Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PRAKTEK KLINIK KMB 1

PRODI DIII KEPERAWATAN TANJUNGKARANG

Tugas ini dibuat untuk memenuhi tugas praktik kilik keperawatan (pkk)
KMB 1 yang dibimbing oleh :
Merah Bangsawan, SKM,. M.Kes

Disusun oleh :
Suci Tri Lestari
1814401038
Tingkat II/Reguler I

POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNG KARANG


PRODI DIII KEPERAWATAN TANJUNG KARANG
TAHUN AKADEMIK 2019/2020
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN GANGGUAN KEBUTUHAN
OKSIGENASI
AKIBAT PATOLOGI SISTEM PERNAFASAN DAN KARDIOVASKULER

A. DASAR TEORI
A.1. DEFINISI DIAGNOSA KEPERAWATAN
Gangguan pertukaran gas :
Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2016), gangguan pertukaran gas

adalah kelebihan atau kekurangan oksigenasi atau eleminasi karbondioksida pada

membran alveolus-kapiler.

A.2. PENYEBAB
Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2016), penyebab terjadinya

gangguan pertukaran gas adalah:

a. Ketidakseimbangan ventilasi perfusi

b. Perubahan membran alveolus kapiler

A.3. GEJALA DAN TANDA MAYOR


1) Subjektif

a) Dispnea

2) Objektif

a) Tekanan karbon dioksida (PCO2)meningkat/menurun

b) Tekanan oksigen menurun (PO2)


c) Takikardia

d) pH arteri meningkat ataumenurun

e) Bunyi napas tambahan

A.3. GEJALA DAN TANDA MINOR


1) Subjektif

a) Pusing

b) Pengelihatan kabur

2) Objektif

a) Sianosis

b) Diaforesis

c) Gelisah

d) Napas cupinghidung

e) Pola napas abnormal (cepat atau lambat, reguler atau ireguler, dalam

ataudangkal)

f) Warna kulit abnormal ( pucat dan kebiruan)

g) Kesadaranmenurun

A.4. KONDISI KLINIS TERKAIT (Uraikan patofisiologi kondisi klinis yang terkait, boleh
ditambahkan barisnya)

Kondisi klinis terkait (SDKI DPP PPNI,2016) adalah sebagai berikut :

1. Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)


Patofisiologi penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) :
Patofisiologi penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau chronic obstructive
pulmonary disease utamanya adalah perubahan pada saluran nafas, tapi dapat
juga ditemukan perubahan pada jaringan parenkim paru dan pembuluh darah
paru. Sebagian besar kasus PPOK disebabkan karena paparan zat berbahaya,

3
paling sering disebabkan oleh asap rokok. Mekanisme patofisiologi masih belum
jelas, namun diperkirakan disebabkan oleh banyak faktor.
1) Kerusakan Jalan Nafas
Perubahan struktural jalan nafas yang terjadi adalah atrofi, metaplasia
sel skuamosa, abnormalitas siliar, hyperplasia sel otot polos, hiperplasia
kelenjar mukosa, inflamasi dan penebalan dinding bronkial. Inflamasi kronik
pada bronkitis kronik dan emfisema ditandai dengan peningkatan jumlah Sel
Limfosit T CD8, neutrofil, dan monosit/makrofag. Sebagai perbandingan,
inflamasi pada Asma ditandai dengan adanya peningkatan Sel limfosit T CD4,
eosinophil dan interleukin (IL)-4 dan IL-5. Namun hal ini tidak bisa digunakan
untuk diagnosis, karena ada kondisi Asma yang berkembang menjadi PPOK.

2) Kerusakan Parenkim Paru


Emfisema menyebabkan kerusakan pada struktur distal dari bronkiolus
terminal. Struktur ini terdiri dari bronkiolus, duktus alveoulus, dan saccus
alveoli yang secara keseluruhan disebut asinus. Kerusakan alveoli akan
menyebabkan gangguan aliran udara melalui dua mekanisme, yaitu dengan
berkurangnya elastisitas dinding jalan nafas dan penyempitan jalan nafas.
Terdapat 3 pola morfologik Emfisema, yaitu :
a. Centracinar
Ditandai dengan kerusakan pada bronkiolus dan bagian sentral dari
asinus. Tipe emfisema ini biasanya ditemukan pada perokok dan lobus
paru atas merupakan bagian yang rusak paling parah.
b. Panacinar
Ditandai dengan kerusakan menyeluruh pada semua bagian asinus. Tipe
ini biasanya menyebabkan kerusakan parah pada lobus paru bawah dan
biasanya ditemukan pada pasien dengan defisiensi alfa 1 antitrypsin.
c. Distal Acinar
Kerusakan terjadi pada struktur distal jalan nafas, duktus dan saccus
alveolar. Tipe emfisema ini terlokalisasi pada septa fibrous atau pleura
dan akan menyebabkan pembentukan bullae. Bullae apikal yang ruptur
dapat menyebabkan timbulnya pneumothoraks spontan.

4
3) Kerusakan pembuluh darah paru
Perubahan pada pembuluh darah paru berupa hyperplasia tunika intima
dan otot polos akibat vasokonstriksi kronik dari arteri kecil paru yang
dipicu oleh hipoksia.

