Anda di halaman 1dari 21

]Anak Laki-Laki Thalassemia dengan Anemia Hemolitik

Golda Meir
102013296
g_meir@ymail.com

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

I. Pendahuluan

Kelainan genetik merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kualitas sumber
daya manusia (SDM). Salah satu kelainan genetik yang cukup banyak dijumpai pada anak
adalah thalassemia. Thalassemia merupakan golongan penyakit anemia hemolitik yang
diturunkan secara autosom resesif, disebabkan mutasi gen tunggal, akibat adanya gangguan
pembentukan rantai globin alfa atau beta. Thalassemia adalah kelainan genetik yang
menyebabkan sintesis hemoglobin tidak ada atau kurang oleh karena gangguan sintesis rantai
globin yang merupakan komponen utama hemoglobin. Adanya gangguan pembentukan
rantai globin ini menyebabkan terjadinya rantai globin abnormal yang akan mengalami
presipitasi dalam eritrosit. Hemoglobin dengan rantai globin abnormal tidak mampu
mendistribusikan oksigen ke jaringan sehingga menimbulkan berbagai gangguan fungsi
tubuh. Selain hal tersebut adanya presipitasi rantai globin abnormal tersebut juga berpengaruh
terhadap manifestasi klinis thalassemia.

Skenario 5

Seorang anak laki-laki berusia 2 tahun dibawa ke puskesmas dengan keluhan utama pucat
sejak 3 bulan yang lalu.

Anamnesis

Anamnesis merupakan salah satu cara bagi seorang dokter untuk mendapatkan pemahaman
mengenai permasalahan medis yang dihadapi oleh pasiennya sekaligus membantu seorang
dokter untuk menentukan diganosis banding. Anamnesis dilakukan dengan tujuan
mendapatkan informasi sebanyak mungkin yang tentunya mengarah pada permasalahan
medis yang pasiennya alami.1

Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, teratur dan lengkap karena sebagian besar data
yang diperlukan dari anamnesis untuk menegakkan diagnosis. Anamnesis dapat langsung

1
dilakukan pada pasien (auto-anamnesis) atau terhadap keluarga atau pengantarnya (alo-
anamnesis) bila keadaan pasien tidak memungkinkan untuk diwawancarai, misalnya pasien
adalah anak bayi atau pasien dalam keadaan gawat-darurat, afasia akibat stroke, pasien
dengan gangguan kesadaran, gangguan kepribadian dan lain sebagainya. Dalam melakukan
anamnesis, beberapa hal yang mutlak untuk ditanyakan antara lain ialah identitas pasien,
keluhan utama pasien, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit
keluarga, dan riwayat sosial.
Berdasarkan skenario, anamnesis sudah diketahui, dimana :
1. Identitas diri pasien : Seorang anak laki-laki berusia 2 tahun
2. Keluhan Utama : Pucat sejak 3 bulan yang lalu.
3. Riwayat Penyakit Sekarang : Mudah lelah dan lesu, tidak ada riwayat demam dan
perdarahan.
4. Riwayat Penyakit Dahulu : -
5. Riwayat Keluarga :-
6. Riwayat Obat :-
7. Riwayat Sosial :-

Pemeriksaan Fisik

Pada penderita thalassemia pemeriksaan fisik ditemukan adanya pucat. Adapun warna
pucat dapat dilihat pada daerah dengan lapisan tanduk epidermisnya paling sedikit yaitu di
kuku jari tangan, bibir dan membrane mukosa, khususnya mulut dan konjungtiva palpebral
Lihat juga apakah ada sianosis. Selain itu perlu dilihat apakah ada ikterus bisa dilihat di
sklera atau kulit.. Ikterus menunjukkan adanya hemolisis sel darah merah berlebihan. Selain
itu diperiksa juga apakah adanya pembesar hati dan limpa. Pada penderita talasemia dapat
ditemukan pasien memiliki muka yang khas ( fasies talasemia) karea adanya hiperplasia
sumsum tulang.
Pada pemeriksaan fisik didapati :

• Perawakan pendek, wajah dismorfik

• TD = 80/50 mmHg

• Sklera dan kulit ikterik, conjungtiva anemis, perbesaran hepar 3cm di bawah arcus
costae, Limpha S1

Pemeriksaan Penunjang

2
Pemeriksaan diagnostik pada pasien thalasemia meliputi pemeriksaan umum, pemeriksaan
lanjut dan pemeriksaan khusus. Pemeriksaan umum meliputi Hb, MCV, MCH, morfologi sel
darah merah (apusan darah), retikulosit.

Pemeriksaan lanjutan meliputi analisis Hb terhadap kadar HbF, HbA dan elektroforesis
hemoglobin; kadar besi, saturasi transferin dan feritin.

