Abstrak
Sindrom Hepato Renal (RA) adalah salah satu kondisi yang sangat mengganggu pada pasien
dengan pasien yang mengidap penyakit hati stadium akhir. Sindrome Hepato Renal dianggap
sebagai penyakit fatal yang behrubungan dengan sirosis dan disebut sebagai “liver-death
renal pada HRS terus berkembang angka mortalitas pada HRS masih tetap tinggi khususnya
pada HRS tipe 1. Tinjauan ini menyimpulkan kemajuan terbaru dari patofisiologi, diagnosis,
serta manajemen pada HRS dan juga menyediakan tempat untuk penelitian lebih lanjut pada
bidang patomekanisme HRS yang dapat mengarah pada pendekatan terapi baru untuk HRS.
1. Pendahuluan
Acute Kidney Injury (AKI) merupakan komplikasi yang mematikan dan sudah banyak
diketahui pada penyakit hati atau pada saluran empedu selama lebih dari 1 abad. Freirich dan
Flint pertama kali melaporkan bahwa ditemukan oliguria tanpa disertai perubahan jaringan
histologi dari ginjal pada pasien dengan penyakit sirosis yang parah dan asites ditahun 1861
hampir 1 abad kemudian Hecker dan Sherlock melaporkan adanya azotemia yang
berkembang cepat disertai dengan oliguria pada penderita sirosis ditahun 1957. Mereka
menemukan jaringan histologi ginjal yang mendekati normal dan penyembuhan fungsi ginjal
yang sepenuhnya dan berhubungan dengan fungsi hati. Koppel dkk juga menemukan bahwa
ginjal dari penderita HRS kembali berfungsi dengan normal saat ditranplantasikan pada
pasien uremic chronic. Penemuan-penemuan ini juga memperkuat pendapat bahwa HRS
merupakan kelainan fungsi ginjal tanpa disertai kelainan struktur ginjal. Schroeder dkk
mengukur para-amino Hippurate (PAH) clearance pada pasien dengan sirosis disertai gagal
ginjal menunjukkan adanya vasokontriksi pada pembuluh darah arteri ginjal bersamaan
dengan vasodilatasi sistemik dan splanchnic vasodilatasi. Namun, meskipun pemahaman dari
patofisiologi seiring dengan gagal ginjal pada HRS terus berkembang, prognosis dari HRS
tetap sangat buruk. Akhir-akhir ini rerata harapan hidup dari penderita HRS tipe 1 yang tidak
diobati kurang lebih 2 minggu sedangkan tipe 2 kira-kira 4-6 bulan. Transplantasi hati ialah
satu-satunya pengobatan yang tersedia namun, keterbatasan organ donor menjadi halangan
besar pada mayoritas pasien HRS tipe 1 karena kebanyakan pasien meninggal saat menunggu
organ donor untuk ditranplantasi. Penelitian terbaru menemukan mekanisme baru tentang
kerusakan organ-organ yang jauh pada inflamasi lokal yang steril, yang mungkin dapat
diaplikasikan pada pathogenesis HRS. Sekarang sudah semakin jelas bahwa HRS fenomena
yang multi faktorial. Tujuan dari adanya tinjauan pustaka ini adalah untuk menyimpulkan
pemahaman yang ada serta manajemen dari penyakit HRS dan juga menyediakan untuk
International Ascites Club telah mendefinisikan HRS pada tahun 1996 dan kemudian
di revisi pada tahun 2007 (tabel 1.). Kriteria-kriteria tersebut ditentukan dari pehamaman
yang sudah ada tentang peran hati dan ginjal sebagai organ yang berperan dalam mekanisme
patofisiologi dari HRS. HRS memiliki dua tipe yang berbeda ditinjau dari presentasi klinis.
HRS tipe 1 merupakan bentuk akut dari HRS yang di tandai dengan perkembangan kerusakan
ginjal yang cepat. HRS tipe 1 biasanya berkembang setelah beberapa kejadian yang
akut dan peritonitis bacterial kontinyu. HRS tipe 1 umumnya berhubungan dengan kerusakan
fungsi organ extra-renal yang cepat meliputi jantung, otak, hati dan kelenjar adrenal. HRS
tipe 2 adalah bentuk kronik dari HRS dan ditandai dengan perkembangan kerusakan ginjal
yang tidak terlalu cepat dan lambat yang berhubungan dengan ascites resisten diuretik 12.