2. Gagal jantung kongestif

Patofisiologi gagal jantung :


Patofisiologi gagal jantung amat kompleks dan melibatkan jejas kardiak dan
ekstrakardiak yang memicu respons neurohormonal seluler dan molekuler serta
remodelisasi jantung. Aktivasi neurohormonal yang pada mulanya bersifat
adaptif kemudian berlanjut secara kronik disertai remodelisasi yang buruk
semakin memperberat jejas jantung dan di luar jantung (misalnya vaskuler,
pulmoner, dan renal).
Mekanisme Neurohormonal Progresivitas Gagal Jantung
Mekanisme neurohormonal kompensatorik yang terlibat dalam kejadian gagal
jantung mencakup aktivasi sistem saraf simpatik, sistem renin angiotensin (renin
angiotensin system/RAS), perubahan neurohormonal pada ginjal dan vaskuler
perifer.

3. Asma
Patofisiologi asma :
Asma ditandai dengan kontraksi spastik dari otot polos bronkus yang
menyebabkan sukar bernafas.Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas
bronkhioulus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma
tipe alergi diduga terjadi dengan cara sebagai berikut : seorang yang alergi
mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody IgE abnormal
dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan
antigen spesifikasinya.
Pada respon alergi di saluran nafas, antibodi IgE berikatan dengan alergen
menyebabkan degranulasi sel mast. Akibat degranulasi tersebut, histamin
dilepaskan. Histamin menyebabkan konstriksi otot polos bronkiolus. Apabila

5
respon histamin berlebihan, maka dapat timbul spasme asmatik. Karena histamin
juga merangsang pembentukan mukkus dan meningkatkan permiabilitas kapiler,
maka juga akan terjadi kongesti dan pembengkakan ruang iterstisium paru.
Individu yang mengalami asma mungkin memiliki respon IgE yang sensitif
berlebihan terhadap sesuatu alergen atau sel-sel mast-nya terlalu mudah
mengalami degranulasi. Di manapun letak hipersensitivitas respon peradangan
tersebut, hasil akhirnya adalah bronkospasme, pembentukan mukus, edema dan
obstruksi aliran udara.

4. Pneumonia
Patofisiologi pneumonia :
Patogen yang sampai ke trakea berasal dari aspirasi bahan yang ada
di orofaring, kebocoran melalui mulut saluran endotrakeal, inhalasi dan
sumber patogen yang mengalami kolonisasi di pipa endotrakeal. Faktor
risikopada inang dan terapi yaitu pemberian antibiotik, penyakit penyerta
yang berat, dan tindakan invansif pada saluran nafas. Faktor resiko kritis
adalah ventilasi mekanik >48jam, lama perawatan di ICU. Faktor
predisposisi lain seperti pada pasien dengan imunodefisien menyebabkan
tidak adanya pertahanan terhadap kuman patogen akibatnya terjadi
kolonisasi di paru dan menyebabkan infeksi.Proses infeksi dimana patogen
tersebut masuk ke saluran nafas bagian bawah setelah dapat melewati
mekanisme pertahanan inang berupa daya tahan mekanik ( epitel,cilia,
danmukosa), pertahanan humoral (antibody dan komplemen) dan seluler
(leukosit, makrofag, limfosit dan sitokinin). Kemudian infeksi menyebabkan
peradangan membran paru ( bagian dari sawar-udara alveoli) sehingga cairan
plasma dan sel darah merah dari kapiler masuk. Hal ini menyebabkan rasio
ventilasi perfusi menurun, saturasi oksigen menurun.Pada pemeriksaan dapat
diketahui bahwa paru-paru akan dipenuhi sel radang dan cairan , dimana
sebenarnya merupakan reaksi tubuh untuk membunuh patogen, akan tetapi
dengan adanya dahak dan fungsi paru menurun akan mengakibatkan
kesulitan bernafas, dapat terjadi sianosis, asidosis respiratorik dankematian.

6
5. Tuberkulosis paru
Patofisiologi tuberculosis paru :
Patofisiologi Tuberkulosis paru (TB paru) melibatkan
inhalasi Mycobacterium tuberculosis, suatu basil tahan asam (acid-fast bacilli).
Setelah inhalasi, ada beberapa kemungkinan perkembangan penyakit yang akan
terjadi, yaitu pembersihan langsung dari bakteri tuberkulosis, infeksi laten, atau
infeksi aktif.
Ketika seorang pengidap TB paru aktif batuk, bersin, menyanyi, atau
meludah, orang ini dapat mengeluarkan titik-titik air liur kecil (droplets) ke udara
bebas.  Droplets yang berisi Mycobacterium tuberculosis ini, apabila terinhalasi
orang lain akan masuk sampai di antara terminal alveoli paru. Organisme
kemudian akan tumbuh dan berkembang biak dalam waktu 2-12 minggu sampai
jumlahnya mencapai 1000-10.000. Jumlah tersebut akan cukup untuk
mengeluarkan respon imun seluler yang mampu dideteksi melalui reaksi terhadap
tes tuberkulin. Namun, tubuh tidak tinggal diam, dan akan mengirimkan
pertahanan berupa sel-sel makrofag yang memakan kuman-kuman TB ini. 
Selanjutnya, kemampuan basil tahan asam ini untuk bertahan dan berproliferasi
dalam sel-sel makrofag paru menjadikan organisme ini mampu untuk menginvasi
parenkim, nodus-nodus limfatikus lokal, trakea, bronkus (intrapulmonary TB), dan
menyebar ke luar jaringan paru (extrapulmonary TB). Organ di luar jaringan paru
yang dapat diinvasi oleh Mycobacterium tuberculosis diantaranya adalah sum-sum
tulang belakang, hepar, limpa, ginjal, tulang, dan otak.  Penyebaran ini biasanya
melalui rute hematogen.
Apabila terjadi keterlibatan multi organ, maka TB paru akan memerlukan
pengobatan yang lebih lama, hal ini biasanya sebagai konsekuensi terhadap
ketidakpatuhan penderita terhadap tatalaksana pengobatan TB, atau
keterlambatan diagnosis.

