Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS

Demensia Alzheimer

Oleh:
Abednego Tri Novrianto (11.2016.331)

Pembimbing:
dr. Hardi Pranata, Sp.S, MARS

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf


RSPAD Gatot Soebroto
Periode 15 Oktober – 17 November 2018

1
Lembar Pengesahan
Demensia Alzheimer

Oleh :
Abednego Tri Novrianto
11 2016 331

Presentasi kasus ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu prasyarat mengikuti ujian
kepaniteraan klinik di bagian Neurologi RSPAD Gatot Subroto, Jakarta

Jakarta, November 2018

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Hardi Pranata, Sp.S, MARS

1
Kata Pengantar

Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga pembuatan karya tulis berupa laporan kasus departemen neurologi yang
berjudul “Demensia Alzeimer” dapat tersusun dan terselesaikan tepat pada waktunya.
Terima kasih kami ucapkan kepada dr. Hardi Pranata, Sp.S MARS, selaku pembimbing
penulisan yang telah memberikan arahan dalam penyelesaian laporan kasus ini.
Adapun pembuatan tulisan ini bertujuan untuk mendiskusikan kasus demensia, mulai dari
pengertian hingga penatalaksanaannya pada pasien yang dirawat jalan di poli saraf selama masa
kepaniteraan klinik penulis di Rumah Sakit Umum Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, sehingga
diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan mendukung penerapan klinis yang lebih baik dalam
memberikan kontribusi positif sistem pelayanan kesehatan secara optimal.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan yang telah disusun ini masih banyak terdapat
kekurangan di dalam penulisannya, baik di dalam penyusunan kalimat maupun di dalam teorinya,
mengingat keterbatasan dari sumber referensi yang diperoleh penulis serta keterbatasan penulis selaku
manusia biasa yang selalu ada kesalahan. Oleh karena itu, penulis membutuhkan kritik dan saran.
Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi semua pihak.

Jakarta, November 2018


Penulis

Abednego Tri Novrianto

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Gangguan kesehatan pada golongan lansia terkait erat dengan proses degenerasi yang tidak
dapat dihindari. Seluruh sistem, cepat atau lambat akan mengalami degenerasi. Manifestasi klinik,
laboratorik dan radiologik bergantung pada organ dan/atau sistem yang terkena. Perubahan yang
normal dalam bentuk dan fungsi otak yang sudah tua harus dibedakan dari perubahan yang disebabkan
oleh penyakit yang secara abnormal mengintensifkan sejumlah proses penuaan. Salah satu manifestasi
klinik yang khas adalah timbulnya demensia. Penyakit semacam ini sering dicirikan sebagai
pelemahan fungsi kognitif atau sebagai demensia. Memang, demensia dapat terjadi pada umur berapa
saja, bergantung pada faktor penyebabnya, namun demikian demensia sering terjadi pada lansia.
Demensia merupakan sindroma yang ditandai oleh berbagai gangguan fungsi kognitif tanpa
gangguan kesadaran. Fungsi kognitif yang dapat dipengaruhi pada demensia adalah inteligensia
umum, belajar dan ingatan, bahasa, memecahkan masalah, orientasi, persepsi, perhatian, konsentrasi,
pertimbangan dan kemampuan sosial. Disamping itu, suatu diagnosis demensia menurut Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorders edisi keempat (DSM-IV) mengharuskan bahwa gejala
menyebabkan gangguan fungsi sosial atau pekerjaan yang berat dan merupakan suatu penurunan dari
tingkat fungsi sebelumnya.
Tipe demensia yang paling sering selain Alzheimer adalah demensia vaskular, yaitu demensia
yang secara kausatif berhubungan dengan penyakit serebrovaskular. Demensia vaskular berjumlah 15-
30 persen dari semua kasus demensia. Demensia vaskular paling sering ditemukan pada orang yang
berusia antara 60-70 tahun dan lebih sering pada laki-laki dibandingkan wanita. Hipertensi merupakan
predisposisi seseorang terhadap penyakit.

1.2. Manfaat
Penulisan karya tulis ini ditujukan untuk mempelajari kasus Demensia Alzeimer yang
berlandaskan teori guna memahami bagaimana cara mengenali, mengobati, dan mencegah parkinson,
sehingga dapat mengoptimalisasi kemampuan dan pelayanan dalam merawat pasien yang menderita
Demensia Alzeimer.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Demensia adalah gangguan fungsi intelektual dan memori didapat yang disebabkan oleh
penyakit otak (organik), yang tidak berhubugan dengan gangguan tingkat kesadaran. Demensia
menurut WHO adalah sindrom neurodegeneratif yang timbul karena adanya kelainan yang bersifat
kronis dan progresif disertai dengan gangguan fungsi luhur multipel seperti kalkulasi, kapasitas
belajar, bahasa dan mengambil keputusan.1 Kesadaran pada demensia tidak terganggu.
Perburukan fungsi kognitif biasanya disertai dengan perburukan kontrol emosi, perilaku dan
motivasi. Demensia merujuk pada gejala klinis yang mempunyai bermacam penyebab. Pasien
dengan demensia harus mempunyai gangguan memori selain kemampuan mental lain seperti
berpikir abstrak, penilaian, kepribadian, bahasa, praksis, dan visuospasial. Penurunan yang terjadi
harus cukup berat sehingga memengaruhi aktivitas kerja dan sosial secara bermakna.2
Walaupun sebagian besar kasus demensia menunjukkan penurunan yang progresif dan
tidak dapat pulih (irreversibel), namun beberapa penyebab demensia dapat sepenuhnya pulih
(misalnya hematoma subdural, toksisitas obat, depresi) bila dapat diatasi dengan cepat dan tepat.
Demensia dapat muncul pada usia berapapun meskipun umumnya muncul setelah usia 65 tahun.2
Penting pula membedakan demensia dengan delirium. Delirium merupakan keadaan
confusion (kebingungan), biasanya timbul mendadak, ditandai dengan gangguan memori dan
orientasi (sering dengan konfabulasi) dan biasanya disertai gerakan abnormal, halusinasi, ilusi,
dan perubahan afek. Untuk membedakan dari demensia, pada delirium terdapat penurunan tingkat
kesadaran. Delirium hanya berfluktuasi intensitasnya dan dapat menjadi demensia bila kelainan
yang mendasari tidak teratasi. Penyebab paling sering delirium meliputi ensefalopati akibat
penyakit infeksi, toksik dan faktor nutrisi, atau penyakit sistemik..2

2.2 Epidemiologi
Pada 17-25 juta orang di seluruh dunia, dengan perkiraan empat juta orang terkena
demensia di negara Amerika serikat dan 800.000 orang di UK.
Laporan Departemen Kesehatan tahun 1998, populasi usia lanjut diatas 60 tahun adalah
7,2 % (populasi usia lanjut kurang lebih 15 juta). Kira-kira 5 % usia lanjut 65 – 70 tahun menderita
demensia dan meningkat dua kali lipat setiap 5 tahun mencapai lebih 45 % pada usia diatas 85
tahun.

4
Dari seluruh pasien yang menderita demensia, 50 hingga 60 persen diantaranya menderita
demensia tipe Alzheimer (Alzheimer’s diseases).

2.3 Etiologi
Demensia mempunyai banyak penyebab tetapi demensia tipe Alzheimer dan demensia
vaskular secara bersama-sama berjumlah sebanyak 75 persen dari semua kasus. Penyebab
demensia lainnya yang disebutkan dalam DSM-IV adalah penyakit Pick, penyakit Creutz-feldt-
Jakob, penyakit Huntington, penyakit Parkinson, human immunodeficiency virus (HIV), dan
trauma kepala.3

1) Demensia Tipe Alzheimer


Diagnosis akhir penyakit Alzheimer didasarkan pada pemeriksaan neuropatologi otak,
namun demnikian, demensia tipe Alzheimer biasanya didiagnosis dalam lingkungan klinis
setelah penyebab demensia lainnya telah disingkirkan dari pertimbangan diagnosis.3
Walaupun penyebab demensia tipe Alzheimer masih tidak diketahui, telah terjadi
kemajuan dalam mengerti dasar molekular dari deposit amiloid yang merupakan tanda utama
neuropatologi gangguan. Beberapa penelitian telah menyatakan bahwa sebanyak 40 persen
pasien mempunyai riwayat keluarga menderita demensia tipe Alzheimer, jadi faktor genetik
dianggap berperan sebagian dalam perkembangan gangguan dalam sekurangnya beberapa
kasus. Dukungan tambahan lain adalah bahwa angka persesuaian untuk kembar monozigot
adalah lebih tinggi dari angka untuk kembar dizigot. Dalam beberapa kasus yang telah tercatat
baik gangguan telah ditransmisikan dalam keluarga melalui satu gen autosomal dominan,
walaupun transmisi tersebut adalah jarang.

