Anda di halaman 1dari 20

Simposium Nasional dan Workshop Pelayanan Farmasi di Bidang Nefrologi

Surabaya 20 Agustus 2016

PENYAKIT GINJAL KRONIS

Artaria Tjempakasari, Widodo

Divisi Ginjal Hipertensi – Departemen Penyakit Dalam, RSUD Dr. Soetomo Surabaya

Penurunan fungsi ginjal bisa terjadi mendadak (akut) maupun perlahan-lahan


dan lama (kronis).Penurunan fungsi ginjal kronisdikelompokkan dalam Penyakit Ginjal
Kronis (PGK).Pengelompokan ini lebih ditujukan agar ada keseragaman, baik dalam
pendekatan penegakan diagnosis maupun pada tatalaksananya secara umum.Berbagai
jenis penyakit yang menyerang ginjal dan saluran kemih bisa dimasukkan ke dalam
kelompok ini.Pengobatan penyakit yang masuk dalam kedua kategori ini tergantung
dari penyakit dasarnya, tetapi penumpukan bahan-bahan terlarut yang seharusnya
terbuang lewat saluran kemih dengan segala akibatnya sering memerlukan tindakan
aktif berupa terapi pengganti ginjal, baik sementara maupun untuk seterusnya. Makin
lanjut stadium PGK, makin banyak komplikasi yang timbul, makin besar biaya
pengobatannya dan makin buruk pula kualitas hidup pasien, karena itu tatalaksana
utama PGK dimulai dengan penegakan diagnsosi sedini mungkin, mencegah penurunan
fungsi ginjal serta mencegah dan mengatasi komplikasi-komplikasinya.

Definisi Penyakit Ginjal Kronis

kerusakan ginjal,atau penurunan fungsi ginjal,yang telah terjadi > 3 bulan,dengan


implikasi pada kesehatan

Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronis

Klasifikasi PGK dapat didasarkan pada adanya 1 atau lebih petanda kerusakan lebih
atau penurunan Laju Filtasi Glomerulus (LFG).

1
Simposium Nasional dan Workshop Pelayanan Farmasi di Bidang Nefrologi
Surabaya 20 Agustus 2016

o Petanda kerusakan ginjal (1 atau lebih)


1. albuminuria (AER >30 mg/24 jam, ACR >30 mg/g [>3 mg/mmol])
2. sedimen urin
3. elektrolit & gangguan tubulus
4. kelainan histologi
5. pemeriksaan radiologis
6. riwayat transplantasi ginjal
o penurunan LFG
LFG <60 ml/men/1,73 m2(kategori LFG G3a-G5)

Berdasarkan pedoman KDIGO, PGK dikategorikan berdasar LFG (Tabel 1) dan


berdasar ekskresi albumin dalam urin (Tabel 2), sehingga pada akhirnya PGK dapat
dikelompokkan berdasarkan stratifikasi faktor risikonya (Tabel 3).

Tabel 1. Kategori PGK berdasar LFG

Kategori LFG LFG(ml/men/1,73 m2) Isitilah


G1 >90 normal atau tinggi
G2 60-89 menurun ringan
G3a 45-59 menurun ringan s/d sedang
G3b 30-44 menurun sedang s/d berat
G4 15-29 menurun berat
G5 <15 gagal ginjal

Tabel 2. Kategori PGK berdasar ekskresi albumin

Kategori AER(mg/24 jam) ACR Istilah


(mg/mmol) (mg/g)
A1 <30 <3 <30 normal s/d meningkat
A2 30-300 3-30 30-300 meningkat
A3 >300 >30 >300 meningkat

2
Simposium Nasional dan Workshop Pelayanan Farmasi di Bidang Nefrologi
Surabaya 20 Agustus 2016

Tabel 3. Stratifikasi PGK

Rumus perhitungan Laju Filtrasi Glomerulus antara lain :

PenyebabPenyakit Ginjal Kronis

Penyebab PGK dapat berupa faktor klinis maupun faktor sosiodemografis :

A. Faktor Klinis
1. Diabetes Mellitus
2. Hipertensi
3. Penyakit Otoimun
4. Infeksi Sistemik
5. Infeksi Saluran Kemih
3
Simposium Nasional dan Workshop Pelayanan Farmasi di Bidang Nefrologi
Surabaya 20 Agustus 2016

6. Batu Saluran Kemih


7. Obstruksi Saluran Kemih
8. Keganasan
9. Keluarga Riwayat Penyakit Ginjal
10. Sembuh dari Gangguan Ginjal Akut
11. Penurunan Massa Ginjal
12. Paparan terhadap Obat tertentu
13. Berat Badan Lahir Rendah
B. Faktor Sosiodemografis
1. Usia Lanjut
2. minoritas tertentu (di Amerika)
3. Paparan terhadap Bahan Kimia tertentu
4. Pendidikan / Pendapatan rendah

