Anda di halaman 1dari 13

TUGAS UJIAN TENGAH SEMESTER MATA KULIAH LINTAS MINAT

PENYAKIT AKIBAT KERJA


(STUDI KASUS)

“TEMPORAL PATTERNS OF EXPOSURE TO ASBESTOS AND RISK OF


ASBESTOSIS : AN ANALYSIS OF A COHORT OF ASBESTOS TEXTILE
WORKERS”

Disusun Oleh:

Rima Diana Nurrilla

101511133216

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sumber daya manusia sebagai tenaga kerja dalam perusahaan tidak terlepas
dari terjadinya masalah yang berhubungan dengan Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (K3). Masalah K3 di perusahaan dapat mengakibatkan kejadian penyakit
akibat kerja (PAK) dan kecelakaan akibat kerja (KAK). Penyakit Akibat Kerja
merupakan penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan lingkungan kerja. Faktor
risiko PAK antara lain meliputi golongan fisik, kimiawi, biologis atau psikososial
di tempat kerja. Faktor risiko PAK di dalam lingkungan kerja merupakan penyebab
yang pokok dan menentukan terjadinya penyakit akibat kerja. Faktor lain seperti
kerentanan individual juga dapat mempengaruhi perkembangan penyakit di antara
pekerja yang terpajan. Kejadian penyakit akibat kerja telah mendapat perhatian
pemerintah Indonesia dengan adanya Surat Keputusan Presiden Nomor 22 tahun
1993 yang telah menetapkan 31 macam penyakit yang timbul karena kerja. Organ
paru-paru dan saluran nafas adalah organ dan sistem tubuh yang paling terpajan
oleh bahan-bahan berbahaya di tempat kerja. Data dari World Health Organization
(WHO) menyebutkan bahwa penyakit pernafasan akut hingga kronis telah
menyerang 400-500 juta orang di negara berkembang dan pada tahun 2007 diantara
semua penyakit akibat kerja 30% sampai 50% adalah penyakit pneumoconiosis.
ILO (International Labour Organization) mendeteksi bahwa terdapat 40.000 kasus
baru pneumoconiosis atau penyakit saluran pernafasan yang disebabkan oleh
paparan debu di tempat kerja yang terjadi diseluruh dunia tiap tahunnya.

Asbestosis adalah salah satu jenis pneumoconiosis yang disebabkan debu


asbes. Asbes merupakan mineral fibrosa yang secara luas banyak digunakan
masyarakat dan juga di industri. Serat asbes bersifat tahan panas dapat mencapai
800oC. Sifat inilah yang membuat asbes banyak dipakai di industri konstruksi dan
pabrik. Pada pekerja yang terpapar lama atau berat, retensi serat asbes cukup besar.
Perlahan-lahan akan menimbulkan jaringan ikat pada paru yang progresif. Pekerja
yang terpapar debu dan, menelan serat-serat asbes bersama ludah atau dahak.
Pekerjaan-pekerjaan yang menimbulkan risiko terpajan asbes tersebut antara lain
penyekat asbes, pekerja-pekerja asbes yang terlibat dalam pertambangan dan proses
bahan mentah asbes, ahli mekanik automobil, pekerja perebusan, ahli elektronik,
pekerja pabrik, ahli mekanik atau masinis, armada niaga, personil militer, pekerja
kilang minyak, tukang cat, pembuat pipa, tukang ledeng/pipa, pekerja bangunan,
pembuat jalan raya, pekerja atap rumah, pekerja lembaran metal, pekerja galangan
kapal, tukang pipa uap, pekerja baja, pekerja di industri tekstil.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana analisis penyakit akibat kerja yang diakibatkan oleh pajanan


asbes di industri tekstil?
2. Bagaimana kaitannya dengan penyakit akibat kerja di Indonesia?
3. Bagaimana upaya mengatasi penyakit akibat kerja yang di sebabkan oleh
pajanan asbes?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui penyakit akibat kerja yang diakibatkan oleh pajanan asbes di
industri tekstil
2 Mengetahui kaitannya dengan penyakit akibat kerja di Indonesia
3 Mengetahui upaya mengatasi penyakit akibat kerja yang di sebabkan oleh
pajanan asbes

