonatal (Marsico dan Kimberlin, 2017).

Spesimen lain di mana CMV terus-menerus diekskresikan dalam jumlah


besar pada infeksi kongenital adalah urin, namun pengumpulan sampel dengan
menggunakan kantong mungkin cukup sulit dilakukan pada neonatus (Marsico dan
Kimberlin, 2017).

Sebagian besar infeksi CMV tidak menunjukkan gejala dan dapat sembuh
spontan pada hospes imunokompeten. Sementara pada hospes
imunokompromais CMV dapat menyebabkan beban penyakit yang cukup tinggi
atau berat. Infeksi CMV sendiri merupakan penyebab non genetik utama dari
gangguan pendengaran sensorineural dan keterlambatan neurodevelopmental di
negara-negara maju (Marsico dan Kimberlin, 2017). Pada 35% bayi dengan CMV
dapat ditemukan gambaran klinis yang bervariasi, bahkan dapat mengancam
nyawa seperti sepsis, kolestasis, pneumonitis dan enterocolitis (Omarsdottir et al,
2015).

Beberapa laporan menunjukkan peningkatan resiko displasia


bronkopulmonal (BPD) serta gangguan tumbuh kembang pada bayi yang terinfeksi
CMV saat postnatal, termasuk di dalamnya infeksi akibat ASI (Omarsdottir et al,
2015).

Terdapat pula gejala menyerupai sepsis/sepsis-like symptoms (SLS) yang


berkaitan dengan infeksi CMV pada bayi prematur BBLSR. Pada SLS dapat
ditemukan apnea, bradikardi, hepatosplenomegali, hepatitis, gray pallor, distensi
abdomen, trombositopenia, neutropenia, dan peningkatan enzim hati. Selain itu
pada beberapa laporan kasus infeksi CMV pada bayi BBSLR yang dapat
menyebabkan kondisi berat hingga kematian akibat pneumonia yang
membutuhkan ventilasi buatan, hepatitis, keterlibatan gastrointestinal dengan
necrotizing enterocolitis (NEC), diare berdarah, striktur dan volvulus (Hamprecht
dan Goelz, 2016).

Sedangkan tanda dan gejala infeksi pada perinatal dalam penelitian ini, 82%
(22/27) dari kelompok terinfeksi CMV bergejala dalam waktu 3 minggu setelah
deteksi viruria pertama. Trombositopenia (63%, 17/27) adalah kelainan yang
paling umum, diikuti oleh neutropenia (44%, 12/27), hiperbilirubinemia direk > 2
mg / dL (30%, 8/27), peningkatan enzim hati (26%). , 7/27), dan meningkatkan
kebutuhan bantuan napas (19%, 5/27). Baik retinitis maupun ensefalopati tidak
terdeteksi (Yoo et al, 2015).

2.4 Tatalaksana

Penelitian pengobatan infeksi CMV kongenital sudah dimulai 30 tahun


yang lalu, dengan gansiklovir (GCV, yang merupakan analog deoxyguanosine
asiklik) sebagai obat pertama yang dievaluasi (Marsico dan Kimberlin, 2017).

Pada tahun 2003, Kelompok Studi Antiviral Kolaboratif (CASG) dari


National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID) mempublikasikan
hasil percobaan dari terapi GCV 6 minggu dibandingkan dengan tanpa
pengobatan, untuk melihat efek GCV pada fungsi pendengaran pada bayi.
Percobaan ini dilakukan pada 100 neonatus yang berusia ≤1 bulan, lalu diacak
untuk menerima GCV pada 6 mg / kg / dosis secara intravena dua kali sehari atau
tanpa pengobatan. Hasil yang dinilai adalah perbaikan fungsi pendengaran, atau
kembalinya fungsi pendengaran menjadi normal pada awal percobaan atau
setelah diikuti 6 bulan kemudian. Hasil menunjukkan pada terapi GCV 6 minggu
dapat meningkatkan fungsi pendengaran pada bulan ke 6 dibandingkan dengan
kelompok yang tidak diobati (Marsico dan Kimberlin, 2017).

Namun, penerima GCV mengalami perburukan dalam fungsi pendengaran


pada telinga sehat pada nilai awal dan 1 tahun atau lebih, dibandingkan pada
kelompok yang tidak diobati. Toksisitas utama pada terapeutik ini adalah terjadinya
neutropenia yang signifikan secara klinis pada 63% pasien yang diobati,
dibandingkan dengan kelompok yang tidak diobati (Marsico dan Kimberlin, 2017).

Penelitian farmakokinetik / farmakodinamik berikutnya oleh CASG


menetapkan bahwa 16 mg / kg / dosis valganciclovir (VGCV), prodrug oral dari
GCV, diberikan secara oral dua kali sehari yang memberikan sebanding dengan
percobaan GCV intravena (Marsico dan Kimberlin, 2017).