Komplikasi Penyakit Ginjal Kronis

Komplikasi PGK bisa sangat beragam, dan dapat timbul mendadak maupun secara
perlahan. Komplikasi-komplikasi tersebut antara lain :

1. uremia
2. gangguan keseimbangan elektrolit
3. gangguan asam basa
4. retensi cairan
5. penyakit jantung pembuluh darah
6. hipertensi
7. anemia
8. GMT–PGK (gangguan mineral & tulang pada penyakit ginjal kronik)
9. malnutrisi
10. kelainan neurologis
11. kelainan saluran cerna
12. perdarahan uremik
13. kelainan kulit
14. penyakit ginjal kistik
15. dll

Evaluasi pada Penyakit Ginjal Kronis

Untuk menegakkan diagnosis PGK, perlu dilakukan anamnesis yang mendalam


dan pemeriksaan fisik yang teliti. Anamnesis ditujukan untuk mengetahui keluhan-
keluhan uremia dan akibat penurunan fungsi ginjal yang lain. Anamnesis juga ditujukan
untuk menggali riwayat penyakit dahulu yang mungkin mendasari PGK.Pemeriksaan
fisik ditujukan untuk melihat tanda-tanda yang timbul akibat menurunnya fungsi ginjal

4
Simposium Nasional dan Workshop Pelayanan Farmasi di Bidang Nefrologi
Surabaya 20 Agustus 2016

serta menegakkan adanya kegawat daruratan seperti penurunan kesadaran, hipoksia,


asidosis metabolik, serta edema paru.

Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menegakkan komplikasi-komplikasi PGK


seperti:

A. Gangguan Elektrolit
1. K Na serum
B. GMT-PGK
1. iPTH, Ca, P
2. foto polos abdomen lateral
C. Asidosis Metabolik
1. Analisa Gas Darah
D. K Na serum
E. Hipertensi
1. CXR
2. EKG
3. ekokardiografi
F. Anemia
1. darah lengkap
2. hapusan darah tepi
3. retikulosit
4. SI / TIBC / Transferin
G. Retensi Cairan
1. CXR
2. Analisa Gas Darah
H. Malnutrisi
1. recall
2. antropometri
3. SGA (subjective global assessment)
4. Albumin serum
5. dll

Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronis

Langkah-langkah umum dalam pengobatan PGK adalah :

1. pengobatan penyebab
2. mencegah atau memperlambat progresivitas
3. pengobatan komplikasi
4. penyesuaian dosis obat
5. identifikasi dan persiapan  terapi pengganti ginjal
6. mencari penyebab yg “reversibel”
7. mengatasi hipovolemia
8. mengatasi infeksi
9. awasi penggunaan obat jangka panjang
5
Simposium Nasional dan Workshop Pelayanan Farmasi di Bidang Nefrologi
Surabaya 20 Agustus 2016

10. mengatasi obstruksi saluran kemih


11. mengobati Diabetes Mellitus
12. mengobati Hipertensi

Kegawat darutan karena Penyakit Ginjal kronis

Pada PGK, dapat timbul komplikasi yang gawat dan membahayakan nyawa pasien.
Komplikasi tersebut antara lain hiperkalemia, asidosis metabolik, edema paru,
ensefaopati uremik dll. Pengobatan diawali dengan medikamentosa / konservatif, tetapi
jika gagal, harus dilakukan hemodialisis.

A. Terapi Hiperkalemia
• stop ACE-I, ARB, diuretik hemat Kalium
• Kalsium Glukonat 10% 10 cc i.v dlm 10 menit (onset 1-3 menit, durasi 30-60
menit)
• insulin reguler, 10 U i.v dlm Dext 50% 50 cc (jika GDS <250 mg/dL) (onset 30
men durasi 4-6 jam)
• 2-Adrenergik agonis (albuterol) nebulizer 10 mg (onset 30 men 2-4 jam)
• sodium polystyrene sulfonate / resin kalsium 30-60 g dalam air
• Natrium Bikarbonat jika pH<7.2
• diuretik loop jika tidak ada obstruksi saluran kemih dan masih ada sisa nefron
yang berfungsi
• jika gagal perlu dilakukan tindakan hemodialisis

B. Terapi Asidosis Metabolik


• natrium bikarbonat jika HCO3- <15-18 mmol/L
– cairan hipertonik
– ideal : D5%
• perhatikan : edema paru, asidosis laktik, hipokalsemia
• jika gagal perlu dilakukan tindakan hemodialisis

C. Terapi Edema Paru


• evaluasi penyebab apakah murni kelebihan cairan atau gagal jantung
• evaluasi saturasi oksigen apakah perlu dukungan alat bantu napas
• bolus diuretik loop : Furosemide bolus 2 ampul i.v (40 mg), dilanjutkan dengan
pemberian dalam pump
• jika gagal perlu dilakukan tindakan hemodialisis

