Anda di halaman 1dari 161

5 Jagoan (Cun Ciu Ngo Pa) Jilid 1

28/03/2012 at 5:07 pm (5 Jagoan - Cun Ciu Ngo Pa)


Tags: 5 Jagoan, 5 Jagoan Musim Semi dan Musim Gugur, 5 Raja, Cho Cioe Beng, Cho Ciu Beng, Cun Ciu
Cho Coan, Cun Ciu Ngo Pa, Khong Hu Cu, Marcus Aceng Satyawan

5 Jagoan / 5 Raja / Cun Ciu Ngo Pa / 5 Jagoan Musim Semi dan Musim Gugur

Original Author: Cho Cioe Beng


Original Title: Cun Ciu Cho Coan

Naskah ini diperbaiki dan ditambahi oleh Khong Hu Cu dan kemudian roman ini berubah nama menjadi
Cun Ciu Ngo Pa “5 Jagoan Musim Semi dan Musim Gugur” yang menjadi cerita bersambung di Harian
Sinar Harapan

Diceritakan kembali oleh :


Marcus Aceng Satyawan

Roman klasik Tiongkok, menceritakan zaman Cun Ciu (Musim Semi dan Musim Gugur) Tiongkok yang
merupakan zaman paling kacau balau. Dalam kisah ini muncul lima jagoan yang terdiri dari raja muda
yang saling berebut kekuasaan.

—ooOOOoo—

Bab 1 – Cee Hoan Kong

Raja negeri Cee bernama Cee Siang Kong. Baginda berputra dua orang. Putra sulungnya bernama Kiu,
dilahirkan oleh istri pertama baginda. Istri baginda ini berasal dari negeri Louw. Putra baginda yang ke-
dua bernama Siao Pek. Anak ini lahir dari istri kedua baginda, seorang putri berasal dari negeri Kiu.
Kedua putra Raja Cee itu dilahirkan dari istri-istri mudanya (selir-selirnya), tetapi kedua putra baginda ini
sudah diaku sah sebagai putra Raja Cee. Malah mereka sudah hendak dicarikan guru untuk dipimpin
atau dididik dalam ilmu Bun (sastra) maupun Bu (kemiliteran).

Mendengar niat baginda, Koan I Gouw alias Koan Tiong sangat tertarik. Dia ingin menjadi guru salah satu
dari kedua putra raja tersebut. Koan Tiong lalu menemui seorang menteri sahabatnya. Dia bernama Pao
Siok Gee. Kemudian mereka membahas niat baginda dengan Pao Siok Gee.

”Putra Raja kita ada dua orang,” kata Koan Tiong, ”di kemudian hari mereka pasti raja. Jika bukan Kiu,
pasti Pangeran Siao Pek. Bagaimana jika kita masing-masing mendidik salah seorang dari mereka? Jika di
kemudian hari mereka sudah siap manggantikan ayahnya. Kita lihat, siapa di antara mereka yang
beruntung?”

”Baik, aku setuju pada pendapatmu itu,” jawab Pao Siok Gee.

Mereka sepakat akan mendidik salah seorang dari kedua pangeran itu. Kemudian Koan Tiong dan Siao
Hut menemui Raja Cee. Mereka memohon agar mereka diizinkan menjadi guru Pangeran Kiu. Begitu
juga Pao Siok Gee. dia juga memohon untuk menjadi guru Pangeran Siao Pek. Permohonan kedua
menteri yang akhli dan pandai itu diluluskan oleh Cee Siang Kong.

Sejak saat itu kedua pangeran belajar di bawah pimpinan Koan Tiong dan Pao Siok Gee. Pangeran Siao
Pek belajar di bawah pimpinan Pao Siok Gee dan Pangeran Kiu belajar di bawah pimpinan Koan Tiong.

***

Ada peristiwa yang tak senonoh terjadi atas Raja Cee. Setiap kali Cee Siang Kong bertemu dengan Bun
Kiang, adik kandungnya, mereka melakukan perselingkuhan. Kelakuan Raja Cee main serong dengan
adik kandungnya lama-lama ketahuan juga. Salah seorang Pao Siok Gee yang memergoki mereka.
Perbuatan itu oleh Pao Siok Gee dianggap sangat biadab dan memalukan. Suatu hari Raja Cee akan
menemui adiknya, Bun Kiang di Tanah Ko.

Mendengar niat Raja Cee ke Tanah Ko, Pao Siok Gee menasihati Raja Cee agar baginda tidak pergi ke
sana. Pao Siok Gee juga minta agar baginda mau mengubah kelakuannya. Keadaan lebih buruk lagi,
karena adiknya Bun Kiang, sudah menikah dengan raja dari negeri Louw. Tetapi nasihat Pao Siok Gee
tidak dihiraukan.

Sesudah Pao Siok Gee resmi menjadi guru Pangeran Siao Pek, dia tetap berusaha ingin menasihati Raja
Cee. Kali ini lewat Pangeran Siao Pek. Dia minta muridnya itu membujuk ayahnya agar mengubah
tingkah buruknya.

”Kekejian Maha-Raja sudah tersiar, sehingga rakyat tidak senang,” kata Pao Siok Gee. ”Jika Kong-cu
(Pangeran) tidak mencegahnya, aib itu akan bertambah besar! Tetapi jika baginda mau mengubah sikap,
keburukan itu bisa agak reda. Tetapi jika usahamu gagal selanjutnya bahaya akan mengancam kita.
Seumpama sebuah bendungan air, jika terlalu penuh isinya, pasti airnya meluap. Kemudian menjadi air
bah! Maka itu Kong-cu harus memperingatkan Ayahmu.”
Mendengar keterangan gurunya Siao Pek kaget, dia tidak menyangka ayahnya main serong dengan
bibinya. Sesudah berpikir sejenak Siao Pek berjanji akan menasihati ayahnya. Dia berjanji akan berusaha
sampai ayahnya itu insyaf.

Suatu saat dia masuk ke istana ayahnya. Dia langsung menemui ayahnya. Sesudah memberi hormat,
dengan muka manis Siao Pek berkata, ”Ayah, aku harap Ayah tidak marah, karena aku punya sedikit
kata-kata yang hendak disampaikan pada Ayahanda. Sekali lagi mohon Ayahanda tidak marah.”

”Katakan, soal apa itu?” kata Raja Cee.

”Seperti khabar yang tersiar di luaran, hamba mendengar gosip tentang kematian Raja Louw. Hamba
dengar tuduhan buruk ditujukan kepada Ayahanda. Orang membuat cerita burung tentang Ayahanda.
Terutama mengenai pergaulan Ayah dengan kaum lelaki dan perempuan. Hamba dengar orang
mencurigai dan menuduh yang bukan-bukan pada Ayah. Hamba rasa lebih baik Ayah membatalkan niat
akan pergi ke tanah Ko.” kata Siao Pek.

”Apa kau bilang? Anak kurang ajar!” sentak Cee Siang Kong marah. ”Kau satu anak kecil, mengapa kau
berani banyak omong di depanku? Ayo, lekas pergi dari sini!”

Sehabis mengucapkan kata-kata kasar itu, Raja Cee mengangkat kakinya dan menendang. Dengan sigap
Siao Pek mengelak hingga luput dari tendangan ayahnya. Siao Pek buru-buru berlari keluar, terus kabur
meninggalkan istana. Kejadian itu buru-buru dia sampaikan kepada Pao Siok Gee.

”Aku rasa orang keji pasti akan mendapat balasan yang setimpal juga,” kata Pao Siok Gee.

”Aku bersedia pergi bersamamu, Pangeran.”

”Pergi ke mana?” tanya Siao Pek bingung.

”Mari kita pergi ke negeri orang. Sementara di sana kita tunggu saat yang baik bagimu, Pangeran!” kata
Pao Siok Gee.

”Baik, aku setuju Su-hu. Tetapi pergi ke negeri apa?” tanya Siao Pek.

”Kegembiraan dan bencana di negeri besar tidak menentu, alangkah baiknya jika kita pergi saja ke
negeri Ki. Di negeri Ki yang kecil dan letaknya sangat dekat dengan negeri Cee ini,” kata Pao Siok Gee.
”Karena kecilnya negeri Ki, maka negeri itu tidak menarik perhatian. Aku yakin di sana tidak akan ada
yang menghina kita. Sedang jaraknya yang dekat dengan negeri Cee, akan memudahkan jika kita akan
pulang kampung.”

”Ya, baiklah, aku setuju,” kata Siao Pek.

Begitulah diam-diam mereka meninggalkan negeri Cee. Ketika mendapat laporan, Raja Cee Siang Kong
tidak memusingkan kepergian putera dan menterinya itu.

***
Suatu ketika Raja Cee Siang Kong dibunuh oleh Kong-sun Bu Ti, kerajaannya dirampas. Dalam rapat
sesudah Kong-sun Bu Ti berkuasa, Kwan Ci Hu usul pada raja baru itu. Dia minta agar Kong-sun Bu Ti
memanggil Koan Tiong untuk dijadikan menteri. Usul itu diterima oleh Kong-sun Bu Ti. Dia segera
memerintahkan orang mengundang Koan Tiong.

Dia minta agar Koan Tiong mau bekerja sama dengannya. Tetapi Koan Tiong menolak ajakan itu. Dengan
sengit Koan Tiong berkata, ”Ha, bagus betul tingkah pengkhianat itu! Dia tidak sadar golok yang tajam
sudah hampir sampai di lehernya. Malah dia mau merembet-rembet orang lain?!”

Koan Tiong segera berunding dengan Siao Hui untuk mencari akal menghindar dari Kong-sun Bu Ti.
Mereka berpendapat negeri Louw negara ibu Pangeran Kiu. Negeri itu tidak ubahnya seperti rumah
Pangeran Kiu juga. Mereka lalu mengajak Pangeran Kiu pergi berlindung ke negeri Louw.

Raja Louw Cong Kong menerima baik kedatangan mereka, malah mereka diberi tempat tinggal di tanah
Seng-touw. Makan dan pakaian mereka setiap bulannya dikirim sampai cukup.

***

Pada tahun Louw Cong Kong ke-dua belas…..

Waktu itu tepat pada musim Cun (semi) di bulan Ji-gwe (bulan 12). Ketika itu Kong-sun Bu Ti sudah
menjadi raja di negeri Cee. Seluruh pejabat baik sipil dan militer waktu itu hendak memberi selamat
kepada raja baru itu. Ketika itu mereka sudah berkumpul di kamar samping istana sedang menunggu
waktu dibukanya persidangan. Di ruang tunggu tersebut tingkah-laku Lian Ceng dan Kwan Ci Hu sangat
angkuh dan sombong. mereka pikir mereka berdualah yang telah membantu Kong-sun Bu Ti
menggulingkan Cee Siang-kong. Lantaran jasa mereka berdua Cee Siang Kong binasa. Kemudian Kong-
sun Bu Ti pun naik tahta menjadi raja. Mereka pikir pahala mereka sangat besar. Tidak mengherankan
jika tingkah mereka jadi sombong, dan tidak memandang sebelah mata pada menteri lain yang juga ikut
berjasa.

Sebagian besar menteri-menteri jadi sangat benci kepada kedua menteri yang congkak itu. Kebencian
mereka itu terlihat jelas dari tingkah mereka.Yong Lim mengerti bagaimana keadaan dan perasaan para
menteri itu. Dengan sengaja dia berkata kepada rekan-rekannya itu, ”Tadi aku dengar ada tamu yang
datang dari negeri Louw. Tamu itu bercerita bahwa Pangeran Kiu hendak meminjam tentara dari negeri
Louw akan menyerang ke negeri Cee. Apakah Tuan-tuan sudah mendengar khabar itu?”

Semua pembesar di tempat itu saling pandang di antara mereka. Mereka bilang, ”Kami tidak tahu
mengenai khabar itu.”

Sebelum Yong Lim melanjutkan ceritanya lebih jauh, lonceng istana sudah terdengar dibunyikan.
Lonceng sebagai tanda Kong-sun Bu Ti sudah duduk di atas tahtanya. Maka semua pembesar lantas
masuk ke dalam istana untuk memberi selamat. Setelah upacara pengangkatan raja baru itu selesai
dijalankan, persidangan pun ditutup. Semua pembesar keluar dari istana. Sebagian besar menteri itu
tidak segera pulang ke rumahnya. Mereka langsung ke rumah Yong Lim. Mereka mau minta keterangan
lebih jauh tentang khabar Pangeran Kiu yang hendak memerangi negeri Cee. Sesudah mereka
berkumpul, salah seorang langsung bicara.

”Benarkah apa yang Tuan katakan di istana tadi? Apakah benar Pangeran Kiu sudah siap menyerang
negeri ini?” tanya salah seorang pembesar.

Yong Lim tidak langsung menjawab, malah dia berbalik bertanya.

”Jika benar Kong-cu Kiu datang membawa angkatan perang yang dipinjam dari negeri Louw dan
menyerang negeri Cee. Apa pendapat Tuan-tuan mengenai hal ini?” tanya Yong Lim.

”Sekalipun Raja Cee Siang Kong almarhum tidak bijaksana dan tidak benar saat menjadi raja. Tetapi
putera beliau tidak berdosa. Siang dan malam aku mengharap-harap kedatangannya,” kata Tong Kok
Gee. Suaranya mantap tetapi agak terisak karena terharu.

Mendengar ucapan Tong Kok Gee, sebagian besar pembesar-pembesar itu meneteskan air
mata mereka.”Tadi aku ikut berlutut bukan karena aku tunduk kepada Kong-sun Bu Ti,” kata
Yong Lim.

Yong Lim girang karena banyak menteri yang sependapat dengannya.

”Aku diam saja tidak melawan, karena aku belum tahu bagaimana isi hati Tuan-tuan sekalian. Sekarang
jika Tuan-tuan suka bahu-membahu menyingkirkan si pengkhianat. Mari kita angkat putera Raja Cee
Siang Kong almarhum menjadi raja kita. Perbuatan ini baru bisa dikatakan kita adalah menteri yang setia
dan tahu kewajibannya.”

Semua pembesar menyatakan setuju pada pendapat Yong Lim.

”Tetapi bagaimana caranya kau mau melaksanakan masalah ini?” tanya Tong Kok Gee.

”Kho He alias Keng Tiong, seorang menteri yang sudah turun-temurun dari Kerajaan Cee. Beliau seorang
yang cerdas dan pandai. Beliau juga paling ditakuti dan dipercaya oleh semua orang,” kata Yong Lim.
”Sedang Lian Ceng dan Kwan Ci Hu, dua pengkhianat besar! Malah aku dengar mereka mencoba
membujuk Kho He, agar Kho He mau berpihak kepada Kong-sun Bu Ti. Jika mereka berhasil membujuk
Kho He ke pihaknya, maka pengaruh akan bertambah besar. Tetapi tahukah tuan-tuan, keinginan
mereka tidak terpenuhi. Mereka sangat mendongkol kepada Keng Tiong.”

”Syukurlah kalau begitu,” kata Tong Kok Gee dengan sangat girang. ”Lalu apa akal kita sekarang?”

”Kita minta pada Kho He supaya dia mengatur sebuah perjamuan. Kemudian mengundang kedua
pengkhianat itu datang ke pesta tersebut. Mereka pasti akan sangat girang sekali, karena mereka
mengira Kho He bersedia bekerja sa-ma dengan mereka. Mereka pasti akan datang ke pesta itu,” kata
Yong Lim ”Nanti aku akan berpura-pura memberi khabar kepada Kong-sun Bu Ti. Akan kukatakan bahwa
Pangeran Kiu te-lah mengerahkan angkatan perangnya. Karena dia sangat bodoh dan tidak punya
kekuatan, niscaya dia percaya saja pada khabar ini. Nanti jika aku sudah bisa mendekatinya, aku akan
menikam hulu hatinya, pasti dia binasa! Kemudian aku akan menyalakan api sebagai pertandaan. Kjo He
boleh segera menutup rapat pintu rumahnya. Kemudian membasmi dua pengkhianat itu. Dengan
demikian, bukankah urusan ini lantas bisa dibereskan seperti gampangnya membalikkan telapak
tangan?”

”Ya, ini salah satu siasat yang sangat bagus!” kata Tong Kok Gee dengan girang, ”Bagi Kho He, sekalipun
kami tahu dia sangat benci pada Raja Cee Siang Kong almarhum. Tapi demi kepentingan negeri ini, pasti
dia tidak akan menolak membantu. Aku berani jamin, pasti dia akan setuju dengan rencana kita ini.”

Semua menteri turut girang, masing-masing berjanji dan bersedia membantu dengan segenap hati. Tong
Kok Gee segera pergi ke rumah Kho He. Dia langsung bicara dengan Kho He dan memberitahukan
rencana mereka dan siasat Yong Lim yang hendak mereka atur dan jalankan.

Kho He memang sangat benci kepada kedua pengkhianat dan kepada Kong-sun Bu Ti. Begitu mendengar
rencana rekan-rekannya, dia langsung setuju. Dia memerintahkan Tong Kok Gee agar pergi ke rumah
Lian Ceng dan Kwan Ci Hu untuk menyampaikan undangannya. Maka bergegaslah Tong Kok Gee ke
rumah kedua pengkhianat itu.

Ketika Tong Kok Gee sampai, kedua pengkhianat itu menerima kedatangan Tong Kok Gee dengan girang.
Sesudah berbasa-basi, Tong Kok Gee menyampaikan undangan dari Keng Tiong pada mereka. Tentu saja
mereka gembira sekali menerima undangan itu. Mereka langsung berjanji akan datang ke pesta
tersebut.

***

Ketika waktu yang ditetapkan telah tiba. Lian Ceng dan Kwan Ci Hu datang ke rumah Kho He. Mereka
disambut dengan gembira oleh menteri tua tersebut. Kemudian mereka dipersilakan masuk ke dalam
rumah. Di ruang tengah telah diatur sebuah meja makan yang penuh dengan santapan yang lezat-lezat.

Sesudah Kho He mempersilakan kedua pengkhianat itu duduk dan mereka sudah duduk dan langsung
bersantap. Kho He memegang cawan arak sambil tersenyum manis. Kemudian Kho He berkata, ”Raja
Cee Siang Kong almarhum telah berbuat banyak hal yang tidak patut, sehingga siang dan malam aku
khawatir negeri Cee akan musnah. Ternyata sekarang! Semua benar-benar terjadi. Beruntung Ji-wi Tay-
hu (Anda berdua Menteri) sudah bisa menjatuhkan Raja Cee Siang Kong. Bahkan sudah bisa mengangkat
Raja yang baru. Dengan demikian maka aku pun bisa menjaga dan memlihara tempat abu leluhur sendiri
dengan tenteram. Tempo hari lantaran aku sedang tidak enak badan, sehingga aku tidak bisa turut
menghadap ke istana. Sungguh aku merasa sangat menyesal. Sekarang untung badanku sudah mulai
sehat, maka aku suguhkan arak ini untuk membalas budi kalian berdua yang besar. Lebih jauh aku ingin
menitipkan anak cucuku pada kalian berdua.”

Lian Ceng dan Kwan Ci Hu bersikap sangat hormat dan merendah, tetapi mereka senang sekali dipuji
begitu. ”Hamba berdua tidak berani menerima pujian yang begitu besar dari Tuan,” kata mereka.

Tengah makan minum Kho He memerintahkan pada anak buahnya agar mereka menutup rapat pintu
rumahnya. ”Hari ini aku mau minum arak sepuas-puasnya.” kata Kho He. Tetapi dengan diam-diam dia
berpesan pada si pengawal pintu,
”Kau jangan melaporkan segala khabar yang datang dari luar, tetapi harus menunggu jika di dalam kota
sudah dinyalahkan api, baru kau boleh datang melapor kepadaku.” kata Kho He lagi sambil berbisik.

***

Di tempat lain pada waktu yang sama, Yong Lim dengan membekal sebilah pisau kecil yang tajam luar
biasa, datang ke istana. Dia langsung menemui Kong-sun Bu Ti. Sesudah bertemu dengan Kong-sun Bu
Ti, Yong Lim langsung melapor.

”Celaka Tuanku!” kata Yong Lim.

”Hai ada apa? Kau tiba-tiba datang begitu gugup dan ketakutan?” kata Kong-sun Bu Ti.

”Celaka Tuanku. Pangeran Kiu telah mengerahkan tentara dari negeri Louw! Dia akan menyerang ke
negeri Cee. Tidak lama lagi mereka akan segera sampai di sini. Apa akal kita? Kita harus segera mengatur
penjagaan yang kuat supaya negeri ini selamat!” kata Yong Lim.

Mendengar khabar itu Kong-sun Bu Ti yang memang bodoh dan penakut sangat terkejut. Dengan
jantung berdebar-debar dia berkata, ”Kok Kiu Lian Ceng ada di mana?”

”Kok Kiu dan Kwan Tay-hu sedang berpesta di luar kota belum bisa pulang. Tetapi semua pembesar
sudah berkumpul di istana. Mereka sedang menunggu Cu-kong (Tuanku) tiba untuk merundingkan
masalah ini.” kata Yong Lim pura-pura gugup dan panik.

Kong-sun Bu Ti percaya saja pada omongan Yong Lim. Buru-buru dia bergegas akan ke istana. Tetapi
baru saja sampai, sebelum sempat duduk dengan sempurna, semua menteri serempak maju. Tiba-tiba
Yong Lim yang ada di belakang Kong-sun Bu Ti, menikam punggung Bu Ti dengan pisau kecil di
tangannya. Saat itu juga dia binasa. Kong-sun Bu Ti naik tahta menjadi raja cuma sebulan lamanya.

Nyonya Lian, yaitu bekas isteri muda Raja Cee Siang Kong almarhum yang direbut oleh Kong-sun Bu Ti,
mendengar khabar telah terjadi huru-hara di istana, dia langsung menjerat lehernya sendiri dan
meninggal dengan sangat mengenaskan di dalam istana. Yong Lim memerintahkan orangnya agar
menyalakan api di luar istana. Begitu api menyala asapnya segera mengepul tinggi ke angkasa.

Ketika itu Kho He sedang asyik makan minum bersama kedua pengkhianat Lian Ceng dan Kwan Ci Hu.
Mendengar suara pintu diketuk dan mulai terdengar orang berseru.

”Di luar api sudah dinyalakan!”

Mendengar tanda rahasia ini, Kho He bangun dan lari masuk ke dalam kamarnya. Lian Ceng dan Kwan Ci
Hu tidak mengerti apa maksud tuan rumah berlari ke dalam kamarnya. Baru saja mereka hendak ikut
mengejar,dan ingin bertanya pada Kho He. Orang-orang Kho He yang gagah dan tadi bersembunyi di
suatu tempat. Secara bersamaan mereka keluar. Mereka langsung melabrak dan mencincang kedua
pengkhianat itu. Tubuh mereka berdua menjadi beberapa potong. Para pengikut dua pengkhianat itu
karena tidak membawa senjata, saat itu semua dihabisi jiwanya.
Tidak berapa lama Yong Lim dan menteri-menteri lainnya telah datang ke gedung keluarga Kho. Mereka
segera mengadakan pertemuan. Dalam pertemuan itu telah diambil keputusan, bahwa kedua
pengkhianat itu harus dibedah perutnya dan dikeluarkan hatinya untuk menyembahyangi arwah
almarhum Raja Cee Siang Kong. Lalu diperintahkan agar orang pergi ke istana Kouw-hun, yaitu tempat
Raja Cee Siang Kong dibinasakan, yaitu ketika beliau sedang pergi berburu. Orang-orang itu
diperintahkan untuk mengambil jenazah Raja Cee Siang Kong yang akan dikuburkan kembali dengan
upacara raja-raja. Kemudian dikirim utusan pergi ke negeri Louw untuk menyambut kedatangan
Pangeran Kiu yang akan diajak pulang ke negeri Cee.

Ketika utusan dari negeri Cee sampai ke negeri Louw dan mereka memberitahukan kepada Raja Louw
Cong Kong, tentang maksud kedatangan mereka, Raja Louw Cong Kong sangat girang. Beliau berjanji
akan mengerahkan angkatan perangnya untuk mengantarkan Pangeran Kiu.

Tetapi sebelum niat itu dilaksanakan salah seorang menteri negeri Louw, yang bernama Si Pek, segera
mencegah niat Raja Louw Cong Kong itu.

”Negeri Cee dan negeri Louw masing-masing ingin berebut kekuasaan dan kedudukan. Sekarang negeri
Cee tidak punya raja, ini hamba rasa suatu kesempatan baik bagi negeri Louw,” kata Si Pek.

”Apa maksudmu, lalu apa yang harus aku lakukan?” tanya Raja Louw.

”Sebaiknya Tuanku buat supaya keadaan di negeri Cee menjadi bertambah kacau.” jawab Si Pek.

Mendengar nasihat ini Louw Cong Kong termenung sejenak. Tiba-tiba Louw Cong Kong jadi sangsi. Dia
tidak tahu bagaimana harus mengambil keputusan. Ketika itu Ibusuri Bun Kiang, ibu Louw Cong Kong
atau adik perempuan Cee Siang Kong, ketika mendapat khabar Raja Cee Siang Kong sudah terbunuh,
dari Ciok-kiu dia segera pulang ke negeri Louw.

Siang dan malam dia bujuk anaknya supaya mengerahkan angkatan perang untuk menyerang ke negeri
Cee. Dia minta puteranya membinasakan Kong-sun Bu Ti. Maksud Bun Kiang untuk membalas dendam
pada musuh kakaknya. Tetapi setelah mendapat khabar Kong-sun Bu Ti sudah mati. Bahkan utusan dari
negeri Cee datang untuk menyambut Pangeran Kiu supaya pulang. Alangkah senangnya Ibusuri Bun
Kiang. Kemudian dia desak agar Raja Louw Cong Kong segera mengantarkan Pangeran Kiu, anak
kakaknya atau keponakannya ke negeri Cee.

Oleh karena ibu Raja Louw sangat memaksa, Raja Louw Louw Cong Kong jadi bimbang. Maka nasihat Si
Pek tidak dihiraukannya. Dia pimpin 300 kereta perangnya dan beribu-ribu tentara Louw. Dia angkat Co
Moay menjadi kepala perangnya. Cin Cu dan Liang Cu menjadi pembantu di bagian kiri dan di kanan
pasukannya. Iringkan Pangeran Kiu ini berangkat menuju ke negeri Cee.

Di tengah perjalanan Koan Tiong yang ikut pulang berkata kepada Raja Louw.

”Pangeran Siao Pek ada di negeri Ki, dari negeri Ki ke negeri Cee jaraknya lebih dekat
daripada dari negeri Louw ke negeri Cee. Jika Siao Pek sudah masuk lebih dahulu ke ibukota,
niscaya Cu-kong-ku akan kehilangan haknya. Karena itu aku mohon supaya aku diberi kuda
yang baik agar aku bisa berjalan lebih dahulu untuk mencegah Siao Pek bisa merebut
kedudukan Cu-kong-ku.” kata Koan Tiong.

”Ya, pendapatmu benar, kalian mau memakai tentara berapa banyak?” kata Louw Cong Kong.

”Tiga puluh kereta perang saja sudah cukup,” sahut Koan Tiong.

Setelah Koan Tiong menerima apa yang dia minta, segera dia berangkat dengan cepat.

***

Di negeri Ki……

Ketika itu Pangeran Siao Pek sudah mendengar khabar di negeri Cee telah terjadi huru-hara dan ayahnya
telah binasa. Tetapi si pengkhianat Kong-sun Bu Ti sudah binasa juga. Dan sampai saat ini belum
diangkat raja baru sebagai penggantinya. Kemudian dia berunding dengan Pao Siok Gee. Mereka
mencari akal dan apa yang harus mereka lakukan. Dalam perundingan diputuskan bahwa Siao Pek harus
segera pulang ke negeri Cee untuk menerima kedudukan bekas ayahnya. Beruntunglah Siao Pek, ketika
dia meminjam tentara dari negeri Ki, dia mendapat pinjaman sebanyak seratus kereta perang dan
tentara dari Raja Ki. Sesudah mendapat kekuatan maka berangkatlah Lao Pek dengan diiringkan oleh
pasukan Ki untuk pulang ke negeri Cee.

***

Koan Tiong yang memimpin tentara pinjaman dari negeri Louw, siang dan malam dengan cepat berjalan
menuju ke negeri Cee. Ketika sampai di Cek-pek, dia mendengar khabar bahwa tentara dari negeri Ki
sudah lewat di tempat itu. Waktunya sudah cukup lama juga. Koan Tiong kaget dia buru-buru memacu
kudanya dengan cepat. Niatnya menyusul tentara Ki yang sudah ada di depannya. Sesudah berjalan tiga
puluh li lebih, barulah dia bertemu dengan tentara negeri Ki. Ketika itu mereka sedang istirahat. Tampak
tentara Ki sedang masak nasi.

Melihat Siao Pek sedang duduk di dalam kereta, Koan Tiong maju ke dapan Pangeran Siao Pek dan
memberi hormat.

”Kong-cu, sejak berpisah dulu apakah Anda baik-baik saja? Sekarang Kong-cu (Pangeran) hendak pergi
ke mana?” tanya Koan Tiong.

”Ya, aku selalu sehat walafiat. Sekarang aku hendak pu;ang ke negeri Cee untuk menjenguk ayahku yang
katanya sudah wafat,” sahut Siao Pek.

”Pangeran Kiu lebih tua dari Anda. Seharusnya dia yang memimpin upacara berkabung Ayahanda kalian.
Maka aku harap Kong-cu bersedia menunggu sebentar sampai dia datang bertemu dengan Kong-cu di
sini. Dengan demikian Kong-cu tidak cape sendiri,” kata Koan Tiong.

Koan Ting bermaksud hendak mengakali Pangeran Siao Pek.

”Ha, ha, ha, pandai sekali Koan Tiong bicara!” kata Pao Siok Gee.
Ketika itu Pao tidak jauh dari situ. Sambil tertawa dia keras berkata pada Koan Tiong.
”Ayo, lekas kau mundur! Kita wajib membela junjungan kita masing-masing!”

Tentara negeri Ki pun kelihatan geram dan garang-garang mereka siap maju jika diperlukan.

Melihat tentara negeri Ki matanya melotot semua dan alisnya berdiri. Mereka seperti hendak
menggeraki tangan dan menyerang; Koan Tiong jadi khawatir. Dia sadar jumlah tentaranya sangat
sedikit. Jika terjadi pertempuran, pasti mereka akan kalah. Kemudian Koan Tiong pura-pura menurut
dan pergi. Tetapi tiba-tiba sambil melompat ke atas kudanya, Koan Tiong segera mengeluarkan busur
dan anak panah. Dia membidik dan menarik tali busur. Anak panahnya dia tujukan ke arah Pangeran
Siao Pek. Ketika busur panah menjeprat, terdengar Siao Pek berteriak kesakitan. Dari mulut Siao Pek
segera menyembur darah segar! Dia muntah darah dan jatuh dari atas kereta yang dinaikinya.

Pao Siok Gee buru-buru menolongi junjungannya itu.

”Celaka!” teriak Pao Siok Gee.

Mereka menangis tersedu-sedu. Melihat kejadian itu Koan Tiong memimpin tentaranya segera pergi.
ketika itu Koan Tiong menduga Pangeran Siao Pek sudah binasa. Dengan demikian Pangeran Kiu akan
mendapat rejeki menjadi raja di negeri Cee. Koan Tiong memacu kudanya untuk menemui Raja Louw
bersama Pangeran Kiu dan rombongannya.

Tatkala Koan Tiong sudah bertemu dengan pasukan Raja Louw, dia memberitahu Raja Louw, apa yang
sudah terjadi atas Pangeran Siao Pek. Kemudian dia suguhkan secawan arak pada Pangeran Kiu sebagai
tanda ucapan selamat. Sesudah itu baru mereka meneruskan perjalanannya dengan harapan besar.

***

Apa yang sebenarnya telah terjadi atas Pangeran Siao Pek?

Di luar dugaan Koan Tiong, yang terjadi sebaliknya. Anak panah Koan Tiong ternyata hanya mengenai
gaetan ikat pinggang Pangeran Siao Pek!

Karena Pangeran Siao Pek tahu benar ketangkasan Koan Tiong menggunakan busur panah, ketika
terkena anak panah dia kaget. Tetapi dia ingat jika tak menggunakan akal dia khawatir dipanah lagi oleh
Koan Tiong. Maka seketika itu juga dia gunakan sebuah tipu muslihat. Begitu kena anak panah, Siao Pek
buru-buru menggigit ujung lidahnya sehingga berdarah. Lalu dia pura-pura muntah darah sambil pura-
pura jatuh dari keretanya.

Sesudah Koan Tiong kabur dan Pao Siok Gee menggetahui muridnya hanya pura-pura mati, dia senang
sekali, Pao Siok Gee memuji kecerdikan Siao Pek yang dia anggap sangat pandai. Tetapi dia tetap
khawatir Koan Tiong akan kembali lagi. Maka mereka tidak berani ayal lagi. Dia minta Pangeran Siao Pek
segera mengganti pakaiannya. Dia juga diminta pindah ke sebuah kereta tertutup. Kemudian
rombongan itu berangkat lagi dengan memotong jalan lewat jalan kecil.
Ketika sudah hampir sampai ke kota Lim-cu, Pao Siok Gee lebih dahulu masuk ke dalam kota untuk
menemui para menteri negeri Cee. Di hadapan para menteri tersebut Pao Siok Gee memuji-muji
kepandaian Pangeran Siao Pek. Pao Siok Gee mengusulkan agar Pangeran Siao Pek-lah yang diangkat
menjadi raja di negeri Cee.

Semua menteri tampak masih sangsi, di antaranya lalu ada yang bertanya, ”Apabila Pangeran Kiu datang
juga ke sini? Bagaimana kami harus memberi alasan, jika dia datang menuntut? Karena Pangeran Kiu
putera tertua dari almarhum Raja kita!”

”Sudah beruntun dua Raja Cee terbunuh, jika kita tidak mendapatkan seorang Raja yang pandai, pasti
negara ini tetap kacau,” kata Pao Siok Gee. ”Ingat, mana boleh kalian menyambut Pangeran Kiu, padahal
yang sampai lebih dahulu Pangeran Siao Pek. Apakah ini bukan takdir Allah maunya begitu? Lebih jauh
pikirlah, Raja Louw yang mengantarkan Pangeran Kiu pulang. Aku yakin dia bermaksud buruk, dan ingin
menjadi raja di sini. Apa kalian lupa dulu. Ketika Raja Song mengangkat Pangeran Tut menjadi raja di
negeri Cee. Tidak henti-hentinya dia minta suap, sehingga pecah perang bertahun-tahun lamanya.
Ingatlah, negeri kita sudah lama dalam keadaan susah. Apakah kalian kelak mau menuruti perintah dari
Raja Louw?”

”Tetapi bagaimana caranya kita mengucapkan terima kasih kepada Raja Louw yang mau bersusah-payah
mengantarkan Pangeran Kiu kemari?” tanya pula salah satu menteri yang lain.

”Kita sudah punya Raja yang baru, yaitu Pangeran Siao Pek. Dengan demikian pasti dia akan mundur
sendiri jika dia tahu hal ini!” sahut Pao Siok Gee.

”Kami kira omongan Pao Siok Gee benar sekali!” kata Sek Peng dan Tong Kok Gee.

Semua menteri ikut menyetujui rencana itu. Mereka setuju akan mengangkat Pangeran Siao Pek
menjadi raja di negeri Cee.

Pangeran Siao Pek segera diundang ke dalam kota Lim-cu. Kemudian dia dinobatkan menjadi raja
dengan gelar Cee Hoan Kong. Selesai pengangkatan Pao Siok Gee membisiki agar berlaku bijaksana.

Dalam sidang, Raja Cee Hoan Kong mengeluarkan perintah. Dia minta semua panglima perangnya
mengatur penjagaan. Kemudian Raja Cee Hoan Kong memerintahkan Tiong Sun Ciu pergi menemui Raja
Louw Cong Kong. Maksud kepergiannya untuk memberitahukan bahwa di negeri Cee sudah ada raja
baru.

***

Dikisahkan Tiong Sun Ciu yang bergegas menemui rombongan Raja Louw yang ada di tengah perjalanan.
Begitu Tiong Sun Ciu dengan Raja Louw langsung dia menyampaikan pesan Raja Cee Hoan Kong.

”Di negeri Cee sekarang telah ada seorang Raja baru, yaitu Pangeran Siao Pek yang bergelar Raja Cee
Hoan Kong.” kata Tiong Sun Ciu.
Ketika Raja Louw sudah mendengar keterangan Tiong Sun Ciu, Raja Louw Cong Kong kaget ternyata
Pangeran Siao Pek belum mati. Dengan sangat gusar ia berkata, ”Mengangkat seorang raja, seharusnya
yang diangkat harus putera yang sulung! Putera yang lebih muda mana boleh diangkat menjadi raja?
Pendeknya aku katakan, aku tidak akan menarik tentaraku dengan tangan kosong tanpa hasil dari sini!”

Mendengar ancaman Raja Louw Cong Ong tersebut, Tiong Sun Ciu buru-buru mohon diri akan segera
pulang. Sampai di negerinya dia akan menyampaikan ucapan Raja Louw tersebut pada Raja Cee Hoan
Kong.

Tak lama Tiong Sun Ciu sudah tiba di negeri Cee. Dia menyampaikan apa yang diucapkan oleh Raja Lauw
Cong Kong .Khabar tersebut membuat Raja Cee Hoan Kong ngeri. Dia bertanya pada Pao Siok Gee.

”Balatentara dari negeri Louw tidak mau mundur, sekarang kita harus bagaimana?”

”Dengan tentara pula kita akan lawan mereka!” kata Pao Siok Gee dengan gagah.

Pao Siok Gee segera mengeluarkan perintah kepada Yong Lim agar dia membawa pasukan Sian-hong
(Pelopor) maju ke medan perang. Ong-cu Seng Hu dengan dibantu oleh Leng Wat mengepalai barisan di
sebelah kanan, Tong Kok Gee dengan dibantu oleh Tiong Sun Ciu mengepalai barisan di sebelah kiri. Pao
Siok Gee sendiri mengajak Raja Cee Hoan Kong memimpin pasukan bagian tengah. Angkatan perang Cee
itu terdiri dari 500 kereta perang dan pasukan berjalan kaki. Sesudah angkatan perang diatur beres,
Tong Kok Gee berkata.

”Raja Louw karena menduga kita telah membuat persiapan yang cukup kuat, pasti dia tidak akan
langsung menyerang. Aku rasa pasti dia akan mendirikan perkemahan dulu di Kian-si. Di tempat itu
mereka gampang mendapatkan air bersih dan rumput untuk makanan kuda-kuda mereka. Kian-si
sebuah tempat yang bagus untuk tentara beristirahat. Aku punya usul, entah disetujui atau tidak?” kata
Tong Kok Gee.

”Apa usulmu itu? Katakan saja!” kata Pao Siok Gee.

”Jika kita sembunyikan tentara kita di tempat itu dan melabrak mereka saat mereka belum siap sedia,
aku yakin mereka akan mendapat kerusakan berat.” kata Tong Kok Gee.

”Ya, betul juga pendapatmu itu,” kata Pao Siok Gee.

Pao Siok Gee menyatakan setuju pada usul Tong Kok Gee yang cemerlang itu. Dia langsung
memerintahkan Leng Wat dan Tiong Sun Ciu masing-masing memimpin pasukannya. Mereka
diperintahkan bersembunyi di daerah Kian-si yang strategis itu. Sesudah itu Pao Siok Gee masih
memerintahkan Ong-cu Seng Hu dan Tong Kok Gee pergi ke lain tempat. Mereka diperintahkan
menyerang tentara Louw dari bagian belakang. Meminta Yong Lim untuk menantang perang dan
memancing musuh supaya terjebak ke dalam perangkap yang sudah mereka siapkan.

***

Sementara itu di tempat Raja Louw Cong Kong dan Pangeran Kiu…
Setelah berjalan sampai di Kian-si, angkatan perang mereka berhenti sejenak. Ketika itu Koan Tiong
mengajukan saran.

”Siao Pek baru saja diangkat menjadi raja, hati rakyat belum tetap benar. Kita harus segera menyerang
mereka, supaya di dalam kota terjadi huru hara.” kata Koan Tiong.

”Tunggu! Aku rasa tidak ada gunanya kita terburu napsu,” kata Raja Louw. ”Aku tidak setuju dan tidak
sependapat dengan rencana Koan Tiong. Lebih baik kita dirikan dulu perkemahan di sini. Kita harus
istirahat dulu.”

Sehabis berkata begitu Raja Louw Cong Kong mengeluarkan perintah. ”Segera dirikan perkemahan,
kalian boleh istirahat!” kata Raja Louw.

Perkemahan Raja Louw didirikan di depan kemah Pangeran Kiu. Benteng yang satu dan yang lainnya
saling berpisahan 20 li jauhnya.

***

Esok paginya…

Pengintai dari pasukan Louw datang memberi laporan. ”Tentara Cee yang dipimpin oleh Yong Lim sudah
datang menantang berperang.”

Mendengar laporan itu, Raja Louw Cong Kong geram. ”Sekarang kita labrak dulu tentara Cee yang ada di
luar kota! Yang di dalam kota jika mendengar tentara di luar sudah dihajar, pasti ketakutan!” kata Raja
Louw.

Raja Louw memimpin tentaranya maju bersama Cin Cu dan Liang Cu maju ke medan perang. Sesudah
kedua pasukan mereka berhadapan, Raja Louw Cong Kong berteriak minta Yong Lim keluar
menemuinya. Yong Lim buru-buru keluar dari dalam barisannya, dia sengaja bertingkah kocak.

”Hai, pememipin pengkhianat! Kau yang minta seorang raja kepadaku. Mengapa pikiranmu berubah?
Mana kesetiaanmu pada negara?” tegur Raja Louw Cong Kong.

Yong Lim pura-pura salah tingkah. Seolah dia merasa malu ditegur demikian. Yong Lim buru-buru
menundukkan kepalanya terus pergi. Raja Louw memerintahkan Co Moay mengejar Yong Lim. Tiba-tiba
Yong Lim membelokan kereta perangnya. Dia melawan Co Moay. Tetapi baru bertarung beberapa puluh
jurus, Yong Lim melarikan kereta perangnya.

Co Moay mengeluarkan seluruh kegagahannya. Dia putarkan senjata Hong-tian-keknya mengejar Yong
Lim.

Melihat pasukan musuh mengejar terus, Pao Siok Gee mengirim pasukan Cee mengepung musuh.
Akhirnya Co Moay terkepung di dalam barisan musuh. Dia coba menerjang ke kiri dan kanan, tetapi
tidak berhasil meloloskan diri. Tubuhnya telah terkena oleh dua buah anak panah. Sesudah kehabiskan
tenaga, baru Co Moay bisa meloloskan diri.
Sementara itu Cin Cu dan Liang Cu khawatir Co Moay celaka. Mereka maju akan membantu. Baru saja
kereta perangnya maju, tiba-tiba dari bagian kiri dan kanan terdengar suara meriam meledak. Dari dua
jurusan Leng Wat dan Tiong Sun Ciu dan pasukan perangnya datang menyerang. Pao Siok Gee pun
memimpin pasukan perang bagian tengah datang mengamuk di tengah pasukan negeri Louw.

Oleh karena diserang dari tiga jurusan oleh musuh, tentara Louw tidak sanggup melawan. Sebagian
besar dari mereka lari simpang-siur menyelamatkan diri.

Pao Siok Gee mengeluarkan perintah menangkap Raja Louw Cong Kong dengan menjanjikan hadiah
besar bagi yang mampu melakukannya. Maklumat itu segera tersiar di kalangan tentara Cee sehingga
sangat menarik hati mereka.

Melihat gelagat yang kurang baik bagi pihaknya, buru-buru Cin Cu mengambil bendera yang terpasang di
kereta Raja Louw Cong Kong. Bendera berwarna kuning dengan dilukis huruf sulam dirobohkan. Tetapi
Liang Cu mengambil bendera itu dan dia tancapkan di atas keretanya sendiri.

”Mengapa kau tancapkan bendera Raja Louw di keretamu?” tanya Cin Cu.

”Aku berharap mata musuh salah lihat dan menyangka keretaku ini kereta Raja kita!” kata Liang Cu.

Waktu itu Raja Louw Cong Kong sudah melihat ada bahaya mengancam dirinya. Buru-buru dia
melompat turun dari atas keretanya. Dia pindah ke kereta perang yang kecil. Dengan menyamar sebagai
laskar perang biasa dia langsung melarikan diri. Cin Cu mengiikuti junjungannnya. Dengan gagah berani
dia bertarung agar bisa keluar dari kepungan musuh.

Ketika melihat bendera sulam ada di sebuah kereta musuh, Leng Wat menduga kereta itu dinaiki oleh
Raja Louw Cong Kong. Langsung dia memberi tanda kepada tentaranya untuk mengepung kereta itu
lebih hebat lagi.

Melihat serangan musuh begitu hebat, Liang Cu segera memperlihatkan wajahnya sambil tertawa. ”Aku
adalah panglima Louw! Rajaku sudah pergi jauh!” kata Liang Cu.

Leng Wat kecewa dan sangat mendongkol, dia merasa ditipu. Dia perintahkan tentaranya menyerang
Liang Cu lebih sengit lagi. Dia sendiri segera memutarkan senjatanya menikam musuhnya itu dengan
geram.

Meskipun Liang Cu gagah perkasa, dia tidak sanggup bertempur melawan orang yang jumlahnya banyak
sekali. Ditambah lagi Leng Wat memang panglima Cee yang tersohor gagah berani. Akhirnya Liang Cu
yang sangat kelelahan ditawan oleh Leng Wat. Dengan hebat Tiong Sun Ciu melabrak tentara Louw serta
merampas kereta perang juga senjata mereka.

Tatkala Pao Siok Gee melihat tentara Cee mendapat kemenangan besar, dia memerintahkan Anak
buahnya membunyikan gembreng untuk menarik mundur tentaranya. Tiong Sun Ciu datang
menyerahkan kereta perang dan senjata rampasan. Leng Wat pun menyerahkan Liang Cu yang dia
tawan.
Ketika kemenangan besar ini dilaporkan kepada Raja Cee Hoan Kong, tentu saja dia sangat girang. Dia
mengeluarkan perintah untuk menebas batang leher Liang Cu. Raja Cee belum mendapat khabar dari
dua pasukan yang dipimpin oleh Ong-cu Seng Hu dan Tong Kok Gee. Raja Cee meninggalkan Leng Wat
dan Tiong Sun Ciu supaya menjaga di Kian-si. Pasukan besar Raja Cee segera berangkat lebih dulu.

***

Dikisahkan Koan Tiong yang menempatkan tentaranya di perkemahan belakang, mendapat khabar
perkemahan depan mereka sudah kalah. Koan Tiong berpesan pada Siao Hut dan Pangeran Kiu agar
mereka menjaga dengan baik perkemahan mereka. Koan Tiong segera mengerahkan sebagian besar
tentaranya pergi menolongi Raja Louw Cong Kong.

Baru saja Koan Tiong berangkat belum berapa jauh, dia sudah berpapasan dengan Raja Louw Cong Kong.
Mereka segera menggabungkan tentara mereka. Co Moay yang sudah mengumpulkan sisa laskar
perangnya pun telah lari sampai di tempat itu. Ketika mereka periksa tentaranya, hanya sepertiga yang
selamat. Melihat keadaan angkatan perangnya begitu buruk, Koan Tiong menggelengkan kepalanya.

”Semangat juang tentara kita sudah lenyap sama sekali! Kita tidak bisa tinggal diam lama-lama di sini!”
kata Koan Tiong.

Malam itu juga mereka membongkar perkemahan mereka. dan berangkat pulang. Tetapi baru berjalan
belum dua hari, tiba-tiba mereka melihat sekelompok kereta perang. Kereta perang tersebut berlerot-
lerot berjalan mendatangi. Pemimpin pasukan perang itu adalah Ong-cu Seng Hu dan Tong Kok Gee.

Co Moay segera menyiapkan Hong-thian-keknya, dengan keras ia berseru. ”Tuanku lekas jalan! Biar aku
yang akan beretempur sampai mati di sini!” kata Co Moay dengan gagah.

Sehabis berkata begitu dia melirik ke arah Cin Cu dan terus berkata, ”Kau bantu aku!”

Cin Cu memutarkan senjatanya menerjang Ong-cu Seng Hu, sedang Co Moay menyerang
Tong Kok Gee.

Sementara itu Koan Tiong mengawal Raja Louw Cong Kong ke tempat yang aman. Siao Hut mengawal
Pangeran Kiu. Mereka pergi mencari jalan untuk kabur.

Salah seorang panglima Cee berbaju merah mengejar Raja Louw Cong Kong. Raja Louw melepaskan anak
panah, anak panah itu tepat mengenai jidat panglima Cee itu, dia jatuh terjungkel dari kudanya.

Tak lama seorang panglima Cee berbaju putih datang mengejar. Kembali Raja Louw Cong Kong
melepaskan anak panahnya. Panglima itu pun kehilangan jiwanya. Melihat raja Louw Cong Kong pandai
memanah, tentara Cee gentar mereka tidak berani mengejar terlalu dekat.

Koan Tiong menggunakan tipu-muslihatnya. Sambil melarikan diri dia tinggalkan satu persatu kereta
perangnya. Selain itu persenjataan dan lain-lain barang. Dia berbuat begitu dengan ”sengaja” yaitu
untuk mengumpan agar musuh mengambilnya. Dengan cara begini Koan Tiong berhasil membuat
musuh jadi lambat melakukan pengejaran pada mereka. Akhirnya Koan Tiong bersama anak buahnya
bisa luput dari bahaya maut.

Waktu itu Co Moay yang pundak kirinya terkena bacokan musuh, masih bisa bertarung membunuh
tentara Cee. Beruntung dia bisa menerobos keluar dari kepungan musuh. Tetapi kasihan sekali Cin Cu,
dia telah binasa dalam peperangan itu.

Sesudah Raja Louw Cong Kong dan kawan-kawannya bisa keluar dari bahaya, mereka seperti ikan yang
baru lolos dari jala. Dengan terbirit-birit mereka melarikan diri pulang ke negeri Louw Sek Peng dan Tong
Kok Gee dari pihak Cee mengejar mereka sampai melewati sungai Bun-sui. Serangan mereka itu berhasil
merampas sawah-sawah yang ada di daerah Bun-yang. Tanah pesawahan itu termasuk ke dalam
bilangan negeri Louw. Kemudian mereka menempatkan tentara di sana untuk menjaga tempat itu.
Sesudah itu barulah mereka pulang ke negeri Cee.

***

Begitulah tentara Cee telah mendapat kemenangan besar dan pulang ke negerinya dengan gembira
sekali.

Esok paginya….

Raja Cee Hoan Kong alias Pangeran Siao Pek duduk di atas tahta. Semua menterinya datang memberi
selamat. Pao Siok Gee lalu maju ke hadapan Raja Cee Hoan Kong.

”Sekarang belum waktunya menerima ucapkan selamat, karena Pangeran Kiu masih ada di negeri Louw.
Bukan saja dia dibantu oleh Koan Tiong dan Siao Hut yang cerdik, Raja Louw Cong Kong pun sepenuhnya
membantu mereka.”

”Sekarang apa yang harus kita lakukan?” tanya Raja Cee Hoan Kong..

”Saat berperang di Kian-si, raja dan panglima negeri Louw bisa dikatakan sangat ketakutan,” kata Pao
Siok Gee, ”hamba akan memimpin tiga pasukan tentara pergi ke tanah Louw. Di sana hamba akan
mengajukan permintaan kepada Raja Louw. Aku minta supaya dia membunuh Pangeran Kiu. Aku yakin
karena takut pada kita, mau tidak mau terpaksa dia harus menuruti permintaan kita itu.”

”Ya, kau benar! Sekarang untuk urusan negara aku serahkan kepadamu,” kata Raja Cee dengan girang.

Pao Siok Gee segera memilih kereta perang, kuda dan tentaranya. Kemudian dia pimpin pasukan besar
mereka berangkat sampai di daerah Bun-yang. Di sini dia perintahkan Sek Peng membawa surat untuk
dipersembahkan kepada Raja Louw Cong Kong.

Surat Pao Siok Gee kira-kira demikian: ”Aku Pao Siok Gee, dengan segala hormat mempersembahkan
surat ini kepada Louw Hian Houw Tian He. Sebagaimana Hian Houw tentu sudah mengerti, di dalam
rumah boleh ada dua majikan, sedang di dalam negara tidak boleh ada dua orang raja. Sekarang rajaku
sudah merawat kelenteng leluhurnya dengan sempurna, tapi Pangeran Kiu hendak mencoba merampas
darinya, apakah ini bukan kelakuan yang sangat durjana? Tapi karena rajaku masih mengingat kecintaan
dan persaudaraan dengannya, dia tidak tega untuk menjatuhkan hukkuman kepada Pangeran Kiu
sendiri, karena itu dia ingin meminjam tangan Hian Houw untuk menghukum Pangeran Kiu. Mengenai
Koan Tiong dan Siao Hut mereka musuh Rajaku, maka Rajaku minta supaya mereka dikirim ke negeri
Cee, karena hendak dibunuh di hadapan kelenteng Raja Cee Siang Kong almarhum.”

Begitu surat itu selesai. Surat diserahkan pada Sek Peng. Ketika Sek Peng akan berangkat Pao Siok Gee
berpesan agar Sek Peng berhati-hati.

”Koan Tiong seorang yang pandai luar biasa. Aku sudah bicara dengan Cu-kong kita hendak memakai dia
sebagai pembantu kita. Kau harus jaga dengan hati-hati jangan sampai dia binasa.” kata Pao Siok Gee.

”Bagaimana jika Raja Louw Cong Kong hendak membunuhnya?” tanya Sek Peng sangsi.

”Katakan karena Koan Tiong telah memanah Raja Cee Hoan Kong, dia akan dibunuh sendiri oleh Raja
Cee. Pasti Raja Louw akan percaya hal ini.” kata Siok Gee. ”Sebenarnya kita ingin menyelamatkannya.”

”Ya, baiklah,” kata Sek Peng sambil berjalan pergi. Dia akan menyampaikan surat dari Pao Siok Gee
kepada Raja Louw Cong Kong di negeri Louw.

***

Tatkala Raja Louw Cong Kong sudah menerima surat dari Pao Siok Gee dan sudah membacanya, dia
bersungut-sungut. Lalu berkata kepada Si Pek, “Dulu karena aku tidak menuruti nasihatmu, angkatan
perangku hancur berantakan. Sekarang aku ingin bertanya, apakah aku harus membunuh Pangeran Kiu
atau membelanya terus? Mana yang lebih baik menurutmu?”

“Sekarang Siao Pek sudah menjadi raja. Sekalipun baru, ia sudah bisa memakai orang-orang yang
bijaksana. Para panglimanya gagah berani, menteri-menterinya cekatan. Dia mampu mengalahkan
tentara kita di Kian-si. Semua ini satu bukti bahwa ia bukan tandingan Pangeran Kiu,” kata Si Pek.
“Apalagi sekarang tentara Cee sudah masuk ke perbatasan negeri kita. Kejadian ini merupakan bahaya
besar yang mengancam kita. Maka sebaiknya Tuanku bunuh saja Pangeran Kiu dan berdamai dengan
negeri Cee.”

Waktu itu Pangeran Kiu, Koan Tiong dan Siao Hut semuanya sedang tidak ada. Mereka ada di Seng-touw.

Mendengar nasihat dari Si Pek, Raja Louw Cong Kong langsung setuju. Dia segera memerintahkan
Pangeran Yan.

“Kau bawa pasukan secukupnya, bunuh Pangeran Kiu, juga tangkap Koan Tiong dan Siao Hut. Bawa
kemari!” kata Raja Louw.

Berangkatlah Pangeran Yan menuju ke Seng-touw. Ternyata Raja Louw Cong Kong terpengaruh oleh
surat dari Pao Siok Gee. Begitu Pangeran Yan sampai, dia langsung mengepung gedung kediaman
Pangeran Kiu.
Kedatangan Pangeran Yan ke Seng-touw telah membuat kaget dan sedih Pangeran Kiu dan pengikutnya.
Koan Tiong dan Siao Hut menangis sedih sekali. Mereka berat untuk berpisah dengan junjungannya itu.
Tetapi apa yang bisa mereka lakukan, apa yang bisa mereka minta? Mau tidak mau terpaksa Pangeran
Kiu harus menerima hukuman mati. Koan Tiong dan Siao Hut terpaksa harus siap ditangkap dan dibawa
ke negeri Cee.

Ketika Siao Hut hendak dimasukkan ke dalam kerangkengnya, Siao Hut mendongak ke langit dan
berkata, ”Ayah mendapat bencana, anak harus ikut binasa, itu baru bisa disebut anak yang berbakti!
Raja atau junjungan mendapat celaka, hambanya ikut mati, itu baru bisa disebut menteri yang setia.
Sudah selayaknya aku ikut Pangeran Kiu mati. Aku tidak mau dipermalukan dan menerima begitu saja
kaki dan tanganku diborgol!” Sehabis berkata begitu Siao Hut membenturkan kepalanya ke sebuah tiang
batu. Saat itu juga rohnya melayang ke akhirat.

”Sejak dahulu kala jika ada Raja mendapat celaka, ada hambanya yang ikut mati, juga ada menterinya
yang tetap hidup. Biarlah aku tetap hidup supaya aku bisa masuk ke negeri Cee. Kelak aku bisa
membalaskan sakit hati Pageran Kiu dan rasa penasarannya.” pikir Koan Tiong.

Dia menyerahkan diri untuk diikat dan dimasukkan ke dalam kereta kerangkeng.

Sesudah Pangeran Yan mengambil kepala Pangeran Kiu yang telah dipenggal juga kepala Siao Hut, dia
bergegas mengiringkan kereta kerangkeng kembali ke istana Louw.

Ketika Pangeran Yan sampai, dia serahkan kedua kepala korbannya kepada Raja Louw Cong Kong. Raja
Louw sedikit kaget. Dia menghela napas berulang-ulang.

Si Pek buru-buru mendekati Raja Louw Cong Kong sambil berbisik, ”Menurut penglihatan hamba, pasti
Koan Tiong tidak akan dibunuh, malah akan jadi pembantu utama di dalam negeri Cee. Dia pandai luar
biasa.”

”Lalu bagaimana menurut pendapatmu?” tanya Raja Louw Cong Kong.

”Jika dia tidak dibunuh dan malah dipakai oleh Raja Cee Hoan Kong, negara Cee akan menjadi jagoan di
ini zaman. Bukan tidak mungkin kelak negeri Louw akan mengalami hal-hal yang tidak enak karena
diganggu oleh negeri Cee,” kata Si Pek.

”Kalau begitu apa akal kita sekarang?” tanya Raja Louw Cong Kong.

”Karena kita sudah tahu Raja Cee Hoan Kong tidak akan membunuh Koan Tiong, sebaiknya Tuanku pura-
pura memintakan ampun untuk Koan Tiong. Jika permohonan Tuanku dikabulkan, mau tidak mau Koan
Tiong jadi hutang budi kepada Tuanku. Karena dia hutang budi pada kita, maka aku yakin dia mau
bekerja di tempat kita. Jika hal itu bisa terjadi, kita tidak perlu gentar lagi pada negeri Cee. Sudah pasti
akan datang saatnya untuk kita membuat pembalasan kepada mereka.”

”Jika kita pakai Koan Tiong menjadi pembantu kita dan dia tinggal bersama kita di sini,” sahut Louw Cong
Kong dengan pelahan, ”maka aku khawatir sekalipun kita sudah membunuh Pangeran Kiu, tetapi tidak
urung Raja Cee tetap marah dan tetap penasaran. Kejengkelan mereka belum hilang. Selanjunya kita
akan tetap bermusuhan dengan mereka!”

”Jika Tuanku tidak mau memakai dia, lebih baik Tuanku bunuh saja sekarang juga! Tuanku serahkan
jenazahnya kepada Cee Hoan Kong,” kata Si Pek dengan suara dalam.1)

”Ya, baiklah,” sahut Louw Cong Kong.

Raja Louw mengeluarkan perintah untuk membunuh Koan Tiong.

Ketika Sek Peng, panglima dari negeri Cee mendengar khabar ini, dengan tersipu-sipu dia menemui Raja
Louw. ”Koan Tiong telah memanah Rajaku. Untung panahnya hanya mengenai sangkutan angkinnya.
Rajaku sakit hati benar kepadanya,” kata Sek Peng sedikit agak cemas.

Karena dia mendapat tugas untuk menjaga keselamatan Koan Tiong. Kemudian dia memberi alasan
begini: ”Karena itu Rajaku ingin membunuh dia dengan tangannya sendiri. Alasan beliau untuk
memuaskan rasa penasaran hatinya. Jika hanya diantarkan jenazahnya, ini sama juga dia belum Koan
Tiong.”

Mendengar keterangan tersebut Raja Louw Cong Kong percaya saja pada ucapan Sek Peng. Dia
mengurungkan niatnya membunuh Koan Tiong. Kemudian memerintahkan agar Koan Tiong dimasukkan
kembali ke dalam kerangkengnya. Kemudian Raja Louw menyerahkan sepucuk surat balasan bersama
kepala Pangeran Kiu dan Siao Hut kepada Sek Peng. Sesudah mengucapkan terima kasih dan
mengucapkan selamat berpisah, Sek Peng pulang ke negeri Cee.

Koan Tiong sadar ketika mendapat perlakuan begitu, ini pasti tipu-muslihat dari Pao Siok Gee yang
hendak menolong dia. Tapi Koan Tiong tetap khawatir pada Si Pek. Dia tahu siapa Si Pek ini. Dia seorang
ahli pikir yang pandai di negeri Louw. Meskipun dia melepaskan dirinya, siapa tahu dia berbalik pikir.
Karena menyesal, kemudian Si Pek mengirim orang mengejarnya. Maka celakalah dia.

Setelah berpikir seketika lamanya, Koan Tiong mendapat satu ide yang bagus. Dia menciptakan sebuah
pantun atau syair Burung Hong-gok. Kemudian dia minta orang-orang yang menarik kerangkengnya
menyanyikan syair yang diciptakannya tersebut. Bunyi syair itu begini:

”Hong-gok, Hong-gok, sayap dan kakimu diikat; Tidak bisa terbang tidak bisa berbunyi di kurungan
tinggal merungkut; Langit begitu tinggi bumi begitu tebal, mengapa bertindak cupet? Di bulan sembilan
cukuplah tiga ratus enam puluh hari yang tercatat; Cenderongkan lehermu berteriak menangis perkara
dulu jadi teringat.”

”Hong-gok, Hong-gok, Allah menciptakan sayap maka bisa terbang; Allah menciptakan kakimu maka kau
bisa gampang berlari; Bertemu jala pikatan siapakah yang membawa pulang? Satu pagi rusakkan
kurungan turun di darat tidak sembarangan. Ha, sungguh kasihan pemanah berpikir bimbang.”

Orang-orang yang menarik kerangkeng ketika mendapat nyanyian itu jadi girang. Sambil menarik
kerangkeng mereka bernyanyi. Mereka sambil berlari-lari seperti tidak mengenal lelah karena senang.
Dengan demikian kendaraan mereka dilarikan dengan kencang. Biasanya perjalanan memakan dua hari,
tapi hanya dijalani dalam sehari saja. Tak terasa mereka sudah keluar dari wilayah negeri Louw.

Tatkala rombongan yang membawa Koan Tiong sudah berjalan jauh, benar saja Si Pek menyesali Raja
Louw Cong Kong.

”Kita telah melakukan kesalahan besar membebaskan Koan Tiong dalam keadaan masih hidup. Kelak dia
akan menjadi penghalang kita!” kata Si Pek.

Raja Louw Cong Kong kaget. Dia sadar pada kesalahannya. Segera dia perintahkan Pangeran Yan untuk
segera mengejar rombongan dari negeri Cee itu. Jika sudah tersusul Koan Tiong harus dibunuh! Tetapi
mereka sudah terlambat. Koan Tiong bersama rombongan negeri Cee sudah tidak terkejar lagi. Terpaksa
Pangeran Yan dari negeri Couw pulang dengan tangan kosong.

Setelah rombongan yang membawa Koan Tiong sampai di Tiong-hu, di tempat itu mereka disambut oleh
Pao Siok Gee. Kedatangan Koan Tiong diumpamakan sebagai kedatangan sebuah barang berharga.
Dengan girang Pao Siok Gee berkata, ”Selamat datang sahabatku Koan Tiong! Syukurlah kau tidak
sampai kenapa-napa!”

Pao Siok Gee memerintahkan orangnya agar merusakkan kerangkeng dan mengeluarkan Koan Tiong dari
dalam kerangkeng tersebut.

”Sebelum ada izin dari Raja kau tak boleh membuka kerangkengku, sahabatku!” kata Koan Tiong. Dia
mencoba mencegah tindakan Pao Siok Gee.

”Oh, itu tidak apa-apa!” kata Pao Siok Gee sambil tertawa. ”Aku akan usulkan agar kau dijadikan
pembantunya!”

”Akh itu tidak mungkin,” kata Koan Tiong. ”Aku bersama Siao Hut membantu Pangeran Kiu, tetapi gagal.
Tetapi aku tidak ikut mati bersama junjunganku. Aku malu sekali. Mana aku punya muka menakluk,
padahal Siao Hut rela mati untuk junjungan kami.”

”Pendapatmu salah, sahabatku!” kata Pao Siok Gee dengan sabar. ”Orang yang bercita-cita tinggi, tidak
perlu menghiraukan perasaan malu. Aku yakin kau mampu bekerja hebat. Rajaku membutuhkan orang
sepertimu. Mengapa hanya karena ingin menjaga moral, kau sia-siakan hidupmu? Sudahlah jangan kau
pikirkan itu!”

