Anda di halaman 1dari 17

Pembaruan pada Sindrom Hepato Renal

Kyota Fukuzawa dan H Thomas Lee

Abstrak

Sindrom Hepato Renal (RA) adalah salah satu kondisi yang sangat mengganggu pada pasien

dengan pasien yang mengidap penyakit hati stadium akhir. Sindrome Hepato Renal dianggap

sebagai penyakit fatal yang behrubungan dengan sirosis dan disebut sebagai “liver-death

syndrome”. Kemudian, meskipun pemahaman mengenai patofisiologi dan keadaan disfungsi

renal pada HRS terus berkembang angka mortalitas pada HRS masih tetap tinggi khususnya

pada HRS tipe 1. Tinjauan ini menyimpulkan kemajuan terbaru dari patofisiologi, diagnosis,

serta manajemen pada HRS dan juga menyediakan tempat untuk penelitian lebih lanjut pada

bidang patomekanisme HRS yang dapat mengarah pada pendekatan terapi baru untuk HRS.

1. Pendahuluan

Acute Kidney Injury (AKI) merupakan komplikasi yang mematikan dan sudah banyak

diketahui pada penyakit hati atau pada saluran empedu selama lebih dari 1 abad. Freirich dan

Flint pertama kali melaporkan bahwa ditemukan oliguria tanpa disertai perubahan jaringan

histologi dari ginjal pada pasien dengan penyakit sirosis yang parah dan asites ditahun 1861

hampir 1 abad kemudian Hecker dan Sherlock melaporkan adanya azotemia yang

berkembang cepat disertai dengan oliguria pada penderita sirosis ditahun 1957. Mereka

menemukan jaringan histologi ginjal yang mendekati normal dan penyembuhan fungsi ginjal

yang sepenuhnya dan berhubungan dengan fungsi hati. Koppel dkk juga menemukan bahwa

ginjal dari penderita HRS kembali berfungsi dengan normal saat ditranplantasikan pada

pasien uremic chronic. Penemuan-penemuan ini juga memperkuat pendapat bahwa HRS

merupakan kelainan fungsi ginjal tanpa disertai kelainan struktur ginjal. Schroeder dkk
mengukur para-amino Hippurate (PAH) clearance pada pasien dengan sirosis disertai gagal

ginjal menunjukkan adanya vasokontriksi pada pembuluh darah arteri ginjal bersamaan

dengan vasodilatasi sistemik dan splanchnic vasodilatasi. Namun, meskipun pemahaman dari

patofisiologi seiring dengan gagal ginjal pada HRS terus berkembang, prognosis dari HRS

tetap sangat buruk. Akhir-akhir ini rerata harapan hidup dari penderita HRS tipe 1 yang tidak

diobati kurang lebih 2 minggu sedangkan tipe 2 kira-kira 4-6 bulan. Transplantasi hati ialah

satu-satunya pengobatan yang tersedia namun, keterbatasan organ donor menjadi halangan

besar pada mayoritas pasien HRS tipe 1 karena kebanyakan pasien meninggal saat menunggu

organ donor untuk ditranplantasi. Penelitian terbaru menemukan mekanisme baru tentang

kerusakan organ-organ yang jauh pada inflamasi lokal yang steril, yang mungkin dapat

diaplikasikan pada pathogenesis HRS. Sekarang sudah semakin jelas bahwa HRS fenomena

yang multi faktorial. Tujuan dari adanya tinjauan pustaka ini adalah untuk menyimpulkan

pemahaman yang ada serta manajemen dari penyakit HRS dan juga menyediakan untuk

mengembangkan penelitian di bidang patomekanisme dari HRS.

2. Definisi Sindroma Hepato Renal Yang Sudah Ada

International Ascites Club telah mendefinisikan HRS pada tahun 1996 dan kemudian

di revisi pada tahun 2007 (tabel 1.). Kriteria-kriteria tersebut ditentukan dari pehamaman

yang sudah ada tentang peran hati dan ginjal sebagai organ yang berperan dalam mekanisme

patofisiologi dari HRS. HRS memiliki dua tipe yang berbeda ditinjau dari presentasi klinis.

HRS tipe 1 merupakan bentuk akut dari HRS yang di tandai dengan perkembangan kerusakan

ginjal yang cepat. HRS tipe 1 biasanya berkembang setelah beberapa kejadian yang

menunjang seperti perdarahan gastrointestinal, paracentesis yang banyak, hepatitis alkoholik

akut dan peritonitis bacterial kontinyu. HRS tipe 1 umumnya berhubungan dengan kerusakan

fungsi organ extra-renal yang cepat meliputi jantung, otak, hati dan kelenjar adrenal. HRS
tipe 2 adalah bentuk kronik dari HRS dan ditandai dengan perkembangan kerusakan ginjal

yang tidak terlalu cepat dan lambat yang berhubungan dengan ascites resisten diuretik 12.

Meskipun perbedaan diantara kedua tipe cukup jelas, namun kerusakan ginjal dapat

dikategorikan sebagai “continuum” pada pasien dengan HRS tipe 2 yang berubah menjadi

tipe 1 setelah beberapa faktor yang menunjang terjadinya kerusakan ginjal.

