Tugas ini dibuat untuk memenuhi tugas praktik kilik keperawatan (pkk)
KMB 1 yang dibimbing oleh :
Merah Bangsawan, SKM,. M.Kes
Disusun oleh :
Suci Tri Lestari
1814401038
Tingkat II/Reguler I
A. DASAR TEORI
A.1. DEFINISI DIAGNOSA KEPERAWATAN
Gangguan pertukaran gas :
Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2016), gangguan pertukaran gas
membran alveolus-kapiler.
A.2. PENYEBAB
Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2016), penyebab terjadinya
a) Dispnea
2) Objektif
a) Pusing
b) Pengelihatan kabur
2) Objektif
a) Sianosis
b) Diaforesis
c) Gelisah
d) Napas cupinghidung
e) Pola napas abnormal (cepat atau lambat, reguler atau ireguler, dalam
ataudangkal)
g) Kesadaranmenurun
A.4. KONDISI KLINIS TERKAIT (Uraikan patofisiologi kondisi klinis yang terkait, boleh
ditambahkan barisnya)
3
paling sering disebabkan oleh asap rokok. Mekanisme patofisiologi masih belum
jelas, namun diperkirakan disebabkan oleh banyak faktor.
1) Kerusakan Jalan Nafas
Perubahan struktural jalan nafas yang terjadi adalah atrofi, metaplasia
sel skuamosa, abnormalitas siliar, hyperplasia sel otot polos, hiperplasia
kelenjar mukosa, inflamasi dan penebalan dinding bronkial. Inflamasi kronik
pada bronkitis kronik dan emfisema ditandai dengan peningkatan jumlah Sel
Limfosit T CD8, neutrofil, dan monosit/makrofag. Sebagai perbandingan,
inflamasi pada Asma ditandai dengan adanya peningkatan Sel limfosit T CD4,
eosinophil dan interleukin (IL)-4 dan IL-5. Namun hal ini tidak bisa digunakan
untuk diagnosis, karena ada kondisi Asma yang berkembang menjadi PPOK.
4
3) Kerusakan pembuluh darah paru
Perubahan pada pembuluh darah paru berupa hyperplasia tunika intima
dan otot polos akibat vasokonstriksi kronik dari arteri kecil paru yang
dipicu oleh hipoksia.
3. Asma
Patofisiologi asma :
Asma ditandai dengan kontraksi spastik dari otot polos bronkus yang
menyebabkan sukar bernafas.Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas
bronkhioulus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma
tipe alergi diduga terjadi dengan cara sebagai berikut : seorang yang alergi
mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody IgE abnormal
dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan
antigen spesifikasinya.
Pada respon alergi di saluran nafas, antibodi IgE berikatan dengan alergen
menyebabkan degranulasi sel mast. Akibat degranulasi tersebut, histamin
dilepaskan. Histamin menyebabkan konstriksi otot polos bronkiolus. Apabila
5
respon histamin berlebihan, maka dapat timbul spasme asmatik. Karena histamin
juga merangsang pembentukan mukkus dan meningkatkan permiabilitas kapiler,
maka juga akan terjadi kongesti dan pembengkakan ruang iterstisium paru.
Individu yang mengalami asma mungkin memiliki respon IgE yang sensitif
berlebihan terhadap sesuatu alergen atau sel-sel mast-nya terlalu mudah
mengalami degranulasi. Di manapun letak hipersensitivitas respon peradangan
tersebut, hasil akhirnya adalah bronkospasme, pembentukan mukus, edema dan
obstruksi aliran udara.