Pemeriksaan khusus meliputi :


a. Analisis DNA untuk menentukan jenis mutasi penyebab thalasemia.
b. Anemia dengan kadar Hb berkisar 2-9g/dl, kadar MCV dan MCH berkurang,
retikulosit biasanya meningkat dan fragilitas osmotic menurun.
c. Gambaran darah tepi memperlihatkan mikrositik hipokrom, fragmentasi, sel target
dan normoblast.
d. Kadar HbF meningkat antara 10-90%, kadar HbA2 bisa normal, rendah atau sedikit
meingkat. Peningkatan kadar HbA2 merupakan parameter penting untuk menegakan
diagnosis pembawa sifat thalasemia β. Besi Serum, feritin dan saturasi transferin meningkat.

Working Diagnosis
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik di dapati bahwa anak laki-laki tersebut mengalami
anemia hemolitik e.c Thalassemia.
Thalassemia
Thalasemia adalah suatu penyakit keturunan yang diakibatkan oleh kegagalan pembentukan
salah satu dari empat rantai asam amino yang membentuk hemoglobin, sehingga hemoglobin
tidak terbentuk sempurna. Tubuh tidak dapat membentuk sel darah merah yang normal,
sehingga sel darah merah mudah rusak atau berumur pendek kurang dari 120 hari dan
terjadilah anemia.

Hemoglobin adalah suatu zat di dalam sel darah merah yang berfungsi mengangkut zat asam
dari paru-paru ke seluruh tubuh, juga memberi warna merah pada eritrosit. Hemoglobin
manusia terdiri dari persenyawaan hem dan globin. Hem terdiri dari zat besi (Fe) dan globin
adalah suatu protein yang terdiri dari rantai polipeptida. Hemoglobin pada manusia normal
terdiri dari 2 rantai alfa (α) dan 2 rantai beta (β). Penderita Thalasemia tidak mampu
memproduksi salah satu dari protein tersebut dalam jumlah yang cukup, sehingga sel darah
merahnya tidak terbentuk dengan sempurna. Akibatnya hemoglobin tidak dapat mengangkut

3
oksigen dalam jumlah yang cukup. Oleh karena itu, penderita Thalasemia mengalami anemia
sepanjang hidupnya.

Thalasemia dibedakan menjadi Thalasemia α jika menurunnya sintesis rantai alfa globin dan
Thalasemia β bila terjadi penurunan sintesis rantai beta globin. Thalasemia dapat terjadi dari
ringan sampai berat. Thalasemia beta diturunkan dari kedua orang tua pembawa Thalasemia
dan menunjukkan gejala klinis yang paling berat, keadaan ini disebut juga Thalasemia mayor.
Penderita Thalasemia mayor akan mengalami anemia dikarenakan penghancuran hemoglobin
dan membuat penderita harus menjalani transfusi darah seumur hidup setiap bulan sekali.

Thalasemia diwariskan oleh orang tua yang carrier kepada anaknya. Apabila salah satu dari
orang tua memiliki gen pembawa sifat Thalasemia maka kemungkinan anaknya 50% sehat
dan 50% carrier Thalasemia. Apabila kedua orang tua memiliki gen pembawa sifat
Thalasemia maka kemungkinan anaknya 25% sehat, 25% menderita Thalasemia mayor dan
50% carrier Thalasemia.

Klasifikasi Thalassemia

Hemoglobin terdiri dari rantaian globin dan hem, tetapi pada Thalassemia terjadi gangguan
produksi rantai α atau β. Dua kromosom 11 mempunyai satu gen β pada setiap kromosom
(total dua gen β) sedangkan dua kromosom 16 mempunyai dua gen α pada setiap kromosom
(total empat gen α). Abnormalitas pada gen globin α akan menyebabkan defek pada seluruh
gen, sedangkan abnormalitas pada gen rantai globin β dapat menyebabkan defek yang
menyeluruh atau parsial. Thalassemia diklasifikasikan berdasarkan rantai globin mana yang
mengalami defek, yaitu Thalassemia α dan Thalassemia β.

Thalasemia Alfa
Thalasemia ini disebabkan oleh mutasi salah satu atau seluruh globin rantai alfa yang ada.
Gen alfa (HBA1 dan HBA2) pada kromosom 16.
Thalasemia alfa terdiri dari:
a. Silent Carrier State
Gangguan pada 1 rantai globin alfa. Keadaan ini tidak timbul gejala sama
sekali atau sedikit kelainan berupa sel darah merah yang tampak lebih pucat. Perlu
pemeriksaan laboratorium khusus untuk mendeteksinya. Individu tersebut dikatakan
sebagai carrier.