Gangguan Metabolisme Mineral dan Tulang pada PGK

Definisi Gangguan Metabolisme Mineral dan Tulang pada PGK (GMT-PGK) :

GMT-PGK didefinisikan sebagai sindroma klinik akibat gangguan sistemik


metabolisme mineral dan tulang pada pasien PGK
6
Simposium Nasional dan Workshop Pelayanan Farmasi di Bidang Nefrologi
Surabaya 20 Agustus 2016

Mencakup salah satu atau kombinasi dari:

• kelainan tulang dalam turnover, mineralisasi, volume, pertumbuhan linier


serta kekuatannya
• kalsifikasi pembuluh darah atau jaringan lunak lain akibat gangguan tersebut
di atas
• kelainan hasil evaluasi laboratoris akibat gangguan metabolisme kalsium,
fosfat, HPTi (hormon paratiroid intak) dan vitamin D

Kelainan-kelainan pada GMT-PGK secara laboratoris adalah :

• hiperfosfatemia >4,6 mg/dL


• hipokalsemia <8 mg/dL
• hiperkalsemia <10 mg/dL
• hiperparatiroid sekunder 10,4-68 pg/ml

GMT-PGK berdasar patologi kelainan tulang (turnover tulang, mineralisasi serta


volumenya) dibagi menjadi :

• osteitis fibrosa cystica


• adynamic bonde disease
• osteomalacia
• mixed uremic osteodystrophy

Dahulu, GMT-PGK dikenal sebagai osteodistrofi renal (OR), tapi saat ini OR
ditegakkan melalui pemeriksaan :

• gangguan morfologi tulang pd PGK


• pemeriksaan komponen skeletal pada GMT-PGK
• diketahui melalui pemeriksaan biopsi tulang

Akibat dari GMT-PGK antara lain :

• osteitis fibrosa cystica


• adynamic bonde disease
• osteomalacia
• mixed uremic osteodystrophy
• gangguan pada tulang : fraktur patologis
• kalsifikasi pembuluh darah
• kalsifikasi jaringan lunak

7
Simposium Nasional dan Workshop Pelayanan Farmasi di Bidang Nefrologi
Surabaya 20 Agustus 2016

Faktor risiko kalsifikasi pembuluh darah pada GMT-PGK adalah :

• pertambahan umur
• hiperfosfatemia
• hiperkalsemia
• Ca x P >55
• diabetes
• dislipidemia
• terapi vitamin D
• penghambat vitamin K oral (warfarin)

Pada GMT-PGK dapat terjadi kalsifilaksis yang merupakan kalsifikasi jaringan lunak,
dengan karakteristik seperti :

• hiperfosfatemia
• Ca x P meingkat
• HPTi meningkat
• jejas jaringan lokal
• pH lokal jaringan meningkat
• penghambatan kalsifikasi terbuang dng dialisis
• kelebihan asupan Ca

Keluhan & gejala GMT antara lain:

• keluhan dan gejala pada umumnya tidak spesifik


• tahap awal :
tanpa keluhan
• tahap lanjut :
o nyeri tulang
o kelemahan otot
o pruritus
o Calciphylaxis (calcemic uremic arteriolopathy)
o fraktur patologis

Evaluasi GMT-PGK :

 Evaluasi Laboratoris
o Kalsium (ca) plasma
o Fosfat(p) plasma
o Hormon paratiroid (hpti)
o Kadar alkali fosfatase total (afp)
o Bone specific alkaline phosphatase (balp)
 Evaluasi Radiologis
o Foto polos abdomen lateral
8
Simposium Nasional dan Workshop Pelayanan Farmasi di Bidang Nefrologi
Surabaya 20 Agustus 2016

o Ekokardiografi
 Biopsi tulang, indikasi :
o Fraktur patologis
 Fraktur tanpa trauma
 Trauma yang minimal
o HPTi 100-500 pg/ml +
 nyeri tulang yang hebat
 hiperkalsemia yang tidak dapat dijelaskan
 peningkatan aktifitas bASP yang tidak dapat dijelaskan

Tatalaksana terhadap GMT-PGK ditujukan kepada:

• Hiperfosfatemia
• Hipokalsemia
• Hiperkalsemia
• Hiperparatiroidisme sekunder
 Tatalaksana non-famakologis
o Diet rendah fosfor
 900 (800 – 1000) mg/hari
o Fosfor :
• Makanan yang diawetkan
• Cola
• ~protein
Awasi kemungkinan malnutrisi
 Tatalaksana Farmakologis
obat pengikat fosfat
• Aluminium hidroksida
• Kalsium karbonat
• Kalsium asetat
• Magnesium karbonat
• Lanthanum karbonat
• Sevelamer
 Dialisis pada GMT-PGK :
• Dialisis tidak banyak membuang fosfat
• Jenis dialisat
• Jenis membran
• Pengikat fosfat mengandung kalsium
• DIALISAT kadar kalsium :
2,5 – 3,0 mEq/L