Meskipun perbedaan diantara kedua tipe cukup jelas, namun kerusakan ginjal dapat
dikategorikan sebagai “continuum” pada pasien dengan HRS tipe 2 yang berubah menjadi
- tidak ada peningkatan serum kreatinin (menurun hingga <= 1.5 mg/dL) setelah penarikan
- tidak ditemukannya penyakit pada parenkim ginjal yang di tandai dengan proteinuria
3. Signifikansi Klinis
HRS adalah komplikasi yang sering terjadi pada sirosis lanjut dan
dengan sirosis [13]. HRS terjadi pada sekitar 10% pasien yang dirawat
18% pada 1 tahun dan 39% pada 5 tahun [10]. Juga pasien dengan spontan
peritonitis bakterial memiliki 33% kemungkinan mengembangkan HRS [14]. HRS adalah
komplikasi yang mengancam jiwa dan pasien tipe 1 memiliki mortalitas 80% dalam dua
minggu dan hanya 10% pasien yang bertahan hidup lebih dari 3 bulan [6].
Karena prognosis yang merugikan ini, kebanyakan pasien dengan tipe 1 HRS
meninggal saat dievaluasi untuk transplantasi atau menunggu transplantasi. Prognosis ini
bahkan lebih buruk untuk pasien dengan faktor-faktor presipitat yang jelas. Pasien dengan
Biaya perawatan kesehatan yang terkait dengan HRS belum pernah dilaporkan tetap
tidak sulit mebayangkan bahwa harga nya sangat tinggi mengingat kerugian yang
ditimbulkan oleh kondisi ini. Quiros dkk. memperkirakan dengan menggunakan Lembaga
database jaminan sosial Meksiko yang menanggung biaya perawatan kesehatan tahunan per
orang untuk Child-Pugh SkorC adalah $30.249 (tujuh kali lebih tinggi
dibandingkan pasien dengan Child-Pugh Skor A, $4,269) [15]. Selain itu, Henry Ford,
menggunakan asuransi kesehatan swasta yang besar dari klaim database dari tahun 2003
hingga 2010, biaya kesehatan tahunan per orang untuk sirosis dekompensasi diperkirakan
sekitar $59.995 yang tiga kali lipat dibandingkan dengan pasien tanpa sirosis ($ 17.277) [16].
gagal ginjal akut pada pasien sirosis dilaporkan 10% dan HRS menyebabkan hingga 20% dari
kejadian gagal ginjal akut), perawatan kesehatan tahunan di AS biayanya hingga mencapai
$240 juta. HRS menciptakan beba ekonomi besar mengingat keadaan saat ini dimana tidak
ada terapi yang efektif tersedia [17,18]. Karena itu ada kebutuhan mendesak untuk
Mekanisme patofisiologi untuk HRS sebagian besar masih tidak diketahui tetapi
pemahaman saat ini penurunan laju filtrasi glomerulus karena berkurangnya volume darah
yang dikarenakan oleh vasodilatasi splanknikus (disebut “Splanchnic steal syndroem”) yang
arteri aferen ginjal (terutama mempengaruhi korteks ginjal) [19-21]. Pasien dengan HRS
memiliki ekskresi sodium urin yang sangat rendah dikarenakan filtrasi sodium yang tersaring
efek kecil kqrena penurunan volume dan jumlah natrium yang rendah di situs efektor
(lengkung Henle dan tubulus distal) (Gambar 1). Selain itu, kecilnya jumlah air yang disaring
diserap di tubulus distal sebagai respons terhadap aktivitas ADH tinggi mengarah ke oliguria
Saat ini vasodilatasi splanknik sudah dianggap secara luas sebagai kunci perubahan
patofisiologi untuk HRS karena dapat menjelaskan sebagian besar data studi patofisiologi.
Pada sirosis awal, inflamasi hepatosit mengaktifkan sel-sel stellata hati yang terletak di
jaringan peri-sinusoid (space of Disse) untuk mensekresi kolagen menuju sinusoid hati (bekas
luka) menyebabkan peningkatan resistensi vena portal dengan perkembangan kerusakan hati.