4. Pneumonia
Patofisiologi pneumonia :
Patogen yang sampai ke trakea berasal dari aspirasi bahan yang ada
di orofaring, kebocoran melalui mulut saluran endotrakeal, inhalasi dan
sumber patogen yang mengalami kolonisasi di pipa endotrakeal. Faktor
risikopada inang dan terapi yaitu pemberian antibiotik, penyakit penyerta
yang berat, dan tindakan invansif pada saluran nafas. Faktor resiko kritis
adalah ventilasi mekanik >48jam, lama perawatan di ICU. Faktor
predisposisi lain seperti pada pasien dengan imunodefisien menyebabkan
tidak adanya pertahanan terhadap kuman patogen akibatnya terjadi
kolonisasi di paru dan menyebabkan infeksi.Proses infeksi dimana patogen
tersebut masuk ke saluran nafas bagian bawah setelah dapat melewati
mekanisme pertahanan inang berupa daya tahan mekanik ( epitel,cilia,
danmukosa), pertahanan humoral (antibody dan komplemen) dan seluler
(leukosit, makrofag, limfosit dan sitokinin). Kemudian infeksi menyebabkan
peradangan membran paru ( bagian dari sawar-udara alveoli) sehingga cairan
plasma dan sel darah merah dari kapiler masuk. Hal ini menyebabkan rasio
ventilasi perfusi menurun, saturasi oksigen menurun.Pada pemeriksaan dapat
diketahui bahwa paru-paru akan dipenuhi sel radang dan cairan , dimana
sebenarnya merupakan reaksi tubuh untuk membunuh patogen, akan tetapi
dengan adanya dahak dan fungsi paru menurun akan mengakibatkan
kesulitan bernafas, dapat terjadi sianosis, asidosis respiratorik dankematian.
6
5. Tuberkulosis paru
Patofisiologi tuberculosis paru :
Patofisiologi Tuberkulosis paru (TB paru) melibatkan
inhalasi Mycobacterium tuberculosis, suatu basil tahan asam (acid-fast bacilli).
Setelah inhalasi, ada beberapa kemungkinan perkembangan penyakit yang akan
terjadi, yaitu pembersihan langsung dari bakteri tuberkulosis, infeksi laten, atau
infeksi aktif.
Ketika seorang pengidap TB paru aktif batuk, bersin, menyanyi, atau
meludah, orang ini dapat mengeluarkan titik-titik air liur kecil (droplets) ke udara
bebas. Droplets yang berisi Mycobacterium tuberculosis ini, apabila terinhalasi
orang lain akan masuk sampai di antara terminal alveoli paru. Organisme
kemudian akan tumbuh dan berkembang biak dalam waktu 2-12 minggu sampai
jumlahnya mencapai 1000-10.000. Jumlah tersebut akan cukup untuk
mengeluarkan respon imun seluler yang mampu dideteksi melalui reaksi terhadap
tes tuberkulin. Namun, tubuh tidak tinggal diam, dan akan mengirimkan
pertahanan berupa sel-sel makrofag yang memakan kuman-kuman TB ini.
Selanjutnya, kemampuan basil tahan asam ini untuk bertahan dan berproliferasi
dalam sel-sel makrofag paru menjadikan organisme ini mampu untuk menginvasi
parenkim, nodus-nodus limfatikus lokal, trakea, bronkus (intrapulmonary TB), dan
menyebar ke luar jaringan paru (extrapulmonary TB). Organ di luar jaringan paru
yang dapat diinvasi oleh Mycobacterium tuberculosis diantaranya adalah sum-sum
tulang belakang, hepar, limpa, ginjal, tulang, dan otak. Penyebaran ini biasanya
melalui rute hematogen.
Apabila terjadi keterlibatan multi organ, maka TB paru akan memerlukan
pengobatan yang lebih lama, hal ini biasanya sebagai konsekuensi terhadap
ketidakpatuhan penderita terhadap tatalaksana pengobatan TB, atau
keterlambatan diagnosis.
7
sel epitel saluran nafas disebut sel pnemosit tipe II. Zat ini mulai dibentuk pada
kehamilan 22-24 minggu dan mencapai maksimum pada minggu ke 35. Zat ini
terdiri dari fosfolipid (75%) dan protein (10%). Peranan surfaktan ialah
merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga tidak terjadi kolaps dan
mampu menahan sisa udara fungsional pada sisa akhir ekspirasi. Kolaps paru ini
akan menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2
dan asidosis.
Hipoksia akan menyebabkan terjadinya :
Oksigenasi jaringan menurun sehingga terjadi metabolisme anerobik dengan
penimbunan asam laktat dan asam organic lain yang menyebabkan terjadinya
asidosis metabolic.
Kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolarisyang akan
menyebabkan terjadinya transudasi kedalam alveoli dan terbentuknya fibrin,
selanjutnya fibrin dan jaringan epitel yang nekrotik membentuk suatu lapisan
membrane hialin.
