Anda di halaman 1dari 2

Analisis Faktor resiko

Defisiensi vitamin A: belum diketahui hubungan absolut antara defisiensi vitamin A dengan
kejadian mola hidatidosa. Penelitian Andrijono terhadap reseptor RBP pada sel trofoblas
mola hidatidosa menunjukan adanya peningkatan reseptor ini dibanding sel trofoblas normal
dan distribusi terbanyak pada sel synsitiotrofoblas dan lebih sedikit pada sitotrofoblas. Seperti
yang diketahui, reseptor RBP menyebabkan retinol (derivat vitamin A) dapat masuk kedalam
sel trofoblas dan berikatan pada sitoplasma. Kemudian retinol akan menjadi asam retinoat
dan berikatan pada inti sel. Asam retinoat pada akhirnya akan menyebabkan kontrol dari
proliferasi sel dan apoptosis via fase G1 dan S arrest. Hal ini berkorelasi dengan rendahanya
metabolisme vitamin A pada sitotrofoblas dan pada mola hidatidosa terjadi peningkatan
aktivitas pembelahan sel pada sitotrofoblas. Namun hal ini merupakan faktor resiko dan tidak
sepenuhnya menjadi penyebab utama karena kontrol siklus sel tidak seluruhnya diperankan
vitamin A dan pada penelitian kadar vitamin A darah pada pasien dengan mola hidatidosa
berkisar antara 10-20 g/dL dibandingkan dengan pasien yang hamil tanpa mola memiliki
kadar vitamin A serum yang lebih tinggi.

Usia Ekstrim: Pada usia diatas 35 tahun, jumlah sel telur (oosit primer) yang siap untuk
mengalami ovulasi hanya berkisar 100.000 oosit dan kebanyakan oosit sudah mengalami
degenrasi menjadi jaringan stroma sehingga resiko untuk menjadi oosit kosong sangat tinggi.
Pada patogenesis disebutkan bahwa fertilisasi antara sperma dan ovum kosong merupakan
salah satu teori terjadinya mola hidatidosa (speroff, 2009)

Defisiensi folat dan protein: asam folat berperan pada sintesis DNA dan pembelahan sel.
Dengan adanya folat sebagai prekursor DNA, penyelesaian mitosis pada perubahan oosit
sekunder menjadi ovum membutuhkan asam folat sebagai kofaktor. Defisiensi vitamin ini
dapat menyebabkan kegagalan ovulasi. ( berek and novac, 2012). Konsumsi makanan rendah
protein dan glukosa pada ibu akan menyebabkan proses steroidogenesis akan terganggu yang
memicu terganggunya sintesis estrogen dan progesteron yang memicu ovulasi yang tidak
sempurna dan sering dikaitkan dengan insiden blighted ovum yang merupakan predisposisi
dari mola hidatidosa (Hammer et al, 2014)

Setelah proses implantasi, embrio manusia dikelilingi oleh sel-sel trofoblas proliferatif.
Kemudian trofoblas ekstravili masuk ke dalam desidua dan lapisan miometrium yang mana
akan mengelilingi dan menginvasi arteri spiralis ibu. Beberapa bukti ilmiah melaporkan
bahwa aliran darah maternal yang signifikan belum terjadi sampai dengan akhir trimester
satu. Dengan demikian, embrio berkembang di lingkungan oksigen yang relatif rendah
dibandingkan dengan kehamilan lebih lanjut. Disebutkan dengan konsentrasi oksigen sebesar
20% berhubungan dengan kemampuan perkembangan embrio yang lebih rendah.
Perkembangan yang cepat terlihat pada konsentrasi oksigen yang rendah (5%) (Agarwal et
al., 2005). Radikal bebas adalah molekul-molekul reaktif dengan membawa elektron yang
tidak berpasangan, yang dihasilkan di dalam sel atau karena akibat hasil dari suatu
metabolisme.Reaksi-reaksi reduktasi oksidasi pada metabolisme protein, karbohidrat, dan
lemak terjadi di dalam mitokondria. Kondisi ini disebut fosforilasi oksidasi, dengan hasil
akhir oksigen dan turunannya seperti superoksida dan radikal hidroksil. Apabila stres
oksidatif terjadi secara berlebihan akan mengganggu keseimbangan seluler dan dapat
menyebabkan gangguan pertumbuhan sel pada embrio atau terjadi apoptosis yang
menyebabkan fragmentasi embrio. 8-hidroksi-2-deoksiguanosin (8- OHdG) merupakan
bentuk nukleosida DNA inti dan mitokondria yang teroksidasi, dan merupakan marker
kerusakan DNA yang sering dipergunakan.(Hung et al., 2010)

Blighted ovum sebagian besar disebabkan oleh kelainan kromosom, yaitu triploidi, dan dapat
berkembang menjadi mola hidatidosa parsial (Peter Uzelac, 2008). Pada blighted ovum, hasil
konsepsi berkembang menjadi blastokis, tetapi inner mass cell dan pole embrionik tidak
pernah terbentuk (Asim Kurjak, 2003). Radikal bebas menjadi salah satu pemicu terjadinya
kelainan kromosom ini. Radikal bebas merupakan senyawa tidak stabil dan sangat reaktif,
sehingga mengakibatkan kerusakan sel. Plasentasi abnormal menyebabkan terjadinya stres
oksidatif yang menghasilkan efek yang merugikan pada sinsitiotrofoblas dan telah disebutkan
sebagai salah satu mekanisme terjadinya abortus.(Agarwal et al., 2005)

Embrio dapat tumbuh dan berkembang baik dalam keadaan rendah oksigen terutama masa
implantasi. Apabila terjadi peningkatan konsentrasi oksigen dapat memicu terbentuknya
radikal bebas yang bersifat toksik terhadap embrio terutama sinsitiotropoblas. Pada dua
pertiga kasus abortus, terdapat bukti anatomis adanya defek pada plasentasi yang memiliki
karakteristik lapisan pelindung trofoblas yang lebih tipis maupun berfragmentasi, invasi
endometrium oleh trofoblas yang menurun dan sumbatan ujung arteri spiralis yang tidak
sempurna. Hal ini berhubungan dengan tidak adanya perubahan fisiologis pada sebagian
besar arteri spiralis dan menyebabkan onset prematus dari sirkulasi maternal pada seluruh
plasenta. Karena ROS memiliki fungsi fisiologis dan patologis, maka tubuh manusia
mengembangkan sistem pertahanan untuk memelihara konsentrasinya dalam kadar tertentu.
Sistem reproduksi wanita kaya akan antioksidan enzimatik dan non-enzimatik. Katalase,
SOD dan GPx adalah antioksidan enzimatik yang mencegah dan menjaga keseimbangan agar
ROS tidak sampai merusak molekul selular. Antioksidan nonenzimatik terdapat di folikel dan
cairan tuba, yang memberikan perlindungan eksterna pada gamet dan embrio. Antioksidan ini
adalah vitamin C, vitamin E, glutathione, taurin hipotaurin. Bilamana terjadi peningkatan
konsentrasi ROS patologis dan stres oksidatif (OS) timbul, antioksidan bekerja dengan cara
mencegah formasi ROS yang dapat menyebabkan kerusakan sel dan memperbaikinya
(Agarwal et al., 2005).

Anda mungkin juga menyukai