Divisi Ginjal Hipertensi – Departemen Penyakit Dalam, RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Klasifikasi PGK dapat didasarkan pada adanya 1 atau lebih petanda kerusakan lebih
atau penurunan Laju Filtasi Glomerulus (LFG).
1
Simposium Nasional dan Workshop Pelayanan Farmasi di Bidang Nefrologi
Surabaya 20 Agustus 2016
2
Simposium Nasional dan Workshop Pelayanan Farmasi di Bidang Nefrologi
Surabaya 20 Agustus 2016
A. Faktor Klinis
1. Diabetes Mellitus
2. Hipertensi
3. Penyakit Otoimun
4. Infeksi Sistemik
5. Infeksi Saluran Kemih
3
Simposium Nasional dan Workshop Pelayanan Farmasi di Bidang Nefrologi
Surabaya 20 Agustus 2016
Komplikasi PGK bisa sangat beragam, dan dapat timbul mendadak maupun secara
perlahan. Komplikasi-komplikasi tersebut antara lain :
1. uremia
2. gangguan keseimbangan elektrolit
3. gangguan asam basa
4. retensi cairan
5. penyakit jantung pembuluh darah
6. hipertensi
7. anemia
8. GMT–PGK (gangguan mineral & tulang pada penyakit ginjal kronik)
9. malnutrisi
10. kelainan neurologis
11. kelainan saluran cerna
12. perdarahan uremik
13. kelainan kulit
14. penyakit ginjal kistik
15. dll
4
Simposium Nasional dan Workshop Pelayanan Farmasi di Bidang Nefrologi
Surabaya 20 Agustus 2016
A. Gangguan Elektrolit
1. K Na serum
B. GMT-PGK
1. iPTH, Ca, P
2. foto polos abdomen lateral
C. Asidosis Metabolik
1. Analisa Gas Darah
D. K Na serum
E. Hipertensi
1. CXR
2. EKG
3. ekokardiografi
F. Anemia
1. darah lengkap
2. hapusan darah tepi
3. retikulosit
4. SI / TIBC / Transferin
G. Retensi Cairan
1. CXR
2. Analisa Gas Darah
H. Malnutrisi
1. recall
2. antropometri
3. SGA (subjective global assessment)
4. Albumin serum
5. dll
1. pengobatan penyebab
2. mencegah atau memperlambat progresivitas
3. pengobatan komplikasi
4. penyesuaian dosis obat
5. identifikasi dan persiapan terapi pengganti ginjal
6. mencari penyebab yg “reversibel”
7. mengatasi hipovolemia
8. mengatasi infeksi
9. awasi penggunaan obat jangka panjang
5
Simposium Nasional dan Workshop Pelayanan Farmasi di Bidang Nefrologi
Surabaya 20 Agustus 2016
Pada PGK, dapat timbul komplikasi yang gawat dan membahayakan nyawa pasien.
Komplikasi tersebut antara lain hiperkalemia, asidosis metabolik, edema paru,
ensefaopati uremik dll. Pengobatan diawali dengan medikamentosa / konservatif, tetapi
jika gagal, harus dilakukan hemodialisis.
A. Terapi Hiperkalemia
• stop ACE-I, ARB, diuretik hemat Kalium
• Kalsium Glukonat 10% 10 cc i.v dlm 10 menit (onset 1-3 menit, durasi 30-60
menit)
• insulin reguler, 10 U i.v dlm Dext 50% 50 cc (jika GDS <250 mg/dL) (onset 30
men durasi 4-6 jam)
• 2-Adrenergik agonis (albuterol) nebulizer 10 mg (onset 30 men 2-4 jam)
• sodium polystyrene sulfonate / resin kalsium 30-60 g dalam air
• Natrium Bikarbonat jika pH<7.2
• diuretik loop jika tidak ada obstruksi saluran kemih dan masih ada sisa nefron
yang berfungsi
• jika gagal perlu dilakukan tindakan hemodialisis
Dahulu, GMT-PGK dikenal sebagai osteodistrofi renal (OR), tapi saat ini OR
ditegakkan melalui pemeriksaan :
7
Simposium Nasional dan Workshop Pelayanan Farmasi di Bidang Nefrologi
Surabaya 20 Agustus 2016
• pertambahan umur
• hiperfosfatemia
• hiperkalsemia
• Ca x P >55
• diabetes
• dislipidemia
• terapi vitamin D
• penghambat vitamin K oral (warfarin)
Pada GMT-PGK dapat terjadi kalsifilaksis yang merupakan kalsifikasi jaringan lunak,
dengan karakteristik seperti :
• hiperfosfatemia
• Ca x P meingkat
