Anda di halaman 1dari 3

24 Atau 37,5 jam (Menyoal Beban Kerja Guru PNS)

Masih dalam rangka memperingati hari guru, banyak hal yang perlu direfleksi
terkait dengan keberadaan guru di republik ini. Salah satunya adalah mengenai jumlah
beban kerja guru dalam kapasitasnya sebagai tenaga profesional dan PNS. Hal ini
penting karena beban kerja guru selain berkaitan dengan kelayakan untuk menerima
tunjangan profesi, berkaitan pula dengan tanggung jawab dan kedisiplinan guru (guru
PNS) sebagai aparatur pemerintah yang memberikan layanan fungsional kepada
publik.
Seorang teman guru yang ditempatkan di sebuah SMP baru, datang mengeluh
kepada saya karena tunjangan profesinya tidak dapat dibayarkan. Pengelola sertifikasi
di dinas pendidikan kabupaten tidak dapat membayarkan tunjangan profesinya dengan
alasan tugas jam mengajarnya di muka kelas tidak mencukupi 24 jam. Teman saya
tersebut adalah guru mata pelajaran Pendididikan Kewarnegaraan (PKn), jumlah jam
wajib untuk PKn di SMP sesuai beban kurikulum hanya 2 jam/minggu/kelas. Di sekolah
itu baru memiliki 3 kelas rombongan belajar. Artinya, teman saya tersebut hanya dapat
mengajar bidang studi spesialisasinya hanya 6 jam pelajaran. Selain tugas mengajar,
dia juga mendapat tugas tambahan sebagai wakil kepala sekolah, tetapi tetap saja
secara administrasi beban kerja sebagai guru profesional nilainya belum cukup.
Berdasarkan PP 74 Tahun 2008 tentang Guru dijelaskan bahwa tugas tambahan
sebagai wakil kepala sekolah hanya dihargai 12 jam.
Padahal sebagai guru PNS yang ditempatkan di unit sekolah baru (USB)
dengan jumlah tenaga guru dan pegawai yang masih kurang, teman saya harus
membantu kepala sekolah melaksanakan berbagai tugas lainnya di sekolah, selain
tugas pokoknya mengajar. Setiap harinya, dia sudah harus hadir pukul 7.00 pagi dan
setelah bel pulang pukul 13.20, dia belum meninggalkan sekolah karena masih harus
menyelesaikan tugas-tugas administrasi lainnya. Dilihat dari kehadiran, komitmen dan
tanggung jawabnya sebagai guru PNS maka teman saya ini tidak diragukan lagi
Berbeda ceritanya dengan seorang ibu guru SD, teman saya yang lain. Dia
dapat tersenyum senang karena dapat menikmati tunjangan profesinya tanpa masalah.
Ibu guru ini mengajar kelas II di salah satu SD. Beban kerja/ jam mengajarnya tidak
bermasalah. Secara administrasi, sebagai guru kelas, sesuai struktur kurikulum dia
mendapat alokasi waktu pembagian tugas 27 jam/minggu. Sebagai guru kelas II, si Ibu
guru tiap harinya baru datang di sekolah pukul 9.00 karena seperti di banyak SD
lainnya kelas II di sekolahnya masuk pukul 10.00 setelah siswa kelas I pulang. Saat bel
pulang pukul 12.30, si Ibu guru yang juga ibu rumah tangga pun bergegas pulang. Jadi
bila dihitung kehadirannya di sekolah per hari hanya 2,5 jam. Bandingkan dengan
teman guru yang diceritakan di awal.
Dua ilustrasi di atas hanyalah sekelumit cerita dari banyaknya persoalan yang
terjadi di lapangan terkait persoalan beban kerja guru.
Dalam Undang-Undang Guru dan Dosen, Pasal 35 ayat (2) ditegaskan bahwa
beban kerja gurusekurang-kurangnya 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan
sebanyak-banyaknya 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu. Aturan
tersebut kemudian dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74/2008 tentang
Guru, dalam Pasal 52, ayat (2) dinyatakan bahwa beban kerja guru paling sedikit
memenuhi 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan paling banyak 40 (empat puluh)
jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu pada satu atau lebih satuan pendidikan yang
memiliki izin pendirian dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Pada ayat (3)
dikemukakan bahwa pemenuhan beban kerja paling sedikit 24 (dua puluh empat) jam
tatap muka dan paling banyak 40 (empatpuluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan paling sedikit 6
(enam) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu pada satuan pendidikan tempat
tugasnya sebagai Guru Tetap.