Koan Tiong tetap bengong saja tidak berkata suatu apa. Pao Siok Gee membebaskan Koan Tiong dari
ikatannya. Dia minta Koan Tiong tinggal dulu di Tiong-hu untuk sementara waktu. Kemudian dia pergi ke
kota Lim-cu menemui Raja Cee Hoan Kong. Ketika bertemu pertama-tama Pao Siok Gee menyatakan
duka cita atas wafatnya Pangeran Kiu. Sesudah itu baru diamengucapkan selamat kepada Raja Cee Hoan
Kong.

”O, mengapa kau harus mengucapkan berduka cita?” tanya Raja Cee Hoan Kong heran.
”Bagaimanapun Pangeran Kiu adalah Kanda Tuanku. Karena masalah negara Tuanku terpaksa
membinasakan saudara sendiri. Bagaimana hamba tidak menyatakan ikut berduka cita?” kata Pao Siok
Gee dengan sangat berduka.

”Tetapi mengapa kau mengucapkan selamat kepadaku?” tanya Cee Hoan Kong pula.

”Koan Tiong orang yang luar biasa pada masa ini, jika dia dibandingkan dengan Siao Hut, Koan Tiong
bukan bandingan Siao Hut,” kata Pao Siok Gee. ”Sekarang hamba sudah membawa dia sampai kemari
dalam keadaan hidup. Dengan demikian Tuanku mendapatkan seorang perdana menteri yang pandai.
Mana mungkin hamba tidak mengucapkan selamat?”

”O, mengenai dia!” kata Raja Cee Hoan Kong. ”Apa kau sudah lupa Koan Tiong telah memanahku?
Tahukah kau, sampai sekarang panahnya masih aku simpan. Setiap kali aku ingat pada perbuatannya,
aku sakit hati sekali. Sekalipun aku makan dagingnya, tetapi aku belum puas. Bagaimana aku bisa
memakai dia?!”

”Hamba harap Tuanku tidak salah mengerti,” kata Pao Siok Gee, ”orang yang menjadi hamba seseorang,
mereka harus membela majikannya. Ketika Koan Tiong memanah Tuanku ketika itu dia hamba Pangeran
Kiu almarhum. Jika Tuanku pakai dia, hamba yakin dia akan setia kepada Tuanku. Apalagi Tuanku pun
selamat, itu urusan kecil!”

Mulanya Raja Cee tetap menolak. Tetapi sesudah terus dibujuk akhirnya dia menurut juga.

”Baiklah, aku setuju!” kata Raja Cee. ”Bebaskan dia!”

Pao Siok Gee girang. Dia pamit pada Raja Cee Hoan Kong dan menemui Koan Tiong. Diajaknya Koan
Tiong tinggal di rumahnya. Sejak saat itu siang dan malam mereka bercerita panjang lebar berdua saja.

Ketika Raja Cee Hoan Kong memberi ganjaran pada orang yang berjasa. Kho He diangkat menjadi Su-
keng ditambah dihadiahi tanah untuk perusahaan. Pao Siok Gee akan diangkat menjadi Siang-keng
dengan tugas mengurus pemerintahan. Tetapi Pao Siok Gee menampik pangkat itu.

”Tuanku baik kepada hamba, hamba pun hidup bahagia. Semua sudah cukup bagi hamba. Tetapi
menjadi Siang-keng, hamba tidak bersedia.”

”Mengapa begitu? Aku sudah tahu kepandaianmu,” kata Cee Hoan Kong.

”Terus terang hamba harus mengaku, sesungguhnya hamba tidak punya kepandaian seperti dugaan
Tuanku.” kata Pao Siok Gee bersungguh-sungguh. ”Hamba cuma punya sifat selalu berhati-hati dan
tertib dalam pekerjaan. Hamba selalu menjaga adat istiadat menurut aturan. Kepandaian hamba itu
cuma cukup untuk kewajiban seorang yang menjadi hamba. Jelas belum bisa dikatakan punya
kepandaian untuk mengurus pemerintahan sebuah negara. Misalnya ke dalam dia harus bisa
mengamankan rakyat; ke luar dia harus bisa menalukkan bangsa Ie di empat penjuru. Pahalanya tercatat
oleh Dewan Kerajaan, kebajikannya tersiar pada semua Raja-raja Muda. Negeri jadi sentausa, Raja
banyak rejekinya, pahalanya terukir di batu pualam, namanya termasyur beratus-ratus tahun. Ini
barulah pembantu Raja atau pelaksana pekerjaan Raja. Lalu bagaimana hamba bisa memangku jabatan
yang Tuanku tawarkan itu, jika hamba sendiri mengaku tidak mampu?”

Paras Raja Cee Hoan Kong berubah girang. Raja Cee menjatuhkan diri berlutut di hadapan Pao Siok Gee.

”Menurut apa katamu barusan, apakah sekarang kau pikir sudah ada orang yang kau katakan itu? Aku
harap kau suka menolong menunjukannya kepadaku!” kata Raja Cee.

Pao Siok Gee dengan sikap kikuk segera mengangkat untuk membangunkan Raja Cee Hoan Kong.
Kemudian dengan suara tegas ia berkata, ”Jika Tuanku tidak mau mencari orang lain, ya sudah! Tetapi
jika mau tahu orang itu siapa adanya, orang itu Koan Tiong!”

Raja Cee Hoan Kong terkejut sekali mendengar Pao Siok Gee menyebut nama itu.

”Tuanku jangan kaget!“ kata Pao Siok Gee. ”Ada lima perkara yang menyatakan bahwa hamba tidak bisa
disamakan dengan Koan Tiong. Pertama, dalam soal kesabaran untuk menyebarkan kebajikan kepada
rakyat. Yang ke-dua untuk memegang teguh kendali pemerintahan, yang ke-tiga untuk memimpin rakyat
supaya setia dan punya kepercayaan, yang ke-empat untuk menyebarkan peraturan yang baik di seluruh
negeri, dan yang ke-lima untuk memegang pimpinan angkatan bersenjata. Agar rakyat punya keberanian
di medan perang. Semua pengetahuan itu tidak hamba miliki seperti yang dimiliki oleh Koan Tiong.”

”Kalau begitu, silakan kau panggil dia kemari, aku hendak menguji kepandaiannya,” kata Cee Hoan Kong.

”Harap Tuanku jangan terlalu menggampangkan saja,” kata Pao Siok Gee sambil tersenyum.
”Karena orang yang rendah tidak bisa mendekati para bangsawan, yang miskin tidak bisa bergaul
dengan orang kaya dan yang berjauhan tidak bisa mencintai benar-benar. Tuanku hendak memakai
Koan Tiong. Jika Tuanku tidak memberi kedudukan sebagai Perdana Menteri, dan memberi dia gaji yang
besar. Tuanku tidak menghormatinya seperti Tuanku menghormati Ayah atau Kanda sendiri. Itu tidak
bisa terjadi. Perdana Menteri, adalah menteri yang terutama. Jika Tuanku akan memanggil dia dan
Tuanku tidak memberi jabatan Perdana Menteri, berarti Tuanku tidak menghargainya. Apabila seorang
Perdana Menteri tidak dihargai, maka Raja pun pasti tidak akan orang indahkan. Seorang yang luar
biasa, harus dihormati dengan aturan luar biasa juga. Sebaiknya Tuanku memilih hari yang baik,
kemudian baru pergi menyambut dia. Dengan bersikap begitu, rakyat seluruh dunia akan mengetahui,
bahwa Tuanku telah menghargai orang pandai dan menghormati orang terpelajar. Apalagi jika Tuanku
tidak dendam sekalipun orang itu bekas musuh Tuanku. Lalu siapakah orang yang tidak ingin datang
bekerja dan mengabdi kepada Kerajaan Cee nanti?”

”Baiklah, kuturuti nasihatmu itu,” kata Raja Cee Hoan Kong sambil menganggukkan kepalanya.

Kemudian Raja Cee memerintahkan seorang berpangkat Tay-su memilih hari baik untuk menyambut
Koan Tiong. Pao Siok Gee sangat girang. Sesudah pamit kepada Raja Cee Hoan Kong dia menemui Koan
Tiong. Dia antarkan sahabatnya ini pergi ke sebuah gedung tamu dan tinggal di situ buat sementara
waktu.

***
Ketika sampai waktu yang telah ditetapkan, Pao Siok Gee memerintahkan Koan Tiong agar keramas
sampai bersih. Dia diberi pakaian dan kopiah seperti pakaian orang berpangkat Siang Tay-hu.2)

Sementara itu Raja Cee Hoan Kong keluar dari istananya. Dia pergi ke gedung tamu untuk menemui
Koan Tiong. Dia ajak Koan Tiong naik kereta dan bersama-sama pergi ke istana. Seluruh rakyat negeri
Cee yang melihat kejadian itu tidak ada yang tidak tercengang-cengang.

Setelah Koan Tiong masuk ke dalam istana, dia berlutut di hadapan Cee Hoan Kong untuk menerima
dosa dan memberi hormat kepada sang junjungan.

”Hamba seorang tawanan, sudah dibebaskan dari hukuman mati pun sudah sangat beruntung.
Bagaimana hamba berani menerima penghormatan lebih dari seharusnya ini?” kata Koan Tiong dengan
sikap hormat.

”Aku sangat percaya kepadamu, silakan kau duduk dulu, kemudian baru aku mau bertanya,” kata Raja
Cee dengan manis.

Koan Tiong sekali lagi memberi hormat baru kemudian duduk.

”Negeri Cee mempunyai seribu pasukan kereta perang,” kata Raja Cee Hoan Kong sambil tersenyum.
”Ketika Raja Hi Kong almarhum memegang kendali pemerintahan, dengan keangkerannya beliau telah
menaklukan Raja-raja Muda lain, sehingga mendapat pujian dan bergelar Siao Pa Ong. Tetapi, sejak Raja
Cee Siang Kong almarhum memerintah, karena beliau tidak mengurus dengan benar pemerintahan
negeri Cee, sehingga negeri Cee menjadi kacau sekali. Sekarang aku yang mengepalai pemerintahan
negeri Cee ini dan mengeluarkan berbagai undang-undang dan kebijakan. Menurut Anda sebaiknya aku
harus mengatur negara ini bagaimana?”

”Tahu adat-istiadat, tahu kewajiban, tahu kesucian dan tahu malu! Itulah empat dasar yang harus
dimiliki oleh sebuah negara,” kata Koan Tiong. ”Jika ke-empat dasar itu tidak teguh, pasti negeri bisa
musnah. Sekarang Tuanku hendak membuat undang-undang negara, maka Tuanku harus meneguhkan
dulu empat dasar itu agar rakyat mengerti dengan jelas. Dengan demikian maka undang-undang bisa
ditegakkan dan pamor negara bisa berjalan.”

”Bagaimana caranya membuat rakyat mengerti dan rakyat mau menurut?” kata Cee Hoan Kong.

”Jika ingin membuat rakyat menurut, lebih dahulu Raja harus sayang kepada mereka. Kemudian baru
kita punya jalan buat menetapkan peraturan bagi rakyat.”

—ooOOOoo—

Bab 5
”Raja Cee sangat rukun pada tetangga negerinya, dia suka memberi hadiah,
tetapi menerima bingkisan sedikit sekali. Dengan hanya sedikit barang bingkisan sudah cukup, tidak
perlu sampai harus mengeluarkan seluruh isi gudang negara.”

Raja Song sangat girang, dia mengirim utusan ikut dengan Leng Cek pergi ke perkemahan Raja Cee untuk
minta berdamai.

Ketika itu wajah Tay Siok Pi menjadi merah sekali, dia merasa sangat malu karena akalnya tidak berjalan
dengan baik.

Begitu utusan Song berjumpa dengan Raja Cee, dan menyerahkan sepuluh pasang batu giok dan seribu
potong emas murni, serta memberi penjelasan bahwa Raja Song minta berdamai dan mohon berserikat.
Raja Cee tersenyum puas.

”Menyerang negeri Song, adalah atas perintah Kaisar Ciu, bagaimana aku berani mengambil putusan
sendiri,” kata Raja Cee Hoan Kong pada utusan Song itu. ”Masalah ini terpaksa aku harus minta bantuan
panglima Ciu untuk menyampaikannya kepada Kaisar Ciu, baru masalahnya beres.”

Raja Cee membawa emas dan batu giok itu yang dia serahkan kepada panglima Tan Biat, kepada
panglima itu Raja Cee menerangkan bahwa Raja Song minta berdamai.

”Jika Kun-houw bersedia memaafkannya,” kata Tan Biat, ”aku bisa segera mengabarkannya kepada
Baginda, aku rasa Baginda tidak akan keberatan.”

”Baiklah,” kata Raja Cee.

Raja Cee memerintahkan utusan Song itu pulang dulu untuk menunggu putusan dari Sri Baginda Ciu.

Ketika Baginda Ciu sudah memberi putusan dan permohonan Raja Song telah diterima baik, Raja Cee
segera mengadakan pertemuan dengan Raja Song untuk menetapkan perdamaian.

Sesudah semua urusan selesai, Tan Biat pamit dan terus memimpin pasukan perang Ciu pulang ke
negaranya. Sedang Raja Cee, Tan dan Co, masing-masing membawa pasukan perangnya pulang ke
negerinya sendiri.

Setelah Raja Cee Hoan Kong kembali ke negaranya…….


Pada suatu hari Raja Cee Hoan Kong mengadakan persidangan, ketika itu Koan Tiong mengajukan usul
agar Raja Cee menyerang ke negeri The.

”Sejak Kerajaan Ciu dipindahkan ke sebelah timur Tiongkok, di antara negeri-negeri kecil tidak ada yang
sekuat negeri The,” kata Koan Tiong. ”Apalagi sejak negeri The mengalahkan negeri Tong Kek dan
ibukotanya selesai dibangun. Sekarang kedudukan negeri The jadi semakin teguh. Ini disebabkan negara
itu terlindung oleh gunung, bagian belakang terlindung oleh sungai. Di kiri dan kanan terapit oleh jurang
yang dalam. Singkatnya negara The itu sama dengan sebuah goa macan, sangat berbahaya. Dulu Raja
The hanya mengandalkan geografi negaranya yang strategis itu. Mereka melabrak negeri Song,
menyerang negeri Khouw. Dia juga membangkang kepada Kaisar Ciu. Ditambah lagi sekarang negeri The
menjadi famili negeri Couw. Sedangkan negeri Couw sangat besar tentaranya, kuat. Beberapa negara
yang terletak di daerah Han-yang, berhasil mereka caplok. Karena itu negeri The jadi semakin angkuh
dan besar kepala saja. Jika Tuanku hendak membela Kerajaan Ciu dan menjadi jago di antara Raja-raja
Muda, Tuanku harus membasmi negeri Couw dulu. Tetapi ingin membasmi negeri Couw; Tuanku harus
merebut negeri The dulu.”

”Betul, aku setuju,” kata Raja Cee Hoan Kong. ”Aku tahu negeri The seperti cahaya Tiongkok. Sudah lama
aku berniat menaklukannya.Tetapi sayang sudah sekian lama belum mendapat kesempatan yang baik.”

”Sekaranglah saat yang tepat untuk mendapatkan negeri The,” kata Leng Cek. ”Pangeran Tut yang
bergelar The Le Kong ketika dua tahun menjadi raja, diusir oleh Tay Ciok. Dia mengangkat Pangeran Hut
menjadi penggantinya. Tetapi Kho Ki Bi telah membunuh Pangeran Hui.

”Dia mengangkat Pangeran Bi. Raja Cee Siang Kong almarhum, membunuh Pangeran Bi. Tay Ciok segera
mengangkat Pangeran Gi. Sebagai menteri Tay Ciok telah mengusir rajanya. Pangeran Gi, adik raja yang
diusir merampas tahta kandanya. Jelas mereka sudah sangat keterlaluan! Mereka melanggar aturan.
Alasan ini sangat bagus buat kita melabrak mereka. Sekarang Pangeran Tut ada di tanah Lek. Setiap hari
dia berusaha ingin merebut kembali tahtanya. Sekarang Tay Ciok sudah meninggal. Di negeri The tidak
punya orang pandai. Jika Tuanku mengirim panglima ke tanah Lek untuk membantu Pangeran Tut, maka
dia bisa menjadi raja kembali. Karena ingat kebaikan Tuanku, niscahya dia mau tunduk dan berserikat
dengan negeri Cee.”

Raja Cee Hoan Kong setuju pada saran Leng Cek. Dia memerintahkan Pin Si Bu membawa 200 kereta
perang pergi ke negeri The. Pin Si Bu memimpin tentaranya berangkat ke negeri The.

Tatkala Pin Si Bu sampai di tanah Lek, dia membangun kemah 20 li di luar kota Lek-shia. Kemudian
memberi khabar kepada The Le Kong tentang maksud kedatangannya.

Sesudah Raja The Le Kong mengetahui Tay Ciok telah meninggal, diam-diam dia perintahkan orang
kepercayanya pergi menyelidiki keadaan di negeri The. Tiba-tiba dia mendapat khabar Raja Cee
mengirim tentara untuk membantu dia. Dia girang sekali. Kemudian keluar kota untuk menyambut dan
mengatur pesta besar.
Saat The Le Kong dan Pin Si Bu sedang asyik bicara, juru kabar yang pergi ke kota raja The telah kembali.
Orang itu memberi kabar.

”Benar Tay Ciok telah meninggal dunia. Sekarang Siok Ciam yang menjadi Siang Tay-hu (Perdana
Menteri) di sana.” kata si pelapor.

”Siapa Siok Ciam itu?” tanya Pin Si Bu.

”Dia seorang yang baik dan hanya pandai mengurus negara, tetapi bukan seorang panglima perang yang
pandai,” sahut The Le Kong sambil tertawa girang.

Pin Si Bu mengucapkan selamat kepada The Le Kong.

”Kalau begitu teguhlah kedudukan Kun-houw!” kata Pin Si Bu.

”Jika bisa jadi raja lagi,” kata The Le Kong, ”seumur hidup aku tidak akan melupakan budi negeri Cee!”
Pin Si Bu dan The Le Kong mengatur siasat yang akan mereka jalankan.

Malamnya The Le Kong memimpin tentaranya menyerang kota Tay-leng. Penjaga kota Tay-leng bernama
Pok He, dia kerahkan pasukannya untuk menghadapi serangan tentara The Le Kong. Tidak lama
terjadilah peperangan sangat hebat. Saat kedua belah pihak sedang asyik bertempur, tidak diduga
pasukan Pin Si Bu membokong dari belakang. Maka jatuhlah kota Tay-leng ke tangan pasukan Cee,
sehingga kota jatuh ke tangan Pin Si Bu.

Mengetahui kota yang dijaganya telah direbut musuh, Jenderal Pok He insyaf tidak akan mampu
melawan lagi. Dia turun dari kereta perangnya dan menyerah. Tetapi The Le Kong yang sakit hati
kepadanya, tidak mau terima. Karena selama 17 tahun Pok He selalu berhasil mengalahkan The Le Kong.
The Le Kong menyuruh menangkap dan menghukum mati Pok He.

”Mengapa Tuanku hendak membunuhku?” teriak Pok He. ”Apakah Tuanku tidak ingin merebut Ibukota
The?”

”Orang durhaka! Untuk apa kau dibiarkan hidup?” sentak Le Kong.

”Jika Tuanku mengampuni hamba, maka hamba akan memenggal kepala Pangeran Gi,” kata Pok He
sambil meratap.

”Kau punya kepandaian apa bisa membunuh Cu Gi!” bentak The Le Kong. ”Aku tahu kau hendak
membohongiku, kau mau kabur bukan?”

”Sekarang urusan negara ada di tangan Siok Ciam, hamba sahabat baikmya. Jika Tuanku mengampuni
hamba, akan hamba temui Siok Ciam supaya bergabung. Hamba jamin Pangeran Gi bisa hamba bawa
kemari!”

”O, maling tua, dorna pendusta! Bagus benar akalmu. Kau mau menipuku! Jika aku bebaskan kau, maka
kau bersama Siok Ciam akan menentangku!” kata The Le Kong.
”Aku bisa mencegah Pok He menipu Tuanku,” kata Pin Si Bu. ”Aku dengar sanak famili Pok He ada di
kota Tay-leng, Anda tahan mereka di kota Lek-shia sebagai jaminan.”

”Ya, Anda benar,” kata Pok He, ”jika hamba ingkar janji, Tuanku boleh membunuh sanak famili hamba.”

”Nah, kalau begitu baiklah! Aku setuju begitu,” sahut The Le Kong. ”Jika ingkar sanak familimu akan
kuhabisi!”

Pok He pamit langsung ke Ibu kota raja The. Malamnya dia pergi menemui Siok Ciam. Melihat Pok He
datang, Siok Ciam terkejut.

”Kau sedang menjaga kota Tay-leng, mengapa kau ada di sini?” tanya Siok Ciam.

”Raja Cee hendak menaklukkan negeri The,” kata Pok He dengan suara perlahan, ”dia memerintahkan
Tay-ciang (Panglima Besar) Pin Si Bu membawa pasukan besar hendak mengantarkan Pangeran Tut
kembali ke negeri The. Sekarang kota Tay-leng sudah jatuh ke tangan mereka. Malam ini aku datang
untuk menyelamatkan diri. Tidak lama lagi tentara Cee sampai kemari. Jika kau bisa membunuh
Pangeran Gi dan membuka pintu kota menyambut mereka, bukan saja kita bisa selamat, juga kekayaan
dan kemuliaanmu ada pada kita. Tetapi jika tidak bisa, kita celaka!”

Siok Ciam diam berpikir. ”Dulu aku yang menyarankan The Le Kong jadi Raja, tetapi ditentang oleh Tay
Ciok. Sekarang Tay Ciok sudah meninggal, ini takdir Allah. The Le Kong harus jadi Raja. Tetapi bagaimana
kita harus mengatur masalah ini?” kata Siok Ciam.

”Pertama beri kabar pada The Le Kong di kota Lek-shia, minta pada mereka agar menyerang ibukota
The,” kata Pok He dengan girang. ”Nanti kau keluar untuk pura-pura menangkis serangan musuh. Waktu
itu pasti Pangeran Gi akan datang ke pintu kota untuk melihat peperangan. Sesudah kuberi isyarat kau
habisi Pangeran Gi dan persilakan The Le Kong masuk kota. Dengan demikian beres sudah urusan besar
itu!”

Siok Ciam setuju pada rencana tersebut. Diam-diam dia perintahkan utusan menyampaikan suratnya
kepada The Le Kong. Dia menulis bahwa dia dan Pok He akan mengadakan pemberontakan terhadap
Pangeran Gi.

***

Pada esok harinya……

Jenderal Pok He pergi menemui Pangeran Gi. Dia memberitahu bahwa tentara Cee datang akan
membantu Pangeran Tut.

”Bahkan mereka sudah menduduki kota Tay-leng.” kata Pok He.

Mendengar kabar itu Pangeran Gi kaget,wajahnya pucat.

”Kalau begitu kita harus menyuap pada raja negeri Couw untuk minta bantuannya. Jika pasukan Couw
sudah datang, kita labrak pasukan Cee dari luar dan dalam!” kata Pangeran Gi.
Pangeran Gi memerintahkan Siok Ciam untuk mengatur masalah itu. Tetapi sengaja Perdana Menteri
Siok Ciam memperlambat mengurusnya. Sudah lewat dua hari Siok Ciam belum mengutus orang ke
negeri Couw.

Waktu itu juru kabar datang memberi laporan.

”Angkatan perang dari tanah Lek telah sampai di depan Ibukota,” kata juru kabar itu.

Pangeran Gi terkejut. Tapi Siok Ciam malah menghiburnya.

”Tuanku jangan khawatir, hamba akan mengusir mereka! Tuanku dan Jenderal Pok He silakan naik ke
atas kota untuk mengatur penjagaan dengan ketat.” Siok Ciam.

Raja The (Pangeran Gi) percaya saja. Dia mengira Siok Ciam masih setia kepadanya.

Begitu pasukan Siok Ciam keluar kota, segera mereka diserang oleh tentara The Le Kong.

Terjadilah pertempuran hebat di luar kota. Tetapi baru bertarung beberapa jurus, Pin Si Bu datang
membantu The Le Kong. Tidak berselang beberapa lama, Siok Ciam telah membalikkan kereta
perangnya melarikan diri. Jenderal Pok He di atas kota berteriak.

”Wah, celaka, pasukan The mendapat kerusakan berat!” kata Pok He.

Pangeran Gi yang memang penakut, mendengar Jenderal Pok He berkata begitu. Dia gugup sekali dan
akan turun dari atas kota hendak kabur. Saat yang baik itu tidak disia-siakan oleh Jenderal Pok He, dia
langsung menikam punggung Pangeran Gi hingga tewas.

Melihat Pok He sudah memberi tanda, Siok Ciam minta dibukakan pintu kota. Begitu pintu kota terbuka,
Siok Ciam mengundang The Le Kong dan Pin Si Bu masuk ke dalam kota.

Jenderal Pok He masuk ke istana Ceng-kiong, di sana dia bunuh dua putera Pangeran Gi. Kemudian The
Le Kong dinobatkan menjadi Raja di negeri The. Rakyat negeri The merasa bersyukur karena raja yang
mereka cintai telah kembali. Pin Si Bu yang sangat berjasa diberi hadiah juga anak buahnya. The Le Kong
juga berjanji akan berkunjung menemui Raja Cee.

Pin Si Bu mengucapkan terima kasih. Kemudian Pin Si Bu mengucapkan selamat tinggal dan memimpin
tentaranya pulang ke negeri Cee. Baru beberapa hari The Le Kong duduk bertahta, rakyat negeri The
hidup tentram seperti biasa.

Pada suatu hari…..

Ketika Raja The Le Kong mengadakan pertemuan semua menterinya, dia menegur Jenderal Pok He.

”Semakin kuingat perbuatanmu, hatiku semakin panas!” kata The Le Kong dengan keras.

”Dalam 17 tahun kau menjaga kota Tay-leng, setiap kali aku maju kau selalu mengusir kami. Jelas kau
sangat setia kepada Pangeran Gi. Sekarang karena kau takut mati dan serakah, kau berkhianat dan
memihak kepadaku. Jelas kau tidak setia dan tidak bisa dipercaya! Malah kau bunuh Pangeran Gi dan
keluarganya tanpa belas kasihan lagi. Padahal Pangeran Gi adalah adikku. Sekarang aku akan membalas
dendam adikku.”

Sehabis berkata begitu, dengan tidak memberi kesempatan sampai Pok He menyahut lagi, The Le Kong
sudah memerintahkan algojo menyeret Pok He. Dia dibawa ke tengah pasar dan ditebas kepalanya.
Tetapi anak dan isterinya diberi ampun.

Sedang Goan Hoan, salah seorang menteri negeri The, dulu pernah mengusulkan supaya Pangeran Gi
diangkat menjadi raja. Dia jadi khawatir The Le Kong akan menghukum dia. Dengan alasan sakit dia
minta berhenti. Tetapi The Le Kong sudah mengerti ke mana maksud dan tujuan permohonan Goan
Hong tersebut. The Le Kong memerintahkan orang menegur Goan Hoan. Saking kaget dan takut, Goan
Hong menjerat lehernya sendiri hingga mati.

The Le Kong menghukum mereka yang dulu membantu mengusir dia. Pangeran Bun dibunuh. Kiang Thi
minta perlindungan di rumah Siok Ciam; karena Siok Ciam dia hanya dipotong kakinya. Pangeran Teng
Siok karena ketakutan melarikan diri ke negeri We. Karena Tay Ciok sudah meninggal dia bebas dari
hukuman. Siok Ciam menjadi Perdana Menteri, Touw Siok dan Su Siok diangkat jadi Tay-hu. Siok Ciam,
Touw Siok dan Su Siok bekerja di bawah perintah The Le Kong, hingga mereka terkenal disebut ”Sam
Liang” (Tiga Orang Budiman).

***

Sesudah The Le Kong sudah menjadi raja kembali di negerinya, dan raja negeri We dan Co bersedia
berserikat, Raja Cee Hoan Kong akan mengadakan pertemuan untuk mengukuhkan perserikatan para
Raja Muda.

”Tuanku baru mulai berkuasa, jadi Tuanku harus mentramkan rakyat dulu,” kata Koan Tiong.

”Bagaimana caranya?” tanya Raja Cee Hoan Kong.

”Negeri Tan, negeri Coa dan negeri Ti sejak pertemuan di Pak-leng mereka takluk pada Tuanku. ” kata
Koan Tiong. ”Raja Co sekalipun tidak ikut berserikat, tetapi ia ikut kita menyerang ke negeri Song. Ke-
empat negeri itu jangan diganggu. Tetapi negeri Song dan We yang belum kita ketahui apa maunya? Kita
harus mengawasi mereka. Sesudah semua Raja Muda bersatu, baru kita adakan pertemuan
pengukuhan.”

Sebelum Koan Tiong selesai bicara, datang laporan.

”Kaisar Ciu memerintahkan Tan Biat untuk membalas budi Raja Song. Panglima Tan Biat sudah sampai di
negeri We,” kata si pelapor.

Mendengar kabar itu, Koan Tiong girang sekali.

”Kalau begitu Raja Song kelak bisa tunduk benar! Negeri We letaknya di tengah perjalanan, sebaiknya
Tuanku pergi ke negeri We untuk mengadakan pertemuan dengan semua Raja Muda.”
Raja Cee Hoan Kong sepakat pada rencana Koan Tiong tersebut, segera dia kirim kabar ke negeri Song,
We dan The. Mereka diminta datang berkumpul di tanah Yan (tanah milik negeri We).

Tatkala sampai saat yang ditentukan, Raja Cee, Song Kong, We Houw, The Pek dan Tan Biat sudah
berkumpul di tanah Yan. Sesudah bertemu dan saling memberi hormat mereka bubar dengan gembira.
Waktu itu kelihatan semua Raja Muda sangat girang.

Raja Cee senang karena semua Raja Muda suka di bawah kekuasaannya. Kemudian baru dia membuat
perhimpunan besar dengan Raja Song, Louw, Tan, We, The, Khouw dan lain-lain di tanah Yu, tanah milik
negeri Song. Di sana mereka minum darah untuk menetapkan perserikatan mereka. Di situ Cee Hoan
Kong diangkat menjadi Beng-cu (Kepala Perserikatan) yang sah.

***

Dikisahkan keadaan di negeri Couw……

Sejak Couw Bun Ong yang bernama Him Cu mendapatkan Nyonya Sit-kui yang cantik, dia mengangkat
Sit-kui menjadi permaisuri. Raja Couw sangat mencintai nyonya manis itu.

Selang tiga tahun Sit-kui melahirkan dua orang putera; yang sulung oleh Raja Couw diberi nama Him Pi,
dan yang ke-dua diberi nama Him Tan. Sekali pun sudah tiga tahun Sit-kui tinggal di istana Couw, dia
belum pernah bicara sepatah kata pun. Raja Couw heran sekali melihat kelakuan jantung hatinya itu.

Pada suatu hari dia bertanya dengan lemah lembut pada Sit-kui. Dia minta agar Sit-kui mau berterus
terang, kenapa dia tidak mau bicara. Sit-kui tidak mau menyahut, melainkan menangis saja. Berulang-
ulang raja bertanya dengan sangat dan memaksa. Tetapi Sit-kui tetap bungkam.

Tetapi karena terus dipaksa dan didesak, akhirnya apa boleh buat Sit-kui bicara juga. ”Aku perempuan
hina yang diperisteri oleh dua orang suami. Ini bukti bahwa aku tidak bisa menjaga kehormatanku!
Bagaimana aku mau bicara dan bertemu dengan orang-orang?” kata Sit-kui sambil menangis.

Mendengar pengakuan Sit-kui Raja Couw ikut terharu. Sambil mewek dia berkata, ”Jangan menangis,
jantung hatiku. Diamlah, nyonya manis. Jika kau menangis aku jadi jengkel sekali. Ini semua gara-gara
Raja Coa! Tetapi jangan kesal aku akan membalaskan sakit hatimu!”

Pada suatu hari Raja Couw mengerahkan angkatan perangnya menyerang ke negeri Coa. Bahkan dia
sampai ke istana Raja Coa. Raja Coa Ai-houw dengan kaki telanjang berlutut di tanah minta-minta
ampun. Dia keluarkan seluruh keklayaannya untuk dihadiahkan kepada Raja Couw. Dengan senang Raja
Couw mengambil harta tersebut. Kemudian Raja Couw kembali ke negaranya.

Waktu itu Raja The Le Kong mengirim utusan ke negeri Couw. Maksudnya memberi tahu bahwa Raja
The Le Kong telah menjadi raja kembali di negerinya.

”Hm, Raja Tut sudah dua tahun kembali ke negerinya, tetapi baru meberitahuku sekarang!” kata Couw
Bun Ong dengan gusar. ”Dia benar-benar kurang ajar sekali. Dia sangat besar kepala!”
Raja Couw mengusir utusan Raja The itu, kemudian dia kerahkan kembali angkatan perangnya untuk
menyerang ke negeri The. Mendengar laporan Raja Couw datang menyerang, Raja The ketakutan. Buru-
buru Raja The minta maaf, untung Raja Couw menerima permintaan maafnya.

Karena Raja The takut pada pengaruh Raja Couw, terpaksa dia memutuskan hubungannya dengan Raja
Cee. Tetapi Raja Cee tidak tinggal diam. Dia kirim utusan untuk menegur Raja The.

Dengan hati berduka Raja The memerintahkan Siang-kok (Menteri Negara) Siok Ciam pergi ke negeri Cee
untuk memberi tahu Raja Cee Hoan Kong. Begitu Siok Ciam sampai dia bertemu dengan Raja Cee.

”Raja kami takut pada Raja Couw. Jika Tuanku bisa mengalahkan Couw, maka Raja kami akan setia pada
Tuanku.” kata Siok Ciam.

Mendengar keterangan itu, Cee Hoan Kong jadi mendongkol, dia masukan Siok Ciam ke dalam penjara.
Tetapi Siok Ciam berhasil kabur dan pulang ke negeri The. Sejak saat itu negeri The putus hubungan
dengan negeri Cee karena Raja The menakluk pada Raja Couw.

***

Kaisar Ciu Li Ong sesudah menjadi kaisar selama 5 tahun, dia meninggal. Puteranya Liang menggantikan
ayahnya dengan gelar Ciu Hui Ong.

Pada tahun ke-dua dari pemerintahan Baginda Ciu Hui Ong, ketika itu Raja Couw Bun Ong memerintah
dengan sangat buruk dan dia sangat senang berperang. Beberapa tahun yang lalu Raja Couw Bun Ong
pernah bersama Raja Pa menyerang ke negeri Sin. Raja Couw membuat ulah mengganggu tentara
negara Pa. Karena itu Raja Pa yang merasa dicurangi jadi gusar. Maka itu dia serang tanah milik Couw.
Panglima Couw yang menjaga di tanah tersebut, bernama Giam Go. Karena kalah perang melawan Raja
Pa panglima Giam Go kabur lewat sungai. Karena dianggap lalai oleh Raja Couw ditangkap dia dihukum
mati.

Sanak-famili Giam Go sakit hati kepada Raja Couw. Mereka mengadakan hubungan rahasia dengan Raja
Pa. Mereka menghasut Raja Pa supaya menyerang ke negeri Couw. Mereka berjanji akan membantu
Raja Pa dari dalam kota. Tatkala tentara Pa datang menyerang ke negeri Couw, Raja Couw memimpin
sendiri pasukan perangnya. Diam-diam kaum famili Giam yang berjumlah ratusan orang itu, menyusup
ke dalam pasukan Couw. Sebelum angkatan perang Couw berperang dengan angkatan perang Raja Pa,
pasukan Couw sudah kacau. Ini akibat serangan dan dikacaukan dari dalam oleh famili Giam.

Melihat tentara Couw kalut, tentara Pa menggunakan kesempatan itu untuk melabrak pasukan Couw.
Dalam serangan itu pasukan Couw mendapat kerusakan besar. Raja Couw Bun Ong sendiri wajahnya
terkena anak panah. Dengan tersipu-sipu Couw Bun Ong melarikan diri.

Raja Pa tidak berani mengejar Raja Couw yang kabur itu, dia tarik kembali tentaranya. Sedang kaum
famili Giam ikut dengan tentara Pa dan menjadi rakyat negeri Pa.
Setelah Raja Couw pulang ke negaranya, waktu Couw Bun Ong sampai, pintu kota sudah ditutup karena
hari sudah malam. Couw Bun Ong berteriak minta dibukakan pintu.

”Apa Tuanku mendapat kemenangan?” tanya Yo Koan yang menjaga pintu kota saat itu.

”Kalah!” sahut Raja Couw dengan kesal.

”Sejak Raja Couw almarhum, sampai sekarang, tentara Couw setiap kali keluar berperang, belum pernah
kalah!” kata Yo Koan dengan perasaan dan kurang senang. ”Padahal negeri Pa sebuah negeri kecil,
tetapi Tuanku dikalahkan oleh mereka! Apa ini tidak memalukan sekali? Sudah lama negara Ui tidak
mengirim upeti, mereka mau membangkang. Sebaiknya Tuanku serang mereka untuk menebus
kekalahan kali ini. Baru perasaan malu itu lenyap!”

Sekalipun Couw Bun Ong memaksa, Yo Koan tetap tidak mau membukakan pintu kota untuknya. Raja
Couw sangat mendongkol sekali, lalu dia berkata pada tentaranya. ”Mari kita pergi melabrak negeri Ui,
jika kita tidak bisa mengalahkan mereka, aku tidak akan pulang!” kata Raja Couw.

Dia memimpin tentaranya menyerang ke negeri Ui, di sana dia mengalahkan pasukan negeri Ui di Cek-
leng (tanahnya Uij). Tetapi karena terlalu bekerja keras luka di wajah Raja Couw bekas terkena anak
panah telah terbuka lebar. Darahnya mengucur tidak berhenti-hentinya. Dengan sangat kesakitan Raja
Couw pulang; tetapi baru sampai di tanah Ciu (tanah milik negeri Couw), pada tengah malam karena
tidak tahan lagi Couw Bun Ong dia meninggal.

Mendengar Raja Couw Bun Ong meninggal, Yo Koan kaget. Dia menyambut kedatangan peti jenazah
Raja Couw. Mereka buru-buru mengangkat putera mahkota, Him Pi, menjadi raja.

Seusai upacara penguburan jenazah Raja Couw, Yo Koan dengan penuh sesal berkata seorang diri, ”Aku
sudah dua kali berbantah dengan Baginda Couw. Sekarang aku enak-enakan tinggal hidup? Akh,
sudahlah. Lebih baik aku ikut bermasa Baginda masuk ke dalam tanah,” kata Yo Koan.

Begitu tetap pikirannya itu, Yo Koan lalu mengumpulkan keluarganya. Kepada mereka Yo Koan berkata,
”Kalau aku sudah mati, kalian harus menguburkan jenazahku di pintu kota Tiat-hong. Maksudnya supaya
anak cucuku mengetahui bahwa aku menjaga pintu kota itu!”

Sehabis berkata begitu dengan kegesitannya yang luar biasa, Yo Koan menggorok lehernya sendiri
hingga binasa.

Mendengar kabar Yo Koan telah bunuh diri, raja yang baru Him Pi merasa kasihan kepada Yo Koan, dia
mengangkat anak cucu Yo Koan turun-temurun memegang pangkat Tay-hu di negeri Couw.

***

Mendengar khabar Raja Couw Bun Ong telah meninggal dunia, dengan girang The Le Kong berkata,
”Sekarang baru kita tidak akan jengkel lagi.”
”Menurut pendapat hamba, jika kita terlalu bersandar pada orang lain sangat berbahaya. Jika kita tetap
menghamba pada orang lain, malu,” kata Siok Ciam. ”Karena negeri kita berada di antara negeri Cee dan
negeri Couw, kita jadi serba susah. Tetapi Raja The almarhum, sejak Raja Hoan, Raja Bu sampai Raja
Cong, tiga turunan, semua menjabat pangkat Keng-su di Dewan Kerajaan Ciu. Derajatnya lebih agung
dari lain-lain negeri dan membuat tunduk semua Raja Muda. Sekarang Baginda telah memegang
pemerintahan. Raja dari negeri Kek dan Chin telah memberi selamat. Tuanku harus mengadakan pesta,
usahakan Tuanku mengirim upeti ke Kerajaan Ciu. Jika Kaisar Ciu ingat jasa Tuanku maka pangkat Keng-
hu akan dikembalikan kepada Tuanku. Lalu siapa yang harus kita takutkan?”

”Ya, kau benar,” kata Raja The dengan girang.

Kemudian Raja The memerintahkan Su Siok pergi ke negeri Ciu; dia berharap diberi pangkat Keng-su
(Pembesar Kerajaan) oleh Kaisar Ciu. Tetapi malang saat Su Siok kembali dari negeri Ciu dia melaporkan
kedaan di sana.

”Ternyata dalam Dewan Kerajaan Ciu telah terjadi kekacauan,” kata Su Siok.

Mendengar laporan tersebut The Le Kong terkejut, dia minta keterangan lebih jauh.

”Bagaimana terjadinya huru-hara itu?” kata The Lee Kong.

”Baginda Ciu Li Ong mempunyai saudara tiri yang bernama Ong Cu Tui,” kata Su Siok mulai
menceritakan pengetahuannya, ”ia membuat persekutuan rahasia dengan Kui Kok, Pian Kek, Cu Kim,
Ciok Kui dan Ciam Hu. Mereka berjumlah lima orang Tay-hu, kemudian dia membuat huru-hara. Tetapi
beruntung Ciu Kong Ki Hu, Siao Pek Liauw dan beberapa pejabat negara yang bijaksana berhasil
melabrak mereka. Sehingga para pengkhianat itu melarikan diri ke negeri Souw. Dengan bantuan dari
negeri Souw dan We para pengkhianat itu menyerang ke kota raja. Sayang Ciu Kong Ki Hu, Siao Pek
Liauw dan kawan-kawannya kalah perang dengan mereka. Kemudian mereka mengajak Baginda
melarikan diri ke tanah Yan. Tay-hu itu lalu mengangkat Ong Cu Tui menjadi Kaisar. Tetapi orang-orang
tidak mau menyerah kepada Kaisar yang baru itu.”

”Wah celaka, bagaimana sekarang?” kata Raja The.

”Sekarang sebaiknya Tuanku mengerahkan tentara menjemput dan antarkan Kaisar ke Ibukota. Dengan
demikian Tuanku jadi berjasa, dan akan mendapat pahala besar!” kata Su Siok.

”Ya, itu benar,” kata The Le Kong. ”Tetapi sebelum kita menyerang, bagaimana jika kita beri peringatan
dulu mereka? Barangkali saja mereka mau menyesali kesalahan dan mengubah kelakuannya.”

Semua menteri membenarkan ucapan Raja The. Raja The segera mengirim utusan ke negeri Yan untuk
menyambut Kaisar dan diminta sementara tinggal di kota Lek-ip. Raja The pun mengirim utusan yang
membawa surat untuk Ong Cu Tui. Bunyi suratnya kira-kira begini:

”Dengan segala hormat,


Tut persembahkan surat ini ke hadapan Ong Cu yang mulia. Tut dengar, orang yang menjadi hamba dan
melawan kepada Rajanya disebut tidak setia, sedang yang menjadi adik berkhianat kepada kandanya,
disebut kurang ajar, bila orang yang tidak setia dan kurang ajar, sudah pasti akan mendapat kutukan dari
Allah. Ong Cu sangat keliru mau mendengarkan hasutan meneteri dorna, sehingga Ong Cu sudah
mengusir Baginda, atau mengikat tangan sendiri buat menerima dosa itu, masih belum terlambat untuk
meraih kekayaan dan kemuliaan. Tut minta agar Ong Cu mengerti dan suka menyerah. Tetapi jika tidak
mau, harap mundur ke suatu tempat. Di sana Ong Cu bisa hidup sederhana dan senang. Dengan
demikian Ong Cu akan terhindar dari bencana dan dosa besar.”

Ketika Ong Cu Cui menerima surat itu dan membacanya, dia jadi bingung dan tak tahu harus bagaimana.

Di antara kelima Tay-hu itu ada yang berkata begini.

”Tuanku, seumpama orang ada di atas punggung harimau, tidak mungkin bisa turun tanpa menghadapi
bahaya, begitu kata pepatah, bukan? Maka apa patut orang yang sudah menjadi Kaisar disuruh menjadi
meneteri lagi? Ucapan Raja The itu terlalu menghina pada Tuanku, harap Baginda jangan
mempedulikannya!”

Mendengar hasutan itu Ong Cu Tui jadi sangat gusar, dia usir utusan The tersebut. Utusan itu pulang ke
negerinya, dan menyampaikan laporannya pada rajanya. Raja The menemui Baginda Ciu di Lek-ip atau
Lek-shia. Kemudian Raja The mengejar Baginda ke ibu kota negeri The. Sesudah diadakan pesta besar
dan Raja The menyerahkan berbagai hadiah pada Baginda, baru Baginda kembali ke kota Lek-shia.

Waktu itu tahun ke-tiga pemerintahan Baginda Ciu Hui Ong. Pada musim Tang (gugur) Raja The
mengirim utusan ke negeri Kek untuk mengajak Raja Kek bersama-sama mengerahkan angkatan perang
mereka menolong Baginda; ajakan tersebut diterima baik oleh Raja Kek.

Pada tahun ke-empat dari pemerintahan Baginda Hui Ong, Raja The mengumpulkan tentaranya di tanah
Ji (tanah negeri The). Pada bulan Si-gwe (bulan empat Imlek), mereka mengiring Baginda dan
mengerahkan tentaranya menyerang ke kota raja Ciu.

Kui Kok, Pian Kek, Cu Kim, Ciok Ku dan Ciam Hu dengan susah payah mengatur penjagaan di kota raja.
Tetapi rakyat negeri Ciu yang kurang senang pada Ong Cu Tui, mendengar Baginda Hui Ong datang
mereka bersorak-sorak gembira. Suaranya gemuruh bagaikan suara guntur. Mereka berebutan
membukakan pintu kota dan menyambut kedatangan Baginda Ciu Hui Ong tersebut.

Waktu itu Kui Kok sedang menulis surat untuk minta bantuan ke negeri We. Sebelum surat selesai,
terdengar suara lonceng dan genderang dibunyikan. Kemudian datang laporan.

”Baginda Ciu Hui Ong sudah kembali dan menjadi raja.”

Kui Kok kaget bukan main sampai kursi yang diduduknya bergetar. Karena takut dan ngeri dia
menggorok lehernya dengan sebilah pedang. Ciok Kui dan Cu Kim binasa dalam keributan itu. Pian Hek
dan Ciam Hu tertawan oleh rakyat mereka diserahkan kepada Baginda Ciu Hui Ong. Sedang Ong Cu Tui
dengan Sek Sok berhasil kabur. Untung mereka terkejar dan ditawan oleh tentara Kek dan The. Semua
pengkhianat itu kemudian dihukum mati semuanya.
Setelah Baginda Ciu Hui Ong naik tahta kembali, dia memberi hadiah kepada Raja The berupa tanah-
tanah dimulai dari Houw-bouw terus ke timur. Sedang Raja Kek diberi hadiah tanah di Ciu-coan dan
tempat arak. Kedua raja itu mengucapkan terima kasih. Sesudah itu mereka pamit pada Baginda,
masing-masing memimpin tentaranya kembali ke negerinya.

Di tengah jalan Raja The Le Kong jatuh sakit, setelah pulang ke negerinya tidak berapa lama dia
meninggal. Semua pembesar mengangkat Si Cu Ciat mejadi Raja The menggantikan Raja The Le Kong,
beliau bergelar Bun Kong.

***

Pada tahun pemerintahan Kaisar Ciu Hui Ong ke-empat, di musim Ciu (Semi) bulan Cit-gwe (bulan tujuh
Imlek). Permaisuri Bun Kiang jatuh sakit. Sakitnya keras dan tidak bisa diobati lagi. Maka tidak berapa
lama Permaisuri Bu meninggal. Sebelum meninggal ketika sedang sekarat, beliau berpesan kepada Louw
Cong Kong.

”Kau harus segera menikah dengan puteri dari negeri Cee. Ingat kau harus dengan sepenuh hati
membantu Raja Cee dan jangan putus hubungan famili,” kata Permaisuri Bun.

Sesudah ibunya meninggal Raja Louw Cong Kong sedih sekali. Dia makamkan jenazah ibunya dengan
baik.

Raja Louw Cong Kong sangat memperhatikan pesan terakhir ibunya. Pada tahun itu juga Raja Louw Cong
Kong membicarakan urusan perkawinannya dengan puteri dari negeri Cee. Tetapi niatnya untuk
menikah mendapat hambatan dari menterinya.

”Masa berkabung atas meninggalnya Lau-hu-jin Bun Kiang belum selesai, hamba rasa kurang pantas jika
Tuanku langsung membicarakan soal perkawinan,” kata Co We.

”Sebaiknya kita tunggu lagi sampai tiga tahun kemudian, sesudah lepas berkabung baru kita bicarakan
urusan perkawinam itu. Hamba rasa masih belum terlambat.”

”Tetapi ibuku berpesan aku harus segera menikah dengan puteri negeri Cee,” sahut Louw Cong Kong.
”Memang jika sedang berkabung segera menikah itu kurang pantas, cuma jika harus menunggu sampai
tiga tahun lamanya, sesudah lepas berkabung itu terlalu lama. Sekarang aku mau bersikap adil, aku mau
mengambil jalan tengah saja.”

Semua menteri tidak ada yang berani membantah kehendak rajanya. Tepat pada akhir tahun, Raja Louw
merundingkan masalah perkawinannya. Dia mengutus orang untuk membicarakan perkawinan itu dan
lamarannya kepada Raja Cee. Dia berjanji akan datang sendiri ke negeri Cee untuk melangsungkan
pernikahannya. Raja Cee tidak setuju dan agak keberatan, karena Raja Louw belum lepas berkabung. Dia
minta urusan pernikahan itu supaya ditunda saja dulu.
Sampai tahun pemerintahan Ciu Hui Ong yang ke tujuh, masalah pernikahan baru ditetapkan. Harinya
dipilih di musim Ciu (Semi) karena dianggap hari baik. Waktu itu Louw Cong Kong sudah menjadi raja
selama 24 tahun, dan umurnya sudah 37 tahun.

***

Ketika telah tiba saat pernikahan itu Raja Louw berangkat ke negeri Cee. Maka pernikahan pun
dilangsungkan dengan meriah. Sesudah selesai pernikahan, Raja Louw membawa Permaisuri Kang-si
pulang ke negeri Louw. Permaisuri juga disebut Permaisuri Ai-kiang. Sejak saat itu negeri Cee dan negeri
Louw bersahabat kekal.

Suatu hari……

Raja Cee menggabungkan tentaranya dengan tentara Louw, maksudnya akan melabrak bangsa Ci dan
menyerang bangsa Jiong (Mongol). Kemudian dua bangsa itu semuanya berhasil mereka kalahkan.

Pada tahun pemerintahan Ciu Hui Ong ke-sepuluh, bangsa Ci dan Jiong sudah tunduk benar di bawah
pengaruh negeri Cee.

Melihat pengaruh negeri Cee semakin besar, Raja The Bun Kong jadi semakin khawatir. Buru-buru Raja
The mengirim utusan untuk minta berserikat lagi. Waktu itu semua negara-negara kecil, kecuali negeri
Couw, semuanya sudah di bawah kekuasaan negeri Cee. Raja Cee Hoan Kong sangat senang. Raja Cee
mengadakan pesta besar untuk menyenangkan anak buah dan tentaranya.

Setelah minum arak sampai mabuk, Pao Siok Gee sambil memegang cawan arak datang ke hadapan Raja
Cee Hoan Kong. Dia menuang secawan arak untuk mengucapkan selamat kepada Raja Cee.

Raja Cee Hoan Kong menyambut arak itu yang terus dia minum hingga cawan itu kering.

”Hari ini aku senang sekali minum arak bersama kalian!” kata Raja Cee.

”Setahu hamba seorang Raja yang budiman dan bijaksana, baik dalam suka dan duka tidak melupakan
kesusahan. Tuanku tidak lupa saat sebelum menjadi Raja; begitu juga Koan Tiong. Dia harus ingat saat
dia masih dikerangkeng. Leng Cek jangan melupakan saat dia masih jadi penggembala kerbau.” kata Pao
Siok Ge.

Buru-buru Raja Cee Hoan Kong bangkit dari tempat duduknya sambil memberi hormat kepada Pao Siok
Gee.

”Banyak terima kasih untuk nasihatmu! Jika semua menteri tidak melupakan kesengsaraan aku pun
gembira.” kata Raja Cee.

Pesta besar berlangsung sampai semua orang puas, akhirnya pesta pun ditutup. Para pembesar pulang
ke rumahnya masing-masing.

Selang beberapa hari kemudian…..


Datang orang melapor.

”Tadi baru saja tiba Siao Pek Liauw utusan Baginda Ciu Hui Ong datang berkunjung, ” kata pelapor itu.

Buru-buru Raja Cee Hoan Kong menyambut dengan gembira kedatangan Siao Pek Liauw itu. Sesudah
menjalankan adat istiadat, Siao Pek Liauw menyampaikan maksud kedatangannya.

”Baginda Ciu Hui Ong memberi gelar Hong Pek (Raja Muda Yang Mulia) kepada Tuanku Raja Cee. Tuanku
mendapat izin untuk menghukum raja-raja pembangkang.” kata Siao Pek Liauw.

”Terima kasih,” kata Raja Cee. ”Apa perintah beliau?”

”Raja We dulu telah membantu Ong Cu Tui mengusir Baginda, Baginda sakit hati kepadanya. Baginda
minta agar Raja Cee menghukumnya,” kata utusan itu.

”Hamba akan memperhatikan perintah Baginda!” kata Raja Cee.

Sesudah berbasa-basi sebentar Siao Pek Liauw pamit kembali ke negeri Ciu. Pada tahun pemerintahan
Ciu Hui Ong ke-sebelas, Raja Cee Hoan Kong memimpin pasukan perang menyerang ke negeri We.

Waktu itu We Hui Kong sudah meninggal. Puteranya yang bernama Ci sudah menjadi raja. Raja We yang
bergelar We I Kong langsung melakukan perlawanan. Tetapi sial Raja We menderita kalah besar. Buru-
buru kembali ke kota dan menutup pintu kota secara ketat. Raja Cee Hoan Kong marah tentaranya terus
menyerang. Dalam marahnya Raja Cee menyebut-nyebut dosa raja We. Mendengar hal itu, Raja We
sadar bahwa Raja Cee hendak balas dendam kepada ayahnya.

”Oh, kalau begitu almarhum Raja We punya kesalahan besar! Tetapi aku tidak punya sangkut-paut
dengan dosa ayahku itu.” pikir Raja We I Kong.

Dia perintahkan putera sulungnya yang bernama Kai Hong. Dia membawa lima gerobak bingkisan
berharga diserahkan pada Raja Cee. Raja We juga minta berdamai. Ketika Kai Hong sampai dia langsung
menghadap. Kemudian menyerahkan hadiah-hadiah dari ayahnya pada Cee Hoan Kong.

”Ayah hamba tidak berdosa, itu sebabnya dia mohon dimaafkan dan minta damai.” kata Kai Hong.

”Menurut aturan Baginda almarhum, jika ayahnya berdosa, anak cucunya tidak terlibat dosa,” kata Cee
Hoan Kong. ”Jika Raja We sudah menerima salah mau menurut perintah Baginda Ciu, aku pun tidak usah
memperpanjang masalah ini.”

Kai Hong atas nama ayahnya mengucapkan terima kasih. Kai Hong tahu negeri Cee makmur dan kuat.
Maka dia minta ikut dan ingin mengabdi pada Raja Cee.

”Kau putera sulung Raja We,” kata Cee Hoan Kong heran, ”menurut peraturan, kau kelak bakal jadi
pengganti ayahmu. Mengapa kau mau menjadi mentriku?”

”Tuanku seorang Raja yang bijaksana saat ini,” sahut Kai Hong, ”aku lebih beruntung jika bekerja di
tempat Tuanku, dibanding menjadi raja di negeri We.”
Mendengar jawaban Kai Hong tersebut Raja Cee Hoan Kong mengira Kai Hong sangat mencinta dirinya.
Raja Cee setuju dan mengangkat Kai Hong menjadi menteri.

Ketika Raja Cee pulang ke negaranya Kai Hong ikut ke negeri Cee. Di sana Kai Hong menginginkan dirinya
lebih disayang oleh Raja Cee. Dia selalu memuji-muji kecantikan putri Raja We.1)

1). Yang dipuji-puji oleh Kay Hong putri Raja We yang bungsu. Dulu We Hui Kong telah memberikan
putrinya untuk ikut bersama putri Kaisar Ciu menikah dengan Raja Cee. Sedang putri yang dipuji-puji
oleh Kay Hong adik kandungnya sendiri. Raja Cee Hoan Kong memang sangat senang pada perempuan
cantik, dia jadi girang mendengar pujian Kai Hong atas dirinya dan putri Raja We itu. Dengan tidak
membuang waktu lagi, Raja Cee mengirim utusan mengantarkan barang bingkisan untuk melamar nona
yang cantik itu untuk dijadikan selirnya. Permintaan Raja Cee tidak ditolak oleh Wei Kong yang takut
pada Raja Cee. Raja We langsung menyerahkan nona We Ki dibawa ke negeri Cee. Bukan main girangnya
Raja Cee setelah melihat sendiri nona We Ki sesungguhnya sangat elok sekali. Untuk membedakan kakak
nona Ki dengan adiknya, Raja Cee memberi nama We Ki Besar dan We Ki Kecil. Keduanya sangat
disayang oleh Raja Cee.

—ooOOOoo—

Bab 6

Dikisahkan di negeri Chin …….

Raja negeri Chin yang bergelar Chin Hian Kong, ketika masih menjadi Putra Mahkota, dia telah menikah
dengan putri Ke Ki.

Sekalipun sudah lama menikah, tetapi belum punya turunan, dia kawin lagi dengan cucu raja bangsa
Kian-jiong, Ho Ki namanya. Dari cucu raja bangsa Kian-jiong ini Raja Chin memperoleh anak lelaki yang
dia beri nama Tiong Ji. Kemudian Raja Chin menikah lagi dengan putri bangsa Siao-jiong she Un. Dari
nona Un dia mendapat seorang putera yang diberi nama Ie Gouw.
Pada masa ayahnya yang bernama Chin Bu Kong masih menjadi raja di negeri Chin, ketika hendak
meninggal, Raja Chin Bun Kong yang sudah tua itu melamar putri negeri Cee. Raja Cee Hoan Kong
meluluskan lamaran Chin Bu Kong tersebut, Raja Cee menyerahkan keponakannya, yaitu Cee Kiang.

Waktu itu Chin Bu Kong sudah sangat tua, sudah tentu dia tidak bisa membahagiakan dan
menyenangkan perempuan lagi. Sementara Cee Kiang yang usianya masih sangat muda, parasnya elok
sekali, ditambah lagi dia sangat genit. Ketika Chin Hian Kong melihat Cee Kiang yang sangat cantik, dia
sangat tertarik pada ie-nya itu. Diam-diam mereka mengadakan hubungan gelap dengan sang ibu tiri itu.

Hubungan cinta antara ibu tiri dengan anak suaminya itu sangat erat sekali. Dari hubungan gelap itu
maka lahirlah seorang anak. Chin Hian Kong khawatir hubungan gelapnya akan ketahuan oleh ayahnya.
Maka dia kirim ”anak haram” atau ”anak dari hubungan gelapnya” itu pada seorang she Sin. Dan anak
itu diberi nama Sin Seng.

Ketika Chin Bu Kong sudah meninggal dunia dan Chin Hian Kong sudah menggantikan ayahnya menjadi
Raja Chin, karena istri Chin Hian Kong yang bernama Ke Ki sudah lama meninggal dunia, Chin Hian Kong
lalu mengangkat Cee Kiang, bekas selir ayahnya menjadi Hong-houw (Permaisuri).

Ketika itu Tiong Ji sudah berumur 21 tahun; sedang Ie Gouw lebih tua umurnya dari Sin Seng. Tetapi
karena Sin Seng menjadi putera permaisuri, maka menurut peraturan istri tua dan istri muda, bukan
menurut aturan putera yang lebih tua dan putera yang muda. Maka Sin Seng kemudian diangkat
menjadi Putra Mahkota.

Untuk mendidik dan memimpin Sin Seng, Chin Hian Kong mengangkat Tay-hu Touw Goan Koan menjadi
Guru Besar puteranya itu dan Li Kek menjadi guru pembantu. Kemudian Cee Kiang melahirkan lagi
seorang anak perempuan; tetapi sejak melahirkan anak perempuan itu, Cee Kiang tertimpa bencana. Dia
terserang penyakit hebat hingga sampai ajalnya. Chin Hian Kong kemudian menikah lagi dengan adik Ke
Ki yang bernama Ke Kun. Ke Kun inilah yang diminta untuk merawat putri Cee Kiang.

Tatkala Chin Hoan Kong sudah menjadi raja selama 15 tahun, pada suatu hari dia mengerahkan
angkatan perangnya untuk menaklukan negeri Li Jiong.

Dalam peperangan itu Raja Chin Hian Kong mendapat kemenangan besar; Raja Li Jiong minta berdamai
dan dia bersedia mempersembahkan kedua putrinya, yang besar bernama Li Ki dan yang ke-dua
bernama Siao Ki. Raja Chin Hian Kong girang sekali mendapat dua putri yang cantik-cantik itu, segera dia
bawa pulang ke negerinya.

Keelokkan Li Ki sebanding dengan Sit-kui, tetapi kejahatannya mirip dengan So Tat Ki di zaman Kaisar Tiu
Ong. Dia pandai berbagai tipu-muslihat, bukan itu saja dalam hubungan sex pun dia sangat mahir. Tidak
heran Raja Chin Hian Kong jadi sangat puas. Tetapi celakanya dia juga sering ikut campur dalam urusan
pemerintahan. Sedang segala sarannya pada Chin Hian Kong selalu berhasil.

Oleh karena Li Ki begitu pandai serta sangat cantik, sehingga Chin Hian Kong jadi jatuh hati benar
kepadanya. Setiap saat di mana pun Chin Hian Kong berada, Li Ki tidak boleh jauh dari sisinya.
***

Selang setahun kemudian Li Ki melahirkan seorang anak lelaki, anak tersebut diberi nama He Ce. Lewat
setahun kemudian, Siao Ki juga melahirkan seorang putera yang diberi nama Tok Cu.

Waktu itu Raja Chin Hian Kong sudah sangat tergila-gila pada Li Ki, dia senang karena Li Ki melahirkan
anak lelaki. Raja Cee lupa cinta-kasih Cee Kiang almarhum. Malah raja hendak mengangkat Li Ki menjadi
Permaisuri. Niatnya itu dia bicarakan dengan semua menteri-menterinya.

”Menurut adat-istiadat Permaisuri tidak boleh ada dua orang,” kata Su Souw. ”Maka jika Li Ki dan Siao Ki
diangkat menjadi Hong-houw (Permaisuri), maka itu tidak sesuai dengan aturuan yang berlaku selama
ini.”

Beberapa menteri dan pejabat negara membenarkan pendapat Su Souw tersebut. Tetapi Chin Hian Kong
tidak mau mengerti. Malah dia uring-uringan karena keinginannya ditentang. Dengan tidak
mempedulikan nasihat menteri-menterinya, Raja Cin mengangkat Li Ki menjadi Hong-houw (Permaisuri)
dan Saio Ki menjadi Ci Hui (Permaisuri ke-dua). Karena tidak sependapat diam-diam Su Souw pergi
menemui Tay-hu Li Kek.

”Negeri Chin hampir musnah, apa yang harus kita lakukan?” kata Li Kek.

Mendengar keterangan Su Souw tersebut Li Kek terperanjat, dengan hati berdebar-debar dia bertanya,
”Siapa yang akan meruntuhkan Kerajaan Chin?”

”Pasti Li Jiong,” sahut Su Souw.

Li Kek bengong terlongong-longong, dia tidak mengerti apa maksud ucapan Su Souw tersebut.

”Pada masa Raja He Kiat menyerang ke negeri Yu Si, Raja Yu Si menyerahkan putrinya yang bernama
Moai Hi. Karena Baginda Kiat sangat mencintai Moai Hi, sehingga Kerajaan He musnah,” kata Su Souw.
”Begitu juga Baginda Im Tiu ketika melabrak negeri Yu Souw, Raja Yu Souw (Tiu Ong) menyerahkan anak
perempuan yang bernama So Tat Ki, karena Baginda Tiu Ong sangat mencintai So Tat Ki, akhirnya
Kerajaan Im musnah. Sedang bukti yang paling akhir yaitu Baginda Ciu Yu Ong yang memerangi negeri
Yu Po, Raja dari negeri Yu Po menyerahkan putrinya yang bernaama Po Su, akhirnya Kerajaan See Ciu
(Ciu Barat) musnah. Sekarang Raja negeri Chin, sesudah menaklukan negeri Li Jiong, Raja Chin telah
mengambil dua orang putrinya yang sekarang sangat disayang oleh beliau. Apa tidak bisa terjadi negeri
Chin pun kelak akan musnah?”

Li Kek menggelengkan kepalanya dia jadi berduka sekali, dan Li Kek membenarkan dugaan Su Souw
tersebut.

Sesudah berbincang-bincang beberapa saat, Su Souw pamit pada Li Kek. Dia kembali ke rumahnya.
Selang sesaat sesudah Su Souw meningalkan rumah Li Kek, Kwee Yan juga datang berkunjung ke rumah
Li Kek. Pada kawan sejawatnya ini Li Kek memberitahu apa yang tadi dikatakan oleh Su Souw kepadanya.
”Tidak, aku rasa bukan begitu,” kata Kwe Yan. ”Menurut dugaanku, di negeri Chin hanya akan terjadi
huru-hara besar, jika harus musnah, itu belum saatnya.”

”Bagaimana kau bisa mengatakan begitu?” tanya Li Kek.