• HPTi meningkat
• jejas jaringan lokal
• pH lokal jaringan meningkat
• penghambatan kalsifikasi terbuang dng dialisis
• kelebihan asupan Ca
Evaluasi GMT-PGK :
Evaluasi Laboratoris
o Kalsium (ca) plasma
o Fosfat(p) plasma
o Hormon paratiroid (hpti)
o Kadar alkali fosfatase total (afp)
o Bone specific alkaline phosphatase (balp)
Evaluasi Radiologis
o Foto polos abdomen lateral
8
Simposium Nasional dan Workshop Pelayanan Farmasi di Bidang Nefrologi
Surabaya 20 Agustus 2016
o Ekokardiografi
Biopsi tulang, indikasi :
o Fraktur patologis
Fraktur tanpa trauma
Trauma yang minimal
o HPTi 100-500 pg/ml +
nyeri tulang yang hebat
hiperkalsemia yang tidak dapat dijelaskan
peningkatan aktifitas bASP yang tidak dapat dijelaskan
• Hiperfosfatemia
• Hipokalsemia
• Hiperkalsemia
• Hiperparatiroidisme sekunder
Tatalaksana non-famakologis
o Diet rendah fosfor
900 (800 – 1000) mg/hari
o Fosfor :
• Makanan yang diawetkan
• Cola
• ~protein
Awasi kemungkinan malnutrisi
Tatalaksana Farmakologis
obat pengikat fosfat
• Aluminium hidroksida
• Kalsium karbonat
• Kalsium asetat
• Magnesium karbonat
• Lanthanum karbonat
• Sevelamer
Dialisis pada GMT-PGK :
• Dialisis tidak banyak membuang fosfat
• Jenis dialisat
• Jenis membran
• Pengikat fosfat mengandung kalsium
• DIALISAT kadar kalsium :
2,5 – 3,0 mEq/L
• Alfacalcidol
• Calcitriol
• Cholecalciferol / ergocalciferol
9
Simposium Nasional dan Workshop Pelayanan Farmasi di Bidang Nefrologi
Surabaya 20 Agustus 2016
• Dihydrotachysterol
• Doxercalciferol
• Falecalcitriol
• Axacalcitriol
• Paricalcitol
(perlu pemantauankadar ipth, Ca, P & kalsifikasi jaringan)
• Calcimimetic
Paratiroidektomi pada GMT-PGK bisa bedah total atau subtotal atau dengan prosedur
medis (injeksi alkohol absolut / paricalcitol)/ bedah
Di Indonesia, kriteria anemia adalah bila kadar hemoglobin (Hb) <14 g/dl pada
priadan<12 g/dl pada wanita. Anemia renal didefinisikan sebagai anemia pada PGK
akibat penurunan kemampuan produksi hormon erythropoietin yang tidak sesuai dengan
derajat anemianya. Walaupun demikian anemia pada PGK juga dapat disebabkan oleh :
10
Simposium Nasional dan Workshop Pelayanan Farmasi di Bidang Nefrologi
Surabaya 20 Agustus 2016
Pada semua pasien PGK terutama yang belum mengalami anemia, pemeriksaan
kadar Hb paling tidak harus dilakukan setahun sekali. Pemeriksaan kadar Hb harus lebih
sering pada Penyakit Ginjal Diabetik, PGK dengan kelainan jantung, jika pasien mulai
mengalami tanda-tanda uremia, pasien menjalani hemodialisis, atau pasien dengan
riwayat penurunan Hb.Anamnesa yang rutin dan cermatperlu dilakukan dengan tujuan
untuk menanyakan keluhan anemia serta adanya perdarahan-perdarahan pada pasien
PGK (perdarahan saluran cerna, menstruasi dll). Jika pada evalusi Hb didapatkan kadar
Hb < 14 (pria) atau < 12 (wanita) maka evaluasi dilanjutkan dengan pemeriksaan :
a) darah lengkap, meliputi Hb, Hct, MCH, MCV, MCHC, hitung lekosit dan hitung
jenis, serta hitung trombosit
b) hapusan darah tepi
11
Simposium Nasional dan Workshop Pelayanan Farmasi di Bidang Nefrologi
Surabaya 20 Agustus 2016
Modalitas utama terapi anemia pada PGK adalah dengan pemberian Eritropoiesis
stimulating Agent (ESA)
Rerata waktu paruh dari Epoetin α maupun β dengan pemberian secara intravena
adalah 8,5 jam, sedang dengan pemberian subkutan rerata waktu paruhnya adalah 24
jam. Konsentrasi plasma puncak tercapai lebih cepat pada pemberian intravena
dibanding dengan subkutan.