Jenis-jenis kalsitriol/vitamin D analog dalam terapi GMT-PGK :

• Alfacalcidol
• Calcitriol
• Cholecalciferol / ergocalciferol
9
Simposium Nasional dan Workshop Pelayanan Farmasi di Bidang Nefrologi
Surabaya 20 Agustus 2016

• Dihydrotachysterol
• Doxercalciferol
• Falecalcitriol
• Axacalcitriol
• Paricalcitol
(perlu pemantauankadar ipth, Ca, P & kalsifikasi jaringan)
• Calcimimetic

Paratiroidektomi pada GMT-PGK bisa bedah total atau subtotal atau dengan prosedur
medis (injeksi alkohol absolut / paricalcitol)/ bedah

Indikasi paratiroidektomi pada GMT-PGK :

• Hiperparatiroid sekunder berat + hiperkalsemia / hiperfosfatemia gagal terapi


farmakologis
• Keluhan menonjol :
o Pruritus sangat mengganggu
o Nyeri tulang & sendi progresif
o Kalsifilaksis

Tatalaksana kalsifikasi karena GMT-PGK

• mengendalikan kadarP, Ca, HPTi


• mengendalikan tekanan darah
• mengendalikan kadar glukosa darah
• memperkecil proses keradangan
• menghentikan merokok
• menghentikan pemberian warfarin

Tindakan lain untuk mencegah GMT-PGK:

• mencegah asidosis metabolik


• mencapai adekuasi hemodialisis

Anemia Renal pada PGK

Di Indonesia, kriteria anemia adalah bila kadar hemoglobin (Hb) <14 g/dl pada
priadan<12 g/dl pada wanita. Anemia renal didefinisikan sebagai anemia pada PGK
akibat penurunan kemampuan produksi hormon erythropoietin yang tidak sesuai dengan
derajat anemianya. Walaupun demikian anemia pada PGK juga dapat disebabkan oleh :

10
Simposium Nasional dan Workshop Pelayanan Farmasi di Bidang Nefrologi
Surabaya 20 Agustus 2016

a) defisiensi besi e) toksisitas aluminium


b) pemendekan umur eritrosit f) defisiensi asam folat
c) hiperparatiroidisme sekunder yang lanjut g) hemoglobinopati
d) inflamasi dan infeksi dll

Beratnya derajat anemia, atau anemia yang disertai lekositopenia dan/atau


trombositopenia, atau adanya bukti defisiensi besi merupakan petunjuk bahwa anemia
yang didapatkan tidak hanya karena defisiensi relatif erythropoietin.

Terapi anemia ditujukan untuk:

a) Menghilangkan keluhan dan gejala akibat anemia


b) Mencegah komplikasi kardiovaskular
c) Menurunkan angka morbiditas dan mortalitas akibat anemia
d) Meningkatkan kualitas hidup

Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) menganjurkan penggunaan


erythropoietin sebagai modalitas terapi utama anemia dan sedapat mungkin menghindari
transfusi darah karena komplikasi transfusi darah seperti :

a) kelebihan cairan e) reaksi alergi atau anafilaktik


b) penularan infeksi f) reaksi hemolitik
c) reaksi demam yang bukan g) alloimunisasi
infeksi h) Acute Lung Injury karena transfusi
d) kelebihan zat besi

Evaluasi Awal Anemia

Pada semua pasien PGK terutama yang belum mengalami anemia, pemeriksaan
kadar Hb paling tidak harus dilakukan setahun sekali. Pemeriksaan kadar Hb harus lebih
sering pada Penyakit Ginjal Diabetik, PGK dengan kelainan jantung, jika pasien mulai
mengalami tanda-tanda uremia, pasien menjalani hemodialisis, atau pasien dengan
riwayat penurunan Hb.Anamnesa yang rutin dan cermatperlu dilakukan dengan tujuan
untuk menanyakan keluhan anemia serta adanya perdarahan-perdarahan pada pasien
PGK (perdarahan saluran cerna, menstruasi dll). Jika pada evalusi Hb didapatkan kadar
Hb < 14 (pria) atau < 12 (wanita) maka evaluasi dilanjutkan dengan pemeriksaan :

a) darah lengkap, meliputi Hb, Hct, MCH, MCV, MCHC, hitung lekosit dan hitung
jenis, serta hitung trombosit
b) hapusan darah tepi
11
Simposium Nasional dan Workshop Pelayanan Farmasi di Bidang Nefrologi
Surabaya 20 Agustus 2016

c) hitung retikulosit, atau CHr (content of Hb in reticulocytes)


d) darah samar pada feses
e) status besi,meliputi serum iron (SI), total iron binding capacity(TIBC),
transferin saturation (TSAT), dan serum ferritin (Ferritin)

Pemeriksaan diatas dapat memberikan informasi mengenai derajat anemia, kecukupan


asupan nutrisi, adanya perdarahan / defisiensi besi, folat atau B12, serta fungsi sumsum
tulang. Pada anemia defisiensi besi, selain evaluasi kecukupan asupan nutrisi, perlu juga
dipertimbangkan kemungkinan perdarahan-perdarahan saluran cerna yang umum
ditemukan pada pasien PGK.