Berdasarkan fakta melaporkan bahwa penularan virus jangka panjang


pada bayi yang terinfeksi secara kongenital, dapat muncul kecacatan yang
tertunda, dan CMV DNA telah terdeteksi pada perilimfe anak yang menjalani
implantasi koklea untuk SNHL akibat CMV (Marsico dan Kimberlin, 2017).

CASG berhipotesis bahwa durasi yang lebih lama dari terapi antivirus
dapat menghasilkan supresi replikasi virus yang lebih panjang dan perbaikan lebih
lanjut pada hasil akhirnya. Pada periode 2008-2013, CASG melakukan percobaan
terkontrol acak plasebo yang membandingkan 6 minggu terapi VGCV oral
(kelompok 6 minggu) dengan 6 bulan terapi VGCV oral (kelompok 6 bulan).
Populasi penelitian terdiri dari bayi yang memiliki gejala, semua berusia 30 hari
atau kurang, dengan atau tanpa keterlibatan SSP. Kriteria inklusi pada penelitian
ini di mana hanya bayi dengan keterlibatan SSP diikutsertakan, didasarkan pada
hasil penelitian lanjutan selama periode 30 tahun yang menunjukkan bahwa
penyakit CMV yang ditularkan saat lahir dengan atau tanpa keterlibatan CNS
memiliki nilai prediksif terjadinya SNHL (Marsico dan Kimberlin, 2017).

VGCV diberikan pada 16 mg / kg / dosis dua kali sehari. Hasil yang dilihat
dari penelitian ini adalah perubahan pendengaran telinga sehat dari nilai awal
sampai 6 bulan, dan perubahan pendengaran dari nilai awal sampai 12 dan 24
bulan, dan perbandingan hasil perkembangan saraf pada 12 dan 24 bulan dengan
menggunakan Bayley Scales of Infant and Toddler Development, edisi III (Bayley-
III) (Marsico dan Kimberlin, 2017).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa durasi terapi antiviral yang lebih lama
tidak meningkatkan fungsi pendengaran lebih lanjut dalam 6 bulan, tetapi
meningkatkan hasil pendengaran pada 12 dan 24 bulan dibandingkan dengan
terapi 6 minggu. Pada 24 bulan, kelompok 6 bulan juga memiliki skor
perkembangan saraf yang lebih baik pada komponen komposit bahasa Bayley-III.
Pada terapi VGCV oral dikaitkan dengan risiko neutropenia yang lebih rendah
dibandingkan dengan GCV intravena (Marsico dan Kimberlin, 2017).

Berdasarkan penelitian ini, VGCV selama 6 bulan sekarang dianggap


sebagai pilihan terapeutik yang efektif dan ditoleransi dengan baik untuk bayi
dengan gejala untuk meningkatkan hasil pendengaran dan perkembangan saraf
jangka panjang (Marsico dan Kimberlin, 2017).

Keputusan untuk memulai terapi antiviral pada bayi dengan infeksi CMV
kongenital harus disertai dengan konseling yang memadai mengenai manfaat dan
risiko potensial dari terapi antiviral. Selain neutropenia, ada bukti karsinogenisitas
dan gonadotoksisitas dari GCV pada beberapa model hewan, meskipun tidak ada
toksisitas seperti itu yang telah ditunjukkan pada manusia saat ini (Marsico dan
Kimberlin, 2017).

Saat ini tidak ada bukti manfaat dari terapi antiviral pada bayi tanpa gejala,
karena itu bayi yang tidak bergejala tidak boleh menerima terapi antiviral.Penelitian
lebih lanjut sangat diperlukan untuk menghitung jumlah virus dalam darah sebagai
prediktor SNHL. Hal ini sangat penting terutama mengingat sebagai program
skrining untuk infeksi CMV kongenital di seluruh dunia (Marsico dan Kimberlin,
2017).

2.5 Pencegahan

Strategi untuk mengurangi beban penyakit CMV kongenital dapat


diimplementasikan pada berbagai tahap, yang meliputi pencegahan infeksi
maternal, pencegahan MTCT (transmisi ibu ke anak), deteksi dini dan intervensi
dengan skrining neonatal, dan terapi antivirus neonatal (Marsico dan Kimberlin,
2017).

Tidak seperti banyak agen infeksi lainnya yang berpotensi membahayakan


janin dan neonatus, skrining prenatal dengan menggunakan serologi maternal
untuk CMV tidak secara rutin direkomendasikan. Pada tahun 2005 sebuah
penelitian menyarankan bahwa pemberian hiper imunoglobulin (HIG) spesifik CMV
kepada ibu hamil dengan infeksi CMV primer dapat menyebabkan penurunan yang
signifikan pada tingkat MTCT (menurun dari 40 ke 16%) dan pada risiko penyakit
kongenital (menurun dari 50 menjadi 3%) (Marsico dan Kimberlin, 2017).
Namun, pada tahun 2014 hasil dari uji coba plasebo terkontrol pada
penggunaan HIG spesifik virus untuk pencegahan infeksi CMV kongenital
mengungkapkan bahwa perbedaan dalam tingkat infeksi kongenital antara
kelompok wanita hamil yang telah menerima HIG dan kelompok plasebo secara
statistik tidak signifikan (Marsico dan Kimberlin, 2017).