Tabel 1. Kriteria diagnosis terbaru untuk HRS

- Sirosis dan ascites

- serum kreatinin > 1.5mg/dL

- tidak ada peningkatan serum kreatinin (menurun hingga <= 1.5 mg/dL) setelah penarikan

diuretik minimal 2 hari dan ekspansi volume dengan albumin

- tidak ada tanda-tanda syok

- tidak ada riwayat penggunaan obat nefrotoksik dalam waktu dekat

- tidak ditemukannya penyakit pada parenkim ginjal yang di tandai dengan proteinuria

>500mg/ hari, mikrohematuria dan/atau abnormal usg renal

3. Signifikansi Klinis

HRS adalah komplikasi yang sering terjadi pada sirosis lanjut dan

prevalensi HRS sejajar dengan perkembangan penyakit hati pada pasien

dengan sirosis [13]. HRS terjadi pada sekitar 10% pasien yang dirawat

rumah sakit dengan sirosis dekompensasi, dengan probabilitas kumulatif

18% pada 1 tahun dan 39% pada 5 tahun [10]. Juga pasien dengan spontan

peritonitis bakterial memiliki 33% kemungkinan mengembangkan HRS [14]. HRS adalah

komplikasi yang mengancam jiwa dan pasien tipe 1 memiliki mortalitas 80% dalam dua
minggu dan hanya 10% pasien yang bertahan hidup lebih dari 3 bulan [6].

Karena prognosis yang merugikan ini, kebanyakan pasien dengan tipe 1 HRS

meninggal saat dievaluasi untuk transplantasi atau menunggu transplantasi. Prognosis ini

bahkan lebih buruk untuk pasien dengan faktor-faktor presipitat yang jelas. Pasien dengan

tipe 2 HRS juga memiliki kelangsungan hidup rata-rata

sekitar 6 bulan [6].

Biaya perawatan kesehatan yang terkait dengan HRS belum pernah dilaporkan tetap

tidak sulit mebayangkan bahwa harga nya sangat tinggi mengingat kerugian yang

ditimbulkan oleh kondisi ini. Quiros dkk. memperkirakan dengan menggunakan Lembaga

database jaminan sosial Meksiko yang menanggung biaya perawatan kesehatan tahunan per

orang untuk Child-Pugh SkorC adalah $30.249 (tujuh kali lebih tinggi

dibandingkan pasien dengan Child-Pugh Skor A, $4,269) [15]. Selain itu, Henry Ford,

membandingkan beban ekonomi untuk pasien di AS dengan penyakit hepatitis C kronis

menggunakan asuransi kesehatan swasta yang besar dari klaim database dari tahun 2003

hingga 2010, biaya kesehatan tahunan per orang untuk sirosis dekompensasi diperkirakan

sekitar $59.995 yang tiga kali lipat dibandingkan dengan pasien tanpa sirosis ($ 17.277) [16].

Mempertimbangkan fakta bahwa 400.000 pasien sirosis di Amerika Serikat,

dan hingga 2% dari pasien-pasien tersebut berkembang menjadi HRS (kejadian

gagal ginjal akut pada pasien sirosis dilaporkan 10% dan HRS menyebabkan hingga 20% dari

kejadian gagal ginjal akut), perawatan kesehatan tahunan di AS biayanya hingga mencapai

$240 juta. HRS menciptakan beba ekonomi besar mengingat keadaan saat ini dimana tidak

ada terapi yang efektif tersedia [17,18]. Karena itu ada kebutuhan mendesak untuk

memahami lebih jelas tentang mekanisme patofisiologi dan pengembangan pilihan

pengobatan yang layak.


4. Patogenesis HRS: Mekanisme dasar

Mekanisme patofisiologi untuk HRS sebagian besar masih tidak diketahui tetapi

pemahaman saat ini penurunan laju filtrasi glomerulus karena berkurangnya volume darah

yang dikarenakan oleh vasodilatasi splanknikus (disebut “Splanchnic steal syndroem”) yang

kemudian dikompensasi dengan aktivasi renin-angiotensinaldosterone dan sistem saraf

simpatik, serta pelepasan Antidiuretik Hormon (ADH), yang mengakibatkan vasokonstriksi

arteri aferen ginjal (terutama mempengaruhi korteks ginjal) [19-21]. Pasien dengan HRS

memiliki ekskresi sodium urin yang sangat rendah dikarenakan filtrasi sodium yang tersaring

pada glomerulus berkurang dan meningkatkan reabsorpsi sodium di tubulus proksimal

("penyerapan natrium berlebihan"). Diuretik seperti furosemid dan spironolakton memiliki

efek kecil kqrena penurunan volume dan jumlah natrium yang rendah di situs efektor

(lengkung Henle dan tubulus distal) (Gambar 1). Selain itu, kecilnya jumlah air yang disaring

diserap di tubulus distal sebagai respons terhadap aktivitas ADH tinggi mengarah ke oliguria

atau anuria (“hiper non-osmotik sekresi ADH ”) [22,23].

Saat ini vasodilatasi splanknik sudah dianggap secara luas sebagai kunci perubahan

patofisiologi untuk HRS karena dapat menjelaskan sebagian besar data studi patofisiologi.