Modalitas utama terapi anemia pada PGK adalah dengan pemberian Eritropoiesis
stimulating Agent (ESA)

Eritropoiesis Stimulating Agent

ESA dulu dikenal sebagai recombinant human erythropoietin (rHuEPO). Ada


beberapa jenis ESA yang saat ini banyak digunakan yaitu Epoetin α, Epoetin β,
Darbepoetin-α, serta Continuous Erythropoiesis Receptor Activator (C.E.R.A).

Rerata waktu paruh dari Epoetin α maupun β dengan pemberian secara intravena
adalah 8,5 jam, sedang dengan pemberian subkutan rerata waktu paruhnya adalah 24
jam. Konsentrasi plasma puncak tercapai lebih cepat pada pemberian intravena
dibanding dengan subkutan.

Darbepoetin-αadalah suatu 165- asam amino yang berbeda dengan ESA lainnya
karena mengandung rantai oligosakarida yang terikat dengan 5 N, sementara rHuEPO
hanya mengandung 3 rantai. Ke 2 tempat glikosilasi N tambahan tersebut berasal dari
penggantian 5 asam amino pada tulang punggung peptida erythropoietin yang
menghasilkan ESA dengan waktu paruh serum yang lebih panjang. Waktu paruh
terminalnya adalah31 jam pada pemberian intravena dan 49 jam pada pemberian
subkutan.

C.E.R.A adalah ESA yang merupakan pegylated epoetin β dalam bentuk


methxy polyethylene glycol-epoetin βdengan waktu paruh panjang, mencapai 130
12
Simposium Nasional dan Workshop Pelayanan Farmasi di Bidang Nefrologi
Surabaya 20 Agustus 2016

jamsehingga dapat diberikan setiap 2 minggu sekali atau bahkan sebulan sekali secara
subkutan atau intravena.

Dari segi sudut pembuatannya, dikenal istilah ESA produk original dan
epoetin biosimilar atau follow-on biologic. Ada dugaan bahwa epoetin biosimilar
tidaklah sama persis dengan produk original, karena itu beberapa ahli menyarankan
penilaian efektivitas dan keamanan yang lebih ketat.

Saat ini juga dikembangkan beberapa jenis ESA baru, tetapi sebagian besar
masih pada tahap penelitian pada hewan maupun fase awal pada manusia.

Indikasi, Kontraindikasi dan Syarat Pemberian ESA

Indikasi pemberian ESA pada anemia renal adalah bila kadar Hb < 10 g/dl serta
penyebab lain anemia pada PGK telah disingkirkan atau diterapi, sedang syarat
pemberiannya adalah pasien tidak berada dalam keadaan anemia defisiensi besi yang
absolut. Defisiensi besi absolut ditandai dengan TSAT<20% dan Ferritin<100 ng/ml
untuk pasien PGK yang tidak menjalani hemodialisis (HD) atau<200 ng/ml pada pasien
PGK yang menjalani HD. Bila didapatkan anemia defisiensi besi absolut, harus dikoreksi
terlebih dahulu.

Kontraindikasi mutlak pemberian ESA adalah bila ditemukan hipersensitivitas


terhadap ESA. Pada beberapa keadaan seperti hipertensi, pembuntuan akses vaskuler,
dialisis yang tidak adekuat, adanya riwayat kejang, serta malnutrisi, ESA bukan
merupakan kontraindikasi.

Beberapa penelitian mutakhir menunjukkan peningkatan angka mortaitas pada


pasien PGK yang mendapat ESA hingga kadar Hb melebihi 13 g/dL. Masih belum jelas
apakah tingginya mortalitas ini karena kadar Hb yang dicapai terlalu tinggi, atau karena
tingginya dosis ESA yang digunakan.

Terapi ESA

Sebelum mulai terapi ESA, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan,
antara lain :

13
Simposium Nasional dan Workshop Pelayanan Farmasi di Bidang Nefrologi
Surabaya 20 Agustus 2016

a) pemilihan jenis ESA e) perencanaan pemantauan kadar Hb


b) dosis awal ESA f) memperkirakan kecepatan kenaikan kadar
c) jalur / rute pemberian Hb yang diinginkan
ESA(intravena atau g) antisipasi penyesuaian dosis ESA
subkutan) h) efek samping atau perawatan RS
d) frekuensi pemberian ESA

ESA harus sudah mulaidiberikan pada kadar Hb <10 g/dL, dan target Hb yang harus
dicapai dengan terapi ESA adalah 10-12 g/dL, tetapi kadar Hb sebaiknya tidak
melampaui 13 g/dL.