2) Demensia Vaskular
Penyebab utama dari demensia vaskular dianggap adalah penyakit vaskular serebral
yang multipel, yang menyebabkan suatu pola gejala demensia. Gangguan dulu disebut
sebagai demensia multi-infark dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
edisi ketiga yang di revisi (DSM-III-R). Demensia vaskular paling sering pada laki-laki,
khususnya pada mereka dengan hipertensi yang telah ada sebelumnya atau faktor risiko
kardiovaskular lainnya. Gangguan terutama mengenai pembuluh darah serebral berukuran
kecil dan sedang, yang mengalami infark menghasilkan lesi parenkim multipel yang
menyebar pada daerah otak yang luas. Penyebab infark mungkin termasuk oklusi pembuluh
darah oleh plak arteriosklerotik atau tromboemboli dari tempat asal yang jauh (sebagai

5
contohnya katup jantung). Suatu pemeriksaan pasien dapat menemukan bruit karotis, kelainan
funduskopi, atau pembesaran kamar jantung.3

3) Penyakit Pick (Demensia Frontotemporal)


Berbeda dengan distribusi patologi parietal-temporal pada penyakit Alzheimer,
penyakit Pick ditandai oleh atrofi yang lebih banyak dalam daerah frontotemporal. Daerah
tersebut juga mengalami kehilangan neuronal, gliosis, dan adanya badan Pick neuronal yang
merupakan massa elemen sitoskeletal. Badan Pick ditemukan pada beberapa spesimen
postmortem tetapi tidak diperlukan untuk diagnosis. Penyebab penyakit Pick tidak diketahui.
Penyakit Pick berjumlah kira-kira lima persen dari semua demensia yang irreversibel.
Penyakit ini paling sering terjadi pada laki-laki, khususnya mereka yang mempunyai sanak
saudara derajat pertama dengan kondisi tersebut. Penyakit Pick sulit dibedakan dari demensia
tipe Alzheimer, walaupun stadium awal penyakit Pick lebih sering ditandai oleh perubahan
kepribadian dan perilaku, dengan fungsi kognitif lain yang relatif bertahan. Gambaran
sindroma Kluver-Bucy (sebagai contohnya, hiperseksualitas, plasiditas, hiperoralitas) adalah
jauh lebih sering pada penyakit Pick dibandingkan pada penyakit Alzheimer.3

4) Penyakit Huntington
Penyakit Huntington biasanya disertai dengan perkembangan demensia. Demensia
yang terlihat pada penyakit Huntington adalah tipe demensia subkortikal, yang ditandai oleh
kelainan motorik yang lebih banyak dan kelainan bicara yang lebih sedikit dibandingkan tipe
demensia kortikal. Demensia pada penyakit Huntington ditandai oleh perlambatan
psikomotor dan kesulitan melakukan tugas yang kompleks, tetapi ingatan, bahasa, dan tilikan
tetap relatif utuh pada stadium awal dan menengah dari penyakit. Tetapi, saat penyakit
berkembang, demensia menjadi lengkap dan ciri yang membedakan penyakit ini dari
demensia tipe Alzheimer adalah tingginya insidensi depresi dan psikosis, disamping
gangguan pergerakan koreoatetoid yang klasik.3

5) Demensia yang berhubungan dengan Trauma Kepala


Demensia dapat merupakan suatu sekuela dari trauma kepala, demikian juga berbagai
sindroma neuropsikiatrik.

6) Penyakit Parkinson
Seperti penyakit Huntington, parkinsonisme adalah suatu penyakit pada ganglia
basalis yang sering disertai dengan demensia dan depresi. Diperkirakan 20 sampai 30 persen
6
pasien dengan penyakit Parkinson menderita demensia, dan tambahan 30 sampai 40 persen
mempunyai gangguan kemampuan kognitif yang dapat diukur. Pergerakan yang lambat pada
pasien dengan penyakit Parkinson adalah disertai dengan berpikir yang lambat pada beberapa
pasien yang terkena, suatu ciri yang disebut oleh beberapa dokter sebagai bradifenia
(bradyphenia).3

7) Demensia yang berhubungan dengan HIV


Infeksi dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) seringkali menyebabkan
demensia dan gejala psikiatrik lainnya. Pasien yang terinfeksi dengan HIV mengalami
demensia dengan angka tahunan kira-kira 14 persen. Diperkirakan 75 persen pasien dengan
sindroma immunodefisiensi didapat (AIDS) mempunyai keterlibatan sistem saraf pusat saat
otopsi. Perkembangan demensia pada pasien yang terinfeksi HIV seringkali disertai oleh
tampaknya kelainan parenkimal pada pemeriksaan MRI.3

8) Penyakit Creutzfeldt-Jakob
Penyakit Creutzfeldt-Jakob adalah penyakit degeneratif otak yang jarang, yang
disebabkan oleh agen yang progresif secara lambat, dan dapat ditransmisikan (yaitu, agen
infektif), paling mungkin suatu prion, yang merupakan agen proteinaseus yang tidak
mengandung DNA atau RNA. Penyakit-penyakit lain yang berhubungan dengan prion adalah
scrapie (penyakit pada domba), kuru (suatu gangguan degeneratif sistem saraf pusat yang
fatal pada suku di dataran tinggi Guinea dimana prion ditransmisikan melalui kanibalisme
ritual), dan sindroma Gesrtman-Straussler (suatu demensia progresif, familial, dan sangat
jarang). Semua gangguan yang yang berhubungan dengan prion menyebabkan degenerasi
berbentuk spongiosa pada otak, yang ditandai dengan tidak adanya respon imun inflamasi.1
Bukti-bukti menunjukkan bahwa pada manusia penyakit Creutzfeldt-Jakob dapat
ditransmisikan secara iatrogenik, melalui transplantasi kornea atau instrumen bedah yang
terinfeksi. Tetapi, sebagian besar penyakit, tampaknya sporadik, mengenai individual dalam
usia 50-an. Terdapat bukti bahwa periode inkubasi mungkin relatif singkat (satu sampai dua
tahun) atau relatif lama (delapan sampai 16 tahun). Onset penyakit ditandai oleh
perkembangan tremor, ataksia gaya berjalan, mioklonus, dan demensia. Penyakit biasanya
secara cepat progresif menyebabkan demensia yang berat dan kematian dalam 6 sampai 12
tahun. Pemeriksaan cairan serebrospinal biasanya tidak mengungkapkan kelainan, dan
pemeriksaan tomografi komputer dan MRI mungkin normal sampai perjalanan gangguan
yang lanjut. Penyakit ditandai oleh adanya pola elektroensefalogram (EEG) yang tidak biasa,
yang terdiri dari lonjakan gelombang lambat dengan tegangan tinggi.3
7
2.4 Perjalanan penyakit
Perjalanan penyakit yang klasik pada demensia adalah awitan (onset) yang dimulai pada
usia 50 atau 60-an dengan perburukan yang bertahap dalam 5 atau 10 tahun, yang sering berakhir
dengan kematian. Usia awitan dan kecepatan perburukan bervariasi diantara jenis-jenis demensia
dan kategori diagnostik masing-masing individu. Usia harapan hidup pada pasien dengan
demensia tipe Alzheimer adalah sekitar 8 tahun, dengan rentang 1 hingga 20 tahun. Data penelitian
menunjukkan bahwa penderita demensia dengan awitan yang dini atau dengan riwayat keluarga
menderita demensia memiliki kemungkinan perjalanan penyakit yang lebih cepat. Dari suatu
penelitian terbaru terhadap 821 penderita penyakit Alzheimer, rata-rata angka harapan hidup
adalah 3,5 tahun. Sekali demensia didiagnosis, pasien harus menjalani pemeriksaan medis dan
neurologis lengkap, karena 10 hingga 15 persen pasien dengan demensia potensial mengalami
perbaikan (reversible) jika terapi yang diberikan telah dimulai sebelum kerusakan otak yang
permanen terjadi.4
Perjalanan penyakit yang paling umum diawali dengan beberapa tanda yang samar yang
mungkin diabaikan baik oleh pasien sendiri maupun oleh orang-orang yang paling dekat dengan
pasien. Awitan yang bertahap biasanya merupakan gejala-gejala yang paling sering dikaitkan
dengan demensia tipe Alzheimer, demensia vaskuler, endokrinopati, tumor otak, dan gangguan
metabolisme. Sebaliknya, awitan pada demensia akibat trauma, serangan jantung dengan hipoksia
serebri, atau ensefalitis dapat terjadi secara mendadak. Meskipun gejala-gejala pada fase awal
tidak jelas, akan tetapi dalam perkembangannya dapat menjadi nyata dan keluarga pasien biasanya
akan membawa pasien untuk pergi berobat. Individu dengan demensia dapat menjadi sensitif
terhadap penggunaan benzodiazepin atau alkohol, dimana penggunaan zat-zat tersebut dapat
memicu agitasi, sifat agresif, atau perilaku psikotik. Pada stadium terminal dari demensia pasien
dapat menjadi ibarat “cangkang kosong” dalam diri mereka sendiri, pasien mengalami
disorientasi, inkoheren, amnestik, dan inkontinensia urin dan inkontinensia alvi. 4
Dengan terapi psikososial dan farmakologis dan mungkin juga oleh karena perbaikan
bagian-bagian otak (self-healing), gejala-gejala pada demensia dapat berlangsung lambat untuk
beberapa waktu atau dapat juga berkurang sedikit. Regresi gejala dapat terjadi pada demensia yang
reversibel (misalnya demensia akibat hipotiroidisme, hidrosefalus tekanan normal, dan tumor
otak) setelah dilakukan terapi. Perjalanan penyakit pada demensia bervariasi dari progresi yang
stabil (biasanya terlihat pada demensia tipe Alzheimer) hingga demensia dengan perburukan
(biasanya terlihat pada demensia vaskuler) menjadi demensia yang stabil (seperti terlihat pada
demensia yang terkait dengan trauma kepala). 4

8
Begitu banyak faktor penyebab terjadinya demensia pada berbagai penyakit yang telah
disebut di atas. Apapun sebabnya, semuanya menyebabkan perubahan psiko neurokimiawi di
otak.
Secara ringkas bahwa proses demensia adalah terjadinya perubahan neuro kimiawi yang
tersebut dibawah ini :
1. pengurangan neurotransmitter klasik : asetilkolin, noradrenalin dan
metabolitnya, dopamine, 5 HT
2. pengurangan amino acid neurotransmitter : Glu., Gly., GABA
3. pengurangan enzim –enzim : AchE, DOPA decarboksilase, GAD., CAT
4. pengurangan neuro peptide : somatostatin, dll.