”Negeri Chin sebuah negara besar, pada saat ini sangat kuat dan maju. Jika terjadi huru-hara, negeri lain
tidak akan bisa menghancurkannya. Karena huru-hara itu pasti bisa dipadamkan! Malah aku kira suatu
saat negeri Chin akan menjadi jago di antara negeri-negeri kecil. Bahkan akan mengangkat pamor
Kerajaan Ciu!”

”Menurut pendapatmu huru-hara itu akan terjadi kapan?” kata Li Kek.

”Aku rasa kurang dari sepuluh tahun lagi.”

Li Kek mencatat ucapan Kwe Yan di dalam buku hariannya untuk dijadikan peringatan baginya. Setelah
berbincang-bincang sekian lamanya, Kwe Yan permisi akan pulang, dia diantar oleh Li Kek sampai di
depan pintu luar.

***

Sejak Raja Chin Hian Kong mengangkat Li Ki menjadi Permaisuri, semakin hari cintanya semakin kekal,
sehingga timbul niat Raja Chin hendak mengangkat He Ce menjadi Si-cu (Putera Mahkota).

Pada suatu hari Raja Chin menyampaikan niatnya itu kepada Li Ki. Mendengar niat Raja Chin Hian Kong
mengangkat putera Li Ki menjadi Putera Mahkota, Li Ki menundukan kepalanya sambil berpikir.

”Memang ini yang aku sangat harap-harapkan,” pikir Li Ki. ”Tetapi, Sin Seng sudah diangkat menjadi
putera Mahkota. Jika tanpa sebab mengubah kedudukan Sin Seng, aku khawatir semua menteri tidak
akan sepakat. Pasti mereka akan menolak putusan Raja Chin yang aneh itu. Apalagi Tiong Ji dan Ie Gouw
sangat akrab dengan Sin Seng. Ach, sudahlah, jika ketiga Kong-cu (Pangeran) itu masih ada di sini, tidak
ada gunanya masalah itu dibicarakan. Percuma saja dan sia-sia saja. Paling benar aku harus menjalankan
tipu-muslihat yang halus, supaya sekali bergerak akan berhasil.”

Sesudah pikirannya tetap, Li Ki berlutut di hadapan Raja Chin Hian Kong sambil berkata dengan suara
sedih.

”Jangan, Tuanku! Jangan Tuanku lakukan!” kata Li Ki. ”Jangan lupa ketika Sin Seng diangkat, semua Raja
Muda mengetahuinya. Sin Seng pandai dan tidak bersalah. Jika karena Tuanku sangat mencintaku dan
anakku, lalu Tuanku menyingkirkan Sin Seng, maka orang di seluruh benua ini akan mengutuk Tuanku!
Dari pada aku harus menanggung malu seumur hidupku, lebih baik aku bunuh diri saja!”

”Oh, jangan! Jika kau tidak setuju ya sudah, mengapa kau harus berkata begitu?” kata Raja Chin Hian
Kong. Buru-buru dia bangunkan Li Ki yang sedang berlutut di hadapannya. Raja Chin mengira ucapan
”jantung hatinya” itu sangat tulus dan ikhlas.

***
Di antara menteri-menteri baginda Chin, ada dua Ta-hu (Menteri Besar) yang Chin Hian Kong paling
sayang dan dia percayai. Yang seorang bernama Liang Ngo, yang satu lagi bernama Tong Koan Ngo. Dua
pembesar itu menjadi mata-mata Chin Hian Kong untuk menyelidiki keadaan di luaran. Hanya sayang
perangai mereka kejam dan tamak atau serakah. Lantaran sangat dipercaya mereka berani berbuat
semena-mena dan sok berkuasa. Orang-orang di negeri Chin menamakan mereka Ji Ngo (Dua Ngo).

Selain mereka berdua ada lagi seorang yang berasal dari tanah Yu Si. Usianya masih sangat muda,
parasnya cakep. Kepandaian orang ini banyak dan sangat pandai bicara. Orang ini sangat disayang oleh
Chin Hian Kong, sehingga dia bebas keluar masuk istana baginda tanpa gangguan.

Di luar tahu Chin Hian Kong, Permaisuri Li Ki punya hubungan rahasia dengan Yu Si. Bahkan Yu Si
menjadi kekasih gelap sang permaisuri ini. Tentang maksud baginda dan rencana baginda mengangkat
puteranya menjadi raja, oleh Li Ki disampaikan pada Yu Si.

Li Ki minta bantuan kepada Yu Si untuk menyingkirkan ke-tiga pangeran, Sin Seng, Tiong Ji, dan Ie Gouw,
supaya He Ce, bisa merebut kedudukan Sin Seng.

”Untuk menyingkirkan mereka ke tempat jauh, harus ada alasan yang kuat. Misalnya mereka diminta
untuk menjaga tapal batas negara,” kata Yu Si. ”Tetapi itu tidak mudah. Harus ada usulan pejabat dari
luar kota. Kebetulan sekarang Dua Ong sedang sangat berluasa. Mari kita suap mereka berdua agar
mereka mau mengajukan usul untuk meminta ketiga pangeran itu bertugas di perbatasan!”

Li Ki setuju pada rencana yang dibuat oleh Yu Si, bahkan dia anggap sangat sempurna. Li Ki mengambil
emas dan kain sutera yang bagus, barang-barang itu diserahkan kepada Yu Si untuk diantarkan kepada
Dua Ngo yang serakah itu. Yu Si membawa barang berharga itu ke rumah dua pejabat busuk tersebut.
Kedatangan Yu Si disambut dengan manis oleh tuan rumah.

”Hong-houw (Permaisuri) meminta pada hamba untuk membawa hadiah ini. Hamba harap Tuan-tuan
mau menerimanya,” kata Yu Si.

”O, Hong-houw begitu baik, beliau sangat memperhatikan pada kami bedua,” kata dua menteri korup
itu. ”Kami rasa Hong-houw mungkin punya tugas untuk kami berdua, katakan saja! Kami berdua tidak
berani menerima hadiah beliau ini.”

Yu Si segera menceritakan satu persatu dengan jelas, apa yang Li Ki inginkan dari mereka berdua.
Setelah mendengar penjelasan dari Yu Si, kedua menteri korup itu mengangguk.

Sesudah berpikir sejenak kemudian mereka mengajukan sebuah syarat.

”Kami berdua siap melaksanakan tugas dari Hong-houw, tetapi kami harus dibantu oleh Tong Koan
Ngo,” kata mereka.

”Oh, jangan takut! Semua itu sudah dipikirkan oleh Hong-houw. ” kata Yu Si.

Mendengar keterangan dari Yu Si mereka sangat girang, sesudah membenahi barang hadiah dari Hong-
houw, mereka langsung ikut dengan Yu Si. Mereka bersama-sama pergi ke rumah Tong Koan Ngo.
Begitu mereka sampai di rumah Tong Koan Ngo, tuan rumah menyambut kedatangan mereka dengan
senang hati. Sesudah mereka dipersilakan duduk, tuan rumah bertanya.

”Apa maksud kedatangan kalian semua?” tanya Tong Koan Ngo.

Pertama-tama Yu Si menyerahkan barang bingkisan dari Permaisuri Li Ki kepada tuan rumah, baru
kemudian dia menceritakan bagaimana rencana Permaisuri Li Ki yang sebenarnya. Dua orang menteri
korup itu membantu menjelaskan keterangan Yu Si pada Tong Koan Ngo.

Seperti kedua menteri korup itu Tong Koan Ngo memang orangnya tamak atau serakah. Melihat barang
bingkisan yang berharga mahal itu, matanya jadi berkunang-kunang dan silau. Dia pikir jika usaha
mereka bisa berhasil, mereka bakal bisa lebih berpengaruh. Dengan gembira dia lalu berjanji siap
melaksanakan tugas tersebut. Sesudah mengatur siasat yang akan dijalankan, dua menteri pengkhianat
dan Yu Si pulang.

Esok harinya……

Ketika Raja Chin Hian Kong sedang mengadakan sidang dengan para pembesar di istananya, dua orang
menteri yang diberi gelar Ji Ngo (Dua Ngo) bangkit dari tempat duduknya dan mulai bicara.

”Kota Kiok-ah, sebuah kota yang telah ditinggalkan oleh Raja kita almarhum,” kata menteri korup itu.

”Di tempat itu telah dibangun kelenteng Raja almarhum. Sedang tanah Po dan Kut ada di dekat tempat
tinggal bangsa Jiong dan Tek. Di tempat itu batas negara kita. Kedudukan tiga tempat itu sangat penting,
maka harus ditempatkan orang yang paling bisa dipercaya mengawasinya. Jika di Kiok-ah tidak
ditempatkan seorang pembesar, maka rakyat di sana merasa tidak tenteram. Jangan lupa bangsa Jiong
dan Tek sewaktu-waktu akan datang mengganggu penduduk.”

”Siapa orangnya yang paling pantas untuk bertugas di sana?” tanya Raja Chin Hian Kong.

”Menurut hamba Tuanku bisa memerintahkan Putera Mahkota Sin Seng menjadi pejabat di Kiok-ah,
sedang Pangeran Tiong Ji dan Pangeran Ie Gouw menjadi pembesar di Po dan Kut. Dengan demikian
negeri Chin akan tetap aman sentausa.” jawab menteri korup itu.

”Ucapanmu benar sekali,” kata Raja Chin Hian Kong. ”Tetapi ingat Sin Seng, Putera Mahkota. Apa pantas
dia tinggal jauh dari Ibukota negara?”

”Putera Mahkota terhitung Wakil Raja. Sedang Kiok-ah terhitung kota besar yang ke dua setelah Ibukota
Kerajaan. Jika bukan Putera Mahkota Sin Seng yang tinggal di sana, jelas tidak pantas,” kata Tong Koan
Ngo ikut mempengaruhi raja.

”Baiklah, tempatkan Putera Mahkota Sin Seng di Kiok-ah agar diurus olehnya. Tetapi Po dan Kut
tanahnya gersang. Bagaimana aku bisa memerintahkan Tiong Ji dan Ie Gouw pergi ke sana
menjaganya?” kata Chin Hian Kong.
”Memang, jika di sana tidak dibangun kota jadi kosong, tetapi jika sudah dibangun kedua tempat itu
akan menjadi dua kota yang ramai,” kata Tong Koan Ngo.

”Bagus,” kata dua rekan Tong Koan Ngo. ”Karena ini negeri Chin akan mempunyai dua kota yang baru.
Dengan tempat-tempat itu dijaga oleh orang terpercaya, maka negara Chin akan bertambah kuat dan
kokoh.”

Raja Chin Hian Kong bisa diakali oleh dua menteri dorna tersebut, karena mereka pun dibantu oleh Tong
Koan Ngo. Raja malah girang sekali, sehingga rencana busuk menteri-menterinya dia anggap suatu
keberuntungan untuk masa depan kerajaannya.

Raja Chin Hian Kong memerintahkan Tio Siok untuk segera meninggikan kota Kiok-ah dan juga
memperluas daerahnya; kota tersebut kemudian diberi nama kota Sin-shia (Kota Baru). Sedang Su Kui
diperintahkan membangun kota di tanah Po dan Kut.

Di antara orang-orang yang menerima perintah itu, Su Kui tahu benar apa yang sedang terjadi. Dia tahu
keinginan Permaisuri Li Ki yang hendak merebut posisi Sin Seng untuk puteranya. Maka dengan sengaja
dia membuat kota itu sembarangan saja. Ketika ada orang yang bertanya kepadanya dia acuh tak acuh.

”Mengapa dua kota tersebut tidak dibangun dengan kuat dan bagus?” tanya orang.

Sambil tertawa Su Kiu menjawab, ”Beberapa tahun lagi pun kedua tempat ini akan menjadi daerah
musuh, untuk apa dibangun terlalu kuat?” kata Su Kui.

Sesudah Sin Seng, Tiong Ji dan Ie Gouw tinggal di tempat yang jauh, di istana hanya tinggal Pangeran He
Ce dan Tok Cu. Sejak saat itu kelakuan Li Ki jadi semakin angkuh. Waktu itu keadaan negeri Chin sedang
kokoh-kokohnya, negeri ini memiliki menteri yang pandai dan tentaranya sangat kuat dan gagah.

Pada suatu hari……

Raja Chin Hian Kong yang serakah telah mengajak Putera Mahkota Sin Seng, Tat-hu Tio Siok dan Pit Ban,
mereka mengerahkan pasukan menyerang ke negeri Keng, negeri Hok dan negeri Gwi. Dalam
peperangan itu Chin Hian Kong beruntung bisa mengalahkan ketiga negara tersebut.

Dalam peperangan tersebut Sin Seng berpahala besar, sehingga Permaisuri Li Ki jadi semakin khawatir
kepadanya. Maka itu dia jadi semakin giat mencari akal untuk mencelakakan Sin Seng.

***

Dikisahkan di negeri Couw……..

Putera Raja Couw yang bernama Him Pi dan Him Tan sekalipun sama-sama dilahirkan oleh Permaisuri
Sit-kui yang cantik, tetapi Him Tan lebih pandai dari kandanya. Permaisuri Bun sangat sayang kepadanya
dan rakyat negeri Couw pun suka.

Tatkala Him Pi telah menggantikan kedudukan ayahnya menjadi raja, hati Him Pi tidak tenram. Dia selalu
merasa khawatir pada sang adik yang cerdas itu. Dia juga tahu ibunya dan rakyat negeri Couw lebih suka
kepada adiknya. Him Pi sangat cemas dan khawatir, karena suatu ketika nanti dia akan disingkirkan oleh
adiknya itu. Tidak heran sehingga acapkali dia mencari kesalahan Him Tan dan hendak dibinasakannya.
Tetapi karena banyak menteri yang menyukai Him Tan, usaha Him Pi membunuh adiknya selalu gagal.

Him Pi sangat suka berburu binatang di hutan, dia tidak mau mengurus urusan pemerintahan. Sekalipun
dia sudah menjadi raja tiga tahun lamanya, tidak kelihatan hasil kerjanya untuk negara.

Him Tan mengetahui kakaknya itu dengki terhadapnya dan hendak membinasakan dia. Terpaksa
senantiasa dia pun berikhtiar untuk membinasakan kakakanya itu. Dia akan mendahului kakaknya
sebelum dia dibunuh oleh sang kakak.

Pada suatu hari…..

Ketika Him Pi sedang pergi berburu, Him Tan menggunakan kesempatan yang baik itu. Dia
memerintahkan orangnya untuk membunuh Him Pi, sesudah Him Pi meninggal. Him Tan memberi tahu
ibunya bahwa kakaknya, Him Pi telah meninggal karena sakit. Sekalipun Sit-kui alias Permaisuri Bun
merasa curiga, tetapi dia tidak mencari tahu lebih jauh tentang kematian putera sulungnya itu.
Kemudian Sit-kui memerintahkan semua menterinya agar segera mengangkat Him Tan menjadi raja
bergelar Couw Seng Ong. Ong-cu Sian atau yang disebut juga Chu Goan, adalah adik dari Raja Couw Bun
Ong, atau paman Him Tan. Chu Goan telah diangkat menjadi Leng-i (Perdana Menteri) di negeri Couw.

Chu Goan seorang yang keji dan berpikiran cupet. Sejak kandanya, Couw Bun Ong meninggal dunia,
ketika itu Him Pi dan Him Tan masih sangat muda. Chu Goan yang berpangkat tinggi itu jadi angkluh. Dia
melihat keelokan Sit-kui bekas isteri kandanya seperti setangkai bunga Bouw-tan (Bunga Mawar atau
Ros) yang sedang mekar, atau seperti bulan purnama yang bercahaya gilang-gumilang. Maka timbul
pikiran buruknya. Senantiasa dia ingin merampas tahta kerajaan dan mengambil Permaisuri Bun (Sit-kui)
yang cantik menjadi isterinya.

Sekalipun Chu Goan sudah lama bermaksud buruk begitu, tetapi karena takut pada Tay-hu Pek Pi yang
jujur dan pandai. Chu Goan terpaksa menahan keinginannya itu.

***

Pada tahun pemerintahan Ciu Hui Ong yang ke-sebelas……..

Karena Touw Pek Pi terserang penyakit berbahaya, dan akhirnya dia meninggal dunia. Meninggalnya
Touw Pek Pi sangat menggembirakan hati Chu Goan. Memang hal itu yang dia harap-harap setiap saat.
Bahkan jika Giam Lo Ong atau Raja Akherat itu sahabatnya, sudah lama Chu Goan akan meminta
bantuannya untuk membinasakan Pek Pi.

Sejak kematian Touw Pek Pi tidak seorang pun yang diindahkan lagi oleh Chu Goan.

Kemudian dia membangun sebuah gedung besar di samping istana bekas isteri kakaknya. Sesudah jadi,
ia tinggal di sana, dan setiap hari Chu Goan memerintahkan orang memainkan musik. Nyanyian yang
dipersembahkan sangat merdu. Semua itu dimaksudkan Chu Goan untuk menarik perhatian Permaisuri
Bun yang dia rindukan sejak dahulu. Ketika itu permaisuri Bun belum mengetahui bahwa Chu Goan
membangun gedung dan tinggal di sebelah istananya. Setiap hari siang dan malam Permaisuri Bun
mendengar suara musik dan nyanyian yang merdu tidak hentinya. Dia heran lalu bertanya kepada
budaknya.

”Hei, apa kau dengar suara musik yang merdu itu?” tanya Permaisuri Bun.

”Ya, Tuanku,” sahut budak itu dengan hormat.

”Kau juga mendengar suara orang menyanyi?”

”Ya, mendengar, Tuanku.”

”Siapa yang membuat pesta sepanjang hari?”

”Leng-i Chu Goan, Tuanku.” sahut sang budak.

”Di mana?”

”Di gedung Leng-i yang baru.”

Permaisuri Bun menggelengkan kepalanya, sambil menghela napas ia berkata, ”Waktu Raja Couw
almarhum masih hidup dan berkuasa, dia rajin sekali. Tiap hari senantiasa dia latih dan memimpin
tentara, sehingga angkatan perang Couw sangat kuat. Banyak Raja-raja Muda yang takut kepadanya.
Mereka datang mengantar upeti tidak berhentinya. Angkatan perang Couw sudah 10 tahun tidak pergi
ke daerah Tiongkok. Chu Goan bukan berusaha untuk membangun kembali pamor negeri Couw, malah
terus bersenang-senang di dekat istanaku. Sungguh kurangajar sekali dia!”

Melihat Permaisuri Bun tidak senang pada Chu Goan, budak itu menyampaikan ucapan Permaisuri Bun
tersebut kepada Chu Goan.

Mendengar laporan budak itu Chu Goan marah dan berkata, ”O, kalau begitu Permaisuri belum
melupakan Tiongkok? Aku pun tidak akan melupakannya! Baiklah, akan kulabrak negeri The. Jika aku
tidak bisa menalukkannya, aku bukan seorang laki-laki!” Begitu Chu Goan sesumbar di depan budak itu.

Budak Permaisuri Bun meyampaikan omongan Chu Goan kepada Permaisuri Bun. Mendengar laporan
budaknya itu Permaisuri Bun sangat girang. Dia mengira Chu Goan memiliki kepandaian dan keberanian
untuk itu.

Chu Goan yang ingin dipuji oleh Permaisuri Bun dan dianggap gagah, dia menyiapkan angkatan perang
dan memerintahkan Touw Gi Kiang dan Touw Gouw memimpin pasukan depan. Ong Sun Yu dan Ong
Sun Ke memimpin pasukan belakang. Dia sendiri memimpin pasukan induk. Angkatan perang ini
berangkat menuju ke negeri The.

Ketika pasukan Couw sudah hampir sampai di negeri The, juru kabar dari negeri The melaporkan
kedatangan tentara Couw pada rajanya.
Mendengar laporan itu The Bun Kong kaget. Dia kumpulkan semua menterinya untuk diajak berunding.

”Tentara negeri Couw sangat kuat dan jumlah mereka pun besar sekali,” kata Touw Siok, ”hamba rasa
pasukan perang kita tidak akan sanggup melawan mereka. Lebih baik kita minta berdamai saja.”

”Belum lama telah mengadakan perserikatan dengan negeri Cee. Aku yakin jika Raja Cee mendengar kita
diserang musuh, mereka akan datang menolong kita! Lebih baik kita jaga saja kota kita dengan kuat. Kita
tunggu datangnya bala-bantuan dari negeri Cee.” kata Su Siok.

”Tidak, aku tidak setuju!” kata Si Cu putera Raja The Bun Kong. ”Jika Ayah memberi izin, aku bersedia
memimpin pasukan perang.”

Pendapat tiga orang itu sangat berlainan itu membuat The Bun Kong kesal dan bingung. Dia tidak tahu
harus mengambil putusan yang mana yang lebih baik. Melihat raja mereka bingung, Siok Ciam
menyampailan pendapatnya.

”Di antara tiga usul yang disampaikan tadi, hamba setuju pada usul Su Siok. Menurut dugaan hamba jika
kota kita jaga keras, tidak lama tentara Couw itu akan mundur sendiri.” kata Siok Ciam.

”Ach, masa bisa jadi begitu!” kata The Bun Kong dengan alis mengkerut. ”Angkatan perang itu dipimpin
oleh Cu Goan sendiri. Bagaimana bisa semudah itu mundur?”

”Dugaan hamba sangat berdasar dan ada alasannya,” kata Siok Ciam.

”Bagaimana menurut dugaanmu dan alasannya itu?” kata Raja The.

”Hamba mendengar khabar Chu Goan sedang tergila-gila kepada Permaisuri Bun. Dia menyerang ke sini
hanya mau mencari muka saja. Dia ingin memamerkan keberaniannya pada Permaisuri Bun. Hamba
punya resep untuk membuat dia mundur teratur.” kata Siok Ciam.

Raja The Bun Kong diam saja seperti orang yang sedang berpikir. Saat usul sedang dipertimbangkan
bagaimana akan diambil putusan, tiba-tiba seorang juru kabar datang memberi laporan.

”Tentara dari negeri Couw sudah berhasil merebut kota Kit-kwan dan kini sudah masuk dan berada di
luar ibukota. Sekarang mereka sedang berusaha masuk ke pintu Sun-bun (nama pintu bagian luar
halaman istana) dan hampir sampai di Kui-ci (jalan raja di dalam pekarangan istana raja).” kata si
pelapor.

”Wah, celaka, tentara Couw sudah datang mendesak kita!” seru Touw Siok dengan cemas.

”Oh, jangan takut, aku akan melaksanakan tipuku ini!” kata Siok Ciam dengan mantap.

Sehabis berkata begitu Siok Ciam mengeluarkan perintah pada semua tentara The supaya mereka
bersembunyi di dalam kota. Semua pintu kota harus dibuka lebar seperti biasa. Begitu juga rakyat negeri
yang berjalan pulang-pergi dinasihati agar tidak boleh kelihatan gentar atau ketakutan.
Ketika pasukan Couw yang dipimpin oleh Touw Gi Kiang dan Touw Gouw sudah sampai, mereka melihat
di kota raja The tenang-tenang saja. Melihat hal itu mereka jadi curiga.

”Ah barangkali musuh sudah mengatur bai-hok (Pasukan sembunyi untuk menjebak mereka), kita harus
hati-hati!” kata Touw Gi Kiang.

Karena itu mereka tidak berani menerjang ke dalam kota. Tetapi mereka segera mundur lima li jauhnya
dari kota raja The. Di sana mereka mendirikan perkemahan tentaranya. Tidak berapa lama pasukan
besar yang dipimpin oleh Cu Goan telah sampai di tempat itu. Pasukan induk ini disambut oleh Touw Gi
Kiang dan Touw Gouw. Mereka segera memberi tahu keadaan kota Raja The pada Chu Goan.

Chu Goan memang orang berpikiran pendek dan cupet. Setelah mendengar keterangan itu dia jadi
panik. Dengan jantung berdebar-debar dia naik ke tempat yang tinggi akan melakukan pemantauan ke
kota raja The. Dia lihat bendera-bendera di dalam kota teratur rapih dan tentara The berbaris siap untuk
berperang.

Sesudah melihat hal itu Chu Goan bengong sampai seketika lamanya. Dia menarik napas seperti orang
yang sangat berduka.

”Ya, memang aku sudah tahu. Di negeri The ada tiga orang menteri yang pandai dan budiman,” kata Chu
Goan. ”Mereka sangat mahir mengatur siasat perang. Sekarang jika aku serang dan pasukanku rusak
berat, mana aku punya muka untuk menemui Permaisuri Bun?” pikir Chu Goan.

Sambil menggelengkan kepalanya Chu Goan lalu berkata.

”Akan kukirim mata-mata untuk menyelidiki keadaan. Jika ini cuma sekedar sebuah tipuan, baru kita
serang mereka!” kata Chu Goan pada anak buahnya.

Semua panglimanya membenarkan pendapat Cu Goan tersebut. Maka dengan hati sedikit lega Chu
Goan berjalan perlahan-lahan. Dia turun dari tempat yang tinggi itu akan kembali ke kemahnya, tetapi
dia tidak segera menyebarkan mata-matanya untuk menyelidiki keadaan musuh. Hati Chu Goan tetap
sangsi dan ragu-ragu.

***

Esok harinya……

Ong Sun Yu yang memimpin pasukan bagian belakang telah melaporkan pada Cu Goan.

”Raja Cee dan Raja Song juga Raja Louw telah datang dengan pasukan besar membantu negeri The!”
demikan kata utusan dari Ong Sun Yu pada Chu Goan. Mendengar laporan itu Chu Goan terkejut,
dengan sangat gugup dan khawatir dia berkata pada anak buahnya.

”Oh, ini tidak boleh dianggap enteng,” kata Chu Goan. ”Jika Raja-raja Muda menghadang jalan pulang
kita, artinya kita diserang dari depan dan dari belakang. Sudah pasti angkatan perang kita akan rusak
berat! Kita sudah bisa merampas kota Kui-ci, itu sudah bisa dikatakan cukup bagus!” Lebih baik sekarang
kita pulang saja.” kata Chu Goan.

Melihat pemimpin mereka begitu pengecut, para panglima pun ikut jerih. Mereka setuju pada rencana
Chu Goan untuk pulang ke negaranya.

Malam itu juga Chu Goan memerintahkan tentaranya membenahi semua barang-barang mereka.
Sesudah selesai dibereskan dengan diam-diam mereka berangkat kembali ke negaranya. Chu Goan
khawatir jika tentara The mengetahui mereka pulang, tentara The akan mengejar mereka. Sengaja
mereka tidak membongkar perkemahan mereka. Begitu pun bendera besar mereka, dia tinggalkan tetap
berkibar di tempatnya.

Setelah pasukan perangnya sudah keluar dari perbatasan negeri The, Chu Goan memerintahkan
tentaranya membunyikan tambur dan gembreng. Mereka juga diperintahkan supaya bernyanyi
menyanyikan lagu kemenangan. Dengan demikian dia berharap Permaisuri Bun memuji keperkasaannya
dan kagum kepadanya.

Ketika hampir sampai di negeri Couw, Chu Goan sengaja mengirim juru kabar mendahului
kedatangannya kepada Permaisuri Bun. Dikatakan oleh utusan itu bahwa Leng-i Chu Goan sesudah
mendapat kemenangan besar telah pulang kembali ke negerinya.

Mendengar laporan itu Permaisuri Bun tersenyum. Dia berkata kepada pesuruh Chu Goan, ”Oh,
syukurlah! Jika betul begitu dan dia bisa menaklukan musuh, sungguh baik. Ini harus diumumkan ke
seluruh negeri Couw untuk membuat terang pamor Kerajaan Couw!” kata Permaisuri Bun. Kemudian
adakan sembahyang di kelenteng almarhum Raja Couw agar rohnya ikut senang! Untuk apa
memberitahu aku, aku ini hanya seorang janda!”

Pesuruh itu segera menyampaikan keterangan Permaisuri Bun kepada Chu Goan. Sindiran yang begitu
pedas ini telah membuat Chu Goan jadi malu sekali.

Tatkala Raja Couw Seng Ong mengetahui Chu Goan karena takut tanpa berperang telah mundur, Raja
Couw jadi kurang senang kepada sang paman. Mulai saat itu dia benci sekali pada pamannya itu.

***

Malam itu pada saat tentara Couw sibuk membereskan berkemas-kemas, Siok Ciam di atas kota The
rajin meronda. Dia mengajak beberapa anak buahnya pergi memeriksa di sekeliling kota. Semalam-
malaman dia tidak tidur barang sekejap pun. Setelah terang tanah (siang hari), dia awasi perkemahan
tentara Couw seketika lamanya. Tiba-tiba Siok Ciam tertawa terbahak-bahak. Jari tangannya menunjuk
ke arah benteng musuh.

”Ha, ha, ha, lihatlah ke arah perkemahan itu! Kemah-kemah itu sudah kosong, tentara Couw sudah
kabur semua!” kata Siok Ciam.
Anak buah Siok Ciam tidak percaya ucapan atasannya. Mereka minta agar Siok Ciam menjelaskan
mengapa atasannya itu mengatakan perkemahan musuh telah kosong.

”Perkemahan tentara merupakan tempat tentara dan panglima berada. Dari sana angkatan perang
diatur rapi. Yang pasti di tempat itu akan terdengar suara tentara yang riuh sekali,” kata Siok Ciam.
”Tetapi sekarang, benteng itu lengang! Aku melihat sekawanan burung hinggap di atas tenda-tenda itu.
Burung-burung itu berkicau sangat gembira. Jelas di kemah itu sudah tidak ada orangnya! Aku rasa
pasukan negeri Cee dengan sekutunya telah datang akan membantu kita! Karena tahu tentara Cee
datang, Chu Goan buru-buru kabur!”

Tidak berapa lama sehabis Siok Ciam mengucapkan kata-katanya, benar saja segera datang juru kabar
membawa warta.

”Raja Cee bersama sekutunya datang. Tetapi mereka baru sampai di perbatasan negeri The, tentara
negeri Couw sudah ditarik mundur.” kata utusan itu.

Mendengar keterangan utusan itu semua panglima negeri The kagum dan memuji kepandaian Siok
Ciam. Raja The segera mengirim utusan untuk mengucapkan terima kasihnya kepada Raja Cee.

Dikisahkan di negeri Couw …..

Sepulang dari negeri The dan Chu Goan tidak berhasil mengalahkan negeri tersebut. Dia kesal dan
mendongkol sekali. Apalagi Chu Goan mengetahui Raja Couw Seng Ong kurang senang kepadanya.
Ditambah lagi siang dan malam dia terkenang saja pada kecantikan Permaisuri Bun. Terkadang Chu
Goan mendapat impian yang tidak karuan. Hal itu membuat dia tidak enak makan dan tidak enak tidur.
Niatnya akan merampas tahta kerajaan jadi semakin keras.

Tetapi niat itu belum juga bisa dilaksanakan. Pikiran Chu Goan maju-mundur. Dia masih takut jika hal itu
dia lakukan Permaisuri Bun akan marah. Dengan demikian dia akan kehilangan ”jantung hatinya”. Maka
dia putuskan akan mendapatkan si cantik dulu, baru merebut tahta.

***

Pada suatu hari….

Permaisuri Bun agak kurang sehat. Mendengar kabar itu Chu Goan jadi bersemangat. Timbul
harapannya yang sudah lama terpendam itu. Dengan berpura-pura hendak menanyakan kesehatan
Permaisuri Bun, dia pergi ke istana Raja. Di sana dia tinggal tiga hari lamanya. Para pengikut Cu Goan
yang berjumlah hampir 200 orang, diperintahkan berjaga di luar istana.

Ketika Tay-hu (Menteri Besar) Touw Liam mendengar kabar tentang kelakuan Chu Goan, buru-buru dia
pergi ke istana raja. Begitu sampai di sebuah kamar yang terhias indah, dia lihat Chu Goan sedang ada di
depan sebuah kaca besar. Dia sedang menyisir rambutnya dengan tingkah ceriwis.

”Hm, apa yang sedang kau kerjakan di sini, Leng-i?” Touw Liam menegur sambil menggelengkan
kepalanya. ”Apa kau kira ini tempatmu berhias? Hayo, Leng-i, lekas keluar dari sini!”
Chu Goan yang berharap Permaisuri Bun jatuh cinta kepadanya, itu sebabnya selama tiga hari dia selalu
berhias. Sebentar-bentar dia pandang wajahnya di kaca. Dia berjalan hilir-mudik di depan kamar
Permaisuri Bun. Dia harap Permaisuri Bun akan menegurnya.

Ketika itu Chu Goan sedang berhias dengan pikiran bimbang. Dia jadi terperanjat mendengar teguran
Touw Liam. Bahkan Touw Liam yang memergokinya langsung mengusir dia. Tentu saja kejadian ini
membuat dia jadi mendongkol sekali. Dengan mata melotot dia menyahut.

”Tempat ini tempat keluarga kami, apa hubungannya denganmu?” bentak Chu Goan.

”Aturan dari mana yang kau jalankan?” balas Touw Liam. ”Tahukah kau demi kemuliaan Raja, seorang
adik Raja pun dilarang melanggar adat-istiadat. Ditambah lagi tempat ini berdekatan dengan istana
Ibusuri. Sekarang silakan keluar!”

”Hm, kau jangan banyak bicara di hadapanku!” kata Chu Goan.”Jangan lupa kekuasaan di negeri Couw
ada di tanganku! Sungguh berani kau kurangajar kepadaku!”

Ketika Touw Liam mau bicara lagi, Chu Goan sudah berteriak memanggil anak buahnya.

”Prajurit, tangkap orang ini!”kata Chu Goan dengan kasar.

Anak buah Chu Goan langsung menangkap Touw Liam yang segera diikat pada sebuah tiang istana.
Keributan di luar kamar Permaisuri Bun telah didengar oleh Permaisuri Bun. Segera dia memerintahkan
budaknya mengintai. Dia ingin tahu apa yang sedang terjadi.

Tidak lama budaknya sudah kembali melapor.

”Di luar Leng-i Chu Goan sedang bertengkar dengan Menteri Touw Liam. Sekarang Menteri Touw Liam
sudah ditangkap dan diikat oleh anak buah Chu Goan.” kata budak tersebut.

”Menteri Touw Liam menyebut Cu Goan tidak sopan, dia berani berada di dekat kamar Tuanku sampai
tiga hari tiga malam. Entah untuk apa?”

Mendengar laporan itu Permaisuri Bun kaget. Apalagi merndengar Touw Liam ditangkap. Segera dia
perintahkan budaknya memanggil Touw-kok O-to. Dia minta agar menteri ini membereskan masalah
keributan di istananya.

Begitu mendengar kabar itu Touw-kok O-to buru-buru menemui Raja Couw Seng Ong. Dia langsung
melaporkan apa yang terjadi di istana Ibunda Raja tersebut.Raja Couw marah bukan main. Dia berkata
pada Touw Gouw, Touw Gi Kiang dan Touw Pan, juga Touw-kok O-to agar pada tengah malam mereka
bersama-sama menangkap Chu Goan.

Tepat pada tengah malam Touw Gouw, Touw Gi Kiang dan Touw Pan mengerahkan pasukan. Mereka
mengepung istana Permaisuri Bun. Anak buah Cu Goan mencoba menghalang-halangi mereka, tetapi
pasukan ini langsung melabraknya sehingga mereka bubar semua.
Ketika itu Chu Goan sedang tidur dan bermimpi indah di sebuah kamar. Ketika mendengar suara ribut-
rubut Chu Goan bangun dari tidurnya. Dia sadar dengan kaget dan tahu istana sudah dikepung oleh
pasukan istana. Buru-buru Chu Goan mengambil pedangnya. Dia berjalan keluar akan melawan.
Kebetulan Chu Goan berpapasan dengan Touw Pan yang juga memegang sebilah pedang. Touw Pan
hendak masuk ke dalam istana. Chu Goan mengenali Touw Pan yaitu putera Touw Kok O-to.

”Astaga, kiranya kau yang membuat gaduh itu, hai bocah!” bentak Chu Goan.

”Bukan aku yang membuat gaduh, tetapi aku ingin menumpas biang kerusuhan!” sahut Touw Pan
dengan gagah. Touw Pan langsung mengangkat pedangnya menyerang Chu Goan.

Buru-buru Chu Goan menangkis serangan Touw Pan dengan pedangnya. Chu Goan pun membalas
menyerang. Di tempat itu mereka berdua bertarung dengan hebat. Baru bertarung beberapa jurus,
Touw Gi dan Touw Gouw tiba-tiba muncul di tempat itu. Mereka beramai-ramai membantu Touw Pan
mengepung Chu Goan.

—ooOOOoo—

Bab 7

Karena dikepung oleh tiga orang famili Touw yang gagah perkasa,
Chu Goan tidak mampu menghadapi mereka. Terpaksa Chu Goan mundur ke arah pintu dengan maksud
hendak melarikan diri dari istana. Tetapi sebelum tercapai maksudnya, pedang Touw Pan sudah keburu
menyamber ke kepalanya. Pada saat itu juga Chu Goan tersungkur jatuh ke lantai dan tewas. Ketika
Touw Kok O-to melihat Touw Liam terikat di tiang istana, buru-buru dia membukakan ikatan pada tubuh
Touw Liam.
Sesudah kekacauan dipadamkan mereka berlutut di depan pintu kamar Permaisuri Bun. Dengan sikap
menghormat mereka menanyakan kesehatan Sang Ratu juga menjelaskan apa yang telah terjadi di
depan kamarnya. Mereka menjelaskan bahwa Chu Goan telah binasa.

”Terima kasih atas cape-lelah kalian semua!” kata Permaisuri Bun.

Sesudah semua menteri memberi hormat, kemudian mereka meninggalkan istana Sang Ratu.

Esok harinya, ketika Raja Couw Seng Ong Him Tan ada di istana, sesudah semua menteri menjalankan
kehormatan, Raja Couw memerintahkan anak buahnya untuk membunuh habis sanak keluarga Chu
Goan. Raja memerintahkan menempelkan maklumat di jalan-jalan yang penting. Memberitahukan pada
rakyat bahwa Chu Goan berdosa besar hingga dihukum mati.

Raja memberi hadiah pada famili Touw yang berjasa itu. Di antara kaum Touw, Touw-kok O-to yang
paling pandai mengatur pemerintahan. Dialah menteri negeri Couw yang paling utama. Dia putera dari
Touw Pek Pi. Kakek Touw-kok O-to bernama Touw Jiak Go, ibunya seorang putri Raja In. Ketika
meninggal usia Touw Pek Pi masih sangat muda. Terpaksa Touw Pek Pi ikut dengan ibunya tinggal di
negeri In. Ketika Touw Pek Pi sudah dewasa, dia mengadakan hubungan gelap dengan putri Raja In.
Ketika putri Raja In itu hamil dan ketahuan oleh ibunya, si nyonya melarang orang buka rahasia.
Kemudian putrinya dilarang berhubungan lagi dengan Touw Pek Pi.

Touw Pek Pi karena malu pergi ke negeri Couw dan bekerja di negerii Couw. Putri In melahirkan seorang
anak lelaki, Nyonya Raja In takut suaminya mengetahui rahasia itu. Dia memerintahkan budaknya
membungkus bayi tersebut dengan baju dan membuangnya di suatu tempat dalam sebuah rimba.

Pada suatu hari Bong Tek, Raja In melihat ada seekor harimau sedang menyusui bayi. Ketika pulang ke
istana dia memberitahu isterinya. Nyonya Raja terpaksa berterus terang. Bahwa putri mereka telah
mengadakan hubungan gelap dengan Touw Pek Pi. Hubungan itu sampai melahirkan seorang anak lelaki.
Karena takut dimarahi oleh sang raja, maka anak itu dibuang ke tengah rimba.

”Mungkin anak yang sedang disusui oleh harimau itu, anak putri kita Tuanku?” kata Ratu.

Mendengar keterangan itu bukan main girangnya Raja In. Dia tidak gusar, malah girang sekali. Dia
perintahkan anak buahnya mengambil anak bayi yang disusui oleh harimau itu. Kemudian dia
memerintahkan menterinya mengantarkan putri dan bayinya itu ke tempat Touw Pek Pi di negeri Couw.
Tentu saja Touw Pek Pi girang bukan main. Dia menghaturkan terima kasih atas budi baik Raja In
tersebut. Karena menurut ucapan orang Couw kata susu itu disebut Kok, dan kata harimau disebut O-to,
maka dengan mengambil maksud kata susu macan, bayi itu dia beri nama Touw-kok O-to alias Cu Bun.

Sesudah Touw-kok O-to dewasa, dia belajar ilmu pemerintahan dan kemiliteranm. Touw Pek Pi sudah
menjadi menteri di negeri Couw dia meninggal dunia. Maka Touw-kok O-to-lah yang meneruskan
jabatan ayahnya.

Sesudah Chu Goan meninggal posisi Leng-i di negeri Couw telah lowong. Raja Couw berniat mengangkat
Touw Liam menjadi Leng-i untuk menggantikan Cu Goan.
”Tuanku hamba tidak punya kepandaian untuk menjadi seorang Leng-i,” kata Touw Liam menolak
kedudukan itu. ”Saat ini negeri Cee bermusuhan dengan negeri Couw. Raja Cee memakai Koan Tiong
dan Leng Cek sebagai penasihatnya. Kepandaian mereka sangat tinggi. Tidak heran jika negerinya jadi
kaya-raya dan tentaranya sangat kuat. Kepandaian hamba mana bisa dibandingkan dengan mereka
berdua. Apabila Tuanku hendak memperkuat pertahanan negara Couw juga untuk menjadi jago di
Tiong-goan (Tiongkok). Hamba rasa Tuanku harus memakai Touw-kok O-to. Jika bukan dia hamba tidak
yakin akan berhasil!” kata Touw Liam.

Baginda sadar Touw-kok O-to sangat dihormati oleh semua menteri di negeri Couw. Sesudah
mendengar dukungan dari Touw Liam pada Touw-kok O-to, Baginda pun setuju sekali mengangkat
Touw-kok O-to menjadi Perdana Menterinya.

Raja Couw Seng Ong segera mengangkat Touw-kok O-to menjadi Leng-i di negeri Couw. Orang-orang di
negeri Couw dilarang memanggil namanya dengan Touw-kok O-to, melainkan memanggilnya dengan
sebutan Chu Bun saja.

Ketika itu jatuh pada tahun pemerintahan Raja Ciu Hui Kong yang ke-13. Sejak Touw-kok O-to alias Chu
Bun menerima jabatan menjadi Leng-i, dia senantiasa berusaha untuk memajukan negeri Couw. Chu
Bun sadar negeri Couw sangat lemah. Kekayaan terbesar berada di tangan para menteri baginda. Karena
itu dia bermaksud mengatur kekayaan negeri Couw dengan baik. Lalu dia membuat undang-undang
dengan tujuan agar semua menteri di negara Couw mengembalikan harta mereka; separuh saja kepada
negara. Tetapi Chu Bun bukan sekedar memberi gagasan saja. Dia malah menjadi pelopor pertama yang
mengembalikan separuh dari harta miliknya kepada negara. Pelaksanaan pengembalian kekayaan ini
terutama dimulai dari marga Touw dulu. Karena tindakan Chu Bun ini tidak seorang pun menteri di
negeri Couw yang membangkang. Mereka dengan sukarela mengembalikan sawah, tanah dan usaha
mereka separuhnya kepada negara.

Melihat posisi, kota Teng-shia sangat bagus. Di bagian selatan kota Teng-shia terlindung oleh sungai
Siang-tam-hoo, sedang di bagian utaranya terlindung oleh sungai Han-kang-hoo. Menurut pendapat Chu
Bun di tempat itu sangat baik untuk sebuah Ibukota negara. Kemudian Chu Bun mengajukan gagasan itu
pada Raja Couw. Dengan senang hati Raja Couw pun menyetujuinya.

Sesudah istana itu selesai dibangun, Raja Couw pun pindah dari kota Tam-yang ke kota Teng-
shia, nama kota itu diganti dengan nama yang baru disebut Teng-touw.

Selain itu, Chu Bun dengan giat melatih angkatan perang negeri Couw. Dia juga menempatkan orang-
orang yang pandai mengurus tentara maupun negara. Dia mendapatkan seorang bernama Kut Goan dan
Touw Ciang untuk membantu mengurus pemerintahan di negeri Couw dengan baik.

Karena kepandaian Chu Bun dalam mengurus pemerintahan di negeri Couw, ditambah lagi dia dibantu
oleh orang-orang yang pandai, maka dalam waktu singkat negeri Couw menjadi sangat makmur, aman
dan tentram sekali.

***
Ketika Raja Cee Hoan Kong mendengar tentang kemajuan di negeri Couw, dia kaget. Tetapi segera dia
mengetahui mengapa negeri Couw bisa begitu maju dan makmur. Rupanya Raja Couw pandai
menempatkan orang-orang yang luar biasa kemampuannya. Raja Cee Hoan Kong menjadi agak gentar
pada negeri Couw ini. Dia khawatir suatu saat kemajuan dan kekuatan tentara negeri Couw itu akan
menjadi bahaya bagi negaranya. Karena itu dia berniat hendak mengajak semua Raja Muda di Tiongkok
mengerahkan tentara mereka untuk menyerang lebih dahulu pada negeri Couw; sebelum mereka
didahului oleh negeri Couw tersebut. Tetapi sebelum melaksanakan niatnya itu Cee Hoan Kong
menyampaikan maksudnya itu kepada Koan Tiong.

”Raja Couw telah mengangkat dirinya menjadi Kaisar di bagian selatan Tiongkok. Daerah mereka sangat
luas dan angkatan perangnya pun sangat kuat. Aku rasa sekalipun Kaisar Ciu yang kuat tidak akan bisa
menaklukannya,” kata Koan Tiong. ”Apalagi sekarang Raja Couw sangat mengandalkan Chu Bun untuk
mengurus pemerintahan. Sehingga keadaan negerinya demikian aman. Karena itu tidak mudah kita
kalahkan dengan kekuatan angkatan perang kita! Sedang Tuanku baru mampu menggabungkan semua
Raja Muda, tetapi belum bisa menyenangkan semua orang. Bahkan belum mampu menaklukkan setiap
hati Raja Muda yang bergabung dengan kita. Maka hamba khawatir angkatan perang semua Raja Muda
pun tidak bisa kita gunakan dengan leluasa. Maka Tuanku harus melakukan berbagai kebajikan supaya
semua Raja Muda takluk hatinya. Untuk menaklukan negeri Couw, kita harus menundanya dulu dan
menunggu saat yang baik, baru kita bergerak. Dengan demikian usaha kita baru bisa berhasil dengan
baik!”

Mendengar nasihat Koan Tiong tersebut, Raja Cee mengangguk. Dia sadar akan kelemahannya itu.
Tetapi kemudian Raja Cee berkata lagi.

”Selama ini negeri Ciang masih berdaulat, mereka belum takluk kepada kita, apa tidak lebih baik kita
serang saja mereka?” kata Raja Cee Hoan Kong.

”Sekalipun negeri Ciang sangat kecil, tetapi leluhur mereka berasal dari turunan Kiang Tay Kong,*)
mereka satu She (Marga) dengan Raja Cee. Jika kita menghancurkan sesama satu She, hal ini menjadi
kurang pantas. Lebih baik Tuanku perintahkan Ong-cu Seng Hu memimpin pasukan perang pergi
meronda di kota Ki, seolah-olah Tuanku mau menyerang negeri Ciang. Dengan berbuat demikian pasti
Raja Ciang jadi ketakutan dan datang menakluk, sehingga tidak usah mendapat nama buruk kita bisa
mendapatkan daerahnya.” kata Koan Tiong.

Raja Cee Hoan Kong setuju pada pendapat Koan Tiong, begitulah dia langsung menjalankan siasat
tersebut. Benar saja Raja Ciang jadi ketakutan ketika melihat gerakan tentara Cee yang hendak
menyerang ke wilayahnya. Dia segera menyatakan ketaatannya. Raja Cee Hoan Kong memuji
kepandaian Koan Tiong.

”Hai, sesungguhnya harus kuakui, Tiong-hu memang seorang yang pandai!” kata Raja Cee Hoan Kong.

**
Pada suatu hari, saat Raja Cee sedang berunding dengan para menterinya. Tiba-tiba ada anak buahnya
yang melapor.

”Tuanku dari negeri Yan telah datang seorang utusan. Dia mengatakan negerinya kedatangan tentara
bangsa San-jiong. Raja Yan minta bantuan pada Tuanku.” kata pelapor itu.

Mendengar khabar itu Koan Tiong berkata pada Raja Cee Hoan Kong.

”Jika Tuanku hendak menyerang negeri Couw, Tuanku harus menundukkan dulu bangsa Jiong, jika
bahaya dari bangsa Jiong sudah lenyap, baru Tuanku akan berhasil menaklukkan negeri Couw!” kata
Koan Tiong.

*) Kiang Tay Kong adalah nama Kiang Cu Gee. Tokoh terkenal dalam Roman klasik Tiongkok berjudul
”Hong Sin”.

Letak negeri San-jiong di tanah Leng-ci. Negara itu di bagian barat berbatasan dengan negeri Yan, di
sebelah timur dan selatan dekat dengan negeri Cee dan Couw. Bangsa San-jiong dinilai sangat jahat oleh
orang Tiongkok. Mereka mengandalkan daerahnya yang dilindungi gunung yang tinggi-tinggi, hutan yang
lebat dan angkatan perang yang kuat. Karena itu mereka tidak mau tunduk kepada negara lain. Mereka
juga sering masuk ke wilayah Tiongkok untuk melakukan kerusuhan dan perampokan secara semena-
mena.

Mendengar khabar Raja Cee hendak menjadi jago di benua Tiongkok, dengan sengaja Raja bangsa San-
jiong mengerahkan angkatan perang mereka yang besar, datang mengacau di negeri Yan. Maksud
mereka hendak merenggangkan hubungan antara negeri Yan dan negeri Cee.

Raja negeri Yan, Yan Cong Kong, karena merasa tidak sanggup menangkis serangan bangsa San-jiong, dia
perintahkan seorang utusan untuk minta pertolongan ke negeri Cee. Mendengar khabar negeri Yan
diserang oleh bangsa San-jiong, Koan Tiong langsung memberi saran pada Raja Cee Hoan Kong.

”Kita harus segera mengirim bala-bantuan ke negeri Yan.” kata Koan Tiong.

Tetapi Cee Hoan Kong sangsi. Melihat Raja Cee Hoan Kong ragu-ragu Koan Tiong berkata dengan sabar.

”Pada saat ini negeri yang berbahaya bagi kita, di selatan adalah negeri Couw. Di bagian Utara bangsa
San-jiong, dan di bagian barat bangsa Tek. Mereka mirip duri dalam daging! Maka itu menjadi tugas
Tuanku untuk melenyapkan mereka. Sekalipun bangsa Jiong tidak mengusik negeri Yan, tetapi kita tetap
harus berusaha menaklukkan mereka. Apalagi negeri Yan sudah mereka serang dan raja negeri Yan
datang minta pertolongan kepada kita. Mau tidak mau kita harus menyapu bersih bangsa San-jiong itu
sampai tuntas!” kata Koan Tiong.

Mendengar keterangan Koan Tiong tersebut Raja Cee Hoan Kong setuju juga pada saran dari Koan Tiong
tersebut. Selang beberapa hari Raja Cee sudah menyiapkan pasukan perangnya, kemudian berangkat ke
negeri Yan.

***
Raja bangsa San-jiong bernama Bit Louw. Sudah dua bulan dia mengacau di negeri Yan. Mereka telah
berhasil merampas harta-benda dan anak-isteri rakyat biasa. Mereka juga melakukan bermacam-macam
kejahatan. Tetapi setelah mereka mendengar pasukan Cee sudah hampir tiba, mereka merasa jerih juga.
Raja San-jiong mengajak tentaranya pulang dengan membawa barang rampasan ke negaranya.

Ketika pasukan Cee sampai di San-bun-kwan (tanah negara Yan), mereka telah disambut oleh Raja Yan
yang menghaturkan terima kasih kepada Raja Cee atas kesediaannya membantu mereka. Karena dengan
tidak menghiraukan perjalanan yang jauh, Raja Cee datang menolong. Karena ketakutan bangsa San-
jiong pulang ke negaranya. Dengan sikap yang hormat dan merendah Raja Cee membalasnya.

”Ini sudah menjadi kewajiban kami membantu sesama Raja Muda,” kata Raja Cee Hoan Kong.

”Tetapi bangsa San-jiong yang kabur berhasil membawa hasil jarahan mereka,” kata Koan Tiong kurang
puas, ”pasti mereka akan datang lagi karena mereka belum jera. Mereka belum merasakan hajaran yang
hebat dari kita. Jika tentara kita sudah mundur, orang San-jiong akan datang kembali. Sebaiknya kita
gunakan saat yang baik ini untuk melabrak mereka sekarang juga! Dengan demikian kita bisa
menyingkirkan bahaya di kemudian hari.”

”Aku sependapat dengan Tiong-hu,” kata Raja Cee Hoan Kong.

Raja Yan sangat girang, ia ingin bangsa San-jiong itu musnah sama sekali dari muka bumi.

”Dari sini ke arah timur sekitar 10 li ada sebuah negeri bernama Bu Ciong, sekalipun raja di Bu Ciong
bangsa Jiong juga, tetapi mereka tidak tunduk pada pengaruh bangsa San-jiong. Maka itu kita bisa minta
bantuan pada mereka untuk menjadi penunjuk jalan.” kata Raja Yan.

Raja Cee Hoan Kong girang, dia sediakan emas dan perak sebanyak-banyaknya. Kemudian
memerintahkan Sek Peng mengantarkan bingkisan itu kepada Raja di Bu Ciong. Tatkala Sek Peng sudah
sampai di Bu Ciong, dia serahkan bingkisan itu kepada Raja Bun Ciong. Sesudah bingkisan diterima dan
setelah berbincang sesaat Sek Peng menjelaskan maksud kunjungannya.

”Raja kami ingin minta bantuan dari tuanku untuk menjadi penunjuk jalan ke tempat bangsa San-jiong.
Jika tuanku tidak keberatan bantuan itu sangat kami harapkan.” kata Sek Peng.

Karena Raja Bu Ciong sudah mendapat bingkisan, dia langsung setuju saja.

”Baik karena mereka juga musuh kami,” kata Raja Bu Ciong.

Dia memerintahkan panglima bernama Houw Ji Pan memimpin 2000 tentara Bu Ciong membantu Raja
Cee berperang melawan bangsa San-jiong.

—ooOOOoo—

Bab 8
Berangkatlah angkatan perang gabungan ini. Sesudah 200 li jauhmya, Raja Cee
Hoan Kong melihat jalan di pegunungan itu sangat sempit dan berbahaya. Kemudian dia bertanya
kepada Raja Yan.

”Tuanku, apa nama tempat ini?” kata Raja Cee.

”Tempat ini disebut Kui-cu,” sahut Raja Yan Cong Kong, dari sini kaum Pak Ji Ong berjalan keluar masuk.”

Koan Tiong mengusulkan agar Cee Hoan Kong membagi kereta perangnya. Separuh perbekalan mereka
ditinggalkan di tempat itu. Dia juga memerintahkan tentaranya menebang pohon besar untuk tempat
berkemah. Tempat itu juga dijadikan tempat menyimpan perbekalan mereka. Pao Siok Gee bertugas
menjaga di tempat itu. Dialah yang mengurus pengangkutan ransum dan lain-lain keperluan tentara
gabungan itu. Apabila pasukan makanan kurang, Pao Siok Gee harus mengambilnya di negeri Yan atau
negeri Cee.

Sesudah itu Cee Hoan Kong memerintahkan tentaranya istirahat selama tiga hari. Bagi tentara yang sakit
mereka sengaja ditinggalkan karena Raja Cee hanya akan membawa yang sehat dan segar, sehingga
tidak menghambat perjalanan mereka.

**

Sejak pulang dari Tiongkok, setiap hari Raja bangsa San-jiong itu bersenang-senang saja. Mereka berhasil
membawa pulang hasil jarahannya cukup banyak. Ketika Raja San-jiong sedang bersenang-senang, tiba-
tiba juru kabarnya datang memberi laporan.

”Tuanku tentara negeri Cee datang menyerang!” kata si pelapor itu.

Mendengar laporan itu Bit Louw kaget bukan alang-kepalang. Dengan sangat tergesa-gesa dia
memanggil panglima perangnya yang bernama Sok Moai untuk diajak berdamai.

”Sok Moai, musuh datang. Bagaimana kita harus menghadapinya?” tanya Bit Louw.

”Menurut dugaan hamba musuh sekarang pasti masih kelelahan. Mereka baru saja melakukan
perjalanan yang sangat jauh. Saat mereka sedang membangun kemah-kemah mereka, kita boleh
menyerang mereka dengan mendadak. Hamba rasa kita akan mendapat kemenangan besar!” kata Sok
Moai.
Raja Bit Louw setuju pada pendapat Sok Moai. Kemudian Sok Moai diperintahkan membawa 3000
prajurit maju ke medan perang.

Sok Moai memimpin tentaranya; tetapi sebagian dia suruh bersembunyi di sela-sela gunung. Jika musuh
masuk perangkap mereka maka mereka harus mengepung tentara Cee yang sedang kelelahan itu.
Pasukan yang sebagian lagi langsung menantang perang.

Houw Ji Pan bersama pasukannya berpapasan dengan panglima Sok Moai. Dengan tidak banyak bicara
lagi mereka langsung bertempur. Serangan Houw Ji Pan ditangkis oleh Sok Moai. Tidak lama
pertempuran hebat pun terjadi. Sok Moai yang sudah menyiapkan jebakan, setelah bertarung beberapa
jurus, pura-pura kalah dan kabur ke dalam rimba. Mengira musuh sungguh-sungguh sudah kalah, Houw
Ji Pan memberi tanda agar anak buahnya mengejar musuh.

Ketika Sok Moai sampai di hutan dan mengetahui musuh mengejarnya, Sok Moai girang. Dia berteriak
memberi tanda pada tentaranya yang bersembunyi. Teriakan itu disambut oleh sorak-sorai yang riuh
sekali, dan dari sela-sela gunung segera keluar tentara Jiong menerjang barisan Houw Ji Pan. Serangan
ini mengacaukan pasukan Houw Ji Pan, sehingga terpecah menjadi dua bagian, karena tengahnya
diserang hebat oleh tentara Sok Moai.

Houw Ji Pan baru sadar bahwa dia telah terjebak ke dalam tipu-muslihat musuh. Dia kaget dan buru-
buru memberi perintah mundur.

”Mundur! Mundur!” teriak Houw Ji Pan.

Tetapi komando dari Houw Ji Pan tidak banyak artinya, karena sudah terlambat. Tentara San-jiong sudah
mengepung mereka dengan rapat sekali. Sekalipun Houw Ji Pan sudah bertarung mati-matian, dia tidak
bisa menembus kepungan musuh. Malah lebih celaka lagi, kuda Houw Ji Pan binasa. Houw Ji Pan jadi
bertambah susah. Saat Houw Ji Pan sedang terancam bahaya, beruntung angkatan perang Raja Cee
sampai. Ong-cu Seng Hu datang melabrak kepungan bangsa San-jiong untuk menolong Houw Ji Pan.

Semula harapan Sok Moai bisa menangkap Houw Ji Pan, tetapi tidak diduga pasukan Cee datang.
Harapan Sok Moai pun gagal, malah tentaranya sendiri rusak berat dan terpaksa dia harus melarikan
diri.

Melihat tentaranya banyak yang binasa, Houw Ji Pan menyesali dirinya. Ketika Houw Ji Pan bertemu
dengan Raja Cee Hoan Kong dia merasa malu sekali. Melihat Houw Ji Pan sangat berduka, Raja Cee Hoan
Kong segera mengerti bagaimana perasaan panglima itu karena kalah perang. Dia mencoba menghibur
panglima itu.

”Dalam perang menang dan kalah sudah biasa,” kata Raja Cee Hoan Kong. ”Harap Jenderal jangan
bersusah hati.”

Untuk menghibur Houw Ji Pan dan menyatakan bahwa dia tidak menyesali kekalahan Houw Ji Pan itu,
Raja Cee menghadiahkan seekor kuda yang bagus pada Houw Ji Pan. Houw Ji Pan mengucapkan terima
kasih kepada Raja Cee. Dia girang sekali, Cee Hoan Kong sangat baik budi. Maka sebisanya dia hendak
mengorbankan seluruh tenaga dan jiwanya untuk membalas kebaikan Raja Cee tersebut.

Pasukan besar negeri Cee bergerak menuju ke arah timur. Sesudah 30 li jauhnya, mereka sampai di
sebuah gunung bernama Hok-liong-san. Tempat itu sangat penting. Cee Hoan Kong bersama Yan Cong
Kong membangun kemah mereka di tempat itu.

Ong-cu Seng Hu dan Pin Si Bu mendirikan dua benteng di kaki gunung tersebut. Mereka melindungi
markasnya dengan cara menggandeng-gandengkan kereta perang mereka. Mereka juga melakukan
penjagaan yang ketat.

**

Esok harinya….

Bit Louw mengajak Sok Moai dan 10.000 tentaranya menantang. Tetapi tantangan itu tidak diladeni oleh
tentara Cee. Bit Louw jadi sangat gusar. Berkali-kali dia maju untuk menerjang, tetapi selalu gagal dan
harus mundur kembali. Mereka terhalang oleh kereta-kereta perang negeri Cee. Demikian kokohnya
pertahanan negeri Cee, tidak ubahnya seperti sebuah tembok kota saja. Dari balik kereta-kereta perang
tentara Cee tidak hentinya ribuan anak panah menyambar ke arah tentara San-jiong.

Sampai lohor Koan Tiong yang berada di atas gunung menyaksikan tentara Jiong jumlahnya makin
berkurang. Semua tentara itu telah turun dari kuda mereka dan mereka berbaring di tanah. Mulut
mereka kelihatan tidak henti-hentinya mengomel. Koan Tiong menepuk-nepuk bahu Houw Ji Pan sambil
berkata.

”Jenderal, sekarang sudah tiba saatnya anda membalas dendam.” kata Koan Tiong.

”Baiklah,” kata Houw Ji Pan dengan girang. Houw Ji Pan langsung memimpin tentaranya keluar dari
benteng kereta perang. Pasukan Houw Ji Pan bergerak menyerang musuh.

Melihat suasana saat itu mencurigakan Sek Peng berkata pada Koan Tiong, ”Menurut penglihatanku, aku
rasa Raja San-jiong sudah mengatur tipu-muslihat.” kata Sek Peng.

”Harap Tiong-hu berhati-hati.”

”Benar, aku pun menduga begitu,” sahut Koan Tiong. Koan Tiong memerintahkan Ong-cu Seng Hu
memimpin pasukan keluar dari bagian kiri, Pin Si Bu memimpin pasukan sebelah kanan. Mereka
diperintahan melabrak tentara musuh yang diperkirakan sedang bersembunyi.

Dugaan Sek Peng dan Koan Tiong memang benar. Melihat tentara Cee hanya berjaga di markasnya saja
dan tidak mau berperang. Raja San-jiong lalu mencari akal. Kemudian dia bagi tentaranya menjadi dua
bagian; pasukan pertama diperintahkan bersembunyi di sela-sela gunung. Sedang yang sebagian lagi
sengaja diperintahkan turun dari kuda-kuda merela. Mereka juga diperintah mencaci-maki tidak
hentinya. Semua itu maksudnya untuk memancing tentara Cee supaya mau berperang dengan mereka.
Ketika pasukan Houw Ji Pan keluar menyerang, tentara San-jiong berpura-pura ketakutan. Mereka
sengaja meninggalkan kuda mereka dan lari terbirit-birit ke suatu tempat. Tetapi baru saja Houw Ji Pan
mengejar mereka, justru pada saat itu Houw Ji Pan mendengar suara gembreng dari bentengnya. Maka
terpaksa dia urungkan niatnya dan kembali ke bentengnya.

Melihat Houw Ji Pan tidak mengejar pasukan San-jiong, Bit Louw segera berteriak memanggil tentaranya
yang bersembunyi di sela-sela gunung. Kemudian dengan berbareng mereka menerjang musuh. Tapi Bit
Louw tidak menyangka Ong-cu Seng Hu dan Pin Si Bu bersama pasukannya datang membokong mereka
dari belakang. Dengan demikian tentara San-jiong jadi kalang-kabut.

Di tempat itu segera terjadi pertempuran yang hebat. Ong-cu Seng Hu bertempur melawan Bit Louw. Pin
Si Bu bertarung melawan Sok Moai. Tentara Cee bertanding dengan tentara San-jiong secara mati-
matian.

Bit Louw dan Sok Moai merasa tidak tahan menghadapi kehebatan musuh. Mereka membalikkan kuda
mereka dan buru-buru kabur. Tentaranya sebagian besar telah binasa oleh tentara Cee. Sesudah
berhasil membunuh tentara Jiong, Ong-cu Seng Hu dan Pi Sin Bu pun berhasil merampas persenjataan
dan ransum musuh. Sesudah itu baru mereka kumpulkan tentaranya dan pulang ke markas mereka
dengan kemenangan besar.

Sementara Bit Louw yang melarikan diri sudah sampai di markasnya. Ketika dia memeriksa sisa
tentaranya, dia kaget. Sekarang sisa tentaranya tinggal sedikit.

”Harap Tuanku jangan putus asa,” kata Sok Moai. ”Hamba punya siasat untuk mengusir musuh!”

”Apa rencanamu?” tanya Bit Louw.

”Hamba duga, jika mereka maju terus, mereka pasti harus lewat di selat Hong-tay-san. Tempatkan
pertahanan yang tangguh di mulut jalan. Tutup dengan balok dan batu-batu besar. Di bagian depannya
kita gali parit untuk pertahanan. Dengan cara demikian hamba rasa kita akan menang!” kata Sok Moai.
Bit Louw mengangguk. Kemudian Sok Moai melanjutkan bicaranya.

