Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kapang atau jamur sudah dikenal oleh manusia sejak jaman dahulu. Cara

hidup mikroorganisme tersebut adalah dengan bergantung pada organisme lain

sehingga disebut organisme heterotrof. Beberapa diantara kelompok kapang ada

yang merupakan kapang patogen. Kapang patogen adalah kapang yang dapat

menyebabkan penyakit pada tanaman budidaya. Salah satu spesies kapang

patogen yang sering menyebabkan penyakit pada tanaman adalah kapang

Colletotrichum capsici. Salah satu tanaman yang dapat terserang oleh kapang

Colletotrichum capsici yaitu cabai dan nama penyakit yang disebabkan oleh

kapang tersebut ialah penyakit antraknosa.

Tanaman cabai (Capsicum sp.) merupakan salah satu dari tanaman

komoditas hortikultura yang banyak digemari oleh masyarakat sehingga banyak

dibudidayakan, salah satu diantaranya ialah cabai merah (Capsicum annum L.)

karena mengandung senyawa-senyawa yang berkhasiat untuk kesehatan.

Beberapa senyawa yang terkandung dalam cabai ialah capsaicin yang merupakan

unsur aktif yang pokok, dapat digunakan sebagai obat untuk pengobatan sirkulasi

darah yang tidak lancar. Senyawa kapsikidin berguna memperlancar sekresi asam

lambung dan mencegah infeksi sistem pencernaan (Wiryanta, 2002).

Pembudidayaan tanaman cabai bertujuan untuk meningkatkan faktor ekonomi di

masyarakat. Namun, penanaman cabai tersebut seringkali mengalami kendala

dalam meningkatkan produktifitasnya. Hama dan penyakit merupakan salah satu

kendala bagi tanaman dalam melakukan peningkatan produktivitas.

1
2

Salah satu kendala dalam upaya budidaya tanaman cabai adalah penyakit

antraknosa. Penyakit ini disebabkan oleh kapang Colletotrichum capsici yang

menyebabkan kerugian besar. Penyakit ini tidak hanya merugikan pada saat

penanaman di lapangan tetapi juga pada waktu pasca panen. Pada tahun 2010 total

produksi cabai besar di Jawa Tengah sebanyak 1.344377 kw atau turun 3,97%

dibandingkan dengan produksi tahun 2009 sebanyak 1.399.9333 kw dengan luas

panen sebesar 25.387 ha karena penyakit antraknosa (Bank Indonesia, 2011) dan

pada tahun 2015 di Desa Purwomartani, Sleman, Yogyakarta tanaman cabai milik

petani terserang penyakit antraknosa sehingga mengalami kerugian, hasil ini

didapatkan berdasarkan hasil observasi dan wawancara di lapangan yang

dilakukan oleh penulis pada saat melakukan Praktek Kerja Lapangan.

Harga jual buah cabai yang terserang oleh penyakit antraknosa menurun,

sehingga merugikan petani. Serangan utama dari kapang patogen C.capsici adalah

pada buah. Serangan pada buah ditandai dengan adanya bercak coklat atau hitam

yang terus melebar, buah akan kering membusuk dan keriput (Wiryanta, 2002).

Gejala serangan penyakit antraknosa yang timbul pada daun menyebabkan daun

memiliki bercak hitam, namun serangan berat dari kapang tersebut akan terjadi

jika sudah menyerang batang dan buah (Tjahyadi, 1989). Kerusakan dengan ciri-

ciri tersebut merupakan gejala penyakit antraknosa.

Pengendalian penyakit antraknosa ini biasanya menggunakan fungisida

sintesis secara intensif. Penggunaan fungisida ini memiliki dampak negatif pada

lingkungan. Pengendalian menggunakan fungisida sintesis memerlukan biaya

yang tidak sedikit dan juga efek yang ditimbulkan juga akan berpengaruh negatif

pada manusia dan lingkungan. Menurut Indratmi (2009) akibat intensifnya


3

penggunaan fungisida sintesis dilaporkan bahwa beberapa jenis patogen telah

resisten terhadap senyawa benomil, kuintozen, dan blastidin-s serta terdapat

residu bahan kimia pada hasil pertanian sehingga jika ditanggulangi lagi dengan

senyawa tersebut tidak berpengaruh terhadap kapang patogen.