Pada sirosis awal, inflamasi hepatosit mengaktifkan sel-sel stellata hati yang terletak di

jaringan peri-sinusoid (space of Disse) untuk mensekresi kolagen menuju sinusoid hati (bekas

luka) menyebabkan peningkatan resistensi vena portal dengan perkembangan kerusakan hati.

Peningkatan resistensi pembuluh darah portal meningkatkan tegangan pada dinding vena

portal dan sistem splanknik, dan menyebabkan produksi besar vasodilator termasuk Nitric

Oxide (NO) dari sel-sel endotel vaskular [24]. Peningkatan tekanan juga menyebabkan

pembentukan jaringan kolateral yang besar dengan membuka pembuluh darah yang sudah

ada sebelumnya atau dengan peningkatan angiogenesis karena peningkatan regulasi faktor

pertumbuhan (growth hormone) seperti pertumbuhan faktor pertumbuhan endotel vaskular


dan faktor pertumbuhan derivat trombosit, yang selanjutnya mengarah ke pengurangan

resistensi vaskular splanchnic [25-28].

Selain peningkatan tekanan, bukti saat ini juga telah menunjukkan bahwa translokasi

bakteri dari flora usus ke sirkulasi portal, yang sering terlihat pada pasien sirosis dengan

portal hipertensi, dapat mengaktifkan sistem kekebalan tubuh bawaan, mengarah ke produksi

besar sitokin termasuk tumor necrosis factor-α (TNF-α) dan Interleukin-6 (IL-6) [29-31].

TNF-α dan endotoxins dari Bakteri kemudian meningkatkan produksi NO dari sel endotel

vaskular oleh peningkatan regulasi sintesis nitrat oksida endotel dan inducible nitric oxide

synthase (iNOS), sehingga menyebabkan vasodilatasi splanknikus [32]. Bahkan, pasien

sirosis dengan translokasi bakteri memiliki resistensi vaskular sistemik lebih rendah

dibandingkan dengan pasien yang tidak [33]. Dekontaminasi intestinal dengan norfloxacin

juga menurunkan produksi TNF-α, mengurangi parameter hemodinamik, dan fungsi ginjal

[34,35]. Studi-studi tersebut secara tidak langsung memberikan kemungkinan untuk

translokasi bakteri sebagai mekanisme vasodilatasi splanknik di sirosis.

Penting diketahui bahwa vasodilatasi splanknik itu sendiri tidak cukup untuk

pengembangan HRS. Disfungsi organ lainnya secara besamaan menjadi pemicu untuk

mengembangkan HRS. Autoregulasi aliran darah ginjal pada pasien sirosis bergeser ke kanan

karena aktivasi sistem saraf simpatik ginjal dan vasokonstriktor lainnya [36]. Aliran darah

ginjal menjadi lebih bergantung pada tekanan darah arteri dengan perkembangan penyakit

hati. Pada pasien dengan sirosis lanjut, perubahan kecil pada tekanan perfusi akan

menghasilkan penurunan besar dalam aliran darah ginjal. Fungsi pompa miokard, yang

diperlukan untuk mempertahankan perfusi organ vital dengan mencegah pengurangan

volume yang bergeser ke sirkulasi splanknik juga terganggu, yang disebut "kardiomiopati

sirosis" [37-40]. Gangguan untuk menghasilkan output jantung yang memadai dalam

menanggapi penurunan volume darah yang efektif secara langsung mengurangi tekanan
perfusi ginjal juga berkontribusi pada pengembangan HRS [37,38]. Hipo-perfusi pada

kelenjar adrenal juga dapat menyebabkan insufisiensi glukokortikoid, yang menyebabkan

disfungsi sirkulasi dan gangguan respon terhadap vasopressor [41]. Penelitian sebelumnya

pada 101 pasien sirosis dalam perawatan intensif unit menunjukkan bahwa insufisiensi

adrenal dikaitkan dengan angka mortalitas lebih tinggi dengan tekanan arteri rata - rata lebih

rendah dan kebutuhan vasopressor yang lebih tinggi [42]. Selanjutnya, pemberian

hidrokortison dengan cepat meningkatkan hemodinamik sistemik, mengurangi kebutuhan

vasopressor dan menurunkan mortalitas pada rumah sakit [43]. Singkatnya, patofisiologi

mekanisme HRS saat ini dipahami bahwa sirosis yang diinduksi vasodilatasi splanknik

adalah perubahan fisiologis kausatif primer dan vasokonstriksi renal menyebabkan hipo-

perfusi ginjal, yang mengarah ke HRS disertai dengan penurunan beberapa fungsi organ.

Meskipun vasodilatasi splanknik saat ini adalah mekanisme yang paling masuk akal

sebagai penyebab dari HRS pada sirosis, ada banyak bukti telah menunjukkan bahwa gagal

ginjal fungsional progresif terjadi karena berbagai cedera hati seperti trauma, obat beracun

tanpa sirosis atau vasodilatasi splanknikus [44,45]. Oleh karena itu tetap memungkinkan

cedera hati itu sendiri secara langsung atau tidak langsung menyebabkan HRS. Bukti ilmiah

terbaru menunjukkan respon inflamasi sistemik dari cedera liver (pelepasan mediator

inflamasi) menyebabkan organ lain cedera serta gangguan hemodinamik yang mirip dengan

sirosis atau sepsis. Penelitian baru yang sedang berkembang tersebut akan dibahas kemudian

di bagian penelitian sains dasar yang baru.


