Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PRAKTIKUM

SAMPLING DAN ALIASING

Oleh :
Nama : Diki Ramanda

Nim : 2020203020009

Mata Kuliah : Praktikum Pengolahan Sinyal Digital

Kelas : TRJT 2A

Semester :4

Dosen Pembimbing : Raisah Hayati,S.T,M.T.

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI REKAYASA JARINGAN TELEKOMUNIKASI

JURUSAN TEKNIK ELEKTRO

POLITEKNIK NEGERI LHOKSEUMAWE

TAHUN AJARAN 2021/2022


LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PRAKTIKUM PENGOLAHAN SINYAL DIGITAL

Laporan Pratikum Pengolahan Sinyal Digital Dengan Judul Sampling dan


Aliasing Disusun Sebagai Persyaratan Kelulusan Mata Kuliah Praktikum
Pengolahan Sinyal Digital, Oleh:

Nama : Diki Ramanda

Kelas : TRJT 2A

Nim : 2020203020009

Program Studi : Teknologi Rekayasa Jaringan Telekomunikasi

Semester : 4 (Empat)

Tanggal Praktikum : 22 Februari 2022

Tanggal Penyerahan : 01 Maret 2022

Demikian laporan ini dibuat sebenar benarnya.

Lhokseumawe, 01 Maret 2022

Mengetahui,
Dosen Penanggung Jawab Praktikum Penyusun

Raisah Hayati, S.T., M.T. Diki Ramanda


NIP. 197910062005012013 NIM.2020203020009
BAB 2
SAMPLING DAN ALIASING

2.1 Tujuan Instruksional Khusus


Setelah mempelajari materi dalam bab ini mahasiswa diharapkan mampu:
1. Siswa memahami pengaruh pemilihan jumlah sampel dan pengaruhnya pada
proses recovery sinyal.
2. Memperkenalkan kepada mahasiswa tentang Frekuensi Nyquist dan efek
aliasing.

2.2 Dasar Teori


Dalam proses pengolahan sinyal analog, sinyal input masuk ke Analog Signal
Processing (ASP), diberi berbagai perlakuan (misalnya Pemfilteran, penguatan,
dsb) dan outputnya berupa sinyal analog.

Gambar 2.1 Sistem Pengolahan Sinyal Analog.

Proses pengolahan sinyal secara digital memiliki bentuk sedikit berbeda.


Komponen utama sistem ini berupa sebuah prosesor digital yang mampu bekerja
apabila inpunya berupa sinyal digital. Untuk sebuah input berupa sinyal analog,
diperlukan proses awal, yaitu digitalisasi melalui perangkat yang bernama Analog
to Digital Conversion (ADC), dimana sinyal analog harus melalui proses
sampling, quantizing dan coding. Demikian juga output dari prosesor digital harus
melalui perangkat Digital to Analog Conversion (DAC), agar sinyal outputnya
kembali menjadi bentuk analog. Secara sederhana bentuk diagram bloknya adalah
seperti Gambar 2.2 berikut ini:
Gambar 2.2 Sistem Pengolahan Sinyal Digital.

2.2.1 Sinyal Waktu Diskrit.


Dalam proses ADC, proses yang pertama adalah sampling. Sampling adalah
proses pencuplikan sinyal waktu kontinyu menjadi sinyal waktu diskrit. Untuk
mendapatkan sinyal waktu diskrit yang mampu mewakili sifat sinyal aslinya,
proses sampling harus memenuhi syarat Nyquist.

(2.1)
Dimana:

fs = Frekuensi sampling sinyal.

fmaks = Frekuensi Maksimum sinyal informasi yang akan di sampling.

Fenomena Aliasing akan muncul pada sinyal hasil sampling apabila frekuensi
sampling yang digunakan tidak memenuhi kriteria di atas.