Dua uji coba terkontrol plasebo acak lainnya dari HIG dalam kehamilan
untuk pencegahan MTCT CMV yang berlangsung di Amerika Serikat dan di Eropa,
hasilnya ialah tidak ada bukti yang mendukung penggunaan HIG pada wanita
hamil untuk pencegahan atau pengobatan infeksi CMV kongenital (Marsico dan
Kimberlin, 2017).

Baru-baru ini hasil dari studi terbuka multisenter dengan mengevaluasi


efikasi valacyclovir oral dosis tinggi (8 g setiap hari) pada wanita hamil dengan
janin yang terinfeksi CMV moderat. Janin yang terinfeksi CMV moderat ditandai
oleh adanya satu atau lebih gambaran ultrasonografi ekstraserebral yang
kompatibel dengan infeksi CMV dan / atau satu kelainan serebral yang terisolasi
dan / atau temuan laboratorium dari infeksi CMV dalam darah janin. Wanita yang
mengandung janin tanpa tanda-tanda infeksi dan janin dengan kelainan gambaran
ultrasonografi otak yang berat tidak diikutsertakan. valacyclovir diasumsikan
memiliki efek positif jika setidaknya 31/43 neonatus tidak menunjukkan gejala saat
lahir. Hasil studi menunjukkan bahwa jumlah bayi tanpa gejala saat lahir adalah
34/43, menggambarkan manfaat dari pendekatan terapeutik ini (Marsico dan
Kimberlin, 2017).

Keterbatasan lain yang penting untuk skrining prenatal untuk CMV adalah
usia neonatus yang tinggi dengan infeksi CMV kongenital pada ibu dengan infeksi
non-primer selama kehamilan. Mendiagnosis infeksi CMV non-primer pada
kehamilan merupakan tantangan, karena penanda virologi atau imunologis untuk
infeksi CMV non-primer belum diidentifikasi (Marsico dan Kimberlin, 2017).

Vaksin ideal bertujuan untuk mengurangi dampak infeksi CMV kongenital


harus memiliki kemampuan untuk melindungi baik wanita seronegatif dari infeksi
primer, serta untuk meningkatkan respon imun pada wanita seropositif untuk
mencegah reaktivasi atau infeksi ulang (Marsico dan Kimberlin, 2017).

Pendekatan vaksin didasarkan ekspresi antigen CMV menggunakan virus


hidup dan sistem virus-seperti partikel (VLP). Investigasi ini menemukan bahwa
titer antibodi pada wanita yang divaksinasi gB / MF59 lebih tinggi 6 bulan setelah
vaksin terakhir dibandingkan dengan kelompok placebo (Marsico dan Kimberlin,
2017).

Sampai saat ini, intervensi andalan untuk pencegahan infeksi maternal,


dan pada infeksi kongenital, tetap menekankan pada pendidikan ibu hamil
mengenai sumber paparan dan intervensi perilaku untuk membatasi paparan CMV
(Marsico dan Kimberlin, 2017).

Pencegahan yang efektif dari transmisi CMV hanya mungkin dilakukan


dengan perlakuan panas pada ASI. Metode pasteurisasi jangka panjang (30 menit,
63 C) dan jangka pendek (5 detik, 62 C) dapat efektif, tetapi pasteurisasi jangka
pendek mempertahankan komponen nutrisi dan imunologis yang relevan dalam
susu seperti antibodi spesifik CMV, enzim, dan hormon, terutama faktor
pertumbuhan. Baru-baru ini, dalam studi intervensi bisentrik prospektif dengan
kontrol riwayat, kejadian transmisi CMV berkurang secara signifikan dengan
menggunakan pasteurisasi jangka pendek (Hamprecht dan Goelz, 2016).

Freeze thawing pada 20 C untuk interval waktu mulai dari 18 jam hingga
10 hari dapat mengurangi konsentrasi virus tetapi tidak efektif dalam
menghilangkan virus (Hamprecht dan Goelz, 2016).

