1.1 Pendahuluan
1.2 Tujuan
1.3 Manfaat
2.1 Citomegalovirus
Human Cytomegalovirus (CMV) adalah virus DNA yang termasuk dalam keluarga
Herpesviridae dan merupakan salah satu virus yang spesifik menyerang manusia
(Marsico dan Kimberlin, 2017). Di Amerika Serikat, hampir satu dari tiga anak telah
terinfeksi CMV pada usia 5 tahun. Lebih dari setengah orang dewasa pada usia
40 telah terinfeksi CMV. Setelah seseorang terinfeksi CMV, virus ini akan menetap
pada tubuh hospes dan dapat mengalami reaktivasi (CDC, 2018)
2.2 Patofisiologi
CMV akan menetap setelah infeksi primer untuk seumur hidup di sel
prekursor hematopoetik CD341 dan bisa mengalami reaktivasi apabila inang
mengalami stres, kehilangan sementara kekebalan sel CD41 dan CD81,
pensinyalan interleukin (IL)-6, berhentinya siklus sel, atau kerusakan DNA. Selain
itu reaktivasi CMV juga dapat terjadi pada ibu imunokompeten saat masa laktasi 3
bulan pertama. Reaktivasi CMV ini dapat dideteksi pada kolostrum ibu dan
kebanyakan menghilang pada bulan ke 3 setelah melahirkan (Hamprecht dan
Goelz, 2016). Pada penelitian lain disebutkan bahwa reaktivasi virus dan
penularannya melalui ASI dapat dimulai pada minggu pertama kelahiran dengan
puncak pada minggu ke 4 hingga 8 dan menurun dengan cepat pada minggu ke 9
hingga 12 (Yoo et al., 2015). Puncak virolaksia dan DNA virus laksia bervariasi
antara 103-106 kopi/ml susu wheybebas lemak. Onset, dinamika dan akhir
penyebaran virus pada ASI bervariasi pada setiap individu (Hamprecht dan Goelz,
2016).
Salah satu sel ASI yang terlibat pada reaktivasi CMV adalah makrofag
CD141. Telah ditemukan bahwa sel-sel susu yang telah terinfeksi CMV tidak
berperan dalam transmisi virus ini. Sel-sel susu yang dimaksud termasuk laktosit,
sel-sel myoepithel,juga sel-sel turunan darah seperti sel imun/leukosit serta
progenitor hematopoietik dan sel punca. Kadar DNA CMV ASI dan CD4 maternal
memiliki hubungan kuat, dimana jumlah CD4 kurang dari 450 sel/mm3 akan
meningkatkan transmisi CMV dari ibu.
Selain itu masa gestasi kurang dari 32 minggu atau berat lahir kurang dari
1500 g pada ibu dengan seropositif CMV, juga dapat meningkatkan resiko
transimisi virus pada bayi (Hamprecht dan Goelz, 2016). Bayi sangat prematur
sendiri memiliki resiko terjadinya infeksi CMV simtomatis yang lebih besar
dibandingkan bayi tidak prematur. Resiko meningkat pada pemberian ASI segar
yang ditambah dengan susu formula (Omarsdottir et al, 2015).
Transmisi CMV melalui ASI pada bayi BBLSAR telah diketahui menjadi
sumber utama infeksi CMV postnatal. Mayoritas wanita dengan seropositif
immunoglobulin G (IgG) CMV mengalami reaktivasi selama laktasi, dan kemudian
mengekskresikan CMV dalam ASI tanpa tanda klinis atau laboratorium adanya
infeksi sistemik Oleh karena itu, risiko infeksi CMV postnatal mungkin lebih besar
pada bayi BBLSAR yang lahir di negara atau etnis dengan prevalensi tinggi dari
wanita dengan seropositif IgG CMV (Yoo et al, 2015).
2.3 Diagnosis
Infeksi CMV kongenital sering tidak terdeteksi saat lahir karena sebagian
besar bersifat asimtomatis dan juga masih kurangnya tes skrining yang cocok
untuk analisis dengan hasil akurat pada tahun-tahun sebelumnya (Marsico dan
Kimberlin, 2017).