Perhatikan sebuah sinyal sinusoidal waktu diskrit yang memiliki bentuk


persamaan matematika seperti berikut:

(2.2)
Dimana:

A = Amplitudo Sinyal

ω = Frekuensi Sudut

θ = Fase sinyal awal

Frekuensi dalam sinyal waktu diskrit memiliki satuan radian per indeks
sampel, dan ekuivalensi dengan 2πf.
Sinyal

Gambar 2.3 Sinyal Sinusoidal waktu diskrit.

sinusoidal pada Gambar 2.3 tersusun dari 61 sampel, sinyal tersebut memiliki
frekuensi f=50Hz, dan disampel dengan Fs = 1000. Sehingga untuk satu siklus
sinyal sinus memiliki sampel sebanyak Fs/f = 1000/50 = 20 sampel.

Berbeda dengan sinyal waktu kontinyu, sifat frekuensi pada sinyal waktu
diskrit adalah:

1. Sinyal hanya periodik jika f rasional. Sinyal periodik dengan periode N


apabila berlaku untuk semua n bahwa x(n+N)=x(n). Periode fundamental NF
adalah nilai N yang terkecil.
Sebagai contoh, agar suatu sinyal periodik, maka:

2. Sinyal dengan frekuensi beda sejauh 2πk (dengan k bernilai integer) adalah
identik. Jadi berbeda dengan kasus pada sinyal kontinyu, pada kasus sinyal
waktu diskrit, sinyal yang memiliki suatu frekuensi unik tidak berarti
sinyalnya bersifat unik.
Sebagai contoh:
Jadi bila , k=0,1,2,...... Dimana , maka
tidak bisa dibedakan satu sama lain.

Artinya . Sehingga suatu sinyal dengan


frekuensi berbeda akan berbeda jika frekuensinya dibatasi pada daerah
atau . Diluar itu akan terjadi fenomena aliasing.

2.2.2 Proses Aliasing


Proses aliasing akan terjadi jika frekuensi sampling tidak sesuai dengan
aturan Nyquist. Gambar 2.4 memperlihatkan proses sampling jika dilihat dari
kawasan frekuensi. Karena Transformasi Fourier dari deretan impuls adalah juga
suatu deretan impuls, maka konvolusi antara spektrum sinyal S(Ω) dengan
impuls menghasilkan pergeseran spektrum sejauh . Sebagai
akibatnya akan terjadi pengulangan spektrum di seluruh rentang frekuensi pada
posisi kelipatan dari frekuensi pencuplikan. Gambar 2.4 bagian kiri bawah
menunjukkan spektrum dari sinyal yang lebar pitanya Ωm yang kemudian
mengalami proses pengulangan akibat proses sampling.

Gambar 2.4 Pencuplikan dilihat dari kawasan frekuensi.

Jika jarak antara pengulangan atau grid pengulangan cukup lebar, seperti
diperlihatkan pada Gambar 2.5 bagian atas, yang juga berarti bahwa frekuensi
samplingnya cukup besar, maka tidak akan terjadi tumpang tindih antara
spektrum yang bertetangga. Kondisi ini disebut sebagai non-aliasing.
Selanjutnya sifat keunikan dari transformasi Fourier akan menjamin bahwa
sinyal asal dapat diperoleh secara sempurna. Sebaliknya, jika ΩT kurang besar,
maka akan terjadi tumpang tindih antar spektrum yang mengakibatkan hilangnya
sebagian informasi. Peristiwa ini disebut aliasing, seperti diperlihatkan pada
Gambar 2.5 bagian bawah. Pada kondisi ini, sinyal tidak dapat lagi direkontruksi

Gambar 2.5 Kondisi non aliasing dan aliasing pada proses pencuplikan.

secara eksak.

Sebagai contoh, manusia dapat mendengar suara dari frekuensi 20Hz sampai
dengan sekitar 20kHz, artinya lebar pita dari suara yang mampu didengar
manusia adalah sekitar 20kHz. Dengan demikian, pengubahan suara menjadi
data digital memerlukan laju pencuplikan sedikitnya 2x20kHz=40kHz atau
40.000 cuplikan/detik supaya sinyal suara dapat direkontruksi secara sempurna,
yang berarti juga kualitas dari suara hasil perekaman digital dapat dimainkan
tanpa distorsi.

