Anda di halaman 1dari 3

Kontraktor adalah pekerjaan bergengsi, banyak orang memimpikan profesi

kontraktor. Kontraktor identik dengan keuntungan yang berlimpah yang bergelut


dengan proyek-proyek bonafit. Namun, keuntungan besar itu tidak serta-merta
mengalir begitu saja, ada sejumlah kalkulasi yang harus dilakukan oleh seorang
kontraktor.

Bagi Anda yang sedang menjalankan, ataupun masih berencana membangun


bisnis sebagai seorang kontraktor, artikel berikut ini akan sangat membantu
Anda. Artikel ini mengulas berbagai cara menghitung keuntungan yang bisa
diperoleh kontraktor, dan tentunya memberi rekomendasi, cara menghitung
keuntungan yang paling efisien bagi Anda.

Standar Keuntungan 10%

Pemerintah Indonesia menyarankan bahwa standar umum keuntungan kontraktor


dari proyek borongan adalah 10% dari harga pelaksanaan proyek. Untuk
mempermudah perhitungan keuntungan di setiap proyek, mari kita berangkat dari
standar yang umum diterima ini.

Keuntungan 10% bukan standar baku. Ada kontraktor yang demi alasan
marketing dan kontinuitas bisnis, menetapkan keuntungan sebesar 5%. Ada juga
kontraktor yang menetapkan keuntungan sampai sebesar 20%. Kontraktor yang
demikian tentu punya daya tawar yang menarik bagi kliennya, selain
kepentingannya untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya.

Untuk kontraktor pembangunan infrastruktur skala besar yang bekerja pada


pemerintah, biasanya menetapkan keuntungan 10%, yang di dalamnya sudah
termasuk cadangan biaya resiko (risk contigency). Biaya resiko pada umumnya
berada di kisaran 2-5%, tergantung pada hasil analisis resiko di luar keuntungan.
Dengan perhitungan ini, keuntungan kontraktor BUMN diperkirakan secara
konstan relatif, berada di kisaran 5-10% dari harga pelaksanaan proyek.
Indikator Keuntungan

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara kontraktor menghitung persentase


keuntungannya? Ada beberapa cara yang bisa menjadi indikator. Berikut tiga di
antaranya:

1. Profit Margin
Ini adalah cara menghitung yang paling mudah. Lazim digunakan dalam
pembangunan skala kecil hingga menengah. Persentase diperoleh dari
membandingkan omzet yang diterima, dengan keseluruhan biaya
pembangunan. Rumus dalam mendapatkan persentase keuntungannya
adalah sebagai berikut:

Laba = Omzet - Bahan Baku (Termasuk Biaya Kerja) - Biaya Administrasi


dan Umum

Sebagai contoh, misalnya omzet untuk membangun sebuah rumah mewah


sebesar Rp. 5,5 miliar. Dengan bahan baku (biaya kerja termasuk di
dalamnya) Rp. 4,8 miliar, dan biaya administrasi dan umum Rp. 200 Juta,
sehingga total yang diperoleh Rp. 5 miliar. Maka laba yang diperoleh
adalah Rp. 500 juta. Dalam hal ini, persentase keuntungan adalah 10%.

Indikator ini dapat menjadi acuan kontraktor dalam menentukan angka-


angka dalam rencana anggaran biaya pekerjaan - rencana anggaran
pelaksanaan (RAB-RAPK). Selanjutnya, RAB-RAPK, yang akan menjadi
dasar bagi kontraktor untuk menghitung keuntungan yang diperolehnya,
sesuai indikator yang telah dijabarkan di atas.
2. Return of Investment (ROI)
Indikator lain yang bisa digunakan kontraktor dalam menghitung
keuntungannya adalah dengan berpatok pada angka investasi. Cara ini juga
masih tergolong efisien. Yang perlu dihitung oleh kontraktor adalah jumlah
investasi yang dikeluarkan untuk usahanya, lalu dibandingkan dengan
pengembalian yang diperoleh dari investasi tersebut.

Berapa tingkat pengembalian investasinya? Berapa modal yang


dikeluarkan untuk usaha ini? Berapa persen keuntungan yang diperoleh
kontraktor, jika dihitung dari selisih keduanya?

Penghitungan ROI digunakan secara umum di berbagai macam perusahaan,


termasuk perusahaan-perusahaan baru berbasis start up. Cara ini umumnya
digunakan oleh perusahaan sebagai daya tawar untuk melantai di bursa
saham, namun bisa diterapkan juga pada bisnis kontraktor.

3. Payback Period
Cara lain yang umum digunakan oleh kontraktor untuk menghitung
keuntungan adalah dengan indikator Payback Period. Hal pertama yang
dihitung adalah keseluruhan biaya dari usaha, lalu kemudian diperkirakan
kapan usaha tersebut akan balik modal. Misalnya, seorang kontraktor
memperkirakan bahwa dari seluruh biaya yang dikeluarkannya, dengan
menghitung laba per proyek, dia mendapati bahwa dalam 2 tahun,
usahanya balik modal. Maka Payback Period-nya adalah 2 tahun. Setelah
itu, setiap laba yang muncul setelah 2 tahun berjalan, akan dihitung sebagai
keuntungan.

Anda mungkin juga menyukai