6. Penyakit membran hialin


Patofisiologi penyakit membrane hialin :
Pada RDS terjadi atelektasis yang sangat progresif, yang disebabkan
kurangnya zat yang disebut surfaktan. Surfaktan adalah zat aktif yang diproduksi

7
sel epitel saluran nafas disebut sel pnemosit tipe II. Zat ini mulai dibentuk pada
kehamilan 22-24 minggu dan mencapai maksimum pada minggu ke 35. Zat ini
terdiri dari fosfolipid (75%) dan protein (10%). Peranan surfaktan ialah
merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga tidak terjadi kolaps dan
mampu menahan sisa udara fungsional pada sisa akhir ekspirasi. Kolaps paru ini
akan menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2
dan asidosis.
Hipoksia akan menyebabkan terjadinya :
Oksigenasi jaringan menurun sehingga terjadi metabolisme anerobik dengan
penimbunan asam laktat dan asam organic lain yang menyebabkan terjadinya
asidosis metabolic.
Kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolarisyang akan
menyebabkan terjadinya transudasi kedalam alveoli dan terbentuknya fibrin,
selanjutnya fibrin dan jaringan epitel yang nekrotik membentuk suatu lapisan
membrane hialin.
Asidosis dan atelektasis akan menyebabkan terganggunya sirkulasi  jantung,
penurunan aliran darah keparu dan mengakibatkan hambatan pembentukan
surfaktan, yang menyebabkan terjadinya atelektasis. Sel tipe II ini sangat sensitive
dan berkurang pada bayi dengan asfiksia pada periode perinatal, dan
kematangannya dipacu dengan adanya stress intrauterine seperti hipertensi, IUGR
dan kehamilan kembar.
Secara singkat patofisiologinya dapat digambarkan sbb :
Atelektasis → hipoksemia →asidosis → transudasi → penurunan aliran darah paru
→ hambatan pembentukan zat surfaktan → atelekstasis. Hal ini berlangsung terus
sampai terjadi penyembuhan atau kematian.

7. Asfiksia
Patofisiologi Asfiksia :
Pemahaman fatofisiologi asfiksiasebagai dasar untuk mempertimbangkan
tindakan resusitasi pada bayi baru lahir yang mengalami depresi, merupakan dasar
mutakhir tindakan resusitasi. Berbagai informasi bermakna yang diperlukan,
diperoleh berdasarkan eksperimen pada binatang, dan spesies yang berbeda

8
memiliki respons yang sangat bervariasi terhadap asfiksia ketika diukur selama
jangka waktu tertentu hingga masa kelangsungan hidup atau hembusan napas
akhir, biasanya digunakan titik akhir. Perbedaan spesies ini mungkin menjadi
faktor penting yang mempengaruhi penyebab dan efek asfiksia. Lebih jauh lagi,
terdapat perbedaan jelas dalam tingkat maturasi saat lahir dan kecepatan
pengembangan berikutnya pada bermacam-macam spesies yang digunakan untuk
mempelajari asfiksia seperti kelinci dan kucing. Penelitian tentang asfiksia hampir
selalu berdasarkan pada berbagai perubahan akut pada satu model binatang. Oleh
karena itu harus digunakan secara berhati-hati bila diterapkan pada bayi baru
lahir.

8. Persistent pulmonary hypertension of newborn (PPHN)


Patofisiologi PPHN :
Dalam kehidupan janin, aliran darah paru (Q) adalah rendah (5-10% dari
cardiac output karena tingginya resistensi vaskular paru (PVR)dan celah(yaitu,
foramen ovale, ductus arteriosus) yang memungkinkandarah untuk melewati
vaskular paru.Pada saat lahir, PVR biasanya turunsecara dramatis (akibat inflasi
dan oksigenasi paru-paru). Qp meningkat menjadi 100% dari CO dan, dengan 24
jam setelah lahir, PPA telah jatuhke sekitar 50% dari tekanan arteri sistemik.
Apabila keadaan transisi normal ini gagal, PVR dan PPA tetaptinggi, Qp tetap
rendah, perpindahan dari kanan ke kiri terjadi padaforamen ovale dan
duktus arteriosus, dan menyebabkan hipoksemia.Beberapa faktor
mempengaruhi PVR; begitu pula, asidosis dan hipoksiaalveolus yang terjadi karena
vasokonstriksi paru yang kuat. PPHN biasterjadi dari perkembangan pembuluh
darah paru yang abnormal ataudengan perkembangan yang normal, ketika
terjadi kegagalan baikvasodilatasi paru normal atau munculnya factor
vasokonstriksi yang kuat.Maka, skenario klinis yang berhubungan PPHN termasuk
diantaranya :
a. Perkembangan abnormal dari pembuluh darah paru, Meningkatnyaotot polos
pembuluh darah paru akibat hipoksia fetus, maternal diabetes,displasia
kapiler alveolus.