Berbeda dengan spesimen DBS, uji real-time PCR pada hapusan saliva
dari penelitian CHIMES memberikan hasil yang sangat baik, baik untuk hapusan
udara kering dan untuk hapusan yang dikirim ke laboratorium dalam media
transpor virus. Pada uji PCR saliva yang digunakan untuk menskrining bayi baru
lahir, hasil skrining positif harus dikonfirmasi dalam 3 minggu pertama kehidupan
untuk menghindari hasil skrining positif palsu. Sensitivitas analitis pada uji ini
sangat baik dan kemudahan dalam pengumpulan saliva pada neonatus membuat
spesimen ini mudah untuk skrining CMV neonatal (Marsico dan Kimberlin, 2017).
Sebagian besar infeksi CMV tidak menunjukkan gejala dan dapat sembuh
spontan pada hospes imunokompeten. Sementara pada hospes
imunokompromais CMV dapat menyebabkan beban penyakit yang cukup tinggi
atau berat. Infeksi CMV sendiri merupakan penyebab non genetik utama dari
gangguan pendengaran sensorineural dan keterlambatan neurodevelopmental di
negara-negara maju (Marsico dan Kimberlin, 2017). Pada 35% bayi dengan CMV
dapat ditemukan gambaran klinis yang bervariasi, bahkan dapat mengancam
nyawa seperti sepsis, kolestasis, pneumonitis dan enterocolitis (Omarsdottir et al,
2015).
Sedangkan tanda dan gejala infeksi pada perinatal dalam penelitian ini, 82%
(22/27) dari kelompok terinfeksi CMV bergejala dalam waktu 3 minggu setelah
deteksi viruria pertama. Trombositopenia (63%, 17/27) adalah kelainan yang
paling umum, diikuti oleh neutropenia (44%, 12/27), hiperbilirubinemia direk > 2
mg / dL (30%, 8/27), peningkatan enzim hati (26%). , 7/27), dan meningkatkan
kebutuhan bantuan napas (19%, 5/27). Baik retinitis maupun ensefalopati tidak
terdeteksi (Yoo et al, 2015).
2.4 Tatalaksana
CASG berhipotesis bahwa durasi yang lebih lama dari terapi antivirus
dapat menghasilkan supresi replikasi virus yang lebih panjang dan perbaikan lebih
lanjut pada hasil akhirnya. Pada periode 2008-2013, CASG melakukan percobaan
terkontrol acak plasebo yang membandingkan 6 minggu terapi VGCV oral
(kelompok 6 minggu) dengan 6 bulan terapi VGCV oral (kelompok 6 bulan).
Populasi penelitian terdiri dari bayi yang memiliki gejala, semua berusia 30 hari
atau kurang, dengan atau tanpa keterlibatan SSP. Kriteria inklusi pada penelitian
ini di mana hanya bayi dengan keterlibatan SSP diikutsertakan, didasarkan pada
hasil penelitian lanjutan selama periode 30 tahun yang menunjukkan bahwa
penyakit CMV yang ditularkan saat lahir dengan atau tanpa keterlibatan CNS
memiliki nilai prediksif terjadinya SNHL (Marsico dan Kimberlin, 2017).
VGCV diberikan pada 16 mg / kg / dosis dua kali sehari. Hasil yang dilihat
dari penelitian ini adalah perubahan pendengaran telinga sehat dari nilai awal
sampai 6 bulan, dan perubahan pendengaran dari nilai awal sampai 12 dan 24
bulan, dan perbandingan hasil perkembangan saraf pada 12 dan 24 bulan dengan
menggunakan Bayley Scales of Infant and Toddler Development, edisi III (Bayley-
III) (Marsico dan Kimberlin, 2017).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa durasi terapi antiviral yang lebih lama
tidak meningkatkan fungsi pendengaran lebih lanjut dalam 6 bulan, tetapi
meningkatkan hasil pendengaran pada 12 dan 24 bulan dibandingkan dengan
terapi 6 minggu. Pada 24 bulan, kelompok 6 bulan juga memiliki skor
perkembangan saraf yang lebih baik pada komponen komposit bahasa Bayley-III.
Pada terapi VGCV oral dikaitkan dengan risiko neutropenia yang lebih rendah
dibandingkan dengan GCV intravena (Marsico dan Kimberlin, 2017).
Keputusan untuk memulai terapi antiviral pada bayi dengan infeksi CMV
kongenital harus disertai dengan konseling yang memadai mengenai manfaat dan
risiko potensial dari terapi antiviral. Selain neutropenia, ada bukti karsinogenisitas
dan gonadotoksisitas dari GCV pada beberapa model hewan, meskipun tidak ada
toksisitas seperti itu yang telah ditunjukkan pada manusia saat ini (Marsico dan
Kimberlin, 2017).