1.4 Manfaat

1. Mengembangkan cara berfikir praktis dalam mengabalisis dan mengambil


soslusi dalam mengatasi permasalahan penyakit akibat kerja di industri
2. Memahami lebih dalam tentang penyakit akibat kerja yang diakibatkan oleh
paparan asbes serta upaya pencegahanannya
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Akibat Kerja

Penyakit Akibat Kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan
lingkungan kerja. Faktor risiko PAK antara lain golongan fisik, kimiawi, biologis
atau psikososial di tempat kerja. Faktor tersebut di dalam lingkungan kerja
merupakan penyebab yang pokok dan menentukan terjadinya penyakit akibat kerja.
Faktor lain seperti kerentanan individual juga berperan dalam perkembangan
penyakit di antara pekerja yang terpajan. Faktor risiko terjadinya PAK adalah
sebagai berikut:

1. Golongan fisik
a. Kebisingan dapat mengakibatkan gangguan pada pendengaran sampai
dengan Non-induced hearing loss
b. Radiasi (sinar radio aktif) dapat mengakibatkan kelainan darah dan kulit
c. Suhu udara yang tinggi dapat mengakibatkan heat stroke, heat cramps, atau
hyperpyrexia. Sedangkan suhu udara yang rendah dapat mengakibatkan
frostbite, trenchfoot atau hypothermia.
d. Tekanan udara yang tinggi dapat mengakibatkan caison disease.
e. Pencahayaan yang tidak cukup dapat mengakibatkan kelahan mata.
Pencahayaan yang tinggi dapat mengakibatkan timbulnya kecelakaan.
2. Golongan kimia
a. Debu dapat mengakibatkan pneumokoniosis
b. Uap dapat mengakibatkan metal fume fever, dermatitis dan keracunan
c. Gas dapat mengakibatkan keracunan CO dan H2S d. Larutan dapat
mengakibatkan dermatitis
d. Insektisida dapat mengakibatkan keracunan
3. Golongan infeksi
a. Anthrax
b. Brucell
c. HIV/AIDS
4. Golongan fisiologis
Dapat disebabkan oleh kesalahan kontruksi, mesin, sikap badan yang kurang
baik, salah cara melakukan suatu pekerjaan yang dapat mengakibatkan
kelelahan fisik bahkan lambat laun dapat menyebabkan perubahan fisik pada
tubuh pekerja
5. Golongan mental
Dapat disebabkan oleh hubungan kerja yang tidak baik atau keadaan pekerjaan
yang monoton yang menyebabkan kebosanan.

2.2 Asbes

Asbes (asbestos) adalah mineral-mineral berbentuk serat halus yang terjadi


secara alamiah. Occupational Safety and Health Administration (OSHA)
mengkategorikan enam jenis mineral sebagai bahan asbes, yaitu chrysotile,
riebeckite, grunerite, actinolite, anthrophyllite, dan thremolite. Manusia telah
mengenal bahan asbes sejak abad ke-2 Sebelum Masehi. Beberapa abad kemudian,
Marco Polo memanfaatkannya sebagai bahan untuk membuat pakaian. Terdapat
empat jenis asbes yang kini banyak beredar di pasaran, yaitu chrysotile atau asbes
putih, crocidolite atau asbes biru, amosite atau asbes coklat, dan anthrophyllite atau
asbes abuabu. Seperti bahan tambang pada umumnya, asbes merupakan batuan
yang mampat, namun sangat mudah untuk dipisah-pisahkan menjadi banyak sekali
serat-serat halus yang umumnya sangat ringan dan mudah terbang.