9
b. Hipoplasia paru dikaitkan dengan hipoplasia pembuluh darah paru,hernia
diafragmatika bawaan, Potter’s syndrome, oligohidramnion yanglama.
c. Vasokonstriksi paru setelah kelahiran, sepsis, pneumonia, sindromaspirasi,
asfiksia perinatal.
d. Penyakit jantung bawaan (Congenital Heart Disease), anomali totalparu pada
venous return dengan sumbatan

9. Prematuritas
Patofisiologi prematuritas :
Patofisiologi bayi lahir prematur sangat multifaktorial. Reaksi inflamasi dan
efek progesteron dinilai paling berperan dalam kelahiran prematur. Bayi yang lahir
prematur sering kali mengalami berat lahir rendah atau restriksi perkembangan
(IUGR) akibat gangguan plasenta.
Reaksi Inflamasi
Reaksi inflamasi pada kelahiran prematur terjadi akibat proses patogenik spesifik
yang dimediasi oleh sitokin proinflamasi, metaloprotease matriks, dan
prostaglandin. Inflamasi yang terjadi pada jalan lahir (birth canal inflammation)
menyebabkan kontraksi uterus dan perubahan serviks yang dapat memicu
rupturnya kantung amnion, sehingga terjadi ketuban pecah dini(KPD)
dan kelahiran prematur. [7,12,13]
Peran Progesteron
Progesteron dapat berfungsi sebagai antiinflamasi, antiabortus, dan
mempertahankan matriks serviks. Konsentrasi progesteron dan PIBF menurun
seiring usia gestasi mulai dari minggu ke-7 hingga ke-37 pada kehamilan normal.
Pada kehamilan prematur, progesteron ditemukan lebih rendah sehingga sintesis
PIBF melalui sel plasenta dan sel CD8+ juga menurun. Belum diketahui secara pasti
mekanisme penyebab turunnya progesteron dan PIBF pada kelahiran prematur.
[7,12,13]
Inkompetensi Serviks dan Disfungsi Plasenta
Inkompetensi serviks pada wanita hamil merupakan salah satu penyebab abortus
dan kelahiran prematur. Inkompetensi serviks dapat disebabkan oleh faktor
genetik, paparan diethylstilbestrol (DES), serta riwayat dilatasi dan operasi serviks.

10
Inkompetensi serviks juga meningkatkan risiko infeksi intrauterin yang dapat
mengaktifkan kaskade respons imun dan inflamasi.
Disfungsi plasenta menyebabkan sirkulasi maternal-fetal terganggu sehingga tidak
dapat melakukan ekskresi, sintesis hormon untuk perkembangan bayi, dan
mengalirkan nutrisi ke fetus dengan baik. Disfungsi plasenta sering kali
menyebabkan berat lahir bayi rendah. Disfungsi plasenta dapat mencetuskan
infeksi dan respons imunologis sehingga terjadi kehamilan prematur. Bayi yang
lahir secara prematur umumnya belum mengalami perkembangan organ secara
sempurna sehingga sering kali membutuhkan perawatan di NICU. [7,12,13]

10. Infeksi saluran nafas


Patofisiologi ISPA :
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) disebabkan oleh virus atau kuman
golongan A streptococus, stapilococus, haemophylus influenzae, clamydia
trachomatis, mycoplasma, dan pneumokokus  atau juga karena faktor berbagai
macam polusi masuk ke sluran pernafasan atas (hidung, pharing, laring) dan
menginvasi bakteri jika tidak segera ditangani maka akan menyerang dan
menginflamasi saluran pernafasan bagian bawah yang akan membuat peradangan
dimana suhu tubuh meningkat sehingga menimbulkan  demam atau
hipetermi sebagai reaksi tubuh melawan patogen asing dalam tubuh.
Adanya faktor pencetus ISPA pada  pernafasan bagian bawah( bronkus,
bronkiolus, dan alveolus) juga akan menjadikan dilatasi atau pelebaran pada
pembuluh darah semakin banyak benda asing yang masuk dan mengiritasi paru-
paru maka akan menimbulkan eksudat yang dapt masuk ke alveoli
sehingga  mengganggu  difusi gas antara CO2 dengan O2 pada paru, maka pasien
juga akan tergangu pada pola nafas dan juga kapasitas fisiologisnya terjadi
penurunan  untuk beraktivitas atau intoleransi aktivitas,akumulasi secret berlebih
pada bronkus maka mukus juga akan meningkat dengan adanya bakteri dibagian
pernafasan maka akan ada peluang bagi bakteri tersebut membawa kotoran dan
menimbulkan pembengkakan didaerah mulut, bau mulut akibatb adanya penyakit
disaluran pernafasan akan mengakibatkan perasaan yang tidak nyaman dan juga
bisa mengakibatkan gangguan makan atau anoreksia, jika terus berlanjut maka

11
akan menimbulkan masalah asuhan keperawatan yaitu kurangnya nutrisi dari
kebutuhan pasien.
Patogen dari luar yang masuk lebih dalam  pada saluran cerna akan
menginfeksi saluran cerna yang menjadikan flora yang semula normal dalam usus
meningkat dan menjadikan peristaltik usus juga meningkat, jika peristaltik pada
usus terus meningkat kemungkinan malabsorbsi akan terjadi dan pasien
mengalami diare dimana pasien bisa BAB >3x per harinya,jika keadaan tersebut
terus berlanjut maka akan menimbulkan gangguan pada cairan tubuh pasien
(Nurarif, 2015, hal. 65).

A.4. PENATALAKSANAAN MEDIS ( penatalaksanaan kondisi klinis terkait)

1. Penyakit paru obstruktif kronis(PPOK)


Tujuan utama dari penatalaksanaan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
atau chronic obstructive pulmonary disease (COPD) antara lain untuk
mengurangi gejala, mencegah eksaserbasi berulang, memperbaiki dan
mencegah penurunan faal paru, serta meningkatkan kualitas hidup penderita.
Secara umum penatalaksaan PPOK meliputi terapi non farmakologis, terapi
farmakologis, terapi oksigen.
Terapi Non Farmakologis
Terapi non farmakologis yang dapat dilakukan meliputi edukasi, rehabilitasi, dan
terapi nutrisi.

