Anda di halaman 1dari 10

2.

4 PATOGENESIS WHEEZING

Pada wheezing terdapat dua jenis wheezing mengenai timbulnya suara


wheezing berdasarkan letak obstruksinya yaitu: (1)wheezing pada obstruksi
saluran napas intrathorakal, dan (2)wheezing pada penyempitan ekstratorakal.

Wheezing yang terjadi akibat obstruksi saluran napas intrathorakal


terutama pada ekspirasi karena saluran napas, sesuai dengan perubahan
intrathorakal , cenderung melebar pada inspirasi dan menyempit pada ekspirasi
.Peningkatan resistensi intrathorakal biasanya terjadi akibat penyempitan atau
penyumbatan bronkus karena tekanan dari luar, kontraksi otot bronkus, penebalan
lapisan mukus, atau sumbatan lumen oleh mucus, hal ini benyak terjadi pada asma
atau bronchitis kronis.

Obstruksi intrathorakal terutama mengganggu proses ekspirasi karena saat


inspirasi tekanan intrathorakal menurun sehingga melebarkan jalan pernapasan.
Perbandingan waktu ekspirasi dan inspirasi akan meningkat. Ekspirasi yang
terhambat akan melebarkan duktulus alveolus (emfisema sentrilobular)
menurunkan elastisitas paru (peningkatan komplians), dan bagian tengah
pernapasan akan terdorong kearah inspirasi (barrel chest). Hal ini meningkatkan
kapasitas residu fungsional dan dibutuhkan tekanan intrathorakal untuk
melakukan ekspirasi karena komplians dan resistensi meningkat. Akibatnya,
terjadi penekanan bronkiolus sehingga tekanan jalan napas semakin meningkat.
Obstruksi akan menurunkan kapasitas pernapasan maksimal (V max) dan FEV1 .
Kejadian ini penting dimengerti pada penderita (misal) asma karena pasien
dengan penyakit asma ketika asma kambuh, pasien akan gugup karena merasa
sesak napas dan makin berusaha inspirasi sebanyak-banyaknya, oleh karena itu
bagi dokter atau perawat harus bisa menenangkan terlebih dahulu kejiwaan
pasien, karena ketika gugup dan inspirasi kuat makin memperburuk kondisi
mereka.
Jika wheezing yang terdengar pada saat inspirasi menunjukkan adanya
penyempitan saluran napas ekstrathorakal, misal pada trakea bagian atas atau
laring. Peningkatan resistensi ekstrathorakal, misalnya pada kelumpuhan pita
suara, edema glotis, dan penekanan trakea dari luar(tumor/struma). Pada
trakeomalasia, dinding trakea melunak dan mengalami kolaps saat inspirasi.

1. Patogenesis Asma

Konsep inflamasi kronis adalah paling berperan dalam patogenesis asma.


Konsep tersebut menyatakan bahwa asma adalah suatu proses inflamasi kronis
yang khas, melibatkan dinding saluran respiratori , dan menyebabkabn terbatasnya
aliran udara serta meningkatkan reaktivitas saluran respiratori (1).
Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T
oleh antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesori, yaitu suatu proses yang
melibatkan molekul Major Histocompability Complex atau MHC (MHC kelas II
pada sel T CD4+ dan MHC kelas I pada sel T CD8 +). Sel dendritik merupakan
Antigen Precenting Cells (APC) utama pada saluran respiratori. Sel dendritik
terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang, lalu membentuk jaringan
yang luas dan sel-selnya saling berhubungan di dalam epitel saluran respiratori.
Kemudian, sel-sel tersebut bermigrasi menuju kumpulan sel-sel limfoid di bawah
pengaruh GM-CSF, yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivasi sel epitel, fibroblas,
sel T, makrofag, dan sel mast. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik pindah
menuju daerah yang banyak mengandung limfosit. Di tempat ini, dengan
pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel dendritik menjadi matang sebagai APC yang
efektif (1).
Reaksi fase cepat pada asma dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif
terhadap alergen Ig-E spesifik, terutama sel mast dan makrofag. Pada pasien
dengan komponen alergi yang kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut
berperan. Reaksi fase lambat pada asma timbul beberapa jam lebih lambat
dibanding fase awal. Meliputi pengerakan dan aktivasi dari sel-sel eosinofil, sel T,
basofil, netrofil, dan makrofag. Juga terdapat retensi selektif sel T pada saluran
respiratori, ekspresi molekul adhesi, dan pelepasan newly generated mediator. Sel
T pada saluran respiratori yang teraktivasi oleh antigen, akan mengalami
polarisasi ke arah Th2, selanjutnya dalam 2 sampai 4 jam pertama fase lambat
terjadi transkripsi dan transaksi gen, serta produksi mediator pro inflamasi, seperti
IL2, IL5, dan GM-CSF untuk pengerahan dan aktivasi sel-sel inflamasi. Hal ini
terus menerus terjadi, sehingga reaksi fase lambat semakin lama semakin kuat(1).