2.3 Penggunaan Asbes di Industri

Asbes ditambang secara komersial di Amerika Serikat sejak akhir abad ke-
18, dan pemakaiannya meningkat drastis sejak Perang Dunia II. Sejak saat itu, asbes
mulai dipakai sebagai bahan baku industri. Chrysotile merupakan kelompok
serpentine yang menempati sekitar 95 % persediaan asbes dunia. Serat chrysotile
biasanya berwarna putih, menyerupai sutera, lentur dan cukup kuat. Chrysotile
terdiri dari serat-serat yang panjang cukup mudah dipintal untuk dijadikan benang-
benang tekstil. Penggunaan serat chrysotile bergantung pada ukuran panjang rata-
rata dan kekuatannya. Pemanfaatan utamanya adalah untuk pembuatan tekstil dan
kain-kain jenis lainnya. Di samping itu, serat chrysotile juga dipakai untuk produk-
produk lantai, pipa semen-asbes, kertas dan produk pelapis lainnya, produk untuk
atap, papan semenasbes, serta bahan-bahan untuk pelapisan dan plester. Jumlah
yang cukup signifikan juga digunakan dalam produksi plastik, tekstil dan bahan
pembalut. Sedang dalam jumlah yang terbatas digunakan dalam produk-produk
lainnya. Di seluruh dunia, industri konstruksi menggunakan sekitar 2/3 dari total
konsumsi bahan asbes. Pemanfaatan serat asbes terutama dikaitkan dengan sifatnya
yang khas, yaitu sangat kuat, tahan terhadap bahan kimia serta kemampuannya
bertahan pada temperatur tinggi. Asbes diketahui ada dalam kira-kira 3.000 produk
buatan pabrik. Secara umum, asbes merupakan jenis bahan yang cukup ringan,
tahan api serta kedap air.

2.4 Asbestosis

Asbestosis ditunjukkan dengan plak di atas diafragma (pencitraan dengan


sinar-x). Penyakit Asbestosis adalah penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh
debu atau serat asbes yang mencemari udara. Debu asbes banyak dijumpai pada
pabrik dan industri yang menggunakan asbes, pabrik pemintalan serat asbes, pabrik
beratap asbes dan lain sebagainya. Debu asbes yang terhirup masuk ke dalam paru-
paru akan mengakibatkan gejala sesak napas dan batuk-batuk yang disertai dengan
dahak. Ujung-ujung jari penderitanya akan tampak membesar/melebar. Apabila
dilakukan pemeriksaan pada dahak maka akan tampak adanya debu asbes dalam
dahak tersebut. Menghirup serat asbes bisa menyebabkan terbentuknya jaringan
parut (fibrosis) di dalam paru-paru. Jaringan paru-paru yang membentuk fibrosis
tidak dapat mengembang dan mengempis sebagaimana mestinya. Beratnya
penyakit tergantung kepada lamanya pemaparan dan jumlah serat yang terhirup.
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Studi Kasus

Berdasarakan jurnal Temporal Patterns Of Exposure To Asbestos And Risk


Of Asbestosis : An Analysis Of A Cohort Of Asbestos Textile Workers peneliti
menukan bahwa asbestosis dilaporkan sebagai penyebab utama kematian yang
mendasari 5,6% atau 51 dari 906 pekerja meninggal sebelum usia 85 tahun
pada industry tekstil di Italia Utara . Mortalitas asbestosis terus meningkat
dengan durasi pekerjaan 5 tahun hingga 15 tahun kerja. Bahaya kumulatif dari
pajanan asbes hingga menyebabkan kematian akibat asbestosis meningkat
secara konstan dengan usia pekerja. Durasi pekerjaan merupakan faktor penentu
risiko terjadinya asbestosis.Penelitian yang telah dilakuakn pada pekerja indutri
tekstil di Italia mempresentasikan data tentang pelan pola temporal pekerjaan
pada risiko kematian dari asbestosis dalam kohort pekerja tekstil asbes.
Didapatkan hasil bahwa risiko meningkat dengan seiring durasi yang lebih lama
terpapar.Penelitian dilakukan pada pekerja di industry tekstil asbes yang
lingkungan kerjanya sangat tinggi timgkat paparan asbes.Temuan yang
mengejutkan dari penelitian tersebut yaitu risiko kematian karena asbestosis
lebih tinggi diantara subyek yang dipekerjakan untuk pertama kalinya setelah
usia 35 tahun. Tingkat risiko terjadinya asbestosis lebih tinggi pada pria
dibandingkan wanita, hal ini dapat dikaitkan dengan intensitas paparan yang
berbeda terhadap pajanan asbes.Pola pemaparan temporal berperan dalam risiko
individu mengalami asbestosis. Risiko kematian akibat asbestosis dalam
beberapa dekade setelah penghentian paparan asbes atau dihitung sejak waktu
kerja terakhir bisa lebih kecil dari yang diperkirakan.