Peningkatan resistensi pembuluh darah portal meningkatkan tegangan pada dinding vena
portal dan sistem splanknik, dan menyebabkan produksi besar vasodilator termasuk Nitric
Oxide (NO) dari sel-sel endotel vaskular [24]. Peningkatan tekanan juga menyebabkan
pembentukan jaringan kolateral yang besar dengan membuka pembuluh darah yang sudah
ada sebelumnya atau dengan peningkatan angiogenesis karena peningkatan regulasi faktor
Selain peningkatan tekanan, bukti saat ini juga telah menunjukkan bahwa translokasi
bakteri dari flora usus ke sirkulasi portal, yang sering terlihat pada pasien sirosis dengan
portal hipertensi, dapat mengaktifkan sistem kekebalan tubuh bawaan, mengarah ke produksi
besar sitokin termasuk tumor necrosis factor-α (TNF-α) dan Interleukin-6 (IL-6) [29-31].
TNF-α dan endotoxins dari Bakteri kemudian meningkatkan produksi NO dari sel endotel
vaskular oleh peningkatan regulasi sintesis nitrat oksida endotel dan inducible nitric oxide
sirosis dengan translokasi bakteri memiliki resistensi vaskular sistemik lebih rendah
dibandingkan dengan pasien yang tidak [33]. Dekontaminasi intestinal dengan norfloxacin
juga menurunkan produksi TNF-α, mengurangi parameter hemodinamik, dan fungsi ginjal
Penting diketahui bahwa vasodilatasi splanknik itu sendiri tidak cukup untuk
pengembangan HRS. Disfungsi organ lainnya secara besamaan menjadi pemicu untuk
mengembangkan HRS. Autoregulasi aliran darah ginjal pada pasien sirosis bergeser ke kanan
karena aktivasi sistem saraf simpatik ginjal dan vasokonstriktor lainnya [36]. Aliran darah
ginjal menjadi lebih bergantung pada tekanan darah arteri dengan perkembangan penyakit
hati. Pada pasien dengan sirosis lanjut, perubahan kecil pada tekanan perfusi akan
menghasilkan penurunan besar dalam aliran darah ginjal. Fungsi pompa miokard, yang
volume yang bergeser ke sirkulasi splanknik juga terganggu, yang disebut "kardiomiopati
sirosis" [37-40]. Gangguan untuk menghasilkan output jantung yang memadai dalam
menanggapi penurunan volume darah yang efektif secara langsung mengurangi tekanan
perfusi ginjal juga berkontribusi pada pengembangan HRS [37,38]. Hipo-perfusi pada
disfungsi sirkulasi dan gangguan respon terhadap vasopressor [41]. Penelitian sebelumnya
pada 101 pasien sirosis dalam perawatan intensif unit menunjukkan bahwa insufisiensi
adrenal dikaitkan dengan angka mortalitas lebih tinggi dengan tekanan arteri rata - rata lebih
rendah dan kebutuhan vasopressor yang lebih tinggi [42]. Selanjutnya, pemberian
vasopressor dan menurunkan mortalitas pada rumah sakit [43]. Singkatnya, patofisiologi
mekanisme HRS saat ini dipahami bahwa sirosis yang diinduksi vasodilatasi splanknik
adalah perubahan fisiologis kausatif primer dan vasokonstriksi renal menyebabkan hipo-
perfusi ginjal, yang mengarah ke HRS disertai dengan penurunan beberapa fungsi organ.
Meskipun vasodilatasi splanknik saat ini adalah mekanisme yang paling masuk akal
sebagai penyebab dari HRS pada sirosis, ada banyak bukti telah menunjukkan bahwa gagal
ginjal fungsional progresif terjadi karena berbagai cedera hati seperti trauma, obat beracun
tanpa sirosis atau vasodilatasi splanknikus [44,45]. Oleh karena itu tetap memungkinkan
cedera hati itu sendiri secara langsung atau tidak langsung menyebabkan HRS. Bukti ilmiah
terbaru menunjukkan respon inflamasi sistemik dari cedera liver (pelepasan mediator
inflamasi) menyebabkan organ lain cedera serta gangguan hemodinamik yang mirip dengan
sirosis atau sepsis. Penelitian baru yang sedang berkembang tersebut akan dibahas kemudian
Sayangnya terapi pada HRS ssat ini terbatas dan kebanyakan hanya terapi suportif
yang hanya dapat memperpanjang harapan hidup bagi penderita HRS selama menunggu
organ donor. Perawatan suportif tersebut termasuk pencegahan dan pengobatan segera untuk