4
b. Thalasemia Alfa Trait/Thalassemia Alfa Minor
Gangguan pada 2 rantai globin alfa. Penderita mengalami anemia ringan
dengan sel darah merah hipokrom dan mikrositer, dapat menjadi carrier.
c. Hemoglobin H Disease
Gangguan pada 3 rantai globin alfa. Penderita dapat bervariasi mulai tidak ada
gejala sama sekali, hingga anemia yang berat yang disertai dengan perbesaran limpa
(splinomegali). Pada tipe ini penderita sering memerlukan transfusi darah untuk
hidup. Ketidakseimbangan besar antara produksi rantai α dan β menyebabkan
akumulasi rantai β di dalam eritrosit menghasilkan generasi Hb yang abnormal yaitu
Hemoglobin H (HbH/ β4)
d. Thalasemia Alfa Mayor/Hemoglobin Bart
Gangguan pada 4 rantai globin alfa. Thalasemia tipe ini merupakan kondisi
yang paling berbahaya pada Thalasemia tipe alfa. Kondisi ini tidak terdapat rantai
globin yang dibentuk sehingga tidak ada HbA atau HbF yang diproduksi. Janin yang
menderita alfa Thalasemia mayor pada awal kehamilan akan mengalami anemia,
membengkak karena kelebihan cairan, perbesaran hati dan limpa. Janin ini biasanya
mengalami keguguran atau meninggal tidak lama setelah dilahirkan.

Thalasemia Beta
Thalasemia beta terjadi jika terdapat mutasi pada satu atau dua rantai globin beta yang ada.
Thalassemia beta disebabkan gangguan pada gen beta yang terdapat pada kromosom 11.
Penyakit ini diturunkan secara resesif dan biasanya hanya terdapat di daerah tropis dan
subtropis serta di daerah dengan prevalensi malaria yang endemik Thalasemia beta terdiri
dari:
 Thalassemia βo

Tipe ini disebabkan tidak ada rantai globin β yang dihasilkan. Satu pertiga penderita
Thalassemia mengalami tipe ini.

 Thalassemia β+

Pada kondisi ini, defisiensi partial pada produksi rantai globin β terjadi. Sebanyak 10-50%
dari sintesis rantai globin β yang normal dihasilkan pada keadaan ini.

Secara klinis, Thalassemia beta dikategori kepada:


5
a. Thalasemia Beta Trait/Minor/Heterozygous
Thalasemia jenis ini memiliki satu gen normal dan satu gen yang abnormal.
Thalassemia ini biasanya mengalami anemia ringan atau bahkan tidak menunjukkan
simptom dan biasanya terdeteksi sewaktu pemeriksaan darah rutin yang ditandai
dengan sel darah merah yang mengecil (mikrositer).
b. Thalasemia Beta Intermedia
Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi tetapi masih bisa produksi sedikit
rantai beta globin. Penderita mengalami anemia yang derajatnya tergantung dari
derajat mutasi gen yang terjadi.
c. Thalasemia Beta Mayor (Cooley’s Anemia)
Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi sehingga tidak dapat memproduksi
rantai beta globin. Gejala muncul pada bayi ketika berumur 3 bulan berupa anemia
yang berat. Penderita Thalasemia mayor tidak dapat membentuk hemoglobin yang
cukup sehingga hampir tidak ada oksigen yang dapat disalurkan ke seluruh tubuh
yang lama kelamaan akan menyebabkan kekurangan O2, gagal jantung kongestif,
maupun kematian. Penderita Thalasemia mayor memerlukan transfusi darah yang
rutin dan perawatan medis demi kelangsungan hidupnya.

Sel Darah Merah

Sel darah merah atau eritrosit adalah bagian dari salah satu sel darah yang berbentuk seperti
cakram (discus) kecil yang memiliki permukaan cekung atau seperti lempeng bikonkaf. Sel
darah merah memiliki jumlah yang cukup banyak yaitu sekitar 5.000.000 per mm kubik
darah. Dengan kata lain, untuk manusia seberat 50 kg, kira-kira memiliki 5 liter darah
sehingga jumlah sel darah merah dengan ukuran normal adalah 25 triliun sel darah merah.

Sel darah merah memiliki ukuran yang cukup kecil, diameternya hanya sekitar 7,2
mikrometer. Eritrosit harus dapat dilihat dengan mikroskop dengan perbesaran 10x100 untuk
terlihat jelas.

Proses Pembentukan Sel Darah Merah

Eritrosit dihasilkan pertama kali di dalam kantong kuning (yolk sac) saat embrio pada
minggu-minggu pertama. Proses pembentukan eritrosit disebut eritropoisis.

6
Kemudian setelah beberapa bulan eritrosit terbentuk di dalam hati, limpha, dan kelenjar
sumsum tulang belakang. Namun setelah dewasa eritrosit dibentuk di sumsum tulang
membranosa. Produksi eritropoisis di rangsang oleh hormon eritropoietin.