2.3 Alat dan Bahan


1. Satu buah PC lengkap sound card dan OS Windows dan Perangkat Lunak
Matlab.
2. Satu Flash Disk dengan kapasitas yang cukup.

2.4 Keselamatan Kerja:


1. Kondisi semua peralatan masih dalam keadaan OFF.
2. Pasang kabel power semua peralatan, dan hubungkan ke sumber AC.
3. Sebelum kabel power dihubungkan ke sumber AC, pastikan semua kabel telah
terpasang dengan benar, misalkan antara monitor dengan komputer, dan antara
kabel mouse dengan komputer, dan lain-lain.

4. Setelah selesai menggunakan komputer, matikan komputer dengan perintah


shut down, setelah komputer mati baru cabut kabel power-nya.

2.5 Langkah Percobaan


2.5.1 Pengamatan Pengaruh Pemilihan Frekuensi Sampling Secara Visual
1. Untuk memahami fenomena sampling, ketikkan program seperti di bawah
ini:
%Sampling
Fs=8; %Frekuensi sampling
t=(0:Fs)./Fs;
s1=sin(2*pi*t*2);
subplot(2,1,1)
stem(t,s1)

Fs=16; %Frekuensi sampling


t=(0:Fs)./Fs;
s2=sin(2*pi*t*2)
subplot(2,1,2)
stem(t,s2)

Setelah program tersebut dijalankan, akan tampil gambar seperti di bawah


ini:
1

0.5

-0.5

-1
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1

0.5

-0.5

-1
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1
2. Lakukan perubahan pada nilai Fs, pada sinyal s1 sehingga bernilai 10, 12, 14,
16, 20, dan 30. Catat apa yang terjadi. Apa pengaruh Fs terhadap jumlah
sampel? Apa pengaruh jumlah sampel yang berbeda untuk satu periode
sinyal terbangkit?

2.5.2 Pengamatan Pengaruh Pemilihan Frekuensi Sampling Pada Efek Audio

1. Untuk mendengarkan bagaimana pengaruh frekuensi sampling melalui sinyal


audio, anda harus mempersiapkan PC anda dengan speaker aktif yang sudah
terkonek dengan soundcard. Selanjutnya, ketikkan program seperti di bawah
ini:
clear all;
Fs=1000;
t=0:1/Fs:0.25;
f=100
x=sin(2*pi*f*t);
plot(t,x)
sound(x,Fs)

2. Setelah anda menjalankan program tersebut apa yang anda dapatkan?


Selanjutnya coba anda rubah nilai f = 200, 300, 400, 500, 600, 700, 800, dan
900. Apa yang anda dapatkan? Bentuk suara yang sama dengan frekuensi
pembangkitan berbeda itulah yang seringkali disebut orang sebagai efek
aliasing. Coba anda catat frekuensi 200 memiliki bunyi yang sama dengan
frekuensi berapa? Sehingga frekuensi 200 adalah alias dari frekuensi tersebut.

2.5.3 Pengamatan Efek Aliasing pada Audio

1. Tentunya anda bosan dengan sesuatu yang selalu serius, marilah kita
sedikit bernafas melepaskan ketegangan tanpa laboratorium. Caranya, coba
anda susun sebuah lagu sederhana dengan cara membuat program baru
berikut ini:
%gundul
clc
Fs=16000;
t=0:1/Fs:0.25;
c=sin(2*pi*262*t);
d=sin(2*pi*294*t);
e=sin(2*pi*330*t);
f=sin(2*pi*249*t);
g=sin(2*pi*392*t);
a=sin(2*pi*440*t);
b=sin(2*pi*494*t);
c1=sin(2*pi*523*t);
nol=[zeros(size(t))];
nada1=[c,e,c,e,f,g,g,nol,b,c1,b,c1,b,g,nol,nol];
nada2=[c,e,c,e,f,g,g,nol,b,c1,b,c1,b,g,nol];
nada3=[c,nol,e,nol,g,nol,f,f,g,f,e,c,f,e,c,nol];
nada4=[c,nol,e,nol,g,nol,f,f,g,f,e,c,f,e,c];
lagu=[nada1,nada2,nada3,nada4];
sound(lagu,Fs)