faktor pencetus HRS seperti (i) paracentasis dengan suplemen albumin untuk asites yang, (ii)
antibiotik untuk peritonitis bakterial spontan, (iii) menghindari obat nefrotoksik (misalnya
NSAID,aminoglikosida, media radiokontras, dan diuretik), (iv) diet rendah garam dan
perburukan vasodilatasi splanknik dan sering diindikasikan hanya untuk pasien yang
menunggu transplantasi. Terlipressin adalah analog vasopresin dengan efek preferensial pada
mesenterika yang lebih besar daripada di ginjal atau sistem vaskular organ lainnya [50]. Saat
ini terlipressin dalam kombinasi dengan infus albumin adalah vasokonstriktor lini pertama
untuk HRS tipe 1 (saat ini tidak tersedia secara komersial di Amerika Serikat). Namun,
terlipressin hanya efektif untuk pasien yang memiliki disfungsi ginjal dan hati yang ringan
(bilirubin serum <10 mg/dL) [51-53]. Vasokonstriktor lain seperti midodrine oral, agonis
reseptor α-adrenergik, dan oktreotida subkutan, serta analog somatostatin jangka panjang,
kurang efektif dibandingkan dengan Terlipressin, dan dianggap sebagai pengobatan lini
kedua. (Hanya diindikasikan jika Terlipressin merupakan kontraindikasi atau tidak tersedia)
Intrahepatic Portosystemic Shunt (TIPS) dan transplantasi hati. Efektivitas terapi transplatasi
ginjal tersebut sebagai hemodialisis atau hemofiltrasi veno-vena kontinyu tetap belum
ditetapkan untuk HRS. Oleh karena itu terapi penggantian ginjal hanya diindikasikan untuk
pengobatan penyelamatan bagi para kandidat transplantasi hati dengan hiperkalemia berat,
asidosis metabolik, dan volume yang berlebihan, bukan sebagai pengobatan untuk HRS [54].
tekanan portal, dan menurunkan aktivitas sistem saraf simpatik dan aktivitas renin-
angiotensin-aldosteron [55,56]. Namun, TIPS secara akut meningkatkan curah jantung dan
vasodilatasi perifer, dan sering diindikasikan hanya untuk pasien dengan fungsi hati yang
stabil baik sebagai perawatan sebelum transplantasi hati atau pengobatan jangka panjang.
Transplantasi hati tetap menjadi pengobatan terbaik yang tersedia untuk kandidat yang cocok
dengan HRS karena itu dapat menyembuhkan hati dan disfungsi ginjal ketika dilakukan di
tahap awal. Tetapi pilihan perawatan ini dibatasi oleh ketersediaan organ. Selain itu, pasien
dengan sirosis dan gagal ginjal, terutama HRS tipe 1, beresiko tinggi untuk meninggal dunia
ketika menunggu transplantasi [57]. Pada tahun 2002, skor Model For End-Stage Liver
Disease (MELD), yang menggabungkan fungsi ginjal untuk menghitung tingkatan penyakit
pasien "yang paling parah" untuk transplantasi hati. Penggunaan sistem penilaian ini telah
meningkatkan peluang transplantasi untuk pasien dengan gagal ginjal dan membantu
Perifer" sebagai penjelasan untuk retensi natrium dan cairan ginjal yang abnormal pada
pasien dengan sirosis pada tahun 1988, vasodilatasi splanknikus telah diyakini sebagai sebuah
mekanisme penyebab tunggal untuk sindrom hepato-ginjal pada sirosis [24]. Perawatan
splanknik pada hipotesis ini dengan tingkat kesuksesan sebagian. Baru-baru ini bukti-bukti
baru telah bermunculan mengenai mekanisme baru lainnya untuk HRS termasuk hipotesis
“respon inflamasi sistemik ". Setelah iskemia hati dan cedera reperfusi, sel Kuppfer
melepaskan mediator pro-inflamasi (Gambar 1). Secara jelas tingkat sirkulasi sitokin pro
inflamasi yang jauh lebih tinggi dan faktor transkripsi termasuk TNF-α, IL-1α, dan IL-6 telah
dilaporkan setelah reperfusi hati [58-60]. Para mediator itu dapat meningkatkan perubahan
inflamasi di organ jarak jauh termasuk paru-paru dan ginjal [59-61]. Selain itu, kerusakan
(DAMP). DAMP adalah molekul yang dilepaskan oleh sel yang akan mengalami nekrosis
yang bertindak sebagai sinyal bahaya endogen sebagai tanda adanya perburukan peradangan.