Darbepoetin-αadalah suatu 165- asam amino yang berbeda dengan ESA lainnya
karena mengandung rantai oligosakarida yang terikat dengan 5 N, sementara rHuEPO
hanya mengandung 3 rantai. Ke 2 tempat glikosilasi N tambahan tersebut berasal dari
penggantian 5 asam amino pada tulang punggung peptida erythropoietin yang
menghasilkan ESA dengan waktu paruh serum yang lebih panjang. Waktu paruh
terminalnya adalah31 jam pada pemberian intravena dan 49 jam pada pemberian
subkutan.
jamsehingga dapat diberikan setiap 2 minggu sekali atau bahkan sebulan sekali secara
subkutan atau intravena.
Dari segi sudut pembuatannya, dikenal istilah ESA produk original dan
epoetin biosimilar atau follow-on biologic. Ada dugaan bahwa epoetin biosimilar
tidaklah sama persis dengan produk original, karena itu beberapa ahli menyarankan
penilaian efektivitas dan keamanan yang lebih ketat.
Saat ini juga dikembangkan beberapa jenis ESA baru, tetapi sebagian besar
masih pada tahap penelitian pada hewan maupun fase awal pada manusia.
Indikasi pemberian ESA pada anemia renal adalah bila kadar Hb < 10 g/dl serta
penyebab lain anemia pada PGK telah disingkirkan atau diterapi, sedang syarat
pemberiannya adalah pasien tidak berada dalam keadaan anemia defisiensi besi yang
absolut. Defisiensi besi absolut ditandai dengan TSAT<20% dan Ferritin<100 ng/ml
untuk pasien PGK yang tidak menjalani hemodialisis (HD) atau<200 ng/ml pada pasien
PGK yang menjalani HD. Bila didapatkan anemia defisiensi besi absolut, harus dikoreksi
terlebih dahulu.
Terapi ESA
Sebelum mulai terapi ESA, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan,
antara lain :
13
Simposium Nasional dan Workshop Pelayanan Farmasi di Bidang Nefrologi
Surabaya 20 Agustus 2016
ESA harus sudah mulaidiberikan pada kadar Hb <10 g/dL, dan target Hb yang harus
dicapai dengan terapi ESA adalah 10-12 g/dL, tetapi kadar Hb sebaiknya tidak
melampaui 13 g/dL.
Dalam konsensus manajemen anemia pada PGK oleh PERNEFRI, terapi ESA
dibagi menjadi 2 tahap, yaitu fase koreksi dan fase pemeliharaan. Fase koreksi ditujukan
untuk mengatasi anemia renal hingga target Hb tercapai, sedang fase pemeliharaan
dimulai saat target Hb 10-12 g/dL telah tercapai.
a) kadar Hb pasien
b) target kadar Hb
c) kenaikan kadar Hb saat pemantauan
d) kondisi klinis pasien
Dosis awal ESA yang dianjurkan adalah 80-120 U/kgBB/minggu subkutan untuk
Epoetin α dan β; 0,45 μg/kgBB/minggu untuk Darbepoetin α, serta 0,6 μg/kgBB/ 2 minggu
untuk C.E.R.A.
Respon kenaikan Hb yang diharapkan adalah sekitar 0,5-1,5 g/dL dalam 4 minggu.
Pemantauan Hb pada fase koreksi dianjurkan tiap 2 s/d 4 minggu dan bila target kenaikan Hb
ini sesuai dengan harapan, maka dosis ESA ini dipertahankan sampai Hb mencapai10-12
g/dL. Jika kenaikan Hb lebih rendah dari yang diharapkan, maka dosis ESA dinaikkan 25% dari
dosis sebelumnya. Sebaliknya dosis ESA diturunkan 25% dari dosis sebelumnya jika kenaikan
Hb >1,5 g/dL dalam 4 minggu atau jika kadar Hb mencapai 12-13 g/dL, tetapi tidak
dianjurkan untuk menghentikan ESA sama sekali pada keadaan ini.Pemberian ESA baru
dihentikan bila kadar Hb telah mencapai>13 g/dL.
Selain pemantauan kadar Hb, selama terapi ESA perlu juga dilakukan pemantauan
14
Simposium Nasional dan Workshop Pelayanan Farmasi di Bidang Nefrologi
Surabaya 20 Agustus 2016
kadar besi pasien PGK. Suplemen besi dapat diberikan untuk mempertahankan kadar besi
pada tingkatan yang diharapkan.
Kadang-kadang, terapi ESA pada pasien PGK tidak memberikan hasil yang kita
harapkan (kenaikan kadar Hb tidak sesuai target / Hb tidak mencapai target). Batasan
dari respon tak adekuat terhadap ESA (atau resistensi ESA) adalah apabila pada dosis
8000-10.000 IU/minggu secara subkutan tidak terjadi kenaikan Hb sebesar 0,5-1,5 g/dl
selama 4 minggu berturut-turut selama 12 minggu (dalam fase koreksi) atau dalam fase
pemeliharaan kadar Hb tidak dapat dipertahankan dalam rentang target pemeliharaan.