2. Gagal jantung kongestif


Langkah utama dalam pengobatan gagal jantung adalah mengurangi aktivitas.
Tindakan ini dilakukan untuk mengurangi beban kerja jantung, sehingga dapat
meringankan gejala. Penanganan gagal jantung akan disesuaikan dengan
penyebab dan tingkat keparahan gagal jantung, usia pasien, serta penyakit lain
yang menyertai. Tujuan dari pengobatan gagal jantung adalah:
 Meringankan gejala gagal jantung.
 Meningkatkan kekuatan jantung.

12
 Mencegah terjadinya henti jantung mendadak.
 Penanganan gagal jantung dapat berupa pemberian obat, operasi, atau
pemasangan (implan) alat.

Obat-obatan

Obat-obatan yang diberikan oleh dokter bertujuan untuk meningkatkan


kekuatan otot jantung, mengurangi beban kerja jantung, dan meredakan gejala,
seperti sesak napas. Beberapa jenis obat yang digunakan oleh penderita gagal
jantung, di antaranya:

 Diuretik, seperti spironolactone dan furosemide.


 Penghambat beta, seperti carvedilol dan bisoprolol.
 ACE inhibitor, seperti lisinopril, ramipril, dan perindopril.
 ARB, seperti candesartan, valsartan, dan telmisartan.
 Digoxin.
 Ivabradine.
 Operasi

Beberapa prosedur operasi yang dapat dilakukan untuk menangani gagal


jantung, yaitu:
 Operasi katup jantung, untuk memperbaiki atau mengganti katup jantung
yang rusak dan menjadi penyebab gagal jantung.
 Operasi bypass atau angioplasty, dilakukan dengan membuat aliran darah
baru, sehingga darah dapat mengalir tanpa melalui pembuluh darah yang
tersumbat. Selain operasi bypass jantung, penyempitan pembuluh darah
jantung juga dapat diatasi dengan pemasangan ring jantung.
 Operasi transplantasi jantung, yaitu prosedur penggantian jantung yang
rusak dengan jantung baru yang diperoleh dari donor.
 Pemasangan (implan) alat

13
Selain melalui obat dan operasi, dokter jantung juga dapat menanam alat yang
dapat membantu kerja jantung agar mampu memompa darah secara efisien.
Berikut ini adalah beberapa jenis alat tersebut:

Alat pacu jantung. Perangkat ini akan memberikan rangsangan listrik pada
jantung agar dapat memompa darah secara efisien.

Implantable Cardioverter-Defibrillator (ICD). Perangkat ini dihubungkan ke


jantung untuk memonitor detak jantung. Jika detak jantung melemah atau
berhenti, maka ICD akan mengirim sinyal kejut agar jantung dapat berdetak
kembali.

Left Ventricular Assist Device (LVAD). Alat ini dipasang di bagian luar jantung
untuk membantu jantung memompa darah. LVAD umumnya digunakan pada
pasien yang sedang menunggu donor untuk transplantasi jantung.

3. Asma
Penatalaksanaan asma dilakukan melalui berbagai pendekatan yang dapat
dilaksanakan (applicable), mempunyai manfaat, aman dan dari segi harga
terjangkau. Integrasi dari pendekatan tersebut dikenal dengan Program
penatalaksanaan asma, yang meliputi:
 - Edukasi
- Menilai dan monitor berat asma secara berkala
- Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
- Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
- Menetapkan pengobatan pada serangan akut
- Kontrol secara teratur
- Pola hidup sehat 
Diagnosis Asma Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala
berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang
berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan
diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru
terutama reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai
diagnostik. Riwayat penyakit/gejala: bersifat episodik, seringkali reversibel

14
dengan atau tanpa pengobatan, gejala berupa batuk, sesak napas, rasa berat di
dada dan berdahak, gejala timbul/memburuk terutama malam/dini hari, diawali
oleh faktor pencetus yang bersifat individu, serta respons terhadap pemberian
bronkodilator. Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit:
riwayat keluarga (atopi), riwayat alergi / atopi, penyakit lain yang memberatkan,
perkembangan penyakit dan riwayat pengobatan (misalnya pasien sudah sering
menggunakan obat inhaler).

Perencanaan Pengobatan Jangka Panjang Medikasi Asma:


Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan
napas, terdiri atas pelega dan pengontrol. Penatalaksanaan asma bertujuan
untuk mengontrol penyakit, disebut sebagai asma terkontrol. Asma terkontrol
adalah kondisi stabil minimal dalam waktu satu bulan.

Pelega (Reliever):
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki
dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti
mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas
atau menurunkan hiperesponsif jalan napas.

Pengontrol (Controllers):
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,
diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma
terkontrol pada asma persisten.

4. Pneumonia
Pengobatan pneumonia bertujuan untuk menyembuhkan infeksi yang terjadi,
serta mencegah komplikasi yang ditimbulkan. Pengobatan dilakukan sesuai
penyebab serta tingkat keparahan yang dialami. Untuk pneumonia ringan,
pasien akan diberi obat berupa:
 Obat pereda nyeri. Obat ini diberikan untuk meredakan demam dan rasa
tidak nyaman. Contoh obat ini adalah ibuprofen atau paracetamol.