Dalam konsensus manajemen anemia pada PGK oleh PERNEFRI, terapi ESA
dibagi menjadi 2 tahap, yaitu fase koreksi dan fase pemeliharaan. Fase koreksi ditujukan
untuk mengatasi anemia renal hingga target Hb tercapai, sedang fase pemeliharaan
dimulai saat target Hb 10-12 g/dL telah tercapai.

Dosis awal ESA dan penyesuaian dosis ESA ditentukan oleh :

a) kadar Hb pasien
b) target kadar Hb
c) kenaikan kadar Hb saat pemantauan
d) kondisi klinis pasien

Dosis awal ESA yang dianjurkan adalah 80-120 U/kgBB/minggu subkutan untuk
Epoetin α dan β; 0,45 μg/kgBB/minggu untuk Darbepoetin α, serta 0,6 μg/kgBB/ 2 minggu
untuk C.E.R.A.

Respon kenaikan Hb yang diharapkan adalah sekitar 0,5-1,5 g/dL dalam 4 minggu.
Pemantauan Hb pada fase koreksi dianjurkan tiap 2 s/d 4 minggu dan bila target kenaikan Hb
ini sesuai dengan harapan, maka dosis ESA ini dipertahankan sampai Hb mencapai10-12
g/dL. Jika kenaikan Hb lebih rendah dari yang diharapkan, maka dosis ESA dinaikkan 25% dari
dosis sebelumnya. Sebaliknya dosis ESA diturunkan 25% dari dosis sebelumnya jika kenaikan
Hb >1,5 g/dL dalam 4 minggu atau jika kadar Hb mencapai 12-13 g/dL, tetapi tidak
dianjurkan untuk menghentikan ESA sama sekali pada keadaan ini.Pemberian ESA baru
dihentikan bila kadar Hb telah mencapai>13 g/dL.

Selain pemantauan kadar Hb, selama terapi ESA perlu juga dilakukan pemantauan
14
Simposium Nasional dan Workshop Pelayanan Farmasi di Bidang Nefrologi
Surabaya 20 Agustus 2016

kadar besi pasien PGK. Suplemen besi dapat diberikan untuk mempertahankan kadar besi
pada tingkatan yang diharapkan.

Tabel 4. Dosis ESA

Epoetin α & β Darbepoetin α C.E.R.A


0,6 μg/kgBB tiap 2
Dosis 80-120 U/kgBB/minggu 0,45 μg/kgBB/minggu
minggu
interval yang
terbagi 2x/minggu tiap minggu tiap 2 minggu
dianjurkan
sampai dengan tiap 2-3 sampai dengan tiap
interval (range) sampai dengan tiap bulan
minggu bulan
setiap 2 minggu sampai setiap 2 minggu sampai
pemantauan stabil, kemudian tiap stabil, kemudian tiap tiap 2 minggu
bulan bulan
penyesuaian
tiap 2 minggu tiap bulan tiap bulan
dosis (25-50%)

Pembentukan eritrosit yang efektif tergantung pencapaian tingkat terapeutik ESA


(0,02-0,10 U/mL untuk Epoetin) dan seberapa lama kadar ini bisa dipertahankan.
Pemberian ESA secara intravena menyebabkan kadar yang lebih tinggi tetapi waktu
mempertahankan kadar terapeutiknya lebih pendek.Karena itu pemberian ESA secara
subkutan lebih fisiologis dan efektif. Selain itu kenaikan pembentukan eritrosit yang
sangat cepat dengan pemberian ESA intravena dapat melampaui ketersediaan besi
yang cukup untuk pembentukan sel darah merah, dengan akibat timbulnya defisiensi
besi fungsional (ST <20% dan Ferritin ≥100 ng/mLpada PGK yang tidak HD atau
Ferritin ≥200 ng/mLpada pasien PGK yang menjalani HD).