Pembentukan sel darah merah (eritropoiesis) berkembang dari hemositoblas, yaitu sel
pembentuk eritrosit. Hemositoblas ini bentuknya adalah sel batang mieloid yang terdapat di
sumsum tulang. Hemositoblas akan membentuk berbagai jenis sel-sel darah tidak hanya sel
darah merah saja tapi membentuk tiga sel darah yaitu leukosit, megakariosit yang akan
berkembang menjadi trombosit (keping darah) dan eritrosit.

Setelah terbentuk eritrosit rata-rata umurnya adalah 120 hari. Setelah kurang lebih 120 hari
sel-sel darah merah (eritrosit) akan mengalami kerusakan. Lalu eritrosit yang mengalami
kerusakan akan di hancurkan dalam sistem retikulum endotelium terutama dalam limpa dan
hati.

Proses Penghancuran Sel Darah Merah

Proses penghancuran sel darah merah (eritrosit) dikenal dengan istilah senescens. Ertirosit
tersusun dari heme dan globin. Saat sel darah merah rusak, akan dibawah ke hati untuk
dilakukan perombakan hemoglobin. Globin pada sel darah merah yang rusak akan di pecah
menjadi asam amino untuk digunakan sebagai protein dalam jaringan-jaringan.

Heme pada sel darah merah yang rusak akan di pecah menjadi zat besi, dan biliveridin.
Biliverdin merupakan zat yang menyebabkan warna kehijauan yang dapat dilihat pada
perubahan warna hemoglobin yang rusak pada luka memar.

Selanjutnya biliverdin direduksi menjadi bilirubin (warna kuning empedu), yang selanjutnya
akan dibawah ke ginjal melalui plasma darah dan bergabung dengan albumin. Sedangkan zat
besi akan dibawa oleh protein karier, tranferin, yang disirkulasikan melalui plasma darah.

Anemia Hemolitik

Pada anemia hemolitik terjadi penurunan usia sel darah merah (normal 120 hari), baik
sementara atau terus-menerus. Anemia hanya terjadi bila sumsum tulang telah tidak mampu
mengatasinya karena usia sel darah merah sangat pendek atau bila kemampuannya terganggu
oleh sebab lain.

7
Hemolisis berbeda dengan proses penuaan (senescence), yaitu pemecahan eritosit karena
memang sudah cukup umurnya. Hemolisis dapat terjadi dalam pembuluh darah
(intravascular) atau di luar pembuluh darah (ekstravaskular) yang membawa konsekuensi
patofisiologik yang berbeda.

Pada orang dengan sumsum tulang yang normal, hemolisis pada darah tepi akan direspon
oleh tubuh dengan peningkatan eritropoiesis dalam sumsum tulang. Kemampuan maksimum
sumsum tulang untuk meningkatkan eritropoiesis adalah 6-8 kali normal. Apabila derajat
hemolisis tidak terlalu berat (pemendekan masa hidup eritrosit sekitar 50 hari) maka sumsum
tulang masih mampu melakukan kompensasi sehingga tidak timbul anemia. Keadaan ini
disebut sebagai keadaan hemolisis terkompensasi. Akan tetapi jika kemampuan kompensasi
sumsum tulang di lampaui maka akan terjadi anemia hemolitik.

Ketika sel-sel darah mati, sumsum tulang tubuh akan membuat sel-sel darah lebih banyak
sebagai penggantinya. Namun pada kasus anemia hemolitik, sumsum tulang tidak mampu
membuat sel-sel darah merah dengan cepat untuk memenuhi kebutuhan tubuh.

Anemia hemolitik dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan, seperti kelelahan, nyeri,
denyut jantung tidak teratur (aritmia), pembesaran jantung, dan gagal jantung.

Penderita anemia hemolitik cenderung mudah lelah karena tubuh mereka tidak menerima
cukup asupan oksigen karena sel darah merah tidak berfungsi dengan baik. Di samping itu,
gejala yang mungkin dialami adalah sesak napas, pusing, dan kulit pucat atau kuning. Jika
tidak diobati, anemia dapat merusak hati dan organ utama lainnya akibat kurangnya asupan
oksigen.

Penyebab Anemia

Penyebab anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran sel darah merah pada apusan
darah tepi dan parameter automatic cell counter. Sel darah merah normal mempunyai volume
80-96 femtoliter (1 fL = 10-15 liter) dengan diameter kira-kira 7-8 micron, sama dengan inti
limfosit kecil. Sel darah merah yang berukuran lebih besar dari inti limfosit kecil pada apus
darah tepi disebut makrositik. Sel darah merah yang berukuran lebih kecil dari inti limfosit
kecil disebut mikrositik. Automatic cell counter memperkirakan volume sel darah merah
dengan sampel jutaan sel darah merah dengan mengeluarkan angka mean corpuscular
volume (MCV) dan angka dispersi mean tersebut. Angka dispersi tersebut merupakan

8
koefisien variasi volume sel darah merah atau RBC distribution width (RDW). RDW normal
berkisar antara 11,5-14,5%. Peningkatan RDW menunjukkan adanya variasi ukuran sel.