3.2 Analisis Jurnal

Di negara-negara Eropa asbes sering digunakan di industri semenjak abad


20 hingga mucul peraturan nasional yang membatasi atau melarang produksi,
impor dan penggunaan asbes. Meski sudah berlaku larangan serta pembatasan
penggunaan asbes masih terjadi kasus asbestosis , sekitar 700 kasus asbestosis
telah terjadi dan dilaporkan setiap tahunnya antara tahun 2011 dan tahun 2015
ke Italian National Institute for Insurance Against Accident of Work (INAIL).
Hal tersebut menunjukkan bahwa risiko terjadinya asbestosis tetap tinggi untuk
waktu pajanan asbes yang lama. Gangguan terhadap kesehatan yang disebabkan
oleh serat asbes berjalan lambat tapi pasti. Gangguan itu tidak mudah dideteksi
pada stadium dini. Tanda-tanda gangguan karena asbestosis jarang sekali
muncul dalam waktu kurang dari 10 tahun setelah penyerapan serat asbes.
Gangguan kesehatan karena inhalasi serat asbes mempunyai masa laten antara
20 sampai 30 tahun atau bahkan lebih lama lagi. Ini berarti bahwa gangguan
kesehatan yang dialami penderita saat ini adalah akibat inhalasi serat asbes pada
puluhan tahun sebelumnya.

Satu hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam penggunaan asbes di


berbagai bidang kegiatan adalah bahwa asbes termasuk bahan berbahaya,
namun kurang disadari oleh pemakainya karena dampak negatif yang
ditimbulkannya tidak segera tampak. Substansi serat asbes yang sangat kecil
dan halus dengan ukuran tertentu dalam keadaan terlepas/bebas melayang di
udara akan sangat berbahaya karena dapat memicu timbulnya gangguan
kesehatan apabila terhirup masuk ke dalam paru-paru. Demikian halusnya
ukuran serat ini sehingga sangat mudah tersuspensi ke atmosfer, dan
keberadaannya dalam udara tidak akan tampak dan terdeteksi oleh penglihatan
manusia. Pada umumnya pekerja di industri tekstil asbes selama bertahun-tahun
sebelumnya mereka menghirup serat asbes ditempat kerja atau berada dalam
gedung-gedung yang udaranya tercemar debu asbes yang sangat
membahayakan kesehatan mereka.

Berbagai ancaman paparan debu asbes tersebut memberikan gambaran


tentang resiko kerja yang dihadapi pekerja yang terpapar asbes. Kondisi tersebut
tentunya menuntut perusahaan agar perlindungan tenaga kerja dapat dipenuhi,
paling tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh pemerintah. Hal tesebut
merupakan kewajiban perusahaan berkaitan dengan hak tenaga kerja dan
terjaminnya keselamatan tenaga kerja. Sehingga program (K3) Keselamatan
dan Kesehatan Kerja sangat penting untuk dilaksanakan di perusahaan
mengingat karakteristik bahan asbes yang bersifat destruktif dan sangat
berbahaya bagi kesehatan pekerja.