Upaya untuk mengurangi intensitas penggunaan pestisida, perlu dilakukan,

salah satu alternatif pengendalian kapang patogen ialah pengendalian secara

biologis yang tidak menimbulkan efek samping yang merugikan konsumen. Salah

satu cara pengendalian kapang secara biologis adalah dengan menggunakan

kapang antagonis. Mulai abad ke-19 tepatnya pada tahun 1926 oleh Sanford dan

Broadcast telah dikembangkan penelitian pengendalian hayati dengan meman-

faatkan mikroorganisme antagonis sebagai pengendali penyakit tanaman.

Di dalam ekosistem tanah, selain terdapat berbagai spesies kapang patogen,

juga terdapat kapang antagonis. Kapang antagonis memiliki kemampuan untuk

mengendalikan pertumbuhan koloni kapang patogen agar tidak menyebabkan

penyakit pada tanaman budidaya. Mikrobia yang hidup di sekitar akar tanaman

sebagai agen biopestisida secara langsung maupun tidak langsung dapat berperan

untuk mengontrol penyakit (Soenartiningsih, 2011). Beberapa kapang mempunyai

potensi sebagai agen pengendali hayati kapang patogen, salah satu diantaranya

adalah Gliocladium. Gliocaladium virens dapat bertindak sebagai dekomposer

dan pengendali hayati patogen tanaman (Herlina, 2013). Kapang Gliocladium

virens dapat menghasilkan senyawa metabolit seperti gliotoksin, viridian, dan

paraquinon yang bersifat fungitoksik terhadap patogen (Gusnawaty, 2013),

beberapa enzim juga dihasilkan pada saat mekanisme antagonisme misalnya

campuran polisakarida dan protein, khitin (β-1,4-Nacetyl glucosamine) dan β-1,3-


4

glukosa atau β-1,6-glukosa sehingga menyebabkan runtuhnya dinding sel

(Syatrawati, 2005) sedangkan Gliocladium roseum juga menghasilkan toksin serta

beberapa enzim misalnya enzim β-1,3-glukonase dan kitinase yang dapat meng-

hancurkan dinding sel kapang patogen dalam peristiwa mekanisme antagonisme

(Li et al, 2002). Mekanisme pengendalian kapang patogen oleh kapang antagonis

disebut dengan mekanisme antagonisme. Aktifitas pengendalian yang dilakukan

oleh kapang antagonis ada beberapa mekanisme yaitu, hiperparasitisme,

antibiosis, kompetisi, dan lisis (Pal and Gardener, 2006).

Hasil penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh Agarwal et all (2011)

melalui percobaan dual culture menunjukkan bahwa pada hari ke lima setelah

inkubasi, kapang antagonis Gliocladium virens dapat menghambat pertumbuhan

kapang patogen A. niger sebesar 70,40%. Kapang Gliocladium roseum dapat

menekan pertumbuhan Colletotrichum acutatum sebesar 43% pada penelitian

yang dilakukan oleh Zivkovic (2010). Penelitian ini menggunakan 2 spesies

kapang antagonis yaitu Gliocladium virens dan Gliocladium roseum. Daya

antagonis kedua spesies tersebut terhadap Colletotrichum capsici dapat berbeda

satu sama lain. Hal ini dapat dibuktikan melalui metode dual culture. Berdasarkan

uraian di atas maka penulis tertarik untuk meneliti daya antagonis kapang

Gliocladium virens dan Gliocladium roseum terhadap pertumbuhan kapang

Colletotrichum capsici penyebab penyakit antraknosa pada cabai (Capsicum

annum L.)”. Adapun mekanisme antagonisme antara kapang antagonis dan

kapang patogen yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan melalui observasi

secara mikroskopis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas wawasan

tentang pengendalian hayati serta spesies yang mempunyai daya antagonis lebih
5

tinggi dapat disarankan untuk digunakan dalam pengendalian hayati kapang

Colletotrichum capsici setelah penelitian lebih lanjut.

B. Tujuan

Penelitian ini memiliki beberapa tujuan sebagai berikut.

1. Untuk meneliti daya antagonime kapang Gliocladium virens dan

Gliocladium roseum terhadap kapang Colletotrichum capsici.

2. Untuk menentukan daya antagonisme yang lebih tinggi antara Gliocladium

virens dan Gliocladium roseum terhadap Colletotrichum capsici.

