Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN

DISCRETE WAVALET TRANSFORM

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Keamanan Informasi

Oleh,
Galih Farid Ramdani 167006090
Muhammad Zayini Anwar 167006060
Raka Reksapradipta 167006102
Rai Riezky Zulaeha 167006089
Susanti Fransiska 167006031

JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA


FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SILIWANGI
TASIKMALAYA
2018
A. TEORI DISCRETE WAVELET TRANSFORM (DWT)
Transformasi wavelet merupakan salah satu metode yang umum digunakan
untuk pra-pemrosesan data. Implementasi DWT dilakukan dengan menggunakan
wavelet berjenis Daubechies. Wavelet jenis ini dipilih karena dapat digunakan untuk
mengolah sinyal arus hasil pengukuran yang bersifat asimetri.
Wavelet mengklasifikasikan sinyal dalam versi penskalaan & pergeseran
(scalling and shifting) masing-masing dari sinyal sumber/mother wavelet. Proses
wavelet diskret diawali dengan melewatkan sinyal pada seperangkat tapis frekuensi
tinggi (highpass filter) dan tapis frekuensi rendah (lowpass filter). Kemudian
dilanjutkan dengan operasi sub-sampling dengan mengambil masing- masing
setengah dari keluaran filter. Gelombang (wave) adalah sebuah fungsi yang bergerak
naik turun ruang dan waktu secara periodik (Gambar 2.1 a). Sedangkan wavelet
merupakan gelombang yang dibatasi atau terlokalisasi (Sripathi, 2003) Atau dapat
disebut juga sebagai gelombang pendek.

Gambar 1 (a) Gelombang (wave), (b) Wavelet

Wavelet mengkonsentrasikan energinya dalam ruang dan waktu sehingga


cocok untuk menganalisis sinyal yang sifatnya sementara. Wavelet populer pada
aplikasi-aplikasi teknik, terutama pada analisa sinyal getaran/vibration, dan wavelet
digunakan juga untuk memonitor kondisi dan mendiagnosa kerusakan mesin.
Wavelet diaplikasikan untuk menganalisa sinyal getaran pada roda gigi untuk
mendeteksi kerusakan yang akan terjadi (Newland, 1994).

Wavelet sebagai data cleansing juga digunakan secara luas untuk


prapemrosesan sinyal di bidang pemantauan dan diagnosa kerusakan (Menon dkk.,
2000). Transformasi wavelet mendekomposisi sebuah sinyal ke dalam kombinasi
linier unit skala waktu. Sinyal asli dianalisa dan dibagi ke dalam beberapa komponen
sinyal berdasarkan translasi atau pergeseran dari mother wavelet (atau fungsi dasar
wavelet) sehingga terjadi perubahan skala dan diperlihatkan transisi dari setiap
komponen frekuensi (Daubechies, 1992).

Metode transformasi wavelet dapat digunakan untuk menapis data atau


meningkatkan mutu kualitas data dan untuk mendeteksi kejadian-kejadian tertentu
serta dapat digunakan untuk pemampatan data (Foster dkk., 1994).

Transformasi wavelet juga dapat digunakan untuk analisis sinyal-sinyal non-


stasioner (yaitu sinyal yang kandungan frekuensinya bervariasi terhadap waktu),
karena berkaitan dengan kemampuannya untuk memisah-misahkan berbagai macam
karakteristik pada berbagai skala (Anant dkk., 1997).

Di dalam discrete wavelet transform, penggambaran sebuah skala waktu sinyal


digital didapatkan dengan menggunakan teknik filterisasi digital. Secara garis besar
proses dalam teknik ini adalah dengan melewatkan sinyal yang akan dianalisis pada
filter dengan frekuensi dan skala yang berbeda. Filterisasi merupakan sebuah fungsi
yang digunakan dalam pemrosesan sinyal. Wavelet dapat direalisasikan
menggunakan iterasi filter dengan penskalaan. Sebuah sinyal harus dilewatkan dalam
dua filterisasi discrete wavelet transform yaitu tapis frekuensi tinggi dan tapis
frekuensi rendah agar frekuensi dari sinyal tersebut dapat dianalisis. Analisis sinyal
dilakukan terhadap hasil penapisan pada tapis frekuensi tinggi dan tapis frekuensi
rendah.