Saat ini tidak ada bukti manfaat dari terapi antiviral pada bayi tanpa gejala,
karena itu bayi yang tidak bergejala tidak boleh menerima terapi antiviral.Penelitian
lebih lanjut sangat diperlukan untuk menghitung jumlah virus dalam darah sebagai
prediktor SNHL. Hal ini sangat penting terutama mengingat sebagai program
skrining untuk infeksi CMV kongenital di seluruh dunia (Marsico dan Kimberlin,
2017).
2.5 Pencegahan
Dua uji coba terkontrol plasebo acak lainnya dari HIG dalam kehamilan
untuk pencegahan MTCT CMV yang berlangsung di Amerika Serikat dan di Eropa,
hasilnya ialah tidak ada bukti yang mendukung penggunaan HIG pada wanita
hamil untuk pencegahan atau pengobatan infeksi CMV kongenital (Marsico dan
Kimberlin, 2017).
Keterbatasan lain yang penting untuk skrining prenatal untuk CMV adalah
usia neonatus yang tinggi dengan infeksi CMV kongenital pada ibu dengan infeksi
non-primer selama kehamilan. Mendiagnosis infeksi CMV non-primer pada
kehamilan merupakan tantangan, karena penanda virologi atau imunologis untuk
infeksi CMV non-primer belum diidentifikasi (Marsico dan Kimberlin, 2017).
Freeze thawing pada 20 C untuk interval waktu mulai dari 18 jam hingga
10 hari dapat mengurangi konsentrasi virus tetapi tidak efektif dalam
menghilangkan virus (Hamprecht dan Goelz, 2016).
Pada penelitian lain disebutkan bahwa pembekuan ASI pada suhu -20°C
dapat menurunkan titer CMV, walaupun efektivitasnya sendiri masih belum dapat
dijelaskan oleh peneliti. Disebutkan pula bahwa pembekuan ASI selama 3 hari
pada suhu -20°C dapat menurunkan resiko sepsis onset lambat pada bayi, yang
ditunjukkan dengan terjadinya sepsis onset lambat akibat jamur pada kelompok
yang diberikan ASI segar, yang tidak terjadi pada kelompok ASI yang dibekukan.
Dibutuhkan konsensus khusus mengenai pemberian ASI pada bayi prematur <28
minggu, di mana resiko infeksi dan komplikasi neonatal sangat tinggi (Omarsdottir
et al, 2015). Pada penelitian lain disebutkan bahwa secara in vitro, pembekuan
ASI pada suhu -20° C selama semalam, >72 jam dan 7 hari dapat menurunkan
titer CMV sebesar 90%, 99% dan 100% secara beurutan (Yoo et al., 2015).
Kesimpulan
Sebagian besar infeksi CMV tidak menunjukkan gejala dan dapat sembuh
spontan pada hospes imunokompeten. Cytomegalovirus (CMV) dapat mengalami
reaktivasi pada masa laktasi hingga 96% ibu positif seropositif. Hal ini akan sangat
berpengaruh terutama pada bayi-bayi imunokompromais, prematur dan bayi
dengan berat badan rendah.
CMV akan menetap setelah infeksi primer untuk seumur hidup di sel
prekursor hematopoetik CD341 dan bisa mengalami reaktivasi apabila inang
mengalami stres, kehilangan sementara kekebalan sel CD41 dan CD81,
pensinyalan interleukin (IL)-6, berhentinya siklus sel, atau kerusakan DNA. Selain
itu masa gestasi kurang dari 32 minggu atau berat lahir kurang dari 1500 g pada
ibu dengan seropositif CMV, juga dapat meningkatkan resiko transimisi virus pada
bayi.
Sampai saat ini, intervensi andalan untuk pencegahan infeksi maternal, dan
pada infeksi kongenital, tetap menekankan pada pendidikan ibu hamil mengenai
sumber paparan dan intervensi perilaku untuk membatasi paparan CMV.
Daftar Pustaka
Yoo, Hye Soo, Se In Sung, Yu Jin Jung, Myung Sook Lee, Young Mi Han et al.,
2015, Pencegaha Transmisi Cytomegalovirus melalui ASI pada Bayi Berat Lahir
Sangat Amat Rendah. Department of Pediatrics, Samsung Medical Center,
Sungkyunkwan University School of Medicine, Seoul; Yonsei Med J 56(4):998-
1006.