Gambar 1. Patofisiologi HRS yang dikenal

4. Manajemen HRS Saat Ini

Sayangnya terapi pada HRS ssat ini terbatas dan kebanyakan hanya terapi suportif

yang hanya dapat memperpanjang harapan hidup bagi penderita HRS selama menunggu

organ donor. Perawatan suportif tersebut termasuk pencegahan dan pengobatan segera untuk

faktor pencetus HRS seperti (i) paracentasis dengan suplemen albumin untuk asites yang, (ii)

antibiotik untuk peritonitis bakterial spontan, (iii) menghindari obat nefrotoksik (misalnya

NSAID,aminoglikosida, media radiokontras, dan diuretik), (iv) diet rendah garam dan

pembatasan konsumsi cairan untuk pasien dengan hiponatremia, (v) mempertimbangkan

terapi penggantian kortison untuk pasien hipotensi [9,46-49].


Beberapa agen farmakologis saat ini tersedia untuk memperlambat progresifitas

perburukan vasodilatasi splanknik dan sering diindikasikan hanya untuk pasien yang

menunggu transplantasi. Terlipressin adalah analog vasopresin dengan efek preferensial pada

reseptor vasopresin tipe 1 dalam vaskular splanchnic, menyebabkan vasokonstriksi

mesenterika yang lebih besar daripada di ginjal atau sistem vaskular organ lainnya [50]. Saat

ini terlipressin dalam kombinasi dengan infus albumin adalah vasokonstriktor lini pertama

untuk HRS tipe 1 (saat ini tidak tersedia secara komersial di Amerika Serikat). Namun,

terlipressin hanya efektif untuk pasien yang memiliki disfungsi ginjal dan hati yang ringan

(bilirubin serum <10 mg/dL) [51-53]. Vasokonstriktor lain seperti midodrine oral, agonis

reseptor α-adrenergik, dan oktreotida subkutan, serta analog somatostatin jangka panjang,

kurang efektif dibandingkan dengan Terlipressin, dan dianggap sebagai pengobatan lini

kedua. (Hanya diindikasikan jika Terlipressin merupakan kontraindikasi atau tidak tersedia)

Perawatan non-farmakologis termasuk terapi transplantasi ginjal, Transjugular

Intrahepatic Portosystemic Shunt (TIPS) dan transplantasi hati. Efektivitas terapi transplatasi

ginjal tersebut sebagai hemodialisis atau hemofiltrasi veno-vena kontinyu tetap belum

ditetapkan untuk HRS. Oleh karena itu terapi penggantian ginjal hanya diindikasikan untuk

pengobatan penyelamatan bagi para kandidat transplantasi hati dengan hiperkalemia berat,

asidosis metabolik, dan volume yang berlebihan, bukan sebagai pengobatan untuk HRS [54].

Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt (TIPS) untuk sementara dapat mengurangi

tekanan portal, dan menurunkan aktivitas sistem saraf simpatik dan aktivitas renin-

angiotensin-aldosteron [55,56]. Namun, TIPS secara akut meningkatkan curah jantung dan

vasodilatasi perifer, dan sering diindikasikan hanya untuk pasien dengan fungsi hati yang

stabil baik sebagai perawatan sebelum transplantasi hati atau pengobatan jangka panjang.

Transplantasi hati tetap menjadi pengobatan terbaik yang tersedia untuk kandidat yang cocok

dengan HRS karena itu dapat menyembuhkan hati dan disfungsi ginjal ketika dilakukan di
tahap awal. Tetapi pilihan perawatan ini dibatasi oleh ketersediaan organ. Selain itu, pasien

dengan sirosis dan gagal ginjal, terutama HRS tipe 1, beresiko tinggi untuk meninggal dunia

ketika menunggu transplantasi [57]. Pada tahun 2002, skor Model For End-Stage Liver

Disease (MELD), yang menggabungkan fungsi ginjal untuk menghitung tingkatan penyakit

pasien yang menunggu transplantasi, diperkenalkan untuk memfasilitasi pemilihan prioritas

pasien "yang paling parah" untuk transplantasi hati. Penggunaan sistem penilaian ini telah

meningkatkan peluang transplantasi untuk pasien dengan gagal ginjal dan membantu

mengurangi kematian di antara pasien yang menunggu transplantasi hati.