15
 Obat batuk. Obat ini dapat meredakan batuk sehingga penderita bisa
beristirahat. Pemberian obat ini sebaiknya dilakukan dalam dosis yang
rendah. Selain meredakan batuk, terdapat jenis obat batuk yang
berfungsi untuk mengencerkan dahak.
 Antibiotik. Obat ini digunakan untuk mengatasi pneumonia akibat
bakteri. Sebagian besar penderita pneumonia memberi respons yang
baik terhadap antibiotik dalam waktu 1-3 hari.

Di samping pemberian obat, beberapa upaya mandiri juga dapat dilakukan di


rumah untuk mempercepat kesembuhan dan mencegah pneumonia kambuh
kembali. Upaya tersebut meliputi:

 Banyak beristirahat.
 Mengonsumsi banyak cairan.
 Tidak melakukan kegiatan yang berlebihan.

Penderita pneumonia sebaiknya dirawat di rumah sakit jika telah berusia di atas
65 tahun, fungsi ginjalnya menurun, memiliki tekanan darah rendah, sesak
napas, suhu tubuhnya di bawah normal, dan detak jantungnya tidak normal.

Perawatan di rumah sakit juga dibutuhkan untuk penderita pneumonia yang


berusia kurang dari 2 bulan, tampak lebih sering tidur dan lemas, sesak napas,
memiliki kadar oksigen darah yang rendah, serta mengalami dehidrasi.

Perawatan di rumah sakit dapat berupa:

 Pemberian antibiotik melalui suntikan.
 Penambahan oksigen. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan kadar
oksigen dalam aliran darah, melalui selang atau masker oksigen.
 Rehabilitasi paru. Terapis akan membimbing pasien melakukan latihan
pernapasan untuk memaksimalkan penyerapan oksigen.

Sedangkan pasien pneumonia dengan gejala yang sangat parah, perlu


ditempatkan dalam ruang perawatan intensif dan dipasangkan alat bantu
pernapasan atau ventilator.

16
5. Tuberkulosis paru
Penatalaksanaan tuberkulosis paru (TB paru) dapat dibagi menjadi dua fase,
yaitu fase intensif dan fase lanjutan. Penggunaan obat juga dapat dibagi menjadi
obat utama dan tambahan.
Obat anti tuberkulosis (OAT) yang dipakai sebagai tatalaksana lini pertama
adalah rifampisin, isoniazid, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol, yang
tersedia dalam tablet tunggal maupun dalam sediaan dosis tetap (fixed dose
combination). Jenis obat lini kedua adalah kanamisin, kuinolon, dan derivat
rifampisin dan isoniazid.
6. Penyakit membran hialin
Menurut Suriadi dan Yuliani (2001) dan Surasmi,dkk (2003) tindakan untuk
mengatasi masalah kegawatan pernafasan meliputi :
a. Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi adekuat.
b. Mempertahankan keseimbangan asam basa.
c. Mempertahankan suhu lingkungan netral.
d. Mempertahankan perfusi jaringan adekuat.
e. Mencegah hipotermia.
f. Mempertahankan cairan dan elektrolit adekuat.
Penatalaksanaan secara umum :
a. Pasang jalur infus intravena, sesuai dengan kondisi bayi, yang paling sering
dan bila bayi tidak dalam keadaan dehidrasi berikan infus dektrosa 5 %
 Pantau selalu tanda vital
 Jaga patensi jalan nafas
 Berikan Oksigen (2-3 liter/menit dengan kateter nasal)
b. Jika bayi mengalami apneu
 Lakukan tindakan resusitasi sesuai tahap yang diperlukan
 Lakukan penilaian lanjut
c. Bila terjadi kejang potong kejang segera periksa kadar gula darah
d. Pemberian nutrisi adekuat

17
Setelah menajemen umum, segera dilakukan menajemen lanjut sesuai dengan
kemungkinan penyebab dan jenis atau derajat gangguan nafas. Menajemen
spesifik atau menajemen lanjut

7. Asfiksia
Menurut Hidayat (2005), Cara pelaksanaan resusitasi sesuai tingkatan asfiksia,
antara lain :
a. Asfiksi Ringan (Apgar score 7-10)
1). Bayi dibungkus dengan kain hangat
2). Bersihkan jalan napas dengan menghisap lendir pada hidung kemudian
mulut.
3). Bersihkan badan dan tali pusat.
4). Lakukan observasi tanda vital dan apgar score dan masukan ke dalam
inkubator.
b. Asfiksia sedang (Apgar score 4-6)
1). Bersihkan jalan napas.
2). Berikan oksigen 2 liter per menit.
3). Rangsang pernapasan dengan menepuk telapak kaki apabila belum ada
reaksi,bantu pernapasan dengan melalui masker (ambubag).
4). Bila bayi sudah mulai bernapas tetapi masih sianosis berikan natrium
bikarbonat 7,5%sebanyak 6cc. Dextrosa 40% sebanyak 4cc disuntikan
melalui vena umbilikus secara perlahan-lahan, untuk mencegah tekanan
intra kranial meningkat.
c. Asfiksia berat (Apgar skor 0-3)
1). Bersihkan jalan napas sambil pompa melalui lambubag.
2). Berikan oksigen 4-5 liter per menit.
3). Bila tidak berhasil lakukan ETT (Endotracheal Tube).
4). Bersihkan jalan napas melalui ETT (Endotracheal Tube).
5). Apabila bayi sudah mulai benapas tetapi masih sianosis berikan natrium
bikarbonat 7,5% sebanyak 6cc. Dextrosa 40% sebanyak 4cc.

