PENDAHULUAN
Glaukoma merupakan penyebab kebutaan kedua setelah katarak dengan jumlah
penderita 60.500.000 pada tahun 2010, diperkirakan meningkat menjadi 76.600.000 pada
tahun 2020. Kebutaan akibat glaukoma bersifat menetap. Di Amerika, jumlah penderita
glaukoma pada ras kulit hitam 3 4 kali lebih tiggi dibandingan dengan ras kulit putih.
Selain itu, ditemukan angka prevalensi yang meningkat sesuai dengan bertambahnya usia.
Pada kelompok penduduk yang berusia 70 tahun, 3 8 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok yang berusia 40 tahun (Nurwasis, 2012).
Glaukoma adalah kumpulan penyakit dengan karakteristik umum berupa neuropati
optik yang berhubungan dengan hilangnya lapang pandang dengan peningkatan tekanan
intraokular (TIO) merupakan faktor risiko utama (Chusaida, 2013).
Secara umum, glaukoma dibagi menjadi dua, yaitu glaukoma primer dan glaukoma
sekunder. Secara definisi, glaukoma primer adalah glaukoma yang terjadi tanpa adanya
hubungan dengan penyakit mata atau penyakit sistemik tertentu yang menyebabkan
peningkatan hambatan aliran aqueous atau sudut tertutup. Glaukoma primer biasanya
mengenai kedua mata. Sebaliknya, glaukoma sekunder adalah glaukoma tang terjadi
berkaitan dengan adanya penyakit mata atau penyakit sistemik tertentu yang bertanggung
jawab terhadap penurunan aliran aqueous. Glaukoma sekunder seringkali mengenai mata
unilateral (AAO, 2005).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
2.1.1 Anatomi bola mata
Bola mata merupakan suatu struktur kistik yang dipertahankan oleh tekanan di
dalamnya sehingga tetap dalam keadaan bulat. Pusat kelengkungan maksimal
kurvatura anterior disebut polus anterior dan kurvatura posterior disebut polus
posterior. Dimensi bola mata orang dewasa mempunyai diameter anteroposterior
24 mm, diameter horizontal 23,5 mm, diameter vertikal 23 mm, dan volume 6,5 ml
(Khurana, 2007).
posterior, serta dibatasi oleh corpus ciliaris pada bagian lateral. Bilik mata belakang
mengandung 0.06 ml aqueous humor. Segmen posterior meliputi struktur di
belakang lensa, yaitu vitreous humor, retina, koroid, dan diskus optikus (Khurana,
2007).
2.1.2 Anatomi corpus ciliaris
Corpus ciliaris dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu otot ciliaris, processus
ciliaris, dan pars plana. Otot ciliaris bertanggung jawab terhadap perubahan lensa
selama akomodasi. Processus ciliaris bertugas untuk mensekresi aqueous humor.
Pars plana terdiri dari stroma yang relatif avaskuler (James, 2006).
2.1.3 Anatomi iris
Iris melekat di perifer pada bagian anterior corpus ciliaris. Iris membentuk
pupil di bagian tengahnya yang merupakan celah yang dapat berubah ukurannya
untuk mengontrol banyaknya cahaya yang masuk ke mata oleh kerja otot sfingter
dan dilator (James, 2006).
2.1.4 Anatomi sudut bilik mata depan
Sudut bilik mata depan terletak pada pertautan antara kornea perifer dan
pangkal iris. Ciri anatomis sudut ini adalah garis Schwalbe, anyaman trabekula
(yang terletak di atas kanal Schlemm), dan taji sklera (scleral spur). Garis
Schwalbe menandai berakhirnya endotel kornea. Anyaman trabekula tersusun atas
lembar lembar berlubang jaringan kolagen dan elastik, yang membentuk suatu
filter dengan pori yang semakin mengecil ketika mendekati kanal Schlemm. Taji
sklera merupakan penonjolan sklera ke arah dalam di antara corpus ciliaris dan
kanan Schlemm. Saluran eferen dari kanal Schlemm (sekitar 300 saluran dan 12
vena aqueous) berhubungan dengan sistem vena episklera (Vaughan et al., 2012).
Gambar 2.2 Sudut bilik mata depan dan struktur di sekitarnya (Vaughan et al., 2012)
1. Blok pupil
Intumesensi lensa menyebabkan lensa dapat menyerap cukup
banyak cairan sewaktu mengalami perubahan perubahan katarak
(katarak imatur) sehingga ukurannya membesar secara bermakna,
melewati batas bilik depan mata, dan menimbulkan sumbatan pupil
(Vaughan et al., 2012). Akibatnya, aliran aqueous humor terhambat,
aqueous humor tersebar di bilik mata belakang, mengakibatkan tekanan di
bilik mata belakang meningkat, mendorong iris perifer ke depan sehingga
sudut bilik mata depan tertutup (Nurwasis, 2006).