4. Penelitian Dasar Terbaru Pada Mekanisme HRS

Hampir 30 tahun sejak Schrier dkk mengusulkan "Hipotesis Vasodilatasi Arteri

Perifer" sebagai penjelasan untuk retensi natrium dan cairan ginjal yang abnormal pada

pasien dengan sirosis pada tahun 1988, vasodilatasi splanknikus telah diyakini sebagai sebuah

mekanisme penyebab tunggal untuk sindrom hepato-ginjal pada sirosis [24]. Perawatan

farmakologis vaso-konstriktif untuk HRS telah diperkenalkan untuk mengobati vasodilatasi

splanknik pada hipotesis ini dengan tingkat kesuksesan sebagian. Baru-baru ini bukti-bukti

baru telah bermunculan mengenai mekanisme baru lainnya untuk HRS termasuk hipotesis

“respon inflamasi sistemik ". Setelah iskemia hati dan cedera reperfusi, sel Kuppfer

melepaskan mediator pro-inflamasi (Gambar 1). Secara jelas tingkat sirkulasi sitokin pro

inflamasi yang jauh lebih tinggi dan faktor transkripsi termasuk TNF-α, IL-1α, dan IL-6 telah

dilaporkan setelah reperfusi hati [58-60]. Para mediator itu dapat meningkatkan perubahan

inflamasi di organ jarak jauh termasuk paru-paru dan ginjal [59-61]. Selain itu, kerusakan

hepatosit melepaskan komponen intraseluler seperti Damage Associated Molecular Pattern

(DAMP). DAMP adalah molekul yang dilepaskan oleh sel yang akan mengalami nekrosis

yang bertindak sebagai sinyal bahaya endogen sebagai tanda adanya perburukan peradangan.

High mobility group box-1 (HMGB1) adalah protein nuklear non-histone tetapi berfungsi
sebagai DAMP di bawah kondisi stres dan meningkatkan peradangan [62,63]. Peningkatan

HMGB1 diamati terdapat pada hepatosit setelah iskemia dan reperfusi [64]. HMGB1

berinteraksi Toll-Like Receptor (TLR), TLR2 dan TLR4 di sel organ jauh dan sistem imun

bawaan, yang juga dapat berkontribusi pada HRS [65]. Mediator inflamasi lainnya termasuk,

sirkulasi asam empedu, asam urat, histon dan DNA inti serta kompleks imun yang beredar

juga dapat berkontribusi pada pengembangan cedera ginjal akut [66]. Hipotesis tersebut baru-

baru ini didukung oleh temuan pengamatan bahwa kerusakan sel endotel vaskular yang

ditunjukkan oleh sejumlah besar apoptosis di sel ginjal, yang lebih menonjol dari apoptosis

sel tubulus proksimal setelah reperfusi hati [67]. Mediator pro-inflamasi yang dilepaskan

menuju sirkulasi sistemik merusak sel-sel endotel ginjal, dan menyebabkan hilangnya

kemampuan untuk regulasi pengumpulan leukosit, yang mengarah ke gangguan endotel

barrier[68, 69]. Neutrofil aktif sebagai respons terhadap faktor inflamasi tersebut bermigrasi

ke daerah cedera yang dipandu oleh molekul adhesi endotel seperti E-selectin, P-selectin, dan

ICAM-1 di ginjal, yang menyebabkan pengumpulan leukosit dan ekstravasasi ke ruang

interstisial ginjal [69-72]. Oleh karena itu pencegahan kerusakan endotel dapat meningkatkan

kelangsungan hidup sel-sel endotel ginjal setelah iskemik reperfusi hati dapat membatasi

infiltrasi leukosit ke dalam parenkim ginjal dan memperbaiki fungsi ginjal. Studi selanjutnya

dengan agen stabilisasi endotel (seperti aktivasi reseptor adenosin A1, protein kinase C, HSP-

27, protein C diaktifkan atau sphingosine-1-fosfat) akan menentukan apakah melindungi

integritas endotel akan mengurangi cedera ginjal setelah cedera IR pada hati [73-77].

Penemuan baru lainnya dari mekanisme cedera organ jarak jauhadalah keterlibatan

usus dalam memperburuk peradangan steril dengan merilis IL-17A yang disimpan secara

internal (Gambar 2). Penemuan ini dimulai dari temuan awal bahwa cedera ginjal akut pada

tikus menyebabkan cedera hati, yang dimediasi oleh peradangan sitokin (TNF-α, IL-17A, dan

IL-6). Juga vena porta dan usus memiliki tingkat interleukin 17A lebih tinggi daripada darah
perifer. Penemuan ini menandakan bahwa IL-17A berasal dari usus kecil [78]. Berbeda

dengan cedera hati setelah cedera ginjal, penulis menemukan bahwa ischemiareperfusion

pada cedera hati menyebabkan cedera ginjal akut, yang juga dimediasi oleh IL-17A yang

berasal dari usus. Tingginya IL-17A mRNA diekspresikan terutama di sel Paneth. Sel Paneth

adalah sel epitel usus, terletak di dasar intestinal dan berdekatan dengan sel induk,

mengeluarkan protein kationik bakterisidal yang disebut defensin untuk melindungi barrier

epitel usus terhadap bakteri. Setelah hati atau iskemia ginjal dan reperfusi, sel Paneth juga

menghasilkan sekresi besar jumlah disimpan IL-17A, yang mungkin dikaitkan dengan

agregasi peradangan di situs utama dan juga mengarah ke cedera organ jauh. Bahkan,

menipisnya sel Paneth juga memperbaiki respon inflamasi ke organ primer (misalnya hati),

tetapi juga kerusakan organ jarak jauh (misalnya cedera ginjal setelah cedera iskemia-

reperfusi hati). Berdasarkan pengamatan tersebut, masuk akal bahwa hati dan cedera ginjal

setelah cedera iskemia-reperfusi hati diperburuk oleh sel Paneth yang berasal IL-17A [79].