Pemisahan sinyal menjadi frekuensi tinggi dan frekuensi rendah melalui tapis
frekuensi tinggi dan tapis frekuensi rendah disebut sebagai dekomposisi (Teriza,
2006). Proses dekomposisi dimulai dengan melewatkan sinyal asal melewati tapis
frekuensi tinggi dan tapis frekuensi rendah. Misalkan sinyal asal ini memiliki rentang
frekuensi dari 0 sampai dengan rad/s. Ketika melewati tapis frekuensi tinggi dan
tapis frekuensi rendah, rentang frekuensi disubsampling menjadi dua, sehingga
rentang frekuensi tertinggi pada masingmasing subsampling menjadi /2 rad/s.
Setelah filterisasi, setengah dari sampel atau salah satu subsampling dapat dieliminasi
berdasarkan aturan Nyquist (Teriza, 2006).

Sehingga sinyal selalu dapat di-subsampling oleh 2 (↓2) dengan cara mengabaikan
setiap sampel yang kedua. Proses dekomposisi ini dapat melalui satu atau lebih
tingkatan. Dekomposisi satu tingkat ditulis dengan ekspresi matematika:

y k,tinggi dan y k,rendah adalah hasil keluaran tapis frekuensi tinggi dan tapis frekuensi
rendah, xn merupakan sinyal asal, hn adalah tapis frekuensi tinggi dan gn adalah tapis
frekuensi rendah. Untuk dekomposisi lebih dari satu tingkat, prosedur pada
persamaan 2.1 dan 2.2 dapat digunakan pada masing-masing tingkatan. Contoh
penggambaran dekomposisi dengan menggunakan dekomposisi tiga tingkat:

Gambar 2 Dekomposisi wavelet 3 tingkat

yk,tinggi dan yk,rendah merupakan hasil dari tapis frekuensi tinggi dan tapis frekuensi
rendah. yk,tinggi disebut sebagai koefisien transformasi wavelet diskret (Polikar,

1998). yk,tinggi merupakan detil dari informasi sinyal, sedangkan yk,rendah merupakan
taksiran kasar dari fungsi pensakalaan. Dengan menggunakan koefisien wavelet
diskret ini maka dapat dilakukan proses Inverse Discrete Wavelet Transform (IDWT)
untuk merekonstruksi menjadi sinyal asal. Penggambaran dekomposisi wavelet
dengan sinyal asal n x yang memiliki frekuensi maksimum f = 𝜋

Gambar 3 Dekomposisi wavelet dengan frekuensi sinyal asal f = 0~π

Proses rekonstruksi diawali dengan menggabungkan koefisien wavelet dari yang


berada pada akhir dekomposisi dengan sebelumnya meng-upsampling oleh 2 (↑2)
melalui tapis frekuensi tinggi dan tapis frekuensi rendah. Proses rekonstruksi ini
sepenuhnya merupakan kebalikan dari proses dekomposisi sesuai dengan tingkatan
pada proses dekomposisi. Sehingga persamaan rekonstruksi pada masing-masing
tingkatan dapat ditulis:

Proses Transformasi
Proses transformasi wavelet secara konsep memang sederhana. Citra semula yang
ditransformasi dibagi (didekomposisi) menjadi 4 sub-image baru untuk
menggantikannya. Setiap sub-image berukuran ¼ kali dari citra asli. Sub-image pada
posisi atas kanan, bawah kiri, dan bawah kanan akan tampak seperti versi kasar dari
citra asli karena berisi komponen frekuensi tinggi dari citra asli.
Sedangkan untuk 1 sub-image atas kiri tampak seperti citra asli dan tampak lebih
halus (smooth) karena berisi komponen frekuensi rendah dari citra asli. Karena mirip
dengan citra asli, maka sub-image kiri atas dapat digunakan untuk melakukan
aproksimasi terhadap citra asli. Sedangkan nilai piksel (koefisien) 3 sub-image yang
lainnya cenderung bernilai rendah dan terkadang bernilai nol (0) sehingga mudah
dikompresi.
Dekomposisi perataan (averages) dan pengurangan (differences) memegang peranan
penting untuk memahami transformasi wavelet. Untuk memahami dekomposisi
perataan dan pengurangan diberikan contoh citra 1 dimensi dengan dimensi 8 seperti
pada gambar berikut :