High mobility group box-1 (HMGB1) adalah protein nuklear non-histone tetapi berfungsi
sebagai DAMP di bawah kondisi stres dan meningkatkan peradangan [62,63]. Peningkatan
HMGB1 diamati terdapat pada hepatosit setelah iskemia dan reperfusi [64]. HMGB1
berinteraksi Toll-Like Receptor (TLR), TLR2 dan TLR4 di sel organ jauh dan sistem imun
bawaan, yang juga dapat berkontribusi pada HRS [65]. Mediator inflamasi lainnya termasuk,
sirkulasi asam empedu, asam urat, histon dan DNA inti serta kompleks imun yang beredar
juga dapat berkontribusi pada pengembangan cedera ginjal akut [66]. Hipotesis tersebut baru-
baru ini didukung oleh temuan pengamatan bahwa kerusakan sel endotel vaskular yang
ditunjukkan oleh sejumlah besar apoptosis di sel ginjal, yang lebih menonjol dari apoptosis
sel tubulus proksimal setelah reperfusi hati [67]. Mediator pro-inflamasi yang dilepaskan
menuju sirkulasi sistemik merusak sel-sel endotel ginjal, dan menyebabkan hilangnya
barrier[68, 69]. Neutrofil aktif sebagai respons terhadap faktor inflamasi tersebut bermigrasi
ke daerah cedera yang dipandu oleh molekul adhesi endotel seperti E-selectin, P-selectin, dan
interstisial ginjal [69-72]. Oleh karena itu pencegahan kerusakan endotel dapat meningkatkan
kelangsungan hidup sel-sel endotel ginjal setelah iskemik reperfusi hati dapat membatasi
infiltrasi leukosit ke dalam parenkim ginjal dan memperbaiki fungsi ginjal. Studi selanjutnya
dengan agen stabilisasi endotel (seperti aktivasi reseptor adenosin A1, protein kinase C, HSP-
integritas endotel akan mengurangi cedera ginjal setelah cedera IR pada hati [73-77].
Penemuan baru lainnya dari mekanisme cedera organ jarak jauhadalah keterlibatan
usus dalam memperburuk peradangan steril dengan merilis IL-17A yang disimpan secara
internal (Gambar 2). Penemuan ini dimulai dari temuan awal bahwa cedera ginjal akut pada
tikus menyebabkan cedera hati, yang dimediasi oleh peradangan sitokin (TNF-α, IL-17A, dan
IL-6). Juga vena porta dan usus memiliki tingkat interleukin 17A lebih tinggi daripada darah
perifer. Penemuan ini menandakan bahwa IL-17A berasal dari usus kecil [78]. Berbeda
dengan cedera hati setelah cedera ginjal, penulis menemukan bahwa ischemiareperfusion
pada cedera hati menyebabkan cedera ginjal akut, yang juga dimediasi oleh IL-17A yang
berasal dari usus. Tingginya IL-17A mRNA diekspresikan terutama di sel Paneth. Sel Paneth
adalah sel epitel usus, terletak di dasar intestinal dan berdekatan dengan sel induk,
mengeluarkan protein kationik bakterisidal yang disebut defensin untuk melindungi barrier
epitel usus terhadap bakteri. Setelah hati atau iskemia ginjal dan reperfusi, sel Paneth juga
menghasilkan sekresi besar jumlah disimpan IL-17A, yang mungkin dikaitkan dengan
agregasi peradangan di situs utama dan juga mengarah ke cedera organ jauh. Bahkan,
menipisnya sel Paneth juga memperbaiki respon inflamasi ke organ primer (misalnya hati),
tetapi juga kerusakan organ jarak jauh (misalnya cedera ginjal setelah cedera iskemia-
reperfusi hati). Berdasarkan pengamatan tersebut, masuk akal bahwa hati dan cedera ginjal
setelah cedera iskemia-reperfusi hati diperburuk oleh sel Paneth yang berasal IL-17A [79].
Eksaserbasi respon peradangan menyebabkan kerusakan endotel dan hemodinamik yang luas
kekacauan, yang semakin memperparah disfungsi hati dan juga menyebabkan bertambahnya
kerusakan organ hati, dan akhirnya menarik pasien ke dalam "Penurunan peradangan spiral"
dan kegagalan multi-organ (Gambar 3). Reaksi "respon inflamasi sistemik" ini mungkin
menjadi beberapa petunjuk untuk menjawab pertanyaan mengapa cedera ginjal (HRS) terjadi
Diagnosis klinis HRS tetap sulit dan kriteria diagnostik memerlukan penyempurnaan
lebih lanjut. Kriteria klub asites internasional saat ini membutuhkan sampel urin untuk
membuat diagnosis dan karena itu tidak bisa menegakkan diagnosis HRS pada pasien
oligouric atau anuric. Juga mereka tidak dapat mengidentifikasi HRS yang ditumpangkan
pada penyakit ginjal organik dan di pasien dengan gagal hati dan gagal ginjal yang
berkembang pesat [80]. Italian study multicenter memeriksa penerapan kriteria diagnostik ini
dalam percobaan prospektif [81]. Dari 116 pasien yang didiagnosis dengan HRS hanya 64%
yang memenuhi semua kriteria diagnostik, sedangkan sisanya 36% dengan kerusakan akut
kreatinin serum hingga di atas 1,5 mg / dL tidak dapat memenuhi kriteria dignostik.