2. Tanpa blok pupil
Lensa yang membengkak dapat menimbulkan dorongan mekanik
pada permukaan iris ke arah depan sehingga terjadi penyempitan dan
penutupan lensa (Nurwasis, 2006).
3. Kombinasi
Blok pupil disertai dorongan iris ke depan (Nurwasis, 2006).
2.4.3 Manifetasi klinis
Glaukoma fakomorfik mempunyai gambaran gejala dan tanda seperti hampir
sama dengan glaukoma sudut tertutup primer akut, kecuali lensa dalam keadaan
katarak dan membengkak (Khurana, 2007).
Gejala yang terjadi adalah sebagai berikut (Khurana, 2007) :
1. Nyeri
Serangan nyeri akut terjadi dengan onset yang tiba-tiba, dengan nyeri
hebat pada mata yang menjalar ke cabang-cabang N. V (N. Trigeminus)
2. Nausea, muntah, lemah lesu seringkali karena berkaitan dengan nyeri yang
dirasakan.
3. Penurunan visus secara cepat dan progresif, mata merah, fotofobia, dan
lakrimasi terjadi pada semua kasus.
Tanda yang dapat ditemukan adalah sebagai berikut (Khurana, 2007) :
1. Kelopak mata edematus.
2. Kemosis konjungtiva dan kongesti konjungtiva karena pembuluh darah
ciliaris dan konjungtiva mengalami kongesti.
3. Kornea menjadi edematus dan insensitif.
4. Bilik mata depan sangat dangkal, flare aqueous dapat terlihat pada bilik
mata depan.
5. Sudut bilik mata depan tertutup total.
8
Gambar 2.7 Perkiraan kedalaman bilik mata dengan penyinaran oblik (Vaughan et.al, 2012)
3. Penilaian diskus optikus
Diskus optikus normal memiliki cekungan di tengahnya. Atrofi optikus
akibat glaukoma menimbulkan kelainan kelainan diskus khas yang terutama
ditandai oleh berkurangnya substansi diskus, yang terdeteksi sebagai
pembesaran cekungan diskus optikus dan disertai dengan pemucatan diskus di
daerah cekungan (Vaughan et.al, 2012).
Pada glaukoma, mungkin terdapat pencekungan (cupping) superior dan
inferior dan disertai pembentukan takik (notching) fokal di tepi diskus
optikus. Kedalaman cekungan juga meningkat. Sering, pembuluh retina di
10
diskus tergeser ke arah nasal. Hasil akhir dari proses pencekungan glaukoma
adalah bean-pot yang tidak memperlihatkan jaringan saraf di bagian
terpinya (Vaughan et.al, 2012)
Cup and disc ratio adalah perbandingan antara ukuran cekungan
terhadap diameter diskus. Apabila terdapat kehilangan lapangan pandang atau
peningkatan tekanan intraokular, cup and disc ratio lebih dari 0,5 atau
terdapat asimetri yang bermakna antara kedua mata sangat diindikasikan atrofi
glaukomatosa. Bukti klinis lain adanya kerusakan neuron pada glaukoma
adalah atrofi lapisan serat saraf retina yang mendahului kelainan diskus
optikus (Vaughan et.al, 2012).
Penilaian diskus optikus dapat dilakukan dengan oftalmoskopi langsung
atau dengan pemeriksaan menggunakan lensa 78 dioptri atau lensa kontak
kornea khusus yang memberikan gambaran tiga dimensi (Vaughan et.al,
2012).
Gambar 2.8 Glaukoma stadium awal memperlihatkan takik fokal inferior tepi neuroretina
(Vaughan et.al, 2012)
11
12
Gambar 2.11 Pemeriksaan defek lapangan pandang pada penderita glaukoma dengan
Humphrey analyzer (Olver, 2005)
2.4.5 Diagnosis banding
1. Glaukoma sudut tertutup primer akut
Kelainan mata yang terjadi karena tekanan intraokular (TIO) meningkat
secara cepat sebagai hasil dari tertutupnya sudut bilik mata depan secara total
dan mendadak akibat blok pupil karena kondisi primer mata dengan segmen
anterior yang kecil. Pada kelainan ini, lensa tampak jernih dan pupil lebar
lonjong (Nurwasis, 2006).
2. Glaukoma sudut tertutup sekunder karena uveitis
Glaukoma sekunder sudut terbuka ataupun tertutup yang disebabkan
radang pada iris dan corpus ciliaris. Pada kelainan ini tampak adanya keratik
presipitat, flare dan sel sinekia posterior total, iris bombans sudut tertutup
(Nurwasis, 2006).
3. Glaukoma neovaskuler
Glaukoma sekunder yang disebabkan adanya neovaskularisasi pada
permukaan iris, sudut, dan trabekular Meshwork (Nurwasis, 2006).