”Di gunung Hok-liong-san sejauh 20 li tidak terdapat mata air. Untuk air minum dan masak mereka harus
mengambilnya dari sungai Ti-sui. Jika sungai itu kita bendung, niscaya tentara musuh akan kekurangan
air minum. Pada saat mereka panik dan kebingungan, kita serang mereka! Hamba rasa kita akan
memperoleh kemenangan. Kita kirim utusan ke negara Kho-tiok untuk minta bala-bantuan. Bagaimana
pendapat Tuanku?” kata Sok Moai.

”Ya, bagus, bagus! Aku setuju pada rencanamu!” kata Bit Louw sambil tersenyum girang.

Mereka segera bersiap-siap melaksanakan rencana yang telah dirancang oleh Sok Moai itu.

**

Di markas tentara Cee……


Ketika itu Koan Tiong sedang keheranan, karena tentara San-jiong yang mendapat labrakan hebat secara
beruntun tidak bergerak. Koan Tiong jadi curiga, dia menduga musuh sedang mengatur siasat. Buru-
buru Koan Tiong menyebarkan mata-mata ke berbagai tempat. Mereka sengaja disebar untuk mencari
keterangan di mana saat itu posisi musuh.

Tidak berapa lama mata-mata Koan Tiong sudah datang melapor.

”Musuh telah menutup jalan besar di mulut gunung Hong-tay-san dengan balok dan batu-batu besar,”
kata mata-mata itu.

Mendengar laporan tersebut Koan Tiong terkejut, dia bertanya kepada Houw Ji Pan.

”Ciang Kun (Jenderal), selain jalan yang ditutup oleh musuh, apakah masih ada jalan yang lainnya atau
tidak?” kata Koan Tiong.

Mendengar pertanyaan Koan Tiong Jenderal Houw Ji Pan pun bengong. Dia berpikir sebentar, kemudian
baru dia menjawab.

”Jika kita mengambil jalan dari Hong-tay-san, sejauh 15 li dari sini kita akan sampai di sarang bangsa San-
jiong. Jika mau mengambil jalan lain, bisa juga. Tetapi harus dari arah jalan menuju ke Tay-kwan. Dari
sana belok ke arah bukit Ci-moa-nia. Sesudah itu kita keluar dari mulut gunung Ceng-san. Tidak lama lagi
kita akan sampai di sarang mereka. Di tempat ini gunungnya sangat tinggi dan jalannya pun sangat
berbahaya. Kereta perang dan kuda sulit bergerak.” kata Houw Ji Pan.

Mendengar penjelasan itu Koan Tiong duduk diam seperti orang yang sedang berpikir keras. Sebelum
Koan Tiong mengambil keputusan, tiba-tiba datang panglima bernama Lian Ci menghadap.

”Tuanku, celaka kita! Raja Jiong telah menutup sungai, sehingga tentara kita tidak punya air untuk
masak dan minum!” kata Lian Ci.

”Bagaimana sekarang?”

”Oh, sungguh celaka!” kata Houw Ji Pan terperanjat. ”Di bukit Ci-moa-nia kita harus berjalan beberapa
hari lamanya, baru bisa sampai ke tempat tujuan. Jika tidak ada air untuk masak dan minum kuda-kuda
kita, sungguh sangat berbahaya sekali!”

”Mengapa kita harus putus asa?” kata Cee Hoan Kong. ”Jika mereka bendung sungai itu, toh kita bisa
menggali sumur untuk mendapatkan air!”

”Ya, Tuanku benar,” kata Sek Peng, ”setahu hamba, di tempat yang ada lubang semutnya, di situ pasti
kita bisa mendapatkan mata air. Maka kita harus mencari dulu tempat tinggal semut. Dengan demikian
pekerjaan menggali sumur tidak akan gagal.”

Raja Cee Hoan Kong setuju dengan pendapat Sek Peng. Ketika pasukan itu benar-benar bergerak ke
bukit Ci-moa-nia; Raja Cee Hoan Kong mengeluarkan perintah.
”Barangsiapa yang bisa lebih dahulu mendapatkan lubang semut, atau air maka mereka akan diberi
hadiah.” kata Raja Cee.

Maka dikerahkannya tentara Cee untuk mencari lubang semut, karena dia yikin bakal menemukan mata
air di lubang semut itu. Terpaksa mereka kembali dengan tangan hampa, dan melaporkan bahwa usaha
mereka telah gagal.

Sebelum Raja Cee Hoan Kong bicara, Sek Peng sudah mendahuluinya berkata.

”Sifat semut, di musim dingin dia mendekati hawa yang hangat, dan pasti mereka tinggal di tempat yang
terang. Sebaliknya di musim panas, mereka mencari udara sejuk, dan pasti semut-semut itu tinggal di
tempat yang teduh! Bulan ini jatuh pada musim dingin, maka kita harus menggali sumur di tempat yang
terang, hamba yakin kita bisa menemukan mata air itu! Jika sembarangan gali saja, hal itu hanya
membuang tenaga percuma saja!” kata Sek Peng.

Tentara Cee menuruti nasihat Sek Peng tersebut. Mereka menuruni tebing gunung, di tempat yang
terang itulah mereka mulai menggali lubang. Memang benar mereka beruntung menemukan mata air
yang jernih dan enak diminum.

Keberhasilan anak buahnya menemukan mata air atas jasa Sek Peng yang berpengetahuan banyak itu,
membuat Raja Cee Hoan Kong sangat kagum.

”Aku kagum pada Sek Peng, kepandaiannya mirip seorang nabi!” kata Cee Hoan Kong.

Sesudah itu Raja Cee Hoan Kong memberi nama mata air tersebut dengan sebutan ”Seng Cun” (Mata air
dari Nabi), dan gunung Hok-liong-san pun diubah namanya menjadi Liong-coan-san.

Seluruh bala-tentara Cee mendapat air, dan mereka bersorak-sorak gembira sekali.

**

Tatkala Bit Louw mendapat kabar tentara Cee tidak kehabisan air minim. Raja Bit Louw jadi khawatir dan
cemas. Dia berkata kepada Sok Moai:

”Barangkali mereka dibantu oleh malaikat, apa saja yang kita rencanakan pada mereka, selalu gagal!”
kata Bit Louw.

”Harap Tuanku tidak khawatir,” kata Sok Moai. ”Sekalipun tentara Cee tidak kekurangan air, tetapi
mereka datang dari tempat yang jauh. Sudah pasti mereka tidak boleh kehabisan makanan. Jika kita
terus bertahan di benteng, dan mereka tidak bisa maju. Lama kelamaan mereka akan kehabisan bahan
makanan. Terpaksa mereka mundur sendiri!”

Bit Louw yang tadinya murung mendengar nasihat Sok Moai jadi girang kembali. Dia yakin kali ini siasat
yang akan dijalankannya pasti berhasil. Sejak hari itu anak buahnya diperintahkan berjaga-jaga saja.
Sedang Bit Louw sendiri bersenang-senang dengan perempuan cantik sambil minum arak. Ketika itu
seolah bangsa San-jiong tidak sedang berperang.
Koan Tiong dari pihak Cee mengadakan peninjauan. Dia melihat tentara San-jiong tidak bergerak sama
sekali. Koan Tiong heran lalu berpikir.

”Mereka tidak menghiraukan kami. Aku tahu mereka berharap tentara Cee kehabisan bahan
makanan…” pikir Koan Tiong. ”Mereka juga sudah menutup jalan untuk tentara Cee mengangkut bahan
makanan.”

Buru-buru Koan Tiong mengatur siasat. Dia mengeluarkan perintah.

”Pin Si Bu dan Houw Ji Pan, kalian berdua bawa pasukan kalian dan harus berpura-pura hendak pulang
ke Kui-cu untuk mengambil ransum. Diam-diam kalian bawa pasukanmu ke bukit Ci-moa-nia. Dalam
enam hari kalian harus sudah bisa sampai di sarang bangsa San-jiong. Dan kau Lian Ci, setiap hari kau
pergi ke gunung Hong-tay-san untuk menantang perang. Dengan demikian bangsa San-jiong tidak curiga
pasukan kita sedang bergerak ke markas mereka!” kata Koan Tiong.

—ooOOOoo—

Bab 9

Selang enam hari kemudian……

Sengaja setiap hari selama seminggu Liang Ci pergi menantang perang, tetapi tentara Jiong tidak mau
keluar untuk bertempur.

Ketika itu Koan Tiong memperkirakan Pin Si Bu bersama Houw Ji Pan dan pasukannya sudah hampir
sampai di sarang bangsa San-jiong. Koan Tiong segera menyiapkan angkatan perangnya untuk
menerjang ke benteng musuh.
Segera Koan Tiong memerintahkan semua anak buahnya mengangkut sekarung tanah. Tanah tersebut
dimaksudkan untuk menutupi galian yang dibuat oleh musuh. Begitu pasukan Cee sampai, mereka harus
melemparkan karung berisi tanah itu ke dalam lubang atau parit. Lama kelamaan parit itu akan tertutup
kembali dan bisa dilewati oleh kereta perang tentara Cee.

Begitu persiapan pasukan Cee yang besar jumlahnya sudah beres, mereka bergerak maju sambil
bersorak-sorak. Ketika mereka sudah sampai di mulut gunung, sambil bersorak-sorak dan mengangkuti
tanah mereka singkirkan batu besar dan balok yang menghadang di mulut jalan.

Ketika serangan yang bergelombang itu datang, Raja Bit Louw dan Jenderal Sok Moai sedang enak-enak
berpesta-pora sambil minum arak. Mendengar suara teriakan dan sorak-sorai yang riuh sekali, mereka
kaget. Tiba-tiba anak buahnya datang melapor.

”Tentara Cee sudah datang menyerang masuk dari mulut gunung.” kata anak buahnya.

Dengan sangat tergopoh-gopoh raja San-jing bersama Jenderal Sok Moai mengambil senjata mereka.
Mereka naik ke atas kuda hendak menyambut serangan musuh. Tetapi di saat sedang panik datang
laporan baru.

”Dari sebelah barat pasukan Cee datang menyerang!” kata pelapor tersebut.

Mendengar kabar tersebut Jenderal Sok Moai bingung, karena yakin tidak akan mampu membendung
serangan musuh yang bagaikan air bah itu. Buru-buru Sok Moai mengajak Raja Bit Louw melarikan diri
ke arah tenggara.

Ketika Pin Si Bu melihat raja dan jenderal bangsa San-jiong kabur, dia mencoba mengejarnya. Dia kejar
mereka sampai beberapa li jauhnya, tetapi karena melihat jalan gunung tersebut sangat berbahaya,
sementara orang San-jiong melarikan kudanya seperti terbang, Pin Si Bu tidak yakin bisa menyusul
mereka. Maka apa boleh buat terpaksa Pin Si Bu kembali.

Dalam peperangan ini tentara Cee berhasil merampas perbekalan dan kuda-kuda serta kerbau, kambing
maupun alat senjata musuh. Sedang perempuan-perempuan rampasan dari negeri Yan pun sudah bisa
dibebaskan kembali. Karena tidak punya pilihan, rakyat bangsa San-jiong bersedia menyerah kepada
Raja Cee Hoan Kong.

”Ke mana kaburnya Raja kalian?” kata Cee Hoan Kong.

”Negeri kami bertetangga dengan negeri Kho-tiok, kami sangat rukun. Dulu Raja kami mengirim utusan
untuk minta bantuan pada mereka. Tetapi sebelum bantuan datang, kami sudah dikalahkan oleh
tuanku! Kami rasa mungkin Raja kami lari ke sana!” kata orang yang ditanya.

”Apakah negeri Kho-tiok itu kuat?” tanya Raja Cee. ”Berapa jauhnya negeri itu dari sini?”

”Kho-tiok sebuah negara cukup besar terletak di sebelah tenggara,” sahut orang itu. ”Dari sini sekitar
100 li jauhnya. Di negeri itu ada sungai bernama Pi-ji, jika kita sudah menyeberangi sungai itu, maka kita
sudah ada di tapal batas negeri Kho-tiok. Tetapi jalan dan pegunungannya sangat berbahaya!”
”Aku tidak peduli bagaimana berbahayanya,” kata Raja Cee. ”Aku pikir bangsa Kho-tiok sahabat bangsa
San-jiong, pasti sama jahatnya! Aku tidak takut mereka kuat, tetapi kami harus menaklukkannya, baru
aku puas!”

Mendengar niat Raja Cee ini, rakyat bangsa San-jiong jadi ngeri. Ketika itu Kho Hek yang mendapat
perintah dari Pao Siok Gee untuk mengangkut 50 kereta ransum sudah kembali. Hal ini menambah
kegembiraan Raja Cee. Sesudah istirahat mereka kemudian meneruskan perjalanan mereka.

***

Raja Bit Louw dan Jenderal Sok Moai dan sisa pasukannya kabur ke negeri Kho-tiok. Begitu sampai
mereka langsung menemui Tap Li Oh raja negeri Kho-tiok. Bit Louw berlutut di hadapannya sambil
menangis. Kemudian Bit Louw menceritakn kekalahannya dari tentara negeri Cee.

Mendengar pengaduan Bit Louw, Tap Li Oh terkejut. Dia bangunkan Bit Louw yang sedang berlutut di
hadapannya.

”Aku menyesal belum sempat mengirim pasukan kepadamu,” kata Tap Li Oh. ”Baru-baru ini aku
terserang penyakit, jadi agak kurang sehat. Aku tidak mengira serangan tentara Cee begitu cepat.”

Raja Bit Louw tetap berduka.

”Untuk sementara kau boleh tinggal dulu bersamaku,” kata Tap Li Oh melanjutkan ucapannya. ”Di
negeriku terdapat sungai bernama Pi-ji, dalamnya sulit dijajaki. Mereka tidak akan mampu menyeberang
sungai itu, jika mereka tidak memakai rakit untuk menyeberang. Mereka tidak akan sampai ke mari,
kecuali punya sayap! Karena lama bertahan di seberang sana, lama-lama makanan mereka akan habis.
Akhirnya terpaksa mereka harus mundur. Saat itu aku akan mengambil daerahmu yang sudah mereka
duduki!” kata Tap Li Oh.

”Aku masih khawatir tentara Cee itu pandai-pandai. Mereka bisa membuat rakit sendiri,” kata Hong
Hoa.

”Aku rasa sepanjang tepi sungai harus kita jaga ketat! Selain mencegah musuh menyeberang, sebelum
mereka bergerak sudah terpantau oleh kita.”

”Pendapatmu tidak masuk akal,” kata Tap Li Oh. ”Seandainya benar mereka bisa membuat rakit sendiri,
mustahil kita tidak mengetahuinya?!”

Raja Tap Li Oh tidak mempedulikan saran Jenderal Hong Hoa. Dia terlalu yakin pada kehebatan sungai
Pi-ji. Akibatnya dia jadi lengah dan kurang siaga. Bahkan gerak-gerik musuhpun tidak mereka pantau.
Malah dia ajak sahabatnya Bit Louw bersenang-senang.

Dikisahkan di pihak angkatan perang Cee…..

Ketika Raja Cee Hoan Kong dan pasukan perangnya sudah berjalan kira-kira 10 li jauhnya. Hoan Kong
menyaksikan gunung berjajar-jejer menghadang di depannya. Di sana-sini batu-batu besar dan terjal
terhampar luas, semak belukar dan pohon-pohonnya sangat lebat. Keadaan medan seperti itu sungguh
sangat menyulitkan bagi kereta perang tentara Cee bisa bergerak. Raja Cee jadi cemas bukan main.

Hanya Koan Tiong yang tetap tenang dan sedikit pun dia tidak gentar melihat keadaan itu. Dia tidak
kehabisan akal. Koan Tiong terpekur mencari siasat. Tidak berapa lama dia mulai mengeluarkan
perintahnya.

”Di tempat ini kita harus membangun perkemahan tentara!” kata Koan Tiong. ”Dengan demikian
pasukan kita bisa istirahat dengan baik.”

Segera anak buahnya membuat markas mereka dengan cepat. Sesudah selesai mereka pun istirahat.
Ada yang masak nasi ada yang masak air minum dan sebagainya. Sesudah mereka makan kenyang dan
cukup istirahat, kembali Koan Tiong mengeluarkan perintah.

”Sekarang kalian kumpulkan kayu-kayu kering, rumput kering dan apa saja yang mudah terbakar!
Sesudah itu barang-barang yang mudah terbakar itu letakan di hutan rimba itu. Lalu kalian bakar!” kata
Koan Tiong.

”Baik, Tiong-hu!” jawab anak buahnya.

Tentara Cee bekerja keras mengumpulkan bahan yang mudah terbakar, tidak berapa lama bahan-bahan
itu sudah terkumpul cukup banyak. Sesudah itu hutan tersebut mereka bakar. Tidak berapa lama api
pun sudah berkobar menghanguskan pepohonan, rumput-rumput yang tinggi dan sebagainya.

Tempat yang tadinya hutan-rimba dan semak-belukar, kini rumput dan pohon itu telah berubah menjadi
lautan api raksasa. Lima hari lima malam lamanya api raksasa itu berkobar-kobar, seolah-olah lautan api
saja. Akibat kobaran api itu rumput-rumput telah berubah menjadi debu, pohon-pohon telah menjadi
areng. Binatang-binatang buas atau beracun pun tidak ketahuan ke mana larinya.

Sesudah kobaran api raksasa itu padam, Koan Tiong memerintahkan tentaranya membuka jalan. Mereka
membongkar dan menggali bukit dijadikan jalan setapak di samping-samping gunung. Dengan demikian
kereta perang dan kuda bisa berjalan dengan sedikit leluasa tanpa halangan.

Para panglima Cee menyatakan kekhawatirannya. Mereka menyaksikan banyak sekali gunung yang
tinggi dan berbahaya. Gunung-gunung itu menghadang di tengah jalan yang akan mereka lalui. Situasi ini
terutama sangat menyulitkan bagi pasukan kereta perang mereka bergerak.

”Kuda-kuda bangsa Jiong bisa berlari cepat di tempat ini. Mereka sudah terbiasa dengan daerah ini.
Sebaliknya kereta perang kita tidak bisa bergerak begitu seperti kuda-kuda mereka!” kata Koan Tiong
pada semua panglima Cee.

”Karena itu pasukan kita jadi tidak bersemangat!” kata panglimanya.

”Akan kutulis dua buah lagu untuk membangkitkan semangat mereka.” kata Koan Tiong.

”Lagu apa, Tiong-hu?” tanya mereka.


”Lagu naik dan turun gunung,” jawab Koan Tiong sambil tersenyum.

Kemudian Koan Tiong membuat syair atau nyanyian ”Naik Gunung” dan Turun Gunung”. Sesudah selesai
dia perintahkan semua panglimanya mempelajari nyanyian itu. Kemudian nyanyian itu diajarkan pada
tentaranya.

Nyanyian ”Naik Gunung” ciptaan Koan Tiong itu syairnya demikian:

”Gunung berderet-deret jalan pun terputar-putar.


Pohon berbaris batu berderet seperti lankan.
Awan tipis membuat udara dingin dan segar.
Kami giring kereta kami naik ke gunung yang tinggi.
Hong Pek pegang les Ji-ji memegang cambuk membuat larinya kencang.
Seperti juga burung terbang yang memiliki sayap kekar.
Bertolak mendaki ke atas gunung dengan tidak merasa sukar.”

Sedang ”Nyanyian Turun Gunung” berbunyi demikian:

”Naik gunung tidak susah turun gunung lebih mudah.


Roda menggelinding mantap tidak menyimpang.
Suara kereta berderit-derit seperti mendengar suara balang.
Melewati beberapa tikungan sampai di tanah rata yang terang.
Habiskan rumah kaum Jiong yang sering bikin orang bimbang.
Musnahkan negeri Kho-tiok beroleh ganjaran berjalan pulang.”

Begitu semua tentara Cee sudah bisa menyanyikan kedua lagu itu, mereka bergerak maju. Sambil
berjalan dan berderap mereka menyanyikan nyanyian itu dengan bersemangat. Tentara jadi
bersemangat dan senang sekali. Dengan demikian mereka melupakan rasa lelah mereka saat berjalan.
Dengan tidak terasa kereta-kereta perang itu bergerak naik turun gunung dengan cepat.

Setelah berjalan melewati beberapa gunung, akhirnya mereka sampai di sebuah bukit yang tinggi sekali.
Kereta-kereta perang besar dan kecil berjalan dengan lancar. Tetapi suatu ketika deretan kereta ini
berhenti tidak bisa berjalan terus.

Tidak lama datang orang melapor pada Cee Hoan Kong.

”Di depan kita ada bukit yang sangat berbahaya! Bukit itu tinggi sekali, dan di kedua tepi bukit itu penuh
batu yang terjal dan licin. Hanya ada jalan setapak kecil sekali. Jalan itu hanya bisa dilewati sebuah
kereta perang saja!” kata prajurit yang melapor.

Mendengar laporan itu Cee Hoan Kong terkejut. Dia khawatir dan berkata.

”Oh, jika di tempat ini ada tentara musuh bersembunyi, jika mereka menyerang, pasti kita akan
mendapat kerusakan besar!” kata Raja Cee Hoan Kong.
Pada saat Cee Hoan Kong sedang kebingungan, tiba-tiba dari sudut gunung dia melihat seekor makhluk
keluar. Makhluk itu mirip manusia. Tetapi jelas bukan manusia, binatang pun bukan binatang. Panjang
makhluk itu kira-kira satu kaki lebih. Mengenakan baju merah dan kopiah berwarna ungu. Sepasang kaki
makhluk itu tidak memakai sepatu. Makhluk itu datang ke hadapan Cee Hoan Kong sambil memberi
hormat tiga kali. Sikap makhluk itu seperti orang sedang menyambut tamunya. Sesudah mengusap
bajunya dan menggerakkan tangan kanannya, makhluk itu menghilang di balik gunung. Melihat kejadian
itu Raja Cee Hoan Kong jadi semakin khawatir, lalu dia bertanya kepada Koan Tiong.

”Apa kau melihatnya, Tiong-hu?” kata Cee Hoan Kong.

”Tidak,” sahut Perdana Menteri itu.

Raja Cee Hoan Kong menceritakan apa yang dilihatnya tadi.

”Oh, bagus! Dalam nyanyian hamba, hamba juga menyebut makhluk itu Ji-ji,” kata Koan Tiong dengan
girang.

”Apa Ji-ji itu?” tanya Cee Hoan Kong heran.

”Hamba dengar di tanah utara ada malaikat gunung bernama Ji-ji,” kata Koan Tiong. ”Dia
memperlihatkan diri pada calon Raja Jagoan. Pasti itu makhluk yang disebut Ji-ji! Dia bersikap hormat,
tandanya dia minta tuanku mengerahkan angkatan perang. Dia usap bajunya, dia memberi tanda di
depan kita ada mata air. Dia gerakan tangan kanannya, artinya air sungai bagian kanan dalam sekali. Dia
minta tuanku mengambil jalan di sebelah kirinya!”

Mendengar keterangan itu Cee Hoan Kong manggut-manggut. Dia kagum juga merasa aneh sekali.

—ooOOOoo—

Bab 13
”Negeri Kang dan negeri Ui karena tidak tahan oleh kekejaman raja dari negeri Couw,
telah mengirim utusan datang ke sini untuk minta berserikat. Aku pikir aku hendak menerima
permohonan mereka. Kelak jika kita menyerang negeri Couw, akan aku minta mereka membantu kita
dari dalam. Bagaimana menurut Tiong-hu, boleh tidak?” kata Raja Cee.

”Menurut hamba lebih baik permintaan mereka ditolak saja,” kata Koan Tiong, ”sebab negeri Kang dan
negeri Ui sangat jauh dari negeri Cee dan lebih dekat dengan negeri Couw. Selama mereka tunduk pada
negeri Couw, negara mereka tetap utuh!”

”Alasan Tiong-hu?” kata Raja Cee.

”Jika mereka bergabung dengan kita dan memutuskan hubungan dengan negeri Couw, pasti Raja Couw
akan marah besar. Suatu ketika Couw akan menyerang mereka. Jika sudah begitu mereka minta bantuan
pada kita. Mau tidak mau kita harus menolong mereka, tetapi jaraknya terlampau jauh. Jika kita tidak
menolonginya, itu artinya kita melanggar perjanjian perserikatan. Padahal semua Raja Muda sudah
takluk kepada Cee, apa itu bukan jadi berabe buat kita? Negara mereka negara kecil.” kata Koan Tiong.

”Tetapi negeri yang begitu jauh karena mendengar kehebatan kita, dia mengirim utusan ke tempat kita.
Jika permohonan mereka kita tolak, apa itu tidak akan berakibat buruk. Misalnya dari negeri yang jauh
jadi kurang kepercayaan kepada kita.” kata Raja Cee.

”Jika Tuanku berpikir begitu, apa boleh buat terima saja mereka! Tetapi Tuanku beri tanda ucapan
hamba di tembok, supaya di kemudian hari tidak lupa tentang kejadian ini,” kata Koan Tiong.

Raja Cee Hoan Kong menurut kata-kata Koan Tiong dicatat. Baru dia panggil utusan negeri Kang dan Ui.

”Permohonan kalian dikabulkan. Tetapi ingat di musim Cun pada bulan satu kami akan menyerang ke
negeri Couw. Kalian harus membantu kami.” kata Raja Cee.Utusan itu berjanji akan memperhatikan
pesan Raja Cee.

”Selain itu negeri Si telah membantu negeri Couw melakukan kejahatan. Mereka juga harus diserang!”
kata utusan itu.

”Baik, akan kutaklukan dulu negeri Si, baru aku serang negeri Couw!” kata Raja Cee berjanji.

Setelah utusan negeri Kang dan Ui pulang, Raja Cee Hoan Kong menulis surat kepada Raja Ci yang
negerinya dekat dengan negeri Si, dia minta Raja Ci supaya mengerahkan tentaranya membasmi negeri
Si.
Perintah Raja Cee Hoan Kong segera dilaksanakan oleh Raja Ci, dia serang negeri Si. Raja Ci berhasil
mengalahkan negeri Si. Raja Cee memerintahkan Raja Ci menempatkan tentaranya di kota raja Si.

Raja Louw Hi Kong mengutus Kui Yu ke negeri Cee untuk minta maaf, karena negeri Louw sedang
bertikai dengan negeri Chu dan negeri Ki, sehingga mereka tidak bisa membantu Raja Cee dalam
masalah negeri Heng dan negeri We. Dia juga mengucapkan selamat, karena negeri Kang dan Ui telah
berserikat.

”Jika Raja Cee akan berperang Raja kami siap membantu,” kata Kui Yu.

Raja Cee Hoan Kong senang juga menerima Kui Yu.

”Tidak lama lagi kami akan menyerang ke negeri Couw!” kata Raja Cee.

”Hamba berjanji akan membantu,” kata Kui Yu.

Sesudah itu pulanglah Kui Yu ke negaranya.

Saat Raja Cee sedang mengadakan persiapan untuk menyerang negeri Couw. Saat itu tentara Couw
sudah sampai di perbatasan negeri The.

Ketika Raja The Bun Kong mengetahui kedatangan tentara Couw itu, dia kaget. Sekarang pasukan Couw
datang dengan lebih besar jumlahnya. Karena khawatir negara dan rakyatnya hancur lebur, Raja The
akan memilih untuk minta berdamai saja.

”Jangan! Kita tidak boleh menyerah!” kata Khong Siok. ”Ketika negeri Cee berselisih dengan negeri
Couw. Itu semua karena kita. Raja Cee sangat baik kepada kita, sebaliknya sekarang kita akan melupakan
jasanya. Ini sungguh tidak pantas sekali. Sebaiknya kita bertahan, pasti Raja Cee akan datang membantu
kita!”

Raja The Bun Kong berpikir. ”Ucapan Khong Siok ada benarnya,” pikir Raja The.

Segera dia mengutus orang ke negeri Cee untuk minta bantuan. Ketika utusan Raja The sampai, Raja Cee
kaget. Tetapi segera dia mengatur siasat.

”Katakan pada Rajamu, dia harus menyebarkan khabar bohong. Katakan tidak lama lagi bala-bantuan
dari negeri Cee akan segera tiba. Pasti Raja Couw kaget dan akan mengendurkan serangannya. Ingat
suatu saat aku minta Raja The mengirim pasukan untuk bersama-sama menyerang ke negeri Couw!”
kata Raja Cee.

”Baik, Tuanku. Hal ini akan hamba sampaikan pada Raja kami,” kata utusan itu.

Sesudah itu utusan itu pulang ke negaranya dan menyampaikan pesan Raja Cee.

Sementara itu Raja Cee Hoan Kong mengirim utusan ke negeri-negeri serikatnya. Mereka harus
berkumpul di suatu tempat, kemudian bersama-sama menyerang ke negeri Couw.
***

Setelah berganti tahun, pada awal musim Cun bulan Chia-gwe (bulan satu Imlek), Raja Cee Hoan Kong
mengerahkan angkatan perangnya akan menyerang ke negeri Coa. Koan Tiong diangkat menjadi kepala
perang, Si Tiao menjadi Sian Hong (Pemimpin Pasukan Pelopor), Sek Peng, Pin Si Bu, Pao Siok Gee dan
Pangeran Kai Hong menjadi kepala pasukan pembantu.

Sekalipun Raja Coa sudah tahu negerinya bakal kedatangan musuh, karena merasa punya andalan negeri
Couw yang sangat kuat, dia tidak merasa gentar sedikit pun. Dia juga tidak bersiaga. Ketika pasukan
gabungan yang dipimpin Raja Cee tiba, baru dia mengatur tentaranya untuk menangkis serangan
tersebut.

Si Tiao yang bawa barisan depan mulai menyerang, dari pagi sampai sore dia melabrak negeri Coa.
Tetapi tidak berhasil merebut benteng musuh. Terpaksa dia harus berhenti untuk istirahat karena hari
pun mulai gelap.

Setelah megetahui Si Tao yang menjadi Sian Hong dari barisan Cee, Raja Coa Bok Kong jadi sangat
girang. Karena dia sudah tahu siapa Si Tiao.

Pada tengah malam Raja Coa perintahkan anak buahnya dengan diam-diam mengantarkan barang
bingkisan yang berharga mahal kepada Si Tiao. Dia minta supaya Si Tiao tidak menyerang kotanya
dengan sungguh hati.

Memang Si Tiao ini manusia serakah. Dengan senang dia terima bingkisan itu. Karena ingin dianggap
baik, Si Tiao membuka rahasia kekuatan angkatan perang Cee.

”Raja kami pura-pura akan menyerang negeri Coa, tetapi sebenarnya akan menghajar negeri Couw!”
kata Si Tiao pada utusan Raja Coa. ”Jika rajamu mau selamat segera tinggalkan kota itu. Karena tentara
gabungan akan menghancurkannya!”

Ketika itu utusan Raja Coa kembali dan menceritakan apa yang dikatakan Si Tiao kepada Raja Coa,
sehingga sang raja sangat terkejut. Malam itu juga dia bawa keluarganya. Dia minta dibukakan pintu
kota dan kabur ke negeri Couw. Rakyat yang mendapat khabar bocoran segera berlarian simpang-siur.

Esok harinya……

Melihat kota negeri Coa sepi Si Tiao memimpin pasukannya masuk ke dalam kota. Sesudah itu segera dia
mengirim utusan melapor pada Raja Cee bahwa dia telah berhasil menduduki kota musuh.

Raja Coa Bok Kong yang melarikan diri telah sampai di negeri Couw, langsung dia menemui Raja Couw
Seng Ong, kemudian dia menceritakan apa yang akan dilakukan tentara gabungan negeri Cee seperti
yang diceritakan oleh Si Tiao kepadanya. Raja Couw sebenarnya memang sedang mencari tahu tentang
rencana serta gerak-geriknya pasukan Raja Cee. Sesudah memperoleh keterangan dari Raja Coa segera
dia bersiap-siap. Dia akan menangkis serangan musuh yang akan segera tiba. Dia perinrahkan Touw
Ciang agar pasukannya ditarik mundur.
”Batalkan serangan ke negeri The, tarik kembali seluruh angkatan perang kita!” perintah Raja Couw
pada utusan.

Utusan itu segera menyusul Touw Ciang yang akan menyerang ke negeri The.

Dengan tergesa-gesa pasukan Couw yang dipimpin oleh Touw Ciang dan Touw Liam bergegas kembali ke
negeri Couw. Kemudian disiagakan untuk menghadapi serangan mendadak dari tentara gabungan
negeri Cee.

Selang beberapa hari kemudian, Raja Cee bersama pasukan perangnya sampai di kota Raja Coa. Di situ Si
Tiao menyambut kedatangannya. Dia menceritakan bahwa dia berhasil merebut kota raja negeri Coa.

”Raja Coa sendiri telah melarikan diri. Mungkin ke negeri Couw.” kata Si Tiao.

Selang beberapa hari kemudian pasukan perang dari tujuh negara sudah tiba. Mereka berturut-turut
berdatangan. Pertama-tama Raja Seng Hoan Kong, Raja Louw Hi Kong, Raja Tan Soan Kong, Raja We Bun
Kong, Raja The Bun Kong, Raja Cee Ciao Kong dan Raja Khouw Bok Kong, semua membawa pasukan
perang yang tampaknya sangat gagah.

Di antara Raja-raja Muda itu, Raja Khouw Bok Kong yang sekalipun sedang sakit telah memaksakan diri
memimpin pasukan perangnya datang lebih awal ke tanah Coa. Dengan demikian Raja Cee Hoan Kong
menjadi sangat hormat dan memperhatikannya.

Pada malam itu penyakit Raja Khouw Bok Kong menjadi bertambah sangat berat, dan akhirnya
meninggal dunia.

Raja Cee bersama Raja-raja Muda yang lain menyatakan berduka-cita. Selama tiga hari mereka tinggal di
negeri Coa untuk mengurus jenazah dan perkabungan atas wafatnya Raja Khouw. Raja Cee berpesan
pada pejabat negara Khouw supaya jenazah Raja Khouw dibawa pulang ke negaranya. Dan diizinkan
dimakamkan dengan upacara raja-raja agung.

Sesudah mengurus soal perkabungan, Raja Cee Hoan Kong baru mengajak semua Raja-raja Muda
mengerahkan pasukan perang untuk menyerang ke negeri Couw.

Tiba di perbatasan negeri Couw, di tempat itu kelihatan seorang yang berpakaian sangat rapi. Orang itu
sengaja menghadangkan keretanya di tepi jalan. Dia sengaja menghadang lajunya angkatan perang
gabungan tersebut.

”Apa yang datang ini pasukan perang Raja Cee?” seru orang itu. ”Jika benar harap tahan dulu! Aku mau
bicara sebentar dengan Raja Cee. Namaku Kut Goan, selain sebagai famili Raja Couw atas perintah
Rajaku, aku sudah lama menunggu kedatangan Raja Cee di sini!”

Tentara gabungan negeri Cee yang berjalan di muka segera menyampaikan pesan orang yang mengaku
bernama Kut Goan tersebut kepada Raja Cee Hoan Kong.

Mendengar laporan itu Raja Cee keheranan, dia bertanya pada Koan Tiong:
”Heran sekali. Bagaimana orang Couw bisa tahu lebih dulu bakal sampainya angkatan perang gabungan
ini?” kata Raja Cee.

”O, jelas pasti ada orang yang sudah membocorkan rahasia kita!” sahut Koan Tiong dengan mendongkol.
”Sekarang jelas, jika Raja Couw sudah mengirim utusan untuk mencegat angkatan perang kita, sudah
pasti mereka sudah siaga dan mengatur angkatan perangnya.”

”Lalu bagaimana akal kita sekarang?” kata Raja Cee.

”Sabar jangan cemas. Hamba akan menemui utusan itu dan akan hamba tegur dia. Dia akan hamba ajak
adu bicara sampai dia malu sendiri. Akhirnya mereka takluk tanpa kita harus berperang dengan
mereka!” kata Koan Tiong.

Sesudah berkata begitu, Koan Tiong keluar dari barisannya, begitu bertemu dengan Kut Goan dia
memberi hormat. Kut Goan membalas hormat yang disampaikan oleh Koan Tiong.

”Rajaku telah mendengar, Maharaja Cee telah mengerahkan angkatan perang gabungan akan
berkunjung ke negeri Couw. Karena itu dia memerintahkan aku sebagai utusan menunggu di sini.
Bahkan Raja kami mengatakan Raja Cee dan Couw masing-masing punya wilayah dan kekuasaan di
masing-masing wilayahnya. Misalnya Raja Cee berkuasa di lautan Utara. Sedangkan Raja Couw berkuasa
di lautan Selatan. Sudah sekian lama belum pernah terjadi perselisihan di antara mereka. Tetapi
sekarang tiba-tiba pasukan gabungan dari negeri Cee datang ke tempat kami. Karena itu kami mohom
diberi keterangan apa maksudnya?”

”Atas izin Kaisar Ciu, Raja kami membuat perserikatan Raja-raja Muda dengan tujuan menjunjung tinggi
”Dewan Kerajaan Ciu”. Sejak dulu Raja Couw selalu mengirim upeti rumput mao pada Kaisar Ciu.” kata
Koan Tiong. ”Akibat Raja Couw tak mengirim rumput Mao, maka di negara Ciu tidak punya bahan untuk
arak yang baik. Ditambah lagi ketika Kaisar Ciu Ciao Ong memaklumkan perang ke Selatan, dia tidak
pernah kembali lagi ke negaranya. Menurut keterangan, beliau hilang di daerah Couw. Untuk masalah-
masalah itulah Raja kami datang sebagai wakil Kerajaan Ciu untuk meminta penjelasan.”

”Sebenarnya bukan cuma negeri Couw yang menghentikan mengantar upeti, negara lain pun banyak
yang tidak lagi mengantar upeti,” kata Kut Goan. ”Tetapi jika Kerajaan Ciu menurut agar kami mengantar
rumput mao, kami akan mengusahakannya. Tetapi mengenai tidak kembalinya Kaisar Ciu Ciao Ong, dan
Raja Cee akan menimpakan kesalahan itu pada Raja Couw, hamba tidak terima. Mengenai wafatnya
Kaisar Ciu tersebut, banyak saksinya. Menurut saksi mata wafatnya Kaisar Ciu Ciao Ong, karena
perahunya terbalik di sungai. Jika Raja anda mau menyelidikinya, dan bertanya-tanya pada orang-orang
yang hidup di sepanjang sungai pasti mendapat keterangan yang lebih pasti lagi. Nah sekian dulu, hal ini
akan aku sampaikan pada Rajaku.”

Sesudah berkata begitu, Kut Goan mengundurkan keretanya pulang. Koan Tiong pun kembali untuk
menemui Raja Cee Hoan Kong.

”Orang-orang Couw sangat tangguh, mereka tak bisa kita kalahkan dengan adu lidah, kita harus maju
untuk mendesak mereka!” kata Koan Tiong.
Koan Tiong segera memerintahkan seluruh angkatan perang gabungan maju terus. Mereka bergerak dan
kini sudah sampai di Keng-san (tanah negeri Couw). Di tempat ini tentaranya diperintahkan membangun
perkemahan. Mereka bertahan di sana.

Di antara Raja-raja Muda banyak yang heran, mereka tidak tahu apa maksud Koan Tiong bertahan di
tempat itu. Dari negeri jauh mereka datang untuk memerangi negeri Couw, sampai di situ malah Koan
Tiong memerintahkan mereka bertahan di Keng-san. Koan Tiong tidak langsung memerintahkan mereka
menyeberangi sungai Han. Tidak heran banyak Raja Muda yang bertanya kepada Koan Tiong tentang
maksud Koan Tiong tersebut.

”Raja Couw mengirim seorang utusan, maka aku yakin mereka sudah siap-siaga.” kata Koan Tiong.
”Dalam perang jika sudah dimulai, tidak mudah untuk damai kembali. Kita menempatkan pasukan di
sini, maksudya untuk menunjukkan keangkeran pasukan kita. Apabila Raja Couw merasa ngeri melihat
tentara gabungan yang begini banyak, niscaya dia akan mengirim utusan lagi untuk berunding dan minta
damai. Coba bayangkan, ketika kita datang dengan niat memerangi negeri Couw; kemudian kita pulang
saat negeri Couw minta damai dan takluk. Bukankah hasilnya sama juga, kita telah mencapai maksud
kita dengan baik?”

Mendengar ucapan Koan Tiong banyak Raja Muda yang belum yakin pada ucapan itu. Mereka berpikir
sangat mustahil, negeri Couw yang terkenal tangguh tiba-tiba akan menyerah begitu saja tanpa
berperang. Tidak heran jika di tempat berkumpul pasukan gabungan terjadi perdebatan. Masing-masing
mengajukan argumentasi sendiri-sendiri. Tetapi diskusi itu tidak satu pun yang menjadi keputusan yang
final.

***

Pada saat Raja Couw Seng Ong mendapat keterangan dari Raja Coa Bok Kong bahwa Raja Cee bersama
Raja-raja Muda yang lain hendak menyerang negerinya, dia jadi merasa khawatir. Kemudian dia
menganggkat Touw Kok O-to (Chu Bun) menjadi panglima perang, untuk memimpin angkatan perang
berjaga di sebelah Selatan sungai Han-sui. Chu Bun hanya menunggu. Jika angkatan perang musuh
sudah menyeberangi sungai, dia harus segera memaklumkan peperangan yang hebat.

Pada suatu hari, juru kabar datang melapor pada Raja Couw Seng Ong.

”Entah mengapa tentara musuh mendirikan kemah mereka di Keng-san. ” kata pelapor.

Sebelum Raja Couw bisa berkata apa-apa, Chu Bun menyampaikan pendapatnya.

”Koan Tiong sangat paham ilmu perang, jika dia pikir siasatnya belum sempurna pasti dia tidak akan
menyerang.” kata Chu Bun. ”Sekarang tentaranya bertahan di Keng-san. Pasti dia sedang menjalankan
siasat. Sebaiknya Tuanku mengirim utusan untuk memata-matai mereka. Apakah pasukannya kuat atau
lemah? Baru kita pikirkan apa yang harus kita jalankan. Damai atau perang?”

”Ya, aku mengerti, Chu Bun,” kata Raja Couw Seng Ong. ”Tetapi siapa yang harus pergi menjadi utusan
lagi?”
”Kut Goan sudah kenal dengan Koan Tiong lebih baik suruh dia yang pergi lagi ke sana,” kata Chu Bun.

”Tetapi kepergian hamba untuk membicarakan soal damai atau perang?” kata Kut Goan pada Raja Couw
Seng Ong. ”Jika untuk urusan damai dengan senang hamba bersedia pergi. Jika masalah perang,
sebaiknya Tuanku menyuruh menteri yang lain saja. Dulu hamba sudah janji akan mengurus urusan
mengantarkan rumput mao ke negeri Ciu.”

”Dalam hal ini aku memberi kuasa penuh kepadamu,” sahut Raja Couw Seng Ong, ”apa itu berdamai
atau perang! Kau boleh mengambil putusan sendiri, aku tidak akan menyalahkan kau.”

Kut Goan pamit pada Raja Couw Seng Ong untuk pergi ke perkemahan musuh.

Kala Kut Goan sampai di perkemahan Cee, dia menemui penjaga.

”Tolong sampaikan pada Rajamu, aku Kut Goan ingin bertemu untuk membicarakan masalah penting,”
kata Kut Goan.

Penjaga masuk dan melapor. Mendengar laporan itu Koan Tiong berkata pada Raja Cee Hoan Kong.

”Kedatangan utusan Couw kembali, pasti hendak membicarakan soal perdamaian, harap Tuanku suka
berlaku hormat kepadanya.” kata Koan Tiong.

Cee Hoan Kong manggut-manggut.

”Baik! Izinkan dia masuk!” kata Raja Cee.

Kedatangan Kut Goan disambut dengan hormat oleh Cee Hoan Kong, sesudah itu utusan Couw itu
dipersilakan duduk. Baru Raja Cee bertanya.

”Apa maksud kedatangan Sian-seng kemari?” kata Raja Cee.

”Karena Rajaku tidak mengantar upeti, sehingga Tuanku sudah datang memeranginya. Karena itu Rajaku
mengaku salah,” kata Kut Goan.

”Jika tidak keberatan, harap Tuanku menarik mundur pasukan perang Tuanku dulu. Pasti Rajaku akan
datang untuk minta berdamai.”

”Jika Tay-hu bisa membujuk Rajamu melaksanakan aturan dan mau mengantar upeti, itu sudah cukup
apa yang diinginkan oleh Kaisae Ciu,” kata Raja Cee. ”Maka aku pun tidak perlu cari ribut lagi.”

”Hamba berjanji akan mengaturnya,” kata Kut Goan.

Sesudah memberi kepastian Kut Goan pamit akan kembali ke negaranya.

Begitu sampai Kut Goan melaporkan apa yang dia bicarakan dengan Raja Cee kepada Raja Couw.
”Hamba sudah berunding dengan Raja Cee. Dia bersedia mundur beberapa li dari Keng-san. Sedang
hamba berjanji akan mengatur pengiriman upeti ke negeri Ciu. Hamba harap Tuanku tidak melanggar
perjanjian hingga membuat malu seluruh bangsa Couw!” kata Kut Goan.

Selang sesaat kemudian sesudah Kut Goan melapor, juru kabar datang memberi kabar.

”Sekarang tentara Cee bersama pasukan raja yang lain sedang membongkar kemah mereka. Tidak lama
lagi mereka akan meninggalkan Keng-san!” kata si pelapor.

Raja Couw masih belum percaya, dia kirim mata-matanya untuk mencari keterangan lebih jauh. Ketika
itu juru kabar sudah kembali lagi.

”Benar, pasukan gabungan itu sudah mundur 30 li jauhnya dari tempat semula. Sekarang mereka
membangun perkemahan di Siao-leng. Mereka bilang mereka agak jerih pada tentara Couw!” kata mata-
mata itu.

Mendengar laporan itu dengan sangat menyesal Raja Couw berkata. ”Jika mundurnya Raja Cee karena
jerih kepada kita, sungguh sayang sekali kita sudah berjanji hendak mengirim upeti!”

”Apa Tuanku punya niat hendak ingkar janji?” kata Chu Bun. ”Apa yang Raja-raja itu telah lakukan itu
untuk menunjukan bahwa mereka memegang kepercayaan, jika sampai kita ingkar janji, sungguh sangat
tidak baik.”

Raja Couw tercengang, dia berpikir ucapan Chu Bun sangat pantas, sehingga mau tidak mau dia terpaksa
mengawal delapan gerobak terisi emas, kain sutera dan barang lain. Mereka pergi ke Siao-leng untuk
memberi hadiah kepada delapan Raja Muda dan sebuah gerobak berisi rumput mao untuk diantar ke
negeri Ciu.

Waktu itu Raja Khouw Hi Kong telah memerintahkan Pek To memimpin pasukan perang untuk
berkumpul di Siao-leng, karena dia merasa berhutang budi pada Raja Cee Hoan Kong, sebab jenazah
ayahnya, Khouw Bok Kong, telah diantarkan ke negerinya dan diizinkan dikubur dengan upacara agung.

Kedatangan Pek To membuat Raja Cee Hoan Kong girang, dia puji sikap Raja Khouw Hi Kong setia pada
perserikatan.

Ketika Raja Cee Hoan Kong menerima khabar Kut Goan datang lagi, Raja Cee segera waspada. Dia
perintahkan pasukan semua Raja Muda siaga. Siapa tahu kedatangan pasukan Cee akan menyerang
mereka.

Sesampai Kut Goan di perkemahan tentara gabungan, dia langsung menemui Raja Cee. Kut Goan
menyerahkan kiriman barang dari rajanya. Tentu saja Raja Cee dan kawan-kawannya girang. Barang itu
dibagi-bagikan di antara raja dan anak buahnya. Sesudah memeriksa antaran rumput mao, Raja Cee
berpesan.

”Sebaiknya anda yang mengantarkan ke Kerajaan Ciu!” kata Raja Cee pada Kut Goan.
”Apakah Tay-hu sudah pernah melihat angkatan perang Tiongkok?” tanya Cee Hoan Kong.

”Karena hamba tinggal di Selatan, belum pernah melihatnya. Hamba sangat bersyukur jika Tuanku mau
menunjukannya kepada hamba.” Kata Kut Goan.

Cee Hoan Kong mengajak Kut Goan naik kereta bersamanya, mereka menjalankan kereta itu untuk
melakukan pemeriksaan barisan tentara Raja-raja Muda. Karena banyaknya perjalanan mereka cukup
makan waktu.

Tidak lama dari pasukan Cee terdengar suara genderang. Kemudian suara genderang disambut oleh
pasukan lainnya, sehingga suaranya gemuruh sekali.

”Coba Tay-hu perhatikan,” kata Cee Hoan Kong dengan angkuh, ”aku memiliki angkatan perang
demikian besar. Apa jika kami berperang tidak akan menang?”

Kut Goan tersenyum, dia berkata: ”Kehebatan Tuanku hingga bisa menjadi pemimpin Perserikatan Raja
Muda di Tiongkok, semua karena Tuanku bernaung di bawah Kaisar Ciu! Memang Tuanku sendiri
bijaksana, sehingga raja mana yang berani membantah? Tetapi sebaliknya, jika Tuanku hanya
mengandalkan tentara Tuanku dan kegagahan sendiri….. Ambil contoh negeri Couw kami. Sekalipun
terhitung negara kecil, dia punya Hong-shia yang tinggi, dan sungai Han-sui yang airnya dalam. Sekalipun
Tuanku serang habis-habisan belum tentu bisa direbut!”

Mendengar sindiran itu Raja Cee Hoan Kong merasa malu, sehingga mukanya berubah merah, dia
berkata sambil tertawa.

”Ha, ha, ha! Ternyata Tay-hu seorang menteri Couw yang berbudi luhur!Aku ingin mengikat tali
persahabatan dengan negaramu. Bagaimana pendapat Tay-hu?” kata Raja Cee.

”Atas budi Tuanku ingin membagi rejeki pada negeri kami maka sepatutnya Raja kami berserikat dengan
Tuanku!” kata Kut Goan. ”Mana berani Raja kami mengasingkan diri, tentu dia akan senang sekali
berserikat dengan Tuanku!”

Raja Cee Hoan Kong merasa girang sekali, malam itu dia minta Kut Goan bermalam di perkemahannya.
Kemudian diadakan pesta besar.

Esok harinya…..

Di Siao-leng telah didirikan sebuah panggung, di atas panggung telah berkumpul semua raja-raja dan
menteri-menteri besar. Di situ segera diadakan perjanjian, mulai dari saat itu sampai di kemudian hari
semua negeri-negeri tidak boleh bertikai satu sama lain. Sesudah selesai melaksanakan upacara, Kut
Goan menghaturkan terima kasih kepada semua raja-raja.

Sementara itu Koan Tiong mengadakan pembicaraan dengan Kut Goan, dia minta panglima negeri The,
bernama Tam Pek, supaya dikembalikan, sedang Kut Goan juga mengajukan permintaan supaya Raja
Coa dihapus dosanya. Begitulah kedua pihak sepakat, masing-masing menerima baik perjanjian
tersebut.
Kut Goan pamit pulang ke kotanya, akan memberi tahu pada Raja Couw Seng Ong bagaimana kesudahan
misinya itu.

Koan Tiong mengeluarkan perintah akan menarik seluruh angkatan perang gabungan akan kembali ke
negaranya masing-masing.

Ketika Raja Couw sudah mengetahui angkatan perang semua Raja-raja Muda sudah ditarik mundur,
pikirannya berubah. Dia mau membatalkan pengiriman rumput Mao ke Kerajaan Ciu. Kut Goan kaget
lalu membujuk Raja Couw agar tidak ingkar janji. Sesudah dibujuk oleh Kut Goan dan Chu Bun baru Raja
Couw menurut. Dia perintahkan Kut Goan mengantarkan upeti itu ke Kerajaan Ciu.

Baginda Ciu Hui Ong sangat girang ketika menerima upeti rumput Mao, sekalipun harga barang itu tidak
seberapa, tetapi dia senang. Terutama selama ini Raja Couw telah membangkang, sekarang dia taat
mengirim rumput Mao.

Kaisar Ciu memuji Kut Goan dengan kata-kata manis. Dia juga berpesan pada Kut Goan supaya
menyampaikan pesannnya, agar Raja Couw mengamankan daerah Selatan dan jangan mengganggu
daerah Tiong-goan.

”Hamba akan memperhatikan pesan ini, hamba berjanji!” kata Kut Goan.

Sesudah itu Kut Goan pamit dan pulang ke negaranya. Baru saja Kut Goan mengundurkan diri, datang
Sek Peng dari negeri Cee. Dia mengabarkan bahwa Raja Cee sudah berhasil menaklukkan negeri Couw di
Selatan. Kaisar baru tahu kalau Raja Couw mengirim upeti rumput Mao karena Raja Cee telah
menaklukannya. Kaisar mengucapkan terima kasih pada Raja Cee.

Ketika Sek Peng memohon pada Baginda ingin bertemu dengan Putera Mahkota The, tampak Kaisar Ciu
kurang senang. Tetapi Kaisar Ciu segera memerintahkan Pangeran Tai bersama Putera Mahkota The
keluar menemui Sek Peng.

Melihat sikap Kaisar Ciu, Sek Peng menduga ada apa-apa di dalam keluarga kaisar ini. Diam-diam dia
mencoba menyelidikinya.

Sepulang Sek Peng ke negeri Cee dia melapor pada Raja Cee. Tetapi di akhir laporannya dia
menyampaikan sesuatu pada Raja Cee. ”Hamba lihat di dalam istana Kaisar Ciu telah terjadi sesuatu.
Pasti akan timbul huru-hara,” kata Sek Peng.

”O, kau bilang bakal terjadi huru-hara?!” kata Raja Cee Hoan Kong terperanjat,

”Bagaimana bisa begitu?”

”Putera sulung Baginda Ciu Hui Ong bernama The, dilahirkan oleh almarhum Permaisuri Kiang Si. Sudah
diangkat menjadi Putera Mahkota,” kata Sek Peng. ”Tetapi sejak Kiang Si meninggal, Permaisuri ke-dua
Tan Kui menjadi sangat dicintai oleh Baginda, sehingga dia diangkat menjadi Hong-houw (Permaisuri
Utama). Beliau juga berputera, namanya Tai, lantaran sang ibu dicintai oleh Kaisar Ciu, anaknya pun jadi
lebih disayang. Malah Baginda punya niat hendak menurunkan Putera Mahkota The dan mengangkat
Pangeran Tai menjadi Putera Mahkota. Sekarang Tuanku menjadi pemimpin perserikatan Raja-raja
Muda, jika di Kerajaan Ciu terjadi huru-hara, pasti Tuanku akan jadi pusing. Maka Tuanku harus buru-
buru berupaya untuk mencegah kekacauan itu!” Raja Cee Hoan Kong memanggil Koan Tiong untuk
diajak berunding.

Ketika Koan Tiong sudah mendengar cerita keadaan di Kerajaan Ciu, ia mulai bicara.

”Hamba punya siasat untuk menentramkan Kerajaan Ciu,” kata Koan Tiong.

”Siasat bagaimana, Tiong-hu?” tanya Cee Hoan Kong dengan girang.

”Jika Tay-cu (Putera Mahkota) sampai terancam bahaya, pasti karena familinya terlalu sedikit.” kata
Koan Tiong. ”Sekarang Tuanku buat surat untuk Kaisar, mohon agar Putera Mahkota diizinkan menemui
semua Raja-raja Muda. Dengan demikian Putera Mahkota jadi diakui sah sebagai calon Kaisar. Jika Kaisar
Ciu hendak menurunkan dan menggantinya dengan putera ke-dua, pasti semua Raja Muda akan
menolak. Dengan demikian rencana Kaisar akan gagal total.”

Raja Cee Hoan Kong setuju benar pada saran Koan Tiong tersebut. Segera Raja Cee mengutus Sek Peng
menyampaikan permohonan pada Kaisar Ciu, agar Putera Mahkota di musim Hee datang ke Siu-ci (tanah
negeri We). Karena Raja Muda ingin bertemu dengan Putera Mahkota. Kepada semua Raja Muda, Raja
Cee juga berpesan agar nanti datang ke pertemuan tersebut.

Saat Sek Peng datang bertemu Kaisar Ciu dan menyampaikan keinginan para Raja Muda untuk bertemu
dengan Putera Mahkota The. Hal itu disampaikan oleh Raja Cee Hoan Kong.

Kaisar Ciu Hui Ong sebenarnya tidak setuju. Dia tidak mau mengizinkan Putera Mahkota menemui Raja-
raja Muda.

Tetapi karena Kaisar Ciu takut menghadapi Perserikatan Raja Muda yang dipimpin Raja Cee, terpaksa
mengabulkannya.

***

Pada tahun berikutnya di musim Cun (Semi), Raja Cee Hoan Kong memerintahkan Tan Keng Tiong pergi
ke Siu-ci untuk membangun istana persinggahan Putera Mahkota. Tepat pada musim He bulan Go-gwe
(bulan lima), Raja Cee, Song, Louw, Tan, We, The, Khouw dan Co, delapan raja muda semua sudah
berkumpul di Siu-ci. Tidak lama Putera Mahkota The pun sampai.

Raja Cee Hoan Kong mengajak semua Raja Muda menyambut. Sementara Pangeran The bersikap sopan
sekali. Dia bersikap sebagai tamu yang ingin menemui tuan rumah. Tetapi Raja Cee mencegahnya.

”Jangan, Tuanku tidak pantas bersikap demikian. Kami ini adalah bawahan Tuanku,” kata Raja Cee.

Segera diadakan pesta besar Raja Cee bersama yang lain mengucapkan selamat kepada Pangeran The.
Mereka berdiam di sana cukup lama dan bergantian mengadakan pesta. Tetapi Pangeran The agak risih.
Dia bilang dia sudah terlalu lama berada di luar istana Kaisar Ciu.
”Aku ingin pulang,” kata Pangeran The pada suatu hari. ”Di sini aku hanya menyusahkan semua Raja
Muda.”

”Jangan!” kata Raja Cee. ”Tuanku tinggal beberapa bulan lagi, supaya Kaisar tahu bahwa anda disukai
oleh para Raja Muda di sini!”

Raja Cee lalu menceritakan bahwa Kaisar Ciu berniat menurunkan Pangeran The dan akan mengangkat
Pangeran Tai. Sesudah mendengar penjelasan dari Raja Cee akhirnya Pangeran The pun menurut. Dia
mengucapkan terima kasih pada semua raja, terutama kepada Raja Cee.

Karena sudah sekian lama Pangeran The tidak pulang-pulang, Kaisar Ciu Hui Ong sadar dan sudah bisa
menduga-duga apa yang telah terjadi. Bahwa Raja Cee sangat menghormati Pangeran The yang hendak
dia lucuti kedudukannya. Akhirnya Kaisar Ciu jadi mendongkol sekali.

Sedang permaisuri dan puteranya terus mendesak Kaisar Ciu dan mempengaruhinya, sehingga Kaisar
bertambah benci kepada Pangeran The.

Pada suatu hari……

Kaisar Ciu memanggil Perdana Menteri Ciu Kong Khong dan ia sampaikan kemendongolan hatinya.

”Cee Houw (Raja Cee) sekalipun katanya telah membuat Raja Couw tunduk, tetapi sebenarnya belum
pernah mengalahkannya.” kata Kaisar Ciu. ”Kerajaan Couw sangat tangguh dan tentaranya gagah berani.
Tetapi sekarang seolah mereka tunduk dan mau mengantarkan upeti pada kita. Dilihat tingkah-lakunya,
Raja Couw agak lebih baik jika dibanding dengan Raja Cee yang curang.”

Perdana Menteri Ciu Kong Khong mengangguk saja.

”Coba kau bayangkan,” kata Kaisar Ciu lagi. ”Raja Cee bersama komplotannya telah mengajak Pangeran
The berdiam di suatu tempat.”

—ooOOOoo—

Bab 14
”Coba kau bayangkan, dia minta Pangeran The menemui mereka dan komplotannnya,”
kata Kaisar Ciu. ”Entah apa maksud dia berbuat begitu? Apa dia berniat buruk?”

”Apa yang Tuanku hendak lakukan?” kata Ciu Kong Khong.

”Aku berniat menyuruhmu mengirim sepucuk surat rahasia kepada Raja The Pek, agar dia kembali
bergabung dengan Raja Couw. Sampaikan pesanku pada Raja Couw agar dia mendukung Kerajaan Ciu
sepenuhnya. Bagaimana pendapatmu?” kata Kaisar Ciu.

Ciu Kong Khong terperanjat mendengar ucapan Kaisar Ciu itu.

”Jangan! Jangan Tuanku lakukan hal itu! Menurutnya Raja Couw semua atas jasa Raja Cee dan kawan-
kawannnya. Mengapa Tuanku mau bermusuhan dengan Raja Cee yang sangat berjasa kepada Tuanku?
Malah Tuanku ingin bergabung dengan Raja Couw yang sering membuat ulah dan pembangkang?” kata
Ciu Kong Khong.

”Apa kau berani jamin Cee Houw tidak punya niat lain?” kata Baginda Ciu Hui Ong dengan sengit. ”Tidak,
aku tidak setuju dengan ucapanmu! Pendeknya niatku sudah tetap, tidak bisa dicegah lagi!”

Melihat Kaisar Ciu marah Ciu Kong Khong tidak berani buka suara. Kaisar Ciu membuat surat itu yang dia
serahkan pada Ciu Kong Khong untuk diserahkan pada Raja The. Seterima surat itu Ciu Kong Khong
segera mengutus orang mengantarkan surat itu. Dia tidak tahu apa isinya. Dia juga tidak berani mencuri
melihatnya. Tatkala Raja The Bun Kong menerima surat dari Kaisar Ciu tersebut, dia buka dan baca:

”Ternyata Pangeran The telah melanggar perintah Kaisar Ciu dan telah mengadakan pertemuan dengan
para Raja Muda, maka aku anggap dia tidak pantas menjadi Putera Mahkota. Maka aku berniat
mengangkat putera ke-dua Tai menggantikannya. Aku minta pada anda agar memisahkan diri dari Raja
Cee dan bergabung kembali dengan Raja Couw. Kemudian kalian berdua mendukung Kerajaan Ciu. Dan
dukung Pangeran Tai, maka aku akan memberi izin kalian bekerja di Kerajaan Ciu.”

Begitu kira-kira isi surat Kaisar Ciu pada Raja The Bun Kong. Sesudah itu Raja The lalu mengumpulkan
semua menterinya untuk diajak berunding.

”Dulu ketika almarhum Raja Bu Kong dan Cong Kong menjadi pejabat di Kerajaan Ciu, mereka mendapat
kehormatan besar di kalangan Raja-raja Muda. Tetapi sayang jabatan itu berakhir, hingga negeri The
menjadi terpuruk. Beruntung Raja The Le Kong berhasil mengangkat kembali Kaisar Ciu, tetapi sayang
beliau tidak dipanggil bekerja di istana Kerajaan Ciu sampai wafatnya. Sekarang Kaisar Ciu minta
bantuanku. Aku yakin semua Pangeran Ciu harus menghormatiku.” kata Raja The.

”Tetapi jika diingat-ingat Raja Cee karena ingin menolong kita, dia kerahkan angkatan perangnya ke
negeri Couw!” kata Khong Siok, ”sekarang kalau kita berpisah dengan kerajaan Cee dan takluk kepada
Couw, ini sama juga kita tidak ingat budi orang. Apalagi mendukung Pangeran The adalah kewajiban
kita. Harap Tuanku pikirkan dulu masalah ini.”

”Pendapatmu keliru,” kata Raja The. ”Daripada menurut pada raja jagoan lebih baik menurut pada
Kaisar Ciu. Apalagi Kaisar sendiri tidak sayang pada Pangeran The, mengapa aku harus menyayanginya?”

”Menurut aturan Kerajaan Ciu, yang boleh menjadi Putera Mahkota adalah anak dari Permaisuri
pertama. Dan putera sulung.” kata Khong Siok. ”Baginda Yu Ong menyukai Pangeran Pek Hok, Baginda
Hoan Ong mencintai Cu Kek, dan Baginda Cong Ong mencintai Chu Tui, semua itu sudah Tuanku ketahui
semua. Mengapa Tuanku tidak mau ikut aturan malah mau mengambil cara yang salah. Apa Tuanku
tidak khawatir di kemudian hari akan menyesal?”

”Menurut pendapatku, sebaiknya kita mengambil jalan tengah,” kata Menteri Sin Houw.

”Tetapi jangan sekali-kali membantah perintah Kaisar Ciu. Maka itu kita tidak boleh ikut dalam
pertemuan yang akan diadakan oleh Raja Cee. Di luar Pangeran The punya pengikut, begitu juga
Pangeran Tai di dalam istana. Kita juga belum tahu siapa yang akan jadi pemenang di antara mereka
berdua? Sebaiknya kita bersabar menunggu dan menyaksikan gerak-gerik mereka.”

Raja The Bun Kong setuju pada pendapat Sin Houw, dia berpura-pura mengatakan pada Raja Cee ada
masalah di dalam negaranya, lalu pulang.

Ketika Raja Cee Hoan Kong mengetahui masalah yang sebenarnya, mengapa Raja The pulang. Dia
hendak mengajak Pangeran The untuk melabrak Raja The.

”Tidak perlu! Biarkan saja dia pergi,” kata Koan Tiong.

Dia cegah Raja Cee bergerak. Kemudian Koan Tiong menganalisa minggatnya Raja The.

”Negeri The dan Ciu letaknya berdampingan,” kata Koan Tiong. ”Dalam hal ini pasti Kaisar Ciu telah
mengeluarkan perintah hingga hatinya tergerak. Jika kita hanya berkurang seorang raja, itu tidak bisa
mengacaukan niat kita yang besar. Sedang waktu pertemuan hampir tiba. Sesudah itu baru kita adakan
perhitungan dengan negeri The!”

Raja Cee Hoan Kong apa boleh buat menahan sabar, sekalipun dia geram sekali. Ketika saat pertemuan
telah tiba, semua raja-raja berhimpun kecuali Raja Couw dan The. Dalam pertemuan ditetapkan semua
Raja Muda akan mendukung Pangeran The menjadi Kaisar. Mereka pun mengucapkan sumpah.