Tingkat Cystatin C (Cys-C) adalah salah satu serum marker yang digunakan untuk
GFR dan dapat menjadi alternative untuk memeriksa fungsi glomerulus pada penderita sirosis
yang sekarang masih dikembangkan. Biomarker kemih lainnya sedang diselidiki untuk
pengikat asam lemak tipe liver, IL 18 dan reseptor virus hepatitis A-1 tetapi penanda ini
masih harus diteliti lebih lanjut pada pasien sirosis. Penanda tingkat keparahan vasokonstriksi
arteri aferen ginjal telah disarankan untuk diagnosis HRS. Penanda ini termasuk Aktivitas
Aldosterone (aktivitas renin plasma) atau resistensi arteri ginjal ("indeks resistensi arteri
4. Kesimpulan
Dalam ulasan singkat ini, kami merangkum pemahaman terkini tentang mekanisme
Mengumpulkan bukti yang saat ini tersedia, patofisiologi HRS telah diakui lebih kompleks
barrier usus dan translokasi bakteri, serta eksaserbasi respon inflamasi sistemik dapat
lebih banyak pendekatan terapi fisiologi yang berorientasi (seperti farmakologi terapi dan
modulasi gen yang ditargetkan pada molekul sinyal ini untuk meningkatkan fungsi hati /
ginjal dan menunda pengembangan HRS) selain terapi suportif, yang diharapkan dapat
mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien dengan HRS, dan secara signifikan mengurangi
biaya perawatan medis yang terkait dengan HRS. Penelitian selanjutnya akan menjelaskan
cedera iskemia-reperfusi hati, yang meliputi jenis mediator inflamasi selain mediator yang
dibahas dalam bagian sebelumnya, dan asal dari mediator tersebut (nekrotik
hepatosit, sel Kuppfer, sel endotel, dll.). Meskipun hati sel Kuppfer sinusoidal adalah
makrofag sessile terbesar di tubuh, dan sejumlah besar sel-sel endotel hepatik ada di
mikrosirkulasi hati, benar-benar tidak diketahui apakah para mediator dari sel Kuppfer atau
sel-sel endotel hati cukup untuk diproduksi respon inflamasi sistemik berkelanjutan dan kuat
untuk perkembangan HRS. Peran usus dalam peradangan steril adalah penelitian yang
berkembang dan mungkin memainkan peran penting dalam transmisi peradangan lokal atau
peradangan sistemik, yang mengarah pada pengembangan cedera organ jauh termasuk HRS.
Mekanisme cedera ginjal dari sindrom inflamasi sistemik, terutama peran sel endotel perlu
dijelaskan.
Referensi
1. Moreau R, Durand F, Poynard T, Duhamel C, Cervoni JP, et al. (2002) Terlipressin in patients with cirrhosis and type 1 hepatorenal
syndrome: a retrospective multicenter study. Gastroenterology 122: 923-930.
2. Møller S, Hobolth L, Winkler C, Bendtsen F, Christensen E (2011) Determinants of the hyperdynamic circulation and central hypovolaemia
in cirrhosis. Gut 60: 1254-1259.
3. Sacerdoti D, Bolognesi M, Merkel C, Angeli P, Gatta A (1993) Renal vasoconstriction in cirrhosis evaluated by duplex Doppler
ultrasonography. Hepatology 17: 219-224.
4. Maroto A, Ginès A, Saló J, Clària J, Ginès P, et al. (1994) Diagnosis of functional kidney failure of cirrhosis with Doppler sonography:
prognostic value of resistive index. Hepatology 20: 839-844.
5. Linas SL, Anderson RJ, Guggenheim SJ, Robertson GL, Berl T (1981) Role of vasopressin in impaired water excretion in conscious rats
with experimental cirrhosis. Kidney Int 20: 173-180.