Respon tak adekuat terhadap ESA

Kadang-kadang, terapi ESA pada pasien PGK tidak memberikan hasil yang kita
harapkan (kenaikan kadar Hb tidak sesuai target / Hb tidak mencapai target). Batasan
dari respon tak adekuat terhadap ESA (atau resistensi ESA) adalah apabila pada dosis
8000-10.000 IU/minggu secara subkutan tidak terjadi kenaikan Hb sebesar 0,5-1,5 g/dl
selama 4 minggu berturut-turut selama 12 minggu (dalam fase koreksi) atau dalam fase
pemeliharaan kadar Hb tidak dapat dipertahankan dalam rentang target pemeliharaan.
Penyebab respon yang tak adekuat terhadap ESA antara lain :

15
Simposium Nasional dan Workshop Pelayanan Farmasi di Bidang Nefrologi
Surabaya 20 Agustus 2016

a) defisiensi besi absolut maupun defisiensi besi fungsional yang berkelanjutan


b) kehilangan darah kronis atau akut, termasuk hemolisis
c) adanya malnutrisi
d) dialisis tidak adekuat
e) adanya hiperparatiroidisme sekunder yang berat (osteitis fibrosa)
f) adanya inflamasi maupun infeksi
g) toksisitas aluminium
h) penggunaan ACEinhibitor, ARB atauRenin Inhibitordalam dosis dosis tinggi
i) defisiensi asam folat, vitamin B12, hemoglobinopati, mieloma multipel,
mielofibrosis, hemolisis dan keganasan dan lain-lain

Jika ditemukan respon yang tak adekuat dengan pemberian ESA, maka seluruh
kemungkinan penyebabnya harus dicari dan diatasi. Perlu pula diperhatikan penanganan
dan pengiriman produk ESA, karena beberapa jenis ESA harus disimpan dalam suhu
dingin.

Efek Samping ESA

Hipertensi adalah efek samping yang paling sering didapatkan pada pasien-pasien
PGK yang mendapat ESA, dalam bentuk hipertensi yang tidak terkendali pada pasien
yang tekanan darah sebelumnya dapat dikendalikan. Tidak ada 1 faktor utama yang bisa
dipastikan sebagai penyebab kenaikan tekanan darah ini. Efek langsung pada tekanan
darah oleh ESA diduga karena reseptor erythropoietin terdapat di sel-sel endotel,
sedangkan efek lain adalah menghilangnya vasodilatasi akibat hipoksia, kenaikan
viskositas darah, kenaikan volume plasma, kenaikan kontraktilitas dan curah jantung,
serta efek endotelin.

Tetapi sampai saat ini tidak ada bukti langsung yang mengkaitkan kenaikan tekanan
darah dengan dosis ESA maupun dengan target Hb yang dicapai. Selain itu, hipertensi
karena terapi ESA tidak didapatkan pada pasien-pasien tanpa kelainan ginjal.

Saat ini kesepakatan yang dianut adalah bahwa terapi hipertensi pada pasien yang
mendapat ESA adalah sama dengan terapi hipertensi lainnya, dan terapi ESA tidak perlu
dihentikan karenanya, kecuali jika kenaikan tekanan darah tersebut menyebabkan
keluhan.

Pure Red Cell Aplasia (PRCA) akibat pemberian ESA termasuk dalam kelompok

16
Simposium Nasional dan Workshop Pelayanan Farmasi di Bidang Nefrologi
Surabaya 20 Agustus 2016

Acquired Chronic PRCA karena adanya antibodi terhadap antierythropoietin. Kecurigaan


adanya PRCA pada pasien PGK yang menerima ESA didasarkan pada :

a) pasien telah dalam terapi ESA >4 minggu


b) penurunan Hb mendadak 0,5-1 g/dL/minggu
c) pasien membutuhkan transfusi 1-2 kali/minggu
d) hitung lekosit dan trombosit normal
e) hitung retikulosit absolut <10.000/µL

Diagnosis pasti PRCA ditegakkan atas dasaranti-erythropoietin antibody yang positif


dan/atau pada biopsi sumsum tulang didapatkan penurunanerythroid progenitor cells.

Komplikasi lain dari pemberian ESA yang lebih jarang adalah peningkatan
kejadian trombosis dan kejang. Kedua kejadian ini diduga dapat terjadi jika pada fase
koreksi Hb meningkat secara cepat melebihi target.

Terapi Pengganti Ginjal pada PGK

Saat seorang pasien dengan PGK mencapai tahap gagal ginjal terminal, maka pilihan
untuk terapi pengganti ginjal adalah :

1. hemodialisis
2. peritoneal dialisis
3. transplantasi ginjal
Masing-masing modalitas memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri.

Keuntungan Hemodialisis

 waktu terapi pendek


 sangat efisien dalam pembuangan toksin uremik dengan ukuran molekul kecil
 timbul sosialisasi di unit hemodialisis

Kerugian Hemodialisis

 memerlukan heparin
 memerlukan akses vaskuler
 dapat terjadi hipotensi saat hemodialisis
 pengendalian tekanan darah kurang baik
 harus patuh pada diet dan jadwal hemodialisis
17
Simposium Nasional dan Workshop Pelayanan Farmasi di Bidang Nefrologi
Surabaya 20 Agustus 2016

 memerlukan sarana Unit Hemodialisis termasuk pengolahan air serta tenaga perawat
dan teknisi
 biaya operasional
 unit Hemodialisis
 pasien harus mengunjungi Unit Hemodialisis 2-3 x seminggu selama 4-5 jam