Berdasarkan pendekatan morfologi, anemia diklasifikasikan menjadi:

a. Anemia makrositik

Anemia makrositik merupakan anemia dengan karakteristik MCV di atas 100 fL. Anemia
makrositik dapat disebabkan oleh:

- Peningkatan retikulosit

Peningkatan MCV merupakan karakteristik normal retikulosit. Semua keadaan yang


menyebabkan peningkatan retikulosit akan memberikan gambaran peningkatan MCV

- Metabolisme abnormal asam nukleat pada prekursor sel darah merah (defisiensi folat
atau cobalamin, obat-obat yang mengganggu sintesa asam nukleat: zidovudine,
hidroksiurea)

- Gangguan maturasi sel darah merah (sindrom mielodisplasia, leukemia akut)

- Penggunaan alcohol

- Penyakit hati

- Hipotiroidisme

9
b. Anemia mikrositik

Anemia mikrositik merupakan anemia dengan karakteristik sel darah merah yang kecil (MCV
kurang dari 80 fL). Anemia mikrositik biasanya disertai penurunan hemoglobin dalam
eritrosit. Dengan penurunan MCH (mean concentration hemoglobin) dan MCV, akan
didapatkan gambaran mikrositik hipokrom pada apusan darah tepi. Penyebab anemia
mikrositik hipokrom:

- Berkurangnya Fe: anemia dei siensi Fe, anemia penyakit kronis/anemia inl amasi, defi
siensi tembaga.

- Berkurangnya sintesis heme: keracunan logam, anemia sideroblastik kongenital dan


didapat.

- Berkurangnya sintesis globin: talasemia dan hemoglobinopati.

c. Anemia normositik

10
Anemia normositik adalah anemia dengan MCV normal (antara 80-100 fL). Keadaan ini
dapat disebabkan oleh:

· Anemia pada penyakit ginjal kronik.

· Sindrom anemia kardiorenal: anemia, gagal jantung, dan penyakit ginjal kronik.

· Anemia hemolitik:

Anemia hemolitik karena kelainan intrinsik sel darah merah: Kelainan membran
(sferositosis herediter), kelainan enzim (dei siensi G6PD), kelainan hemoglobin
(penyakit sickle cell).

Anemia hemolitik karena kelainan ekstrinsik sel darah merah: imun, autoimun (obat,
virus, berhubungan dengan kelainan limfoid, idiopatik), alloimun (reaksi transfusi
akut dan lambat, anemia hemolitik neonatal), mikroangiopati (purpura
trombositopenia trombotik, sindrom hemolitik uremik), infeksi (malaria), dan zat
kimia (bisa ular).

Epidemiologi

Kurang lebih 3% dari penduduk dunia mempunyai gen thalassemia dimana angka kejadian
tertinggi sampai dengan 40% kasus adalah di Asia. Di Indonesia thalassemia merupakan
penyakit terbanyak diantara golongan anemia hemolitik dengan penyebab intrakorpuskuler.
Jenis thalassemia terbanyak yang ditemukan di Indonesia adalah thalassemia beta mayor
sebanyak 50% dan thalassemia β–HbE sebanyak 45%. Frekuensi pembawa sifat thalassemia
11
untuk Indonesia ditemukan berkisar antara 3-10%. Bila frekuensi gen thalassemia 5% dengan
angka kelahiran 23‰ dan jumlah populasi penduduk Indonesia sebanyak 240 juta,
diperkirakan akan lahir 3000 bayi pembawa gen thalassemia setiap tahunnya.

Etiologi

Thalassemia bukan penyakit menular melainkan penyakit yang diturunkan secara genetik dan
resesif. Pada manusia kromosom selalu ditemukan berpasangan. Seorang pembawa sifat
thalassemia tampak normal/sehat, sebab masih mempunyai 1 belah gen dalam keadaan
normal (dapat berfungsi dengan baik). Seorang pembawa sifat thalassemia jarang
memerlukan pengobatan. Bila kelainan gen globin terjadi pada kedua kromosom, dinamakan
penderita thalassemia (Homozigot/Mayor).

Kedua belah gen yang sakit tersebut berasal dari kedua orang tua yang masing-masing
membawa sifat thalassemia. Pada proses pembuahan, anak hanya mendapat sebelah gen
globin dari ibunya dan sebelah lagi dari ayahnya. Bila kedua orang tuanya masing-masing
pembawa sifat thalassemia maka pada setiap pembuahan akan terdapat beberapa
kemungkinan. Kemungkinan pertama si anak mendapatkan gen globin yang berubah (gen
thalassemia) dari bapak dan ibunya maka anak akan menderita thalassemia. Sedangkan bila
anak hanya mendapat sebelah gen thalassemia dari ibu atau ayah maka anak hanya membawa
penyakit ini. Kemungkinan lain adalah anak mendapatkan gen globin normal dari kedua
orang tuanya.