Pangeran The terharu dia mengucapkan terima kasih pada semua raja-raja.

Esok harinya……
Pangeran The hendak pulang. Semua raja muda masing-masing membawa tentaranya mengantarkan
Pangeran The pulang. Di antaranya Raja Cee dan Raja We telah mengantarkan sampai melewati
perbatasan negeri We.

Ketika Raja Couw Seng Ong mendapat kabar Raja The tidak mau ikut di pertemuan raja-raja, tentu saja
Raja Couw girang sekali. Dia berharap dia bisa menarik kembali Raja The ke pihaknya. Raja Couw segera
mengirim utusan menemui Sin Houw sambil membawa barang berharga untuk menyuap Sin Houw. Raja
Couw mengatakan dia berniat meneruskan persahabatannya dengan negara The Sin Houw memang
sangat serakah, dia terima sogokan Raja Couw. Lalu dia menemui Raja The dan mengatakan bahwa Raja
Couw ingin bersahabat.

”Hamba yakin tidak lama lagi Raja Cee akan menyerang ke negeri The,” kata Sin Houw.

”Jika bukan Raja Couw tidak akan sanggup kita menghadapinya.”

”Apa betul begitu?” kata Raja The.

”Benar Tuanku, jika Tuanku takluk kepada Couw itu sesuai pesan Kaisar Ciu. Jika Tuanku tidak segera
mengambil putusan, maka Raja Cee dan Couw akan menjadi musuh negeri The,” kata Sin Houw.

Desakan menteri dorna tersebut telah berhasil, Raja The Bun Kong memerintahkan Sin Houw diam-diam
mengantar bingkisan ke negeri Couw.

Pada tahun pemerintahan Ciu Hui Ong ke-26, Raja Cee Hoan Kong telah mengajak raja-raja yang
berserikat datang melabrak negeri The, mereka segera mengepung kota Sin-bit. Waktu itu kebetulan Sin
Houw ada di negeri Couw, setelah mendengar kabar negeri The sedang dilabrak oleh pasukan Cee dan
kawan-kawannya, Sin Houw menghadap pada Raja Couw Seng Ong untuk minta bantuan. Raja Couw
segera mengumpulkan semua menterinya untuk membicarakan masalah itu.

”Ketika Raja Cee hendak mengumumkan perang di Siao-leng, Raja Khouw Bok Kong meninggal dunia di
dalam perkemahannya, sehingga Raja Cee sangat kasihan kepadanya. Dengan demikian di antara para
raja, Raja Khouw-lah yang paling akrab dengan Raja Cee,” kata Chu Bu. ”Jika Tuanku serang negei
Khouw, pasti Raja Cee dan yang lain-lain akan berdatangan membantunya. Dengan demikian kepungan
terhadap negeri The akan mengendur sendirinya.”

Raja Couw setuju pada saran Chu Bun, Raja Couw langsung memimpin pasukannya menyerang ke
negara Khouw.

Ketika Raja Cee Hoan Kong dan yang lainnya mendapat kabar kota Raja Khouw dikepung oleh tentara
Couw, mereka melepaskan kepungan terhadap negeri The untuk menolong negeri Khouw. Tetapi ketika
mereka dan pasukan perang sampai di tanah Khouw, balatentara Couw sudah mundur kembali.

Sedang Sin Houw dari Couw pulang ke negeri The. Dia anggap dia telah berjasa besar dan berharap
dinaikan pangkatnya. Tapi Sin Houw kecewa karena Raja The diam saja. Karena sangat kesal dan
mendongkol Sin Houw sering mengeluarkan kata-kata kurang pantas.
Tahun berikutnya di musim Cun, Raja Cee Hoan Kong dan kawan-kawannya kembali menyerang ke
negara The.

Salah seorang panglima negeri Tan, Wan To Touw namanya, karena tahu Raja The sudah membebaskan
diri dari perserikatan dengan Raja Cee, dan mendengarkan hasutan dari Sin Houw. Wan To Touw
menulis sepucuk surat rahasia yang dikirimkan kepada Khong Siok, yang bunyinya kira-kira demikian:

”Dulu Sin Houw telah menjilat pada Raja Cee, sehingga dia mendapat hadiah tanah perusahaan di
Houw-lo, sekarang dia menjilat kepada Raja Couw, hingga membuat Rajamu melupakan kebajikan dan
melanggar kewajiban, seperti sengaja mencari bahaya untuk mencelakakan rakyat negeri dan merusak
daerah sendiri. Jika Raja Tay-hu bersedia membunuh Sin Houw, aku berani jamin tidak usah berperang
pasti tentara Cee akan ditarik mundur.”

Tatkala Khong Siok sudah terima dan baca surat itu, dia bawa surat itu dan dia serahkan kepada Raja The
Bun Kong. Raja The ingat kembali dulu karena tidak mau mendengar nasihat Khong Siok, pasukan Cee
dan kawan-kawannya telah dua kali menyerang negerinya. Dia sangat menyesal dan berbalik menjadi
geram kepada Sin Houw, menterinya. Segera dia panggil Sin Houw menghadap.

”Kau bilang hanya Raja Couw yang bisa melawan Raja Cee dan kawan-kawannya, sekarang tentara Cee
sudah datang kembali. Mana Raja Couw dan tentaranya yang kau bilang mau membantu?” kata Raja The
dengan marah.

Ketika Sin Houw hendak bicara menyampaikan alasannya, Raja The sudah memanggil algojo untuk
menyeret dan memenggal kepala Sin Houw.

Kemudian Khong Siok sambil membawa surat Raja The dan kepala Sin Houw menghadap pada Raja Cee
untuk minta berdamai.

Raja Cee Hoan Kong memang sudah mengenal menteri The bernama Khong Siok yang bijaksana. Raja
Cee mau menerima damai dan percaya pada kata-kata menteri bijaksana ini.

Suatu saat Raja Cee mengundang semua raja-raja untuk berkumpul di Leng-bo. Tetapi ketika Raja The
mendapat undangan, dia agak sangsi. Dia merasa masih terikat oleh ajakan Kaisar Ciu, maka dia tidak
berani datang berkumpul di Leng-bo. Tetapi untuk tidak membuat curiga Raja Cee dia hanya mengirim
puteranya yang bernama Si Cu Hoa untuk mewakilinya menghadiri pertemuan itu.

Ternyata Si Cu Hoa ini seorang anak durhaka, senantiasa ia berikhtiar hendak mendapatkan tahta
ayahnya. Sudah berulang kali dia minta bantuan pada Siok Ciam, Khong Siok (disebut juga Louw Siok)
dan Su Siok untuk menyingkirkan putera-putera ayahnya. Tetapi semua menteri The yang budiman
selalu menasihatinya.

”Seharusnya Pangeran berbakti pada Ayahanda Tuanku,” kata Khong Siok. ”Karena Raja pun sayang
sekali kepada Tuanku.”

”Memang benar, jika Tuanku berbakti tahta pasti akan diserahkan kepada Tuanku,” kata Su Siok.
Tetapi karena Si Cu Hoa sudah sangat ingin menduduki tahta ayahnya, nasihat tiga menteri itu bukan
diterima dengan baik, malah dia membenci mereka bertiga.

Ketika Si Cu Hoa bertemu dengan Raja Cee Hoan Kong, dia memohon supaya dia bisa bicara berdua saja
dengan Raja Cee Hoan Kong.

”Hamba ingin membicarakan masalah penting, maka hamba mohon yang lain diminta mundur,” kata Si
Cu Hoa pada Raja Cee.

Ketika permohonan itu oleh Raja Cee dikabulkan dan mereka hanya berduaan, Si Cu Hoa mulai bicara.

”Negeri The dilola oleh tiga orang menteri. Mereka adalah Siok Ciam, Khong Siok dan Su Siok,” kata Si Cu
Hoa. ”Dulu saat Ayahku meninggalkan pertemuan, itu karena hasutan ketiga Tay-hu tersebut. Jika
Tuanku bisa menyingkirkan ketiga menteri itu, dan aku rela menyerahkan negeri The. Sedang hamba
cukup puas menjadi pegawai negeri The.”

”Aku setuju, tetapi harus menunggu waktu,” kata Cee Hoan Kong. ”Aku akan berunding dulu dengan
menteriku.”

”Baiklah,” kata Si Cu Hoa.

Raja Cee menemui Koan Tiong dan mereka bicara berdua saja. Dia menanyakan pendapat Koan Tiong
mengenai saran dari Si Cu Hoa.

”O, jangan, Tuanku jangan percaya kata-katanya,” kata Koan Tiong. ”Semua Raja Muda tunduk pada
kita, karena Raja Cee bisa dipercaya. Anak itu hendak melawan ayahnya, berarti dia anak durhaka!
Kedatangannya atas perintah ayahnya dengan tujuan yang sangat baik. Jika dia usul begitu, berarti dia
akan menimbulkan kekacauan. Tiga Tay-hu negeri The itu orang-orag budiman, di negerinya mereka
bergelar ”Sam Liang”. Menurut hamba Si Cu Hoa pasti akan celaka!”

Raja Cee Hoan Kong manggut, kemudian dia menemui Si Cu Hoa kembali.

”Apa yang kau katakan tadi, sebenarnya masalah besar, maka sebaiknya suruh Ayahmu datang. Aku
akan membicarakannya dengan baik.” kata Raja Cee.

Saat itu juga paras Si Cu Hoa berubah merah dan sekujur tubuhnya berkeringat, karena dia tidak
menduga bakal mendapat jawaban begitu. Mau tidak mau terpaksa dia pamit pada Cee Hoan Kong.

Karena Koan Tiong sangat benci apada niat buruk Si Cu Hoa, dia sengaja membocorkan rahasia itu pada
orang-orang The. Maka sebelum Si Cu Hoa sampai ke negaranya, sudah ada yang melaporkan kelakuan
Si Cu Hoa itu kepada ayahnya.

Begitu menghadap dia berlutut di hadapan ayahnya.

”Bagaimana hasil kunjunganmu itu?” tanya Raja The pura-pura belum tahu.
”Raja Cee sangat marah karena Ayah tidak datang sendiri, dan Raja Cee tidak terima. Maka menurut
saran hamba, lebih baik Ayah kembali berserikat dengan Raja Couw!” kata Si Cu Hoa.

Mendengar laporan itu bukan main marahnya Raja The.

”O, anak durhaka, hampir saja kau jual negeriku ini!” kata The Bun Kong dengan sangat gusar. ”Aku
sudah tahu semua kelakuanmu di sana. Hm! Sekarang kau karang cerita dusta di depanku! Pengawal
tangkap dia dan seret masukkan ke kamar gelap!”

Tetapi anak nakal ini tidak mau menyerah begitu saja, di dalam penjara dia coba membobol tembok
hendak kabur. Tetapi keburu ketahuan oleh penjaga. Karena gusar Raja The lalu mengeluarkan perintah
membunuh anak nakal itu.

Raja The sangat hormat pada Raja Cee yang tidak mau mendengar hasutan dari anaknya. Maka dia kirim
Khong Siok untuk menghaturkan terima kasih pada Raja Cee.

Dalam tahun ke-22 pemerintahan Kaisar Ciu Hui Ong, pada musim Tang (Gugur) Baginda Ciu Hui Ong
sakit keras. Pangeran The sangat khawatir adik tirinya akan merebut tahtanya jika ayahnya meninggal.
Diam-diam dia perintahkan Ong-cu Houw memberitahu Raja Cee, bahwa Baginda sedang sakit keras.

Selang beberapa hari kemudian Kaisar Ciu Hui Ong pun wafat. Pangeran The berunding dengan Ciu Kong
Khong dan Siao Pek Liauw, mereka mengambil putusan akan mengurus perkabungan dulu, sebelum
mengurus pengangkatan pengganti Kaisar. Tetapi diam-diam mereka mengutus orang untuk menyusul
Ong-cu Houw dan memberitahukan bahwa Kaisar telah meninggal.

Mendapat khabar itu Ong-cu Houw begitu sampai di hadapan Raja Cee, langsung melaporkan tentang
wafatnya Kaisar Ciu tersebut. Raja Cee segera mengirim utusan ke berbagai negara untuk mengupulkan
raja-raja di tanah Yao, tanah milik negeri Co. Dalam pertemuan raja-raja itu Raja The Bun Kong ikut
hadir.

Seluruh Perserikatan Raja-raja Muda sepakat mengajukan usulan ke Kerajaan Ciu. Lalu mereka mengirim
delapan pembesar dari masing-masing negaranya.

Ketika ke-delapan menteri besar dari delapan negara itu sampai di negeri Ciu, mereka tampak angker
sekali. Begitu datang mereka bilang mereka hendak menyampaikan perasaan berduka cita dari raja
mereka masing-masing. Mereka masih berkumpul di luar kota.

Ong-cu Houw masuk ke Ibukota lebih dulu untuk melapor. Pangeran The memerintahkan Siao Pek Liauw
pergi menyambut semua Tay-hu atau menteri besar dari berbagai negara itu. Kemudian baru dia
mengurus masalah berkabung ketika semua semua menteri dari berbagai negara itu sudah bertemu
dengan Kaisar yang baru. Ciu Kong Khong dan Siao Pek Liauw memimpin Pangeran The mengurus
perkabungan ayahandanya.

Begitu upacara selesai, seorang Menteri Besar mewakili semua utusan lalu bicara.
”Atas perintah Raja-raja kami, kami datang untuk menyatakan ikut berduka-cita! Dengan ini pula atas
kesepakatan Raja-raja kami, maka kami mohon Pangeran The naik tahta menjadi Kaisar Ciu!” kata juru
bicara Menteri Besar itu.

Ucapan itu mendapat sambutan yang meriah. Pangeran The lalu duduk di tahta kerajaan. Sesudah itu
semua menteri mengucapkan selamat kepada Kaisar Ciu yang baru, yang bergelar Ciu Siang Ong.

Pada tahun berikutnya di musim Cun (Semi) sebagai tahun pertama pemerintahan Kaisar Ciu Siang Ong.
Hari itu Kaisar Ciu hendak bersembahyang di kelenteng almarhum ayahnya. Dia juga mengatakan akan
menganugrahkan sesuatu kepada Raja Cee yang membantu sepenuh hati kepadanya.

Mendengar niat Kaisar Ciu itu, Raja Cee mengundang seluruh Raja Muda untuk datang ke Kui-kiu.

Di tengah perjalanan menuju ke tempat pertemuan, Raja Cee Hoan Kong dan Koan Tiong membicarakan
masalah Kerajaan Ciu.

”Dewan kerajaan Ciu, karena tidak sejak semula menentukan calon pengganti Kaisar, hampir saja terjadi
huru-hara,” kata Koan Tiong. ”Sekarang Tuanku sendiri harus menetapkan ahli waris, agar di kemudian
hari tidak timbul kekacauan.”

”Aku mempunyai enam orang putra, semua dilahirkan oleh Selir-selirku,” kata Cee Hoan Kong. ”Yang
paling besar Pangeran Bu Kui, tetapi yang paling pintar Pangeran Ciao. Ibu Pangeran Bu Kui yang
bernama Tiang We Ki, telah merawatku paling lama, sedang Ek Ge dan Si Tiao mengusulkan agar aku
mengangkat Pangeran Bu Kui sebagai ahli warisku. Tetapi aku sangsi karena aku sayang pada
kepandaian Pangeran Ciao. Bagaimana pendapat Tiong-hu?”

Koan Tiong tahu Ek Ge dan Si Tiao adalah bangsa dorna, apalagi mereka senantiasa disayang oleh Tiang
We Ki. Jika di kemudian hari Pangera Bu Kui menjadi raja, Koan Tiong khawatir kedua dorna itu akan
mengacau dari dalam dan luar. Pasti negara Cee akan kacau!

Pangeran Ciao lahir dari Selir The Ki dan Koan Tiong ingat betul negeri The baru ikut berserikat. Maka
jika Pangeran Ciao yang menjadi Putera Mahkota, maka hubungan negara Cee dan The akan bertambah
erat.

Sesudah berpikir begitu, Koan Tiong baru berkata.

”Jika Tuanku hendak mewariskan Kerajaan Cee pada seorang yang pandai, lebih baik angkat Pangeran
Ciao! Jika negara diurus oleh Raja yang tidak pandai, pasti tidak akan bagus!” kata Koan Tiong.

”Tetapi Bu Kui putraku yang tertua, apa dia tidak akan merebut kedudukan adiknya?” tanya Raja Cee.

”Tuanku ingat, untuk calon Kaisar Ciu saja Tuanku yang mengurus, karena Tuanku pemimpin seluruh
raja-raja. Kumpulkan para Raja Muda kemudian tetapkan Pangeran Ciao agar semua Raja Muda
membelanya! Lalu apa yang Tuanku khawatirkan lagi?” kata Koan Tiong.

—ooOOOoo—
Bab 15

Raja Cee Hoan Kong manggut-manggut.

”Baiklah,” kata Raja Cee.

Sampai di Kui-kiu, di sana semua raja muda sudah berkumpul, sedang Ciu Kong Khong juga sudah
datang.

Waktu itu Raja Song Hoan Kong sudah wafat, Pangeran Chu Hu telah mengalah kepada kakak tirinya,
Pangeran Bak I yang akan menjadi Raja Song. Namun Bak I tidak berani menerima kedudukan itu. Maka
terpaksa Chu Hu yang menjadi raja dengan gelar Song Siang Kong.

Ketika Song Siang Kong mendapat undangan dari Raja Cee, sebab dia raja yang taat, sekalipun sedang
berkabung dia menghadiri pertemuan.

Sesudah mengetahui hal-ikhwal Raja Song Siang Kong, dan dia juga melihat sikapnya. Dia membisiki Raja
Cee.

”Raja Song sangat murah hati, dia bersedia mengalah kepada kakak tirinya untuk menjadi raja,” kata
Koan Tiong. Ini bisa dikatakan dia seorang raja yang budiman. Ditambah lagi, sekalipun sedang
berkabung dia hadir dalam pertemuan ini. Jelas dia taat setulusnya pada kita. Soal ahli waris sebaiknya
Tuanku titip saja kepadanya.”

Raja Cee Hoan Kong manggut menyatakan setuju.

Koan Tiong menemui Raja Song. ”Rajaku ingin membicarakan soal penting dengan Tuanku,” kata Koan
Tiong.

Dengan tidak ayal lagi Raja Song Siang Kong datang di kemah Raja Cee Hoan Kong. Sesudah satu sama
lain melaksanakan adat-istiadat Raja Cee memegang lengan Raja Song. Kemudian Raja Cee
menceritakan niatnya. Di akhir pertemuan Raja Cee berpesan.
”Aku harap kau mau mendukung Pangeran Ciao di kemudian hari,” kata Raja Cee. ”Baik, hamba berjanji
akan melaksanakan pesan Tuanku ini,” kata Raja Song.

Tibalah saat pertemuan dimulai semua raja dan menteri telah hadir seluruhnya. Mereka tampak agung
sekali. Semua Raja Muda menyilakan utusan Kaisar Ciu naik ke atas panggung yang disediakan.Sekalipun
Kaisar Ciu tidak hadir, tetapi kursi untuknya telah disediakan. Semua raja-raja menghadap ke arah sana.

Sesudah melaksanakan upacara adat, semua Raja-raja Muda mengambil tempat duduk mereka menurut
kedudukannya masing-masing.

Ciu Kong Khong berdiri dan berkata, ”Kaisar telah bersujud pada almarhum Baginda Bun Ong. Sekarang
Sri Baginda memerintahkan aku untuk menyerahkan hadiah pada para Raja Muda!” kata Ciu Kong
Khong.

Raja Cee akan turun dari kursinya untuk menghaturkan terima kasihnya, tetapi dicegah oleh Ciu ong
Khong. ”Tuanku sudah berusia lanjut, Kaisar memberi izin Tuanku tidak perlu menjalankan upacara adat-
istiadat,” kata Ciu Kong Khong.

Raja Cee mengangguk akan menurut perintah Ciu Kong Khong, tetapi Koan Tiong segera maju dan
berkata. ”Sekalipun Kaisar sangat murah hati, tetapi sebagai bawahan Raja kami tidak boleh tidak
hormat!” kata Koan Tiong.

Raja Cee mengerti apa maksud ucapan Koan Tiong. Dia segera maju.

”Hamba bawahan Kaisar Ciu, mana berani hamba berlaku tidak hormat dan melaksanakan kewajiban
sebagai seorang menteri!” kata Raja Cee.

Sesudah berkata begitu, Raja Cee Hoan Kong turun dari tangga, memberi hormat serta menghaturkan
terima kasih. Kemudian baru naik lagi akan menerima barang sembahyang itu.

Sikap Raja Cee membuat kagum seluruh Raja-raja Muda yang lain. Sesudah itu Raja Cee Hoan Kong
kembali mengingatkan semua raja muda supaya menjunjung tinggi ”Dewan Kerajaan Ciu”. Kemudian
dikeluarkanlah lima pantangan: 1) Dilarang menahan air mata, 2). Dilarang menahan orang yang mau
membeli beras, 3) Dilarang sembarangan mengangkat Putra Mahkota, 4). Dilarang mengangkat gundik
atau Selir menjadi Permaisuri, 5). Dilarang kaum wanita ikut campur dalam urusan pemerintahan
negara. Jangan kasih orang perempuan campur tangan dalam urusan pemerintah negeri.

Sesudah itu pertemuan ditutup, semua raja muda dan utusan Kaisar mengucapkan selamat berpisah.
Mereka lalu kembali ke negaranya masing-masing.

Sekembalinya Raja Cee Hoan Kong ke negaranya, dia menganggap dirinya berjasa besar. Seolah sudah
tak ada yang bisa menandinginya lagi, menyatakan dia telah membangun sebuah istana yang megah.
Bahkan saat naik kereta sedang jalan-jalan, dia mengenakan pakaian kebesaran mirip pakaian Kaisar.
Rakyat banyak yang mencela kelakuan Raja Cee ini. Mereka menganggap Raja Cee Hoan Kong sangat
keterlaluan. Sedang Koan Tiong pun membuat loteng tiga tingkat, sangat indah.
Perbuatan Koan Tiong tersebut membuat Pao Siok Gee kurang senang, dia berkunjung ke gedung
sahabatnya itu. ”Tiong-hu, aku tidak mengerti pada sikapmu?” kata Pao Siok Gee. ”Raja kita hidup
mewah, kau juga kut-ikutan. Raja kita melanggar aturan kau juga ikut! Apa pantas begitu?”

”O, sahabatku, jelas kau tidak mengerti maksudku,” sahut Koan Tiong. ”Jika aku berbuat begitu,
sebenarnya aku hendak menyindir Cu-kong kita.”

Pao Siok Gee sekalipun mengangguk, tetapi dia tetap tidak puas dan tidak yakin pada alasan yang
disampaikan oleh Koan Tiong tersebut.

***

Dikisahkan perjalanan pulang Ciu Kong Khong. Di tengah perjalanan dia berpapasan dengan Raja Chin
Hian Kong yang berniat datang ke pertemuan Raja Cee. Tatkala Ciu Kong Khong memberi tahu
pertemuan sudah selesai, Raja Chin sangat menyesal, dengan membanting kakinya dia berkata, ”Sayang
sekali negeriku terlalu jauh, sehingga terlambat datang! Ah, mengapa nasibku jelek sekali!”

”Harap Tuanku tidak kecewa,” kata Ciu Kong Khong. ”Sekarang Raja Cee karena merasa jasanya besar,
kelakuannya mulai sombong! Seumpama rembulan sesudah bulat, akan bersinar separuh kembali.
Begitu juga air, jika sudah terlalu penuh akan meluap. Tunggu saja meluap dan somplaknya Raja Cee tak
akan lama lagi. Jadi jangan Tuanku menyesal.”

Mendengar keterangan itu Raja Chin pun pulang ke negaranya.

—ooOOOoo—

Bab 21

Sementara itu Tio Swi yang berjalan belakangan baru sampai di tempat itu. Semua
bertanya mengapa Tio Swi berjalan demikian lambat.
”Aku terlambat sampai, karena kakiku tertusuk duri, aku tidak bisa berjalan cepat,” sahut Tio Swi.

Kemudian dia keluarkan bekalnya dari dalam bungbung bambu, dia suguhkan kepada Pangeran Tiong Ji.

”Apakah kau tidak merasa kepayahan karena lapar? Mengapa kau tidak mau makan sendiri bekal itu?”
tanya Tiong Ji dengan terharu. ”Meskipun hamba sangat lapar, mana hamba berani melupakan Tuanku
yang juga pasti lapar seperti hamba,” sahut Tio Swi.

Ho Mo sengaja bergurau pada Gui Cun.

”Coba jika bekal ini ada di tangan Gui Cun, barangkali sudah jadi hancur di dalam perutnya.” kata Ho Mo
sambil tertawa. Gui Cun jadi malu segera dia membuang muka.

Pangeran Tiong Ji membagi bubur encer itu pada Tio Swi, tetapi Tio Swi tidak tega memakannya sendiri,
segera dia tambahi air dan dimasak lagi, kemudian dia bagi rata dengan semua orang.

Melihat hal itu, Tiong Ji jadi menghela napas dan merasa kagum pada Tio Swi yang demikian baik hati
itu. Sesudah masing-masing selesai makan, barulah mereka meneruskan perjalanan.

Di sepanjang jalan mereka mencari makanan, begitulah dengan menanggung lapar dan kelelahan
akhirnya mereka sampai di negeri Cee. Raja Cee Hoan-kong memang sudah mendengar Kong-cu Tiong Ji
adalah seorang bangsawan yang budiman, setelah mengetahui Tiong Ji telah sampai di perbatasan
negaranya, Raja Cee segera mengirim utusan pergi keluar kota, untuk menyambut tamu itu untuk diajak
masuk ke dalam kota dan diberi sebuah gedung tempat tamu-tamu itu istirahat.

Kemudian Raja Cee Hoan-kong segera mengatur pesta untuk menghormati Pangeran Tiong Ji dan
menteri-menterinya itu. Di tengah pesta sedang berlangsung, sesudah membicarakan berbagai masalah,
akhirnya Raja Hoan-kong bertanya pada Tiong Ji:

”Apakah Kong-cu membawa famili dan keluargamu?” tanya Raja Cee.

”Untuk membawa diri sendiri saja rasanya susah bukan main, bagaimana hamba bisa membawa
keluarga hamba?” sahut Tiong Ji.

”Jika aku tidur sendiri saja dalam satu malam, rasanya sama lamanya seperti setahun,” kata Cee Hoan-
kong sambil tersenyum, ”Kong-cu dalam pengembaraan, dan tidak ada orang mengurus, sungguh
kasihan sekali.”

Segera Cee Hoan-kong memilih di antara kaum keluarga perempuannya yang berparas cantik, lalu dia
serahkan kepada Pangeran Tiong Ji, serta dia hadiahkan kuda dua puluh pasang.

Tiong Ji menghaturkan terima kasih untuk kebaikan Raja Cee ini. Sejak saat itu, jika Tiong Ji berpergian
keluar, semua pengikutnya naik kuda. Kebaikan Raja Cee Hoan-kong kepada Pangeran Tiong Ji luar biasa,
dia selalu mengirim makanan dan kebutuhannnya setiap saat.
Mengetahui Raja Cee Hoan-kong begitu baik budi, Tiong Ji jadi sangat terharu dan girang, dengan
menghela napas dia berkata, ”Dulu aku cuma mendengar saja tentang kebaikannnya. Sekarang aku
membuktikan sendiri.”

Pada tahun Ciu Siang-ong ke-8, saat itu Raja Cee Hoan-kong sudah bertahta yang ke-42-nya. Setelah
Koan Tiong dan Sek Peng meninggal dunia, Raja Cee Hoan-kong menyerahkan urusan pemerintahan
kepada Pauw Siok Gee. Tetapi Raja Cee selalu ingat pada pesanan Koan Tiong almarhum. Sejak dia
mengangkat Pauw Siok Gee menjadi Perdana Menteri, dia usir Si Tiauw, Ek Ge dan Kong-cu Kay Hong.
Akan tetapi sejak saat itu, ketiga orang Raja Cee selalu bimbang dan berduka. Segalanya seolah jadi
serba salah dan dia jarang tertawa atau gembira.

Tiang-we-ke, salah satu di antara permaisuri Raja Cee Hoan-kong, karena melihat sikap suaminya begitu,
lalu menyarankan agar Raja Cee memanggil kembali ketiga orang itu.

Diberi saran oleh isterinya, Raja Cee Hoan-kong senang. Karena dia selalu memikirkan ketiga orang yang
dia sayang itu. Lalu mereka diberi pekerjaan kembali seperti dulu.

Setelah Pauw Siok Gee mengetahui hal ini, segera dia temui Raja Cee Hoan-kong. Dia coba mencegah
agar ketiga orang itu jangan dipakai lagi. Tetapi Raja Cee tidak menghiraukannya.

Dengan kesal dan penasaran Pauw Siok Gee pulang. Karena kesal Pauw Siok Gee sakit, tidak berapa lama
meninggal dunia.

Sejak Pauw Siok Gee meninggal dunia, Si Tiauw, Ek Gee dan Kong-cu Kay Hong jadi berpengaruh sangat
besar, sekarang tidak seorang pun yang mereka takutkan lagi. Waktu itu Raja Cee Hoan-kong sudah tua
dan mulai malas mengurus pemerintahan, sehingga ketiga dorna itu bisa mengatur semua urusan di
dalam dan luar negeri sesuka mereka. Siapa yang mau menurut kemauan mereka, maka hidupnya akan
sejahtera. Jika bukan berpangkat tinggi pasti dia menjadi seorang hartawan.Orang yang menentang
kalau tidak dihukum mati, dia diusir atau dipenjarakan.

Raja Cee Hoan-kong mempunya tiga orang nyonya, yaitu yang disebut Ong-ki, Ci-ki dan Coa-ki, tetapi
semuanya tidak punya anak. Sedang Ong-ki dan Ci-ki sudah meninggal dunia.

Sekarang tinggal Coa-ki, tetapi karena kurangajar dia dikembalikan ke negeri Coa. Di samping itu Raja
Cee punya enam orang selir yang sangat disayang. Mereka diperlakukan tak beda dengan permaisuri
saja.

Dari keenam selirnya itu masing-masing melahirkan seorang putra. Pertama Tiang-we-ki melahirkan
Pangeran Bu Kui, yang ke dua, Siauw-we-ki melahirkan Pangeran Goan, yang ke tiga, The-ki melahirkan
Pangeran Ciauw, yang ke empat, Kat-eng melahirkan Pangeran Poan, yang ke lima, Bit-ki melahirkan
Pangeran Siang Jin, dan yang ke enam, Song-hoa-cu melahirkan Pangeran Yong.

Di antara ke-enam selirnya, hanya Tiang-we-ki yang paling lama mengurus Raja Cee Hoan-kong. Di
antara ke-enam pangeran, juga cuma Bu Kui yang usianya paling tua.
Pembesar paling disayang oleh Raja Cee Hoan-kong, yaitu Si Tiauw dan Ek Ge, semuanya baik pada
Tiang-we-ki.

Karena Raja Cee Hoan-kong selalu mendengarkan kedua dorna ini, maka dia menyatakan setuju hendak
mengangkat Pangeran Bu Kui menjadi ahli warisnya. Tetapi kemudian karena merasa sayang oleh
kepandaian Pangeran Ciauw, ditambah lagi Raja Cee pun sudah pernah minta saran dari Koan Tiong
almarhum. Bahkan Koan Tiong setuju Pangeran Ciauw yang akan menjadi ahli warisnya. Hal itu pun
sudah disampaikan pada Raja Xong Siang-kong, kakek Pangeran Ciauw.

Pangeran Kay Hong sangat baik pada Kong-cu Poan, maka dia hendak berikhtiar supaya Poan yang
menjadi pengganti Raja Cee. Sedangkan Pangeran Siang Jin senang mempelajari ilmu perang dan
menarik perhatian rakyat, karena sikapnya yang ramah. Sedang ibunya disayang oleh Raja Cee. Maka
tidak heran dia juga ingin menggantikan ayahnya. Hanya Pangeran Yong yang pasrah dan tidak terlalu
berharap, dia sadar ibunya hanya seorang anak menteri negeri Song, sebaliknya ibu lima saudaranya
semua anak raja.

Ketika ibu mereka mengajukan usul pada Raja Cee agar putra mereka menjadi ahli waris kerajaan, Raja
Cee yang tidak mau pusing mengiakan semua permintaan keenam selirnya itu.

Ketika Cee Hoan-kong jatuh sakit dan sakitnya parah, Si Tiauw dan Ek Ge segera mengatur siasat.
Mereka memasang papan larangan, siapapun dilarang masuk menemui Raja Cee yang sedang sakit.

Hanya Pangeran Bu Kui dan ibunya, Tiang-we-ki yang boleh ada di istana. Siapa pun dilarang menemui
Raja Cee. Ketika penyakit Raja Cee semakin parah dan sudah tidak ada harapan akan sembuh, maka Si
Tiauw dan Ek Ge menganggap sudah tiba saatnya yang baik. Segera Si Tiauw dan Ek Ge mengusuir
semua pelayan istana, dan pintu istana ditutup rapat. Bahkan Ek Ge dan Si Tiauw memerintahkan
membuat tembok, agar orang tidak bisa masuk. Di tembok itu dibuat sebuah lubang untuk anak kecil
masuk ke dalam melihat keadaan Raja Cee, yang lainnya tak boleh masuk.

Penjagaan di sekitar istana pun diperketat. Juga mereka mengerahkan pasukan untuk memantau, siapa
tahu ada pangeran yang menggerakan pasukannnya untuk membuat ulah. Mereka akan dihajar habis-
habisan.

Selang tiga hari, penyakit Hoan-kong semakin berat, hingga tidak ada harapan bisa hidup lama lagi. Dua
dorna itu merasa sudah hampir sampai waktu yang baik, mereka lalu usir semua budak lelaki atau
perempuan yang jaga Hoan-kong dan tutup rapat pintu keraton. Sedang kamar tidur Hoan-kong dan
sekitarnya didirikan tembok kira-kira tiga tumbak tinginya, memutus perhubungan di dalam dan di luar.
Cuma di bawah tembok ada dibikin satu lubang anjing, perlunya setiap pagi dan sore dorna itu
memerintah budak kecil menerobos ke dalam untuk memeriksa apa Hoan-kong sudah mati atau belum.
Juga dorna mengatur balatentara keraton, menjaga apabila Kong-cu menggerakkan pemberontakan.
Demikian keadaan di istana Raja Cee yang semula menjadi Raja Jagoan, sekarang nasibnya demikian
buruknya.

***
Sesudah demikian lama Raja Cee Hoan-kong rebah saja di atas pembaringannya, pada suatu hari karena
perutnya merasa lapar dia hendak bangun, tetapi tidak kuat, lalu ia berteriak memanggil pelayan, tetapi
tidak ada yang datang. Saat Raja Cee membuka matanya dia jadi keheranan, tiba-tiba dia mendengar
ada orang yang jatuh dari atas, ketika dia perhatikan, orang itu adalah An Ngo Ji, perempuan yang
kurang disukainya.

”Aku lapar, aku ingin makan bubur, coba kau pergi ambilkan,” kata Raja Cee Hoan-kong pada gundiknya
itu.

”Tuanku tidak akan memperoleh bubur,” sahut Ngo Ji.

”Kalau tidak ada bubur, ambilkan saja aku air hangat.”

”Air hangat juga tidak ada.”

”Eh, mengapa begitu?” tanya Raja Cee Hoan-kong dengan heran.

”Ek Ge dan Si Tiauw telah membuat huru-hara, mereka telah menjaga keras pintu keraton, dan
mendirikan tembok yang tingginya tiga tombak untuk memutuskan bagian dalam dan luar istana. Maka
dari manakah kita bisa mendapatkan makanan?”

”Tetapi mengapa kau bisa datang ke sini?” tanya Raja Cee dengan lebih heran.

”Aku tahu Cu-kong tidak begitu cinta kepadaku,” kata gundik yang baik hati itu dengan melelehkan air
matanya, ”Meskipun cuma sekali saja Cu-kong membuat aku beruntung, tetapi aku tidak bisa
melupakan Cu-kong. Maka dengan tidak menghiraukan bahaya dan keselamatan jiwaku, aku telah naik
ke tembok dan datang ke sini, karena aku ingin menunggui Cu-kong hingga sampai ajal.”

”Pangeran Ciauw ada di mana?”

”Karena penjagaan oleh dua dorna itu sangat ketat, dia tidak bisa masuk istana!” kata gundiknya.

Raja Cee Hoan-kong menghela napas dan berkata, ”Ya Allah, ternyata omongan Tiong-hu benar-benar
omongan seorang Nabi. Apa yang dikatakan, tidak meleset sedikit pun! Lantaran aku bodoh, patut hari
ini aku harus menerima nasib seperti ini.”

Sesudah itu dari mata Raja Cee mengucur air matanya deras sekali, dan sesaat kemudian dia berteriak
pula.

”Oh Allah! Apakah memang ini sudah takdir Siauw Pek hari ini harus menemui ajalnya!” kata Raja Cee
yang dulu bernama Siauw Pek ini.

Sesudah beberapa kali berteriak, akhirnya dia muntah darah.

Gundik yang baik hati itu lalu memeluk Raja Cee Hoan-kong dan mengusap-ngusap punggung Raja Cee,
sedang air matanya berlinang-linang, karena dia merasa terharu sekali atas nasib raja jago ini.
”Aku ada punya enam Ji-hu-jin (nyonya kedua) yang aku cintai dan enam Kong-cu (Pangeran) yang aku
paling sayang,” kata Raja Cee sambil menangis. ”Tetapi sekarang tidak seorang pun yang ada di depan
mataku, melainkan kau . . .ya kau seorang saja yang mengantar kematianku! Ya, nona, sesungguhnya
aku merasa menyesal sekali, dulu aku tidak memperhatikanmu!”

”Sudah! Harap Cu-kong jaga baik-baik dirimu,” ratap An Ngo Ji. ”Seandainya sampai tidak beruntung,
aku pun ikhlas untuk ikut mati bersama-sama denganmu.”

Raja Cee Hoan-kong menggelengkan kepala, kemudian dia tutup mukanya dengan tangan bajunya,
sesudah itu dia menghela napas beberapa kali, akhirnya meninggal. Ketika meninggal usia Raja Cee
sudah 73 tahun.

Melihat junjungannya sudah meninggal, An Ngo Ji menangis sedih sekali. Dia hendak berteriak
memanggil orang, tetapi dia ingat, tembok begitu tinggi dan kuat, teriakannya tidak akan terdengar.
Ketika dia ingin memanjat akan keluar, tidak ada tangga maupun alat untuk dipakai memanjat. Tiba-tiba
dia ingat ucapannya tadi, bahwa dia ingin mati bersama junjungannya. Sesudah menutupi tubuh Raja
Cee dengan bajunya, dia menghampiri tiang, lalu membenturkan kepalanya hingga binasa.

Malam harinya….

Budak kecil yang ditugaskan masuk lewat lubang untuk melihat keadaan Raja Cee, kaget saat
mengetahui Raja Cee telah meninggal dan otaknya sudah berhamburan. Buru-buru dia menerobos dan
melapor pada Ek Ge dan Si Tiauw tentang kejadian itu. Mendengar kabar itu mereka yakin saja, lalu
menyuruh orang-orangnnya membobol tembok. Kedua dorna pun masuk untuk melihat sendiri. Mereka
kaget karena di sana ada dua mayat yang kepalanya hancur, sedang Raja Cee tetap menggeletak di atas
pembaringan meninggal dunia.

Dua dorna itu keheranan, tetapi budak istana ada yang mengenali mayat perempuan itu. Dia
memberitahu dua dorna yang mengangguk dan terheran-heran. Sesudah melakukan pemeriksaan,
kedua dorna jadi sangat girang, lalu mereka berunding mengenai pengangkatan raja pengganti.

Mereka kemudian mengambil putusan sebelum mengurus jenazah Cee Hoan-kong, lebih dulu mereka
akan membinasakan Kong-cu Ciauw, supaya Pangeran Bu Kui dengan mudah bisa naik tahta. Mereka
segera memimpin pasukan pergi menyerang Tang-kiong (Istana Tengah) kediaman Pangeran Ciauw.

Untung di antara budak istana ada yang merasa kasihan pada Kong-cu itu, sebelum Ek Ge alias Yong Bu
dan Si Tiauw mengerahkan tentaranya, budak itu buru-buru memberi tahu kabar jelek itu kepada
Pangeran Ciauw.

Pangeran Ciauw kaget mendapat kabar itu, malam itu juga dia pergi ke rumah Kho Houw untuk minta
nasihat bagaimana sebaiknya dia bertindak. Perdana Mentri itu memberi saran.

”Lebih baik Cu-kong menyingkirkan diri ke negeri Song, sebab dulu Raja Cee Hoan-kong sudah pernah
berpesan pada Raja Song Siang-kong untuk membantu Tuanku, jika ada bahaya.” kata KHo Kho Houw.
Dengan menyamar Pangeran Ciauw pergi lewat pintu kota Timur, di situ, Cui Yauw yang menjaga, famili
dari KHo Houw. Maka dengan mudah Pangeran Ciauw bisa keluar, malah Cui Yauw juga ikut dengan
Pangeran Ciauw melarikan diri ke negeri Song.

Ketika Yong Bu dan Si Tiauw datang, mereka langsung mengepung gedung Pangeran Ciauw, tetapi
gedung itu sudah kosong. Mereka mencarinya dan tidak ada hasilnya.

Menjelang fajar, dua dorna yang sudah putus harapan itu, kembali bersama pasukannya. Sebelum
sampai di istana, mereka melihat pintu istana sudah terbuka dan di sana banyak menteri yang sudah
berkumpul. Mereka mendengar dua dorna mengerahkan pasukan, maka menteri-menteri itu mengira
ada kekacauan di istana, itu sebabnya mereka datang.

Di istana mereka akhirnya tahu bahwa Raja Cee Hoan-kong telah meninggal dunia. Tidak heran mereka
jadi tidak puas, apalagi mendengar Istana Tengah dikepung. Hingga mereka segera menduga kedua
dorna itu telah membuat huru-hara.

”Cu-kong sebenarnya mengangkat Pangeran Ciauw menjadi penggantinya. Sekarang Pangeran Ciauw
tidak ada, bagaimana ini?” kata seorang menteri.

Mereka jadi kebingungan bukan main. Saat mereka kebingungan datanglah dua dorna bersama
pasukannya. Begitu dua dorna itu sampai, mereka bertanya.

”Mana Pangeran Ciauw?” kata mereka.

”Kami tidak tahu, sedang yang pantas menjadi pengganti Cu-kong adalah Bu Kui,” begitu mereka
menjawab. ”Tidak, yang pantas adalah Pangeran Ciauw!” kata para menteri.

Akhirnya mereka bertengkar dan terjadilah perkelahian hebat. Sayang para menteri tidak membawa
senjata, dalam pertempuran yang kacau banyak menteri yang setia kepada Pangeran Ciauw binasa.
Terpaksa mereka kabur dari istana. Dua dorna segera mengajak Bu Kui ke istana dan langsung dia
diangkat menjadi raja. Saat pengangkatan tidak ada menteri yang hadir, hanya Yong Bu dan Si Tiauw saja
yang ada di situ. Pangeran Bu Kui jadi kurang senang dan malu, karena itu berarti dia tidak disetujui
menjadi raja.

Tahu bahwa Bu Kui tak mendapat dukungan dari para menteri negeri Cee yang lain, Si Tiauw dan Yong
Bu menyarankan agar Bu Kui mengundang Kok I Tiong dan Kho Houw, dua menteri senior untuk mohon
dukungan. Bu Kui menurut saja, lalu memerintahkan seorang budak istana memanggil kedua menteri
itu.

Mendapat panggilan itu, dua menteri itu segera mengetahui, bahwa Raja Cee sudah meninggal. Mereka
segera mengenakan pakaian berkabung dan langsung ke istana. Yong Bu dan Si Tiauw buru-buru keluar
menyambut kedatangan menteri senior itu.

”Sekarang Pangeran Bu Kui sudah menjadi Raja Cee, kami minta Tuan-tuan menetapkan
kedudukannya.” kata Si Tiauw.
Kok I Tiong dan Kho Houw jadi mendongkol, mereka menyahut.

”Jika jenazah Cu-kong belum dikuburkan dan sudah mengangkat raja baru, maka kami tidak setuju!”
kata dua menteri senior itu. Sambil menangis kedua menteri senior itu langsung meninggalkan istana.

Bu Kui kebingungan sekali.

”Karena urusan penguburan Ayahanda belum dilaksanakan, semua menteri tak mendukung padaku,
sekarang bagaimana?” kata Bu Kui.

”Masalah hari ini mirip dengan orang yang sedang menangkap harimau, siapa yang kuat dialah yang
akan menang,” kata Si Tiauw. ”Tuan tenang saja, semua ini akan kami bereskan.”

Bu Kui yang memang ingin menjadi raja jadi tidak menghiraukan pengurusan jenazah ayahnya. Dia
menuruti saja keinginan dua menteri jahat itu. Si Tiauw dan Ek Gee lalu mengatur pasukan dan menjaga
istana dengan ketat.

Pangeran Kay Hong berpihak dan membela anak Kat-eng yaitu Pangeram Poan. Kay Hong
mengumpulkan tentara dan mendirikan benteng di sebelah kanan istana. Sedang Pangeran Siang Jin
berserikat dengan Pangeran Goan. Mereka membangun kubu di sebelah kiri istana. Pangeran Yong tidak
mau terlibat perselisihan, dia pergi ke negeri Cin dan minta perlindungan pada Cin Bok-kong. Yong Bu
alias Ek Gee dan Si Tiauw yang merasa jerih pada tiga pangeran itu, mereka hanya berjaga-jaga saja di
pintu istana tidak berani keluar untuk bertempur. Tiga pangeran pun tidak berani maju dulu. Keadaan
seperti itu berlangsung berbulan-bulan, tidak pasti. Kho Houw dan Kok I Tiong akhirnya mengambil
putusan, apa boleh buat mengangkat Pangeran Bu Kui menjadi raja, asalkan jenazah Raja Cee Hoan-
kong diurus.

Mereka berdua datang ke istana, tetapi kedatangannya dihadang oleh Si Tiauw dan Ek Gee. Sesudah
dijelaskan maksud kedatangan dua menteri senior itu, baru Ek Gee dan Si Tiauw girang. Dua menteri ini
menemui Bu Kui, si raja Cee yang baru. Mereka menasihati Bu Kui agar mengurus jenazah ayahnya
dengan baik.

Bu Kui setuju, upacara segera diadakan. Semua menteri jadi terharu sekali. Bu Kui juga jadi menangis,
dia turun dari kursi kebesaran memberi hormat. Jenazah Raja Cee almarhum ada di atas
pembaringannya, tetapi selama itu tak ada yang mengurus, tubuhnya sudah mulai rusak dan bau dan
penuh belatung. Semua menteri merasa ngeri dan jijik. Mereka jadi sedih dan menangis. Peti mati
segera disediakan, mayat segera dibungkus dan dimasukkan ke dalam peti mati. Mereka juga
menemukan mayat An Ngo Ji, selir Raja Cee yang setia, banyak menteri yang memuji kesetiaannya itu.

Pangeran Poan, Pangeran Goan dan Pangeran Siang Jin ketika melihat menteri Kho dan Kok mengajak
semua menteri melaksanakan upacara berkabung, mereka jadi curiga. Tetapi tidak mengetahui ada
masalah apa. Kemudian setelah mereka mendengar kabar jenazah Raja Cee Hoan-kong sudah diurus,
semua menteri telah mengangkat Bu Kui menjadi Raja Cee, maka musnahlah harapan mereka. Mereka
segera berunding. ”Jika Menteri Kho dan Kok yang memimpin upacara, kita tidak bisa berebut lagi!” kata
salah seorang pangeran itu.
Segera mereka membongkar kubu-kubu mereka, mereka berdatangan ke istana untuk menyatakan
berduka-cita.

Dikisahkan Pangeran Ciauw yang lari ke negeri Song. Setelah itu putra mahkota dari negri Cee sampai di
negeri Song, dia menemui Raja Song Siang-kong, di hadapan raja itu dia berlutut dan menangis, dia
ceritakan bagaimana Yong Bu dan Si Tiauw telah membuat huru-hara. Raja Song membujuk dan
bersedia membantu. Kemudian Raja Song mengumpulkan menterinya diajak berunding.

”Dulu Raja Cee Hoan-kong menitipkan Pangeran Ciauw kepadaku agar dibantu supaya
menggantikannya,” kata Raja Song. ”Sekarang Ek Gee dan Si Tiauw mengacau di negeri Cee. Aku berniat
mengumpulkan Raja-muda untuk menghukum mereka berdua. Lalu membawa Ciauw ke Cee untuk
menjadi raja. Aku sendiri akan menduduki posisi Raja Cee almarhum mengepalai semua Raja-muda.
Bagaimana menurut kalian?”

”Aku rasa negeri Song tidak bisa menjadi jago, sebab ada beberapa hal yang tidak sama dengan Raja
Cee,” kata salah satu menterinya.

Raja Song Siang-kong melirik dan mengawasi pada menteri itu, orang itu adalah putra sulung Raja Song
Hoan-kong bernama Pangeran Bak I. Ketika Song Hoan-kong wafat Pangeran Bak I mengalah tidak mau
menjadi raja, maka Song Siang-kong yang menjadi raja, dan mengangkat dia menjadi menteri.

”Apa maksudmu?” tanya Raja Song Siang-kong.

”Negeri Cee kuat bagaikan gunung Tay, luas bagai laut Put-hay. Mereka punya tanah Long-ya dan Cek-
bek yang subur. Mereka juga punya menteri senior Kok dan Kho. Dulu mereka punya Koan Tiong, Leng
Cek, Sek Peng dan Pauw Siok Gee yang telah membangun negaranya. Sedang negeri Song kecil dan
tanahnya kurang bagus. Tentara dan ransumnya sedikit, menteri militer dan sipilnya juga sedikit. Itu
alasanku.” kata Bak I.

”Maksudku aku ingin menegakkan kebijaksanaan,” kata Raja Song dengan kurang senang.

”Maka jika aku tidak membantu Ciauw, maka aku jadi kurang bijaksana.”

Segera Raja Song Siang-kong mengeluarkan surat selebaran, mengajak para Raja-muda di lain tahun
pergi mengantarkan Pangeran Ciauw ke negeri Cee. Waktu berjalan dengan cepat sekali, selang tidak
berapa lama sudah sampai saat mereka bergabung.

Song Siang-kong segera menggabungkan pasukan perangnya pada pasukan perang negeri We, Co dan
Cu, mengiringkan Kong-cu Ciauw pergi menyerang ke negeri Cee.

Waktu itu Yong Bu alias Ek Gee sudah naik pangkat menjadi Su-ma dan memegang kekuasaan dalam
masalah ketentaraan. Pangeran Bu Kui begitu mendapat kabar angkatan perang Song hendak datang
menyerang, segera dia perintahkan Yong Bu memimpin tentara untuk menangkis serangan dari Raja
Song itu. Si Tiauw tetap tinggal di dalam kota untuk mengurus segala keperluan, sedang Kho dan Kok,
dua menteri besar itu diperintahkan untuk menjaga kota.
Sebenarnya Menteri Kho Houw dan Menteri Kok I Tiong sangat benci kepada Ek Gee alias Tong Bu dan Si
Tiauw ini. Mereka ingin sekali mengangkat Pangeran Ciauw menjadi raja. Diam-diam mereka
mengadakan perserikatan rahasia.

Ketika Ek Gee sedang mengatur tentaranya untuk menangkis serangan musuh, Kho Houw cs di dalam
kota mengadakan pemberontakan. Pertama-tama Si Tiauw dibujuk kemudian dibunuh. Sesudah itu
Pangeran Bu Kui pun dibinasakan juga. Baru sesudah itu mereka keluar kota untuk mengepung dan
membunuh Ek Gee.

Tetapi sayang Ek Gee mengetahui rencana ini, dia ajak beberapa orangnya yang paling dipercaya,
melarikan diri ke negeri Louw. Kho Houw dan pembesar lain pergi menyambut Pangeran Ciauw.
Kemudian berserikat dengan negeri Song, We, Co dan Cu, empat negara.

Sesudah keadaan aman ke empat negara itu segera mengundurkan tentaranya, sedang Menteri Kho
Houw lalu mengiringkan Pangeran Ciauw masuk ke dalam kota. Tetapi tidak diduga pintu kota telah
ditutup rapat dan tidak mau dibuka. Pangeran Siang Jin, Pangeran Goan dan Pangeran Poan, tidak
bersedia menerima Pangeran Ciauw diangkat menjadi raja, malah mereka hendak mengadakan
pembalasan kematian Pangeran Bu Kui.

Karena Kho Houw merasa tidak mampu menyerang kota, maka dia ajak Pangeran Ciauw kembali ke
negeri Song.

Ketika itu Raja Song Siang-kong baru mundur dan tentaranya sudah dekat negerinya. Melihat Pangeran
Ciauw dengan tergopoh-gopoh datang menyusul, dia jadi terkejut.

”Ada apa kau menyusulku?” kata Raja Song.

Kho Hoauw menceritakan apa yang terjadi.

”Ini salahku karena aku menarik tentaraku terlalu cepat,” kata Raja Song. ”Sudah jangan cemas selama
masih ada aku!”

Kemudian Raja Song memerintahkan panglima Kong-cu Tong menjadi Sian-hong, Hoa Gi Su jadi
pengiring di belakang, sedang Raja Song sendiri memimpin pasukan tengah, kembali ke negeri Cee
bersama Pangeran Ciauw.

Di depan pasukan itu ada Houw maju, ketika mereka sampai di negeri Cee, panglima Cee yang menjaga
perbatasan menyambutnya. Dengan demikian pasukan Song bisa maju sampai ke kota Lan-cu.

Begitu sampai Raja Song memaklumkan perang. Dalam suatu perang besar, Pangeran Goan dikalahkan,
dia kabur ke negeri We, sedang Pangeran Pan dan Siang Jin yang kalah perang, masuk ke dalam kota.
Tetapi tentara Song berhasil masuk ke dalam kota, karena tidak mampu dibendung.

Semua pembesar negeri Cee menyilahkan Pangeran Ciauw masuk istana. Kemudian dia diangkat
menjadi Raja Cee dengan gelar Cee Hauw-kong. Sesudah menjadi Raja Cee, Pangeran Ciauw membagi-
bagi hadiah pada menterinya yang setia.
Selama lima hari lamanya Raja Song Siang-kong tinggal di negeri Cee. Sesudah menganggap tidak ada
bahaya lagi, dia kembali ke negerinya. Pangeran Poan dan Siang Jin mengaku yang bersalah adalah
Pangeran Goan. Tetapi Kho Houw dan Kok I Tiong tahu dua pangeran ini pun ikut bersalah. Dua menteri
senior ini ingin mengakhiri perselisihan di antara mereka, maka kesalahan ditimpakan pada Ek Gee dan
Si Tiauw saja. Maka sanak keluarga Ek Gee dan Si Tiauw akhirnya dihukum mati semuanya.

Pada musim Ciu bulan delapan jenazah Raja Cee baru dikubur di atas gunung Gu-siu-kong, dan di
sampingnya dikuburkan jenazah An Ngo Ji.

Dikisahkan, sesudah Raja Song mengangkat Pangeran Ciauw menjadi Raja Cee, dia merasa bangga dan
menganggap sudah pantas menjadi jago di antara para Raja-muda seperti Raja Cee dulu. Maka itu, ia
berniat mengangkat dirinya menjadi Beng-cu (Pemimpin) di antara Raja-muda. Tetapi karena masih
khawatir raja-raja yang negerinya besar dan kuat tidak setuju, maka dia segera mengadakan
perserikatan dengan raja-raja dari negeri Teng, Kwee, Co, Chu.

Raja negeri Teng, bernama Teng Eng Cee, datang ke pertemuan paling terlambat dari semua raja muda.
Raja Song marah, lalu menahan Raja Teng ini di sebuah rumah. Karena takut Raja Kwee yang negerinya
lebih kecil dari negeri Song, dia juga datang terlambat dua hari.

Raja Song Siang-kong menganggap Raja Kwe berani menentang padanya.

”Negeri Kwee yang kecil saja berani menantangku, jika tidak dihukum bagaimana aku bisa berwibawa?”
kata Raja Song.

”Ketika Raja Cee menjadi jago, beliau telah mengalahkan bangsa Tong-i di sebelah Utara. Jika Tuanku
ingin mengalahkan mereka, kita perlu menggunakan Raja Kwee.” kata Kong-sun Tong.

”Bagaimana caranya aku memakai dia?” kata Raja Song.

”Bangsa Tong-i sangat menghormati malaikat di sungai Ci-sui, sehingga mereka mendirikan rumah
pemujaan di sana. Mereka menyembahyanginya setiap musim. Jika Tuanku membunuh Raja Kwee dan
gunakan kepalanya untuk bersembahyang, pasti bangsa Tong-i akan ketakutan, sebab mereka pikir
dengan gampang Tuanku membunuh Raja Kwee. Aku yakin bangsa Tong-i akan tunduk kepada Tuanku.
Dengan demikian Tuanku bisa minta bantuan pada mereka untuk menaklukkan semua raja muda yang
membangkang pada Tuanku.”

”Oh jangan, kita tidak boleh berbuat begitu,” kata Pangeran Bak I coba mencegah. ”Jika Tuanku juga ikut
sembahyang pada siluman sungai Ci-sui, berarti Tuanku ikut tradisi bangsa Tong-i. Jadi bagaimana
mereka akan takut kepada Tuanku? Sedangkan Raja Cee Hoan-kong memimpin perserikatan empat
puluh tahun lamanya, dan selama itu beliau melakukan kebijaksanaan, sehingga semua raja-muda takluk
dan hormat kepadanya. Sebaliknya Tuanku, baru mau menghimpun raja-muda, sudah berlaku kejam
main bunuh, bukan mereka takut malah berbalik mereka akan menyerang kita!”

”Pendapat Anda salah,” kata Pangeran Tong. ”Sekarang Cu-kong akan menjagoi dan caranya tentu saja
berbeda dengan Raja Cee Hoan-kong. Raja Cee baru termasyur sesudah membangunnya selama 20
tahun lebih, baru menjadi jago. Apa kita juga harus menunggu selama itu? Dengan berbuat bijaksana,
hasilnya lambat, sebaliknya jika mau cepat harus dengan kekerasan. Hal ini harus dipikirkan baik-baik.
Jika kita bunuh Raja Kwee dan mana mungkin bangsa Tong-i tidak takluk karena takut. Zaman dulu Bu
Ong membunuh Kaisar Tiu Ong, kepalanya dia pancang di ujung tiang bendera. Akhirnya Bu Ong
berkuasa. Lalu apa manfaatnya membiarkan Raja Kwee yang membangkang itu?”

Raja Song Siang-kong yang memang ingin segera menjadi raja jagoan, dia menyetujui saran Pangeran
Tong. Maka segera dikeluarkan perintah agar Cu Bun-kong menangkap Raja Kwee, dan segera dibunuh,
dagingnnya dimasak dipakai menyembahyangi siluman sungai Ci-sui.

Karena bangsa Tong-i tidak pernah berhubungan, maka mereka tidak ada yang datang melihat
sembahyang besar itu. Mendengar kejadian itu Raja Teng terkejut bukan main, segera dia minta pada
orangnnya agar menyuap Raja Song, sehingga dia dibebaskan. Raja Co Kiang-kong kurang senang pada
tindakan Raja Song Siang-kong yang kejam itu. Diam-diam dia kembali ke negerinya.

Raja Song Siang-kong menjadi murka, dia anggap Raja Co kurang ajar. Maka Raja Song memerintahkan
menyerang negeri Co tersebut.

Pangeran Bak I coba mencegah niat ini.

”Dulu Raja Cee Hoan-kong tidak pernah bertindak kejam pada raja-raja muda. Harap Tuanku jangan
menyerang negeri Co!” kata Pangeran Bak I.

Tetapi Raja Song Siang-kong tidak menuruti nasihat itu, dia perintahkan Pangeran Tong memimpin
angkatan perang menyerang ke negeri Co. Berangkatlah tentara Song ke negeri Co. Kedatangan mereka
disambut oleh tentara Co, hingga terjadi pertempuran yang sengit. Tiga bulan lamanya tentara Song
telah mengepung kota negeri Co, tetapi orang Co bisa bertahan dengan sempurna. Sulit bagi Song untuk
merebut negeri Co.

Ketika itu Raja The yang kurang puas pada Raja Song mengajak Raja Louw, Cee, Tan dan Raja Coa, empat
negara, untuk mengadakan perserikatan dengan Raja Couw, mereka berjanji akan berkumpul di daerah
Cee.

Kabar ini membuat Raja Song Siang-kong jadi sangat gusar, karena dia juga khawatir Raja Cee atau Raja
Louw yang akan menjadi pemimpin perserikatan. Selain itu dia juga cemas, karena Pangeran Tong yang
menyerang Co belum berhasil merebut Co. Dengan demikian pamor negeri Song akan turun. Maka dia
minta agar Pangeran Tong mundur dari negeri Co.

Raja Co juga takut tentara Song datang kembali, mereka mengirim utusan minta berdamai dengan Song.
Dengan demikian mereka menjadi akur kembali. Semula Raja Song ingin menjadi jago. Sekarang malah
banyak Raja-muda yang bergabung dengan Raja Couw menentangnya. Hal ini membuat dia berduka
sekali.

”Sekarang ini tak ada negara yang sekuat negeri Cee dan Couw,” kata Pangeran Tong.
”Hanya negeri Cee, sekalipun rajanya turunan jago, negaranya baru bangkit, itu pun atas bantuan kita.
Jadi pengaruhnya belum besar, tetapi Raja Couw yang menggunakan gelar Kaisar sangat ditakuti. Kita
harus menggunakan pengaruh Couw, maka Tuanku harus menyuap dan merendah padanya. Mohon
pada Raja Couw agar Raja-muda yang berada di bawah pengaruhnya diserahkan kepada Tuanku.
Sesudah mereka menjadi bawahan Tuanku, maka diam-diam kita ajak semua Raja-muda itu
menghantam Raja Couw!”

”Itu tidak masuk akal, itu bukan cara yang benar!” kata Pangeran Bak I. ”Raja Couw sudah menalukkan
semua Raja-muda, mana mungkin dia begitu bodoh mau menyerahkannya kepada kita? Malah jika
usaha tipu itu dilasannakan, malah kita akan berselisih dengan Couw.”

Raja Song Siang-kong tidak sepakat dengan pendapat Bak I. Dia perintahkan Pangeran Tong membawa
bingkisan menemui Raja Couw. Kedatangan Pangeran Tong diterima baik oleh Raja Couw Seng-ong.
Malah keinginan Raja Song pun dikabulkan dan ditetapkan pada musim Cun tahun depan boleh
berhimpun di tanah Lok-siang (tanahnya Cee).

Pangeran Tong pulang dan mengabarkan hal itu pada Raja Song yang girang bukan main.

Karena pertemuan di tanah Raja Cee, maka Raja Song memberi kabar pada Raja Cee, Pangeran Tong
sambil membawa bingkisan menemui Raja Cee. Sesudah menerima bingkisan, Raja Cee setuju dengan
pertemuan itu.

Ketika sudah tiba musim Cun, Raja Song Siang-kong sudah tiba di Lok-siang, di sana dia mendirikan
panggung untuk tempat berkumpul dan menunggu kedatangan Raja Cee dan Raja Couw. Tidak lama
Raja Cee datang disusul oleh Raja Couw. Mereka menjalankan kehormatan sebagai mana layaknya para
raja.

Baru bertemu saja Raja Song yang bernafsu ingin menjadi jago, sudah mengatur tempat duduk. Dia
menempatkan Raja Couw di bawah pengaruhnya. Tentu saja hal ini membuat Raja Couw jadi kurang
senang.

Dalam pertemuan itu Raja Song minta dukungan Raja Cee dan Raja Couw. Jika disetujui maka pada
musim Ciu akan mengadakan pertemuan besar dengan para Raja-muda. Keinginan Raja Song ini
membuat Raja Couw kurang senang. Raja Couw menganggap dirinya dipandang rendah. Dia sangat kesal
dan geram sekali.

Ketika Raja Song menyerahkan rencana undangan utuk musim Ciu, Raja Couw Seng-ong menyambutnya
dan memeriksa surat itu, di sana ada dijelaskan mengenai maksud Raja Song hendak menggabung
seluruh Raja-muda seperti dulu Raja Cee melakukannya. Diminta agar semua raja datang dengan
pakaian biasa, tanpa membawa senjata. Surat itu ditandatangani oleh Raja Song.

Melihat surat itu Raja Couw jadi geli sendiri.

”Jika Anda sendiri bisa memanggil semua Raja-muda, mengapa harus memakai namaku juga?” kata Raja
Couw.
”Raja The dan Raja Khouw sudah lama berada di bawah perintah Tuanku,” sahut Siang-kong dengan
paras muka merah, karena dia mengerti dirinya dia disindir, ”sedang Raja Coa dan Raja Tan belum lama
ikut berserikat dengan Raja Cee, manakala tidak nama kalian tidak disertakan, aku khawatir Raja-raja
muda itu tidak mau mengindahkannya.”

”O, kalau begitu sebaiknya Cee-kun (Raja Cee) lebih dahulu yang membubuhkan tanda tangannya,
sesudah itu baru aku!” kata Couw Seng-ong sambil tertawa.

”Bagi Raja-raja muda yang bersahabat denganku pasti mereka akan datang, sebab mereka tahu Raja Cee
di bawah pengaruh Kerajaan Song,” kata Cee Hauw-kong perasaan kurang senang. ”Melainkan raja-raja
muda yang di bawah pengaruh Raja Couw yang belum tentu mau menurut, maka tidak boleh tidak harus
Raja Couw yang membubuhkan tanda tangan lebih dulu.”