Asidosis dan atelektasis akan menyebabkan terganggunya sirkulasi jantung,
penurunan aliran darah keparu dan mengakibatkan hambatan pembentukan
surfaktan, yang menyebabkan terjadinya atelektasis. Sel tipe II ini sangat sensitive
dan berkurang pada bayi dengan asfiksia pada periode perinatal, dan
kematangannya dipacu dengan adanya stress intrauterine seperti hipertensi, IUGR
dan kehamilan kembar.
Secara singkat patofisiologinya dapat digambarkan sbb :
Atelektasis → hipoksemia →asidosis → transudasi → penurunan aliran darah paru
→ hambatan pembentukan zat surfaktan → atelekstasis. Hal ini berlangsung terus
sampai terjadi penyembuhan atau kematian.
7. Asfiksia
Patofisiologi Asfiksia :
Pemahaman fatofisiologi asfiksiasebagai dasar untuk mempertimbangkan
tindakan resusitasi pada bayi baru lahir yang mengalami depresi, merupakan dasar
mutakhir tindakan resusitasi. Berbagai informasi bermakna yang diperlukan,
diperoleh berdasarkan eksperimen pada binatang, dan spesies yang berbeda
8
memiliki respons yang sangat bervariasi terhadap asfiksia ketika diukur selama
jangka waktu tertentu hingga masa kelangsungan hidup atau hembusan napas
akhir, biasanya digunakan titik akhir. Perbedaan spesies ini mungkin menjadi
faktor penting yang mempengaruhi penyebab dan efek asfiksia. Lebih jauh lagi,
terdapat perbedaan jelas dalam tingkat maturasi saat lahir dan kecepatan
pengembangan berikutnya pada bermacam-macam spesies yang digunakan untuk
mempelajari asfiksia seperti kelinci dan kucing. Penelitian tentang asfiksia hampir
selalu berdasarkan pada berbagai perubahan akut pada satu model binatang. Oleh
karena itu harus digunakan secara berhati-hati bila diterapkan pada bayi baru
lahir.
9
b. Hipoplasia paru dikaitkan dengan hipoplasia pembuluh darah paru,hernia
diafragmatika bawaan, Potter’s syndrome, oligohidramnion yanglama.
c. Vasokonstriksi paru setelah kelahiran, sepsis, pneumonia, sindromaspirasi,
asfiksia perinatal.
d. Penyakit jantung bawaan (Congenital Heart Disease), anomali totalparu pada
venous return dengan sumbatan
9. Prematuritas
Patofisiologi prematuritas :
Patofisiologi bayi lahir prematur sangat multifaktorial. Reaksi inflamasi dan
efek progesteron dinilai paling berperan dalam kelahiran prematur. Bayi yang lahir
prematur sering kali mengalami berat lahir rendah atau restriksi perkembangan
(IUGR) akibat gangguan plasenta.
Reaksi Inflamasi
Reaksi inflamasi pada kelahiran prematur terjadi akibat proses patogenik spesifik
yang dimediasi oleh sitokin proinflamasi, metaloprotease matriks, dan
prostaglandin. Inflamasi yang terjadi pada jalan lahir (birth canal inflammation)
menyebabkan kontraksi uterus dan perubahan serviks yang dapat memicu
rupturnya kantung amnion, sehingga terjadi ketuban pecah dini(KPD)
dan kelahiran prematur. [7,12,13]
Peran Progesteron
Progesteron dapat berfungsi sebagai antiinflamasi, antiabortus, dan
mempertahankan matriks serviks. Konsentrasi progesteron dan PIBF menurun
seiring usia gestasi mulai dari minggu ke-7 hingga ke-37 pada kehamilan normal.
Pada kehamilan prematur, progesteron ditemukan lebih rendah sehingga sintesis
PIBF melalui sel plasenta dan sel CD8+ juga menurun. Belum diketahui secara pasti
mekanisme penyebab turunnya progesteron dan PIBF pada kelahiran prematur.
[7,12,13]
Inkompetensi Serviks dan Disfungsi Plasenta
Inkompetensi serviks pada wanita hamil merupakan salah satu penyebab abortus
dan kelahiran prematur. Inkompetensi serviks dapat disebabkan oleh faktor
genetik, paparan diethylstilbestrol (DES), serta riwayat dilatasi dan operasi serviks.
10
Inkompetensi serviks juga meningkatkan risiko infeksi intrauterin yang dapat
mengaktifkan kaskade respons imun dan inflamasi.