2.5 Patogenesis
Pasien umumnya mengalami atrofi kortikal dan berkurangnya neuron secara signifikan
terutama saraf kolinergik. Kerusakan saraf kolinergik terjadi terutama pada daerah limbik otak
(terlibat dalam emosi) dan kortek (Memori dan pusat pikiran). Terjadi penurunan jumlah enzim
kolinesterasi di korteks serebral dan hippocampus sehingga terjadi penurunan sintesis asetilkolin
di otak.
Di otaknya juga dijumpai lesi yang disebut senile (amyloid) plaques dan neurofibrillary
tangles, yang terpusat pada daerah yang sama di mana terjadi defisit kolinergik sehingga plak
tersebut berisi deposit protein yang disebut ß-amyloid. Amyloid adalah istilah umum untuk
fragment protein yang diproduksi tubuh secara normal. Beta-amyloid adalah fragment protein
yang terpotong dari suatu protein yang disebut amyloid precursor protein (APP), yang dikatalisis
oleh β-secretase. Pada otak orang sehat, fragmen protein ini akan terdegradasi dan tereliminasi.

2.6 Gambaran Klinis


Gejala dini dari demensia seringkali berupa kesulitan mempelajari informasi baru dan
mudah lupa terhadap kejadian yang baru dialami. Pada keadaan lebih lanjut muncul gangguan
fungsi kognitif kompleks disertai gangguan perilaku, yaitu :
a. Disorientasi waktu dan tempat
b. Kesulitan melakukan pekerjaan sehari hari
c. Tidak mampu membuat keputusan
d. Kesulitan berbahasa
e. Kehilangan motivasi dan inisiatif
f. Gangguan pengendalian emosi
g. Daya nilai sosial terganggu
9
h. Dan berbagai perubahan perilaku dan psikologis lainnya (agresif-impulsif, halusinasi, waham)
Gejala-gejala klinis di atas pada demensia Alzheimer berkembang perlahan-lahan,
semakin lama semakin parah, sampai pada tahap lanjut penderita menjadi tergantung penuh pada
keluarga yang merawatnya. Sedang pada demensia vaskular gejala muncul akut, gambaran klinis
sesuai kerusakan vaskuler di otak, kemunduran fungsi kognitif berjenjang sejalan dengan serangan
kerusakan vaskular berikutnya.5
1) Gangguan memori
Dalam bentuk ketidakmampuannya untuk belajar tentang hal-hal baru, atau lupa akan
hal-hal yang baru saja dikenal, dikerjakan atau dipelajari. Sebagian penderita demensia
mengalami kedua jenis gangguan memori tadi. Pada demensia tahap lanjut, gangguan memori
menjadi sedemikian berat sehingga penderita lupa akan pekerjaan, sekolah, tanggal lahir,
anggota keluarga, dan bahkan terhadap namanya sendiri.2-5

2) Gangguan orientasi
Karena daya ingat adalah penting untuk orientasi terhadap orang, tempat, dan waktu.
Orientasi dapat terganggu secara progresif selama perjalanan penyakit demensia. Sebagai
contohnya, pasien dengan demensia mungkin lupa bagaimana kembali ke ruangannya setelah
pergi ke kamar mandi. Tetapi, tidak masalah bagaimana beratnya disorientasi, pasien tidak
menunjukkan gangguan pada tingkat kesadaran.2-5
3) Afasia
Dapat dalam bentuk kesulitan menyebut nama orang atau benda. Penderita afasia
berbicara secara samar-samar atau terkesan hampa, dengan ungkapan kata-kata yang panjang,
dan menggunakan istilah-istilah yang tak menentu misalnya “anu”, “itu”, “apa itu”. Bahasa
lisan dan tertulis dapat pula terganggu. Pada tahap lanjut, penderita dapat menjadi bisu atau
mengalami gangguan pola bicara yang dicirikan oleh ekolalia (menirukan apa yang dia
dengar) atau palilalia yang berarti mengulang suara atau kata terus-menerus.2-5
4) Apraksia
Adalah ketidakmampuan untuk melakukan gerakan meskipun kemampuan motorik,
fungsi sensorik dan pengertian yang diperlukan tetap baik. Penderita dapat mengalami
kesulitan dalam menggunakan benda tertentu (menyisir rambut) atau melakukan gerakan
yang telah dikenali (melambaikan tangan). Apraksia dapat mengganggu keterampilan
memasak, mengenakan pakaian, menggambar.2-5
5) Agnosia
Adalah ketidakmampuan untuk mengenali atau mengidentifikasi benda maupun fungsi
sensoriknya utuh. Sebagai contoh, penderita tak dapat mengenali kursi, pena, meskipun
10
visusnya baik. Akhirnya, penderita tak mengenal lagi anggota keluarganya dan bahkan
dirinya sendiri yang tampak pada cermin. Demikian pula, walaupun sensasi taktilnya utuh,
penderita tak mampu mengenali benda yang diletakkan di tangannya atau yang disentuhnya
misalnya kunci atau uang logam. 2-5
6) Gangguan fungsi eksekutif
Yaitu merupakan gejala yang sering dijumpai pada demensia. Gangguan ini
mempunyai kaitan dengan gangguan di lobus frontalis atau jaras-jaras subkortikal yang
berhubungan dengan lobus frontalis. Fungsi eksekutif melibatkan kemampuan berpikir
abstrak, merencanakan, mengambil inisiatif, membuat urutan, memantau, dan menghentikan
kegiatan yang kompleks. Gangguan dalam berpikir abstrak dapat muncul sebagai kesulitan
dalam menguasai tugas/ide baru serta menghindari situasi yang memerlukan pengolahan
informasi baru atau kompleks.2-5

7) Perubahan Kepribadian
Perubahan kepribadian pasien demensia merupakan gambaran yang paling
mengganggu bagi keluarga pasien yang terkena. Sifat kepribadian sebelumnya mungkin
diperkuat selama perkembangan demensia. Pasien dengan demensia juga mungkin menjadi
introvert dan tampaknya kurang memperhatikan tentang efek perilaku mereka terhadap orang
lain. Pasien demensia yang mempunyai waham paranoid biasanya bersikap bermusuhan
terhadap anggota keluarga dan pengasuhnya. Pasien dengan gangguan frontal dan temporal
kemungkinan mengalami perubahan kepribadian yang jelas dan mungkin mudah marah dan
meledak-ledak. 2-5
8) Gangguan Lain
Psikiatri. Disamping psikosis dan perubahan kepribadian, depresi dan kecemasan
adalah gejala utama pada kira-kira 40 sampai 50 persen pasien demensia, walaupun
sindroma gangguan depresif yang sepenuhnya mungkin hanya ditemukan pada 10 sampai
20 persen pasien demensia. Pasien dengan demensia juga menunjukkan tertawa atau
menangis yang patologis, yaitu emosi yang ekstrim tanpa provokasi yang terlihat.2

2.7 Diagnosis
Demensia ditandai oleh adanya gangguan kognisi, fungsional dan perilaku, sehingga
terjadi gangguan pada pekerjaan, aktivitas harian dan sosial. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan neuropsikologis.
1) Anamnesis