Eksaserbasi respon peradangan menyebabkan kerusakan endotel dan hemodinamik yang luas

kekacauan, yang semakin memperparah disfungsi hati dan juga menyebabkan bertambahnya

kerusakan organ hati, dan akhirnya menarik pasien ke dalam "Penurunan peradangan spiral"

dan kegagalan multi-organ (Gambar 3). Reaksi "respon inflamasi sistemik" ini mungkin

menjadi beberapa petunjuk untuk menjawab pertanyaan mengapa cedera ginjal (HRS) terjadi

di berbagai penyebab cedera hati tanpa adanya bukti vasodilatasi splanknikus.


Gambar 2. Mekanisme yang ditunjang oleh sel intestinal

Gambar3. Hipotesa Respon Inflamasi Sistemik

4. Biomarker Terbaru Pada HRS

Diagnosis klinis HRS tetap sulit dan kriteria diagnostik memerlukan penyempurnaan

lebih lanjut. Kriteria klub asites internasional saat ini membutuhkan sampel urin untuk

membuat diagnosis dan karena itu tidak bisa menegakkan diagnosis HRS pada pasien
oligouric atau anuric. Juga mereka tidak dapat mengidentifikasi HRS yang ditumpangkan

pada penyakit ginjal organik dan di pasien dengan gagal hati dan gagal ginjal yang

berkembang pesat [80]. Italian study multicenter memeriksa penerapan kriteria diagnostik ini

dalam percobaan prospektif [81]. Dari 116 pasien yang didiagnosis dengan HRS hanya 64%

yang memenuhi semua kriteria diagnostik, sedangkan sisanya 36% dengan kerusakan akut

kreatinin serum hingga di atas 1,5 mg / dL tidak dapat memenuhi kriteria dignostik.

Tingkat Cystatin C (Cys-C) adalah salah satu serum marker yang digunakan untuk

GFR dan dapat menjadi alternative untuk memeriksa fungsi glomerulus pada penderita sirosis

yang sekarang masih dikembangkan. Biomarker kemih lainnya sedang diselidiki untuk

mendeteksi kerusakan fungsi ginjal termasuk γ glutamil transpeptidase, transaminase, protein

pengikat asam lemak tipe liver, IL 18 dan reseptor virus hepatitis A-1 tetapi penanda ini

masih harus diteliti lebih lanjut pada pasien sirosis. Penanda tingkat keparahan vasokonstriksi

arteri aferen ginjal telah disarankan untuk diagnosis HRS. Penanda ini termasuk Aktivitas

Sistem saraf simpatis (tingkat noradrenalin plasma) atau aktivitas Renin-Angiotensin-

Aldosterone (aktivitas renin plasma) atau resistensi arteri ginjal ("indeks resistensi arteri

ginjal" di ultrasonografi) [10,85].

4. Kesimpulan

Dalam ulasan singkat ini, kami merangkum pemahaman terkini tentang mekanisme

patofisiologi, pendekatan terapeutik dan perkembangan mekanisme patofisiologi dari HRS.

Mengumpulkan bukti yang saat ini tersedia, patofisiologi HRS telah diakui lebih kompleks

daripada semata-mata karena vasodilatasi splanknikus.Vasodilasi splanknikus, gangguan

barrier usus dan translokasi bakteri, serta eksaserbasi respon inflamasi sistemik dapat

bersamaan mengembangkan HRS. Memahami mekanisme patofisiologi akan memungkinkan

lebih banyak pendekatan terapi fisiologi yang berorientasi (seperti farmakologi terapi dan

modulasi gen yang ditargetkan pada molekul sinyal ini untuk meningkatkan fungsi hati /
ginjal dan menunda pengembangan HRS) selain terapi suportif, yang diharapkan dapat

mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien dengan HRS, dan secara signifikan mengurangi

biaya perawatan medis yang terkait dengan HRS. Penelitian selanjutnya akan menjelaskan

mekanisme tersebut pengembangan Sindrom Respons Inflamasi Sistemik (SIRS) setelah

cedera iskemia-reperfusi hati, yang meliputi jenis mediator inflamasi selain mediator yang

dibahas dalam bagian sebelumnya, dan asal dari mediator tersebut (nekrotik

hepatosit, sel Kuppfer, sel endotel, dll.). Meskipun hati sel Kuppfer sinusoidal adalah

makrofag sessile terbesar di tubuh, dan sejumlah besar sel-sel endotel hepatik ada di

mikrosirkulasi hati, benar-benar tidak diketahui apakah para mediator dari sel Kuppfer atau

sel-sel endotel hati cukup untuk diproduksi respon inflamasi sistemik berkelanjutan dan kuat

untuk perkembangan HRS. Peran usus dalam peradangan steril adalah penelitian yang

berkembang dan mungkin memainkan peran penting dalam transmisi peradangan lokal atau

peradangan sistemik, yang mengarah pada pengembangan cedera organ jauh termasuk HRS.