Sekali lagi Raja Couw tertawa, dan segera dia membubuhkan tanda tangannya, kemudian ipit itu dia
serahkan kepada Raja Cee.

”Sudah ada Couw tidak perlu ada tanda tangan dari Raja Cee,” kata Cee Hauw-kong menolak
membubuhkan tanda tangannya. ”Aku cuma seorang rendah, negeriku tidak sampai hancur lebur pun
sudah merasa sangat bersyukur, masa aku berani sembarangan tanda tangan, hanya akan mengotori
surat yang mulia itu?”

Sudah berulang-ulang Raja Cee dipaksa, tetapi Raja Cee Hauw-kong tetap menolak.

Padahal Raja Song Siang-kong begitu baik, bahkan pernah membantu Raja Cee, sedikit pun tidak
menyangka Raja Cee akan berbuat begitu kepadanya. Maka dia ambil surat itu yang dia simpan dengan
rapih. Sesudah itu Raja Song pun pulang ke negaranya.

Tatkala Raja Couw Seng-ong sudah pulang, dia ceritakan kejadian itu pada Leng-i Chu Bun.

”Permintaan Raja Song sangat keterlaluan dan gila,” kata Chu Bun, ”mengapa Tuanku terima saja untuk
tanda tangan?”

”Lantaran kegilaannya itu, maka aku hendak mengambil keuntungan dari kegilaannya itu,” jawab Raja
Couw sambil tertawa. ”Aku sudah lama berniat menjadi pemimpin perserikatan raja-raja muda di
Tiongkok, tetapi niat itu belum terkabul. Sekarang Raja Song ingin menghimpun Raja-muda dengan
berpakaian biasa. Inilah kesempatan yang baik.”

”Betul,” kata menteri Seng Tek Sin. ”Raja Song menganggap dirinya hebat, tetapi tidak punya akal.
Dengan mudah bisa kita akali dia!”

”Ya, maksudku juga begitu!” sahut Raja Couw girang.

”Aku kurang sepakat,” kata Chu Bun. ”Mengapa Tuanku setuju tanda-tangan, kalau kita akan merampas
haknya. Apa ini tidak akan menjadi tertawaan orang?”
”Karena Raja Song menganggap dirinya bakal jadi pemimpin perserikatan, pasti dia bersikap angkuh
pada semua raja muda,” sahut Seng Tek Sin, ”hal ini pasti akan membuat semua raja-muda itu marah.
Lalu kita rebut posisi pemimpin perserikatan dari Raja Song. Ini untuk menunjukkan pada semua raja
bahwa kita mampu. Kemudian kita serahkan lagi pada Raja Song. Ini untuk menunjukkan bahwa kita
bijaksana. Manakala semua raja muda telah menyaksikan Raja Song tidak mempunyai kepandaian, jika
tidak bukan tunduk pada Couw, pada siapakah mereka akan tunduk? Maka menurut pendapatku, ini
adalah tipu-muslihat yang paling bagus!”

”Kau hebat, aku kagum padamu,” memuji Chu Bun merasa malu.

Raja Couw Seng-ong memerintahkan Seng Tek Sin dan Touw Put memilih seribu tentara yang gagah
berani, untuk bersedia merebut kekuasaan pemimpin perserikatan. Sesudah Raja Song pulang dia
merasa sangat girang, parasnya riang. Dia berkata pada Pangeran Bak I: ”Raja Couw sudah meluluskan
permintaanku akan menyerahkan semua raja muda di bawah kekuasaanku.”

”Orang Couw mirip bangsa Ban-ie, hatinya sulit diduga,” kata Pangeran Bak I. ”Jika Tuanku percaya saja
ucapannya, dan tidak curiga, hamba khawatir Tuanku akan dihina oleh mereka.”

”Ah, kau terlalu curiga,” kata Raja Song Siang-kong. ”Aku berpegang pada kejujuran dan kepercayaan
pada orang lain, mustahil orang begitu tega hendak menghina padaku?”

Kembali dia tidak memperhatikan nasihat Pangeran Bak I, dia mengeluarkan surat selebaran untuk
mengundang semua Raja-raja muda, dia perintahkan orangnya mendirikan panggung tempat tamu,
pembuatan panggung diatur rapi dan indah, serta lebih jauh dia suruh orangnya menyediakan rumput di
gudang, juga bahan makanan untuk para tamu.

Ketika musim Ciu telah tiba, saat Raja Song Siang-kong hendak berangkat, Pangeran Bak I memberi
saran.

”Couw sangat kuat, jangan percaya mereka memegang janji!” kata Pangeran Bak I. ”Bawa kereta perang
untuk menjaga keselamatan Tuanku.”

”Jangan, tidak boleh begitu!” cegah Raja Song Siang-kong. ”Aku sudah berjanji pada semua raja muda
untuk berhimpun dengan berpakaian biasa, jika aku melanggar dan membawa kereta perang, itu berarti
aku melanggar janjiku sendiri!”

”Kalau begitu, Tuanku naik kereta memakai pakaian biasa, untuk menunjukkan bahwa Tuanku
memegang janji. Sedang aku akan menyembunyikan angkatan perangku, aku akan siap-siaga kalau-kalau
dibutuhkan!” kata Pangeran Bak I.

”O! Jangan, jangan lakukan! Kau yang berpakaian perang dan membawa tentara, lalu itu tak bedanya
dengan aku sendiri yang membawanya!” kata Raja Song.

Bak I jadi tak berdaya, karena Raja Song tak setuju pada gagasannnya. Dia juga sangat menyayangkan
atas kebodohan junjungannya itu. Ketika saatnya telah tiba akan berangkat, karena takut Pangeran Bak I
membawa pasukannnya, Raja Song sengaja mengajak Bak I ikut bersamanya. Pangeran Bak I memang
mau ikut, sebab dia merasa tidak enak hati, jika dia tak mendampingi junjungannya itu.

Di tempat pertemuan semua raja sudah hadir, di antaranya Raja Couw, Tan, Coa, Khouw, Co, enam raja
negeri sudah hadir. Hanya Cee Hauw-kong karena sakit hati, dan Raja Louw Hi-kong tidak tunduk pada
Raja Couw, kedua raja itu tidak hadir. Raja Song Siang-kong memerintahkan orangnya menyambut para
raja muda itu dengan manis sekali. Raja Song pun mendapat laporan bahwa semua raja berpakaian
biasa.

”Aku pun yakin, Raja Couw tidak akan menghinaku…” kata Raja Song girang.

Dalam persidangan Raja Tan Bok-kong, Coa Cong-kong, The Bun-kong, Khouw Hi-kong dan Co Kiong-
kong, lima raja muda, sudah datang. Lama mereka menunggu, sampai sudah siang baru Raja Couw
datang. Mereka saling memberi hormat, tetapi pada umumnya mereka sangat menghargai Raja Couw
Seng-ong.

Tak lama upacara dilangsungkan, seperti minum arak bercampur darah, dan berbagai acara lain. Mereka
lalu mencatat nama mereka pada sebuah buku, sebagai ikrar bahwa mereka akan tunduk pada semua
aturan yang berlaku.

Sesudah upacara selesai Raja Song Siang-kong mengawasi Raja Couw Seng-ong untuk meminta agar Raja
Couw mengangkat dia jadi Pemimpin Perserikatan. Tetapi Couw diam saja, dia pura-pura lupa. Raja
muda yang lain pun jadi saling pandang saja. Raja Song Siang-kong tidak sabar lagi, dia berkata.

”Hari ini aku ingin melanjutkan tradisi Raja Cee yaitu mendukung Kerajaan Ciu, dan memakmurkan
negara, agar rakyat hidup bahagia. Terutama mengamankan keadaan. Bagaimana pendapat Tuan-tuan
sekalian?” kata Raja Song.

Tiba-tiba Raja Couw bangkit dari kursinya dengan marah sekali.

”Usul itu baik sekali, hanya aku tidak tahu siapa yang pantas jadi pemimpin kita semua?” kata Raja
Couw.

”Tuan-tuan sudah tahu, siapa yang berjasa besar, tidak perlu bertanya lagi!” kata Raja Song.

”Sudah lama aku memakai gelar Ong!” kata Couw Seng-ong. ”Sekalipun Raja Song bergelar Kong yang
mulia, tetapi mana bisa dibanding dengan gelar Ong! Ini sudah diakui oleh Kaisar Ciu!”

Sikap Raja Couw angkuh sekali. Melihat situasi kurang baik, Pangeran Bak I menarik tangan
junjungannya. Dia minta agar Raja Song bersabar.

Tetapi Raja Song Siang-kong yang yakin bisa jadi pemimpin, tidak menghiraukan nasihat Bak I. Seperti
kalap dia malah menantang. Dia tak sadar bahaya mengancam dirinya.

”Gelar Kong yang kusandang telah mendapat pengesahan dari Kaisar Ciu! Maka bagaimana gelar Ong
Anda bisa mengalahkan gelarku?” kata Raja Song.
”Jika kau anggap gelarku kosong, mengapa kau mengundangku kemari?” kata Raja Couw makin sengit.

”Kau datang ke sini, sesuai dengan perundingan kita di Lok-siang,” kata Raja Song.

”Sudah, jangan ribut, lebih baik begini saja!” kata Seng Tek Sin ikut bicara. ”Sekarang coba tanya pada
semua raja muda, apakah kedatangan mereka karena Raja Couw atau Raja Song?”

Raja Tan, Coa dan yang lain-lain memang takut pada pengaruh Raja Couw, setelah mendengar
pertanyaan itu, semua menyahut mereka datang karena taat pada Raja Couw. Raja Couw Seng-ong
tertawa terbahak-bahak.

”Sekarang Anda mau bilang apa lagi?” kata Raja Couw.

Saat itu Raja Song Siang-kong murka bukan main. Dia mau mengadu bicara, tetapi tidak ada yang
meladeninya. Dia mau memakai kekerasan, tetapi tidak ada tentara yang ikut bersamanya. Dia jadi
serba salah.

Saat Raja Song sedang kebingungan, justru dia melihat Seng Tek Sin dan Touw Put membuka baju
luarnya, sehingga kelihatan pakaian perangnya. Hal ini membuat Raja Song jadi sangat ketakutan. Kedua
panglima Couw itu segera memberi tanda, dan semua pengikutnya segera mengepung panggung.
Semua raja muda jadi sangat kaget dan ketakutan.

Seng Tek Sin menangkap Raja Song Siang-kong yang dia ikat kencang. Kemudian bersama Touw Put ia
ajak tentaranya merampas semua perabotan yang terbuat dari batu giok, kain sutera dan lain-lainnya
milik Raja Song. Orang-orang negeri Song yang mengurus tempat itu, mereka ketakutan lalu kabur.

Waktu itu Raja Song Siang-kong melihat Pangeran Bak I telah bergeser ke sampingnya, dan berbisik.

”Aku menyesal aku tidak mau mendengar nasihatmu, sehingga hari ini aku celaka. Lekas kau pulang
untuk menjaga negeri, dan jangan pikirankan tentang diriku.”

Pangeran Bak I berpikir memang tidak ada gunanya jika dia tetap di samping Raja Song. Maka dengan
menggunakan saat sedang kacau, dia kabur pulang ke negeri Song.

Raja Couw mengajak Seng Tek Sin, Touw Put dan Kui Lu Sin dan Touw Poan (anak Chu Bun) membawa
pasukan besar.

Sesudah Raja Song ditangkap, Raja Tan, Coa, The, Khouw dan Co, sangat ketakutan tidak ada yang berani
berbuat apa-apa. Raja Couw Seng-ong mengajak semua Raja-muda pergi ke gedung tamu, di sini dia
mengejek dan menyindir Raja Song Siang-kong.

”Aku akan menyerang kota Ci-yang, untuk menghancurkan Ibukota Song.” kata Raja Couw.

Sesudah pesta sampai sepuluh hari sepuluh malam lamanya, baru semua raja-raja diizinkan pulang ke
negrinya. Semua Raja-muda tidak ada yang berani membantah. Raja Song Siang-kong diam saja sambil
berdiri seperti patung. Dari matanya meleleh air mata, tanda dia sangat menyesal dan pilu hatinya.
Tidak lama angkatan perang negeri Couw yang berjumlah 500 kereta perang sudah siap. Raja Couw
membagi-bagikan hadiah pada tentaranya, mereka maju menyerang ke kota Ci-yang.

Dikisahkan Pangeran Bak I yang sudah lolos sudah sampai di negeri Song. Dia segera menghadap Kong-
sun Kouw, lalu menceritakan bahwa Raja Song Siang-kong telah ditawan oleh Raja Couw.

”Tidak lama lagi tentara Couw pasti akan datang menyerang ke negeri Song. Kita harus segera
menyiapkan tentara dan mengatur penjagaan,” kata Bak I.

”Karena di dalam negeri harus ada yang memimpin,” kata Kong-sun Kouw. ”sebaiknya untuk sementara
kau menggantikan Song Siang-kong, supaya negeri ada pemimpinnya.”

”Orang Couw menawan raja kita dan menyerang negeri kita, karena ada yang mereka inginkan. . . . ” Bak
I membisiki kuping Kong-sun Kouw menyampaikan apa yang dimaui Raja Couw.

”Pasti Raja kita akan dibebaskan,” kata Bak I akhirnya.

”Ya,” kata Kong-sun Kouw girang.

Sesudah itu Kong-sun Kouw berkata kepada semua menterinya.

”Raja kita belum tentu bisa pulang, karena itu kita harus mengangkat Pangeran Bak I untuk mengatur
negeri ini.” kata Kong-sun Kouw.

Karena semua menteri sudah mengetahui kepandaian Bak I, mereka girang mendengar kabar itu.
Pangeran Bak I lalu diangkat menjadi pengganti Raja Song. Dia segera mengatur tentaranya dengan
keras tetapi adil untuk menghadapi tentara Couw. Tidak lama, benar saja tentara Couw datang
menyerang. Mereka telah membangun perkemahan di luar kota.

”Raja kalian sudah kami tangkap, sekarang dia sudah dibawa ke sini! Sekarang kalian serahkan kota ini
dan takluk pada kami. Dengan demikian jiwa rajamu bisa tertolong!” kata panglima Couw.

Kong-sun Kouw segera menjawab dari atas loteng kota.

”Kami sudah mengangkat Raja yang baru! Maka itu Raja lama, jika hendak kalian bunuh atau tidak,
terserah kalian saja! Tetapi jika kami disuruh takluk, jangan harap!”

”Tetapi raja kalian masih hidup, jadi mana boleh kalian mengangkat raja lagi?”

”Raja kami harus ada di dalam negeri, karena dia tidak ada, maka kami mengangkat raja yang baru!”
kata Kong-sun Kouw.

”Seandainya kami kembalikan rajamu, bagaimana kau membalas budi kami?” tanya panglima Couw.

”Bila raja lama sudah tertangkap, berarti dia telah membuat malu negeri kami, sekalipun dia kembali,
dia tak bisa jadi raja lagi.” kata Kong-sun Kouw. ”Pulang atau tidak pulang baginya sama saja. Jika kalian
mau berperang pun, akan kami ladeni. Terserah apa maumu?”
Touw Put mendongkol, lalu pulang ke pesanggrahannya untuk memberitahu Raja Couw. Bukan main
marahnya Raja Couw Seng-ong, dia perintahkan agar tentaranya melabrak kota secara hebat.

Tetapi bagaimanapun hebatnya serangan tentara Couw, mereka tidak bisa mendekati tembok kota.
Bahkan tentara Couw rusak berat, karena terkena anak panah dan batu yang dilemparkan dari atas kota
oleh tentara Song.

Sudah tiga hari tiga malam lamanya tentara Couw menyerang, tetapi tetap sia-sia saja. Melihat keadaan
itu, Raja Couw Seng-ong berkata pada menteri-menterinya.

”Karena sekarang Raja Song Siang-kong tidak dihargai lagi oleh rakyatnya, apa kita bunuh saja?” kata
Raja Couw.

”Jangan, kita tidak boleh berbuat begitu,” Seng Tek Sin mencegah. ”Bukankah Tuanku menuduh Raja
Song berdosa karena dia membunuh Raja Kwee? Jika sekarang Tuanku membunuh Raja Song, itu sama
saja Tuanku meniru perbuatannya. Jika kita bunuh Raja Song, artinya kita hanya membunuh seorang, itu
tidak ada artinya. Bukan mendapat daerah Song, malah membuat orang jadi gusar. Menurut pendapat
hamba, lebih baik lepaskan saja dia.”

”Menyerang Song saja tidak berhasil, malah kita melepaskan rajanya. Apa itu tidak memalukan sekali?”
kata Raja Couw Seng-ong sangsi. ”Jika mau membebaskannya, kita harus mencari alasan yang tepat?”

”Soal itu sudah hamba pikirkan,” kata Seng Tek Sin. ”Negeri Cee sahabat kita, tidak perlu kita pikirkan
lagi. Sedang Louw sahabat Cee dan jika dia membantu Cee menjadi jago, maka Couw tidak akan mereka
hiraukan lagi. Sekarang kita kirim barang hasil rampasan dari negeri Song ke negeri Louw, hadiahkan
kepadanya. Jika mereka mau menerimanya, Song pasti ngeri dan mau berserikat dengan kita. Louw dan
Song bersahabat baik. Ingat Raja Louw sangat budiman, pasti dia akan meminta agar Raja Song kita
bebaskan. Lalu kita kabulkan permintaannya. Maka dengan demikian bukan saja kita bisa memiliki
daerah Louw, tetapi juga daerah Song.”

Raja Couw girang dia sepakat pada usul itu. Tak lama Raja Couw Seng-ong menarik mundur tentaranya
pergi ke Pok-touw, sebagai utusan dia mengirim Gi Seng. Dengan membawa iringan kereta barang
rampasan dari negeri Song mereka pergi ke negeri Louw.

Setiba di negeri Louw, utusan negeri Couw diterima baik oleh Louw Hi-kong. Dalam surat Raja Louw
meminta pertimbangan mengenai masalah Raja Song yang dia telah tawan.

Membaca surat itu Raja Louw kaget. Dia tak sadar kalau itu cuma gertakan Raja Couw kepadanya.
Namun, jika Louw mau melawan, Raja Louw sadar negaranya lemah.

Raja Louw itu berkata pada Gi Seng.

”Baiklah, aku menerima dengan baik undangan itu.” kata Raja Louw.

Raja Louw Hi-kong dengan mengajak Tay-hu Tiong Sui datang ke Pok-touw.
Saat itu Raja-muda Tan, Coa, The, Khouw, Louw dan Co, sudah datang semua. Sebelum pertemuan
dimulai, para raja muda itu sepakat mengangkat Raja Couw menjadi pemimpin perserikatan raja-raja.
Hanya syaratnya Raja Song harus dibebaskan oleh Raja Couw.

Rencana itu bocor ke tangan Seng Tek Sin yang menyampaikannnya kepada Raja Couw.

”Ternyata dugaanmu itu benar!” kata Raja Couw pada Seng Tek Sin.

Raja Couw setuju sekali. Sehari sebelum diadakan persidangan, Raja Song Siang-kong dibebaskan.

Esok harinya, The Bun-kong mengajak semua raja muda mengundang Couw Seng-ong naik ke panggung
mengepalai persidangan. Semua raja-raja minum darah mengangkat sumpah, Raja Couw Seng-ong
diangkat menjadi kepala perserikatan.

Raja Song Siang-kong sangat mendongkol, tetapi tidak berani berkata apa-apa. Setelah semua selesai,
raja-raja itu bubar dan pulang ke negerinya masing-masing.

Sedang Raja Song Siang-kong yang mendengar kabar Bak I sudah jadi raja, dia mengungsi ke negeri We
untuk menumpang di sana. Tetapi sebelum berangkat, datang utusan dari Bak I menyerahkan surat.

”Hamba menduduki takhta kerajaan, menggantikan Tuanku buat menjaga negeri. Sekarang silahkan
Tuanku pulang, sebab negeri Song milik Tuanku.”

Raja Song Siang-kong merasa kagum sekali atas kesetiaan Bak I ini. Tidak lama kereta yang indah sudah
tersedia, untuk membawa pulang Raja Song Siang-kong ke negeri Song.

Tatkala Raja Song Siang-kong sampai di negrinya, Bak I segera turun dari tahta kerajaan lalu berbaris di
tempat menteri-menteri.

Sementara itu Raja Song yang sudah pulang ke negrinya, senantiasa merasa sakit hati kepada Raja Couw.
Karena sudah dengan susah payah dia berikhtiar hendak menjagoi di antara para raja, tetapi ternyata
dia ditawan oleh Raja Couw. Dia merasa malu dan gemas kepada Raja The yang mengajak semua raja
muda mengangkat Raja Couw menjadi kepala perserikatan.

***

Pada tahun Raja Ciu Siang-ong memerintah yang ke-14, di musim Cun bulan tiga, Raja The Bun-kong
pergi ke negeri Couw untuk memberi hormat pada Raja Couw seolah kepada Kaisar.

Kabar ini membuat Raja Song Siang-kong sangat marah, dia ingin mengerahkan tentara Song untuk
melabrak negeri The yang dianggap merendahkan diri itu.

Tetapi Bak I segera mencegah niat Raja Song ini, karena dia tak setuju.

”Ingat Tuanku, Raja Couw dan Raja The sedang rukun!” kata Bak I. ”Jika Song menyerang Raja The, pasti
Raja Couw akan menolongnya. Bila hal ini terjadi, hamba khawatir kita akan kalah. Lebih baik Tuanku
renungkan kembali dengan bijaksana sambil menunggu datangnya kesempatan yang tepat.”
Kong-sun Kouw juga mencegah dan menasehati seperti Bak I. Song Siang-kong yang sudah sering
membuktikan kepandaian Bak I, dan Kong-sun Kouw, tetapi dia tidak mau mendengarkan nasehat
mereka.

”Jika kalian tidak setuju, biar aku yang memimpin sendiri berperang!” kata Raja Song.

Melihat kemarahan Song Siang-kong, tanpa banyak bicara Kong-sun Kouw mengeluarkan tentara untuk
menyerang negeri The. Song Siang-kong memimpin pasukan perang bagian tengah, dibantu oleh Kong-
sun Kouw. Sedangkan Gak Pok I, Hoa Siu Lo, Pangeran Tong memimpin pasukan depan dan belakang.

Tetapi gerakan tentara Song ini segera dilaporkan oleh mata-mata dari negeri The pada Raja The Bun-
kong.

Raja The terkejut mendengar tentara Song menyerang negaranya. Dengan terburu-buru dia menyuruh
orang untuk minta pertolongan kepada Raja Couw. Raja Couw Seng-ong mengumpulkan menteri-
menterinya.

”Raja The sangat hormat kepada kita, maka itu kita harus menolongnya.” kata Raja Couw.

”Daripada kita menolong Raja The, lebih baik kita sendiri menyerang ke negeri Song,” kata Seng Tek Sin
mengajukan usul.

”Kenapa?”

”Sebab Raja Song tanpa menyadari kekuatannya, telah mengerahkan pasukan besar untuk menyerang
negeri The. Dengan demikian negerinya pasti kosong. Apabila kita serang negerinya yang kosong itu,
pasti orang-orang yang ada di dalam negeri jadi ketakutan. Jadi tanpa harus berperang lagi kita akan
menang. Bila Raja Song yang pulang hendak menolong negerinya, tentaranya pasti sudah lelah dalam
perjalanan. Dengan demikian tentara kita yang masih segar, akan mampu mengalahkan tentara Song
yang sudah lelah itu dengan gampang. Dan pasti kita akan mendapatkan kemenangan!”

Raja Couw Seng-ong setuju pada usul Seng Tek Sin, dia segera mengangkat Seng Tek Sin menjadi
komandan perang. Touw Put menjadi pembantunya. Angkatan perang Couw segera berangkat akan
menyerang ke negeri Song.

Saat itu Raja Song Siang-kong belum memaklumkan perang pada Raja The, dia mendapat laporan bahwa
Raja Couw menyerang ke negeri Song. Mendengar laporan itu Raja Song kaget. Dia segera memimpin
tentaranya pulang untuk menolong negaranya. Setiba di sana dia mendirikan pesanggrahan di tepi
Selatan sungai Hong-sui untuk menangkis serangan tentara Couw.

Seng Tek Sin memerintahkan orang untuk membawa surat tantangan. Kong-sun Kouw mengajukan
saran pada Raja Song.

”Kedatangan tentara Couw kemari, maksudnya hendak membantu Raja The. Jika The tidak jadi kita
serang, lalu Tuanku minta maaf pada Raja Couw, pasti Raja Couw akan menarik mundur pasukannya dan
tidak terjadi berperang.” kata Kong-sun Kouw.
”Dulu Raja Cee Hoan-kong mengerahkan angkatan perangnya menyerang ke negeri Couw,” kata Raja
Song Siang-kong dengan tidak senang, ”Sekarang orang Couw malah menyerang kita. Kalau aku tidak
melayaninya, bagaimana mungkin aku bisa meneruskan pekerjaan Raja Cee Hoan-kong?”

”Tapi pasukan perang kita tidak seperti tentara Couw yang masih gagah,” kata Kong-sun Kouw. ”Bisa
dikatakan tentara Song takut kepada tentara Couw. Mereka takut seperti takut pada harimau, jadi
bagaimana mungkin kita berharap akan memenangkan peperangan ini?”

”Walau pun Raja Couw dan tentaranya sangat kuat, tapi Raja Couw tidak bijaksana. ” kata Raja Song.
”Sebaliknya aku, sekalipun tentaraku sedikit, tetapi aku bijaksana.”

Sesudah itu Raja Song membalas surat tantangan perang. Dalam surat itu dia menantang perang di
Hong-yang. Ketika itu dua pasukan perang sudah saling berhadapan. Kong-sun Kouw mengusulkan pada
Raja Song agar segera menyiapkan pasukan. Tetapi Raja Song santai saja. Ketika tentara Couw sudah
menyeberangi sungai, Kong-sun Kouw kembali mengajukan usul supaya menyerang musuh.

”Tunggu sampai mereka menyerang semua!” kata Raja Song.

”Seharusnya dalam ilmu perang, tentara Couw harus menyeberang pada malam hari. Maksudnya
supaya kita tidak mengetahui gerakannya,” kata Kong-sun Kouw. ”Kali ini ternyata mereka menyeberang
sesudah fajar menyingsing, itu berarti mereka sangat menghina kita. Saat mereka sedang menyeberangi
sungai dan tentara nereka baru separuhnya yang menyeberang, mereka harus kita serang! Ini saat yang
sangat baik! Dengan demikian kita pasti akan mendapat kemenangan. Apabila kita menunggu sampai
tentara mereka sudah menyeberangi sungai semua, maka karena jumlah tentara Couw lebih banyak dari
tentara kita yang sedikit, aku khawatir kita tidak akan sanggup melawan mereka.”

Raja Song Siang-kong segera menunjuk ke bendera besarnya sambil berkata, ”Coba kau lihat dua huruf
”Jin Gi” itu! Sudah berkali-kali aku jelaskan kepadamu, bahwa aku hendak berpegang teguh pada
kebajikan dan budi! Apakah kau masih belum juga mengerti? Apalagi pasukanku yang gagah dan banyak.
Lagipula di mana ada peraturan musuh baru menyeberang separuh sudah diserang!”

Mengetahui rajanya tidak bisa dinasehati, Kong-sun Kouw jadi kesal hatinya.

Tidak berapa lama tentara Couw pun sudah menyeberang semuanya. Terlihat Seng Tek Sin sedang
mengatur tentaranya. Melihat hal itu Kong-sun Kouw kembali menasehati Raja Song Siang-kong.

”Panglima Couw sedang mengatur pasukannya dan belum rapi benar, segera bunyikan tambur tanda
berperang. Dengan demikian musuh akan kacau.”

Raja Song Siang-kong meludahi muka Kong-sun Kouw. Dengan marah dia berkata, ”Kau sungguh licik!
Apa kau akan menang dengan kelicikanmu, tetapi kau lupa, perbuatanmu itu akan merusak nama kita!”

Mendengar jawaban itu bukan main mendongkolnya Kong-sun Kouw. Sekarang tentara Couw sudah ada
di seberang, sehingga membuat tentara Song merasa jerih.
Baru Raja Song Siang-kong memerintahkan membunyikan tambur tanda berperang. Tetapi hal ini
disambut oleh pasukan Couw dengan hebat. Raja Song maju sambil memegang tombak panjang,
mengajak Pangeran Tong, Hiang Cu Siu, kedua panglima perangnya itu, maju menyerang pasukan Couw.

Melihat kedatangan musuh begitu buas, diam-diam Seng Tek Sin mengeluarkan perintah agar
membiarkan musuh maju terus ke dalam pasukannya. Tetapi yang diincar untuk masuk cuma Raja Song
Siang-kong dan satu pasukan perangnya saja. Sedangkan Kong-sun Kouw yang mengikuti Raja Song
Siang-kong berada di belakang.

Setelah Raja Song Siang-kong menyerang masuk ke tengah pasukan musuh, mereka bertemu dengan
Touw Put, Kong-sun Kouw maju ke depan rajanya menghadapi musuh. Touw Put dan Kong-sun Touw
pun bertarung hebat.

Tidak lama Gak Pok I dari pihak Song datang, tetapi dia dihadapi oleh Kui Lu Si. Ketika Kong-sun Kouw
sudah agak terdesak segera dia kabur ke tengah pasukan Couw. Touw Put mengangkat goloknya dan
mengejar Kong-sun Kouw. Tetapi panglima Song yang bernama Hoa Siu Lo datang ke tempat itu, mereka
jadi bertempur hebat.

Kong-sun Kouw tidak melihat Raja Song di sekitarnya, dia mencoba mencarinya. Tetapi sia-sia. Dia maju
terus tetapi dihadang oleh tentara Couw yang menyemut banyak sekali. Dia segera maju terus, dan
bertemu dengan panglima Song bernama Hiang Cu Siu yang mukanya berlumuran darah.

”Su-ma lekas tolongi Cu-kong kita!” teriak panglima Song itu.

Kong-sun Kouw dan Hiang Cu Siu menyerang masuk ke dalam kepungan musuh yang berlapis-lapis itu.
Di sana dia melihat tentara Song banyak yang terluka berat, tetapi mereka tidak mau mundur.Melihat
Kong-sun Kouw yang gagah perkasa mengamuk, tentara Couw mundur sedikit tidak berani merapat.

Ketika Kong-sun Kouw menoleh ke dalam kereta perang Raja Song, dia melihat Pangeran Tong yang
terluka berat, telah rebah di dalam kereta perangnya, sedangkan bendera besar yang terlukis huruf ”Jin
Gi”, sudah dirampas oleh musuh. Raja Song Siang-kong juga terluka parah. Paha kanannya terkena
panah sehingga urat lututnya putus. Dengan demikian dia tidak bisa bangun untuk berdiri.

Ketika melihat Kong-sun Kouw, Pangeran Tong girang sekali.

”Su-ma! Jaga Cu-kong kita baik-baik, aku rasa aku sudah tidak tahan lagi!” kata Pangeran Tong.

Benar saja Pangeran Tong menghembuskan napasnya yang penghabisan. Hati Kong-sun Kouw sangat
pilu, buru-buru dia angkat Raja Song Siang-kong ke dalam kereta perangnya.

Dengan tubuh sengaja menghalangi Raja Song, dan dengan seluruh kekuatannya Kong-sun Kouw
menerjang keluar dari kepungan musuh. Sedang Hiang Cu Siu menjaga di belakang mereka, dibantu oleh
tentara Song. Tetapi karena orang Song banyak yang melarikan diri sambil berperang, akhirnya setelah
keluar dari kepungan tentara Couw, tentara istana Song itu sudah hampir binasa semuanya. Tepatnya
pasukan Song sembilan puluh persen telah binasa oleh musuh.
Ketika Gak Pok I dan Hoa Siu Lo melihat raja mereka sudah terhindar dari bahaya maut mereka pulang.

—ooOOOoo—

Bab 22

Tetapi Seng Tek Sin yang tidak mau memberi kesempatan pada mereka, segera
memimpin tentaranya mengejar. Akibatnya tentara Song menderita kerusakan berat. Ransum, senjata
dan kereta mereka dirampas oleh musuh.

Saat itu Kong-sun Kouw mengajak Raja Song Siang-kong pulang ke kota Ci-yang. Sementara itu keluarga
tentara Song yang binasa di medan perang, seperti ayah, ibu, istri atau anak, semua datang menggerutu
di luar istana. Mereka semua menyesalkan Raja Song Siang-kong yang tidak menuruti nasihat Kong-sun
Kouw, sehingga mendapat kekalahan besar.

Raja Song Siang-kong yang mendengar sesalan itu, dengan menghela napas berkata, ”Padahal aku
berpegang pada kebajikan dan kewajiban dalam menjalankan peperangan, tetapi yang aku tidak
mengerti mengapa sampai mendapat kekalahan begini besar?”

Mendengar ucapan Raja Song Siang-kong tidak seorang pun yang tidak mendongkol, karena kekeliruan
raja mereka dalam mengartikan maksud perkataan ”Jin Gi” itu. Saat itu mereka menganggap arti
kebajikan dan kewajiban seumpama kucing yang bodoh, sebab waktu melihat tikus, kucing itu tidak mau
menerkamnya.

Sementara itu angkatan perang Couw yang dapat kemenangan besar, segera menyeberang di sungai
Hong-sui, sambil menyanyikan lagu kemenangan perang. Setelah pasukan perang itu keluar dari batas
negeri Song, seorang juru kabar memberi laporan pada Seng Tek Sin.

”Raja Couw telah memerintahkan pasukan besar untuk menyambut kedatangan Tuan. Mereka sudah
mendirikan pasanggrahan di Ko-tek.” kata pelapor itu.

Mendengar laporan itu Seng Tek Sin segera pergi ke Ko-tek untuk menemui Raja Couw dan memberi
laporan tentang kemenangannya itu. Raja Couw Seng-ong sangat girang.

”Besok Raja The akan mengajak permaisurinya datang kemari untuk menghaturkan selamat. Kalian
harus mengatur barisan serapih mungkin!” kata Raja Couw.
Hu-jin The Bun-kong ialah adik perempuan Couw Seng-ong, yang disebut Bun-bi. Dia datang ke Ko-tek
bersama Raja The Bun-kong karena ingin bertemu dengan kandanya. Tatkala Raja The dan
permaisurinya sampai, Raja Couw Seng-ong menceritakan kemenangannya atas negeri Song. Raja The
Bun-kong, suami-isteri langsung mengucapkan selamat. Sesudah itu dia undang Couw-ong supaya
berkunjung ke pesta yang akan diadakan nanti.

Esok harinya, Raja The Bun-kong menyambut Raja Couw dan mengajaknya masuk ke dalam kota. Raja
The menghormati Raja Couw seperti pada seorang Kaisar saja. Permaisuri Bun-bi mempunyai dua orang
putri, yaitu Pek-bi dan Siok-bi, keduanya belum menikah. Permaisuri lalu mengajak kedua putrinya
menghadap Couw Seng-ong, menjalankan adat istiadat pertemuan keponakan dengan pamannya.

Melihat keelokan paras kedua keponakannya Raja Couw senang sekali. Waktu Raja Couw hendak pulang
ke pesanggrahannya, Couw Seng-ong minta pada Bun-bi, adiknya agar kedua putrinya mengantar dia.
Permintaan itu diterima baik oleh Bun-bi dan Raja The. Raja The Bun-kong hanya mengantarkan Raja
Couw Seng-ong sampai di luar kota, sedang Bun-bi dan kedua putrinya mengantarkannya sampai di
pesanggrahan Couw. Tetapi karena hari sudah sore dan menjelang malam, Bun-bi dan kedua putrinya
terpaksa bermalam di dalam pesanggrahan Raja Couw.

Malam harinya, Raja Couw Seng-ong pergi mendatangi kamar tidur kedua keponakannya dan
memperkosa keduanya. Sedangkan Bun-bi kebingungan, sehingga semalaman dia tidak bisa tidur pulas.
Karena takut oleh pengaruh Raja Couw, terpaksa dia harus belagak bodoh, tidak berani berkata apa-apa.
Padahal saat itu kedua anak perempuannya sedang dirusak kehormatannya oleh kandanya yang durjana
itu.

Pada esok harinya, Raja Couw Seng-ong menghadiahi Bun-bi separuh dari barang-barang rampasan dari
negeri Song. Sedangkan kedua puteri Raja The, Pek-bi dan Siok-bi tidak diizinkan pulang lagi, kedua putri
Raja The itu dibawa pulang ke negeri Couw dan dijadikan gundik oleh pamannya. Kelakuan Raja Couw
yang seperti binatang, membuat Raja The gusar, tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa, sebab Raja The
lemah dan Raja Couw sangat kuat. Begitulah nasib orang lemah yang berurusan dengan orang kuat!
Kasihan.

Sementara itu Chin Kong-cu sudah tujuh tahun tinggal di negeri Cee, yaitu sejak tahun Ciu Siang-ong ke-
8 sampai tahun ke-14. Dia tahu saat Raja Cee Hoan-kong yang tertimpa nasib naas, dan para Raja-muda
berebut kekuasaan dan jatuhnya negeri Cee. Ketika Cee Hauw-kong menjadi raja, tetapi dia hanya
menjadi raja bodoh yang tidak bisa meneruskan kekuasaan ayahnya dan kerajaannya berada di bawah
kekuasaan Raja Song dan Raja Couw.

Melihat keadaan yang tidak menguntungkan itu, diam-diam Tio Swi berunding dengan kawan-
kawannya.

”Kita sedang menumpang di negeri Cee, karena ingin meminjam tentara Cee supaya bisa pulang ke
negeri Chin,” kata Tio Swi. ”Tetapi ternyata sekarang Raja Cee yang baru tidak berkuasa seperti ayahnya,
hingga para raja tidak mengindahkannya lagi. Maka kita tak bisa mengharapkan bantuannya. Lebih baik
Kong-cu pindak ke negeri lain saja.”
Semua setuju pada saran Tio Swi. Akhirnya mereka pergi ke tempat Pangeran Tiong Ji untuk
menyampaikan niat mereka itu. Pangeran Tiong Ji sulit ditemui, karena dia sedang mengeloni Cee Kiang,
famili Raja Cee Hoan-kong yang diserahkan kepadanya untuk dijadikan istrinya.

Siang dan malam dia ada di samping si nona manis itu, sudah tidak perduli apapun. Para menterinya
yang setia, menunggu ingin bertemu dengan Pangeran Tiong Ji, bahkan hampir sepuluh hari lamanya.
Gui Cun uring-uringan, dia menggerutu.

”Karena kupikir Pangeran akan memperoleh kemajuan, maka aku ikut dengannya. Tetapi sepanjang hari
kerjanya cuma bersenang-senang dengan perempuan saja selama tujuh tahun sia-sia. Bayangkan kita
menunggu tujuh tahun lamanya dengan sia-sia saja. Dia cuma memikirkan bersenang-senang saja.
Sudah sepuluh hari lebih kita menunggu ingin bertemu dengannya, tetapi dia tidak mau muncul, jika
terus begini bagaimana dia bisa mengerjakan usaha besar?”

”Diam,” kata Ho Yan sambil menggoyangkan tangannya. ”Di sini bukan tempat berunding, mari ikut aku
pergi di suatu tempat yang sunyi.”

Semua setuju, sesudah berjalan sejauh 10 li, mereka sampai di Song-im yang di sekitarnya banyak
tumbuh pohon Song (murbui), karena daun pohon ini lebat hingga matahari tidak mampu menembus,
hingga keadaannnya sangat teduh.. Di sini Tio Swi dan sembilan kawannya lalu berkumpul sambil duduk
di tanah.

”Apa yang akan kau lakukan?” tanya Tio Swi pada Ho Yan.

”Untuk mengajak Pangeran Tiong Ji pergi, kita gunakan saja siasat. Kita ajak dia berburu, sekeluar dia
dari negeri Cee baru kita bujuk dia pergi dari sini. Tetapi sesudah itu, kita harus menumpang di negeri
apa?” kata Ho Yan.

”Raja Song berniat menjadi jago di antara semua Raja-muda, ditambah lagi rajanya bijaksana, mengapa
kita tidak ke negeri Soing saja?” kata Tio Swi yang mengajukan usulnya. ”Seandainya kita menumpang di
negeri Song dan juga tidak berhasil mencapai niat kita, kita harus segera pergi ke negeri Cin atau Couw.
Suatu saat kita akan menemukan jalan yang baik.”

”Ya, aku dengan Kong-sun Kouw bersahabat, boleh dicoba kita pergi dulu ke negeri Song,” kata Ho Yan
yang menyatakan setuju.

Begitu mereka berunding dan membuat rencana lalu mereka bubar. Mereka berunding di tempat sepi,
maksudnya supaya jangan ada orang lain yang tahu, tetapi tidak disangka ketika mereka berunding,
justru beberapa budak Cee Kiang sedang memetik daun murbei (song) untuk makanan ulat sutera.
Mereka tetap bersembunyi sampai semua yang berunding bubar, baru mereka pulang ke istana dan
melaporkan pada Cee Kiang.

Mendengar laporan itu Cee Kiang marah-marah dan pura-pura tidak percaya. Menganggap laporan
budak-budak itu bohong, lalu Cee Kiang menyuruh menahan budak-budaknya itu dalam kamar tahanan.
Sungguh cerdik Cee Kiang ini.
”Sungguh berbahaya bagi Pangeran Tiong Ji dan kawan-kawannya, aku harus berbuat sesuatu,” kata Cee
Kiang.

Malamnya budak-budak yang ditahan itu dibunuh seluruhnya. Ini untuk menghindari bahaya di
kemudian hari. Sesudah itu Cee Kiang membangunkan suaminya, yaitu Pangeran Tiong Ji.

”Suamiku, anak buahmu hendak mengajakmu pergi dari negeri Cee, saat mereka berunding budak-
budakku mengetahuinya, karena khawatir budak-budakku membocorkan rahasia ini, mereka sudah
kubunuh semua. Sekarang juga kau harus mengambil keputusan untuk segera meninggalkan negeri
Cee.” kata Cee Kiang.

”Aku sudah hidup bahagia di sini, untuk apa aku pergi dari sini. Aku akan hidup dan mati di negeri ini,”
kata Pangeran Tiong Ji. Dia kelihatan kurang senang oleh adanya rencana anak buahnya itu.

”Pendapatmu keliru, suamiku,” kata Cee Kiang. ”Sejak kau meninggalkan negeri Chin, sampai saat ini
keadaan di negeri Chin belum aman. I Gouw yang lemah, angkatan perangnya hancur, hingga rakyat
kurang puas kepadanya, tetangga negaranya kurang senang. Ini jelas Thian mengharapkan kau. Hamba
yakin kau akan berhasil menduduki negeri Chin!”

Karena Pangeran Tiong Ji sangat mencintai Cee Kiang yang elok, dia merasa berat untuk berpisahan
dengan Cee Kiang. Maka itu dia tak mau mendengarkan nasihat isterinya itu.

Esok paginya, Tio Swi, Ho Yan, Kiu Kui dan Gui Cun, empat orang anak buahnya, telah menunggu di luar
keraton, mereka ingin mengajak Pangeran Tiong berburu. Mendengar kabar itu Cee Kiang di luar tahu
Pangeran Tiong Ji, suaminya, dia buru-buru menyuruh orang memanggil Ho Yan, hanya seorang diri saja
masuk ke dalam istananya.

Ketika Ho Yan menghadap, Cee Kiang menyuruh semua pelayannya mundur. Baru sesudah itu Cee Kiang
menanyakan maksud kunjungan Ho Yan dan kawan-kawannya itu.

”Pangeran senang berburu oleh karena itu kami ingin mengajaknya berburu,” jawab Ho Yan pada Cee
Kiang.

”O, begitu,” kata Cee Kiang sambil tersenyum. ”Tetapi kali ini kalau bukan ke negeri Song pasti kalian
akan ke negeri Cin atau ke negeri Couw. Bukan begitu?”

Ho Yan agak kaget. Dia mencoba menenangkan diri.

”Ah, mustahil berburu sampai sekian jauhnya?” sahut Ho Yan.

”Jangan bohong. Aku tahu kau akan membawa kabur Pangeran Tiong, semua aku sudah tahu.” kata Cee
Kiang. ”Kalian jangan berdusta padaku! Tadi malam pun aku sudah bujuk suamiku agar pergi dari negeri
ini, tetapi dia tidak mau.”

Ho Yan heran, tetapi dia girang.

”Lalu bagaimana selanjutnya?” kata Ho Yan.


”Begini. Nanti malam akan kuajak dia minum sampai mabuk, dalam keadaan mabuk kalian naikkan ke
sebuah kereta lalu bawa dia pergi jauh….” kata Cee Kiang. ”Dengan cara demikian baru kalian berhasil!’

Bukan main senangnya Ho Yan, dia berlutut mengucapkan terima kasih.

”Hamba berterima kasih, ternyata Nyonya seorang yang mulia. Rela berpisah dengan suami tercinta
demi kemajuan suami, wanita seperti Nyonya sangat jarang di muka bumi ini….” puji Ho yan.

Tio Swi, Ho Mo dan lain-lain berangkat duluan sampai di tanah lapang mereka akan menunggu, hanya
Ho Yan, Gui Cun dan Tian Kiat, tiga orang, yang membawa dua buah kereta kecil yang disembunyikan
dekat istana. Mereka menunggu kabar baik dari Cee Kiang, yaitu sesudah suaminya mabuk berat. Malam
harinya, benar saja Cee Kiang telah mengatur perjamuan, dia menyediakan makanan. Saat makan
minum Cee Kiang merayu Pangeran Tiong Ji sehingga pangeran makin senang hatinya. Cee Kiang juga
memerintahkan beberapa budak perempuannya menyanyi dan menari, hingga akhirnya Cee Kiang
berhasil hingga suaminya ini mabuk berat. Sesudah suaminya tertidur karena mabuk, Cee Kiang lalu
mengambil selimut dan menutupi tubuh suaminya, kemudian baru memerintahkan orang memanggil Ho
Yan.

”Ho Yan mengerti pasti Pangeran Tiong Ji sudah mabuk berat, maka dia ajak Gui Cun dan Tan Kiat masuk
ke dalam istana, lalu menggotong Pangeran Tiong Ji bersama selimutnya terus dibawa keluar, dan
ditaruh di dalam sebuah kereta kecil yang lebih dulu memang sudah diberi kasur.

Sesudah selesai, Ho Yan mengucapkan selamat tinggal pada Cee Kiang yang sebenarnya merasa berat
berpisah dengan pangeran, tetapi terpaksa ia mengeraskan hatinya sambil menangis, karena ingin
suaminya mendapat kemajuan. Ho Yan dan dua kawannya dengan cepat, tetapi dengan berhati-hati
sekali melarikan kereta yang membawa Pangeran Tiong Ji, ketika hampir tengah malam mereka sudah
meninggalkan ibukota Cee cukup jauh, di suatu tempat mereka bertemu dengan Tio Swi dan yang lain-
lain, dan dalam keadaan gelap gulita mereka memeruskan perjalanan.

Kira-kira sudah berjalan lima atau enam puluh li jauhnya, terdengar suara ayam berkokok, sementara
dari arah Timur mulai tampak sinar cahaya terang. Waktu itulah Pangeran Tiong Ji baru sadar dari
tidurnya, dia berguling-guling di dalam kereta, dia berteriak memanggil pelayan istana meminta air
minum karena dia haus. Ho Yan yang memegang kendali kereta itu ada di sampingnya lalu menyahut.
”Mau air harus menunggu sebentar siang.”

Tiong Ji merasa dirinya ada tergoyang-goyang hingga rasanya tidak enak, sembari mengulet ia berkata:
”Marilah, bangunkan aku dan turun dari ranjang!”

”Ini bukan ranjang, tetapi kereta,” sahut Ho Yan.

Tiong Ji terkejut, dia membuka matanya celingukan ke kian kemari, lalu dia pegang Ho Yan dan bertanya
dengan kasar.

”Siapa kau?”
”Hamba Ho Yan, Tuanku,” sahut menteri yang setia ini.

Waktu itu Pangeran Tiong Ji jadi kaget, segera dia sadar kalau dia tekah diculik oleh anak buahnya.
Segera dia bangun.

”Chu Hoan, mengapa kalian tidak memberitahuku dulu kalau aku mau diajak kabur?” bentak Pangeran
Tiong Ji gusar bukan main. ”Apa ,maksud kalian ini?”

”Kami hendak menyerahkan negeri Chin pada Pangeran,” sahut Ho Yan dengan sabar.

”Sebelum mendapatkan negeri Chin, tetapi aku telah kehilangan negeri Cee, aku tidak mau! Berhenti di
sini! Aku tidak mau pergi!”

”Tetapi kita sudah meninggalkan negeri Cee sejauh seratus li lebih,” kata Ho Yan sengaja membohongi
junjungannya. ”Lagi pula jika Raja Cee mengetahui Kong-cu minggat, niscaya dia akan mengerahkan
pasukan mengejar kita, ini sungguh berbahaya sekali jika kembali ke sana.”

Pangeran Tiong Ji tidak bisa menahan amarahnya, justru dia melihat Gui Cun sedang memegang tombak
berjaga di sampingnya, dia lantas rebut tombak itu, dengan tombak itu dia hendak menyerang Ho Yan.

Melihat gelagat kurang baik, Ho Yan buru-buru turun dari kereta dan pergi menyelamatkan diri.
Pangeran Tiong Ji melompat turun, lalu mengejar Ho Yan. Sementara itu Tio Swi, Kiu Kui, Ho Sia Kouw,
Kay Cu Cui dan yang lain-lain turun dari kereta menghalangi niat Pangeran Tiong Ji. Meski sudah
dinasehati, tetapi kemarahan Pangeran Tiong Ji belum bisa lenyap, sambil uring-uringan dia lemparkan
tombaknya ke tanah. Ho Yan langsung menghampiri Pangeran Tiong Ji, sesudah itu dia memberi hormat.

”Jika Tuanku membunuhku dan Kong-cu bisa menjadi raja di negeri Chin, aku rela mati di sini.” kata Ho
Yan.

”Karena kami ingin Pangeran menjadi Raja Chin,” kata Tio Swi menyambung pembicaraaan Ho Yan,
”maka kami sudah meninggalkan kampung halaman kami, rumah dan anak isteri kami pergi ikut dengan
Kong-cu, sebab berharap barangkali saja di kemudian hari nama kami tercatat di dalam buku hikayat.
Sekarang Chin Hui-kong tidak memegang aturan, semua rakyat negeri ingin sekali mengangkat Kong-cu
menjadi raja, tetapi jika Kong-cu sendiri tidak mau mencari jalan supaya bisa masuk ke negeri sendiri,
siapa yang nanti mau menjemput Pangeran ke negeri Cee? Apa yang terjadi tadi malam, sebenarnya
sudah disetujui oleh kami semua termasuk istri Pangeran bukan sekali-kali cuma rencana Chu Hoan
seorang, maka harap Kong-cu jangan salah mengerti.”

Gui Cun yang terkenal beradat, dengan suara nyaring lantas nyeletuk: ”Satu laki-laki harus bersemangat
untuk memperoleh nama, supaya bisa tersohor sampai di zaman kemudian! Mengapa hanya
memberatkan seorang perempuan, yang cuma menyenangkan sekejap, tetapi tidak memikirkan hari
depan.”
Sementara yang lain-lain pun memberi nasihat pada Pangeran Tiong Ji. Mendengar nasihat semua
menterinya yang demikian pedas dan pantas, paras Tiong Ji berubah sabar kembali, dia menghela napas
seraya berkata, ”Ya, sudahlah, sekarang sudah jadi begini, aku menurut saja.”

Ho Mo datang menyuguhkan ransum kering pada Tiong Ji, sedang Kay Cu Cui datang membawakan air
minum. Tiong Ji dan semua anak buahnya makan bersama-sama. Ouw Siok dan beberapa kawannya
menyabit rumput untuk memelihata kuda. Kemudian sesudah membereskan semua barang-barang,
mereka lalu meneruskan perjalanan.

Mereka berjalan belum sehari telah sampai di negeri Co. Sebenarnya Raja Co Kiong-kong tidak mau
menerima Tiong Ji singgah di negerinya, sebab dia keberatan karena tidak menguntungkan baginya
menerima kedatangan Pangeran dari negeri Chin ini. Tetapi ketika di antara menterinya ada yang
berkata bahwa Pangeran Tiong Ji anak-anakan mata ada dua dan tulang iganya rangkap menjadi satu,
Raja Co Kiong-kong jadi heran dan penasaran sekali, maka dia lantas memerintahkan orangnya
menyambut kedatangan Pangeran Tiong Ji, dan diizinkan tinggal di gedung tamu.

Tetapi Raja Co memperlakukan Tiong Ji dan menteri-menterinya tidak dengan sepantasnya, dia cuma
menyuruh orang membawakan air dan nasi untuk menyuguhi tamunya itu, tidak menghaturkan selamat
datang, tidak mengadakan pesta kehormatan bagi tamunya, tegasnya dia tidak menjalankan peraturan
menyambut tamu sebagai tuan rumah seperti yang semestinya.

Karena dihina begitu rupa, Tiong Ji jadi mendongkol dan tidak sudi makan suguhan dari Raja Co itu.
Tidak lama budak gedung membawa masuk sebuah paso untuk mandi, lalu menyilakan Pangeran Tiong
Ji mencuci badan. Karena melakukan perjalanan jauh dan banyak keluar keringat, memang Tiong Ji
hendak mandi maka segera dia pun mandi, Waktu itu Raja Co Kiong-kong bersama beberapa
pengikutnya yang dia sangat sayang dengan berpakaian seperti orang kecil datang di gedung tetamu dan
terus masuk ke kamar mandi, di sana mereka mendekati Tiong Ji dan memeriksa tulang iganya, mereka
jadi ribut mengeluarkan pendapat mereka.

Ho Yan dan yang lain-lain ketika mendengar ada orang masuk di kamar mandi, buru-buru memeriksa,
tetapi sayang semua orang itu sudah pergi. Ho Yan masih sempat mendengar tawa mereka. Ketika Ho
Yan minta keterangan, penjaga mengatakan yang datang adalah Raja Co.

Tiong Ji dan para pengikutnya bukan main mendongkolnya, tetapi mereka menahan sabar, dan belum
bisa membalas penghinaan raja tolol itu. Ketika Raja Co hendak mengintip, yang sebenarnya itu
perbuatan hina telah dicegah dengan sangat oleh Tay-hu Hi Hu Ki, tetapi Raja Co yang angkuh itu tidak
mempedulikannya, hingga menteri itu pulang ke rumahnya dengan hati mendongkol.

Malam harinya, diam-diam Hi Hu Ki membawakan rupa-rupa hidangan yang lezat ke gedung tamu,
sedang di dalam nasi dia selipkan batu mustika yang berharga mahal.

Ketika itu Tiong Ji punya perut memang sedang kelaparan dan duduk diam dengan menahan
kemarahan, setelah dia mendengar Hi Hu Ki datang minta bertemu serta membawakan hidangan, lalu
dia suruh orang menyambut dan mengajak menteri ini masuk.
Setelah Hi Hu Ki bertemu dengan Pangeran Chin, dia memberi hormat, lebih dulu dia minta dimaafkan
atas kelakuan Raja Co yang tidak patut, kemudian baru menjelaskan bahwa kedatangannya ini cuma
untuk menyatakan hormatnya.

Tiong Ji girang, dengan menghela napas dia berkata, ”Aku tidak menyangka di negeri Co ada menteri
yang berbudi. Di kemudian hari apabila aku beruntung pulang ke negeriku sendiri, niscaya aku tidak
akan melupakan budi ini.”

Sehabis berkata begitu Tiong Ji lantas makan, tetapi di dalam mangkuk nasinya dia menemukan sebuah
batu mustika yang begitu bagus, hingga dengan terkejut dia berkata pada Hi Hu Ki, ”Tay-hu menaruh
budi padaku membuat aku tidak sampai kelaparan itu sudah cukup, kenapa harus memberi hadiah ini
yang mahal harganya? Tidak, aku tidak bisa menerimanya, harap Tay-hu terima kembali. Aku sudah
menanggung cukup besar budi Tay-hu.”

”Itu cuma sekedar hormatku yang ada dalam hatiku, harap Kong-cu jangan menolak,” kata Hi Hu Ki yang
seberapa bisa hendak memaksa. Tetapi meski dipaksa bagaimana pun, Tiong Ji, tetap tidak mau terima.

Setelah Hi Hu Ki berpisah dengan Tiong Ji, dengan menghela napas dia berkata, ”Chin Kong-cu begitu
miskin dan melarat, tetapi dia tidak tertarik oleh barang mustikaku yang berharga, jelas dia seorang yang
berbudi luhur!”

Pada esok harinya, Tiong Ji dan menteri-menterinya segera berangkat. Hi Hu Ki dengan diam-diam pergi
mengantarkan keluar kota sampai kira-kira sepuluh li jauhnya.

Dari negeri Co, kemudian Pangeran Chin dan semua menterinya pergi ke negeri Song. Ho Yan yang
berjalan dulu telah sampai lebih dulu, lalu pergi menemui Su-ma Kong-sun Kouw.

Kong-sun Kouw menceritakan pada Ho Yan, bahwa rajanya karena tidak tidak menyadari tenaga sendiri,
sudah menggunakan kekuatan tentaranya menyerang negeri Couw, hingga tentaranya mendapat
kerusakan besar dan pahanya sendiri terluka, penyakitnya sampai sekarang belum sembuh. ”Tetapi
Pangeran Tiong Ji sudah lama namanya termasyur, kedatangannya pasti akan diterima baik oleh rajaku.”

Sehabis berkata begitu Kong-sun Kouw mempersilakan sahabatnya itu duduk menunggu, sedang dia lalu
masuk ke istana memberi kabar pada Raja Song Siang-kong tentang kedatangan Pangeran Chin bersama
menteri-menterinya.

Raja Song memang sangat sakit hati pada negeri Couw, siang dan malam berharap-harap bisa mendapat
bantuan orang-orang pintar untuk melakukan pembalasan pada musuh besarnya itu, maka ketika dia
mendengar Pangeran Chin datang di tempatnya, bukan main girangnya.

Raja Song ini, dia pikir negeri Chin negeri besar, sementara Pangeran Tiong Ji terkenal pintar serta
berbudi. Cuma dia merasa menyesal karena luka di pahanya masih belum sembuh juga, hingga dia tidak
bisa menyambut sendiri, maka apa boleh buat dia perintahkan Kong-sun Kouw pergi keluar kota untuk
menyambut, lalu mengajak tamu agung itu tinggal di gedung tempat tamu terhormat.
Esok harinya, Tiong Ji hendak berangkat lagi, tetapi Kong-sun Kouw yang diperintah oleh Song Siang-
kong sebisa-bisanya meminta agar pangeran itu mau tinggal beberapa hari lagi.

Begitulah Tiong Ji dan menteri-menterinya tinggal di negeri Song sampai beberapa hari lamanya dengan
mendapat perhatian besar dari Raja Song. Melihat penyakit Raja Song Siang-kong belum sembuh,
dengan diam-diam Ho Yan berunding dengan Kong-sun Kouw mengenai maksud untuk mengantarkan
Tiong Ji pulang ke negeri Chin. Kong-sun Kouw memberitahu dengan jelas.

”Jika Chin Kong-cu cuma mau menumpang di negeri Song selamanya Raja Song bersedia
menampungnya, tetapi kalau untuk mengantarkan pulang ke negeri Chin, pasti negeri Song belum
sanggup melakukannya, lantaran baru mendapat kerusakan besar, maka lebih baik jika mencari bantuan
dari negeri besar, supaya bisa terkabul apa yang dimaksudkan.” kata Kong-sun Kouw.

Kejujuran Kong-sun Kouw membuat Ho Yan jadi senang hati, maka dia pun tidak mau buang waktu, dia
segera memberi tahu Pangeran Tiong Ji tentang hal itu dan mengajak kawan sejabatnya membereskan
barang-barang mereka bersiap untuk berangkat.

”Mendengar Tiong Ji hendak berangkat, Raja Song mengantarkan ransum, pakaian dan lain-lain barang
yang perlu dalam perjalanan. Tiong Ji menghatur kan terima kasih atas kebaikan Raja Song ini.

Luka yang diderita Raja Song makin hari makin berbahaya. Ketika Raja Song merasa ajalnya akan tiba, dia
memanggil Pangeran Ong Sin untuk diberi pesan terakhir.

”Lantaran aku tidak menuruti nasihat Cu Gi, maka aku sampai jadi begini rupa,” kata Raja Song Siang-
kong. ”Kau sebagai pewaris tahtaku. Maka kau harus mendengar nasihat Cu Gi. Sedangkan Raja Couw
musuh besar kita, kau jangan bersahabat dengannya. Jika Pangeran Chin bisa pulang ke negerinya,
niscaya dia akan menjadi raja di negeri Chin. Kau harus bersatu dengan negeri Chin.” kata Raja Song.
”Ingat baik-baik pesanku ini.”

Sehabis meninggalkan pesan, selang tidak berapa lama Raja Song Siang-kong menghembuskan napasnya
yang penghabisan. Dia menjadi raja selama empat belas tahun lamanya. Cita-citanya menjadi Raja
Jagoan tidak berhasil.

Sesudah mengurus upacara berkabung beres, Pangeran Ong Sin langsung naik takhta kerajaan, yang
memakai gelar Raja Song Seng-kong.

Sekeluarnya dari negeri Song, rombongan Pangeran Tiong Ji berjalan sampai di negeri The. Tetapi Raja
The Bun-kong tidak sudi menyambut kedatangan rombongan Pangeran Tiong Ji, malah Raja The telah
memerintahkan menterinya yang menjaga pintu kota menutup rapat pintu kotanya. Maka Tiong Ji yang
melihat begitu lalu berjalan terus pergi ke negeri Couw.

Raja Couw menerima baik kedatangan pangeran Tiong Ji, malah dia menghormatinya.
Hampir setiap hari Raja Couw Seng-ong mengadakan pesta, Pangeran Tiong Ji menghaturkan terima
kasih. Begitulah mereka berdua ternyata cocok satu sama lain, maka Tiong Ji pun jadi betah tinggal di
negeri Couw.

Pada suatu hari, Raja Couw Seng-ong mengajak Tiong Ji pergi berburu di tanah In-tek dan Bong-tek.
Dalam perburuan itu Raja Couw mengeluarkan kepandaiannya, yaitu dengan beruntun dia memanah
menjangan dan seekor kelinci, yang semuanya telah kena dengan jitu.

Semua panglima Couw berlutut di tanah memberi selamat. Sementara itu justru muncul seekor beruang
menyeruduk lewat di depan keretanya. Raja Couw berkata pada Tiong Ji.

”Kong-cu, lekas panah beruang itu!” kata Raja Couw.

Tiong Ji mengangkat busur dan anak panahnya, setelah busur panah menjeprat, beruang itu segera
jatuh terguling-guling. Tentara Couw mengambil beruang itu ternyata sudah mati dan dibawa ke
hadapan Raja Couw. Raja Couw terkejut, dan merasa kagum dia berkata,

”Kong-cu betul-betul seperti malaikat panah!”

Tiong Ji menolak pujian itu dan coba bersikap merendah. Tiba-tiba terdengar suara riuh. Couw Seng-ong
memerintahkan pengikutnya pergi memeriksa ada apa hingga orang jadi begitu ribut.

Tidak lama orang suruhan sudah kembali, dia memberitahu. ”Di sebuah sela gunung orang telah
mengejar satu binatang aneh, rupanya seperti beruang, hidungnya seperti gajah, kepalanya seperti
singa, kakinya seperti macan, bulunya seperti anjing hutan, kumisnya seperti babi hutan, buntutnya
seperti kerbau, badannya seperti kuda dengan belang hitam dan putih, meski orang sudah menombak,
dan membacok dengan kapak, digaet dan dipanah, tetapi tidak mempan, dia menggigit besi seperti
menggigit lumpur, roda gerobak yang terlapis besi semua sudah digigitnya sampai hancur, tegasnya
orang sudah putus akal untuk membinasakan binatang itu, maka orang telah jadi ribut kalang kabut.”
kata pesuruh Raja Couw itu.

Mendengar laporan itu Raja Couw heran, lalu bertanya pada Tiong Ji.

”Kong-cu lahir di Tiong-goan (Tiongkok), pandanganmu luas dan pengetahuanmu pun banyak, apakah
kau tahu binatang apa namanya?”

Tiong Ji lantas berpaling dan mengawasi Tio Swi.

”Hamba tahu namanya binatang itu!” kata Tio Swi sambil maju di hadapan Raja Couw.

”Binatang itu namanya binatang Bo, dia lahir dari barang logam yang mendapat hawa langit dan bumi,
kepalanya kecil, kakinya pendek, dia suka makan tembaga dan besi, tulangnya padat tidak ada
sumsumnya, keras seperti palu, kulitnya kalau dijadikan kasur, bisa menolak segala hawa jelek.”

”Tetapi bagaimana akalnya untuk menangkap binatng itu?” tanya Raja Couw.
”Kulit dan dagingnya semua berasal dari besi, pasti berbagai alat senjata tidak akan mempan,” sahut Tio
Swi. ”Cuma di tengah lubang hidungnya ada lubang kosong, jika kita menggunakan benda terbuat dari
baja asli untuk menusuk hidungnya, atau kita gunakan api, karena binatang itu takut api pasti dia
binasa.”

Baru saja Tio Swi berhenti bicara, Gui Cun lantas berseru, ”Tidak usah memakai senjata, hamba sanggup
menangkap binatang itu untuk dibawa kemari!”. Sehabis berkata begitu, orang gagah ini segera
melompat turun dari keretanya terus berlari dengan kencang sekali.

Couw Seng-ong tercengang melihat kehebatan Gui Cun ini, dia berkata pada Tiong Ji.

”Mari kita pergi melihatnya.” kata Raja Couw.