11
Wawancara mengenai penyakit sebaiknya dilakukan pada penderita dan mereka yang
sehari-hari berhubungan langsung dengan penderita (pengasuh). Hal yang paling penting
diperhatikan adalah riwayat penurunan fungsi terutama kognitif dibandingkan dengan
sebelumnya. Awitan (mendadak/progresif lambat) dan adanya perubahan prilaku dan
kepribadian.
a. Riwayat Medis Umum
Demensia dapat merupakan akibat sekunder dari berbagai penyakit, sehingga perlu
diketahui adanya riwayat infeksi kronis (misalnya HIV dan Sifilis), ganguan endokrin
(hiper/hipotiroid), diabetes Mellitus, neoplasma, kebiasaan merokok, penyakit jantung,
penyakit kolagen, hipertensi, hiperlipidemia dan aterosklerosis.
b. Riwayat Neurologis
Perlu untuk mencari etiologi seperti riwayat gangguan serebrovaskuler, trauma
kapitis, infeksi SSP, epilepsi, tumor serebri dan hidrosefalus.
Demensia ditandai oleh adanya gangguan kognisi, fungsional dan perilaku,
sehingga terjadi gangguan pada pekerjaan, aktivitas harian dan sosial. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan neuropsikologis.
c. Riwayat Gangguan Kognisi
Riwayat gangguan kognitif merupakan bagian terpenting dari diagnosis demensia.
Riwayat gangguan memori sesaat, jangka pendek dan jangka panjang; gangguan orientasi
ruang, waktu dan tempat, benda, maupun gangguan komprehensif): gangguan fungsi
eksekutif (meliputi pengorganisasian, perencanaan dan pelaksanaan suatu aktivitas),
gangguan praksis dan visuospasial.
d. Riwayat Gangguan Perilaku dan kepribadian
Gejala psikiatri dan perubahan perilaku sering dijumpai pada penderita demensia.
Hal ini perlu dibedakan dengan gangguan psikiatri murni, misalnya depresi, skizofrenia,
terutama tipe paranoid. Pada penderita demensia dapat ditemukan gejala neuropsikologis
berupa waham, halusinasi, misidentifikasi, depresi, apatis dan cemas. Gejala perilaku
dapat berupa bepergian tanpa tujuan (wandering), agitasi, agresifitas fisik maupun verbal,
restlessness dan disinhibisi.
e. Riwayat Intoksikasi
Perlu ditanyakan riwayat intoksikasi aluminium, air raksa, pestisida, insektisida,
alkoholisme dan merokok. Riwayat pengobatan terutama pemakaian kronis antidepresan
dan narkotika.
f. Riwayat Keluarga

12
Riwayat demensia, gangguan psikiatri, depresi, penyakit Parkinson, sindrom down
dan retardasi mental.

2) Pemeriksaan fisik
a. MMSE, Clock drawing test (CDT), ADL dan Instrumental ADL (Menentukan seberapa
terganggunya fungsi kognitif).
b. Skala iskemik Hachinsky (untuk sebagai pembanding diagnosis antara demensia alzheimer
/ vaskular).

3) Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium rutin
Pemeriksaan laboratorium hanya dilakukan begitu diagnosis klinis demensia
ditegakkan untuk membantu pencarian etiologi demensia khususnya pada demensia
reversible, walaupun 50% penyandang demensia adalah demensia Alzheimer dengan hasil
laboratorium normal, pemeriksaan laboratorium rutin sebaiknya dilakukan. Pemeriksaan
laboratorium yang rutin dikerjakan antara lain: pemeriksaan darah lengkap, urinalisis,
elektrolit serum, kalsium darah, ureum, fungsi hati, hormon tiroid, kadar asam folat.6
b. Imaging
Computed Tomography (CT) scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) telah
menjadi pemeriksaan rutin dalam pemeriksaan demensia walaupun hasilnya masih
dipertanyakan.6 Pada penderita Alzheimer hasil Mri dan CT Scan akan menunjukkan atrofi
serebral dan kortikal yang difus.
c. SPECT Scan (Single Photon Emission Computed Tomography)
Pemeriksaan ini akan menunjukkan penurunan perfusi jaringan di daerah
temporoparietalis bilateral yang biasanya terjadi pada penderita Alzheimer.
d. PET Scan (positron emission tomography)
Pemeriksaan ini akan menujukkan penurunan aktivitas metabolik di daerah
temporoparietalis bilateral.
e. Pemeriksaan EEG
Electroencephalogram (EEG) tidak memberikan gambaran spesifik dan pada
sebagian besar EEG adalah normal. Pada Alzheimer stadium lanjut dapat memberi
gambaran perlambatan difus dan kompleks periodik.6
f. Pemeriksaan genetika
Apolipoprotein E (APOE) adalah suatu protein pengangkut lipid polimorfik
yang memiliki 3 allel yaitu epsilon 2, epsilon 3, dan epsilon 4. Setiap allel mengkode
13
bentuk APOE yang berbeda. Meningkatnya frekuensi epsilon 4 diantara penyandang
demensia Alzheimer tipe awitan lambat menyebabkan pemakaian genotif APOE
epsilon 4 sebagai penanda semakin meningkat.6

2.8 Penatalaksanaan
1) Terapi medikamentosa
a. Donepezil
Donepezil adalah obat yang diminum secara oral untuk mengobati penyakit
Alzheimer taraf rendah hingga medium. Donepezil tersedia dalam bentuk tablet oral.
Biasanya diminum satu kali sehari sebelum tidur, sebelum atau sesudah makan. Dokter
akan memberikan dosis rendah pada awalnya lalu ditingkatkan setelah 4 hingga 6
minggu. Efek samping yang sering terjadi sewaktu minum Donepezil adalah sakit
kepala, nyeri seluruh badan, lesu, mengantuk, mual, muntah, diare, nafsu makan hilang,
berat badan turun, kram, nyeri sendi, insomnia, dan meningkatkan frekwensi buang air
kecil.

b. Rivastigmine
Rivastigmine adalah obat yang diminum secara oral untuk mengobati penyakit
Alzheimer taraf rendah hingga medium. Setelah enam bulan pengobatan dengan
Rivastigmine, 25-30% penderita dinilai membaik pada tes memori, pengertian dan
aktivitas harian dibandingkan pada pasien yang diberikan plasebo hanya 10-20%.
Rivastigmine biasanya diberikan dua kali sehari setelah makan. Karena efek
sampingnya pada saluran cerna pada awal pengobatan, pengobatan dengan
Rivastigmine umumnya dimulai dengan dosis rendah, biasanya 1,5 mg dua kali sehari,
dan secara bertahap ditingkatkan tidak lebih dari 2 minggu.
Dosis maksimum biasanya hingga 6 mg dua kali sehari. Jika pasien mengalami
gangguan pencernaan yang bertambah parah karena efek samping obat seperti mual dan
muntah, sebaiknya minum obat dihentikan untuk beberapa dosis lalu dilanjutkan
dengan dosis yang sama atau lebih rendah.
Sekitar setengah pasien yang minum Rivastigmine menjadi mual dan
sepertiganya mengalami muntah minimal sekali, seringkali terjadi pada pengobatan di
beberapa minggu pertama pengobatan sewaktu dosis ditingkatkan. Antar seperlima
hingga seperempat pasien mengalami penurunan berat badan sewaktu pengobatan
dengan Rivastigmine (sekitar 7 hingga 10 poun).

14
Seperenam pasien mengalami penurunan nafsu makan. Satu dari lima puluh
pasien mengalami pusing. Secara keseluruhan, 15 % pasien (antara sepertujuh atau
seperenam) tidak melanjutkan pengobatan karena efek sampingnya.
c. Galantamine HBr
Galantamine biasanya diberikan dua kali sehari, setelah makan pagi dan malam.
Seringkali Galantamine diberikan dengan dosis rendah pada awalnya yaitu 4 mg dua
kali sehari untuk beberapa minggu dan dilanjutkan dengan 8 mg dua kali sehari untuk
beberapa minggu pengobatan selanjutnya. Meskipun demikian, beberapa pasien
membutuhkan dosis yang lebih besar.
Efek samping yang sering terjadi dari Galantamine adalah mual (seperenam
pasien mengalaminya) , muntah ( lebih dari 10 %), diare (lebih dari seperdelapan
pasien), anoreksia, kehilangan berat badan. Efeks samping ini umumnya terjadi pada
awal pengobatan atau ketika dosis ditingkatkan.
Efek samping yang terjadi umumnya ringan dan bersifat sementara. Minum
Galantamine sesudah makan dan minum dengan air yang cukup akan mengurangi
akibat efek sampingnya. Kurang dari 10 % pasien harus menghentikan pengobatan
karena efek samping.
d. Tacrine
Salah satu obat yang menghambat enzim asetilkolinesterase sehingga
meningkatkan kadar asetilkolin . Tacrine memperlambat pemecahan Asetilkolin. Bila
penyakit Alzheimer semakin memburuk, Asetilkolin akan semakin berkurang kadarnya
sehingga tacrine tidak lagi dapat bekerja dengan baik. Efek samping dari obat tacrine
menyebabkan gangguan pada hepar sehingga disarankan untuk dilakukan tes hepar
apakah meningkat atau tidak, bila meningkat, stop pemberian obat.
Dosis adalah 10 mg dibagi untuk empat kali sehari dan dosis maksimal
sebanyak 40 mg dibagi untuk empat kali sehari. Dosis ditingkatkan bila tubuh merespon
dengan baik dan tes hepar normal.
Obat penyerta lainnya :
a. Obat Antidepresan : Depresi sering dikaitkan dengan demensia dan umumnya
memburuk tingkat kognitif dan perilaku . gangguan Antidepresan efektif mengobati
gejala kognitif dan perilaku depresi pada pasien dengan penyakit Alzheimer, namun
bukti untuk mereka gunakan dalam bentuk lain dari demensia adalah yang lemah.
b. Obat Anxiolytic: Banyak pasien dengan demensia mengalami gejala kecemasan.
Meskipun benzodiazepin seperti diazepam (Valium) telah digunakan untuk mengobati
kecemasan dalam situasi lain, mereka sering dihindari karena mereka dapat
15
meningkatkan agitasi pada orang dengan demensia dan cenderung memperburuk
masalah kognitif atau terlalu menenangkan. Buspirone (BuSpar) sering awalnya
mencoba untuk ringan-sampai sedang kecemasan. Ada sedikit bukti untuk efektivitas
benzodiazepin dalam demensia, sedangkan ada bukti untuk effectivess antipsikotik
(pada dosis rendah).
c. Selegiline , obat yang digunakan terutama dalam pengobatan penyakit Parkinson,
muncul untuk memperlambat perkembangan demensia. Selegiline yang untuk
bertindak sebagai antioksidan , mencegah radikal bebas merusak. Namun, juga
bertindak sebagai stimulan, sehingga sulit untuk menentukan apakah keterlambatan
dalam timbulnya gejala demensia adalah karena perlindungan dari radikal bebas atau
ke elevasi umum aktivitas otak dari efek stimulan.
d. Obat antipsikotik : Baik antipsikotik khas (seperti haloperidol ) dan antipsikotik atipikal
seperti ( risperidone ) meningkatkan risiko kematian pada demensia terkait psikosis. Ini
berarti bahwa setiap penggunaan obat antipsikotik untuk demensia terkait psikosis
adalah off-label dan hanya harus dipertimbangkan setelah mendiskusikan risiko dan
manfaat dari pengobatan dengan obat ini, dan setelah modalitas pengobatan lain gagal.
Di Inggris sekitar 144.000 penderita demensia yang tidak perlu resep obat antipsikotik,
sekitar 2000 pasien meninggal sebagai akibat dari minum obat setiap tahunnya.