Mekanisme cedera ginjal dari sindrom inflamasi sistemik, terutama peran sel endotel perlu

dijelaskan.
Referensi

1. Moreau R, Durand F, Poynard T, Duhamel C, Cervoni JP, et al. (2002) Terlipressin in patients with cirrhosis and type 1 hepatorenal
syndrome: a retrospective multicenter study. Gastroenterology 122: 923-930.

2. Møller S, Hobolth L, Winkler C, Bendtsen F, Christensen E (2011) Determinants of the hyperdynamic circulation and central hypovolaemia
in cirrhosis. Gut 60: 1254-1259.

3. Sacerdoti D, Bolognesi M, Merkel C, Angeli P, Gatta A (1993) Renal vasoconstriction in cirrhosis evaluated by duplex Doppler
ultrasonography. Hepatology 17: 219-224.

4. Maroto A, Ginès A, Saló J, Clària J, Ginès P, et al. (1994) Diagnosis of functional kidney failure of cirrhosis with Doppler sonography:
prognostic value of resistive index. Hepatology 20: 839-844.

5. Linas SL, Anderson RJ, Guggenheim SJ, Robertson GL, Berl T (1981) Role of vasopressin in impaired water excretion in conscious rats
with experimental cirrhosis. Kidney Int 20: 173-180.

6. Bichet DG, Van Putten VJ, Schrier RW (1982) Potential role of increased sympathetic activity in impaired sodium and water excretion in
cirrhosis. N Engl J Med 307: 1552-1557.

7. Schrier RW, Arroyo V, Bernardi M, Epstein M, Henriksen JH, et al. (1988) Peripheral arterial vasodilation hypothesis: a proposal for the
initiation of renal sodium and water retention in cirrhosis. Hepatology 8: 1151-1157.

8. Van Steenkiste C, Geerts A, Vanheule E, Van Vlierberghe H, De Vos F, et al. (2009) Role of placental growth factor in mesenteric
neoangiogenesis in a mouse model of portal hypertension. Gastroenterology 137: 2112-2124.

9. Paternostro C, David E, Novo E, Parola M (2010) Hypoxia, angiogenesis and liver fibrogenesis in the progression of chronic liver diseases.
World J Gastroenterol 16: 281-288.

10. Langer DA, Shah VH (2006) Nitric oxide and portal hypertension: interface of vasoreactivity and angiogenesis. J Hepatol 44: 209-216.
11. Sumanovski LT, Battegay E, Stumm M, van der Kooij M, Sieber CC (1999) Increased angiogenesis in portal hypertensive rats: role of nitric
oxide. Hepatology 29: 1044-1049.

12. Bellot P, Francés R, Such J (2013) Pathological bacterial translocation in cirrhosis: pathophysiology, diagnosis and clinical implications.
Liver Int 33: 31- 39.

13. Sugano S (1992) Endotoxin levels in cirrhotic rats with sterile and infected ascites. Gastroenterol Jpn 27: 348-353.
14. Heller J, Sogni P, Barrière E, Tazi KA, Chauvelot-Moachon L, et al. (2000) Effects of lipopolysaccharide on TNF-alpha production, hepatic
NOS2 activity, and hepatic toxicity in rats with cirrhosis. J Hepatol 33: 376-381.

15. Wiest R, Das S, Cadelina G, Garcia-Tsao G, Milstien S, et al. (1999) Bacterial translocation in cirrhotic rats stimulates eNOS-derived NO
production and impairs mesenteric vascular contractility. J Clin Invest 104: 1223-1233.

16. Frances R, Zapater P, Gonzalez-Navajas JM, Munoz C, Cano R, et al. (2008) Bacterial DNA in patients with cirrhosis and non-infected
ascites mimics the soluble immune response established in patients with spontaneous bacterial peritonitis. Hepatology 47: 978-985.

17. Tazi KA, Moreau R, Hervé P, Dauvergne A, Cazals-Hatem D, et al. (2005) Norfloxacin reduces aortic NO synthases and proinflammatory
cytokine up-regulation in cirrhotic rats: role of Akt signaling. Gastroenterology 129: 303-314.

18. Fernández J, Navasa M, Planas R, Montoliu S, Monfort D, et al. (2007) Primary prophylaxis of spontaneous bacterial peritonitis delays
hepatorenal syndrome and improves survival in cirrhosis. Gastroenterology 133: 818-824.

19. Stadlbauer V, Wright GA, Banaji M, Mukhopadhya A, Mookerjee RP, et al. (2008) Relationship between activation of the sympathetic
nervous system and renal blood flow autoregulation in cirrhosis. Gastroenterology 134: 111-119.

20. Ruiz-del-Arbol L, Urman J, Fernández J, González M, Navasa M, et al. (2003) Systemic, renal, and hepatic hemodynamic derangement in
cirrhotic patients with spontaneous bacterial peritonitis. Hepatology 38: 1210-1218.

21. Ruiz-del-Arbol L, Monescillo A, Arocena C, Valer P, Ginès P, et al. (2005) Circulatory function and hepatorenal syndrome in cirrhosis.
Hepatology 42: 439-447.