Setelah Tiong Ji menyatakan setuju, Raja Couw langsung memerintah kusirnya menjalankan
kendaraannya pergi ke tempat orang banyak yang sedang mengepung binatang itu. Di tempat itu
mereka melihat Gui Cun sudah sampai di depan binatang itu, dia mengangkat kepalannya menjotos
sampai beberapa kali, tetapi binatang itu sedikit pun tidak merasa sakit, malah dia mengeluarkan suara
seperti kerbau, segera dia menerjang dan berdiri, dengan lidahnya sekali jilat pinggang Gui Cun, ikat
pinggangnya yang terbuat dari kuningan telah hilang sepotong.

”Meski pertandingan itu sangat berbahaya, tetapi sedikit pun Gui Cun tidak merasa takut, malah dengan
sangat marah dia berkata, ”Hei, kau jangan kurang ajar!” Sambil berkata begitu Gui Cun melompat
hingga terpisah dari tanah kira-kira lima kaki tingginya.

Binatang itu langsung terguling di tanah, lalu melompat dan menunggangi bagian belakang binatang itu,
sedang tangannya langsung memeluk leher binatang itu sekencang-kencangnya.

Binatang itu berjingkrak dan berontak, tetapi Gui Cun mengikutinya saja, meski dia dilemparkan ke atas
atau dibanting ke tanah, dia peluk terus leher binatang itu tidak mau dia lepaskan.

Sesudah bergulat lama, tenaga binatang itu perlahan-lahan jadi berkurang.

Melihat demikian Gui Cun lantas kencangkan sikutnya, mencekik leher binatang itu semakin keras.
Binatang itu karena susah bernapas, dan memang tenaganya sudah habis, diam saja tidak bisa berkutik.

Gui Cun melompat turun, dengan tangannya yang seperti tulang besi urat kawat lalu memegang hidung
binatang yang mirip belalai gajah itu, terus dia tuntun seperti orang menuntun anjing atau kambing
dibawa menghadap ke hadapan Raja Couw dan Tiong Ji. Tio Swi memerintahkan laskar perang
mengambil api untuk memanggang hidung binatang itu.

Begitu hawa api menembus ke hidungnya, binatang itu langsung jadi lemas dan jatuh tengkurup. Gui
Cun baru melepaskan tangannya, kemudian mencabut pedang yang tergantung di pinggangnya mau
membacok binatang itu. Tetapi bacokan itu seperti orang membacok besi saja, melainkan memancarkan
percikan api saja, sedang bulu binatang itu tidak rusak sedikit pun.
”Jika mau membunuh binatang ini dan mengambil kulitnya, harus memakai api, kurung dan panggang
dia,” kata Tio Swi.

Raja Couw menurut omongan Tio Swi, lalu memerintahkan tentaranya berbuat begitu.

Setelah dari empat penjuru berhasil dipanggang dengan api, binatang yang kulit dan dagingnya seperti
besi itu perlahan-lahan jadi lunak, hingga dapat dikuliti dengan gampang.

Melihat begitu Couw Seng-ong kagum sekali, dia bersyukur pada Tiong Ji yang punya pengikut begitu
tangkas, di bagian sipil pembantunya begitu pintar, dan di bagian militernya begitu gagah. Waktu
berburu itu dihentikan, Raja Couw mengajak Tiong Ji pulang ke istananya, di sana diadakan pesta besar.

”Jika Kong-cu bisa pulang ke negeri Chin, bagaimana kau akan membalas kebaikanku?” kata Raja Couw
Seng-ong pada Tiong Ji.

”Perempuan cantik, batu mustika dan kain sutera, ini semua di sini masih sangat banyak,” sahut Tiong Ji.
”Bulu burung dan kulit binatang memang keluar dari tanah Couw, sesungguhnya aku pun bingung tidak
tahu dengan apa aku membalas kebaikan Tuanku.”

”Sekalipun demikian, pasti kau bisa membalas kebaikanku, coba aku ingin dengar,” kata Raja Couw
sambil tertawa.

”Seperti kubilang, aku tidak tahu bagaimana nanti membalas kebaikan Tuanku, sebab segala macam
barang yang berharga, Tuanku sudah memilikinya. Cuma seandainya aku bisa mendapatkan kembali
negeri Chin, kami bersahabat baik demi kesejahteraan rakyat. Jika Tuanku mengerahkan angkatan
perang, aku akan memberi hormat dengan mudur sejauh 90 li sebagai penghormatan.”

Sesudah itu perjamuan ditutup dan Tiong Ji pulang ke gedungnya. Seng Tek Sin marah-marah dan
langsung berkata kepada Raja Couw Seng-ong. ”Tuanku telah berlaku begitu baik pada Chin Kong-cu,
tetapi sekarang dia telah mengeluarkan perkataan yang tidak pantas, jelas di kemudian hari jika dia
sudah pulang ke negeri Chin, niscaya dia akan melupakan budi Tuanku. Karena itu harus diberi pelajaran
atas kesombongannya, yaitu hamba mohon izin akan membunuhnya.” kata Seng Tek Sin.

”Jangan, kita tidak pantas bertindak begitu,” kata Raja Couw yang tidak setuju. ”Chin Kong-cu seorang
yang budiman, sedang pengikutnya semua seperti alat negara yang baik, jelas seperti dibantu oleh Allah,
maka bagaimana kita berani melawan pada Allah?”

”Jika Tuanku tidak mau membunuh Tiong Ji, lebih baiklah kita tahan saja Ho Yan, Tio Swi dan beberapa
kawannnya. Ini untuk membuat agar macan tambah sayap.”

”Menahan mereka itu tidak baik, malah akan membuat orang jadi benci pada kita. Sekarang aku sedang
memberikan kebajikan pada Chin Kong-cu, kalau demi kebajikan lalu diganti dengan kebencian, ini
bukan cara yang bagus.”
Melihat rajanya berpegang keras kebijakannya, Seng Tek Sin tidak bisa membujuk lagi, melainkan
menarik napas panjang pendek. Begitulah seterusnya Couw Seng-ong bersikap baik sekali pada Kong-cu
Tiong Ji.

***

Pada tahun Ciu Siang-ong ke-15, Chin Hui-kong jatuh sakit. Sakitnya Chin Hui-kong cukup berat.
Putranya, yaitu Pangeran Gi sudah lama berada negeri Cin sebagai jaminan, di sana dia sudah dinikahkan
pada anak perempuan Raja Cin Bok-kong yang disebut Chin Hoay-ong.

Ibu Pangeran Gi putri raja negeri Liang. Raja Liang sangat kejam pada rakyat negerinya, setiap hari
dipaksa bekerja berat, karena itu semua rakyat negrinya jadi sangat mendongkol, hingga bukan sedikit
yang pindah ke negeri Cin, supaya luput dari siksaan yang keji.

Raja Cin Bok-kong menggunakan waktu yang baik itu, lalu memerintahkan Pek Li He menggerakkan
angkatan perang melabrak negeri Liang. Dalam peperangan itu Raja Liang terbunuh oleh rakyat
negerinya, yang semuanya tunduk kepada Raja Cin.

Tatkala Pangeran Gi mengetahui negeri Liang telah dimusnahkan dan kakek-luarnya telah binasa, dia
jadi sakit hati pada Raja Cin.

”Dia juga mendapat kabar ayahnya, Raja Chin Hui-kong, sakit parah, dia berpikir jika dia ditahan
selamanya di negeri Cin, esok lusa jika ayahnya menutup mata, maka akan ada lain pangeran yang
merebut tahtanya. Karena dia ingin sekali menjadi raja, maka Pangeran Gi pun dengan tidak permisi lagi
pada Raja Cin lalu kabur ke negaranya.

Setelah Raja Cin Bok-kong mengetahui Pangeran Gi sudah kabur, dia marah sekali, lalu dia berkata pada
semua menterinya.

”I Gouw, ayah dan anak semuanya telah mengkhianatiku, aku harus membalas kejahatannya. Ah,
sesungguhnya aku menyesal dulu tidak mengambil Tiong Ji untuk dijadikan raja di negeri Chin.”

Semua pembesar pun marah oleh sikap kurangajar dari pangeran Gi itu. Raja Cin Bok-kong lalu mencari
tahu keberadaan Pangeran Tiong Ji. Setelah tahu Tiong Ji ada di negeri Couw, sudah beberapa bulan
lamanya, Raja Cin Bok-kong memerintahkan Pangeran Ci dengan membawa bingkisan pergi ke negeri
Couw.

Kong-sun Ci menyampaikan bingkisan itu pada Raja Couw, serta berkata bahwa dia diperintah
menyambut Pangeran Tiong Ji untuk diajak ke negeri Cin, karena hendak diantarkan pulang ke
negerinya.

Mendengar berita itu Pangeran Tiong Ji girang sekali, tetapi dia sengaja berpura-pura berkata pada Raja
Couw, ”Daripada pergi ke negeri Cin, aku rasa lebih baik aku menunggu saja Tuanku punya
pertolongan.”
”Couw dan Chin terpisah jauh,” jawab Couw Seng-ong, ”apabila Kong-cu hendak ingin masuk ke negeri
Chin, pasti harus melewati beberapa negeri lagi. Sedang Raja Cin dengan Raja Chin batas negaranya
bersambung, jika berangkat pagi, baru sorenya sampai, apalagi Raja Cin kabarnya pintar dan berbudi,
ditambah dia sangat benci pada Raja Chin. Ini boleh dibilang Allah telah membuka jalan buat
kebaikanmu, maka haraplah Kong-cu segera berangkat.”

Tiong Ji menghaturkan terima kasih dan menyatakan setuju dengan pendapat Raja Couw.

Raja Couw Seng-ong menghadiahi Pangeran Tiong Ji emas, kain sutera, kuda, kereta dan lain-lain barang
berharga. Sesudah pamitan pada Raja Couw, Pangeran Chin alias Tiong Ji dan pengikutnya ikut dengan
Kong-sun Ci berangkat.

Beberapa bulan berselang barulah mereka sampai di perbatasan negeri Cin. Meskipun di dalam
perjalanan telah melewati beberapa negeri, tetapi lantaran Tiong Ji diantar oleh Kong-sun Ci dan
pasukan perang Cin, maka dalam perjalanan itu tidak kurang satu apa pun.

Tatkala Cin Bok-kong terima kabar Tiong Ji sudah sampai di negrinya, parasnya kelihatan sangat girang,
ia sendiri ajak menteri-menterinya pergi ke luar kota untuk menyambut Tiong Ji dan mengajak masuk ke
dalam kota. Cin Hu-jin Bok-ki juga cinta Tiong Ji dan benci Si-cu Gi, lalu bujuk Cin Bok-kong supaya
serahkan Hoay-eng pada Tiong Ji buat teruskan perhubungan famili. Bok-kong setuju dengan pikiran itu,
segera menyuruh Kong-sun Ci menyampaikan itu kepada Tiong Ji.

Oleh karena Tiong Ji pikir, Si-cu Gi dengan ia pernah paman dan cucu, sedang Hoay-eng sendiri juga
terhitung ia punya cucu perempuan, apabila ia terima untuk dinikahi, ia khawatir ada melanggar
kesopanan, maka ia berniat hendak menolak. Tetapi Tio Swi mencegah seraya berkata: ”Hamba dengar
Hoay-eng cantik dan pintar, raja Cin dan permaisurinya sangat sayang padanya. Jika tidak terima
putrinya Cin, jadi tidak ada jalan buat menggirangkan Cin. Hamba mendengar, kalau orang hendak cinta
kita, lebih dulu kita harus cinta orang, begitupun jika orang hendak turut kita punya keinginan, lebih dulu
kita harus turut orang punya kehendak. Tegasnya manakala tidak bikin senang Cin dan hendak pakai Cin
punya tenaga, tentu tidak boleh terima. Dari itu, menurut pikiran hamba, sebaiknya Kong-cu jangan
menolak.”

Tiong Ji masih merasa sangsi, lalu menanya bagaimana pikiran Ho Yan.

”Sekarang Kong-cu hendak masuk di negeri Chin,” berkata Ho Yan, ”apakah Kong-cu mau tunduk kepada
Si-cu Gi atau ingin gantikan ia menjadi raja?”

Tiong Ji diam saja tidak menyahut.

”Negri Chin punya kendali pemerintah akan dipegang oleh Gi,” kata Ho Yan ketika melihat Tiong Ji diam
saja. ”Jika Kong-cu hendak takluk pada Gi, maka Hoay-eng jadi pernah ibu-suri. Akan tetapi kalau mau
gantikan Gi jadi raja, maka putrinya raja Cin itu jadi terhitung musuhnya bekas istri. Demikianlah hamba
punya pikiran, Kong-cu boleh ambil putusan sendiri.”
”Justru Kong-cu mau rebut ia punya negeri, kenapa musti ia punya istri?” kata Tio Swi, menyambung
bicara Ho Yan. ”Tegasnya, kalau mau jalankan urusan besar dan takut langgar pada peraturan kecil, di
kemudian hari nanti mau menyesal sudah jadi kasep.”

Kiu Kui dan yang lain-lain juga turut bantu membujuk.

Melihat menteri-menterinya semua kasih pikiran yang serupa, Tiong Ji lantas ambil putusan terima baik
itu persetujuan. Kong-sun Ci segera balik kembali memberi berita kepada Bok-kong, bahwa Tiong Ji
bersedia terima pernikahan itu. Ini kabar membuat Bok-kong girang sekali, lalu kasih tahu pada Bok-ki,
yang juga jadi sangat senang.

Ketika sampai pada hari yang ditetapkan itu, pernikahan pun dirayakan, Tiong Ji sambut Hoay-eng dan
mengajak pulang ke gedung tempat tinggalnya. Hoay-eng punya paras lebih elok dari Ce-kiang,
sementara empat perempuan yang jadi pengantarnya juga berparas cantik, hingga membuat Tiong Ji
bukan main girangnya. Lantaran ini, cinta Cin Bok-kong kepada Tiong Ji semakin kekal, hingga setiap tiga
hari dibikin satu pesta kecil dan lima hari bikin satu pesta besar.

Sekarang biarlah kita tinggalkan dulu pada Tiong Ji, baiklah kita menyusul pula pada Si-cu Gi yang telah
minggat pulang ke negerinya. Pulangnya Si-cu Gi membuat Chin Hui-kong jadi girang sekali, lalu ia
berkata pada anaknya itu: ”Aku menanggung sakit sudah lama, memang aku sedang jengkel tidak ada
putraku untuk menerima warisan, sekarang engkau bisa terlepas dari kurungan musuh dan bisa pulang
kembali ke negri sendiri, inilah yang membuat hatiku senang.”

Si-cu Gi minta ayahnya jangan buat jengkel, dan juga ia harap biarlah itu penyakit bisa lekas sembuh.

Pada musim Ciu bulan Kauw-gwe, Chin Hui-kong rasakan penyakitnya bakal membawanya ke lubang
kubur, lalu ia tinggalkan pesanan pada Lu I seng dan Kiok Peng, supaya nanti membela Si-cu Gi dengan
segenap hati.

Pada malam itu benar saja Chin Hui-kong menghembuskan napasnya yang penghabisan.

Mendengar kabar itu Pangeran Gi dan menterinya menyatakan berduka cita. Kemudian sesudah
mengurus jenazah dan selesai berkabung, Pangeran Gi segera menjadi raja, yang memakai gelar Chin
Hoay-kong.

Karena Chin Hoay-kong khawatir Pangeran Tiong Ji mengadakan pemberontakan, dia ingin menarik
semua pengikut Pangeran Tiong Ji, jika tidak punya pembantu pasti Tiong Ji tidak bisa bergerak. Maka
dia langsung mengeluarkan perintahnya, dalam tiga hari sejak saat itu diumumkan, setiap pembesar
yang masih famili pada menteri-menteri yang yang ikut dengan Pangeran Tiong Ji harus segera dipanggil
pulang. Jika yang tidak pulang atau terlambat maka daftar namanya akan dihapus jabatannnya,
ditiadakan. Bahkan sanak familinya pun akan dihukum sesuai aturan.

Lo-kok-kiu Ho Tut mempunyai dua orang putera, yaitu Ho Mo dan Ho Yan, semua ikut dengan Pangeran
Tiong Ji dan tinggal di negeri Cin. Dengan diam-diam Kiok Peng membujuk Ho Tut supaya menulis surat
memanggil kedua putranya itu pulang. Tapi Ho Tut berkeras tidak mau menurut. Lantaran bujukannya
tidak berhasil, Kiok Peng mengadu pada Raja Chin Hoay-kong, bahwa Ho Tut bermaksud buruk, karena
dia tidak mau memanggil dua orang putranya kembali dari negeri Cin.

Raja Chin Hoay-kong segera memerintahkan orang memanggil Ho Tut. Setelah Ho Tut datang
menghadap, Chin Hoay-kong mengajukan pertanyaan.

”Ho Mo dan Ho Yan ada di luar negeri, apa Lo-kok-kiu sudah mengirim surat untuk memanggil mereka
pulang?” kata Raja Chin.

”Belum,” sahut Ho Tut.

”Aku telah mengeluarkan perintah, barang siapa yang lewat waktu masih belum pulang, maka orang itu
dianggap berdosa. Bahkan keluarganya pun ikut tersangkut, apa kau sudah tahu hal itu?”

”Kedua putra hamba sudah diserahkan kepada Kong-cu Tiong Ji, itu bukan baru sehari. Menurut
kewajiban orang yang menjadi hamba harus membela dengan setia pada junjungannya sampai mati.
Mereka tidak boleh berhamba pada orang lain lagi. Tegasnya kedua putra dan kesetiaannya kepada
Kong-cu Tiong Ji, seperti semua pembesar di istana ini kepada Tuanku. Seandainya mereka sendiri yang
kabur dan datang kemari, akulah yang akan menghukum mereka! Mereka akan aku bunuh di negeri
leluhur kaum Ho, maka bagaimana aku mau disuruh memanggil mereka pulang?”

Jawaban Ho Tut membuat Raja Chin Hoay-kong marah sekali, lalu memerintahkan dua orang algojo
dengan golok yang tajam memenggal kepala Ho Tut.

”Jika kau bisa memanggil putramu pulang, jiwamu selamat dari kematian. Kalau tidak, kau tahu sendiri!”
ancam Chin Hoay-kong.

Kemudian dia perintahkan orangnya mengambil alat tulis yang ditaruh di hadapan Ho Tut. Kiok Peng
memegangi tangan Ho Tut dan dia dipaksa menulis surat.

”Jangan pegangi tanganku, aku akan menulis sendiri!” bentak Ho Tut, lalu dia mengambil pena dan
menulis delapan buah huruf besar, kata-katanya demikian bunyinya:

”Anak tidak dua ayah, menteri tidak dua raja.” Melihat tulisan itu, bukan alang kepalang marahnya Raja
Chin Hoay-kong, sambil berjingkrak dan memukul meja dia berseru, ”Oh, sesungguhnya kau tidak takut
padaku!”

”Jadi anak tidak berbakti dan jadi menteri tidak setia, itu hamba takutkan,” jawab Ho Tut dengan suara
tetap. ”Pendeknya mati dalam perkara yang patut, itu hamba pandang seperti perkara yang lumrah,
kenapa hamba harus takut?”

Sehabis berkata begitu pembesar tua dan jujur itu memasang lehernya untuk menerima hukuman. Raja
Chin Hoay-kong tidak bisa menahan sabar lagi, segera dia memerintahkan algojo memenggal leher Ho
Tut di tengah pasar.
Di antara budak-budak keluarga Ho segera ada yang melarikan diri ke negeri Cin untuk memberitahukan
kabar celaka itu pada kedua Ho bersaudara.

Setelah Ho Mo dan Ho Yan mengetahui ayahnya telah dianiaya oleh Raja Chin Hoay-kong, alangkah
terharu dan penasarannya mereka, sambil memukuli dada, mereka pun menangis sedih sekali. Tio Swi,
Kiu Kui dan yang lain-lain semua datang menghibur.

”Orang yang sudah mati pasti tidak bisa hidup kembali, terlalu banyak sedih pun tidak ada gunanya,”
kata Tio Swi menghibur lebih jauh. ”Mari kita bersama-sama menemui Kong-cu Tiong Ji untuk berunding
mengenai urusan besar ini.”

Ho Mo dan Ho Yan baru berhenti menangis, bersama Tio Swi dan yang lain-lainnya mereka pergi
menemui Pangeran Tiong Ji. Dua saudara Ho lalu menceritakan apa yang terjadi di negeri Chin, dan
sehabis bercerita kembali mereka berdua menangis dengan sedih.

”Jangan menangis, tunggu sampai aku sudah kembali, sakit hati kalian akan kubalas!” kata pangeran
Tiong Ji.

Pangeran Tiong Ji naik kereta pergi menemui Raja Cin Bok-kong, dia ceritakan apa yang telah terjadi di
negeri Chin.

”Ini seperti Allah telah membuka jalan bagimu untuk mendapatkan negeri Chin,” kata Raja Cin Bok-kong.
”Aku akan antarkan kau ke negerimu!”

Tiong Ji menghaturkan terima kasih, lalu pamit kembali ke gedungnya.

Ia pulang belum berapa lama, pengawal pintu datang melapor. ”Ada orang dari negeri Chin datang
minta bertemu, katanya membawa kabar rahasia.” kata pengawal itu.

Tiong Ji segera menyuruh pengawal supaya orang itu diajak masuk.

Setelah orang itu memberi hormat pada Tiong Ji, lalu dia memperkenalkan diri sambil berkata, ”Hamba
putra Chin Tay-hu Loan Ci yang bernama Loan Tun. Raja Chin yang baru kejam dan kasar hingga rakyat
benci. Semua pembesar tidak suka kepadanya. Maka Ayah hamba memerintahkan hamba secara rahasia
mengantarkan kabar ini pada Kong-cu.”

Mendengar keterangan dari Loan Tun, wajah Tiong Ji kelihatan girang.

”Kepercayaan Raja baru ada dua orang, mereka itu, Lu I Seng dan Kiok Peng berdua,” kata Loan Tun
menyambung pembicaraannya, ”pejabat lama seperti Kiok Pouw Yang, Han Kan dan yang lain-lain,
semua tidak terpakai, maka mereka berdua jangan dikhawatirkan. Ayah hamba sudah membuat
perjanjian dengan Kiok Cin, Ciu Ci Kauw juga yang lainnya, dengan diam-diam telah mengumpulkan
tentara, mereka menunggu sampai Kong-cu menyerang dari luar, mereka akan segera menyambut dari
dalam.”
Tiong Ji girang sekali, dia lantas menetapkan perjanjian, pada awal tahun yang akan datang dia hendak
menyerang ke negeri Chin. Loan Tun lalu pamitan dan kembali ke negeri Chin.

Esok harinya…….

Pangeran Tiong Ji menemui Raja Cin Bok-kong memberi tahu pembicaraannya dengan Loan Tun. Kabar
ini membuat Raja Cin Bok-kong jadi senang sekali, lalu dia tetapkan pada musim Tang bulan Cap-ji-gwe
(sebelas Imlek), dia akan menggerakan pasukan perangnya ke negeri Chin. Panglima Pi Pa mendengar
kabar bahwa Raja Cin Bok-kong hendak mengantarkan Tiong Ji, dia memohon ingin menjadi Sian-hong
(Panglima Pasukan Pelopor), permohonan itu diluluskan oleh Raja Cin.

Tiga hari sebelum sampai pada hari yang ditetapkan, Raja Cin Bok-kong mengadakan pesta di gunung
Kiu-liong-san untuk mengucapkan selamat jalan pada Kong-cu Tiong Ji. Kemudian Raja Cin yang baik
budi itu memberi hadiah pada Tiong Ji sepuluh pasang batu mustika, empat ratus ekor kuda, dan rupa-
rupa berbagai keperluan, ransum dan rumput secukupnya. Sedang Tio Swi dan kawan-kawannya yang
berjumlah sembilan orang, juga masing-masing diberi sepasang batu mustika dan empat ekor kuda.

Tiong Ji dan menteri-menterinya memberi hormat serta mengucapkan terima kasih. Setelah sampai
pada hari yang telah ditetapkan, Raja Cin Bok-kong mengajak Pek Li Hee, Yu I, Pangeran Ci dan Kong-sun
Ci memerintahkan Pi Pa (anaknya Pi The Hu) menjadi Siang-hong, memimpin empat ratus kereta perang,
segera berangkat dari kota Yong-ciu untuk mengantarkan Kong-cu Tiong Ji pulang ke negeri Chin.

Pangeran Eng (anak Raja Cin Bok-kong) bersahabat baik dengan Pangeran Tiong Ji, mereka merasa berat
sekali untuk berpisah, lalu dia antarkan sahabatnya itu sampai di Wi-yang, di sana satu sama lain sambil
menangis terpaksa harus berpisah.

Pada tahun Ciu Siang-ong ke-16, atau tahun pertama pemerintahan Raja Chin Hoay-kong, pada musim
Cun bulan Chia-gwe (bulan satu) waktu Raja Cin Bok-kong dan Kong-cu Tiong Ji telah berjalan sampai di
tepi sungai Hong-ho.

Di situ sudah tersedia perahu cukup banyak untuk orang-orang menyeberang.

Sekali lagi Raja Cin Bok-kong mengadakan pesta untuk mengucapkan selamat jalan kepada Tiong Ji.
Kemudian baru dia bagi sebagian tentaranya. Dia perintahkan Pangeran Ci dan Pi Pa memimpin pasukan
perang untuk mengantarkan Tiong Ji menyeberang di sungai, sedang Raja Cin sendiri lalu menempatkan
tentaranya di pinggir sungai sebelah barat, untuk menunggu kabar baik.

Sesudah Pangeran Tiong Ji dengan pengantarnya menyeberangi sungai Hong-ho, Tiong Ji yang diiringkan
oleh pasukan perang Cin lalu berjalan menuju ke jurusan timur, terus sampai di kota Leng-ho.

Pembesar yang menjaga di tempat itu bernama Teng Hun, segera dia menyiapkan tentaranya hendak
menghadang kedatangan musuh ini. Balatentara Cin lantas mengepung kota itu. Pi Pa maju dan
menyerbu. Dia naik ke atas kota, perbuatan Pi Pa segera ditiru oleh anak buahnya. Maka dalam
pertempuran yang hebat, kota pun akhirnya jatuh ke tangan tentara Cin.
Sesudah itu Tiong Ji bersama angkatan perang Cin maju terus, ketika sampai di kota Song-coan dan kota
Pek-swe, semua pembesarnya keluar menyerah. Tatkala juru kaba memberitahukan kabar ini, Raja Chin
Hoay-kong kaget sekali, lalu dia mengeluarkan seluruh kereta perang dan tentaranya yang ada dalam
negeri, memerintahkan Lu I Seng dan Kiok Peng memimpin pasukan perang, dan berjaga-jaga di Li-liu
untuk menahan majunya tentara Cin.

Tetapi dua panglima yang dengki hati ini merasa jerih pada pasukan Cin yang tangguh itu, mereka tidak
berani maju hanya berjaga saja di dalam kota. Pangeran Ci sebagai wakilnya Raja Cin Bok-kong lalu
menulis surat pada dua pembesar itu, dalam suratnya dikatakan kejahatan Chin Hui-kong dan Chin
Hoay-kong, karena mereka berdua telah berkhianat pada ayahnya Raja Cin Bok-kong, sekarang Raja Cin
Bok-kong hendak mengantarkan Pangeran Tiong Ji untuk menggantikan jadi raja, dia minta agar kedua
pembesar itu membantu dari bagian dalam untuk menyambut Pangeram Tiong Ji, dengan demikian dosa
mereka akan diampuni dan kemuliaan pangkatnya tidak akan hilang.

Lu I Seng dan Kiok Peng sesudah menerima surat itu jadi sangsi, hendak melawan perang mereka
khawatir tidak akan menang, mau menyerah mereka takut Tiong Ji masih ingat peristiwa meninggalnya
Li Kek dan Pi The Hu. Akhirnya sesudah berunding cukup lama juga, baru mereka bisa mengambil
keputusan, yaitu menulis surat balasan pada Pangeran Ci, mereka mau menyerah, asalkan Pangeran
Tiong Ji tidak mengungkap dosa lama mereka.

”Setelah Kong-cu Ci membaca surat balasan itu, Pangeran Ci mengerti bahwa kedua dorna itu sangsi,
maka dengan hanya seorang diri Pangeran Ci naik kereta pergi di Li-liu untuk menemui kedua pembesar
itu.

Lu I Seng dan Kiok Peng dengan sangat girang mereka keluar menyambut, sesudah menpersilakan
tamunya duduk, mereka menerangkan rahasia hatinya, yaitu bukan mereka tidak mau menyerah,
sebenarnya mereka takut pada Kong-cu Tiong Ji tidak bersedia memakai mereka, maka mereka ingin
mendapat perjanjian yang pasti.

”Jika Tay-hu suka mengundurkan tentara ke jurusan barat-daya,” kata Kong-cu Ci, ”atas jasa Tay-hu ini
akan kusampaikan pada Kong-cu Tiong Ji, pasti dia akan membuat perjanjian yang Tay-hu inginkan itu.”

Dua pembesar itu menyatakan baik. Setelah Kong-cu Ci pulang, segera mereka berdua menarik mundur
tentaranya ke kota Sun-shia. Tatkala Kong-cu Ci memberi tahu hal ini, Pangeran Tiong Ji memerintahkan
Ho Yan ikut Kong-cu Ci pergi di kota Sun-shia untuk berunding dengan Lu I Seng dan Kiok Peng. Di sini
mereka berunding dan bersumpah dengan cara minum darah dan berjanji akan mendukung Pangeran
Tiong Ji menjadi Raja Chin yang baru.

Sesudah perjanjian itu dibuat, Lu I Seng dan Kiok Peng lalu mengutus orangnya ikut Ho Yan pergi di Pek-
swe, untuk menyambut Pangeran Tiong Ji datang ke kota Sun-shia untuk memimpin pasukan besar
menyerang ke negeri Chin.

Dikisahkan Raja Chin Hoay-kong, karena sudah lama tidak menerima laporan apa-apa dari Lu I Seng dan
Kiok Peng, hatinya jadi merasa khawatir, lalu memerintahkan Put Te pergi memberi bantuan. Put Te
baru berjalan setengah jalan dia mendapat kabar bahwa Lu I Seng dan Kiok Peng telah mengundurkan
tentaranya ke kota Sun-shia, mereka sudah berdamai dan menyerah dan bergabung dengan Ho Yan dan
Kong-cu Ci akan berontak melawan Raja Chin Hoay-kong. Buru-buru dia pulang dan memberitahukan hal
ini pada Raja Chin Hoay-kong.

Bukan main kagetnya Chin Hoay-kong, buru-buru dia perintahkan orang memanggil Kiok Pouw Yang,
Han Kan, Loan Ci, Su Hwe dan yang lain-lain, karena dia hendak mengajak mereka berunding mencari
cara untuk menghadapi serangan dari Pangeran Tiong Ji. Tetapi semua pembesar yang diundang dengan
alasan sakit dan alasan lainnya tidak ada yang mau datang, Karena mereka pun sudah sepakat akan
melawan pada Raja Chin.

Melihat keadaan yang berbahaya Chin Hoay-kong jadi putus asa, dia menarik napas dan meratap.
”Mengapa para pembesar itu tidak mau datang?” kata Raja Chin.

”Hamba dengar semua pembesar sudah mengadakan persekutuan rahasia, mereka bersama-sama
hendak menyambut raja baru, maka Cu-kong tidak boleh tinggal lebih lama lagi di sini,” kata Put Te.
”Sekarang hamba mohon menjadi kusir kereta, hamba hendak mengajak Cu-kong pergi menyingkir ke
Ko-liang untuk sementara waktu, di sana nanti boleh berikhtiar lagi bagaimana baiknya.”

Raja Chin Hoay-kong yang sudah putus asa, lalu menurut saja pada usul anak buahnya itu, dia ikut Put Te
pergi lari ke Ko-liang. Ketika Pangeran Tiong Ji sampai di perkemahan tentara besar, Lu I Seng dan Kiok
Peng memberi hormat pada Tiong Ji dan mohon diampuni dosanya. Sedang Tiong Ji dengan perkataan
lemah lembut menghibur pada kedua menteri durjana itu.

Tio Swi, Kiu Kui dan yang lain-lain juga menemui Lu I Seng dan Kiok Peng, mereka saling memberi
hormat dan mencoba menghilangkan dendam mereka. Lu I Seng dan Kiok Peng sangat girang, lalu
mengajak Pangeran Tiong Ji masuk ke dalam kota Kiok-ak untuk sembayang di kelenteng raja Chin
almarhum. Para pembesar lama pun menyambut kedatangan Pangeran Tiong Ji, terutama para bekas
pengikut Raja Chin Hui-kong almarhum.

Tidak lama Kong-cu Tiong Ji naik tahta kerajaan, yang memakai gelar Chin Bun-kong.

Terhitung sejak berumur 43 tahun dia lari ke negeri Ek, umur 55 tahun tinggal di negeri Cee, umur 61
tahun tinggal di negeri Cin, dan sampai kembali di negerinya menjadi raja, usianya sudah 62 tahun.

Sesudah Chin Bun-kong pegang kendali pemerintah di negeri Chin, lalu ia perintahkan orang pergi ke Ko-
liang untuk membunuh Chin Hoay-kong. Chin Hoay-kong yang baru memerintah enam bulan lamanya,
dia terbunuh.

Panglima Put Te merawat dan mengurus jenazah Chin Hoay-kong, kemudian dia kembali ke negeri Chin.
Raja Chin Bun-kong mengadakan pesta besar untuk menghormati para panglima Cin, yaitu Kong-cu Ci
dan yang lain-lain, juga dia tidak lupa memberi hadiah pada tamu dan tentara Cin yang telah membantu
merebut kerajaannya. Di antara panglima Cin adalah Pi Pa yang berlutut di hadapan Raja Chin Bun-kong
sambil menangis, dia memohon pada Chin Bun-kong supaya kuburan ayahnya, Pi The Hu, diperbaiki.
Dengan senang Raja Chin Bun-kong meluluskan permintaan itu.
Kemudian Raja Chin Bun-kong hendak menahan Pi Pa supaya bekerja kembali di negeri Chin, tetapi Pi Pa
menolak, dia berkata, ”Karena hamba sudah mengabdikan diri pada Raja Cin, maka hamba tidak berani
berhamba pada dua orang raja.”

Sesudah pamitan, Pi Pa ikut Kong-cu Ci kembali ke sungai Hong-ho, di sana mereka memberi kabar pada
Raja Cin Bok-kong, bahwa pekerjaan mereka sudah berjalan dengan baik dan berhasil bagus.

Laporan itu membuat Raja Cin Bok-kong senang sekali, lalu dia menarik mundur tentaranya pulang
kembali ke negerinya.

Lu I Seng dan Kiok Peng, sebetulnya menyerah karena terpaksa saja, sebab mereka takut pada pengaruh
pasukan perang Cin. Sekarang sesudah Raja Chin Bun-kong memerintah, hati mereka selalu curiga,
begitu pun jika bertemu dengan Tio Swi, Kiu Kui dan yang lain-lain, tidak urung mereka merasa jengah
pada dirinya sendiri, meski pun orang tidak menghina atau mengejek atau menyindir mereka. Ditambah
lagi sejak Chin Bun-kong menjadi raja beberapa hari lamanya, beliau belum memberi hadiah maupun
pangkat pada mereka, hal ini makin membuat mereka gelisah dan curiga saja bahkan terhadap yang
berjasa mau pun berdosa belum dilakukannya. Maka itu kedua dorna ini berniat mengacau dan hendak
membakar istana serta membunuh Chin Bun-kong.

Meski pun niat mereka telah bulat, tetapi kedua durjana ini masih berpikir-pikir, di istana tidak ada
pejabat yang bisa dijadikan andalan yang bisa mendukung gerakan mereka. Hanya Put Te seorang yang
menjadi musuh Chin Bun-kong. Sekarang Raja Chin Bun-kong sudah sangat berpengaruh, pasti Put Te
pun takut dihukum, maka mereka pikir Put Te boleh diajak bekerja sama.

Segera mereka memanggil Put Te, mereka menceritakan maksud hati mereka. Put Te girang sekali dan
menerima perintah untuk menjalankan perbuatan khianat itu. Tiga orang dengan minum darah
menetapkan perjanjian, dalam bulan Ji-gwe saat rembulan sedang gelap, tengah malam nanti secara
bersama mereka akan menerbitkan huru-hara. Lu I Seng dan Kiok Peng masing-masing pergi ke tanah
miliknya, dengan diam-diam mengumpulkan orang untuk dijadikan tentara mereka.

Tetapi tidak disangka Put Te cuma mulutnya saja menyatakan setuju, sedang dalam hatinya berlainan.
Put Te berpikir sekarang Hui-kong dan Hoai-kong yang dia anggap seperti junjungan yang sejati,
semuanya sudah meninggal dunia, sedang Raja Chin Bun-kong seorang raja yang budiman dan menteri-
menterinya semua pintar dan gagah, jika dia melakukan perbuatan khianat, bukan saja dia bakal celaka,
lagi pula bisa membuat negeri Chin jadi kacau kembali.

Tetapi dia tidak berani langsung menemui Raja Chin Bun-kong untuk memberi tahu tentang rencana Lu I
Seng dan Kiok Peng tersebut. Dia sadar dia berdosa dan bekas pengikut Raja Chin yang digulingkan.
Bahkan jatuhnya Raja Chin itu pun atas prakarsa Lu I Seng dan Kiok Peng yang berkhianat. Maka diam
diam pada tengah malam dia pergi menemui Ho Yan dulu.

Melihat kedatangan Put Te yang luar biasa, Ho Yan terkejut, lalu bertanya apa maksudnya. Put Te tidak
bersedia memberi penjelasan, dia hanya minta diantarkan menemui Raja Chin Bun-kong.
Ho Yan mengerti pasti Put Te punya rahasia besar, maka dengan tidak ayal lagi dia ajak Put Te pergi ke
istana. Ketika Ho Yan memberitahukan bahwa Put Te minta berjumpa, Raja Chin Bun-kong marah sekali,
dia lantas mau mengeluarkan perintah untuk menebas kepala Put Te. Tetapi sesudah dicegah oleh Ho
Yan dan dikasih mengerti bahwa Put Te pasti membawa kabar rahasia besar, apa boleh buat Chin Bun-
kong menyabarkan hatinya dan terpaksa mengizinkan Put Te datang menghadap.

Meski pun demikian Raja Chin ini belum hilang kemarahannya, maka ketika Put Te datang bertemu dan
menjalankan kehormatan, dengan sengit Raja Chin menistanya.

”Oh, orang durhaka! Kau tebas bajuku, sampai sekarang baju itu aku masih kusimpan, setiap kali aku
melihatnya, hatiku merasa sangat pedih. Kemudian kembali kau datang ke negeri Ek hendak
menikamku, meski pun Chin Hui-kong memberi waktu tiga hari, tokh esok harinya kau berangkat,
untung Allah masih melindungiku, hingga aku tidak sampai mati di tanganmu. Sekarang aku sudah
menjadi Raja di negeri Chin, bagaimana kau masih punya muka untuk datang menemuiku? Tetapi aku
masih kasihan pada jiwamu, ayo, lekas kau keluar dari negeri Chin, jika ayal kau akan binasa!”

”Ha, ha, ha! Sekalipun Cu-kong sudah mengembara 19 tahun lamanya di luaran, ternyata
pengalamanmu masih cetek.” kata Put Te dengan berani. ”Ayah Tuanku Raja Chin Hian-kong, sedangkan
Raja Chin Hui-kong, adik Tuanku. Coba bayangkan, dalam hal ini telah terjadi ayah memusuhi anaknya
dan adik memusuhi kandanya, apa lagi bagi Put Te yang hanya menjadi menterinya? Tegasnya Put Te
hanya seorang bawahan yang rendah, dia cuma tahu Chin Hian-kong dan Chin Hui-kong, bagaimana aku
harus tunduk pada Tuanku? Dulu Koan Tiong membela Kong-cu Kiu, Koan Tiong telah memanah Raja
Cee Hoan-kong hingga sangketan angkinnya kena terpanah, tetapi akhirnya lantaran Cee Hoan-kong
memakai dia, hingga dia bisa menjagoi di dunia. Maka pertemuan Tuanku dengan hamba saat ini, mirip
dengan kejadian yang dialami Raja Cee dan Koan Tiong. Jika hamba pergi dari sini, maka bahaya besar
akan menimpa Tuanku!”

Mendengar kata-kata Put Te begitu, Raja Chin Bun-kong heran, dia suruh mundur semua budak-
budaknya yang ada di situ, baru dia minta Put Te menerangkan apa maksud ucapannya tadi. Put Te
menceritakan terus terang tentang rencana Lu I Seng dan Kiok Peng hendak mengadakan
pemberontakan.

”Sekarang kedua pengkhianat itu sudah mengatur anak buahnya di dalam kota, sedang mereka telah
pergi mengumpulkan tentara. Karena itu lebih baik Cu-kong jangan buang waktu, malam ini juga harus
menyamar dan bersama Kok-kiu Ho Yan buru-buru keluar kota, untuk minta bantuan Raja Cin Bok-kong
mengerahkan pasukan perangnya, dengan demikian baru pemberontakan bisa dipadamkan. Sedang
hamba akan siaga di dalam kota, untuk membantu membinasakan dua pengkhianat itu dari dalam kota.”
kata Put Te.

”O, masalah ini sangat gawat, mari kita segera bertindak!” kata Ho Yan. ”Urusan di dalam negeri Tuanku
jangan takut, pasti Chu I bisa mengurusnya dengan rapi.”
Raja Chin Bun-kong berpesan Put Te agar dia berhati-hati. Put Te manggut dan pergi. Tidak lama Raja
Chin Bun-kong memanggil budaknya yang paling dipercaya, lalu dipesan bagaimana caranya harus
bekerja. Sesudah itu Raja Chin Bun-kong tidur kembali seperti biasa.

Setelah hampir kira-kira pukul tiga pagi, Chin Bun-kong pura-pura sakit perut, lalu memerintahkan budak
yang dapat dipercaya itu membawa teng (lampion) mengantarkannya ke wc, tetapi sebenarnya dia
keluar dengan menyamar dari pintu belakang, bersama Ho Yan dia naik ke sebuah kereta dan segera
keluar kota.

—ooOOOoo—

Bab 23

Pada esok paginya, budak keraton, yang Chin Bun-kong percayai lantas menyiarkan
kabar, bahwa sang Cu-kong sakit. Orang-orang di dalam keraton hampir semuanya tidak tahu bahwa
Raja Chin sudah pergi mininggalkan istananya. Ketika semua pembesar istana sudah berkumpul semua
di pintu istana, tetapi tidak melihat rajanya hadir dalam persidangan, semua menteri pergi di keraton
akan mencari keterangan apa sebabnya, mereka mendapatkan sepasang daun pintu yang dicat merah
tertutup rapat, sedang di atas pintu tergantung satu pay (papan) pemberitahuan Raja Chin tidak bisa
bersidang di istana. Pengawal pintu memberi keterangan, bahwa sang Cu-kong malam tadi secara
mendadak sakit demam, hingga tidak bisa turun dari pembaringannya, katanya Kalau penyakitnya mulai
sembuh dia akan mulai bersidang lagi pada awal bulan Sha-gwe (bulan tiga).

Tio Swi mengerti pasti ada sesuatu yang terjadi, di dalam kalangan politik, dia sengaja pura-pura
berduka seraya berkata, ”Cu-kong baru duduk di tahta kerajaan, banyak urusannya yang masih belum
beres, tetapi tiba-tiba beliau sakit, seperti pribahasa mengatakan : ”Langit tidak bisa dijajaki, angin dan
awan, di dunia tidak bisa diketahui datangnya bahaya dan rejeki.”

Semua pembesar menganggap perkataan Tio Swi memang ada benarnya, masing-masing ikut berduka
hati dan berjalan pulang. Hanya Lu I Seng dan Kiok Peng yang girang mendengar Raja Chin Bun-kong
sakit dan pada awal bulan Sha-gwe baru mulai bersidang lagi di istana, mereka girang karena
menganggap seperti Allah ingin membantu usaha mereka, saat mereka akan membinasakan Raja Chin
Bun-kong tersebut. Dikisahkan Raja Chin Bun-kong dan Ho Yan yang telah keluar dari perbatasan negeri
Chin, mereka masuk ke negeri Cin, dia langsung memerintahkan orang menyampaikan surat rahasia
pada Raja Cin Bok-kong, dia minta bertemu untuk membicarakan urusan penting di kota Ong-shia.
Setelah Raja Cin Bok-kong mengetahui Raja Chin datang dengan berpakaian menyamar, dia langsung
bisa menerka, pasti di negeri Chin telah timbul huru-hara. Maka dia sengaja menggunakan alasan
hendak keluar berburu, hari itu juga dia perintahkan pasang keretanya, yang langsung berangkat ke
Ong-shia untuk menemui Raja Chin Bun-kong. Raja Chin lantas menceritakan terus terang maksud
kedatangannya.

”Jangan khawatir,” kata Raja Cin Bok-kong. ”Aku yakin Tio Swi bersama kawan-kawannya akan mampu
menumpas para pemberontak itu!”

Meski demikian tidak urung dia perintahkan Kong-sun Ci mengepalai sepasukan angkatan perang
menunggu di mulut sungai, untuk siap sedia menerjang masuk ke negeri Chin, apabila di kota Kang-touw
terbit huru-hara yang mengkhawatirkan. Sementara Raja Chin Bun-kong dipersilakan tinggal di Ong-shia
untuk sementara waktu.

Dikisahkan Put Te, karena khawatir Lu I Seng dan Kiok Peng akan jadi curiga, pada hari sebelum mereka
mengatur pergerakan, dia sengaja bermalam di rumah pengkhianat itu dan pura-pura berunding dan
menyetujui rencana mereka.

Setelah sampai akhir bulan Ji-gwe (bulan dua), pada waktu tengah malam, Put Te, Kiok Peng dan Lu I
Seng masing-masing memimpin pasukannya lalu mengepung istana Raja Chin, dan sesaat kemudian di
pintu istana lantas timbul kebakaran. Ketika itu orang-orang di dalam istana sedang enak tidur dan sadar
dengan kaget hingga lari kalang kabut.

Di tengah lautan api kelihatan banyak sekali tentara sedang menyerang ke timur melabrak ke barat,
sementara mereka menyerang sambil berteriak-teriak.

”Jangan biarkan Tiong Ji lolos!”

Orang-orang yang panik banyak yang terbakar saat lari mereka diserang tentara hingga mereka luka-
luka. Lu I Seng dengan pedang terhunus terus masuk ke kamar tidur mencari Chin Bun-kong, tetapi tidak
menemukannya. Dia bertemu dengan Kiok Peng yang juga memegang pedang dan masuk dari pintu
keraton dari belakang.

”Bagaimana, apa sudah beres?” tanya Kiok Peng. Lu I Seng tidak menyahut, melainkan menggoyangkan
kepalanya saja. Mereka berdua dengan tidak mempedulikan kobaran api lalu mencari pula di sekeliling
tempat.

Sementara itu di sebelah luar terdengar suara ribut sekali. Sesaat kemudian Put Te dengan tergopoh-
gopoh memberi kabar, bahwa kelompok keluarga Ho, Tio, Loan, Gui dan yang lain-lain pembesar telah
menggerakan balatentara datang menolong memadamkan api, maka kalau menunggu sampai langit
terang, dikhawatir mereka akan susah.

”Lebih baik kita menyingkirkan diri dulu, kemudian baru mencari di mana Raja Chin berada, apakan dia
sudah mati atau belum?” kata Put Te. Lu I Seng dan Kiok Peng setuju saran Put Te, lalu memimpin anak
buahnya menyerang keluar dari pintu istana dan terus lari keluar kota. Siang harinya kobaran api baru
bisa dipadamkan, dan baru ketahuan bahwa Lu I Seng dan Kiok Penglah yang menimbulkan huru-hara
kebakaran itu. Semua pembesar terkejut, karena tidak menemukan Raja Chin Bun-kong.

Tetapi tidak lama ada budak istana yang membocorkan rahasia, bahwa Raja Chin tiga hari sebelum
terjadi kebakaran sudah pergi entah ke mana.

”O, kalau masalah ini lebih baik kita tanyakan pada Kok-kiu Ho Yan,” kata Tio Swi. Mereka mencari Ho
Yan tetapi tidak ada cuma ada Ho Mo.

”Beberapa hari di muka adikku masuk ke keraton, sejak saat itu dia tidak pulang lagi,” kata Ho Mo. ”Aku
kira Raja Chin dan menterinya sudah mengetahui lebih dulu bencana itu, dua pengkhianat mau
berontak. Baiklah kita orang jaga keras saja ini kota raja dan betulkan pula keraton yang terbakar, kita
orang menunggu saja pada Cu-kong pulang.”

Gui Cun menyatakan marahnya, ia ingin pimpin satu pasukan balatentara yang akan melabrak dua
pemberontak itu. Tetapi kehendaknya itu dicegah oleh Tio Swi, yang berkata: ”Buat keluarkan pasukan
perang itu kuasanya pada kepala pemerintah, sekarang Cu-kong tidak ada disini, siapakah yang berani
memberi itu titah? Pendeknya kita orang jangan takut apa-apa, meskipun itu dua pengkhianat sudah
lari, toh tidak urung kita orang nanti bisa terima kepalanya.”

Dua pemberontak ini menempatkan tentaranya di luar kota, setelah mendapat kabar Raja Chin Bun-
kong belum mati dan semua Tay-hu telah mengatur penjagaan kota dengan keras, mereka merasa tidak
sanggup untuk terus berperang, maka mereka berniat kabur ke lain negeri. Put Te merasa sekarang
sudah waktunya untuk menjalankan siasatnya, buru-buru dia berkata pada dua pemberontak itu.

”Disingkirkan Raja Chin dan dijadikan raja tergantung dari Raja Cin Bok-kong. Istana Raja Chin sudah
terbakar, barangkali dia sudah mati terbakar. Lebih baik kita sambut Pangeran Yong untuk dijadikan raja.
Seandainya Raja Chin belum mati pun sulit dia bisa masuk ke negaranya.” kata Put Te.

Lu I Seng dan Kiok Peng menyatakan setuju, lalu menyilakan Put Te pergi dulu ke negeri Cin untuk
membicarakan maksud tersebut dengan Raja Cin. Segera Put Te berangkat, setelah sampai di mulut
sungai, dia mendapat kabar Kong-sun Ci menempatkan tentaranya di tepi sungai sebelah barat, maka
dia lantas menyeberang sungai pergi menemui Kong-sun Ci. Di situ satu sama lain menceritakan terus
terang urusan yang sebenarnya.

Kong-sun Ci lantas menulis sepucuk surat, di dalam surat dia katakan seolah Raja Cin menerima baik usul
yang diajukan oleh dua pemberontak itu. Di dalam surat dinyatakan agar dua pengkhianat itu datang
untuk berdamai. Surat lalu diserahkan pada Put Te untuk disampaikan pada dua pemberontak itu.

Tatkala Lu I Seng dan Kiok Peng menerima surat itu, dengan sangat girang segera berangkat. Begitu
sampai di tepi sungai di seberang sungai di pesanggrahan Cin, mereka sudah langsung disambut oleh
Kong-sun Ci.

Sesudah satu sama lain berbincang-bincang sebentar, Kong-sun Ci langsung mengatur pesta untuk
menghormati kedua tamunya, hingga dua pemberontak itu tidak merasa curiga apa-apa.
Selang tiga hari, Lu I Seng dan Kiok Peng minta bertemu dengan Raja Cin untuk membicarakan
pengangkatan Kong-cu Yong. Dengan senang hati Kong-sun Ci langsung mengantarkan kedua pembesar
durhaka itu ke kota Ong-shia, sesampai di di kota tersebut Kong-sun Ci dan Put Te masuk dulu ke dalam
kota untuk memberi kabar pada Raja Cin Bok-kong.

Raja Cin langsung mengeluarkan perintah pada Panglima Pi Pa untuk menyambut Lu I Seng dan Kiok
Peng, sedang Raja Chin Bun-kong dia suruh bersembunyi di belakang sekosol (tirai). Tidak lama Lu I Seng
dan Kiok Peng sudah datang menghadap, sesudah mereka menjalankan kehormatan pada Raja Cin Bok-
kong, lalu mereka membicarakan soal akan mengangkat Kong-cu Yong menjadi raja baru.

”Kong-cu Yong sudah ada di sini!” kata Raja Chin Bok-kong.

Kiok Peng dan Lu I Seng memohon untuk bertemu dengan Kong-cu Yong.

”Ayo raja baru boleh keluar!” teriak Raja Cin Bok-kong.

Sesaat itu dari belakang sekosol kelihatan keluar seorang bangsawan, wajahnya tenang dan anggun,
sambil melenggang dia berjalan menghampiri.

Lu I Seng dan Kiok Peng mengawasi orang bangsawan itu, kiranya tidak lain, ialah Raja Chin Bun-kong
adanya! Satu teriakan heran dan perasaan ketakutan segera keluar dari mulut kedua pengkhianat itu,
semangatnya rasanya sudah terbang dari badannya. Semua orang jadi tersenyum melihat kelakuan
kedua pemberontak yang seperti orang terpagut ular itu.

Sementara Raja Cin Bok-kong mempersilakan Raja Chin Bun-kong duduk bersama-sama.

Dengan sangat marah Raja Chin Bun-kong menista, ”Hei, orang durhaka yang terkutuk! Aku punya salah
apa hingga kalian mau berontak? Coba jika bukan Put Te yang memberitahuku agar aku keluar dari
istana, niscaya aku sudah menjadi abu!”

Sekarang Lu I Seng dan Kiok Peng baru tahu yang dirinya sudah tertipu oleh Put Te, lalu mereka
mengaku terus terang kesalahannya, tetapi mereka merembet-rembet Put Te yang dikatakan juga turut
dalam persekutuan rahasia itu. Raja Chin Bun-kong lantas tertawa seraya berkatam ”Jika Put Te tidak
berlaku begitu, bagaimana dia bisa tahu kalian berdurhaka!”

Sehabis berkata begitu Raja Chin Bun-kong segera memerintahkan pengikutnya mengikat kedua
pengkhianat itu, lalu menyuruh Put Te menebas kepalanya. Dengan sekejap saja dua kepala pengkhianat
itu sudah diantarkan ke bawah tangga. Raja Chin Bun-kong lantas memerintahkan Put Te membawa
kepala dua pemberontak untuk dipamerkan, supaya kawan-kawannya menyerah.

Mendengar Raja Chin masih hidup dan dua pengkhianat telah tewas, rakyat negeri Chin gembira.

Sesudah membunuh Lu I Seng dan Kiok Peng, Raja Chin Bun-kong lalu menghaturkan terima kasih
kepada Raja Cin Bok-kong, kemudian dia mohon akan mengajak isterinya, Hoay-eng, pulang ke
negerinya.
Raja Cin Bok-kong merasa senang sekali, lalu mengajak Chin Bun-kong meninggalkan kota Ong-shia dan
pergi lagi ke kota Yong-touw, di sini dia suruh orangnya segera menyediakan sebuah kereta kosong yang
dirias sangat indah, kereta itu lalu dipakai untuk dinaiki oleh Hoay-eng dan lima pengantarnya.

Raja Chin Bun-kong dan Hoay-eng sesudah mengucapkan selamat berpisah pada Raja Cin Bok-kong dan
Bok-ki, dengan diiringi oleh sejumlah besar balatentara segera menyeberangi sungai.

Tio Swi dan yang lain-lain pembesar negeri Chin memang lebih awal berangkat dan sudah sedia
kendaraan di tepi sungai.

Mereka menyambut kedatangan Raja Chin Bun-kong, suami-isteri, dan mempersilakan supaya naik
kereta. Beratus-ratus pembesar berkumpul ikut kereta, banyak bendera berkibar-kibar, suara segala
macam tetabuhan sangat riuh sekali, hingga membuat keadaan jadi sangat ramai.

Setelah Raja Chin Bun-kong sampai di kota Kang-shia, rakyat negeri tidak ada yang tidak menyatakan
kegirangan hatinya, hingga suara tempik-sorak jadi gegap-gempita sekali.

Begitu sudah duduk kembali di tahta kerajaan, Raja Chin Bun-kong merasa sangat geram pada
perbuatan Lu dan Kiok, ia hendak membasmi sampai habis sanak keluarganya. Tetapi niat itu dicegah
oleh Tio Swi, yang berkata, ”Dulu Raja Chin Hui-kong dan Chin Hoay-kong dengan kejam menghukum
tanpa belas-kasihan hingga membuat orang sakit hati, maka sekarang harap Tuanku bersabar dan
berlaku bijaksana.”

Raja Chin Bun-kong menuruti nasehat Tio Swi, lalu mengampuni dosa kaum durhaka itu.

Meski sudah diberi kebebasan, tetapi kaum Lu dan Kiok masih saja merasa curiga, hingga semakin hari
gelagatnya jadi semakin buruk, hal itu membuat Raja Chin Bun-kong jadi sangat kecewa.

Pada suatu hari, Touw Si, yaitu pengurus uang dan barang-barang, saat Chin Bun-kong mengembara di
negeri Ek mencuri uang dan barang-barang, kemudian kabur, hingga Raja Chin Bun-kong sengsara di
dalam perjalanan, sekonyong-konyong hari itu datang ke keraton minta bertemu dengan Chin Bun-kong.
Tentu saja Chin Bun-kong masih dendam pada Touw Si, dia lantas memerintahkan pengawal pintu
mengusir Touw Si. Tetapi ketika Touw Si memberitahu dia membawa kabar penting, apa boleh buat,
Raja Chin Bun-kong mengizinkan dia datang menghadap.

”Apa Cu-kong sudah tahu kaum Lu dan Kiok berapa banyak jumlahnya?” tanya Touw Si sesudah dia
melakukan hormat di hadapan Chin Bun-kong.

”O, banyak sekali!” sahut Bun-kong sambil mengerutkan alisnya.

”Sekalipun mereka sudah Tuanku ampuni, tetapi mereka masih dendam pada Tuanku. Maka Tuanku
harus menggunakan tipu-muslihat supaya hatinya tenang.” kata Touw Si.

”Dengan tipu apa agar aku bisa menyenangkan mereka?”


”Dulu hamba telah mencuri uang Cu-kong, hingga membuat Cu-kong sengsara di dalam perjalanan. Dosa
hamba semua orang sudah tahu, apabila Cu-kong keluar pesiar dengan memakai hamba sebagai kusir
keretanya, dan semua orang melihatnya. Maka orang-orang yang mendengar atau melihat Cu-kong
berlaku bijaksana terhadap hamba, semua orang jadi mengetahui bahwa Cu-kong tidak pendendam dan
bijaksana. Maka hamba yakin kaum Lu dan Kiok hilang kecurigaannya.” kata Touw Si.

Raja Chin Bun-kong setuju pada usul Touw Sie. Segera dia bersiap, dengan alasan hendak memeriksa
kota, dia naik kereta dengan memakai kusir Touw Si.

Setelah kaum Lu dan Kiok melihat kelakuan Raja Chin ini, di antara mereka satu sama lain dengan diam-
diam bicara, ”Touw Si telah mencuri uang dan barang-barang milik Cu-kong, sekarang dia dipakai lagi,
apa lagi bagi orang yang kesalahannya tidak begitu besar?”

Begitulah mulai saat itu semua kaum Lu dan Kiok taat di bawah perintah Chin Bun-kong. Chin Bun-kong
lalu mengangkat Touw Si untuk mengurus gudang. Idenya dihargai hingga negeri Chin jadi aman.

Ketika Chin Bun-kong masih muda, pertama kali dia dinikahkan dengan Ci-eng, tetapi isterinya ini tidak
beruntung, masih muda sudah meninggal dunia. Kemudian Bun-kong dikawinkan lagi dengan Pek-kit,
dari Pek-kit mendapat satu anak lelaki dan satu anak perempuan, yang lelaki diberi nama Koan dan yang
perempuan diberi nama Pek-ki. Tetapi Pek-kit juga sudah meninggal di kota Po-shia. Saat Bun-kong
melarikan diri, terpaksa dia tinggalkan kedua anaknya itu yang ketika itu masih berusia muda di Po-shia.
Tetapi untung ada Touw Si yang mengurus, dia titipkan dua anak itu pada penduduk Po-shia, seorang
she Sui untuk dirawat, sedang beras dan pakaian yang cukup diberi setiap tahun. Begitulah pada suatu
hari saat sedang ada kesempatan, Touw Si menceritakan pada Bun-kong hal tersebut.

Bun-kong jadi terkejut bercampur girang, dia berkata, ”Aku mengira anakku itu sudah binasa di dalam
keributan, kalau begitu mereka masih hidup!”

Segera dia perintahkan Touw Si pergi ke kota Po-shia, memberi hadiah besar pada orang she Sui, dan
membawa pulang kedua anak itu. Pertemuan ayah dan anak itu telah menimbulkan perasaan girang
bercampur sedih. Segera Bun-kong menyuruh kedua anaknya mengangkat Hoay-eng menjadi ibunya,
kemudian baru dia angkat Koan menjadi Si-cu (putra mahkota), sedangkan Pek-ki dinikahkan dengan Tio
Swi, yaitu disebut Tio-ki.

Raja Ek sudah mendapat kabar bahwa Tiong Ji sudah menjadi raja, lalu dia mengirim utusan
mengucapkan selamat serta mengantarkan Kui-kui pulang ke negeri Chin. Cee Hauw-kong juga mengirim
utusan untuk mengucapkan selamat serta sekalian mengantarkan Kiang-si. Chin Bun-kong lalu
menceritakan pada Hoay-eng tentang kepandaian putri Cee dan Ek serta baik budinya.

Mendengar pujian itu Hoay-eng sangat kagum, dia lantas mengalah dan menyerahkan kedudukannya
sebagai Hu-jin (permaisuri) kepada kedua madunya itu. Begitulah lantas ditetapkan pula kedudukan di
dalam keraton, yaitu Cee Kiang-si diangkat menjadi Hu-jin pertama, Ek Kui-kui yang ke dua dan Cin
Hoay-eng yang ke tiga.
Tio-ki yang mendengar Kui-kui sudah pulang, dia pun membujuk suaminya, Tio Swi untuk menyambut
dan mengajak pulang Siok-kui, ibu dan anak. Mulanya Tio Swi tidak mau karena dia takut Chin Bun-kong
kurang senang, tetapi sesudah Tio-ki memaksa berulang-ulang, dan juga Chin Bun-kong memberi izin,
baru Tio Swi berani mengirim orang pergi ke negeri Ek untuk menyambut isteri, Siok-kui, serta putranya
Tio Tun.

Setelah urusan rumah tangga beres, barulah Chin Bun-kong memberi penghargaan kepada semua
pembesar menurut jasa masing-masing. Tetapi dengan tidak disengaja Chin Bun-kong sudah melupakan
memberi penghargaan untuk Kay Cu Cui, seorang menteri yang sudah pernah memotong pahanya untuk
disuguhkan kepadanya, sebab pembesar itu tidak ikut hadir.

Sebenarnya adat Kay Cu Cui sangat aneh, waktu Chin Bun-kong sedang dalam kesusahan dia ikuti,
sesudah Bun-kong beruntung dia pergi menyingkirkan diri, seperti dia tidak suka pada kesenangan
dunia. Begitulah dengan mendukung ibunya dia pergi ke sebuah tempat yang disebut Bian-siang, di
tengah jurang yang dalam. Di sana dia membuat sebuah gubuk, dia makan daun-daunan dan memakai
baju rumput, maksudnya hendak menunggu ajalnya di tempat itu.

Satu di antara tetangga Kay Cu Cui yang bernama Kay Thio, melihat Cu Cui tidak mendapat penghargaan
jadi merasa kasihan, lalu dia menulis surat sindiran, pada waktu malam dengan diam-diam dia
gantungkan di depan pintu istana.

Esok harinya tatkala Chin Bun-kong sedang duduk di singgasananya, menteri yang mendapatkan surat
itu, lalu datang mempersembahkannya. Bun-kong kemudian baca :

”Ada seekor naga yang sangat bagus, dia kehilangan tempat tinggalnya hingga menanggung banyak
kesusahan, beberapa ular ikut bersamanya, telah berjalan pesiar ke sekeliling tempat, waktu naga lapar
kekurangan makanan, satu ular memotong pahanya, setelah naga pulang di goanya, dengan selamat
berdiam di tempat kediamannya, beberapa ular masuk ke lubang, semua mendapat sarang yang enak,
cuma seekor ular tidak mendapat lubang, hingga menanggung sengsara di tengah tegalan.”

”O, ini sindiran Kay Cu Cui!” kata Bun-kong dengan terperanjat sesudah melihat surat itu.

”Dulu waktu aku lewat di negeri We, aku menanggung kelaparan, tetapi Cu Cui bisa menyuguhkan
makanan yang lezat, yaitu dengan memotong pahanya untuk dibuat makanan. Sekarang aku memberi
penghargaan besar pada semua pembesar yang berbhakti, aku merasa menyesal sekali atas kealpaanku
ini!”

Dengan tidak ayal lagi Bun-kong langsung memerintahkan orang pergi memanggil Kay Cu Cui. Tetapi
sudah terlambat, karena Cu Cui sudah pergi dari rumahnya, hingga orang suruhan itu pulang kembali
dengan tangan kosong. Hal itu membuat Raja Chin Bun-kong jadi sangat penasaran, lalu memerintahkan
orang pergi menanyakan pada tetangga-tetangganya ke mana Cu Cui sudah pergi, serta dijanjikan
barangsiapa yang bisa memberi keterangan akan dikurniai pangkat.

Mendengar kabar Kay Thio segera pergi menemui Raja Chin Bun-kong, pada raja dia mengaku terus
terang, bahwa surat sindiran itu sebenarnya dia yang menulis, sebab dia tahu Kay Cu Cui merasa malu
untuk minta penghargaan, telah mendukung ibunya pergi bersembunyi di tengah jurang di gunung Bian-
siang. Lantaran dia merasa kasihan, maka dia menulis surat sindiran untuk mengingatkan Raja Chin
menggantikan Kay Cu Cui untuk menjelaskan bhaktinya.