6. Bichet DG, Van Putten VJ, Schrier RW (1982) Potential role of increased sympathetic activity in impaired sodium and water excretion in
cirrhosis. N Engl J Med 307: 1552-1557.
7. Schrier RW, Arroyo V, Bernardi M, Epstein M, Henriksen JH, et al. (1988) Peripheral arterial vasodilation hypothesis: a proposal for the
initiation of renal sodium and water retention in cirrhosis. Hepatology 8: 1151-1157.
8. Van Steenkiste C, Geerts A, Vanheule E, Van Vlierberghe H, De Vos F, et al. (2009) Role of placental growth factor in mesenteric
neoangiogenesis in a mouse model of portal hypertension. Gastroenterology 137: 2112-2124.
9. Paternostro C, David E, Novo E, Parola M (2010) Hypoxia, angiogenesis and liver fibrogenesis in the progression of chronic liver diseases.
World J Gastroenterol 16: 281-288.
10. Langer DA, Shah VH (2006) Nitric oxide and portal hypertension: interface of vasoreactivity and angiogenesis. J Hepatol 44: 209-216.
11. Sumanovski LT, Battegay E, Stumm M, van der Kooij M, Sieber CC (1999) Increased angiogenesis in portal hypertensive rats: role of nitric
oxide. Hepatology 29: 1044-1049.
12. Bellot P, Francés R, Such J (2013) Pathological bacterial translocation in cirrhosis: pathophysiology, diagnosis and clinical implications.
Liver Int 33: 31- 39.
13. Sugano S (1992) Endotoxin levels in cirrhotic rats with sterile and infected ascites. Gastroenterol Jpn 27: 348-353.
14. Heller J, Sogni P, Barrière E, Tazi KA, Chauvelot-Moachon L, et al. (2000) Effects of lipopolysaccharide on TNF-alpha production, hepatic
NOS2 activity, and hepatic toxicity in rats with cirrhosis. J Hepatol 33: 376-381.
15. Wiest R, Das S, Cadelina G, Garcia-Tsao G, Milstien S, et al. (1999) Bacterial translocation in cirrhotic rats stimulates eNOS-derived NO
production and impairs mesenteric vascular contractility. J Clin Invest 104: 1223-1233.
16. Frances R, Zapater P, Gonzalez-Navajas JM, Munoz C, Cano R, et al. (2008) Bacterial DNA in patients with cirrhosis and non-infected
ascites mimics the soluble immune response established in patients with spontaneous bacterial peritonitis. Hepatology 47: 978-985.
17. Tazi KA, Moreau R, Hervé P, Dauvergne A, Cazals-Hatem D, et al. (2005) Norfloxacin reduces aortic NO synthases and proinflammatory
cytokine up-regulation in cirrhotic rats: role of Akt signaling. Gastroenterology 129: 303-314.
18. Fernández J, Navasa M, Planas R, Montoliu S, Monfort D, et al. (2007) Primary prophylaxis of spontaneous bacterial peritonitis delays
hepatorenal syndrome and improves survival in cirrhosis. Gastroenterology 133: 818-824.
19. Stadlbauer V, Wright GA, Banaji M, Mukhopadhya A, Mookerjee RP, et al. (2008) Relationship between activation of the sympathetic
nervous system and renal blood flow autoregulation in cirrhosis. Gastroenterology 134: 111-119.
20. Ruiz-del-Arbol L, Urman J, Fernández J, González M, Navasa M, et al. (2003) Systemic, renal, and hepatic hemodynamic derangement in
cirrhotic patients with spontaneous bacterial peritonitis. Hepatology 38: 1210-1218.
21. Ruiz-del-Arbol L, Monescillo A, Arocena C, Valer P, Ginès P, et al. (2005) Circulatory function and hepatorenal syndrome in cirrhosis.
Hepatology 42: 439-447.
22. Arroyo V, Fernandez J, Ginès P (2008) Pathogenesis and treatment of hepatorenal syndrome. Semin Liver Dis 28: 81-95.
23. Alqahtani SA, Fouad TR, Lee SS (2008) Cirrhotic cardiomyopathy. Semin Liver Dis 28: 59-69.
24. Cooper MS, Stewart PM (2003) Corticosteroid insufficiency in acutely ill patients. N Engl J Med 348: 727-734.
25. Tsai MH, Peng YS, Chen YC, Liu NJ, Ho YP, et al. (2006) Adrenal insufficiency in patients with cirrhosis, severe sepsis and septic shock.