Pada penelitian lain disebutkan bahwa pembekuan ASI pada suhu -20°C
dapat menurunkan titer CMV, walaupun efektivitasnya sendiri masih belum dapat
dijelaskan oleh peneliti. Disebutkan pula bahwa pembekuan ASI selama 3 hari
pada suhu -20°C dapat menurunkan resiko sepsis onset lambat pada bayi, yang
ditunjukkan dengan terjadinya sepsis onset lambat akibat jamur pada kelompok
yang diberikan ASI segar, yang tidak terjadi pada kelompok ASI yang dibekukan.
Dibutuhkan konsensus khusus mengenai pemberian ASI pada bayi prematur <28
minggu, di mana resiko infeksi dan komplikasi neonatal sangat tinggi (Omarsdottir
et al, 2015). Pada penelitian lain disebutkan bahwa secara in vitro, pembekuan
ASI pada suhu -20° C selama semalam, >72 jam dan 7 hari dapat menurunkan
titer CMV sebesar 90%, 99% dan 100% secara beurutan (Yoo et al., 2015).

Potensi kolonisasi Candida pada ASI perah dapat diturunkan dengan


pembekuan, karena pembekuan dapat menonaktifkan ragi dengan nilai tambah
berupa tidak rusaknya komponen imunologi pada ASI. Namun hasil penelitian ini
dapat rancu dengan prematuritas, berat lahir rendah, intubasi, penggunaan kateter
sentral, pengobatan jangka panjang dengan antibiotik spektrum luas dan
pemberian nutrisi parenteral (Omarsdottir et al, 2015).

Kesimpulan

Sebagian besar infeksi CMV tidak menunjukkan gejala dan dapat sembuh
spontan pada hospes imunokompeten. Cytomegalovirus (CMV) dapat mengalami
reaktivasi pada masa laktasi hingga 96% ibu positif seropositif. Hal ini akan sangat
berpengaruh terutama pada bayi-bayi imunokompromais, prematur dan bayi
dengan berat badan rendah.

CMV akan menetap setelah infeksi primer untuk seumur hidup di sel
prekursor hematopoetik CD341 dan bisa mengalami reaktivasi apabila inang
mengalami stres, kehilangan sementara kekebalan sel CD41 dan CD81,
pensinyalan interleukin (IL)-6, berhentinya siklus sel, atau kerusakan DNA. Selain
itu masa gestasi kurang dari 32 minggu atau berat lahir kurang dari 1500 g pada
ibu dengan seropositif CMV, juga dapat meningkatkan resiko transimisi virus pada
bayi.

Dried blood spots (DBS) telah dihipotesiskan sebagai spesimen skrining


praktis untuk infeksi CMV kongenital, dengan perbandingan prospektif CMV DNA
dan berbasis populasi dengan real-time PCR.
Berdasarkan penelitian ini, VGCV selama 6 bulan sekarang dianggap
sebagai pilihan terapeutik yang efektif dan ditoleransi dengan baik untuk bayi
dengan gejala untuk meningkatkan hasil pendengaran dan perkembangan saraf
jangka panjang.

Vaksin ideal bertujuan untuk mengurangi dampak infeksi CMV kongenital


harus memiliki kemampuan untuk melindungi baik wanita seronegatif dari infeksi
primer, serta untuk meningkatkan respon imun pada wanita seropositif untuk
mencegah reaktivasi atau infeksi ulang.

Sampai saat ini, intervensi andalan untuk pencegahan infeksi maternal, dan
pada infeksi kongenital, tetap menekankan pada pendidikan ibu hamil mengenai
sumber paparan dan intervensi perilaku untuk membatasi paparan CMV.

Daftar Pustaka

CDC, 2017, Cytomegalovirus (CMV) and Congenital CMV Infection, (Online),


(https://www.cdc.gov/cmv/overview.html), diakses 22 Mei 2018

Hamprecht K dan Goelz R, 2016, Infeksi Cytomegalovirus Pascasalin Melalui ASI


pada Bayi Prematur: Transmisi, Presentasi Klinis, dan Pencegahan. Elsevier Inc.

Yoo, Hye Soo, Se In Sung, Yu Jin Jung, Myung Sook Lee, Young Mi Han et al.,
2015, Pencegaha Transmisi Cytomegalovirus melalui ASI pada Bayi Berat Lahir
Sangat Amat Rendah. Department of Pediatrics, Samsung Medical Center,
Sungkyunkwan University School of Medicine, Seoul; Yonsei Med J 56(4):998-
1006.

Marsico C dan Kimberlin DW, 2017. Infeksi Cytomegalovirus kongenital:


kemajuan dan tantangan dalam diagnosis, pencegahan dan tatalaksana.
Kimberlin. Italian Journal of Pediatrics 43:38
Omarsdottir S, Casper C, Navér L, Legnevall L, Gustafsson F, Grillner L et al.,
2015, Infeksi Cytomegalovirus dan Keluaran Neonatal pada Bayi Sangat Amat
Prematur Setelah Pembekuan ASI. The Pediatric Infectious Disease Journal.
Volume 34, Nomor 5

Anda mungkin juga menyukai