Penyebab respon yang tak adekuat terhadap ESA antara lain :
15
Simposium Nasional dan Workshop Pelayanan Farmasi di Bidang Nefrologi
Surabaya 20 Agustus 2016
Jika ditemukan respon yang tak adekuat dengan pemberian ESA, maka seluruh
kemungkinan penyebabnya harus dicari dan diatasi. Perlu pula diperhatikan penanganan
dan pengiriman produk ESA, karena beberapa jenis ESA harus disimpan dalam suhu
dingin.
Hipertensi adalah efek samping yang paling sering didapatkan pada pasien-pasien
PGK yang mendapat ESA, dalam bentuk hipertensi yang tidak terkendali pada pasien
yang tekanan darah sebelumnya dapat dikendalikan. Tidak ada 1 faktor utama yang bisa
dipastikan sebagai penyebab kenaikan tekanan darah ini. Efek langsung pada tekanan
darah oleh ESA diduga karena reseptor erythropoietin terdapat di sel-sel endotel,
sedangkan efek lain adalah menghilangnya vasodilatasi akibat hipoksia, kenaikan
viskositas darah, kenaikan volume plasma, kenaikan kontraktilitas dan curah jantung,
serta efek endotelin.
Tetapi sampai saat ini tidak ada bukti langsung yang mengkaitkan kenaikan tekanan
darah dengan dosis ESA maupun dengan target Hb yang dicapai. Selain itu, hipertensi
karena terapi ESA tidak didapatkan pada pasien-pasien tanpa kelainan ginjal.
Saat ini kesepakatan yang dianut adalah bahwa terapi hipertensi pada pasien yang
mendapat ESA adalah sama dengan terapi hipertensi lainnya, dan terapi ESA tidak perlu
dihentikan karenanya, kecuali jika kenaikan tekanan darah tersebut menyebabkan
keluhan.
Pure Red Cell Aplasia (PRCA) akibat pemberian ESA termasuk dalam kelompok
16
Simposium Nasional dan Workshop Pelayanan Farmasi di Bidang Nefrologi
Surabaya 20 Agustus 2016
Komplikasi lain dari pemberian ESA yang lebih jarang adalah peningkatan
kejadian trombosis dan kejang. Kedua kejadian ini diduga dapat terjadi jika pada fase
koreksi Hb meningkat secara cepat melebihi target.
Saat seorang pasien dengan PGK mencapai tahap gagal ginjal terminal, maka pilihan
untuk terapi pengganti ginjal adalah :
1. hemodialisis
2. peritoneal dialisis
3. transplantasi ginjal
Masing-masing modalitas memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri.
Keuntungan Hemodialisis
Kerugian Hemodialisis
memerlukan heparin
memerlukan akses vaskuler
dapat terjadi hipotensi saat hemodialisis
pengendalian tekanan darah kurang baik
harus patuh pada diet dan jadwal hemodialisis
17
Simposium Nasional dan Workshop Pelayanan Farmasi di Bidang Nefrologi
Surabaya 20 Agustus 2016
memerlukan sarana Unit Hemodialisis termasuk pengolahan air serta tenaga perawat
dan teknisi
biaya operasional
unit Hemodialisis
pasien harus mengunjungi Unit Hemodialisis 2-3 x seminggu selama 4-5 jam
peritonitis
obesitas
hipertrigliseridemia
malnutrisi
terjadinya hernia
nyeri punggung
logistik cairan peritoneal (pegambilan & penyimpanan dalam jumlah besar)
perlu kedisiplinan pasien dalam jadwal dan kebersihan
hampir seluruh fungsi ginjal yang normal terganti dengan ginjal donor
kualitas hidup terjaga
mobilitas & kehidupan sosial pasien dapat dipertahankan
pasien dapat tetap bekerja
RINGKASAN
PUSTAKA
19
Simposium Nasional dan Workshop Pelayanan Farmasi di Bidang Nefrologi
Surabaya 20 Agustus 2016
10. National Kidney Foundation. K/DOQI Clinical Practice Guidelines and Clinical
Practice Recomendations for Anemia in Chronic Kidney Disease. Am J Kidney
Dis. 2006; 47: 1-146
11. Perhimpunan Nefrologi Indonesia. Konsensus Manamejen Anemia pada
Penyakit Ginjal Kronik
12. Wheeler DC. Clinical evaluation and Management of Chronic Kidney Disease.
In: Floege J, Johnson RJ, Feehally J. Comprehensive Clinical Nephrology 4th ed.
2010, Elsevier Saunders, 927-934.
20