Jika kedua orang tua tidak menderita Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia, maka
tidak mungkin mereka menurunkan Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia atau
Thalassaemia mayor kepada anak-anak mereka. Semua anak-anak mereka akan mempunyai
darah yang normal.

Apabila salah seorang dari orang tua menderita Thalassaemia trait/pembawa sifat
Thalassaemia sedangkan yang lainnya tidak, maka satu dibanding dua (50%)
kemungkinannya bahwa setiap anak-anak mereka akan menderita Thalassaemia
trait/pembawa sifat Thalassaemia, tidak seorang diantara anak-anak mereka akan menderita
Thalassaemia mayor. Orang dengan Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia adalah

12
sehat, mereka dapat menurunkan sifat-sifat bawaan tersebut kepada anak-anaknya tanpa ada
yang mengetahui bahwa sifat-sifat tersebut ada di kalangan keluarga mereka.

Apabila kedua orang tua menderita Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia, maka
anak-anak mereka mungkin akan menderita Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia
atau mungkin juga memiliki darah yang normal, atau mereka mungkin juga menderita
Thalassaemia mayor.

Skema Penurunan Gen Thalasemia Mendel

Patofisiologi
Kelebihan pada rantai alpha ditemukan pada beta thalasemia dan kelebihan rantai beta dan
gama ditemukan pada alpha thalasemia. Kelebihan rantai polipeptida ini mengalami
presipitasi dalam sel eritrosit.

Globin intra eritrosik yang mengalami presipitasi, yang terjadi sebagai rantai polipeptida alpa
dan beta, atau terdiri dari hemoglobin tak stabil-badan Heinz, merusak sampul eritrosit dan
menyebabkan hemolisis. Reduksi dalam hemoglobin menstimulasi bone marrow
memproduksi RBC yang lebih.
13
Dalam stimulasi yang konstan pada bone marrow, produksi RBC secara terus-menerus pada
suatu dasar kronik, dan dengan cepatnya destruksi RBC, menimbulkan tidak adekuatnya
sirkulasi hemoglobin. Kelebihan produksi dan destruksi RBC, menimbulkan tidak
adekuatnya sirkulasi hemoglobin. Kelebihan produksi dan destruksi RBC menyebabkan bone
marrow menjadi tipis dan mudah pecah atau rapuh.

Penyebab anemia pada talasemia bersifat primer dan sekunder. Penyebab primer adalah
berkurangnya sintesis Hb A dan eritropoesis yang tidak efektif disertai penghancuran sel-sel
eritrosit intrameduler. Penyebab sekunder adalah karena defisiensi asam folat,bertambahnya
volume plasma intravaskuler yang mengakibatkan hemodilusi, dan destruksi eritrosit oleh
system retikuloendotelial dalam limfa dan hati. Penelitian biomolekular menunjukkan adanya
mutasi DNA pada gen sehingga produksi rantai alfa atau beta dari hemoglobin berkurang.
Tejadinya hemosiderosis merupakan hasil kombinasi antara transfusi berulang,peningkatan
absorpsi besi dalam usus karena eritropoesis yang tidak efektif, anemia kronis serta proses
hemolisis.

14
Gejala Klinis

Tanda dan gejala dari penyakit thalassemia adalah anemia hemolitik yang disebabkan oleh
kekurangan oksigen di dalam aliran darah. Hal ini terjadi karena tubuh tidak cukup membuat
sel-sel darah merah dan hemoglobin.

Berikut merupakan gejala umum dari :

Thalassemia Mayor:

 Pucat
 Lemah
 Anoreksia
15
 Sesak napas
 Peka rangsang
 Tebalnya tulang kranial
 Pembesaran hati dan limpa / hepatosplenomegali
 Menipisnya tulang kartilago, nyeri tulang
 Disritmia
 Epistaksis
 Sel darah merah mikrositik dan hipokromik
 Kadar Hb kurang dari 5gram/100 ml
 Kadar besi serum tinggi
 Ikterik
 Peningkatan pertumbuhan fasial mandibular; mata sipit, dasar hidung lebar dan datar.
2. Thalasemia Minor

 Pucat
 Hitung sel darah merah normal
 Kadar konsentrasi hemoglobin menurun 2 sampai 3 gram/ 100ml di bawah kadar
normal Sel darah merah mikrositik dan hipokromik sedang
Penderita Thalasemia alfa atau beta dapat mengalami anemia ringan. Anemia ringan dapat
membuat penderita merasa lelah dan hal ini sering disalahartikan menjadi anemia kekurangan
zat besi.

Thalasemia alfa silent carrier umumnya tidak memiliki tanda-tanda atau gejala. Hal ini
terjadi karena kekurangan protein alfa globin tidak terlalu banyak sehingga hemoglobin
dalam darah masih dapat bekerja dengan normal.