22. Arroyo V, Fernandez J, Ginès P (2008) Pathogenesis and treatment of hepatorenal syndrome. Semin Liver Dis 28: 81-95.
23. Alqahtani SA, Fouad TR, Lee SS (2008) Cirrhotic cardiomyopathy. Semin Liver Dis 28: 59-69.
24. Cooper MS, Stewart PM (2003) Corticosteroid insufficiency in acutely ill patients. N Engl J Med 348: 727-734.
25. Tsai MH, Peng YS, Chen YC, Liu NJ, Ho YP, et al. (2006) Adrenal insufficiency in patients with cirrhosis, severe sepsis and septic shock.
Hepatology 43: 673- 681.

26. Fernández J, Escorsell A, Zabalza M, Felipe V, Navasa M, et al. (2006) Adrenal insufficiency in patients with cirrhosis and septic shock:
Effect of treatment with hydrocortisone on survival. Hepatology 44: 1288-1295.

27. Helwig F, Schutz CA (1935) further contribution to the liver-kidney syndrome. J. Lab. and Clin. Med 21: 264.
28. Wilensky A (1939) Occurrence, Distribution and Pathogenesis of So-Called Liver Death and/or the Hepatorenal Syndrome. Arch Surg 38:
625-691.
29. Boyer TD, Zia P, Reynolds TB (1979) Effect of indomethacin and prostaglandin A1 on renal function and plasma renin activity in alcoholic
liver disease. Gastroenterology 77: 215-222.

30. Hampel H, Bynum GD, Zamora E, El-Serag HB (2001) Risk factors for the development of renal dysfunction in hospitalized patients with
cirrhosis. Am J Gastroenterol 96: 2206-2210.

31. Guevara M, Fernández-Esparrach G, Alessandria C, Torre A, Terra C, et al. (2004) Effects of contrast media on renal function in patients
with cirrhosis: a prospective study. Hepatology 40: 646-651.

32. Cárdenas A, Ginès P (2001) Pathogenesis and treatment of fluid and electrolyte imbalance in cirrhosis. Semin Nephrol 21: 308-316.
33. Møller S, Hansen EF, Becker U, Brinch K, Henriksen JH, et al. (2000) Central and systemic haemodynamic effects of terlipressin in portal
hypertensive patients. Liver 20: 51-59.

34. Davenport A, Ahmad J, Al-Khafaji A, Kellum JA, Genyk YS, et al. (2012) Medical management of hepatorenal syndrome. Nephrol Dial
Transplant 27: 34-41.

35. Uriz J, Ginès P, Cárdenas A, Sort P, Jiménez W, et al. (2000) Terlipressin plus albumin infusion: an effective and safe therapy of hepatorenal
syndrome. J Hepatol 33: 43-48.

36. Nazar A, Pereira GH, Guevara M, Martín-Llahi M, Pepin MN, et al. (2010) Predictors of response to therapy with terlipressin and albumin in
patients with cirrhosis and type 1 hepatorenal syndrome. Hepatology 51: 219-226.

37. Wadei HM (2012) Hepatorenal syndrome: a critical update. Semin Respir Crit Care Med 33: 55-69.
38. Somberg KA, Lake JR, Tomlanovich SJ, LaBerge JM, Feldstein V, et al. (1995) Transjugular intrahepatic portosystemic shunts for refractory
ascites: assessment of clinical and hormonal response and renal function. Hepatology 21: 709-716.

39. Quiroga J, Sangro B, Núñez M, Bilbao I, Longo J, et al. (1995) Transjugular intrahepatic portal-systemic shunt in the treatment of refractory
ascites: effect on clinical, renal, humoral, and hemodynamic parameters. Hepatology 21: 986- 994.

40. Ng CK, Chan MH, Tai MH, Lam CW (2007) Hepatorenal syndrome. Clin Biochem Rev 28: 11-17.
41. Wanner GA, Ertel W, Müller P, Höfer Y, Leiderer R, et al. (1996) Liver ischemia and reperfusion induces a systemic inflammatory response
through Kupffer cell activation. Shock 5: 34-40.

42. Tsung A, Hoffman RA, Izuishi K, Critchlow ND, Nakao A, et al. (2005) Hepatic ischemia/reperfusion injury involves functional TLR4 signaling
in nonparenchymal cells. J Immunol 175: 7661-7668.

43. Levy RM, Mollen KP, Prince JM, Kaczorowski DJ, Vallabhaneni R, et al. (2007) Systemic inflammation and remote organ injury following
trauma require HMGB1. Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol 293: R1538-1544.

44. Tanaka Y, Maher JM, Chen C, Klaassen CD (2007) Hepatic ischemia-reperfusion induces renal heme oxygenase-1 via NF-E2-related factor
2 in rats and mice. Mol Pharmacol 71: 817-825.

45. Wang H, Bloom O, Zhang M, Vishnubhakat JM, Ombrellino M, et al. (1999) HMG-1 as a late mediator of endotoxin lethality in mice. Science
285: 248-251.

46. Andersson U, Wang H, Palmblad K, Aveberger AC, Bloom O, et al. (2000)

Anda mungkin juga menyukai