2) Terapi non - medikamentosa


Terapi Psikososial
Kemerosotan status mental memiliki makna yang signifikan pada pasien dengan
demensia. Keinginan untuk melanjutkan hidup tergantung pada memori. Memori jangka
pendek hilang sebelum hilangnya memori jangka panjang pada kebanyakan kasus demensia,
dan banyak pasien biasanya mengalami distres akibat memikirkan bagaimana mereka
menggunakan lagi fungsi memorinya disamping memikirkan penyakit yang sedang
dialaminya. Identitas pasien menjadi pudar seiring perjalanan penyakitnya, dan mereka hanya
dapat sedikit dan semakin sedikit menggunakan daya ingatnya. Reaksi emosional bervariasi
mulai dari depresi hingga kecemasan yang berat dan teror katastrofik yang berakar dari
kesadaran bahwa pemahaman akan dirinya (sense of self) menghilang.2-6
Pasien biasanya akan mendapatkan manfaat dari psikoterapi suportif dan edukatif
sehingga mereka dapat memahami perjalanan dan sifat alamiah dari penyakit yang
dideritanya. Mereka juga bisa mendapatkan dukungan dalam kesedihannya dan penerimaan
akan perburukan disabilitas serta perhatian akan masalah-masalah harga dirinya. Banyak
fungsi yang masih utuh dapat dimaksimalkan dengan membantu pasien mengidentifikasi
16
aktivitas yang masih dapat dikerjakannya. Suatu pendekatan psikodinamik terhadap defek
fungsi ego dan keterbatasan fungsi kognitif juga dapat bermanfaat. 2-6
Intervensi psikodinamik dengan melibatkan keluarga pasien dapat sangat membantu.
Hal tersebut membantu pasien untuk melawan perasaan bersalah, kesedihan, kemarahan, dan
keputusasaan karena ia merasa perlahan-lahan dijauhi oleh keluarganya.2-6

2.9 Prognosis
Prognosis dari demensia yang tertangani adalah baik jika masalah yang mendasari dapat
diperbaiki. Prognosis penyakit alzheimer yang merupakan salah satu penyebab demensia yang
paling umum adalah sangat tidak nyaman. Menurut studi, penyakit alzheimer biasanya berlangsung
perlahan-lahan selama delapan hingga 15 tahun (dapat berkisar dari dua hingga 25 tahun). Saat ini
tidak ada obat bagi alzheimer tapi perawatan yang segera bisa membantu untuk meringankan
banyak gejala dan dapat menunda perkembangan penyakit.8
Prognosis vaskular demensia tergantung pada tingkat kerusakan sebelum diagnosis dan
perawatan lebih lanjut. Ada kerusakan di pembuluh darah otak demensia adalah tidak reversibel
tetapi kerusakan yang lebih parah dapat dicegah dengan mengambil obat-obatan untuk
mengendalikan faktor resiko seperti tekanan darah tinggi, diabetes dan obat-obatan untuk tinggi
kolesterol (statin). Obat ini tidak membalikkan ada kerusakan otak dan demensia, tetapi lebih
rendah resiko depan stroke dan penyakit jantung yang bisa meningkatkan kerusakan otak.7

17
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. AU
Umur : 53 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Islam
Status pernikahan : Menikah
Suku bangsa : Minang
Tanggal masuk : 26-10-2018
Dirawat yang ke : kontrol poli
Tanggal pemeriksaan : 26-10-2018

II. ANAMNESA
Auto dan alloanamnesa dipoliklinik RSPAD tanggal 26 Oktober 2018, pukul 11.00 WIB
KELUHAN UTAMA
Sering lupa-lupa sejak 1 bulan yang lalu.
KELUHAN TAMBAHAN
Sering kesasar ketika berpergian dan emosi menjadi mudah terpancing.
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien datang dengan keluhan sering lupa – lupa sejak 1 bulan SMRS. Keluhan dirasakan
pasien hilang timbul. Ketika sedang kambuh, pasien tidak mengenali anggota keluarga atau orang –
orang yang berada di sekitar pasien. Keluarga pasien mengatakan ketika sedang kambuh, pasien sering
kali menatap keluarga disekitarnya seperti orang asing. Keluarga pasien mengeluhkan bahwa pasien
saat ini sulit untuk mengingat hal baru. Seperti saat akan diminta membeli sesuatu atau berkenalan
dengan orang lain. Keluarga pasien juga mengeluhkan saat ini emosi pasien mudah terpancing.
Keluhan pasien mulai dirasakan sejak 5 bulan SMRS. Awalnya pasien tiba – tiba hilang
ingatan. Menurut keluarga pasien, pandangan pasien jadi berubah seperti melihat orang asing. Pasien
hanya mengenali istri dan anak keduanya. Kemudian pasien bicara ngelantur. Keluhan ini berlangsung
selama 2 – 3 jam. Saat ditanya oleh keluarga pasien, pasien tidak ingat sama sekali kejadian selama
pasien hilang ingatan terebut.
3 bulan SMRS keluhan pasien timbul lebih sering. Pasien sering menatap keluarganya seperti
melihat orang asing. Pasien juga sering lupa jalan pulang ketika bepergian dengan cucunya. Keluarga
pasien mengatakan terkadang pasien sering kelewatan ketika hendak pulang kerumah, seperti tidak
18
menyadari kalau sudah di depan rumahnya. Pasien baru menyadari bahwa rumahnya sudah terlewat
setelah cucunya memberitahunya. Pasien juga jadi lebih sering bicara ngelantur. Keluarga pasien juga
mengeluhkan pasien jadi lebih sering marah – marah. Pasien sering memarahi pembeli yang datang ke
warungnya. Keluarga pasien mengeluhkan pasien sering lupa saat dimintai tolong untuk membeli
sesuatu atau saat berkenalan dengan orang lain.
2 minggu SMRS keluhan pasien timbul lebih sering. Keluarga saat ini sudah melarang pasien
untuk bepergian sendirian atau mengantar cucu karena saat ini pasien semakin sering lupa jalan pulang
dan sering nyasar ketika bepergian. Keluarga pasien juga mengeluhkan pasien menjadi lebih sering
marah – marah. Selain itu pasien mengeluh bahwa akhir – akhir ini ia sulit tidur.
4 hari SMRS pasien memeriksakan kesehatannya di RS Hermina dan dilakukan pemeriksaan
CT Scan Kepala. Dokter menyatakan tidak terdapat kelainan dari hasil pemeriksaan tersebut,
kemudian pasien disarankan untuk memeriksakan diri ke RSPAD Gatot Soebroto.
Pasien tidak memiliki riwayat trauma kepala sebelumnya. Pasien menderita diabetes sejak
tahun 2002 dan rutin berobat. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit jantung maupun paru – paru.
Ketika sedang tidak ada keluhan pasien dapat berkomunikasi dengan baik dan mampu menjalankan
aktivitas dengan baik.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU :


Hipertensi : disangkal
Stroke : disangkal
Dislipidemia : disangkal
Diabetes melitus : Pasien penderita DM sejak tahun 2002. Pasien rutin minum
obat.
Sakit jantung : disangkal
Trauma kepala : disangkal
Kegemukan : disangkal
Gastritis : disangkal

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA :


Pasien menyangkal di keluarga ada yang mempunyai riwayat penyakit atau dengan keluhan
serupa seperti pasien. Pada keluarga tidak ada yang menderita penyakit hipertensi, diabetes mellitus,
penyakit jantung.