2. Coba anda edit program diatas, dan anda lakukan perubahan pada nilai
frekuensi sampling Fs=16000, menjadi Fs=10000, 8000, 2000, 1000, 900,
800, 700, 600, dan 500. Apa yang anda dapatkan?

2.6 Borang Data

Pengamatan Pengaruh Pemilihan Frekuensi Sampling Secara Visual

No Sinyal Input Fs Sinyal Output

1 %sampling 1

Fs=8; %Frekuensi sampling 0.5

t=(0:Fs)./Fs; 0
s1=sin(2*pi*t*2); -0.5
subplot(2,1,1);
stem(t,s1) 8 -1
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1

Fs=16; %Frekuensi sampling 1

t=(0:Fs)./Fs; 0.5

s2=sin(2*pi*t*2) 0
subplot(2,1,2) -0.5
stem(t,s2)
-1
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1

2 %sampling 1
Fs=10; %Frekuensi sampling 0.5
t=(0:Fs)./Fs;
0
s1=sin(2*pi*t*2);
subplot(2,1,1); -0.5

stem(t,s1) 10 -1
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1

1
Fs=16; %Frekuensi sampling
0.5
t=(0:Fs)./Fs;
s2=sin(2*pi*t*2) 0

subplot(2,1,2) -0.5

stem(t,s2) -1
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1
3 %sampling 1
Fs=12; %Frekuensi sampling
0.5
t=(0:Fs)./Fs;
s1=sin(2*pi*t*2); 0

subplot(2,1,1); -0.5

stem(t,s1) 12 -1
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1

Fs=16; %Frekuensi sampling 1

t=(0:Fs)./Fs; 0.5

s2=sin(2*pi*t*2) 0
subplot(2,1,2)
-0.5
stem(t,s2)
-1
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1

4 %sampling
1
Fs=14; %Frekuensi sampling
t=(0:Fs)./Fs; 0.5

s1=sin(2*pi*t*2); 0

subplot(2,1,1); -0.5

stem(t,s1) 14 -1
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1

Fs=16; %Frekuensi sampling 1

t=(0:Fs)./Fs; 0.5

s2=sin(2*pi*t*2) 0
subplot(2,1,2) -0.5
stem(t,s2)
-1
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1

5 %sampling 1
Fs=16; %Frekuensi sampling
0.5
t=(0:Fs)./Fs;
s1=sin(2*pi*t*2); 0

subplot(2,1,1); -0.5

stem(t,s1) 16 -1
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1

Fs=16; %Frekuensi sampling 1

t=(0:Fs)./Fs; 0.5

s2=sin(2*pi*t*2) 0

subplot(2,1,2) -0.5

stem(t,s2) -1
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1

6 %sampling 1
Fs=20; %Frekuensi sampling 0.5
t=(0:Fs)./Fs;
s1=sin(2*pi*t*2); 0

subplot(2,1,1); -0.5

stem(t,s1) 20 -1
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1

Fs=16; %Frekuensi sampling 1

t=(0:Fs)./Fs; 0.5

s2=sin(2*pi*t*2) 0
subplot(2,1,2) -0.5
stem(t,s2)
-1
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1
7 %sampling 1
Fs=30; %Frekuensi sampling
t=(0:Fs)./Fs; 0.5