Disfungsi plasenta menyebabkan sirkulasi maternal-fetal terganggu sehingga tidak
dapat melakukan ekskresi, sintesis hormon untuk perkembangan bayi, dan
mengalirkan nutrisi ke fetus dengan baik. Disfungsi plasenta sering kali
menyebabkan berat lahir bayi rendah. Disfungsi plasenta dapat mencetuskan
infeksi dan respons imunologis sehingga terjadi kehamilan prematur. Bayi yang
lahir secara prematur umumnya belum mengalami perkembangan organ secara
sempurna sehingga sering kali membutuhkan perawatan di NICU. [7,12,13]
11
akan menimbulkan masalah asuhan keperawatan yaitu kurangnya nutrisi dari
kebutuhan pasien.
Patogen dari luar yang masuk lebih dalam pada saluran cerna akan
menginfeksi saluran cerna yang menjadikan flora yang semula normal dalam usus
meningkat dan menjadikan peristaltik usus juga meningkat, jika peristaltik pada
usus terus meningkat kemungkinan malabsorbsi akan terjadi dan pasien
mengalami diare dimana pasien bisa BAB >3x per harinya,jika keadaan tersebut
terus berlanjut maka akan menimbulkan gangguan pada cairan tubuh pasien
(Nurarif, 2015, hal. 65).
12
Mencegah terjadinya henti jantung mendadak.
Penanganan gagal jantung dapat berupa pemberian obat, operasi, atau
pemasangan (implan) alat.
Obat-obatan
13
Selain melalui obat dan operasi, dokter jantung juga dapat menanam alat yang
dapat membantu kerja jantung agar mampu memompa darah secara efisien.
Berikut ini adalah beberapa jenis alat tersebut:
Alat pacu jantung. Perangkat ini akan memberikan rangsangan listrik pada
jantung agar dapat memompa darah secara efisien.
Left Ventricular Assist Device (LVAD). Alat ini dipasang di bagian luar jantung
untuk membantu jantung memompa darah. LVAD umumnya digunakan pada
pasien yang sedang menunggu donor untuk transplantasi jantung.
3. Asma
Penatalaksanaan asma dilakukan melalui berbagai pendekatan yang dapat
dilaksanakan (applicable), mempunyai manfaat, aman dan dari segi harga
terjangkau. Integrasi dari pendekatan tersebut dikenal dengan Program
penatalaksanaan asma, yang meliputi:
- Edukasi
- Menilai dan monitor berat asma secara berkala
- Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
- Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
- Menetapkan pengobatan pada serangan akut
- Kontrol secara teratur
- Pola hidup sehat
Diagnosis Asma Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala
berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang
berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan
diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru
terutama reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai
diagnostik. Riwayat penyakit/gejala: bersifat episodik, seringkali reversibel
14
dengan atau tanpa pengobatan, gejala berupa batuk, sesak napas, rasa berat di
dada dan berdahak, gejala timbul/memburuk terutama malam/dini hari, diawali
oleh faktor pencetus yang bersifat individu, serta respons terhadap pemberian
bronkodilator. Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit:
riwayat keluarga (atopi), riwayat alergi / atopi, penyakit lain yang memberatkan,
perkembangan penyakit dan riwayat pengobatan (misalnya pasien sudah sering
menggunakan obat inhaler).
Pelega (Reliever):
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki
dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti
mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas
atau menurunkan hiperesponsif jalan napas.
Pengontrol (Controllers):
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,
diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma
terkontrol pada asma persisten.
4. Pneumonia
Pengobatan pneumonia bertujuan untuk menyembuhkan infeksi yang terjadi,
serta mencegah komplikasi yang ditimbulkan. Pengobatan dilakukan sesuai
penyebab serta tingkat keparahan yang dialami. Untuk pneumonia ringan,
pasien akan diberi obat berupa:
Obat pereda nyeri. Obat ini diberikan untuk meredakan demam dan rasa
tidak nyaman. Contoh obat ini adalah ibuprofen atau paracetamol.
15
Obat batuk. Obat ini dapat meredakan batuk sehingga penderita bisa
beristirahat. Pemberian obat ini sebaiknya dilakukan dalam dosis yang
rendah. Selain meredakan batuk, terdapat jenis obat batuk yang
berfungsi untuk mengencerkan dahak.