Pemaknaan dari peraturan di atas adalah ketika seorang guru tidak cukup jam
tatap muka di satuan pangkal pendidikannnya (sekolah induknya) maka dengan
persetujuan dinas pendidikan kabupaten/kota yang bersangkutan dapat mengajar di
sekolah lain untuk mencukupi jam wajibnya. Namun persoalannya tidak semudah itu,
kondisi di lapangan yang terjadi adalah di banyak sekolah (utamanya di wilayah
perkotaan) tidak dapat menerima guru mata pelajaran tertentu dari sekolah lain
mengingat jam mengajar guru yang ada di sekolah itu pun tidak cukup atau “dicukup-
cukupkan”. Pola “pencukup-cukupan” pun dilakukan dengan memberi tugas mengajar
mata pelajaran lain (biasanya pelajaran serumpun, Muatan lokal atau Keterampilan)
atau dengan memberi tugas tambahan sebagai pengelola perpustakaan, laboratorium,
atau bengkel praktik.
Persoalan lebih rumit pun dihadapi dalam pembagian tugas jam kerja bagi guru
yang diangkat dalam jabatan pengawas. Pengangkatan pengawas sekolah di beberapa
daerah yang tidak didasarkan pada analisis kebutuhan menyebabkan ketidak-jelasan
pembagian tugas pengawasan.
Di sisi lain, banyak guru yang memaknai ketika jam tatap muka telah mencukupi
minimal 24 jam tatap muka/ jam mengajar seakan-akan yang bersangkutan telah
terlepas dari tugas-tugas pokok lainnya di sekolah. Dampaknya, yang bersangkutan
hadir di sekolah hanya apabila ada jam mengajarnya. Datang sebelum jam pelajaran
dan pulang setelah jam pelajarannya berakhir, contohnya seperti kasus ibu guru di atas.
Bahkan ketika dalam satu hari efektif tidak ada jam mengajarnya maka ada
kecenderungan guru untuk tidak datang di sekolah. Hal ini dianggap sebagai “tambahan
libur” atau kebijakan dari kepala sekolah.
Persepsi yang salah tersebut harus diluruskan, karena dalam Penjelasan
Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru Pasal 52 ayat (2)
dinyatakan bahwa istilah tatap muka berlaku untuk pelaksanaan beban kerja guru yang
terkait dengan pelaksanaan pembelajaran. Beban kerja guru untuk melaksanakan
pembelajaran paling sedikit 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan paling banyak 40
(empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu tersebut merupakan bagian jam
kerja dari jam kerja sebagai pegawai yang secara keseluruhan paling sedikit 37,5 (tiga
puluh tujuh koma lima) jam kerja dalam 1 (satu) minggu.
Sejalan dengan hal tersebut, terkait dengan Standard Pelayanan Minimal bidang
pendidikan, dalam Permendiknas RI nomor 15 Tahun 2005 tentang Standard
Pelayanan Minimal (SPM) Pendidikan Dasar di Kabupaten/Kota dalam pasal 2 ayat (2)
point b.butir 5 dinyatakan bahwa salah satu bentuk pelayanaan minimal di tingkat
satuan pendidikan adalah “ setiap guru tetap bekerja 37,5 jam per minggu di satuan
pendidikan, termasuk merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran,
menilai hasil pembelajaran,membimbing atau melatih peserta didik, dan melaksanakan
tugas tambahan”.
Bila dirata-ratakan 37, 5 jam /minggu dibagi 6 hari kerja maka dalam setiap hari
sekitar 6,5 jam kerja yang harus terpenuhi. Sehingga apabila seorang guru hadir setiap
harinya di sekolah pukul 07.00 maka paling cepat pukul 13.00 dia baru dapat pulang.
Apabila kehadiran guru di sekolah hanya berdasarkan jadwal mengajar atau sekedar
memenuhi 24 jam mengajar jelas standar minimal tersebut tidak tercapai. Di jenjang
SD, 1 jam pelajaran = 35 menit, di SMP 1 jam pelajaran = 40 menit, dan di SMA 1 jam
pelajaran = 45 menit.
Jika dikonversi maka 24 jam pelajaran/minggu di SD hanya setara dengan 14
jam kerja/minggu (24 x 35 : 60) atau kalau dirata-ratakan hanya 2, 3 jam/hari kerja.