Keuntungan Peritoneal Dialisis

 keseimbangan bahan kimia dalam tubuh lebih terpelihara


 kadar hematokrit bisa lebih tinggi
 pengendalian tekanan darah lebih baik
 dialisat bisa berfungsi sebagai sumber nutrisi
 dapat diberikan insulin intraperitoneal
 terapi dapat dilakukan oleh pasien sendiri
 sangat efisien dalam pembuangan toksin uremik ukuran molekul besar
 diet lebih bebas
 pasien tetap dapat bekerja
 mobilitas & kehidupan sosial pasien terjaga
 cocok untuk anak kecil

Kerugian Peritoneal Dialisis

 peritonitis
 obesitas
 hipertrigliseridemia
 malnutrisi
 terjadinya hernia
 nyeri punggung
 logistik cairan peritoneal (pegambilan & penyimpanan dalam jumlah besar)
 perlu kedisiplinan pasien dalam jadwal dan kebersihan

Keuntungan Transplantasi Ginjal

 hampir seluruh fungsi ginjal yang normal terganti dengan ginjal donor
 kualitas hidup terjaga
 mobilitas & kehidupan sosial pasien dapat dipertahankan
 pasien dapat tetap bekerja

Kerugian Transplantasi Ginjal

 harus ada donor


18
Simposium Nasional dan Workshop Pelayanan Farmasi di Bidang Nefrologi
Surabaya 20 Agustus 2016

 biaya obat imunosupesan


 penekanan sistim imunitas tubuh dapat mendorong terjadinya infeksi
 efek samping dari beberapa obat imunosupresan

RINGKASAN

Penurunan fungsi ginjal yang terjadi secara kronisdikelompokkan Penyakit


Ginjal Kronis. Penyebab Penyakit Ginjal Kronik terbanyak adalah Diabetes Mellitus,
Hipertensi, dan obstruksi saluran kemih.Tatalaksananya utamanya ditujukan untuk
mencegah progresivitas penurunan fungsi ginjal, meliputi pengobatan penyakit dasar,
pengendalian tekanan darah dan gula darah, mengatasi proteinuria, terapi simptomastis
terhadap komplikasi yang timbul terutama yang membahayakan jiwa seperti asidosis
metabolik, edema paru, hperkalemia serta ensefalopati uremik, pemberian nutrisi serta
mengatasi anemia dan gangguan metabolism kalsium dan tulang.Jika tatalaksana medis
konservatif gagal, dapat dilakukan Terapi Pengganti Ginjal berupa Transplantasi Ginjal,
Hemodialisis, atau Peritoneal Dialisis.

PUSTAKA

1. Besarab A. Resolving the Paradigm Crisis in iv Iron and eruthropoietin


Management. Kidney Int. 2006; 69: S13-18
2. Best Practice Guidelines for Management of Renal Anemia. Indian J Nephrol.
2005; 15: 32-41
3. European Best Practice Guidelines for The Management of Anemia in Patients
with Chronic Renal Failure. Nephrol Dial Transplant. 2004; 19
4. FKUA-RSUD Dr. Soetomo.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 2, 2015
5. Johnson RJ, Feehally J, Floege J. Comprehensive Clinical nephrology. 5thed,
2015.
6. KDIGO. Clinical Practice Guideline for the evaluation and management of
Chronic Kidney Disease. Kidney Int Suppl vol 3, 2013
7. KDIGO. Clinical Practice Guideline to Bone and Mineral Metabolism in CKD.
Kidney Int Suppl vol 76, suppl 113, August 2009
8. Macdougall IC, Eckard KU. Anemia in Chronic Kidney Disease. In: Floege J,
Johnson RJ, Feehally J. Comprehensive Clinical Nephrology 4th ed. 2010,
Elsevier Saunders, 951-958.
9. Martin KJ, Floege J, Ketteler M. Bone and Mineral Metabolism in Chronic
Kidney Disease. In: Floege J, Johnson RJ, Feehally J. Comprehensive Clinical
Nephrology 4th ed. 2010, Elsevier Saunders, 969-984

19
Simposium Nasional dan Workshop Pelayanan Farmasi di Bidang Nefrologi
Surabaya 20 Agustus 2016

10. National Kidney Foundation. K/DOQI Clinical Practice Guidelines and Clinical
Practice Recomendations for Anemia in Chronic Kidney Disease. Am J Kidney
Dis. 2006; 47: 1-146
11. Perhimpunan Nefrologi Indonesia. Konsensus Manamejen Anemia pada
Penyakit Ginjal Kronik
12. Wheeler DC. Clinical evaluation and Management of Chronic Kidney Disease.
In: Floege J, Johnson RJ, Feehally J. Comprehensive Clinical Nephrology 4th ed.
2010, Elsevier Saunders, 927-934.

20

Anda mungkin juga menyukai