Antibiotik. Obat ini digunakan untuk mengatasi pneumonia akibat
bakteri. Sebagian besar penderita pneumonia memberi respons yang
baik terhadap antibiotik dalam waktu 1-3 hari.
Banyak beristirahat.
Mengonsumsi banyak cairan.
Tidak melakukan kegiatan yang berlebihan.
Penderita pneumonia sebaiknya dirawat di rumah sakit jika telah berusia di atas
65 tahun, fungsi ginjalnya menurun, memiliki tekanan darah rendah, sesak
napas, suhu tubuhnya di bawah normal, dan detak jantungnya tidak normal.
Pemberian antibiotik melalui suntikan.
Penambahan oksigen. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan kadar
oksigen dalam aliran darah, melalui selang atau masker oksigen.
Rehabilitasi paru. Terapis akan membimbing pasien melakukan latihan
pernapasan untuk memaksimalkan penyerapan oksigen.
16
5. Tuberkulosis paru
Penatalaksanaan tuberkulosis paru (TB paru) dapat dibagi menjadi dua fase,
yaitu fase intensif dan fase lanjutan. Penggunaan obat juga dapat dibagi menjadi
obat utama dan tambahan.
Obat anti tuberkulosis (OAT) yang dipakai sebagai tatalaksana lini pertama
adalah rifampisin, isoniazid, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol, yang
tersedia dalam tablet tunggal maupun dalam sediaan dosis tetap (fixed dose
combination). Jenis obat lini kedua adalah kanamisin, kuinolon, dan derivat
rifampisin dan isoniazid.
6. Penyakit membran hialin
Menurut Suriadi dan Yuliani (2001) dan Surasmi,dkk (2003) tindakan untuk
mengatasi masalah kegawatan pernafasan meliputi :
a. Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi adekuat.
b. Mempertahankan keseimbangan asam basa.
c. Mempertahankan suhu lingkungan netral.
d. Mempertahankan perfusi jaringan adekuat.
e. Mencegah hipotermia.
f. Mempertahankan cairan dan elektrolit adekuat.
Penatalaksanaan secara umum :
a. Pasang jalur infus intravena, sesuai dengan kondisi bayi, yang paling sering
dan bila bayi tidak dalam keadaan dehidrasi berikan infus dektrosa 5 %
Pantau selalu tanda vital
Jaga patensi jalan nafas
Berikan Oksigen (2-3 liter/menit dengan kateter nasal)
b. Jika bayi mengalami apneu
Lakukan tindakan resusitasi sesuai tahap yang diperlukan
Lakukan penilaian lanjut
c. Bila terjadi kejang potong kejang segera periksa kadar gula darah
d. Pemberian nutrisi adekuat
17
Setelah menajemen umum, segera dilakukan menajemen lanjut sesuai dengan
kemungkinan penyebab dan jenis atau derajat gangguan nafas. Menajemen
spesifik atau menajemen lanjut
7. Asfiksia
Menurut Hidayat (2005), Cara pelaksanaan resusitasi sesuai tingkatan asfiksia,
antara lain :
a. Asfiksi Ringan (Apgar score 7-10)
1). Bayi dibungkus dengan kain hangat
2). Bersihkan jalan napas dengan menghisap lendir pada hidung kemudian
mulut.
3). Bersihkan badan dan tali pusat.
4). Lakukan observasi tanda vital dan apgar score dan masukan ke dalam
inkubator.
b. Asfiksia sedang (Apgar score 4-6)
1). Bersihkan jalan napas.
2). Berikan oksigen 2 liter per menit.
3). Rangsang pernapasan dengan menepuk telapak kaki apabila belum ada
reaksi,bantu pernapasan dengan melalui masker (ambubag).
4). Bila bayi sudah mulai bernapas tetapi masih sianosis berikan natrium
bikarbonat 7,5%sebanyak 6cc. Dextrosa 40% sebanyak 4cc disuntikan
melalui vena umbilikus secara perlahan-lahan, untuk mencegah tekanan
intra kranial meningkat.
c. Asfiksia berat (Apgar skor 0-3)
1). Bersihkan jalan napas sambil pompa melalui lambubag.
2). Berikan oksigen 4-5 liter per menit.
3). Bila tidak berhasil lakukan ETT (Endotracheal Tube).
4). Bersihkan jalan napas melalui ETT (Endotracheal Tube).