18
8. Persistent pulmonary hypertension of newborn (PPHN)
Hipertensi pulmonal merupakan penyakit yang belum dapat disembuhkan
sehingga pengobatan hipertensi pulmonal ditujukan untuk meredakan gejala dan
menghambat perkembangan penyakit. Jika terdiagnosis dan ditangani sejak dini,
maka kerusakan arteri pulmonal secara permanen dapat dicegah.

Salah satu pilihan terapi yang dapat dilakukan adalah pemberian obat. Jenis obat
yang bisa diberikan pada penderita hipertensi pulmonal adalah:

 Sildenafil atautadalafil.Sildenafil dan tadalafilini sama-sama berfungsi


membuka pembuluh darah paru-paru agar darah dapat mengalir dengan
lebih mudah. Efek samping yang dapat muncul adalah sakit kepala, gangguan
pada perut, dan gangguan penglihatan.
 Antagonis kalsium. Obat ini berfungsi melemaskan otot pembuluh darah dan
hanya ampuh pada sebagian penderita hipertensi pulmonal. Beberapa obat
yang termasuk ke golongan ini, antara lain nifedipine, diltiazem, dan
amlodipine.
 Antikoagulan. Merupakan obat pengencer darah yang berfungsi
menghambat terbentuknya gumpalan darah. Warfarin merupakan obat
antikoagulan yang sering digunakan. Kendati demikian, penggunaannya perlu
diwaspadai karena dapat meningkatkan risiko terjadinya perdarahan.
 Diuretik.Diuretik adalah obat yang berfungsi mengurangi cairan di dalam
tubuh dan membatasi penumpukan cairan di dalam paru-paru, sehingga kerja
jantung lebih ringan.
 Digoxin.Digoxin adalah obat yang berfungsi membantu kerja jantung agar
dapat memompa lebih banyak darah, dan untuk mengendalikan denyut
jantung.
 Iloprost. Obat ini digunakan dengan dihirup uapnya lewat bantuan
mesin nebulizer sebanyak enam hingga sembilan kali dalam sehari untuk
membuka pembuluh darah yang menyempit. Meski demikian, obat ini dapat
menimbulkan efek samping berupa sakit kepala, mual, dan nyeri dada.

19
Selain pemberian obat, dokter juga dapat melakukan Pemeriksaan radiologi akan
dilakukan untuk mendapatkan lebih baik melihatparu-paru, jantung, dan sirkulasi,
dan untuk memeriksa kemungkinan penyebablain dari masalah bayi (Spear,2012;
Diana, 2011) :

 Sinar-X dada: dapat menunjukkan apakah bayi menderita penyakit paru-


parudan melihat pembesaran jantung.
 Ekokardiogram: dapat menunjukkan apakah bayi memiliki jantung
ataupenyakit paru-paru dan dapat menentukan arah aliran darah dalam
organtersebut. Tes ini sangat membantu dalam mendiagnosis PPHN karena
akanmenunjukkan aliran sirkulasi darah bayi, termasuk melihat keberadaan
ductusarteriosus terbuka atau tertutup dan menentukan apakah adanya
PPHN.
 USG kepala: dapat digunakan untuk mencari pendarahan di otak. Uji
laboratorium juga dapat membantu dokter dalam membuat
diagnosisPPHN (Spear,2012; Diana, 2011) :
 Analisa gas darah dapat: menunjukkan kadar oksigen, karbon dioksida,dan
penumpukan asam yang ada di dalam darah arteri. Pada keadaannormal,
arteri mengandung kadar oksigen yang tinggi dan tes inimerupakan
cara paling akurat untuk menentukan seberapa baik oksigenyang masuk ke
dalam tubuh. Hitung darah lengkap: dapat mengukur jumlah oksigen yang
membawa seldarah merah, sel darah putih (yang membantu melawan
infeksi), danplatelet (yang terlibat dalam pembekuan darah). Hasil
pemeriksaan darahlengkap dapat menunjukkan jika pasien berada dalam
keadaan anemia ataumungkin infeksi yang menyebabkan bayi menjadi sakit.
 Tes elektrolit serum: mengevaluasi keseimbangan elektrolit dalam darah.
 Lumbar puncture (spinal tap) dan tes darah lainnya dapat
membantumenentukan adanya infeksi.
 Pulse oximetry: mengukur kadar oksigen dalam darah yang
dapatmembantu memantau jumlah oksigen yang masuk ke
jaringanadekuat/tidak.

20
9. Prematuritas
MenurutRukiyah& Yulianti(2012),beberapapenatalaksanaanatau penanganan
yang dapat diberikan pada bayi prematur adalah sebagai berikut:
1. Mempertahankan suhu tubuh dengan ketat. Bayi prematur mudah
mengalamihipotermi, oleh sebab itu suhu tubuhnyaharus dipertahankan
dengan ketat.
2.Mencegah infeksi dengan ketat. Bayi prematur sangat rentan dengan
infeksi,perhatikan prinsip-prinsip pencegahan infeksitermasuk mencuci tangan
sebelummemegangbayi.
3.Pengawasannutrisi. Reflek menelan bayiprematur belumsempurna,oleh sebab
itu pemberian nutrisi harus dilakukan dengan cermat.
4.Penimbangan ketat. Perubahan berat badan mencerminkan kondisi
gizi/nutrisibayidaneratkaitannyadengandayatahantubuh,olehsebab
itu penimbangan berat badan harus dilakukan dengan ketat.