RIWAYAT KELAHIRAN/PERTUMBUHAN/PERKEMBANGAN :
Riwayat kelahiran, pertumbuhan dan perkembangan normal.
19
III. PEMERIKSAAN FISIK (Tgl 26 Oktober 2018 jam 11.30 WIB)
STATUS INTERNUS
 Keadaan umum : Tampak sakit ringan
 Gizi : Cukup (BB= 58 kg, TB= 165 cm, IMT= 21,3)
 Tanda vital :
Tekanan darah : 137 / 85 mmHg
Nadi : 99 x / menit
Pernafasan : 20 x /menit
Suhu : 36,5 ºC

Kepala
 Bentuk : Normocephal
 Simetris : Simetris
 Pulsasi a.Temporalis : Teraba
 Nyeri tekan : Tidak ada

Leher
 Sikap : Normal
 Gerakan : Bebas
 Vertebrae : Dalam batas normal
 Nyeri tekan : Tidak ada
 Pulsasi a. Carotis : Teraba

Limfonodi : Tidak teraba membesar


Jantung : BJ I - II reguler, gallop (-), murmur (-)
Paru : Suara napas vesikuler, wheezing (-), rhonki (-)
Hepar : Tidak teraba pembesaran
Lien : Tidak teraba pembesaran
Ekstremitas : Akral hangat, tidak ada edema

STATUS PSIKIATRI
 Tingkah laku : tenang
 Perasaan hati : normotim
 Orientasi :
o Tempat : baik
20
o Waktu : baik
o Orang : baik
 Jalan pikiran : koheren
 Daya ingat : jangka panjang dan jangka pendek cukup baik

PEMERIKSAAN STATUS MINI MENTAL


No. Variabel Skor Skor pasien
Orientasi
1. Sekarang (tahun, musim, bulan, tanggal, hari) apa? 5 5
2. Kita berada dimana? (Negara, provinsi, kota, rumah sakit, lantai / 5 4
kamar)
Registrasi
3. Sebut 3 buah benda (apel, meja, koin), tiap 1 detik pasien disuruh 3 2
mengulang ketiga benda tersebut. Nilai 1 untuk setiap benda yang
benar. Ulangi sampai pasien dapat menyebutkan dengan benar dan
catat jumlah pengulangan.
Atensi dan kalkulasi
4. Kurangi 100 dengan 7. Nilai 1 untuk setiap jawaban yang benar. 5 2
Hentikan setelah 5 jawaban. Atau, minta mengeja terbalik kata
“WAHYU” (nilai diberi pada huruf yang benar sebelum kesalahan,
misalnya uyahw = 2 nilai)
Mengingat kembali
5. Pasien disuruh menyebut kembali 3 nama benda di atas. 3 1
Bahasa
6. Pasien disuruh menyebut nama benda yang ditunjukkan (pensil, 2 2
7. buku) 1 1
8. Pasien disuruh mengulang kata-kata : “namun, bila” 3 3
Pasien disuruh melakukan perintah : “ Ambil kertas ini dengan
9. tangan Anda, lipatlah menjadi dua dan letakkan di lantai” 1 1
Pasien disuruh membaca dan melakukan perintah :
10. “Pejamkan mata anda” 1 1
11. Pasien disuruh menulis dengan spontan 1 1
Pasien disuruh menggambar benda dibawah ini :

21
Total Skor 30 23

STATUS NEUROLOGI
 Kesadaran : Compos Mentis, GCS: 15 ( E4M6V5 )
 Sikap tubuh : Normal
 Cara berjalan : Normal
 Gerakan abnormal : Tidak ada

TANDA RANGSANG MENINGEAL


Kanan Kiri
Kaku kuduk : (-)
Laseque : (-) (-)
Kernig : (-) (-)
Brudzinsky I : (-) (-)
Brudzinsky II : (-) (-)

NERVI KRANIALIS
Kanan Kiri
N I ( Olfactorius )
 Daya penghidu : Normosmia Normosmia

N II ( Optikus )
 Ketajaman penglihatan : Baik
 Pengenalan warna : Tidak dilakukan
 Lapang pandang : Sama dengan pemeriksa
 Fundus : Tidak dilakukan

N III ( Occulomotoris )/ N IV ( Trochlearis )/ N VI ( Abducens )


 Ptosis : (-) (-)
 Strabismus : (-) (-)
 Nistagmus : (-) (-)
22
 Exopthalmus : (-) (-)
 Enopthalmus : (-) (-)
 Gerakan bola mata :
Lateral : (+) (+)
Medial : (+) (+)
Atas lateral : (+) (+)
Atas medial : (+) (+)
Bawah lateral : (+) (+)
Bawah medial : (+) (+)
Atas : (+) (+)
Bawah : (+) (+)
Gaze : (+) (+)

 Pupil :
Ukuran pupil : 3 mm 3 mm
Bentuk pupil : bulat bulat
Isokor/anisokor : isokor isokor
Posisi : ditengah ditengah
Reflek cahaya langsung : (+) (+)
Reflek cahaya tidak langsung : (+) (+)
Reflek akomodasi/konvergensi: (+) (+)

N V ( Trigeminus )
 Menggigit : (+)
 Membuka mulut : (+)
Sensibilitas atas : (+) (+)
Tengah : (+) (+)
Bawah : (+) (+)
 Reflek masseter : Tidak dilakukan
 Reflek zigomatikus : Tidak dilakukan
 Reflek kornea : (+) (+)
 Reflek bersin : Tidak dilakukan

N VII ( Facialis )
Pasif
23
 Kerutan kulit dahi : Simetris
 Kedipan mata : Simetris
 Lipatan nasolabial : Simetris
 Sudut mulut : Simetris
Aktif
 Mengerutkan dahi : Simetris
 Mengerutkan alis : Simetris
 Menutup mata : Simetris
 Meringis : Simetris
 Mengembungkan pipi : Simetris
 Gerakan bersiul : Tidak dilakukan
 Daya pengecapan lidah 2/3 depan : Tidak dilakukan
 Hiperlakrimasi : Tidak ada
 Lidah kering : Tidak ada

N VIII ( Vestibulocochlearis )
 Mendengarkan suara gesekan jari tangan : (+) (+)
 Mendengar detik jam arloji : (+) (+)
 Test swabach : Tidak dilakukan
 Test rinne : Tidak dilakukan
 Test weber : Tidak dilakukan

N IX ( Glossopharyngeus )
 Arcus pharynx : Simetris
 Posisi uvula : Di tengah
 Daya pengecapan lidah 1/3 belakang : Tidak dilakukan
 Reflek muntah : Tidak dilakukan

N X ( Vagus )
 Denyut nadi : Teraba, Reguler
 Arcus pharynx : Simetris
 Bersuara : Baik
 Menelan : tidak ada gangguan

24
N XI ( Accesorius )
 Memalingkan kepala : Normal
 Sikap bahu : Simetris
 Mengangkat bahu : simetris

N XII ( Hipoglossus )
 Menjulurkan lidah : Normal
 Kekuatan lidah : (+/+)
 Atrofi lidah : Tidak ada
 Artikulasi : Normal
 Tremor lidah : Tidak ada

MOTORIK
 Gerakan : Normal
 Kekuatan :
5555 5555
5555 5555
 Tonus :
Normotonus Normotonus
Normotonus Normotonus
 Trofi :
Eutrofi Eutrofi
Eutrofi Eutrofi

REFLEK FISIOLOGI
Reflek tendon
o Reflek bicep : (+) (+)
o Reflek tricep : (+) (+)
o Reflek patella : ( +) (+)
o Reflek achilles: (+) (+)
Reflek periosteum : tidak dilakukan
Reflek permukaan
Dinding perut : (+)
Cremaster : tidak dilakukan
Spincter ani : tidak dilakukan
25
REFLEK PATOLOGIS
Kanan Kiri
Hoffman tromer : (-) (-)
Babinski : (-) (-)
Chaddok : (-) (-)
Oppenheim : (-) (-)
Gordon : (-) (-)
Schafer : (-) (-)
Klonus paha : (-) (-)
Klonus kaki : (-) (-)

REFLEK PRIMITIF
Refleks Memegang :(-)
Refleks Mencucur :(-)
Snout Refleks :(-)
Refleks Glabela :(-)
Refleks Palmomental : ( - )

SENSIBILITAS
Eksteroseptif
Nyeri : (+) (+)
Suhu : Tidak dilakukan
Taktil : (+) (+)
Propioseptif
Posisi : (+) (+)
Vibrasi : Tidak dilakukan
Tekanan dalam : (+) (+)

KOORDINASI DAN KESEIMBANGAN


Test romberg : Baik
Test tandem : Baik
Test fukuda : tidak diapat dinilai
Disdiadokokenesis : baik
Rebound phenomen : tidak dilakukan
Test tunjuk hidung : baik
26
Test telunjuk-telunjuk : baik
Test tumit lutut : Baik

FUNGSI OTONOM
Miksi
Inkontinentia : tidak ada kelainan
Retensi : tidak ada kelainan
Anuria : tidak ada kelainan
Defekasi
Inkontinentia : tidak ada kelainan
Retensi : tidak ada kelainan

FUNGSI LUHUR
Fungsi bahasa : baik
Fungsi orientasi : cukup baik
Fungsi memori : cukup baik
Fungsi emosi : baik
Fungsi kognisi : cukup baik

PEMERIKSAAN PENUNJANG
CT Scan Cranial tanpa kontras

27
Kesan :
 Tidak tampak infark / perdarahan / SOL maupun kelainan radiologis lainnya di intraparenkhim
cerebri dan cerebelli.
 Tidak tampak tanda atrofi lobus temporal maupun parietal di kedua hesmisfer cerebri.