Perataan dilakukan dengan menghitung nilai rata-rata 2 pasang data dengan


persamaan :

Sedangkan pengurangan dilakukan dengan menggunakan persamaan :

Dengan menggunakan persamaan diatas, maka didapatkan hasil dekomposisi


perataan dan pengurangan terhadap citra diatas adalah :

Transformasi Wavelet 2D
Transformasi Wavelet pada citra 2D pada prinsipnya sama dengan transformasi pada
citra 1D. Terdapat pola untuk perataan dan pengurangan yang dilakukan pada
masing-masing nilai piksel citra. Pada citra 2D proses transformasi dilakukan pada
baris terlebih dulu, kemudian dilanjutkan dengan transformasi pada kolom, seperti
ditunjukkan pada gambar berikut :

Contoh perhitungan transformasi wavelet diskrit 2D :

Hasil dekomposisi perataan dan pengurangan pada citra 2D, (a) citra asli ,(b) hasil
dekomposisi dalam arah baris ,(c) hasil dekomposisi dalam arah kolom (citra hasil
dekomposisi)

Gambar (b) diperoleh dari :


Baris 1 : [(10+10)/2 (20+20)/2 (10-10)/2 (20-20)/2] = [10 20 0 0]
Baris 2 : [(10+10)/2 (10+10)/2 (10-10)/2 (10-10)/2] = [10 10 0 0]
Baris 3 : [(50+50)/2 (30+30)/2 (50-50)/2 (30-30)/2] = [50 30 0 0]
Baris 4 : [(50+50)/2 (30+30)/2 (50-50)/2 (30-30)/2] = [50 30 0 0]
Gambar (c) diperoleh dari proses perataan dan pengurangan dari gambar (b).
Kolom 1 : [(10+10)/2 (50+50)/2 (10-10)/2 (50-50)/2] = [10 50 0 0]
Kolom 2 : [(20+10)/2 (30+30)/2 (20-10)/2 (30-30)/2] = [15 30 5 0]
Kolom 3 : [(0+0)/2 (0+0)/2 (0-0)/2 (0-0)/2] = [0 0 0 0]
Kolom 4 : [(0+0)/2 (0+0)/2 (0-0)/2 (0-0)/2] = [0 0 0 0]

B. ALGORITMA
%Read Input Image

Input_Image=imread('rose.bmp');

%Red Component of Colour Image

Red_Input_Image=Input_Image(:,:,1);

%Green Component of Colour Image

Green_Input_Image=Input_Image(:,:,2);

%Blue Component of Colour Image

Blue_Input_Image=Input_Image(:,:,3);

%Apply Two Dimensional Discrete Wavelet Transform

[LLr,LHr,HLr,HHr]=dwt2(Red_Input_Image,'haar');

[LLg,LHg,HLg,HHg]=dwt2(Green_Input_Image,'haar');

[LLb,LHb,HLb,HHb]=dwt2(Blue_Input_Image,'haar');

First_Level_Decomposition(:,:,1)=[LLr,LHr;HLr,HHr];

First_Level_Decomposition(:,:,2)=[LLg,LHg;HLg,HHg];

First_Level_Decomposition(:,:,3)=[LLb,LHb;HLb,HHb];

First_Level_Decomposition=uint8(First_Level_Decomposition);
%Display Image

subplot(1,2,1);imshow(Input_Image);title('Input Image');

subplot(1,2,2);imshow(First_Level_Decomposition,[]);title('First
Level Decomposition');

Anda mungkin juga menyukai