Sedangkan di SMP untuk 24 jam/minggu hanya setara 16 jam kerja. Dengan demikian,
apabila seorang guru hanya hadir dengan orientasi memenuhi jam mengajar
minimalnya maka Standar Pelayanan Minimal, yang sebagaimana diharapkan dalam
Permendiknas RI nomor 15 /2005 tidak dapat terpenuhi.
Secara tegas tentang kedisiplinan kehadiran PNS diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri. Dalam Pasal 3
angka 11 PP tersebut dinyatakan PNS wajib “masuk kerja dan menaati ketentuan jam
kerja”. Penjelasan PP no 53 tahun 2010 pasal 3 angka 11 adalah yang dimaksud
dengan kewajiban untuk “masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja” adalah setiap
PNS wajib datang, melaksanakan tugas, dan pulang sesuai ketentuan jam kerja serta
tidak berada di tempat umum bukan karena dinas. Apabila berhalangan hadir wajib
memberitahukan kepada pejabat yang berwenang. Keterlambatan masuk kerja
dan/atau pulang cepat dihitung secara kumulatif dan dikonversi 7 ½ (tujuh setengah)
jam sama dengan 1 (satu) hari tidak masuk kerja. Dengan sanksi teringan bila tidak
hadir 5 hari kerja diberi teguran lisan dan sanksi terberat tidak masuk > 45 hari
diberhentikan dengan tidak hormat.
Dari uraian di atas, secara sederhana dapatlah dinyatakan bahwa ketika seorang
guru telah menerima tunjangan sertifikasi dan memenuhi jam tatap muka minimalnya
24 jam tidak lantas berarti guru tersebut terbebas dari tanggung jawab dan tugas-tugas
lainnya di sekolah. Selain menerima tunjangan profesi yang bersangkutan juga
menerima gaji haknya sebagai PNS sesuai golongan dan kepangkatannya seperti
pegawai-pegawai negeri sipil di instansi lain, sehingga guru PNS juga terikat dengan
kewajiban kehadiran di tempat tugas dan aturan-aturan disiplin kepegawaian lainnnya
yang berlaku. Sekalipun kebijakan ‘kehadiran” dan pemberian “libur tidak resmi” bagi
guru PNS di tingkat satuan pendidikan menjadi “aturan tidak tertulis” dan kewenangan
kepala sekolah.
Tulisan ini hanya ingin sekadar mengingat dan merefleksi kembali apa yang
seharus menjadi tugas dan tanggung jawab teman-teman guru di lapangan. Persoalan
tugas dan tanggung jawab bukan hanya sekedar menggugurkan jam wajib tatap
muka/mengajar di muka kelas untuk mendapatkan tunjangan profesi. Ada tanggung
jawab profesi dan tanggung jawab moral yang lebih besar.
Di sisi lain, pihak dinas pendidikan kabupaten selaku pengelola sertifikasi di
daerah pun perlu melakukan monitoring dan objektif terkait dengan pemberian
tunjangan profesi. Kelayakan tidak sekedar cukup-tidak cukup 24 jam, dinilai secara
administratif di atas meja berdasarkan Surat Keputusan Pembagian Beban Kerja yang
dibuat oleh kepala sekolah. Perlu pemberdayaan para pengawas sekolah untuk
melakukan verifikasi di lapangan. Sehingga kasus yang dikemukakan di awal tulisan ini
tidak perlu terjadi.
Dengan momentum hari guru, saatnyalah para guru untuk kembali berbenah
melihat dan memperbaiki visi dan paradigma. Tidak sekedar menjadi guru yang
memenuhi tuntutan dan target ketuntasan kurikulum, menjadi guru yang hanya menjadi
media belajar buat siswa, atau guru yang hadir ke sekolah untuk sekedar
menggugurkan kewajiban jam mengajar. Saatnya untuk berubah menjadi guru inspiratif.
Guru yang kehadiran mampu memberi semangat, warna dan makna bagi siswa, bagi
sesama rekan kerja, dan bagi lingkungannya. Guru adalah bak pelita penerang dalam
gulita …engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan. Semua itu hanya dapat
terasa dan terwujud jika didasari dengan kesadaran moral, komintmen dan tanggung
jawab untuk berbuat yang terbaik***

Anda mungkin juga menyukai