RESUME
Anamnesis
Seorang laki – laki berusia 53 tahun datang ke Poliklinik RSPAD Gatot Soebroto dengan
keluhan sering lupa – lupa sejak 1 bulan SMRS. Keluhan dirasakan hilang timbul. Ketika sedang
kambuh, pasien tidak mengenali anggota keluarga atau orang – orag yang berada di sekritas pasien.
Keluarga pasien mengatakan ketika sedang kambuh, pasien sering kali menatap keluarga disekitarnya
seperti orang asing. Keluarga pasien mengeluhkan bahwa pasien saat ini sulit untuk mengingat hal
baru. Seperti saat akan diminta membeli sesuatu atau berkenalan dengan orang lain. Keluarga pasien
juga mengeluhkan saat ini emosi pasien mudah terpancing.
Keluhan pasien mulai dirasakan sejak 5 bulan SMRS. Awalnya pasien tiba – tiba seperti hilang
ingatan. Menurut keluarga pasien, pandangan pasien jadi berubah seperti melihat orang asing. Pasien
hanya mengenali istri dan anak keduanya. Kemudian pasien bicara ngelantur. Keluhan ini berlangsung
selama 2 – 3 jam. Saat ditanya oleh keluarga pasien, pasien tidak ingat sama sekali kejadian selama
pasien hilang ingatan terebut.
28
3 bulan SMRS keluhan pasien timbul lebih sering. Pasien juga sering lupa jalan pulang ketika
bepergian dengan cucunya. Keluarga pasien mengatakan terkadang pasien sering kelewatan ketika
hendak pulang, seperti tidak menyadari kalau sudah di depan rumahnya. Pasien baru menyadari bahwa
rumahnya sudah terlewat setelah cucunya memberitahunya. Pasien juga jadi lebih sering bicara
ngelantur. Keluarga pasien juga mengeluhkan pasien jadi lebih sering marah – marah. Pasien sering
memarahi pembeli yang datang ke warungnya. Keluarga pasien mengeluhkan pasien sering lupa saat
dimintai tolong untuk membeli sesuatu atau saat berkenalan dengan orang lain.
2 minggu SMRS keluhan pasien timbul lebih sering. Keluarga saat ini sudah melarang pasien
untuk bepergian sendirian atau mengantar cucu karena saat ini pasien semakin sering lupa jalan
pulang dan sering nyasar ketika bepergian. Keluarga pasien juga mengeluhkan pasien menjadi lebih
sering marah – marah. Selain itu pasien mengeluh bahwa akhir – akhir ini ia sulit tidur.

Pemeriksaan
Status internus : Dalam batas normal
Status neurologis
Kesadaran : Compos mentis, GCS : 15 ( E4M6V5 )
Tekanan darah : 137 / 85 mmHg
Nadi : 58 x / menit
Nafas : 20 x / menit
Suhu : 36,5 oC
Pemeriksaan status mini mental : 23 / 30  Probable gangguan kognitif

DIAGNOSIS
Diagnosis klinis : Penurunan fungsi memori
Diagnosis topik : Hemisfer cerebri
Diagnosis etiologi : Demensia Alzeimer

TERAPI
 Mecobalamin 2 x 250 mcg
 Clopidogrel 1 x 75 mg
 Donepezil 1 x 10 mg

PEMERIKSAAN ANJURAN
 MRI Kepala

29
 SPECT Scan (Single Photon Emission Computed Tomography)
 PET Scan (Positron emission tomography)
 EEG

PROGNOSA
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad fungsionam : Dubia ad malam
Ad sanam : Dubia ad malam
Ad cosmeticum : Dubia ad bonam

30
BAB IV
DISKUSI KASUS

Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapati pasien datang dengan keluhan sering lupa –
lupa sejak 1 bulan SMRS. Keluhan mulai dirasakan sejak 5 bulan SMRS dan dirasakan semakin
memberat. Keluhan dirasakan pasien hilang timbul. Ketika sedang kambuh, pasien tidak mengenali
anggota keluarga atau orang – orag yang berada di sekitar pasien. Keluarga pasien mengatakan ketika
sedang kambuh, pasien sering kali menatap keluarga disekitarnya seperti orang asing. Keluarga pasien
mengeluhkan bahwa pasien saat ini sulit untuk mengingat hal baru. Seperti saat akan diminta membeli
sesuatu atau berkenalan dengan orang lain. Keluarga pasien juga mengeluhkan saat ini emosi pasien
mudah terpancing. Selain itu pasien menjadi sering lupa jalan pulang ketika bepergian atau justru
nyasar. Keluhan yang dialami pasien tersebut sesuai dengan gejala pasien dengan demensia yaitu
gangguan memori.
Berdasarkan hasil pemeriksaan Status Mini Mental, pasien mendapatkan skor 22 yang berarti
termasuk dalam kategori probable gangguan kognitif (17 – 23). Jika diperhatikan lebih lanjut, pasien
tidak dapat menjawab dengan benar pada saat ditanya lantai berapa ia berada saat pemeriksaan
dilakukann yang menyatakan adanya ganguan pada orientasi. Pasien juga tidak mampu mengulangi
menyebut 3 benda yang sudah ia sebutkan sebelumnya. Hal ini menunjukkan gangguan pada registrasi.
Ketika pasien diminta untuk menghitung 100 di kurang 7 hingga 5 kali, pasien hanya benar 2 kali, hal
ini menandakan ada gangguan pada atensi dan kalkulasi. Kemudian saat pasien diminta untuk
menyebutkan kembali 3 benda yang telah ia sebutkan sebelumnya, pasien hanya menyebut 1 benda
saja. Hal ini menunjukkan gangguan dalam proses mengingat kembali. Dari hasil pemeriksaan Status
Mini Mental tersebut, pasien memperoleh skor 23 dari nilai maksimal 30 yang berarti pasien termasuk
probable gangguan kognitif.
Pasien umumnya mengalami atrofi kortikal dan berkurangnya neuron secara signifikan
terutama saraf kolinergik. Kerusakan saraf kolinergik terjadi terutama pada daerah limbik otak (terlibat
dalam emosi) dan kortek (Memori dan pusat pikiran). Terjadi penurunan jumlah enzim kolinesterasi
di korteks serebral dan hippocampus sehingga terjadi penurunan sintesis asetilkolin di otak.
Di otaknya juga dijumpai lesi yang disebut senile (amyloid) plaques dan neurofibrillary
tangles, yang terpusat pada daerah yang sama di mana terjadi defisit kolinergik sehingga plak tersebut
berisi deposit protein yang disebut ß-amyloid. Amyloid adalah istilah umum untuk fragment protein
yang diproduksi tubuh secara normal. Beta-amyloid adalah fragment protein yang terpotong dari suatu
protein yang disebut amyloid precursor protein (APP), yang dikatalisis oleh β-secretase. Pada otak
orang sehat, fragmen protein ini akan terdegradasi dan tereliminasi.

31
Kriteria diagnostik penyakit Alzheimer menurut DSM-IV (Diagnostic and Stastical Manual of
Mental Disorder, fourth revision) adalah sebagai berikut :
1. Perkembangan defisit kognitif multipel terdiri dari :
a. Gangguan memori (gangguan kemampuan dalam mempelajari informasi baru atau
mengingat informasi yang sudah dipelajari).
b. Salah satu (atau lebih) gangguan kognitif berikut ini :
 Afasia
 Apraksia
 Agnosia
 Gangguan fungsi berfikir abstrak
2. Gangguan kognitif pada kriteria A1 dan A2 menyebabkan gangguan yang berat pada fungsi
sosial dan pekerjaan penderita.
3. Kelainan ditandai dengan proses yang bertahap dan penurunan fungsi kognitif yang
berkelanjutan.
4. Gangguan kognitif kriteria A1 dan A2 tidak disebabkan hal – hal berikut :
a. Kelainan SSP lain yang menyebabkan gangguan memori yang progresif (misalnya
gangguan peredaran darah otak, parkinson, dan tumor otak).
b. Kelainan sistemik yang dapat mengakibatkan demensia (misalnya hipotiroidisme,
defesiensi vitamin B12 dan asam folat, defisiensi niasin, hiperkalemi, neurosifilis, dan
infeksi HIV).
5. Kelainan pasien tidak disebabkan oleh delirium.
6. Kelainan tidak disebabkan oleh kelainan aksis 1 (misalnya gangguan depresi dan skizofrenia)

Berikut ini adalah stadium perkembangan penyakit Alzheimer :


1. Stadium I (lama penyakit 1-3 tahun)
 Memory : gangguan mempelajari hal baru, gangguan sedang pada proses mengingat
memori lama.
 Visuospatial skills : disorientasi lokasi, kesulitan dalam mengenali gedung/lantai
 Language : kesulitan menyusun kata
 Personality : merasa diabaikan, terkadang mudah tersinggung
 Psychiatry feature : merasa sedih, delusi
 Motor system : normal
 EEG : normal
 CT/MRI : normal

32
 PET/SPECT : hipometabolisme/hipoperfusi bilateral posterior

2. Stadium II (lama penyakit 3-10 tahun)


 Memory : ingatan memori baru dan lama sangat terganggu.
 Visuospatial skills : disorientasi spasial, tidak mampu mengenali gedung/lantai
 Language : fluent aphasia
 Calculation : Kesulitan dalam berhitung
 Personality : merasa diabaikan, mudah tersinggung
 Psychiatry feature : delusi
 Motor system : gelisah, mondar - mandir
 EEG : slow background rhythm
 CT/MRI : normal atau dapat ditemukan pelebaran ventrikel dan sulkus cerebri.
 PET/SPECT : hipometabolisme/hipoperfusi bilateral parietal dan frontal.