Hepatology 43: 673- 681.
26. Fernández J, Escorsell A, Zabalza M, Felipe V, Navasa M, et al. (2006) Adrenal insufficiency in patients with cirrhosis and septic shock:
Effect of treatment with hydrocortisone on survival. Hepatology 44: 1288-1295.
27. Helwig F, Schutz CA (1935) further contribution to the liver-kidney syndrome. J. Lab. and Clin. Med 21: 264.
28. Wilensky A (1939) Occurrence, Distribution and Pathogenesis of So-Called Liver Death and/or the Hepatorenal Syndrome. Arch Surg 38:
625-691.
29. Boyer TD, Zia P, Reynolds TB (1979) Effect of indomethacin and prostaglandin A1 on renal function and plasma renin activity in alcoholic
liver disease. Gastroenterology 77: 215-222.
30. Hampel H, Bynum GD, Zamora E, El-Serag HB (2001) Risk factors for the development of renal dysfunction in hospitalized patients with
cirrhosis. Am J Gastroenterol 96: 2206-2210.
31. Guevara M, Fernández-Esparrach G, Alessandria C, Torre A, Terra C, et al. (2004) Effects of contrast media on renal function in patients
with cirrhosis: a prospective study. Hepatology 40: 646-651.
32. Cárdenas A, Ginès P (2001) Pathogenesis and treatment of fluid and electrolyte imbalance in cirrhosis. Semin Nephrol 21: 308-316.
33. Møller S, Hansen EF, Becker U, Brinch K, Henriksen JH, et al. (2000) Central and systemic haemodynamic effects of terlipressin in portal
hypertensive patients. Liver 20: 51-59.
34. Davenport A, Ahmad J, Al-Khafaji A, Kellum JA, Genyk YS, et al. (2012) Medical management of hepatorenal syndrome. Nephrol Dial
Transplant 27: 34-41.
35. Uriz J, Ginès P, Cárdenas A, Sort P, Jiménez W, et al. (2000) Terlipressin plus albumin infusion: an effective and safe therapy of hepatorenal
syndrome. J Hepatol 33: 43-48.
36. Nazar A, Pereira GH, Guevara M, Martín-Llahi M, Pepin MN, et al. (2010) Predictors of response to therapy with terlipressin and albumin in
patients with cirrhosis and type 1 hepatorenal syndrome. Hepatology 51: 219-226.
37. Wadei HM (2012) Hepatorenal syndrome: a critical update. Semin Respir Crit Care Med 33: 55-69.
38. Somberg KA, Lake JR, Tomlanovich SJ, LaBerge JM, Feldstein V, et al. (1995) Transjugular intrahepatic portosystemic shunts for refractory
ascites: assessment of clinical and hormonal response and renal function. Hepatology 21: 709-716.
39. Quiroga J, Sangro B, Núñez M, Bilbao I, Longo J, et al. (1995) Transjugular intrahepatic portal-systemic shunt in the treatment of refractory
ascites: effect on clinical, renal, humoral, and hemodynamic parameters. Hepatology 21: 986- 994.
40. Ng CK, Chan MH, Tai MH, Lam CW (2007) Hepatorenal syndrome. Clin Biochem Rev 28: 11-17.
41. Wanner GA, Ertel W, Müller P, Höfer Y, Leiderer R, et al. (1996) Liver ischemia and reperfusion induces a systemic inflammatory response
through Kupffer cell activation. Shock 5: 34-40.
42. Tsung A, Hoffman RA, Izuishi K, Critchlow ND, Nakao A, et al. (2005) Hepatic ischemia/reperfusion injury involves functional TLR4 signaling
in nonparenchymal cells. J Immunol 175: 7661-7668.
43. Levy RM, Mollen KP, Prince JM, Kaczorowski DJ, Vallabhaneni R, et al. (2007) Systemic inflammation and remote organ injury following
trauma require HMGB1. Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol 293: R1538-1544.
44. Tanaka Y, Maher JM, Chen C, Klaassen CD (2007) Hepatic ischemia-reperfusion induces renal heme oxygenase-1 via NF-E2-related factor
2 in rats and mice. Mol Pharmacol 71: 817-825.
45. Wang H, Bloom O, Zhang M, Vishnubhakat JM, Ombrellino M, et al. (1999) HMG-1 as a late mediator of endotoxin lethality in mice. Science
285: 248-251.