Gambar 1. Patogenesis Asma

Gejala asma, yaitu batuk sesak dengan mengi merupakan akibat dari
obstruksi bronkus yang didasari oleh inflamsai kronik dan hiperaktivitas
bronkus(1).

Faktor Risiko Faktor Risiko


Inflamasi

Hiperaktivitas Obstruksi
Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag
Bronkus Bronkus
alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran nafas. Peregangan vagal
menyebabkan refleks bronkus, Faktor Risiko
sedangkan Gejala
mediator inflamasi yang dilepaskan
oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan nafas lebih permeabel dan
memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa sehingga memperbesar reaksi
yang terjadi(1).
Gambar 2. Proses imunologis spesifik dan non-spesifik (3)
Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan
serangan asma, melalui sel efektor sekunder seperti eusinofil, netrofil, trombosit
dan limfosit. Sel-sel inflamasi ni juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti
leukotrien, tromboksan, Platelet Activating Factors (PAF) dan protein sititoksis
memperkuat reaksi asma. Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya
menimbulkan hiperaktivitas bronkus(1).

a. Obstruksi saluran respiratori


Penyempitan saluran nafas yang terjadi pada pasien asma dapat
disebabkan oleh banyak faktor. Penyebab utamanya adalah kontraksi otot polos
bronkial yang diprovokasi mediator agonis yang dikeluarkan oleh sel inflamasi
seperti histamin, triptase, prostaglandin D2, dan leukotrien C4 yang dikeluarkan
oleh sel mast, neuropeptidase yang dikeluarkan oleh saraf aferen lokal dan
asetilkolin yang berasal dari saraf eferen post ganglionik. Akibat yang
ditimbulkan dari kontraksi otot polos saluran nafas adalah hiperplasia kronik dari
otot polos, pembuluh darah, serta terjadi deposisi matriks pada saluran nafas.
Namun,dapat juga timbul pada keadaan dimana saluran nafas dipenuhi sekret
yang banyak, tebal dan lengket pengendapan protein plasma yang keluar dari
mikrovaskularisasi bronkial dan debris seluler(2).
Salah satu mekanisme adaptasi terhadap penyempitan saluran nafas
adalah kecenderungan untuk bernafas dengan hiperventilasi untuk mendapatkan
volume yang lebih besar, yang kemudian dapat menimbulkan hiperinflasi toraks.
Perubahan ini meningkatkan kerja pernafasan agar tetap dapat mengalirkan udara
pernafasan melalui jalur yang sempit dengan rendahnya compliance pada kedua
paru. Inflasi toraks berlebihan mengakibatkan otot diafragma dan interkostal,
secara mekanik, mengalami kesulitan bekerja sehingga kerjanya menjadi tidak
optimal . Peningkatan usaha bernafas dan penurunan kerja otot menyebabkan
timbulnya kelelahan dan gagal nafas(2).

Gambar 3. Bronkus Normal dan Bronkus Asmatik

b. Hiperaktivitas saluran respiratori


Mekanisme terhadap reaktivitas yang berlebihan bronkus yang
menyebabkan penyempitan saluran napas sampai saat ini tidak diketahui, namun
dapat berhubungan dengan perubahan otot polos saluran nafas yang terjadi
sekunder serta berpengaruh terhadap kontraktilitas ataupun fenotipnya. Sebagai
tambahan, inflamasi pada dinding saluran nafas yang terjadi akibat kontraksi otot
polos tersebut(2).

c. Otot polos saluran respiratori


Pada penderita asma ditemukan pemendekan dari panjang otot bronkus.
Kelainan ini disebabkan oleh perubahan pada aparatus kontraktil pada bagian
elastisitas jaringan otot polos atau pada matriks ektraselularnya. Peningkatan
kontraktilitas otot pada pasien asma berhubungan dengan peningkatan kecepatan
pemendekan otot. Sebagai tambahan, terdapat bukti bahwa perubahan pda struktur
filamen kontraktilitas atau plastisitas dari sel otot polos dapat menjadi etiologi
hiperaktivitas saluran nafas yang terjadi secara kronik(2).
d. Hipersekresi mukus
Sekresi mukus pada saluran nafas pasien asma tidak hanya berupa
peningkatan volume saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas. Penebalan
dan perlengketan dari sekret tidak hanya sekedar penambahan produksi musin saja
tetapi terdapat juga penumpukan sel epitel, pengendapan albumin yang bersal
datri mikrovaskularisasi bronkial, eosinofil, dan DNA yang berasal dari sel
inflamasi yang mengalami lisis(2).
Hipersekresi mukus merefleksikan dua mekanisme patofisiologi yaitu
mekanisme terhadap sekresi sel yang mengalami metaplasia dan hiperplasia dan
mekanisme patofisologi hingga terjadi sekresi sel granulasi. Degranulasi sel
Goblet yang dicetuskan oleh stimulus lingkungan, diperkirakan terjadi karena
adanya pelepasan neuropeptidase lokal atau aktivitas jalur refleks kolinergik.
Kemungkinan besar yang lebih penting adalah degranulasi yang diprovokasi oleh
mediator inflamasi, dengan aktivitas perangsang sekret, seperti neutrofil elastase,
kimase sel mast, leukotrien, histamin, produk neutrofil non-protease(2).
2. Patogenesis Bronkiolitis

Virus bereplikasi di dalam nasofaring kemudian menyebar dari saluran nafas


atas ke saluran nafas bawah melalui penyebaran langsung pada epitel saluran
nafas dan melalui aspirasi sekresi nasofaring. Infeksi Virus pada epitel bersilia
bronkioulus menyebabkan respon inflamasi akut, ditandai dengan obstruksi
bronkiolus akibat edema, sekresi mucus timbunan debris seluler/ sel sel mati yang
terkelupas, kemudian diikuti dengan infiltrasi limfosit peribronkial dan edema
submukosa(5).