4. Glaukoma fakolitik
Glaukoma sekunder sudut terbuka yang timbul akibat keluarnya protein
lensa pada katarak matur dan hipermatur (Nurwasis, 2006).
2.4.6 Penatalaksanaan
13
diberikan terapi. Jika tekanan intraokular (TIO) tetap terkontrol setelah terapi akut
glaukoma sudut tertutup, maka kecil kemungkinannya terjadi kerusakan
penglihatan progresif. Demikian pula untuk glaukoma sekunder jika terapi
penyebab dasar menghasilkan penurunan tekanan intraokular (TIO) ke kisaran
normal (James, 2006).
16
BAB III
RINGKASAN
Glaukoma adalah kumpulan penyakit dengan karakteristik umum berupa neuropati
optik yang berhubungan dengan hilangnya lapang pandang dengan peningkatan tekanan
intraokular (TIO) merupakan faktor risiko utama (Chusaida, 2013).
Glaukoma fakomorfik adalah glaukoma sekunder sudut tertutup akut yang
disebabkan oleh intumesensi lensa atau lensa yang membesar (AAO, 2005). Glaukoma
fakomorfik dapat terjadi melalui 3 mekanisme, yaitu dengan blok pupil, tanpa blok pupil,
atau kombinasi (Nurwasis, 2006)
Glaukoma fakomorfik mempunyai gambaran gejala nyeri, nausea, muntah, lemah
lesu, penurunan visus secara cepat dan progresif, mata merah, fotofobia, dan lakrimasi.
Tanda yang dapat ditemukan adalah kelopak mata edematus, kemosis konjungtiva dan
kongesti konjungtiva, kornea menjadi edematus dan insensitif, bilik mata depan sangat
dangkal, sudut bilik mata depan tertutup total, iris mengalami perubahan warna, pupil
semidilatasi, tidak reaktif terhadap cahaya maupun akomodasi, lensa katarak dan
membengkak, TIO meningkat secara bermakna dan diskus optikus edematus dan hiperemi
(Khurana, 2007).
Diagnosis glaukoma fakomorfik diawali dengan anamnesa dengan keluhan mata
merah, nyeri, dan visus menurun. Kemudian, dari gambaran klinis dietmukan hiperemi siliar
dan konjungtiva, edema kornea, bilik mata depan dangkal, pupil iris midriasis, iris bombans
akibat blok pupil, lensa katarak imatur matur, TIO sangat tinggi, dan sudut bilik mata
depan tertutup (Nurwasis, 2006). Pemeriksaan klinis yang dilakukan adalah tonometri untuk
mengukur tekanan intraokular, gonioskopi untuk melihat sudut bilik mata depan, penilaian
diskus optikus dan pemeriksaan lapangan pandang (Vaughan et.al, 2012).
Diagnosis banding glaukoma fakomorfik adalah glaukoma sudut tertutup primer akut,
glaukoma sudut tertutup sekunder karena uveitis, glaukoma neovaskuler, dan glaukoma
fakolitik (Nurwasis, 2006).
Penatalaksaan glaukoma fakomorfik adalah dengan segera menurunkan tekanan
intraokular (TIO) dengan obat obatan, seperti bahan hiperosmotik (Gliserin, Mannitol),
karbonik anhidrase inhibitor (Acetazolamid), adrenergik antagonis tetes mata (Timolol)
dan dilakukan tindakan pembedahan (Nurwasis, 2006).
17
Prognosis untuk glaukoma sekunder, jika terapi penyebab dasar dapat menghasilkan
penurunan tekanan intraokular (TIO) ke kisaran normal dan dilakukan dengan cepat
akan menurunkan laju progresivitas secara bermakna. Namun, jika diagnosis terlambat
ditegakkan terutama setelah terjadi kerusakan penglihatan, kemungkinan besar mengalami
kebutaan meski diberikan terapi (James, 2006).
18
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Ophthalmology (AAO), 2005, Glaucoma. USA : American Academy
of Ophthalmology.
Chusaida, Ululil, 2013, Glaukoma dalam Buku Ajar Kepaniteraan Klinik SMF Mata RSU
Haji Surabaya. Surabaya : RSU Haji.
James, Bruce, Chew Chris, Bron, Anthony, 2006, Lecture Notes Oftalmologi Edisi
Kesembilan. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Khurana, A.K., 2007, Comprehensive Ophthalmology Fourth Edition. New Delhi : New Age
International.
Nurwasis, Komaratih, Evelyn, 2006, Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag / SMF Ilmu
Penyakit Mata Edisi III. Surabaya : Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo
Nurwasis, Komaratih, Evelyn, Primitasari, Yulia, 2013, Glaukoma dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Mata. Surabaya : Airlangga University Press.
Olver, Jane, Cassidy, Lorraine, 2005, Ophthalmology at a Glance. USA : Blackwell Science.
Vaughan et.al, 2012, Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta : EGC.
19