3.3 Kaitan dengan Penyakit Akibat Kerja (PAK) di Indonesia

Di Indonesia, pemakaian asbes sebagai bahan bangunan (misal genteng)


masih sering ditemukan. Ini berarti terdapat risiko terkena pajanan asbes bagi
pekerja di industri yang memproduksi bahan bangunan yang mengandung asbes
tersebut sehingga risiko untuk terkena gangguan fungsi paru dan kanker paru
atau mesotelioma sangat tinggi. Meskipun masih banyak industri/pabrik yang
memproduksi bahan bangunan yang mengandung asbes, namun di Indonsia
data tentang kanker paru atau mesotelioma yang berkaitan dengan asbes atau
asbestosis belum ditemukan. Belum adanya kesadaran dari para pekerja tentang
dampak dari terpajan asbes dapat dilihat dari banyak pekerja asbes di Indonesia
tidak menggunakan alat pelindung diri secara memadai dari terpajan asbes yang
dapat menimbulkan risiko kanker paru dan mesotelioma.

Timbulnya penyakit akibat kerja telah mendapat perhatian dari pemerintah


Indonesia, berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 22 tahun 1993 telah
ditetapkan 31 macam penyakit yang timbul karena kerja. Berbagai macam
penyakit yang timbul akibat kerja, organ paru dan saluran nafas merupakan
organ dan sistem tubuh yang paling banyak terkena oleh pajanan bahan-bahan
yang berbahaya di tempat kerja. Akan tetapi di Indonesia, peraturan mengenai
masalah peredaran asbes ini belum jelas. Oleh sebab itu, perlu segera difikirkan
langkah-langkah preventif untuk menghindari terjadinya dampak negatif
penggunaan asbes di masa mendatang. Perlu adanya penelitian menyeluruh
untuk mengetahui sejauh mana peredaran dan pemakaian asbes di Indonesia
memberikan efek negatif terhadap kesehatan Ada beberapa instansi yang perlu
dilibatkan dalam penelitian dan penyusunan peraturan tersebut. Kerja sama
antar instansi tersebut bisa melibatkan kementerian yang mengurusi masalah
tenaga kerja, perumahan rakyat, kependudukan dan lingkungan hidup,
perindustrian, serta kesehatan. Mengingat instansi-instansi tersebut umumnya
tidak berpengalaman dalam penelitian keselamatan radiasi lingkungan, maka
Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) dan Pusat Penelitian dan
Pengembangan Keselamatan Radiasi dan Biomedika Nuklir (P3KRBiN) juga
perlu dilibatkan di dalamnya

3.4 Upaya Pencegahan


Upaya pencegahan yang dapat dilakuakan untuk menghindari penyakit
akibat kerja oleh paparan asbes yaitu :