Penderita beta Thalasemia intermedia dapat mengalami anemia ringan sampai dengan sedang.
Selain itu juga dapat diikuti dengan masalah kesehatan lainnya, seperti:

a. Menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak


b. Masalah tulang,
Thalasemia dapat menyebabkan sumsum tulang tidak berkembang. Hal ini
menyebabkan luas tulang melebihi normal dan tulang menjadi rapuh.
c. Pembesaran limpa
Penderita hemoglobin H disease dapat mengalami anemia dengan tingkat yang berat.
Tanda dan gejala akan muncul dalam 2 tahun pertama kehidupannya. Penderita akan
mengalami anemia berat dan masalah kesehatan serius lainnya, seperti:

 Pucat dan lesu


 Nafsu makan menurun
16
 Urin lebih pekat
 Pertumbuhan dan perkembangan terhambat
 Kulit berwarna kekuningan
 Pembesaran hati dan limpa
 Masalah tulang (terutama tulang wajah)

Komplikasi
Penumpukan besi, pada penderita talasemia dapat terjadi kadar besi berlebihan karena
penyakit ini sendiri atau dari transfusi berulang yang diterima. Terlalu banyak besi akan
membuat gangguan pada hati, jantung, dan sistem endokrin, termasuk mempengaruhi
hormon-hormon yang diproduksi. Penderita talasemia juga memiliki peningkatan resiko
terhadap infeksi apalagi jika telah dilakukan splenektomi.
Deformitas tulang dapat terjadi pada talasemia karena ekspansi sumsum tulang, yang
akan membuat tulang menjadi lebar. Akibatnya akan membuat stuktur tulang menjadi
abnormal terutama di muka dan tenkorak. Ekspansi sumsum tulang ini juga membuat tulang
menjadi lebih tipis dan rapuh, meningkatkan resiko terjadinya fraktur.
Splenomegaly, Limpa memmbantu melawan infeksi dan menyaring materi yang tidak
dibutuhkan, seperti sel darah merah tua atau sel darah merah yang rusak. Talasemia sering
diikuti dengan terjadinya destruksi pada banyak sel darah merah, dan hal ini menyebabkan
limpa membesar. Splenomegali dapat makin memperberat anemia karena dapat mengurangi
hidup sel darah merah yang ditransfusi.

17
Hambatan pertumbuhan, anemia dapat menyebabkan pertumbuhan terhambat.
Pubertas juga mungkin terlambat pada anak dengan talasemia. Selain itu, gkelainan jantung
seperti gagal jantung kongestif dan aritmia juga berkaitan dengan talasemia berat.

Pencegahan
Konseling genetik. Talasemia dapat diturunkan dari pasien yang asimtomtik, jika
kedua orangtua merupakan karier. Diperlukan diagnosis yang pasti untuk konseling pada
pasangan tentang resikonya. Dokter yang telah ahli akan mengidentifikasi resiko yang akan
terjadi agar pasangan orangtua mengerti akan kondisi yang akan terjadi.
Metode yang lebih modern untuk mengidentifikasi janin dalam kandungan sebelum
lahir atau disebut PND (Pre Natal Diagnosis). Indikasi untuk melakukan prosedur ini kepada
wanita yang hamil yaitu, keduanya adalah talasemia α 1 karier, keduanya adalah talasemia β
karier, satu talasemia β karier, sementara satunya hemoglobin e karier. PND dilakuakn
dengan USG pada akhir trimester pertama dengan chorionic vili sampling (CVS) yang
dilakukan dokter ahli.

Prognosis
Bayi dengan Hb Barts hidrop fetalis meninggal dalam kandungan atau bisa lahir tapi
meninggal beberapa jam setelah dilahirkan. Beberapa pasien dengan HbH disease bisa hidup
dengan usia penuh. Pasien dengan talasemia β intermedia dapat diharapkan untuk hidup
hingga usia pertengahan, walaupun begitu penumpukan besi dan kelainan tulang dapat terjadi
pada dekade ketiga. Sedangkan pasien talasemia β major yang menjalankan terapi transfusi
dan kelasi besi yang baik memiliki harapan hidup hingga usia 30-40 tahun.

Tatalaksana

Talasemia α
Pada talasemia α trait umumnya tidak memerlukan pengobatan, karena anemia mereka sangat
ringan atau tidak ada karena kompensasi dari peningkatan sel darah merah. Pada penderita
HbH disease, anemia yang terjadi ringan sampai sedang. Transfusi darah terkadang dilkukan
saat hb sangat rendah. Transfusi yang periodik dan sering adalah hal yang jarang dibutuhkan.

Talasemia β

18
Pada talasemia β minor tidak diperlukan terapi. Pada Talasemia intermedia transfusi hanya
diberikan jika ada indikasi seperti: gangguan pertumbuhan, kondisi stress sementara
(kehamilan, infeksi) manifestasi klinis anemia, gagal jantung kongestif, ulkus tungkai.