3. Stadium III (lama penyakit 8-12 tahun)


 Intelectual function : severely deteriorated
 Motor system : rigiditas anggota gerak dan postur tampak fleksi.
 Sphincter control : inkontinensia urin dan alvi.
 EEG : diffusely slow
 CT/MRI : pelebaran ventrikel dan sulkus serebri.
 PET/SPECT : hipometabolisme/hipoperfusi bilateral parietal dan frontal.
Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis diantaranya
adalah MRI atau CT Scan. MRI atau CT Scan adalah pemeriksan radiologi yang utama dalam
menegakkan diagnosis demensia Alzheimer. Pada Alzheimer, MRI atau CT Scan akan menunjukka
atrofi serebral atau kortikal yang difus. Pasien ini hasil pemeriksaan CT Scan yang telah dilakukan
belum tampak adanya atrofi pada serebri. Namun, hal ini tidak dapat menyangkal bahwa pasien adalah
penderita Alzheimer karena penderita Alzheimer pada stadium awal hasil pemeriksaan MRI atau CT
Scan nya masih normal.
Selain MRI dan CT Scan pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat digunakan adalah SPECT
(Single Photon Emission Computed) Scan dan PET (Positron Emission Tomography) Scan. SPECT
Scan pada pasien dengan Alzheimer biasanya akan menunjukkan adanya penurunan perfusi jaringan
di daerah temporoparietalis bilateral. Pet Scan pada pasien Alzheimer akan menunjukkan penurunan
aktivitas metabolik di daerah temporoparietalis bilateral. Selain itu dapat juga digunakan pemeriksaan

33
EEG untuk menegakkan diagnosis. Pada pemeriksaan ini akan menunjukkan penurunan aktivitas alfa
dan peningkatan aktivitas teta yang menyeluruh.
Terapi medika mentosa yang dapat digunakan pada pasien Alzheimer adalah sebagai berikut :
1. Inhibitor kolinesterase
Beberapa tahun terakhir ini, banyak peneliti menggunakan inhibitor untuk pengobatan
simptomatik penyakit Alzheimer, dimana penderita Alzheimer didapatkan penurunan kadar
asetilkolin. Untuk mencegah penurunan kadar asetilkolin dapat digunakan anti kolinesterase
seperti:
 Takrin : Dosis 10 – 40 mg kapsul
Efek samping : Mual, muntah, diare, nyeri lambung, kehilangan nafsu makan,
hilangnya koordinasi, anoraksia dan ataksia.
 Donepezil : 5 dan 10 mg tablet diberikan sekali sehari menjelang tidur
Keunggulan donepezil dibandingkan takrin :
 Efek samping lebih ringan
 Donepezil dapat diberikan sekali sehari
 Takrin menyebabkan kenaikan enzim hepar
 Rivastigmin : Dosis 6-12 mg/hari
2. Antagonis Reseptor NMDA (N-metil-D-Aspartat)
 Bekerja pada sistem glutamatergic dengan memblokir reseptor NMDA.
 Glutamat adalah rangsang yang berguna neurotransmiter dari sistem saraf , meskipun
jumlah yang berlebihan di otak dapat menyebabkan sel mati melalui suatu proses yang
disebut excitotoxicity yang terdiri dari overstimulation dari glutamat reseptor
 Memantadine : dosis awal 5 mg/hari; setelah 1 minggu dinakikkan menjadi 2 x 5
mg/hari dan seterusnya hingga dosis maksimal 2 x 10 mg/hari.

Obat – obat penyerta lain yang dapat diberikan secara simtomatik antara lain sebagai berikut :
a. Obat Antidepresan : Depresi sering dikaitkan dengan demensia dan umumnya memburuk
tingkat kognitif dan perilaku. Antidepresan efektif mengobati gejala kognitif dan perilaku
depresi pada pasien dengan penyakit Alzheimer.
1. Sertralin : Dosis 25 – 100 mg/hari
 Efek samping : mual, daire, mengantuk, mulut kering, dan disfungsi seksual.
2. Fluoksetin : Dosis 10 – 40 mg/hari
 Efek samping : mual, diare, mengantuk, insomnia, tremor, anxietas.
3. Duloksetin :Dosis 30 – 60 mg/hari

34
 Efek samping : penurunan nafsu makan, mual, mengantuk dan insomnia.
4. Sitalopram :
 Efek samping : mual, mengantuk, nyeri kepala, tremor, dan disfungsi seksual.
b. Obat Anxiolytic: Banyak pasien dengan demensia mengalami gejala kecemasan. Meskipun
benzodiazepin seperti diazepam (Valium) telah digunakan untuk mengobati kecemasan dalam
situasi lain, mereka sering dihindari karena mereka dapat meningkatkan agitasi pada orang
dengan demensia dan cenderung memperburuk masalah kognitif atau terlalu menenangkan.
1. Risperidon : Dosis 0,5 – 1 mg, 3 x / hari
 Efek samping : mengantuk, tremor, insomnia, pandangan kabur, pusing, nyeri
kepala, mual dan peningkatan berat badan.
2. Gabapentin : Dosis 100 – 300 mg; 3 x / hari
 Efek samping : konstipasi, dispepsia, kelemahan, hipertensi, anoreksia, vertigo,
pneumonia, peningkatan kadar kreatinin.
3. Alprazolam : Dosis 0,25 – 1 mg; 3 x / hari
 Efek samping : sedasi, disartria, inkoordinasi, gangguan ingatan.
4. Lorazepam : Dosis 0,5 – 2 mg; 3x / hari
 Efek samping : kelelahan, mual, inkoordinasi, konstipasi, muntah dan disfungsi
seksual.
Pasien ini diberikan tatalaksana berupa Donepezil 10 mg, sekali sehari yang bekerja sebagai
inhibitor kolinesterase. Selain itu pasien juga diberikan vitamin B12. Pemberian vitamin B12 ini dapat
memperbaiki kekurangan vitamin B12 dalam tubuh sekaligus dapat sebagai suplemen untuk
memperbaiki fungsi kognitif pasien.8 Pasien juga diberikan Clopidogrel dengan dosis 75 mg, satu kali
sehari. Clopidogrel berkerja sebagai antiplatelet yang dapat mencegah penggumpalan darah di aliran
darah otak sehingga perfusi otak tetap adekuat mengingat pasien memiliki faktor resiko DM sejak 16
tahun yang lalu.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, dkk. Panduan Praktis Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit
saraf. Jakarta ; Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2014.
2. Reksodiputro.A.H. Madjid,A. Rachman,A.M. Tambunan,A.S. Nurman,A. Nasution A.R. Ilmu
Penyakit Dalam. Dalam Demensia. Oleh Wasilah Rochmah, Kuntjoro Harimurti. Jilid 1. Edisi
5. Jakarta:Interna Publishing, 2009. hal.837-44.
3. Samuels SC, Neugroschl JA. Dementia. Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook of

Psychiatry, Sadock BJ, Sadock VA, edit, seventh ed. Lippincott Williams & Wilkins, A Wolter

Kluwer Company, 2000, hal.1069-1093.

4. Maramis WF. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi ke-8. Surabaya: Airlangga University
Press, 2005. hal.193
5. Amir N, Pamusu D, Aritonang I, Effendi J, Khamelia, Kembaren L, Wirasto RT. Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Jiwa/Psikiatri. Dalam Demensia. Perhimpunan
Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, 2012. hal. 15-18
6. Ebert MH, Loosen PT, Nurcombe B, Leckman JF. Current diagnosis and treatment.
Lange.2007. hal. 185-90.
7. Sachdev P. Prognosis of dementia. Diunduh dari medscape.com, 30 Oktober 2018.
8. Moore E, Mander A, Ames D, et al. Cognitive impairment and vitamin B12 : a review.
International Psychogeriatrics. 2012. 24 : 4, p 541-56.

36

Anda mungkin juga menyukai