Gambar. Respon inflamasi seluler pada infeksi virus saluaran nafas.


Virus yang merusak epitel bersilia juga mengganggu gerakan mukosilier,
mukus tertimbun di dalam bronkiolus. Kerusakan sel epitel saluran napas juga
mengakibatkan saraf aferen lebih terpapar terhadap alergen/iritan, sehingga
dilepaskan beberapa neuropeptida (neurokinin, substance P) yang menyebabkan
kontraksi otot polos saluran napas. Pada akhirnya kerusakan epitel saluran napas
juga meningkatkan ekspresi Intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) dan
produksi sitokin yang akan menarik eosinofil dan sel-sel inflamasi. Jadi,
bronkiolus menjadi sempit karena kombinasi dari proses inflamasi, edema saluran
nafas, akumulasi sel-sel debris dan mukus serta spasme otot polos saluran napas.
Adapun respon paru ialah dengan meningkatkan kapasitas fungsi residu,
menurunkan compliance, meningkatkan tahanan saluran napas, dead space serta
meningkatkan shunt. Semua faktor-faktor tersebut menyebabkan peningkatan
kerja sistem pernapasan, batuk, wheezing, obstruksi saluran napas, hiperaerasi,
atelektasis, hipoksia, hiperkapnea, asidosis metabolik sampai gagal napas.4

Gambar 2. Pembengkakan bronkioli pada bronkiolitis


Anak yang lebih besar dan orang dewasa jarang mengalami bronkiolitis
bila terserang infeksi virus. Perbedaan anatomi antara paru-paru bayi muda dan
anak yang lebih besar mungkin merupakan kontribusi terhadap hal ini. Respon
proteksi imunologi terhadap RSV bersifat transien dan tidak lengkap. Infeksi yang
berulang pada saluran napas bawah akan meningkatkan resistensi terhadap
penyakit. Akibat infeksi yang berulang-ulang, terjadi cumulatif immunity sehingga
pada anak yang lebih besar dan orang dewasa cenderung lebih tahan terhadap
infeksi bronkiolitis dan pneumonia karena RSV.

3. Patogenesis Wheezing Benda asing

Benda Asing di Trakea dan Bronkus Disamping gejala batuk dan dengan tiba-
tiba yang berulang dengan rasa tercekik, rasa tersumbat di tenggorok, terdapat
gejala patognomonik yaitu audible slap, palpaory thud dan asthmatoid wheeze
(nafas berbunyi pada saat ekspirasi). Benda asing di trakea yang masih dapat
bergerak, pada saat benda itu sampai di karina, dengan timbulnya batuk, benda
asing itu akan terlempar ke laring. Selain itu terdapat juga gejala suara serak,
dispne, dan sianosis, tergantung pada besar benda asing serta lokasinya.

Batuk-batuk, wheeze dan demam adalah gejala yang umum pada penderita
terinhalasi benda asing. Diagnosis wheezy bronchitis haruslah dipertanyakan
lebih dalam pada anak-anak, bila hal ini terjadi tiba-tiba tanpa didahului oleh
gejala selesma, atau bila sebelumnya tidak ada serangan seperti ini, atau tidak
terdapat riwayat alergi serta bila rhonkhi pada inspirasi dan ekspirasi yang tidak
menyeluruh pada kedua paru(6).
DAFTAR PUSTAKA

1. Supriyatno B, Wahyudin B. Patogenesis dan Patofisiologi Asma Anak.


dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar
Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008.
h.85-96.
2. S Makmuri M. Patofisologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno
B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.98-104.

3. Busse, Williams M.D Advance immunology asthma Engl J Med, Vol. 344,.
www.nejm.org
4. Orenstein DM, Bronchiolitic. Dalam Nelson WE, Editor Nelson, Textbook
of Pediatric, 15th edition, Philadelphia, 1996, hal : 1484-85.
5. Zain, Magdalena sidhartani.Bronkiolitis. Buku Ajar Respirologi Anak.
Edisi pertama. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010. Hal. 334-343
6. Sugito, HMM Tarigan dkk, Benda Asing di Saluran Nafas Bagian Ilmu
Penyakit Paru, Fakultas Kedokteran Sumatera Utara UPF Paru Rumah
Sakit Dr Pirngadi, Medan Edisi Khusus No. 80, 1992

Anda mungkin juga menyukai