Untuk pasien dengan thalassemia – β mayor, transfusi darah yang teratur perlu dilakukan
untuk mempertahankan hemoglobin diatas 10g/dl setiap saat. Hal ini biasanya membutuhkan
2-3 unit tiap 4-6 minggu. Darah segar yang telah disaring untuk memisahkan leukosit,
menghasilkan eritrosit dengan ketahanan yang terbaik dan reaksi paling sedikit.
Hemosiderosis adalah akibat terapi transfusi jangka panjang yang tidak dapat dihindari
karena setiap 500 ml darah membawa kira-kira 200 mg besi ke jaringan yang tidak dapat
diekskresikan secara fisiologis. Terapi kelasi besi digunakan untuk mencegah dan mengobati
penimbunan besi. Obat-obat yang digunakan beserta dosis yang direkomendasikan terdapat
pada tabel 1
Tabel 1. Terapi Kelasi Besi pada Penderita Talasemia.

Terapi Rekomendasi
Deferasirox  Dosis awal 20 mg/kg/hari pada pasien yang cukp sering
mengalami transfuse
 30 mg/kg/hari pada pasien dengan kadar kelebihan besi yang tingi
 10-15 mg/kg/hari pada pasien dengan kadar kelebihan besi yang
rendah
DFO  20-40 mg/kg (anak-anak), = 50-60 mg/kg (dewasa
 Anak < 3 tahun, kurangi dosis dan lakukan pemantuan
pertumbuhan dan perkembangan tulang.
Deferiprone  75 mg/kg/hari
 Dapat kombinasikan dengan DFO bila DFO tidak efektif
Pada masa lalu, penderita thalasemia β mayor yang secara rutin mendapat transfuse
darah akan meninggal saat usia belasan tahun akibat penumpukan besi. Namun sekarang
pasien thalasemia β mayor dapat mengikuti terapi regimen transfuse dan kelasi besi.
Pengobatan dengan kelasi besi ini menaikan tingkat harapan hidup pasien hingga mencapai
usia 30-an. Asam folat diberikan 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat
jika asupan diet buruk.
Splenektomi, dengan indikasi limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak
penderita, menimbulkan peningkatan tekanan intraabdominal dan bahaya terjadinya ruptur,
juga dilakukan untuk mengurangi kebutuhan darah. Splenektomi sebaiknya dilakukan pada
umur 5 tahun keatas saat fungsi limpa dalam sistem imun dapat diambil alih oleh organ
19
lomfoid. Imunisasi terutama terhadap virus hepatitis B dan C perlu dilakukan untuk
mencegah infeksi virus tersebut melalui tubuh. Secara berkala dilakukan pemantauan fungsi
organ seperti jantung, hati, paru, endokrin termasuk kadar glukosa darah, gigi, telinga, mata,
dan tulang. Transplantasi sel punca alogenik menawarkan kemungkinan sembuh permanen.
Tingkat keberhasilan adalah 80-90% pada pasien-pasien mudah dengan kelat yang baik tanpa
fibrosis hati atau hepatomegali.

II. Kesimpulan

III. Daftar Pustaka

1. Supartondo, S Bambang. Anamnesis. Ed 5th. Jilid I. Jakarta:


InternaPublishing; 2009.25-7.
2. Bickley LS. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan Bates.Ed 8th.
Jakarta: EGC; 2009.344-7.
3. Peter A. Hilger, M.D. Penyakit Hidung. BOIES Buku Ajar Penyakit THT
Edisi6. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 1997: hlm.210
4. Mark S Dykewicz, MD, et al. Diagnosis and Management of Rhinitis:
Complete Guidelines of the Joint Task Force on Practice Parameters in
Allergy, Asthma and Immunology. Annals of allergy, asthma, & immunology.
Volume 81, november (part II), 1998 : hlm. 478

5. Rhinitis Alergi http://www.scribd.com/doc/31033909/Rhinitis-Alergi diunduh


20 Maret 2017, 9pm
6. Irawati N, Poerbonegoro NL, Kasakeyan E. Rinitis vasomotor. Dalam:
Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restutia RD, editor. Buku kuliah
ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Edisi ke-7. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2014.h.106-11.

7. Alergi rhinitis http://obtrando.files.wordpress.com/2010/03/rhinitis-alergi.pdf


diunduh 20 Maret 2017, 9pm
8. National Library of Medicine. Allergic Rhinitis. Diunduh dari :
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000813.htm. [Diakses 20
Maret 2017].

20
9. Snow, J B., Ballenger, J J. Allergic Rhinitis. In: Ballenger’s
Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery Edition 9th. Spain: BC Decker;
2003; 708-731.

21

Anda mungkin juga menyukai