s1=sin(2*pi*t*2); 0

subplot(2,1,1); -0.5

stem(t,s1) 30 -1
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1

Fs=16; %Frekuensi sampling 1

t=(0:Fs)./Fs; 0.5
s2=sin(2*pi*t*2)
0
subplot(2,1,2)
stem(t,s2) -0.5

-1
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1

Pengamatan Pengaruh Pemilihan Frekuensi Sampling Pada Efek Audio

No Sinyal Input Fs Sinyal Output

1 clear all; 1

Fs=1000; 0.8

t=0:1/Fs:0.25; 0.6

f=100 0.4

x=sin(2*pi*f*t); 1000 0.2

plot(t,x) 0

sound(x,Fs) -0.2

-0.4

-0.6

-0.8

-1
0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25

clear all;
-14
2 2
x 10

Fs=200;
t=0:1/Fs:0.25; 1.5

f=100 1
x=sin(2*pi*f*t); 200
plot(t,x) 0.5

sound(x,Fs) 0

-0.5

-1

-1.5
0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25
3 clear all; 1
Fs=300; 0.8
t=0:1/Fs:0.25; 0.6
f=100
0.4
x=sin(2*pi*f*t); 300 0.2
plot(t,x)
sound(x,Fs) 0

-0.2

-0.4

-0.6

-0.8

-1
0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25

4 clear all; 1

Fs=400; 0.8
t=0:1/Fs:0.25; 0.6
f=100 0.4
x=sin(2*pi*f*t); 400 0.2
plot(t,x)
0
sound(x,Fs)
-0.2

-0.4

-0.6

-0.8

-1
0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25

5 clear all; 1

Fs=500; 0.8

t=0:1/Fs:0.25; 0.6

f=100 0.4
x=sin(2*pi*f*t); 500 0.2
plot(t,x)
0
sound(x,Fs)
-0.2

-0.4

-0.6

-0.8

-1
0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25

6 clear all; 1

Fs=600; 0.8

t=0:1/Fs:0.25; 0.6

f=100 0.4
x=sin(2*pi*f*t); 600 0.2
plot(t,x) 0
sound(x,Fs)
-0.2

-0.4

-0.6

-0.8

-1
0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25
Pengamatan Efek Aliasing pada Audio

No Sinyal Input Fs Sinyal Output

1 %gundul 1
clc
0.8
Fs=1000;
t=0:1/Fs:0.25; 0.6
c=sin(2*pi*262*t);
0.4
d=sin(2*pi*294*t);
e=sin(2*pi*330*t); 1000 0.2
f=sin(2*pi*249*t); 0
g=sin(2*pi*392*t);
a=sin(2*pi*440*t); -0.2

b=sin(2*pi*494*t); -0.4
c1=sin(2*pi*523*t);
nol=[zeros(size(t))]; -0.6

nada1=[c,e,d,e,f,g,f,nol,b,c1,b,c1,f,g,nol,nol]; -0.8
nada2=[c,e,c,e,f,g,g,nol,b,c1,b,c1,b,g,nol];
nada3=[c,nol,e,nol,a,nol,f,f,g,f,e,c,f,e,c,nol]; -1
0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25
nada4=[c,nol,e,nol,g,nol,f,e,g,f,e,c,f,e,c];
lagu=[nada1,nada2,nada3,nada4];
sound(lagu,Fs)

2 %kepalabotak 1
clc 0.8
Fs=2000;
t=0:1/Fs:0.25; 0.6

c=sin(2*pi*262*t); 0.4
d=sin(2*pi*294*t);
e=sin(2*pi*330*t); 2000 0.2

f=sin(2*pi*249*t); 0
g=sin(2*pi*392*t);
a=sin(2*pi*440*t); -0.2

b=sin(2*pi*494*t); -0.4
c1=sin(2*pi*523*t);
nol=[zeros(size(t))]; -0.6

nada1=[c,e,d,e,f,g,f,nol,b,c1,b,c1,f,g,nol,nol]; -0.8
nada2=[c,e,c,e,f,g,g,nol,b,c1,b,c1,b,g,nol];
nada3=[c,nol,e,nol,a,nol,f,f,g,f,e,c,f,e,c,nol]; -1
0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25
nada4=[c,nol,e,nol,g,nol,f,e,g,f,e,c,f,e,c];
lagu=[nada1,nada2,nada3,nada4];
sound(lagu,Fs)