5). Apabila bayi sudah mulai benapas tetapi masih sianosis berikan natrium
bikarbonat 7,5% sebanyak 6cc. Dextrosa 40% sebanyak 4cc.
18
8. Persistent pulmonary hypertension of newborn (PPHN)
Hipertensi pulmonal merupakan penyakit yang belum dapat disembuhkan
sehingga pengobatan hipertensi pulmonal ditujukan untuk meredakan gejala dan
menghambat perkembangan penyakit. Jika terdiagnosis dan ditangani sejak dini,
maka kerusakan arteri pulmonal secara permanen dapat dicegah.
Salah satu pilihan terapi yang dapat dilakukan adalah pemberian obat. Jenis obat
yang bisa diberikan pada penderita hipertensi pulmonal adalah:
19
Selain pemberian obat, dokter juga dapat melakukan Pemeriksaan radiologi akan
dilakukan untuk mendapatkan lebih baik melihatparu-paru, jantung, dan sirkulasi,
dan untuk memeriksa kemungkinan penyebablain dari masalah bayi (Spear,2012;
Diana, 2011) :
20
9. Prematuritas
MenurutRukiyah& Yulianti(2012),beberapapenatalaksanaanatau penanganan
yang dapat diberikan pada bayi prematur adalah sebagai berikut:
1. Mempertahankan suhu tubuh dengan ketat. Bayi prematur mudah
mengalamihipotermi, oleh sebab itu suhu tubuhnyaharus dipertahankan
dengan ketat.
2.Mencegah infeksi dengan ketat. Bayi prematur sangat rentan dengan
infeksi,perhatikan prinsip-prinsip pencegahan infeksitermasuk mencuci tangan
sebelummemegangbayi.
3.Pengawasannutrisi. Reflek menelan bayiprematur belumsempurna,oleh sebab
itu pemberian nutrisi harus dilakukan dengan cermat.
4.Penimbangan ketat. Perubahan berat badan mencerminkan kondisi
gizi/nutrisibayidaneratkaitannyadengandayatahantubuh,olehsebab
itu penimbangan berat badan harus dilakukan dengan ketat.
21
6. Suportif : meningkatkan daya tahan tubuh berupa Nutrisi yang
adekuat,pemberian multivitamin dll. (Kunoli, 2012, hal. 220).
Kriteria Hasil :
Dipsnea menurun
Bunyi nafas tambahan menurun
Pusing menurun
Penglihatan kabur menurun
Diaporasis menurun
Gelisah menurun
Nafas cuping hidung menurun
PCO2 membaik
PO2 membaik
Takikardi membaik
PH arteri membaik
Sianosis membaik
Pola nafasmembaik
Warna kulit membaik
22
Rasional :
Untuk mengetahui kesimetrisan ekspansi paru.
23
Pemberian obat bertujuan agar klien menerima pengobatan sesuai dengan
kebutuhan klinisnya dengan dosis yang sesuai dengan kebutuhan.
24
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
1. Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI), Edisi 1, Jakarta, PersatuanPerawat Indonesia
2. Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), StandarLuaranKeperawatan Indonesia (SLKI),
Edisi 1, Jakarta, PersatuanPerawat Indonesia
3. Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), StandarIntervensiKeperawatan Indonesia (SIKI),
Edisi 1, Jakarta, PersatuanPerawat Indonesia
4. https://www.alomedika.com/penyakit/pulmonologi/penyakit-paru-obstruktif-
kronik/patofisiologi
5. https://www.alomedika.com/penyakit/kardiologi/gagal-jantung
6. https://www.academia.edu/35320912/LAPORAN_PENDAHULUAN_ASMA
7. http://eprints.undip.ac.id/44629/3/FIDA_AMALINA_22010110120027_BAB2KTI.pdf
8. https://www.alodokter.com/gagal-jantung/pengobatan
9. http://p2ptm.kemkes.go.id/artikel-sehat/program-penatalaksanaan-asma
10. https://www.alodokter.com/pneumonia/pengobatan
11. https://www.alomedika.com/penyakit/pulmonologi/tuberkulosis-
paru/penatalaksanaan
12. https://www.academia.edu/33907041/HYALIN_MEMBRANE_DISEASE_HMD
13. https://www.academia.edu/24093504/PATOFISIOLOGI_ASFIKSIA?auto=download
14. https://dokumen.tips/documents/makalah-pphn.html
25