3. Untuk meneliti mekanisme antagonisme yang terjadi antara kapang

Gliocladium virens dan kapang Colletotrichum capsici.

4. Untuk meneliti mekanisme antagonisme yang terjadi antara kapang

Gliocladium roseum dan kapang Colletotrichum capsici.

C. Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini dirumuskan sebagai berikut.

Terdapat pengaruh perbedaan spesies kapang Gliocladium pada daya

antagonisme terhadap Colletotrichum capsici.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini antara lain sebagai berikut.

1. Untuk menambah wawasan dalam bidang Mikrobiologi, khususnya tentang

potensi kapang antagonis Gliocladium virens dan Gliocladium roseum

sebagai pengendali hayati kapang Colletotrichum capsici.


6

2. Sebagai dasar untuk penelitian lebih lanjut mengenai daya antagonis kapang

Gliocladium virens dan Gliocladium roseum terhadap kapang patogen yang

lain.

3. Pemanfaatan Gliocladium sebagai salah satu alternatif lain pengganti

fungisida sintetik yang ramah lingkungan.

E. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian ini meliputi :

1. Isolat Colletotrichum capsici, Gliocladium virens, dan Gliocladium roseum

yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Laboratorium

Mikrobiologi Institut Pertanian Bogor.

2. Pengujian daya antagonisme antara kapang antagonis Gliocladium virens, dan

Gliocladium roseum terhadap Colletotrichum capsici dilakukan dengan

metode dual culture secara in vitro.

3. Pengamatan mekanisme antagonisme antara kapang antagonis dan kapang

patogen dilakukan berdasarkan pengamatan mikroskopis dan makroskopis.

F. Asumsi Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini menggunakan asumsi sebagai berikut:

1. Semua kapang Colletotrichum capsici, Gliocladium virens, dan Gliocladium

roseum yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kondisi viabilitas yang

sama pada medium Potato Dextrose Agar (PDA).

2. Faktor suhu, temperatur, kelembaban udara, dan faktor lingkungan lainnya di

dalam laboratorium dianggap stabil.


7

G. Definisi Operasional

Definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut.

1. Pengujian daya antagonisme kapang Gliocladium virens dan Gliocladium

roseum terhadap pertumbuhan Colletotrichum capsici dilakukan dengan

metode dual culture yaitu koloni kapang antagonis dan patogen dibiakkan

dalam satu cawan petri secara berhadapan pada jarak 3 cm pada medium

PDA dan diinkubasikan pada suhu 26o C selama 4x24 jam.

2. Cara menghitung daya antagonisme kapang Gliocladium virens dan

Gliocladium roseum yaitu dengan menghitung persentase selisih jari-jari

koloni kapang patogen yang menjauhi kapang antagonis dengan jari-jari

koloni kapang patogen yang mendekati kapang antagonis, dibagi dengan

jari-jari koloni kapang patogen yang menjauhi kapang antagonis.

3. Mekanisme antagonisme kapang Gliocladium virens dan Gliocladium

roseum terhadap Colletotrichum capsici yang diteliti yaitu kompetisi,

dilihat berdasarkan perbandingan pertumbuhan koloni kapang antagonis

dan kapang patogen pada cawan petri melalui pengamatan makroskopis

pada hari ke 4 setelah inokulasi. Mekanisme antagonisme yang diteliti

selanjutnya yaitu mikoparasitisme, dilihat berdasarkan bentuk mekanisme

antar hifa yang menyebabkan hifa kapang patogen menjadi bening dan

mengalami kerusakan struktur hifa. Pengamatan dilakukan pada hari ke 4

setelah inokulasi melalui pengamatan mikroskopis dengan bantuan

mikroskop cahaya dan mikroskop elektron.


8

4. Isolat Colletotrichum capsici, Gliocladium virens dan Gliocladium roseum

yang digunakan dalam penelitian ini merupakan isolat kapang yang peroleh

dari Laboratorium Kultur Institut Pertanian Bogor.

5. Penelitian pengujian daya antagonisme antara kapang antagonis

Gliocladium virens dan Gliocladium roseum terhadap Colletotrichum

capsici dilakukan dengan metode dual culture secara in vitro dilakukan di

Laboratorium Mikrobiologi Universitas Negeri Malang.

Anda mungkin juga menyukai