”Ya, memang jika bukan kau yang menggantungkan surat itu, hampir saja aku melupakan Kay Cu Cui
yang bhaktinya sangat besar,” kata Bun-kong dengan paras sedikit girang, yang lantas mengangkat Kay
Thio menjadi He-tay-hu, dan hari itu juga dia segera perintahkan orang memasang kereta, dengan Kay
Thio sebagai penunjuk jalan mereka berangkat menuju ke gunung Bian-siang.

Raja Chin Bun-kong, seorang raja yang sangat berbudi, itu sebenarnya, karena meskipun harus melewati
gunung yang berundak-undak, pohon dan rumput yang sangat lebat, aliran air yang besar dan kecil, ia
merasa tidak bosan mencari, malahan ia jadi semakin geregetan, sebab sudah sekian lama diubek-ubek,
belum juga bisa kelihatan Kay Cu Cui di mana berada.

Akhirnya sesudah mencari di berbagai penjuru, hanya ketemu dengan beberapa orang tani. Karena ingin
dapat keterangan yang betul, maka Bun-kong sendiri pergi tanya petani, apakah melihat kaij Cu Cui?

”Pada beberapa hari lalu,” menyahut satu di antara orang tani itu, ”betul ada kelihatan satu orang lelaki
menggendong seorang perempuan tua beristirahat di kaki gunung ini. Ia timba air untuk diminum, tetapi
kemudian ia dukung lagi perempuan tua itu dan naik ke gunung, sampai sekarang tidak ketahuan ke
mana perginya.”

Setelah dapat keterangan itu, Bun-kong memerintahkan memberhentikan semua kereta di bawah
gunung, kembali dia menyuruh orang mencari Kay Cu Cui di mana-mana. Orang-orang mencari sampai
beberapa hari, tidak bisa mendapatkan menteri itu.

Wajah Chin Bun-kong kelihatan kurang senang, lalu dia berkata pada Kay Thio: ”Kau lihat sendiri
bagaimana aku sudah sungguh-sungguh mencari Kay Cu Cui, aku tidak mengerti mengapa dia sampai
begitu marah padaku? Tetapi kabarnya Cu Cui seorang anak berbakti, bila kita nyalakan api untuk
membakar hutan ini, pasti dia akan mendukung ibunya untuk dibawa lari keluar dari kobaran api.”

Sebagian besar menteri-menteri membenarkan perkataan Chin Bun-kong, maka segera dikeluarkan
perintah kepada balatentaranya supaya menyalakan api di sekitar gunung itu.

Dengan sebentar saja api sudah berkobar besar sekali, sementara itu angin bertiup keras, hingga
membuat beberapa bagian hutan menjadi lautan api.

Tiga hari berselang api baru padam. Tetapi Kay Cu Cui tidak muncul juga, ini membuktikan kekerasan
hatinya. Ketika dilakukan pencarian, prajurit menemukan anak dan ibu itu saling berpelukan, hingga
mereka mati hangus bersama di bawah pohon Liu yang sudah kering.

Di antara serdadu yang mencari mayat Kay Cu Cui, lalu memberi kabar kepada Raja Chin Bun-kong
tentang penemuan mereka itu.
Raja yang berbudi itu ketika mendengar keadaan ibu dan anak itu sudah mati hangus, hatinya jadi
sangat terharu, sehingga tidak hentinya mengucurkan air mata. Kemudian dia perintahkan orang
mengubur dengan baik dua mayat itu di kaki gunung Bian-siang, serta mendirikan kelenteng untuk
tempat menyembayangi roh Kay dan ibunya.

”Di bilangan sekitar gunung Bian-siang ladang dan sawahnya, semua menjadi milik kelenteng itu, lalu
menyuruh petani mengurus sembayang setiap tahun. Sesudah mengurus sampai selesai semua urusan
kehormatan Kay Cu Cui, barulah Chin Bun-kong pulang ke istananya.

Peristiwa tewasnya Kay Cu Cui dan ibunya ini sampai saat ini dirayakan sebagai hari Nyepi. Begitulah
mulai saat itu dan selanjutnya, senantiasa Raja Chin Bun-kong memperhatikan betul urusan
pemerintahan negeri, dia juga beramal, mempekerjakan orang-orang yang pandai, berhati-hati
menjalankan hukuman, meringankan pajak rakyat, memperluas perniagaan atau perekonomian negara,
menghormati semua tamu, mengasihi orang yang miskin dan menolong yang sengsara, lantaran
demikian di dalam negerinya jadi sangat sentosa.

Sri Baginda Ciu Siang-ong yang mendapat kabar tentang aman dan sentosanya negara Chin di bawah
perintah Raja Chin bun-kong, lalu mengutus Thay-cay Ciu-kong Khong dan Lwe-su Siok Hin, untuk
mengaruniakan gelar Houw-pek pada Raja Chin ini.

Dengan manis budi Raja Chin Bun-kong memperlakukan dua utusan Kaisar Ciu itu, serta diameminta
tolong agar ucapan terima kasihnya disampaikan pada Kaisar Ciu.

Tatkala utusan itu kembali dan menghadap pada Baginda Ciu Siang-ong, mereka menyatakan
pendapatannya, bahwa Chin Bun-kong pasti akan menjadi raja jagoan dari semua Raja-muda. Maka
tidak boleh tidak harus bersahabat baik dengannya. Baginda percaya keterangan menterinya, begitulah
mulai saat itu Kaisar jadi renggang dengan negeri Cee dan dekat pada negeri Cin.

Waktu itu Raja The yang tunduk di bawah pengaruh negeri Couw tidak mau bergaul dengan Raja-raja
muda yang lain di Tiongkok. Bersandar pada negeri Couw yang kokoh, Raja The sering melecehkan
negeri lain yang lemah. Begitulah pada suatu hari Raja The merasa benci pada Raja Kut yang berpihak
kepada raja dan negeri We dan tidak tunduk pada negeri The, maka Raja The langsung mengerahkan
angkatan perangnya menyerang negeri Kut itu.

Kut-pek yang mendengar tentara The menyerang jadi ketakutan, dia minta berdamai. Tetapi baru saja
pasukan The mundur dari negerinya, Raja Kut langsung memihak kembali pada negeri We. Raja The Bun-
kong jadi sangat murka, segera memerintahkan Kong-cu Siat dan Touw Ji Bi menggerakan pasukan besar
dan melabrak negeri Kut dengan hebat sekali.

Waktu itu Raja We Bun-kong dengan Kerajaan Ciu sedang baik-baiknya, lalu mereka mengadukan
perbuatan Raja The Bun-kong yang tidak patut itu. Baginda Ciu Siang-ong lalu memerintahkan Tay-hu Yu
Si Pek pergi ke negeri The, untuk mendamaikan Raja The supaya jangan mengepung negeri Kut.

Sebelum utusan dari Raja Ciu datang, The Bun-kong sudah mendapat kabar hingga dia jadikurang enak
hati pada Baginda, karena Raja We dan The sama-sama telah berjasa pada Kerajaan Ciu, mengapa
Baginda berpihak pada negeri We, maka dia lantas memerintahkan orang menahan Yu Si Pek di bilangan
tanah The, menunggu sesudah dia mengalahkan negeri Kut baru akan dilepas kembali.

Utusan Kaisar Ciu itu ditahan, pengikutnya segera lari pulang memberi kabar pada Baginda Ciu.
Perbuatan Raja The yang kurang ajar sudah membuat Baginda Ciu Siang-ong jadi marah lalu Kaisar Ciu
memerintahkan Twe Siok dan To Cu untuk mengadakan perserikatan dengan negeri Ek, segera juga
menyerang ke negeri The.

Dalam peperangan itu bukan saja negeri Kut dapat ditolong, malah negeri The tentaranya telah
mendapat kerusakan besar. Ingat pada jasa raja negeri Ek besar, justru belum lama Baginda telah
kematian permaisurinya, sementara Baginda mendengar kabar puteri Raja Ek sangat cantik, maka Kaisar
Ciu memerintahkan Twe Siok dan To Cu pergi ke negeri Ek untuk melamar putri Raja Ek.

Raja Ek menerima baik lamaran itu, segera dia kirim utusan untuk mengantarkan anak perempuan Siok-
kui, kepada Kaisar Ciu.

Baginda Ciu Siang-ong ketika melihat paras Siok-kui begitu cantik, dia jadi sangat girang, lalu
mengangkatnya menjadi permaisuri. Tidak disangka ternyata Siok-kui ini seorang perempuan genit, dia
merasa kurang senang dinikahkan pada Baginda Ciu yang sudah berusia lima puluh tahun lebih, maka
dengan diam-diam dia mengadakan hubungan gelap dengan Tay Siok Tay, tentu saja dengan
memberinya uang suap besar pada budak-budak istana supaya mereka tutup mulut.

Tay-siok Tay sebenarnya saudara tiri Baginda Ciu Siang-ong, selain usianya masih muda, parasnya pun
cakap. Dulu dia sudah pernah mau merebut tahta kerajaan, dia mengundang bangsa Jiong untuk
menyerang ibukota Kerajaan Ciu, tetapi maksudnya tidak kesampaian, karena perbuatannnya ketahuan.
Raja-raja muda datang menolong Baginda Ciu Siang-ong, maka dia melarikan diri ke negeri Cee. Tetapi
kemudian lantaran ibunya, Hui-houw, dan banyak juga menteri-menteri yang meminta ampun, maka
terpaksa Baginda panggil pulang lagi dia serta mengembalikan kebesarannya.

”Asap tidak bisa ditutupi!” begitu kata pribahasa. Maka tidak heran, lama kelamaan lewat laporan
seorang budak istana, Siauw-tong, akhirnya Baginda Ciu Siang-ong mengetahui juga hubungan rahasia
antara permaisurinya dengan saudara tirinya itu. Baginda Ciu marah sekali, lalu memerintahkan orang
memenjarakan Siok-kui di penjara Leng-kiong, pintu penjara dikunci dengan keras, cuma di tembok
dilubangi sebuah lubang kecil untuk memasukkan makanan dan minuman.

Tay-siok Tay yang mengetahui rahasianya sudah terbongkar, sebelum ditangkap buru-buru dia
melarikan diri ke negeri Ek. Sedang Twe Siok dan To Cu yang juga takut Baginda Ciu marah kepadanya,
sebab mereka yang sudah melamar putri Ek, maka mereka menyusul Tay-siok Tay ikut melarikan ke
negeri Ek.

Setelah mereka bertiga sampai di negeri yang dituju, mereka lalu menghasut Raja Ek, dikatakan Baginda
Ciu Siang-ong berlaku tidak adil, Siok-kui yang berhati putih bersih dituduh berzinah dan di penjara
dalam penjara keraton.
Raja Ek percaya saja omongan pengkhianat itu, dia jadi marah sekali pada Baginda Ciu, lalu dia
perintahkan panglima perangnya, Cek Teng, memimpin lima ribu tentara bersama Twe Siok dan To Cu
segera mengiringkan Tay Siok Tay menyerang ke negeri Ciu.

Tatkala peperangan sudah berlangsung pihak Ciu mendapat kekalahan, hingga membuat keadaan kota
raja jadi terancam bahaya besar. Atas usul beberapa pembesar terpaksa Baginda Ciu menyingkir dari
kota raja pergi ke negeri The.

Di pihak Ek mengetahui Baginda Ciu sudah lari, lalu menyerang kota semakin sengit.

Ciu-kong Khong dan Siauw-kong Ko yang mewakili Baginda menjaga kota, sebab khawatir tentara Ek
akan melakukan perampokan besar-besaran apabila kota sudah dipukul hancur.

Mereka berdiri di atas loteng kota dan memberitahu pada Tay-siok Tay, bahwa tentara Ek ditahan di luar
kota tidak diizinkan masuk ke dalam kota, mereka membuka pintu kota untuk menyambut Tay-siok Tay.

Tay-siok Tay berjanji pada Cek Teng akan memberi hadiah padanya dan tentara negeri Ek. Tay-siok Tay
masuk ke dalam kota, bukan untuk menjenguk ibunya yang waktu itu sedang sakit payah, tetapi pergi ke
penjara Leng-kiong untuk melepaskan Siok-kui, kemudian baru pergi menghadap pada ibunya.

Ketika ibunya melihat anaknya, bukan main girangnya sang ibu ini, tetapi dia cuma tertawa satu kali
kemudian melepaskan napasnya yang penghabisan. Esok harinya, Tay-siok Tay memberitahu semua
pembesar, menurut pesan Ibusuri yang penghabisan, maka dia mengangkat dirinya menjadi Kaisar Ciu,
sedang Siok-kui dia angkat menjadi Ong-houw (permaisuri).

Kaisar Ciu yang baru ini menerima semua pembesar yang mengucapkan selamat kepadanya, dia
mengeluarkan uang dan barang-barang dari gudang negeri untuk hadiah tentara Ek. Baru mengurus
perkabungan ibunya. Sebagian besar menteri-menteri dan rakyat negeri sangat benci pada Tay-siok Tay,
hingga di sana-sini banyak yang menyindir dia, hal itu membuat Tay-siok Tay jadi malu. Buru-buru dia
ajak Siok-kui pindah ke tanah Un, di sana dia mendirikan sebuah istana besar, siang dan malam dia
bersenang-senang saja, sedang urusan negara semua dia serahkan pada kekuasaan Ciu-kong Khong dan
Siauw-kong Ko.

Baginda Ciu Siang-ong yang melarikan diri ke negeri The, merasa malu untuk masuk ke dalam kota Raja
The, sebab dulu dia telah berpihak pada Raja We dan membuat kerugian besar pada Raja The, maka
setelah lari sampai di kota Hoan-shia, kampung Tiok-coan, dia perintahkan pengikutnya menghentikan
kendaraannya, lalu menumpang tinggal di rumah seorang petani she Hong.

Atas usul Tay-hu Co Yan Hu, Baginda menulis surat pemberitahuan, lalu memnerintahkan orang
membagikannya ke negeri-negeri Cee, Song, Tan, The dan We, di dalam pengumuman itu dijelaskan
Baginda Ciu telah mendapat susah dan sekarang tinggal di tanah Hoan-shia.

Ketika Raja The Bun-kong menerima pengumuman Baginda Ciu Siang-ong, dia tertawa dan berkata.
”Sekarang Baginda Ciu baru tahu kebaikan negeri Ek masih tidak seperti kebaikan negeri The.” kata Raja
The.
Raja The segera mengirim orang dan tukang pergi ke Hoan-shia, di sana dibangun sebuah gedung untuk
Baginda Ciu. Raja The memperlakukan Baginda Ciu dengan baik sekali.

Sementara itu Raja Louw, Song dan beberapa negeri juga mengirim utusan untuk menanyakan
kesehatan Baginda, serta masing-masing mengantar hidangan yang lezat untuk Baginda Ciu. Di musin He
bulan Si-gwe (bulan empat), Raja Chin Bun-kong mengerahkan angkatan perangnya, sedang Raja Cin
Bok-kong cuma mengirim Kong-cu Ci untuk membantu.

Setelah pasukan besar Chin Bun-kong sampai di kota Yang-hoan, Raja Chin Bun-kong memerintahkan Tio
Swi memimpin sepasukan tentara pergi ke Hoan-shia untuk mengajak Baginda Ciu pulang ke kota raja,
dan memerintahkan Kiok Cin memimpin sepasukan angkatan perang pergi melabrak pada Tay-siok Tay
di kota Un.

Begitu Baginda Ciu Siang-ong sampai di kota raja, segera dia disambut Ciu-kong Khong dan Siauw-kong
Ko yang menyilahkan Baginda Ciu masuk ke dalam istana. Rakyat negeri di kota Un waktu mendengar
kabar Sri Baginda Ciu sudah duduk kembali di tahta kerajaan, mereka beramai-ramai segera bergerak
dan membinasakan Twe Siok dan To Cu, kemudian membuka pintu kota untuk menyambut tentara Chin.

Tay-siok Tay yang tahu rakyat telah berontak, dengan tergopoh-gopoh mengajak Siok-kui naik ke kereta
dan hendak menerobos dari pintu kota untuk melarikan diri ke negeri Ek. Tetapi tentara yang menjaga
pintu kota segera menutup pintu, tidak mau menerimanya. Tay-siok Tay lalu mencabut pedangnya
menebas roboh beberapa orang, tetapi sebelum dia bisa membuka pintu kota, Gui Cun, salah satu di
antara panglima Chin yang tersohor gagah perkasa sudah keburu mengejar dan menyusul dia. Segera
juga sebuah perkelahian yang sengit dilakukan, tetapi Tay-siok Tay tidak mampu melawan Gui Cun,
hingga dengan gampang sudah dibinasakan oleh orang gagah itu.

Di antara serdadu Chin ada yang berhasil menangkap Siok-kui lalu membawanya menghadap pada
panglima itu.

”Ha, ini perempuan genit untuk apa dibiarkan hidup lebih lama lagi!” kata Gui Cun dengan marah, yang
segera memerintahkan tentaranya melepaskan panah pada permaisuri itu hingga meninggal. Dua mayat
orang itu dibawa dan ditunjukkan kepada Kiok Cin, sesudah diperiksa lalu dikubur.

Sesudah Kiok Cin menetapkan hati penduduk di kota Un, baru dia perintahkan orang memberi laporan
pada Raja Chin Bun-kong di kota Yang-hoan. Sedang Raja Chin langsung naik kereta pergi ke kota raja,
dia menghadap pada Baginda Ciu Siang-ong untuk memberitahukan apa yang sudah terjadi. Baginda Ciu
girang sekali, lalu menyuguhi arak pada Raja Chin dan menghadiahkan mas dan kain sutera pada tentara
Chin.

Atas jasa Chin Bun-kong, sebagai tanda mata Baginda menghadiahkan tanah Un, Goan, Yang-hoan dan
Can-mauw, empat kota, yang letaknya di dalam daerah kekaisaran Ciu. Chin Bun-kong mengucapkan
terima kasih atas hadiah tersebut, sesudah pesta ditutup baru dia permisi keluar dari istana.
Rakyat negeri berdatangan menyatakan suka-cita, mereka berjejal-jejal di sepanjang jalan. Mereka
berebut ingin melihat wajah Chin Bun-kong. Orang banyak itu menghela napas sambil berkata, ”Cee
Hoan-kong sekarang muncul kembali!”

Raja Chin Bun-kong segera mengeluarkan perintah untuk menarik mundur pasukan perangnya,
kemudian dia mengangkat Tio Swi nejadi Goan Tay-hu untuk mengurus kota Goan dan Yang-hoan, Kiok
Cin diangkat menjadi Un Tay-hu untuk mengurus kota Un dan Can-mauw, sesudah memberi masing-
masing dua ribu tentara untuk menjaga kota pada kedua Tay-hu, baru Raja Chin Bun-kong pulang.

Ketika mendengar nama Raja Chin Bun-kong jadi terkenal, Raja Cee Hauw-kong jadi iri dia juga berniat
meneruskan nama besar almarhum Raja Cee Hoan-kong menjadi raja jagoan. Tetapi sayang dia tak
mengurus pemerintahan negerinya, melainkan hendak menggunakan kekuatan angkatan perangnya
untuk menunjukan pengaruhnya di Tiong-goan (Tiongkok).

Di antara negeri-negeri kecil, dia memperoleh kabar di negeri Louw sedang terjangkit bahaya kelaparan,
sementara Raja Louw Hi-kong sudah pernah berselisih dengannya, maka dia merasa sekarang dianggap
tepat untuk mengalahkan Raja Louw. Maka dia segera mengerahkan angkatan perangnya ke negeri
Louw.

Raja Louw yang mendapat kabar pasukan perang Cee datang menyerang negrinya, dia jadi merasa
khawatir juga, sebab negerinya sedang dilanda bahaya kelaparan. Dia tidak punya harapan untuk
melawan perang, maka langsung dia utus Tian Hi untuk berdamai dengan Raja Cee, selain itu dia juga
mempersembahkan bingkisan, dan berjanji bersedia berserikatan dengan negeri Cee.

Kecerdikan Tian Hi yang pandai sekali bicara telah menarik hati Cee Hauw-kong, hingga dengan gampang
dia menerima baik perdamaian itu dan langsuung Raja Cee menarik kembali pasukan perangnya. Tetapi
Raja Louw Hi-kong tidak tulus mengadakan perserikatan dengan negeri Cee ini, malah dia merasa sakit
hati atas kelakuan Raja Cee Hauw-kong, maka begitu pasukan perang Cee sudah mundur, dia langsung
mengutus Kong-cu Sui dan Cong Sun Sin membawa bingkisan pergi ke negeri Couw, mereka menghasut
Raja Couw supaya mengerahkan pasukan perangnya menyerang ke negeri Cee dan negeri Song.

Dengan gampang Raja Couw Seng-ong sudah berhasil dihasut, yang segera memerintahkan Seng Tek Sin
dan Sin-kong Siok Houw memimpin pasukan perang pergi menyerang ke negeri Cee. Dalam peperangan
itu pasukan Couw sudah mendapat kemenangan, hingga dia bisa mengambil tanah Yang-kok. Kemudian
pasukan Couw dipecah menjadi dua bagian, satu bagian dipimpin oleh Sin-kong Siok Houw untuk
menjaga negeri Louw supaya tidak diganggu, satu bagian pula dipimpin oleh Seng Tek Sin yang berjalan
pulang ke negeri Couw untuk melaporkan kemenangannya.

Waktu itu Leng-i Cu Bun sudah berusia tua, karena melihat Seng Tek Sin seorang pintar serta gagah, dia
memohon pada Raja Couw Seng-ong supaya jabatan Leng-i (Perdana Menteri) diserahkan kepada Cu
Bun.
Tetapi Raja Couw tidak setuju pada usul tersebut. ”Seng Tek Sin berhasil mengalahkan negeri Cee,
sekarang aku minta Cu Bun melabrak negeri Song jika negeri Song sudah dikalahkan, baru aku izinkan
sesuka Cu Bun, apakah dia mau berhenti atau memangku jabatan.” kata Raja Couw.

Sesudah Cu Bun membuktikan kehebatannya seperti Seng Tek Sin, baru Raja Couw menerima usul itu,
lalu mengangkat Seng Tek Sin menjadi Leng-i dengan merangkap jabatan sebagai Goan-swe (Jendral
Perang).

—ooOOOoo—

Bab 24

Segera Raja Couw Seng-ong memerintahkan Seng Tek Sin memimpin pasukan besar,
digabungkan dengan angkatan perang negeri Tan, Coa, The dan Khouw, lalu pergi menyerang ke negeri
Song dan terus mengepung kota Bian-ip. Raja Song Seng-kong jadi khawatir sekali, segera
memerintahkan Su-ma Kong-sun Kouw pergi memberitatahukan pada Raja Chin Bun-kong sambil minta
pertolongannya.

Tatkala Raja Chin menerima kabar itu, Chin Bun-kong segera mengumpulkan semua panglima
perangnya, untuk diajak berunding dengan cara bagaimana mereka bisa menolong negeri Song.

”Saat ini di antara negeri-negeri yang ada, memang negeri Couw yang paling tangguh,” kata Sian Cin.
”Sekian lama kita belum pernah menghadapinya, karena Tuanku berhutang budi kepadanya, hingga
kurang pantas jika kita menyerang dia lebih dulu. Tetapi sekarang Raja Couw sudah mengerahkan
pasukan perangnya menyerang ke negeri Song, dialah yang lebih dahulu membuat huru-hara. Ini
seumpama Tuhan telah memberi alasan pada Tuanku untuk menyerangnya! Maka kita katakan saja
karena kita akan menentramkan Tiong-goan, terpaksa kita perangi dia! Tegasnya hamba berani katakan
untuk menjadi jago, inilah saatnya!”

”Seandainya aku hendak menyingkirkan serangan yang mengancam negeri Cee dan negeri Song, aku
harus bagaimana?” tanya Chin Bun-kong.

”Couw baru saja mendapatkan negeri Co dan baru mengadakan perserikatan dengan We,” kata Ho Yan.
”Justru kedua negeri itu Cu-kong bermusuhan, maka jika kita mengerahkan angkatan perang menyerang
negeri Co dan We, niscaya Couw memindahkan tentaranya dan datang akan menolong Co dan We,
dengan demikian negeri Cee dan Song akan terbebas dari serangannya.”
Raja Chin Bun-kong setuju pada pendapat Sian Ci dan Ho Yan, segera dia beritahukan hal itu pada Kong-
sun Kouw, bagaimana ikhtiarnya harus dilaksanakan, dan dia perintahkan Su-ma itu segera pulang untuk
memberitahukan pada Raja Song supaya menjaga kotanya dengan keras. Kong-sun Kouw pamit dan
terus berangkat.

Sekalipun Chin Bun-kong sudah mengambil putusan akan menggunakan kekuatan angkatan perangnya
melawan Couw, tidak urung pikirannya masih khawatir, karena dia tahu jumlah tentaranya lebih sedikit
dibanding jumlah tentara Couw. Kemudian dengan menurut usul Tio Swi, Chin Bun-kong hingga jumlah
tentaranya bisa ditambah. Dia mengangkat Kiok Kok menjadi kepala perangnya.

Kiok Kok sangat pandai mengatur pasukan perang, di bawah pimpinannya belum berapa lama pasukan
perang Chin sudah berubah jauh sekali, hingga semua panglima merasa senang sekali pada Kiok Kok ini
dan dengan senang tunduk di bawah perintahnya.

Pada tahun Ciu Siang-ong ke-20 di musim Cun, Raja Chin Bun-kong menyiapkan pasukan perangnya
untuk menyerang ke negeri Co dan negeri We.

Kiok Kok memberi saran lebih baik meminjam jalan pada negeri We supaya bisa melabrak negeri Co, jika
negeri We tidak meluluskannya, boleh dilabrak lebih dulu. Kemudian baru menyerang ke negeri Co. Chin
Bun-kong setuju pada usul Kiok Kok ini, lalu dia mengirim utusan untuk membicarakan urusan
meminjam jalan pada Raja We.

Di antara pembesar negeri We, ada Tay-hu Goan Soan yang memberi saran pada rajanya, supaya
meluluskan permintaan Raja Chin itu, sebab dulu Raja We yang telah almarhum sudah pernah
menunjukan kelakuan tidak manis pada Raja Chin, sekarang jika permintaannya ditolak, tentu Raja Chin
punya alasan untuk melabrak negeri We.

Tetapi Raja We Seng-kong tidak setuju pada usul Goan Soan, dia berkata, ”Aku dengan Raja Co sudah
menurut kepada Raja Couw, jika aku memberi jalan pada Raja Chin untuk melabrak negeri Co, aku
khawatir aku bisa menyenangkan Raja Chin, tetapi lebih dulu sudah membuat gusar Raja Couw. Lagi
pula kau harus ingat, dimarahi oleh Raja Chin kita masih punya andalan Raja Couw, tetapi jika dimusuhi
Raja Couw pada siapa kita harus bersandar?”

Begitulah Raja We langsung mengambil keputusan dan menolak permintaan Raja Chin. Chin Bun-kong
marah sekali pada Raja We, segera dia kerahkan pasukan perangnya akan menyerang negeri itu.

Sesudah menyeberang di sungai Hong-ho, pasukan perang Chin telah berjalan sampai di tegalan Ngo-
lok. Di sana Chin Bun-kong menghela napas dan berkata, ”Ha, di sinilah bekas tempat Kay Cu Cui
memotong pahanya!”

Sehabis mengucapkan perkataan itu, Raja Chin yang budiman jadi terharu dan mengucurkan air
matanya. Sedang di antara panglima perangnya banyak juga yang ikut merasa sedih.

”Kita harus merampas tempat ini!” seru Gui Cun. ”Kita harus membalas rasa malu Cu-kong dulu! Ayo,
maju, mengapa harus bersedih!”
”Bu Cu punya bicara benar sekali!” kata Sian Cin. ”Hamba bersedia memimpin pasukan tentara untuk
mengambil tanah Ngo-lok ini.”

”Aku pun hendak membantumu!” kata Gui Cun pada Sian Cin.

Chin Bun-kong meluluskan itu permohonan anak buahnya itu. Segera dua panglima itu memajukan
kereta perangnya. Sian Cin memerintahkan tentaranya membawa bendera, yang dipesan harus
menancapkannya di suatu tempat yang tinggi, yaitu di gunung atau di atas pohon-pohon di dalam hutan.

Gui Cun yang tidak mengerti maksud Sian Cin, dengan heran bertanya, ”Setahuku tentara bergerak
harus secara diam-diam, tetapi sekarang disengaja disebarkan bendera, apa mau sengaja agar musuh
tahu dan mengatur persiapan? Aku tidak mengerti apa yang kau maksud!”

”Negeri We biasanya menurut pada negeri Cee,” kata Sian Cin yang memberi keterangan, ”tapi pada
belakangan ini Raja We sudah mengubah haluannya dan menaluk pada negeri Couw, kelakuannya itu
telah membuat rakyat negerinya banyak yang merasa tidak senang, hingga senantiasa mereka
mengharap supaya di antara negeri-negeri di Tiongkok ini ada yang datang melabrak pada negeri We.
Sekarang Cu-kong kita hendak meneruskan usaha almarhum Raja Cee Hoan-kong, maka kita tidak boleh
menunjukkan kelemahan kita, hanya lebih dulu kita harus menang gertak.”

Keterangan itu membuat Gui Cun jadi girang dan memuji kepintaran Sian Cin. Di daerah Ngo-lok, ketika
rakyat mendengar kabar tentara Chin hendak datang menyerang, semua telah jadi sangat kebingungan,
mereka naik ke atas kota. Mereka mendapat kenyataan di sana banyak sekali bendera perang berkibar-
kibar di gunung dan di hutan, hingga mereka menduga pasti pasukan perang musuh sangat besar
jumlahnya, hingga semua jadi amat ketakutan.

Sebelum tentara Chin datang menyerang, rakyat negeri We yang tinggal di dalam dan di luar kota Ngo-
lok semua telah berebut melarikan diri, meski pembesar yang menjaga di situ sudah mencegah dengan
keras, tetapi percuma saja, maka waktu pasukan Chin sampai di situ, tidak seorang pun yang berani
menghalangi, hingga dengan gampang kota Ngo-lok dapat direbut.

Chin Bun-kong jadi girang sekali sudah mendapatkan kota itu, dia lalu meninggalkan panglima tua, Kiok
Pouw Yang, dengan sejumlah tentara menjaga di situ, sedang pasukan besar dimajukan terus untuk
menyerang kota Gian-beng.Tiba-tiba Kiok Kok mendapat sakit yang berbahaya.

Chin Bun-kong jadi kebingungan, dia sendiri langsung pergi menjenguk Kiok Kok. ”Hamba menerima
budi Cu-kong yang sudah menyerahkan tanggung jawab besar pada hamba,” kata Kiok Kok pada
ChinBun-kong, ”sebenarnya memang hamba hendak menghabiskan kekuatan tenaga dan otak hamba
untuk membela kemuliaan negeri Chin, tetapi tidak disangka takdir Allah tidak bisa dilawan, karena
hamba khawatir kali ini penyakit hamba ini akan membawa kebinasaan.”

”Oh, jangan kau begitu kecil pengharapan, menteriku,” kata Chin Bun-kong dengan terharu. ”Kau harus
berobat betul, supaya penyakitmu bisa lekas sembuh.”
”Tidak, Cu-kong, aku rasa penyakitku tidak bisa baik kembali. Tetapi aku punya satu pembicaraan yang
hendak disampaikan pada Cu-kong, aku harap Cu-kong suka memperhatikannya.”

”Baik, aku memperhatikannya.”

”Maksud Cu-kong manyatakan perang pada Co dan We, sebenarnya untuk mengalahkan Couw. Jika mau
mengalahkan Couw, harus berperang dengan menggunakan tipu-muslihat yang jitu, dan bila hendak
berperang dengan menggunakan tipu, mau tak mau harus berserikat dulu dengan Cee dan Cin. Akan
tetapi Cin tempatnya jauh sekali sedangkan Cee dekat, maka lebih dulu Cu-kong harus segera
perintahkan seorang utusan untuk mengadakan persahabatan dengan Raja Cee. Saat ini Raja Cee sedang
membenci Raja Couw, jadi bissa dipastikan dia ingin berserikat dengan Chin. Manakala sudah
mendapatkan Cee, niscaya We dan Co jadi ketakutan dan minta berdamai, kemudian baru pererat
hubungan Cu-kong dengan Cin. Ini hamba rasa tipu-muslihat yang sempurna untuk menaklukkan Couw.”

”Betul, aku setuju sekali dengan pendapatmu,” kata Chin Bun-kong dengan girang.

Sesudah mengucapkan berbagai nasehat untuk menghibur hati Kiok Kok, barulah Chin Bun-kong permisi
untuk berpisah, dan segera dia kirim utusan untuk berserikat dengan Raja Cee, dengan alasan karena
ingin meneruskan perserikatan seperti di zaman almarhum Cee Hoan-kong, yaitu bersama-sama
mengeluarkan tenaga untuk melabrak negeri Couw.

Waktu itu Raja Cee Hauw-kong sudah wafat, rakyat negeri Cee telah mengangkat adik Cee Hauw-kong,
yaitu Kong-cu Poan yang menjadi raja, yang memakai gelar Cee Ciauw-kong. Raja Cee Ciauw–kong yang
baru duduk bertahta ini memang sangat benci pada Raja Couw, karena Raja Couw sudah mendengarkan
hasutan Raja Louw dan telah membuat Cee menderita kerugian besar, maka dia pun sudah berniat
hendak berserikat dengan Raja Chin untuk melawan Raja Couw. Sekarang kebetulan sekali Raja Chin
mengirim utusan untuk minta berserikat, tentu saja dia terima dengan sangat girang.

Sementara itu Raja We Seng-kong yang mendapat kabar kota Ngo-lok sudah jatuh ke tangan orang-
orang Chin, dia jadi khawatir sekali, lalu dia perintahkan putra Leng Sok yang bernama Leng Ji, pergi
menghadap pada Raja Chin Bun-kong untuk minta berdamai. Chin Bun-kong tidak meluluskan
permintaan damai itu.

”Sesudah terancam bahaya Raja We baru minta berdamai, itu pasti bukan dengan setulus hatinya, aku
tetap akan menyerang negeri We.” kata Raja Chin.

Leng Ji segera kembali dan memberi kabar pada Raja We Seng-kong. Ketika itu di dalam kota Couw-kiu
tersiar kabar, bahwa balatentara Chin sudah hampir sampai, hingga boleh dibilang seluruh penduduknya
jadi sangat ketakutan. Melihat keadaan semakin gawat, Leng Ji memberi saran pada Raja We.

”Amarah Raja Chin sedang berkobar, hingga membuat rakyat negeri jadi sangat khawatir, maka lebih
baik Tuanku keluar kota untuk menyingkir dulu buat sementara waktu. Apabila Raja Chin sudah
mengetahui Tuanku sudah keluar, niscaya dia tidak akan datang menyerang Couw-kiu, dan kemudian
baru minta berdamai pula padanya. Dengan berlaku begini, hamba rasa daerah kita bisa menjadi
sentausa.” kata Leng Ji.
Raja We Seng-kong menghela napas, kemudian dia berkata, ”Raja We almarhum sudah tidak memegang
aturan dan memusuhi Pangeran Chin yang sedang mengembara, sementara aku kurang cerdas, aku
sudah tidak meluluskan pasukan Raja Chin yang cuma mau meminjam jalan untuk lewat saja, maka ini
hari sampai kejadian seperti ini, juga telah membuat rakyat merasakan kesusahan. Ah, sudahlah, aku
pun tidak punya muka untuk tinggal di dalam negeri!”

Segera urusan pemerintahan negeri dia serahkan pada adiknya, Siok Buk, dan Tay-hu Goan Soan, sedang
dia pergi menyingkirkan diri dan tinggal di tanah Siang-ngiu. Tetapi hatinya masih penasaran, dia lantas
perintahkan Tay-hu Sun Yan pergi minta pertolongan pada negeri Couw.

Waktu itu di musim Cun bulan Ji-gwe (dua). Pada saat itu Kiok Kok penyakitnya semakin berat, dia telah
meninggal di perkemahannya. Chin Bun-kong jadi sedih sekali atas meninggalnya kepala perang yang
pintar itu, dia lantas perintahkan orang mengantarkan jenazah Kiok Kok untuk dibawa pulang ke negeri
Chin. Untuk menggantikan jabatan Goan-swe, Chin Bun-kong segera mengangkat Sian Cin, yang sudah
berjasa merebut kota Ngo-lok dengan cara begitu gampang.

Chin Bun-kong mau menghancurkan negeri We, tetapi keinginannya itu segera dicegah oleh Sian Cin.
”Jangan, hamba rasa tidak pantas apabila kita berbuat begitu,” demikian kata Sian Cin. ”Sebenarnya
kedatangan kita ini hendak menolong negeri Cee dan Song, supaya mereka terluput dari ancaman negeri
Couw. Sekarang bahaya yang mengancam mereka belum dapat disingkirkan, jika kita hancurkan negeri
We, ini bukan tugas seorang bijaksana hendak membela lemah dan kasihan pada yang kecil. Meskipun
We dianggap tidak memegang aturan, tetapi tokh rajanya sudah keluar dari negaranya, jadi mau apa
kita, sekarang terserah kita! Sekarang lebih baik pindahkan pasukan perang kita ke sebelah Timur untuk
melabrak negeri Co, nanti waktu angkatan perang Couw datang menolong We, kita sudah ada di Co.”

Chin Bun-kong setuju pada usul tersebut, maka segera dia perintahkan tentaranya berangkat ke negeri
Co. Sekarang tentara Chin telah mengepung negeri Co dengan ketat. Raja Co Kiong-kong jadi sangat
khawatir, lalu mengumpulkan semua menterinya untuk berunding.

”Kedatangan angkatan perang Raja Chin untuk membalas sakit hatinya karena dulu telah ditertawakan
karena tulang iga,” kata Hi Hu Ki. ”Sekarang kemarahannya sedang menggebu-gebu, pasti kita tidak bisa
menahan serangannya. Hamba bersedia menjadi utusan untuk menerima dosa dan minta berdamai,
untuk menolong kesusahan rakyat negeri.”

”Raja Chin menolak permintaan damai Raja We, masakan dia mau menerima permintaan kita?” kata Co
Kiong-kong putus harapan.

”Hamba dengar, ketika Raja Chin keluar mengembara dan lewat di negeri Co, dengan diam-diam Hi Hu
Ki telah memberi makanan dan minuman,” kata Tay-hu I Long,

”Sekarang kita mohon padanya untuk menjadi utusan kita. Perbuatan Hi Hu Ki perbuatan menjual
negeri, harap Tuanku jangan luluskan permintaannya. Lebih baik Tuanku bunuh saja Hu Ki, hamba sudah
sedia sebuah tipu untuk mengundurkan tentara Chin.”
”Hu Ki bekerja pada negeri dengan tidak setia, seharusnya memang dia dihukum mati,” kata Raja Co
dengan marah. ”Cuma saja aku ingat dia pembesar turunan, aku bebaskan dari hukuman mati dan cuma
pecat dia dari jabatannya!”

Mendengar Raja Co Kiong-kong mengeluarkan putusan tersebut, dengan paras berduka Hi Hu Ki


menghaturkan terima kasih karena dia diberi ampun dari hukuman mati, dan segera dia keluar dari
istana, terus pulang ke rumahnya. Begitulah sejak saat itu dia menutup pintu rumahnya dan tidak ikut
campur urusan negara lagi.

Sesudah Hi Hu Ki pergi dari istana, Raja Co lalu bertanya I Long tipu apa yang dia hendak gunakan. ”Raja
Chin mengandalkan kegagahannya, pasti sikapnya sombong sekali,” demikian kata I Long, ”apabila
hamba berpura-pura membuat surat rahasia, dan hamba janjikan akan menyerahkan kota, tetapi lebih
dulu diperintahkan tentara kita dengan bersenjata panah bersembunyi di pinggir kota, jika beruntung
mendustai Raja Chin, dan dia sampai masuk ke dalam kota, pintu kota harus segera ditutup dan terus
membarenginya dengan melepas anak panah, pasti dia akan binasa.”

Raja Co Kiong-kong setuju dengan tipu dan rencana itu, lalu memerintahkan I Long segera menjalankan
siasatnya. Hampir saja Raja Chin Bun-kong terjebak ke dalam tipu-muslihat I Long, karena ketika dia
menerima surat menyerah dari I Long, segera juga dia hendak masuk ke dalam kota. Tetapi untung Sian
Cin yang cerdik mencegahnya, seraya berkata, ”Tenaga tentara Co masih utuh, mana boleh langsung
percaya dia mau menyerah, maka biarlah hamba mencoba dulu padanya.”

Segera Sian Cin memilih di antara serdadunya yang wajahnya hampir mirip seperti Raja Chin Bun-kong,
lalu diperintah menyamar dan kopiah Raja Chin dipakaikan, kemudian prajurit itu masuk ke dalam kota.
Put Te memohon untuk menjadi kusir keretanya, permohonan itu diluluskan.

Pada waktu sore, benar saja di atas kota Co tertancap bendera tanda menyerah, sedang pintu kota pun
sudah terbentang. Raja Chin palsu dengan diiringkan oleh lima ratus tentaranya baru masuk kira-kira
separoh jalan, sekonyong-konyong terdengar suara pintu ditutup secara tiba-tiba, berbareng dengan itu
segera menyambar anak pamah banyak sekali. Mereka buru-buru hendak mundur kembali, tetapi sudah
terlambat, karena pintu kota sudah ditutup rapat. Sungguh kasihan sekali Put Te bersama kira-kira tiga
ratus serdadu Chin telah binasa.

Kejadian itu dalam keadaan sudah gelap, hingga orang Co mengira Raja Chin yang telah binasa. Sedang I
Long yang merasa tipu-muslihatnya sudah berhasil bagus, telah mengeluarkan tingkah angkuh di
hadapan rajanya.

Setelah tiba saat terang, sesudah orang Co memeriksa mayat orang yang binasa, barulah mereka
mendapat kenyataan, Raja Chin itu palsu adanya. Sedang serdadu Chin yang belum masuk ke dalam kota
dan beruntung bisa melarikan diri, lalu menghadap pada Raja Chin dan menceritakan apa yang telah
terjadi. Raja Chin Bun-kong sangat gusar pada orang Co, sekarang melihat perbuatan orang Co yang
curang, dia jadi semakin marah, lalu memerintahkan tentaranya melabrak kota lebih hebat lagi.
I Long lalu mengajukan tipu baru pada Raja Co, yaitu menggeletakan bangkai serdadu Chin di atas kota,
apabila temannya melihat, niscaya jadi terharu dan tidak melabrak dengan sungguh-sungguh hati, dan
jika sampai lewat pula beberapa hari, penolong dari Couw pasti sudah datang. Ini tipu untuk mengecoh
hati tentara Chin.

Kembali Raja Co Kiong-kong merasa setuju dan segera menjalankan tipu itu. Tatkala balatentara Chin
melihat di atas kota banyak bangkai digantung di galah, semua jadi sangat terharu, hingga tidak
berhentinya menghela napas dan menyatakan pilu hatinya.

Chin Bun-kong memanggil Sian Cin, dan bertanya, ”Dengan melihat kekejian orang-orang Co, aku
khawatir hati tentara kita bisa jadi berubah, sekarang harus digunakan akal apa?”

”Kuburan orang-orang Co semuanya ada di luar pintu kota sebelah Barat,” sahut Sian Cin, ”sekarang kita
pecah sebagian tentara dan dirikan pesanggrahan dengan berbaris di tanah kuburan, seolah-olah
menunjukkan hendak membongkar kuburan itu. Melihat hal ini, pastiorang-orang Co yang ada di dalam
kota jadi ketakutan, lantaran ketakutan mereka menjadi kalut, dan kemudian kita boleh lantas
menggunakan kesempatan yang baik itu.”

Chin Bun-kong jadi girang, lalu memerintahkan tentaranya menyiarkan kabar, bahwa kuburan orang-
orang Co hendak digali. Agar orang Co percaya dengan kabar itu, Chin Bun-kong memerintahkan Ho Mo
dan Ho Yan memimpin pasukan tentara mendirikan pesanggrahan di pekuburan bangsa Co, di sana
disediakan banyak pacul, pancong dan lain-lain perabot untuk menggali tanah.

Kabar ini membuat orang-orang Co jadi panik, karena katanya, telah ditentukan besok tengah hari
tentara Chin hendak menggali dan mengeluarkan semua tengkorak dari kuburan orang-orang Co.

Apa yang Sian Cin telah duga, betul juga tidak meleset, karena orang di dalam kota ketika mendengar
kabar ini, semua merasakan hatinya seperti hancur. Raja Co Kiong-kong segera memerintahkan orang
berteriak dari atas kota, untuk minta supaya orang orang Chin tidak membongkar kuburan leluhur
mereka, karena sekarang mereka hendak menyerah dengan sesungguhnya.

Sian Cin memerintahkan orangnya memberi jawaban, jika semua mayat tentara Chin diurus dengan baik
dan diantarkan ke pesanggrahan Chin, semua kuburan orang Co baru tidak jadi digali. Raja Co minta
waktu tiga hari untuk mengurus beres mayat-mayat, permintaan itu diluluskan oleh Sian Cin. Benar saja
Raja Co Kiong-kong memerintahkan orang-orangnnya mengangkat semua mayat yang menggletak di
atas kota, di dalam tiga hari, semua mayat sudah dimasukkan ke dalam peti mati dan dimuatkan di atas
kereta lalu diantarkan ke markas tentara Chin.

Tetapi Sian Cin sudah menetapkan siasatnya, dia perintahkan Ho Mo, Ho Yan, Loan Ci dan Tan Sin,
masing-masing memimpin pasukan tentara pergi bersembunyi di empat penjuru, untuk menunggu jika
ada orang Co yang membuka pintu kota mengeluarkan peti mayat, mereka harus secara serempak
menyerang ke dalam kota.

Setelah sampai hari yang ke empat, Sian Cin perintah orangnya berteriak dari bawah kota minta
dikembalikan semua mayat tentara Chin. Orang Co dari atas kota lantas menyahut, ia minta balatentara
Chin yang mengepung kota dimundurkan dulu lima li jauhnya, baru mereka mau mengeluarkan semua
mayat yang sudah dimasukkan ke dalam peti dengan rapi.

Sian Cin memberi tahu Raja Chin Bun-kong, yang lantas mengeluarkan perintah untuk mengundurkan
tentaranya lima li jauhnya. Empat penjuru pintu kota segera dibuka, dari sana didorong keluar peti-peti
mayat. Tetapi baru saja peti mayat dikeluarkan satu per tiga bagian, sekonyong-konyong terdengar
suara meriam, berbareng dengan itu balatentara Chin yang bersembunyi di empat penjuru langsung
bergerak maju. Mulut kota sudah tertutup oleh peti mayat, hingga pintunya tidak bisa ditutup.

Balatentara Chin menggunakan kesempatan saat sedang kalut, segera menyerang masuk ke dalam kota.
Waktu itu justru Raja Co Kiong-kong berada di atas kota, dia jadi sangat bingung ketika melihat bahaya
hebat sedang mengancam itu. Gui Cun dari luar kota melihat raja itu, dengan sekali lompat dia sudah
sampai di atas kota dan menawan Raja Co Kiong-kong.

I Long buru-buru turun dari atas kota hendak kabur, tetapi bertemu dengan Tan Kiat, yang lantas
menangkapnya dan membunuhnya. Chin Bun-kong lalu memimpin semua panglima dan tentaranya
masuk ke dalam kota. Segera Gui Cun datang menyerahkan Raja Co, sedang Tan Kiat menyerahkan
kepala I Long, begitu pun panglima semua datang menyerahkan apa yang mereka dapatkan.

Chin Bun-kong memerintahkan mengambil daftar nama menteri-menteri negeri Co, lalu dia periksa
dengan teliti. Tiga ratus nama pembesar tercatat di dalam daftar itu, yang satu persatu lantas ditangkap,
hingga tidak ada satu orang pun yang bisa meloloskan diri. Tetapi Chin Bun-kong merasa sangat heran,
sebab dalam daftar itu tidak ada teercatat nama Hi Hu Ki, padahal dia pembesar yang ternama.

Dengan perantaraan orang Co Chin Bun-kong mendapat keterangan, bahwa nama Hi Hu Ki sudah
dikeluarkan dari daftar pembesar negeri dan telah dilepas menjadi rakyat negeri biasa, lantaran dia
memberi saran pada Raja Co supaya menyerah pada Chin. Chin Bun-kong jadi sangat marah pada Co-
pek, lalu ia damprat dengan sengit. Tetapi Raja yang sudah tidak berdaya itu tinggal tunduk saja tidak
berani menyahut. Segera Raja Chin Bun-kong memerintahkan orangnya memenjarakan Raja Co di
pesanggrahan besar, sesudah menang perang dengan negeri Couw, baru mau diperiksa lebih jauh
kesalahannya. Sedang tiga ratus pembesar Co, semua dihukum mati, harta bendanya dirampas untuk
dibagi-bagikan pada tentara Chin.

Oleh karena Chin Bun-kong ingat berhutang budi pada Hi Hu Ki, yaitu waktu dia kelaparan di negeri Co,
pembesar itu sudah memerlukan menyuguhi makanan padanya, maka sebagian tempat di pintu kota
sebelah Utara di sana terletak rumah Hi Hu Ki, dia larang keras tentaranya tidak boleh ada yang
mengganggu, manakala ada yang berani merusakkan milik kaum Hi, meski hanya selembar rumput atau
secabang pohon, orang yang membantah perintah itu akan segera dijatuhi hukuman potong kepala.

Kemudian Raja Chin membagikan pekerjaan pada semua panglima perangnya, yaitu sebagian disuruh
menjaga kota, dan sebagian lagi ikut dia kembali ke pesanggrahan besar.

Tetapi siapa sangka Gui Cun dan Tan Kiat merasa iri hati melihat rajanya sampai begitu mengindahkan Hi
Hu Ki, mereka khawatir kelak bekas menteri Co itu diberi jabatan yang lebih besar dari mereka.
Bagitulah pada malam harinya sesudah minum arak dan mabuk-mabukkan, mereka berdua lalu
memimpin tentaranya pergi mengepung rumah Hi Hu Ki dan terus dibakar.

Dengan hanya sebentar saja api berkobar-kobar menjilat ke kian-kemari, Gui Cun dan Tan Kiat
menggeledah hendak membunuh Hi Hu Ki. Celakanya balok uwungan rumah telah roboh dan menimpa
dada Gui Cun, hingga di situ juga dia muntah-muntah darah, apabila dia tidak bertenaga besar dan tidak
keburu Tan Kiat datang menolonginya, pasti dia sudah mati terbakar.

Hi Hu Ki telah terluka berat, untung isterinya sempat menggendong anaknya yang baru berusia lima
tahun, Hi Lok namanya, pergi melarikan diri ke kebun belakang dan masuk merendam diri di dalam
empang yang kotor, dengan demikian baru bisa meluputkan diri dari bahaya.

Esok harinya ketika diusut dan dicari keterangan, telah ketahuan pelakunya Gui Cun dan Tan Kiat,
merekalah yang sudah melakukan perbuatan kejam itu, hingga Raja Chin Bun-kong jadi marah sekali. Dia
menjatuhkan hukuman pada dua panglima itu. Tetapi Tio Swi tidak setuju dengan putusan hukuman itu,
dia berkata pada Raja Chin.

”Gui Cun dan Tan Kiat pembesar yang berjasa, bukan saja mereka sudah ikut saat Cu-kong mengembara
sembilan belas tahun lamanya, tetapi ketika menyerang kota raja Co, mereka pun telah berjasa besar,
maka hamba rasa pantas untuk kesalahannnya itu, kali ini diberi ampun.” kata Tio Swi.

Chin Bun-kong menolak permohonan Tio Swi.

”Jika ada menteri yang berjasa berani melanggar perintah, niscaya dia tidak bisa memerintah dengan
adil.” kata Chin Bun-kong.

Akhirnya sesudah Tio Swi membujuk lebih jauh, serta memberi saran jika mau dibunuh biarlah bunuh
Tan Kiat seorang saja, tumpahkan semua kedosaan pada Tan Kiat sendiri, Gui Cun boleh dibebaskan dari
hukuman mati dan diganti dengan hukuman lain, sebab sayang sekali Gui Cun yang begitu gagah perkasa
dan boleh dibilang macannya negeri Chin kalau sampai dibunuh. Dengan begitu barulah Chin Bun-kong
merubah putusannya, yaitu Tan Kiat dihukum potong kepala, Gui Cun diturunkan pangkatnya, sedang Hi
Hu Ki yang telah meninggal dunia lantaran lukanya, jenazahnya diurus dengan upacara kebesaran, anak-
isterinya diberi hadiah.

Begitulah lantaran Chin Bun-kong memegang aturan dengan keras dan adil, semua panglima dan
tentaranya sangat mengindahkannya, hingga semua melakukan pekerjaannya dengan hati-hati betul.

Pada tahun Ciu Teng-ong ke-2, menteri negeri The, Kong-cu Song, telah membunuh Raja The Leng-kong,
karena Raja The telah menghina Kong-cu Song. Lalu dia bersekongkol dengan menteri yang lain
mengangkat adi Raja The Leng-kong, Kong-cu Kian, menggantikan menjadi raja, yaitu yang disebut Raja
The Siang-kong. Kemudian dia mengirim utusan untuk minta berserikat dengan Raja Chin, supaya Raja
Chin bisa melindungi negeri The.
Couw Cong-ong yang merasa gemas sekali pada negeri The, dengan menggunakan alasan hendak
melabrak menteri durhaka yang sudah membinasakan rajanya, dia perintahkan Kong-cu Eng Ce
memimpin satu pasukan perang pergi menyerang negeri The.

Atas permintaan Raja The, Raja Chin memerintahkan Sun Lim Hu memimpin pasukan perang pergi
menolong The. Panglima Couw yang mengetahui Raja Chin mengirim bala-bantuan, lalu memindahkan
tentaranya menyerang ke negeri Tan, sebab Raja Tan juga bersekutu dengan negara Chin. Sebelum
tentara Chin datang menolong The, Raja Tan sudah keburu berdamai dengan negeri Couw. Pada Lain
tahun, yaitu tahun Ciu Teng-ong ke-3, Raja Couw Cong-ong memimpin sendiri pasukan besarnya pergi
menyerang negeri The.

Di pihak Chin juga mengirim bala bantuan yang dipimpin oleh Kiok Koat. Ketika berkecamuk perang,
pihak Couw yang mendapat kekalahan. Tetapi Raja Couw Cong-ong masih saja penasaran, lain tahun
kembali dia kerahkan tentaranya menyerang negeri The. Raja The merasa kewalahan, apa boleh buat dia
lantas menjatuhkan hukuman mati pada Kong-cu Song, lalu minta berdamai dengan Raja Couw. Raja
Couw Cong-ong meluluskan permohonan Raja The, dia lantas menetapkan perserikatan dengan Raja Tan
dan Raja The.

Pada tahun Ciu Teng-ong ke-9, pangkat Su-ma di negeri Tan, He Tin Si namanya, telah membunuh Raja
Tan Leng-kong, sebab rajanya sudah menginginkan ibu Su-ma yang disebut He-ki. Kemudian dia
mengangkat putera Tan Leng-kong, Pangeran Ngo menjadi raja, yaitu yang disebut Tan Seng-kong.
Tetapi bukan meneruskan persahabatan dengan Raja Couw, malah Raja Tan berbalik berserikat dengan
negeri Chin. Raja Couw Cong-ong waktu mengetahui apa yang telah terjadi di negeri Tan, dia jadi marah
sekali lalu dia pimpin tentaranya pergi menyerang negeri Tan.

Waktu itu Raja Tan Seng-kong tidak ada di negerinya, dia sedang pergi ke negeri Chin untuk menetapkan
perserikatan dengan Raja Chin. Sedang rakyat negeri Tan banyak yang benci pada He Tin Si, maka
sebelum tentara Tan mengatur persediaan untuk menangkis serangan Raja Couw, rakyat Tan sudah
keburu membuka pintu kota dan menyilahkan tentara Couw masuk ke dalam kota raja Tan.

Raja Couw Cong-ong melarang keras semua tentaranya tidak boleh mengganggu milik rakyat negeri Tan,
siapa yang melanggar larangan itu akan dihukum mati. Segera dia tangkap He Tin Si dan dihukum mati
dengan ditarik tubuhnya oleh dua ekor kerbau. Raja Couw melihat He-ki begitu cantik, dia hendak
mengambilnya untuk dijadikan gundiknya, tetapi langsung dicegah oleh beberapa menterinya, yang
mengatakan bahwa He-ki itu bukan perempuan baik-baik, malah mirip seorang pelacur yang bisa
menyebabkan negara jadi kacau, karena dicegah dia urungkan niatnya, dia lantas menyerahkan He-ki
untuk isteri Siang-lo, satu panglima Couw yang sudah berusia tua dan tidak punya isteri.

Kemudian Raja Couw Cong-ong memeriksa peta bumi negeri Tan, dia masukkan negeri Tan menjadi
tanah jajahan negeri Couw, lalu dia angkat Kong-cu Eng Ce menjadi pembesar di Tan, semua pembesar
negeri Tan dia bawa pulang ke kota Teng-touw. Raja Couw memusnahkan negeri Tan, sebagian besar
pembesar Couw menyatakan girang hatinya, negeri-negeri di sebelah Selatan banyak yang mengirim
utusan memberi selamat, cuma ada satu pembesar Couw, Sin Siok Si namanya, dia diam saja tidak
berkata apa-apa. Raja Couw Cong-ong merasa heran melihat kelakuan Sin Siok Si ini, lalu dia panggil
menghadap dan ditanya apa sebabnya dia tidak memberi selamat atau ikut menyatakan girang.

”Apakah Tuanku sudah pernah mendengar tentang orang menuntun kerbau lewat di sawah?” tanya Sin
Siok Sie.

”Belum, aku belum mendengarnya.”

”Seseorang menuntun kerbau dan mengambil jalan di sawah milik orang lain, celaka dia sudah
menginjak tanaman padi orang , lalu orang yang pemilik sawah jadi marah lantas merebut kerbaunya.
Sekarang hamba mohon bertanya, jika perkara itu dibawa ke hadapan Tuanku, bagaimanakah Tuanku
akan memberi putusan?”

”Menuntun kerbau melewati sawah orang lain, dan merusak padi tidak seberapa banyak, jika sampai
kerbaunya dirampas, ini keterlaluan sekali. Apabila aku yang memutuskan perkara ini, aku hanya akan
memarahi orang yang menuntun kerbau dan lantas membayar kerugian kerbaunya yang telah
menginjak padi milik orang lain. Bagaimana, apakah kau pikir keputusanku itu adil atau tidak?”

”Dalam perkara orang menuntun kerbau Tuanku bisa memberi keputusan begitu adil, tetapi mengapa
dalam perkara negeri Tan, Tuanku mengambil putusan begitu ruwet? Dosa He Tin Si cuma karena dia
membunuh rajanya sendiri, tidak pantas negerinya dimusnahkan. Jika Tuanku sudah menjatuhkan
hukuman atas dosanya itu sudah cukup, bagaimana boleh mengambil orang punya negeri? Apakah ini
bukan seperti tukang sawah merebut kerbau orang? Maka cara bagaimana mau menyuruh hamba
memberi selamat?”

Raja Couw Cong-ong membanting kaki dan berkata, ”Aha, hampir saja aku melakukan perbuatan yang
tidak adil, baik kau yang mengingatkannya!”

”Jika Tuanku merasa ucapan hamba benar, baiklah Tuanku mengambil putusan seperti mengembalikan
orang punya kerbau,” kata Sin Siok Si.

”Ya, tentu aku akan berbuat begitu.” sahut Raja Couw.Raja Couw Cong-ong segera menyuruh semua
menteri negeri Tan pulang ke negaranya, dia suruh mereka menyambut kembali raja mereka, kemudian
baru memerintahkan Kong-cu Eng Ce pulang ke negeri Couw.

Raja, menteri dan rakyat negeri Tan merasa bersyukur sekali pada kebaikan Raja Couw Cong-ong, selain
Raja Tan pergi menghaturkan terima kasih, juga dia menetapkan perserikatan dengan Raja Couw. Pada
tahun Ciu Teng-ong ke-10, lantaran diancam oleh Raja Chin, Raja The ketakutan, lalu mengadakan
perserikatan dengan negeri Chin. Raja Couw Cong-ong yang mendapat kabar menjadi gusar, dia
menduga ini kali bakal memaklumkan perang besar pada Raja Chin, maka dia kerahkan seluruh pasukan
perangnya pergi menyerang ke negeri The.

Apa yang Raja Couw Cong-ong duga benar saja terjadi, karena Raja The minta pertolongan, Raja Chin
mengirim pasukan perangnya yang besar jumlahnya membantu Raja The. Tetapi kedatangan pasukan
perang Chin sudah terlambat, karena Raja Couw Cong-ong sudah memukul kota Raja The, hingga Raja
The minta ampun dan menyerah kepada Raja Couw.

Meski demikian tidak urung pasukan Chin dan pasukan Couw telah berpapasan di gunung Go-san di
bilangan kota Pit-shia. Di situ berlangsung peperangan besar, dalam peperangan itu Couw Cong-ong
sudah bisa membalas kekalahannya yang dulu, yaitu dia sudah bisa membuat pasukan perang Chin
mendapat kerusakan sangat besar.

Setelah sampai tahun Ciu Teng-ong ke-12 musim Cun bulan tiga, Leng-i Sun Siok Go, karena terserang
penyakit berat telah meninggal dunia. Meninggalnya perdana menteri ini membuat Raja Couw Cong-ong
sedih sekali, dia kuburkan jenazah perdana menterinya dengan upacara yang sangat agung. Kemudian
dia angkat Kong-cu Eng Ce menggantikannya menjadi Leng-i.

Kepala perang di negeri Chin, Sun Lim Hu, ketika mendapat kabar Leng-i Sun Siok Go meninggal dunia,
dia langsung memimpin tentaranya menyerang ke negeri The. Tetapi dia tidak terus menyerang ke kota
raja The, cuma melakukan perampasan di luar kota dan langsung kembali ke negaranya, seolah-olah
hanya menggertak supaya Raja The ketakutan dan minta berserikat lagi dengan negara Chin.

Raja The buru-buru mengirim utusan kepada Raja Couw untuk memberi tahu apa yang telah diperbuat
oleh panglima Chin itu. Raja Couw Cong-ong mengadakan perundingan dengan menteri-menterinya, dan
diambil keputusan untuk membalas gangguan tentara Chin, Raja Couw mengerahkan pasukan
perangnya menyerang negeri Song, sebab Song masih sahabat Raja Chin yang paling kekal. Penyerangan
Raja Couw ditangkis dengan bersungguh-sungguh hati oleh Raja Song, hingga Song bisa menahan
serangan Raja Couw sampai sembilan bulan lamanya. Tetapi akhirnya karena Raja Song yang minta
pertolongan, Raja Chin tidak bisa mengirim pasukan perangnya, terpaksa Raja Song menyerah juga
kepada Raja Couw.

Sehabis menaklukkan negeri Song, selang tidak berapa lama Raja Couw Cong-ong terserang sakit hebat,
penyakitnya semakin hari semakin berat, akhirnya Raja Couw Cong-ong wafat. Waktu itu putra Raja
Couw Cong-ong meski baru berusia sepuluh tahun diangkat menjadi raja, disebut Raja Couw Kiong-ong.

Demikianlah riwayat Raja Cee Hoan-kong, Raja Song siang-kong, Raja Chin Bun-kong, Raja Cin Bok-kong
dan Raja Couw Cong-ong, atau yang disebut Ngo Pa (Lima Raja Jagoan) di zaman Cun Ciu. Sesudah
zaman Cun Ciu disebut zaman Cian-kok Cit Hiong (Tujuh Raja Jago di Zaman Cian-kok). Sehabis zaman
Cian-kok baru sampai pada zaman Cin-si Hong-tee, di sini Kerajaan Ciu baru musnah dan berdiri Kerajaan
Cin. Waktu di zaman Cun Ciu banyak sekali negeri-negeri, tetapi yang kuat memusnahkan yang lemah,
yang besar menelan yang kecil, hingga semakin lama jumlah negara jadi semakin sedikit, sampai pada
zaman Cian-kok hanya tinggal tujuh negara besar.

Ketujuh negara besar itu di zaman Cian-kok ialah negara: Cin, Couw, Yan, Cee, Han, Tio dan Gui. Raja
negeri Cee dulu orang she Kiang, tetapi waktu itu telah direbut oleh orang she Tian. Negeri Han, Tio dan
Gui asalnya sebenarnya negeri Chin, karena di kemudian hari di negeri Chin timbul kekacauan besar,
hingga negeri itu hancur oleh tiga panglima perangnya yang berkuasa besar dalam urusan tentara, yaitu
panglima she Han, Tio dan Gui, dan begitulah masing-masing memakai she (marga) untuk menamakan
negara mereka. Sedang negara Cin, Couw dan Yan masih raja turunan dulu.

Di antara ketujuh negara itu, negara Cin yang paling kuat, maka akhirnya Cin-lah yang memusnahkan ke-
enam negara menjadi negara Cin yang besar, begitulah Cin-si Hong-tee bisa menjadi Kaisar di Tiong-kok
dan mendirikan Kerajaan Cin-tiauw. Dialah yang membangun Tembok Besar atau Ban-li-tiang-shia atau
Tembok Seribu Li. Maka berakhirlah kisah Cun Ciu Ngo Pa atau Lima Jagoan di Zaman Cun Ciu ini.

TAMAT

https://sontangku.wordpress.com/2012/04/13/5-jagoan-cun-ciu-ngo-pa-jilid-21/

Anda mungkin juga menyukai