3 %gundul
clc
Fs=8000; 1

t=0:1/Fs:0.25; 0.8
c=sin(2*pi*262*t);
0.6
d=sin(2*pi*294*t);
e=sin(2*pi*330*t); 8000 0.4

f=sin(2*pi*249*t); 0.2
g=sin(2*pi*392*t);
0
a=sin(2*pi*440*t);
b=sin(2*pi*494*t); -0.2
c1=sin(2*pi*523*t); -0.4
nol=[zeros(size(t))];
nada1=[c,e,d,e,f,g,f,nol,b,c1,b,c1,f,g,nol,nol]; -0.6

nada2=[c,e,c,e,f,g,g,nol,b,c1,b,c1,b,g,nol]; -0.8
nada3=[c,nol,e,nol,a,nol,f,f,g,f,e,c,f,e,c,nol]; -1
nada4=[c,nol,e,nol,g,nol,f,e,g,f,e,c,f,e,c]; 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25

lagu=[nada1,nada2,nada3,nada4];
sound(lagu,Fs)
4 %gundul
clc
Fs=10000;
1
t=0:1/Fs:0.25;
c=sin(2*pi*262*t); 0.8

d=sin(2*pi*294*t); 0.6

e=sin(2*pi*330*t); 10000 0.4


f=sin(2*pi*249*t);
0.2
g=sin(2*pi*392*t);
a=sin(2*pi*440*t); 0

b=sin(2*pi*494*t); -0.2

c1=sin(2*pi*523*t); -0.4
nol=[zeros(size(t))];
-0.6
nada1=[c,e,d,e,f,g,f,nol,b,c1,b,c1,f,g,nol,nol];
nada2=[c,e,c,e,f,g,g,nol,b,c1,b,c1,b,g,nol]; -0.8

nada3=[c,nol,e,nol,a,nol,f,f,g,f,e,c,f,e,c,nol]; -1
0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25
nada4=[c,nol,e,nol,g,nol,f,e,g,f,e,c,f,e,c];
lagu=[nada1,nada2,nada3,nada4];

ANALISA
Borang Data 1: Semakin besar fruekuensi sampling semakin tebal frekuensi
yang keluar pada grafik frekuensi.

Borang Data 2: Jika program dijalankan terdapat suara yang muncul pada waktu t.
Kemudian kita ubah f menjadi 200 sampai 900. Hasilnya adalah ada perubahan
tinggi nada yang dihasilkan kemudian kembali merendah seperti pada nada
sebelumnya. Yaitu nada yang dihasikan frekuensi 100 sama dengan frekuensi
900, frekuensi 200 sama dengan frekuensi 800, frekuensi 300 sama dengan
frekuensi 700, frekuensi 400 sama dengan frekuensi 600.

Pada saat mendengar lagu gundul.wav,apabila menggunakan frekuensi sampling


200,10000,16000 lagu masih terdengar jelas nada-nadanya,namun jika
menggunakan frekuensi 1000 dan lebih rendah dari 1000,suara sudah terdengar
tidak jelas,apabia sampling menggunakan frekuensi 500,lagu gundul sudah
terdengar tidak jelas dengan nada yang berantakan.

KESIMPULAN

Pada frekuensi sampling didapatkan fs =8 dan sinyal yang keluar tidak terlalu
kuat,dan apabila kita naikkan fs nya menjadi 16,maka sinyal yang keluar akan
bertambah kuat,kesimpulannya adalah jika semakin tinggi frekuensi dari sebuah
sinyal maka akan semakin banyak pula jumlah sinyal yang keluar.dan itu akan
berpengaruh pada saat proses sampling berlangsung.

Anda mungkin juga menyukai