1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah mengurangi faktor risiko sebelum terserang
penyakit. Hal tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain:
a) Peraturan perundang-undangan
Terdapat Undang-Undang atau Peraturan yang mengatur tentang
masalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Indonesia terdapat UU
No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja dan UU No. 14/1969
tentang Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja.
b) Substitusi
Subsitusi yaitu mengganti bahan yang berbahaya dengan bahan yang
tidak berbahaya atau kurang berbahaya. Sebagai contoh adalah serat
asbes yang dapat menimbulkan asbestosis, kanker paru dan
mesotelioma, digantikan oleh serat buatan manusia seperti alumina.
c) Modifikasi proses produksi untuk mengurangi pajanan sampai tingkat
yang aman
d) Metode basah
Melakukan proses produksi dengan cara membasahi tempat produksi,
sehingga tidak menghasilkan debu dengan kadar yang tinggi.
e) Mengisolasi proses produksi
Bila bahan yang berbahaya tidak dapat dihilangkan, pajanan terhadap
pekerja dapat dihindari dengan mengisolasi proses produksi.
f) Ventilasi keluar
Bila proses isolasi produksi tidak bisa dilakukan, maka masih ada
kemungkinan untuk mengurangi bahan pajanan dengan ventilasi keluar
(exhaust ventilation). Metode ventilasi keluar telah berhasil digunakan
untuk mengurangi kadar debu di industri batubara dan asbes.
g) Alat Pelimdung Diri (APD)
Alat pelindung diri di sini bukan hanya sekedar masker, namun yang
terbaik adalah respirator. Respirator adalah suatu masker yang
menggunakan filter sehingga dapat membersihkan udara yang dihisap.
Ada 2 macam respirator, yaitu half-face respirator yang berfungsi
sebagai penyaring udara, dan full-face respirator yang berfungsi
sebagai penyaring udara dan pelindung mata.
2. Pencegahan Sekuder
Pencegahan sekunder adalah melakukan deteksi dini penyakit dan deteksi
dini pajanan zat yang dapat menimbulkan penyakit. Dilakukan pemeriksaan
berkala pada pekerja yang terpajan zat yang berisiko tinggi terjadinya
gangguan kesehatan. Pemeriksaan berkala dilakukan sejak tahun pertama
bekerja dan seterusnya.13 Surveilan medik adalah kegiatan yang sangat
mendasar, bertujuan untuk mendeteksi efek pajanan yang tidak diinginkan
sebelum menimbulkan gangguan fungsi pernapasan pekerja dan selanjutnya
dilakukan usaha-usaha untuk mencegah perburukan.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier berguna untuk mencegah penyakit bertambah buruk dan
mencegah penyakit menjadi menetap. Bila diduga telah terjadi penyakit atau
diagnosis telah ditegakkan, perlu secepat mungkin menghindarkan diri dari
pajanan lebih lanjut.
BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
Asbes (asbestos) adalah mineral-mineral berbentuk serat halus yang
termasuk bahan berbahaya. Terdapat berbagai ancaman paparan debu asbes
yang memberikan gambaran tentang resiko kerja yang dihadapi pekerja
yang terpapar asbes. Penyakit Asbestosis adalah penyakit akibat kerja yang
disebabkan oleh debu atau serat asbes yang mencemari udara. Debu asbes
banyak dijumpai pada pabrik dan industri yang menggunakan asbes, pabrik
pemintalan serat asbes, pabrik beratap asbes dan lain sebagainya.
Pemakaian asbes untuk berbagai macam keperluan kiranya perlu diikuti
dengan kesadaran akan keselamatan dan kesehatan lingkungan agar jangan
sampai mengakibatkan asbestosis. Sebaiknya perlindungan tenaga kerja
dapat dipenuhi, paling tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh
pemerintah. Program (K3) Keselamatan dan Kesehatan Kerja sangat
penting untuk dilaksanakan di perusahaan mengingat karakteristik bahan
asbes yang bersifat destruktif dan sangat berbahaya bagi kesehatan pekerja.
DAFTAR PUSTAKA
Akhadi, M. T. (2004). Dampak Radiologis Pelepasan Serat Asbes. Iptek Ilmiah
Populer, 67 – 76 .
Darmawan, A. (2013). Penyakit Sistem Respirasi Akibat Kerja . JMJ, 68-83.
Farioli, A. (2018). Temporal Patterns of Exposure to Asbestos and Risk of
Asbestosis AN ANalysis of a Cohort of Asbestosis Textile Workers.
JOEM, 536-541.
M.N, N. (2016). The relationship between work productivity and acute responses
at different levels of production standard times. International Journal of
Industrial Ergonomics, 59-68.
Perdana, A. (Jurnal MKMI). FAKTOR RISIKO PAPARAN DEBU PADA FAAL
PARU PEKERJA BAGIAN PRODUKSI PT. SEMEN TONASA
PANGKEP 2009 . Jurnal MKMI, 160-167.
Salawati, L. (2015). PENYAKIT AKIBAT KERJA DAN PENCEGAHAN .
JURNAL KEDOKTERAN SYIAH KUALA .
Salawati, L. (2015). PENYAKIT AKIBAT KERJA OLEH KARENA PAJANAN
SERAT ASBES. JURNAL KEDOKTERAN SYIAH KUALA .
Samara, D. (2002). Asbes sebagai faktor risiko mesotelioma pada pekerja yang
terpajan asbes. Jurnal Kedokteran Trisakti.

Anda mungkin juga menyukai