10. Infeksi Saluran Nafas


Penatalaksanaan
1. Penderita pneumia (ISPA berat) dapat dirawat di rumah, tetapi jika
keadaannya berat penderita harus di rawat di rumah sakit untuk
mendapatkan perawatan yang memadai, seperti cairan intravena jika sangat
sesak,oksigen, serta sarana rawat lainnya
2. Untuk orang dewasa dapat diberikan kotrimoksazol 2×2 tablet. Pada kasus
dimana rujukan tidak memungkinkan diberikan injeksi amoksilin atau
gentamisin
3. Pada orang dewasa, terapi kausal secara empiris adalah penisilin prokain
600.000-1.200.000 IU sehari atau ampisilin 1 gram 4 kali swhari terutama
pada penderita dwngan batuk produktif
4. Bila penderita elergi terhadap golongan penisilin dapat diberikan eritromisin
500mg 4 kali sehari. Demikian juga bila diduga penyebabnya mikoplasma
5. Tergantung jenis batuk, dapat diberikan kodein 8 mg 3 x sehari atau
bronkhodilator (theophilin atau salbutamol)

21
6. Suportif : meningkatkan daya tahan tubuh berupa Nutrisi yang
adekuat,pemberian multivitamin dll. (Kunoli, 2012, hal. 220).

B. RENCANA KEPERAWATAN (lihat SLKI dan SIKI)

Diagnosa Keperawatan : Gangguan pertukaran gas


Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan 3x24 jam diharapkan oksigenasi
dan/atau eliminasi karbondioksida pada membrane alveolus kapiler dalam batas
normal.

Kriteria Hasil :
 Dipsnea menurun
 Bunyi nafas tambahan menurun
 Pusing menurun
 Penglihatan kabur menurun
 Diaporasis menurun
 Gelisah menurun
 Nafas cuping hidung menurun
 PCO2 membaik
 PO2 membaik
 Takikardi membaik
 PH arteri membaik
 Sianosis membaik
 Pola nafasmembaik
 Warna kulit membaik

Intervensi (SIKI DPP PPNI) :

1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas.


Rasional :
Acuan untuk menentukan intervensi yang tepat

2. Monitor pola napas (seperti bradipneu, dipsnea,takipnea,hiperventilasi,kussmaul


dll).
Rasional :
Untuk mengetahui perkembangan status perkembangan klien

3. Palpasi kesimetrisan ekspansi paru

22
Rasional :
Untuk mengetahui kesimetrisan ekspansi paru.

4. Auskultasi bunyi nafas


Rasional :
Auskultasi bunyi nafas dapat membantu mengetahui adanya kelainan bunyi
nafas ( mis. ronchi,wheezing,)

5. Mengatur posisi semi fowler


Rasional :
Meningkatkan ekspansi paru dan memudahka pernafasan.

6. Monitor saturasi oksigen


Rasional :
Untuk mengetahui perkembangan status kesehatan pasien dan mencegah
komplikasi lanjutan.

7. Monitor hasil AGD


Rasional :
Nilai GDA yang normal menandakan pertukaran gas semakin membaik.
Menurunnya saturasi oksigen PO2 atau meningkat nya PCO2 menunjukan
perlunya penanganan yang adekuat atau perubahan terapi.

8. Dokumentasikan hasil pemantauan


Rasional :
Sebagai sarana untuk melakukan evaluasi terhadap tindakan yang telah
diberikan kepadaklien dan menentukan intervensi selanjutnya.

9. Monitor kecepatan aliran oksigen


Rasinoal :
Untuk memastikan kebutuhan oksigen terpenuh sesuai yang dibutuhkan
klien.

10. Kolaborasi penentuan dosis oksigen


Rasional :
Untuk meningkatkan ketepatan, keamanan dalam penggunan dosis oksigen
agar oksigen dalam tubuh tercukupi.

11. Kolaborasi pemberian obat :


Rasional :

23
Pemberian obat bertujuan agar klien menerima pengobatan sesuai dengan
kebutuhan klinisnya dengan dosis yang sesuai dengan kebutuhan.

24
DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA

1. Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI),  Edisi 1, Jakarta, PersatuanPerawat Indonesia
2. Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), StandarLuaranKeperawatan Indonesia (SLKI), 
Edisi 1, Jakarta, PersatuanPerawat Indonesia
3. Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), StandarIntervensiKeperawatan Indonesia (SIKI), 
Edisi 1, Jakarta, PersatuanPerawat Indonesia
4. https://www.alomedika.com/penyakit/pulmonologi/penyakit-paru-obstruktif-
kronik/patofisiologi
5. https://www.alomedika.com/penyakit/kardiologi/gagal-jantung
6. https://www.academia.edu/35320912/LAPORAN_PENDAHULUAN_ASMA
7. http://eprints.undip.ac.id/44629/3/FIDA_AMALINA_22010110120027_BAB2KTI.pdf
8. https://www.alodokter.com/gagal-jantung/pengobatan
9. http://p2ptm.kemkes.go.id/artikel-sehat/program-penatalaksanaan-asma
10. https://www.alodokter.com/pneumonia/pengobatan
11. https://www.alomedika.com/penyakit/pulmonologi/tuberkulosis-
paru/penatalaksanaan
12. https://www.academia.edu/33907041/HYALIN_MEMBRANE_DISEASE_HMD
13. https://www.academia.edu/24093504/PATOFISIOLOGI_ASFIKSIA?auto=download
14. https://dokumen.tips/documents/makalah-pphn.html

25

Anda mungkin juga menyukai