Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN AKHIR

PRAKTIKUM ANALISIS SINYAL GEOFISIKA


MODUL KE – 02
“Spiking Deconvolution”

Oleh:
Dhio Arya Haq Prayoga 118120163

Asisten :
Lestari Sukma Apriliana 12117009

Laila Esa Muharani 118120007

Kirana Hikmah Sakina 118120012

Desta Aulia Rasada 118120020

Prastowo Adhi Irwanto 118120111

Muhammad Rafly Abdillah 118120168

Saiqoh Dianah 118120160

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOFISIKA


JURUSAN TEKNOLOGI PRODUKSI DAN INDUSTRI
INSTITUT TEKNOLOGI SUMATERA
2021
I. Tujuan
Adapun tujuan pada praktikum kali ini sebagai berikut :
a. Praktikan mampu melakukan spiking deconvolution
b. Praktikan mampu mengamati pengaruh dari proses deconvolution terhadap data
terutama energi

II. Teori Dasar


Penggunaan seismik refleksi di laut telah menjadi suatu kegiatan yang sering
dilakukan dengan berbagai tujuan, yaitu untuk memetakan lapisan bawah permukaan.
Data seismik dari proses geofisika lapangan memiliki karakteristik data dan gangguan
(noise) yang tidak dapat dipisahkan. Noise yang terkandung dalam rekaman seismik
memberikan tampilan efek lapisan semu dan rekaman data yang kurang baik. Padahal
data seismik yang ideal seharusnya menampilkan gelombang refleksi yang dapat
memberikan informasi penampang seismik bawah permukaan laut. Tanpa adanya
proses lanjutan yang memadai, data seismik tidak akan mendapatkan penggambaran
bawah permukaan yang sesungguhnya. Peran metode seismik diperlukan sebagai
usaha dalam perolehan refleksi bawah permukaan yang sebenarnya. Penampang
seismik yang jelas dan beresolusi tinggi dapat diperoleh dengan pengolahan data
seismik. Salah satu tujuan pemrosesan data seismik adalah untuk mengurangi noise
dan multiples sehingga mempertinggi signal to noise ratio (SNR). Kualitas rekaman
seismik dapat dinilai dari rasio sinyal refleksi terhadap sinyal gangguan. Pengolahan
data seismik dilakukan untuk meningkatkan sinyal dan melemahkan sinyal gangguan
(noise) sehingga refleksi data seismik yang diperlukan meningkat dan gangguan dapat
ditekan serta memperbaiki resolusi vertikal pada trace seismik. Peningkatan resolusi
rekaman seismik dapat dilakukan dengan menerapkan berbagai macam metode.
Peningkatan resolusi dapat dilakukan salah satunya dengan mengaplikasikan
dekonvolusi pada rekaman seismik. Dekonvolusi merupakan suatu proses inverse dari
konvolusi yang menghilangkan efek filter bumi pada gelombang sumber. Selain itu
dekonvolusi dapat menghilangkan noise dan multiple yang terkandung dalam rekaman
seismik.
Secara garis besar metoda dekonvolusi dapat dibagi menjadi dua, yaitu
deterministik dan statistik. Dekonvolusi deterministik adalah dekonvolusi
menggunakan operator filter yang sudah diketahui atau didesain untuk menampilkan
suatu bentuk tertentu. Contoh dekonvolusi deterministik adalah spiking deconvolution.
Sementara jika disain filter tidak kita ketahui, kita dapat memperolehnya secara
statistik dari data itu sendiri. Metoda ini disebut dekonvolusi statistik. Contoh
dekonvolusi statistik adalah dekonvolusi prediktif.

Spiking deconvolution merupakan metode konvensional untuk meningkatkan


resolusi data seismik , yang mana desain metode ini adalah dengan inverse filter untuk
merubah wavelet seismik menjadi impuls. Metode ini mampu membuat event yang
lebar akibat frekuensi rendah menjadi event yang tajam dan lebih kontinu. Spiking
deconvolution bertujuan untuk mengkompresi wavelet sumber 𝑤(𝑡) menjadi zero-
phase spike dengan lebar nol atau dengan kata lain fungsi impuls 𝛿(𝑡). Hal ini berarti
efek dari wavelet sumber dieliminasi dan hanya menyisakan efek dari reflektivitas
bumi pada seismogram. Efek wavelet dapat dilakukan dengan cara mengkonvolusikan
trace seismic dengan suatu inverse filterℎ(𝑡) dari wavelet sumber yang didefinisikan
sebagai:

𝑤(𝑡) ∗ ℎ(𝑡) = δ(t)........................................................................................(1)


Transformasi Fourier dari persamaan (1) yaitu:
𝑊 (𝑓 )𝐻 ( 𝑓 ) =
1......................................................................................................(2)
Di mana 𝑊(𝑓), 𝐻(𝑓), dan 1 adalah Transformasi Fourier dari 𝑤(𝑡), ℎ(𝑡), dan
𝛿(𝑡). Dari persamaan (2) dapat terlihat bahwa:
1
𝐻(𝑓 ) = 𝑊(𝑓) =
1
𝑒 −∅ 𝑤(𝑓)..............................................................................(3)
𝑊(𝑓)
1
Yang mengimplikasikan bahwa|𝐻 (𝑓 )| = |𝑊(𝑓)|dan ∅ℎ (𝑓 ) = −∅𝑤 (𝑓).

Spectrum amplitude dari inverse filter |𝐻(𝑓 )|merupakan resiprokal dari spectrum
amplitude wavelet sumber |𝑊 (𝑓 )| serta spectrum fase Wavelet sumber. Jika dilakukan
Inverse Transformasi Fourier terhadap H(f) , maka kita akan mendapatkan filter h(t)
yang diinginkan. Spiking Deconvolution dilakukan dengan konvolusi Inverse Filter
dengan Trace s(t).
ℎ(𝑡) ∗ 𝑠(𝑡) = ℎ(𝑡) ∗ [𝑤 (𝑡) ∗ 𝑒(𝑡)
ℎ(𝑡) ∗ 𝑠(𝑡) = [ℎ(𝑡) ∗ 𝑤(𝑡)] ∗ 𝑒(𝑡)
ℎ(𝑡) ∗ 𝑠(𝑡) = 𝛿 (𝑡) ∗ 𝑒(𝑡)
ℎ (𝑡 ) ∗ 𝑠 (𝑡 ) =
𝑒(𝑡)...............................................................................................(4)
yang menghasilkan e(t) atau respon bumi itu sendiri.
Pada praktiknya, data yang dimiliki merupakan data yang disampling secara
uniform dan juga mengandung noise. Dengan demikian, trace seismik dapat ditulis
sebagai :
𝑠 (𝑡 ) = 𝑤 (𝑛 ) ∗ 𝑒 (𝑛 ) +
𝛾(𝑛)............................................................................(5)
Di mana 𝑛 merepresentasikan index waktu. Transformasi-Z umumnya
digunakan untuk menghitung inverse filter. Metoda lain untuk menentukan operator
filter adalah metode least square. Optimum Wienner filter yang mencari error terkecil
antara output yang diinginkan (zero phase spike dengan lebar nol) dan output
sebenarnya menghasilkan bentuk matrix sebagai berikut :

Dengan 𝑟(𝑛) adalah autokorelasi data, dan 𝑤(𝑛) adalah korelasi silang.

Untuk melakukan spiking deconvolution, beberapa parameter harus ditentukan


yaitu:
 Window autokorelasi
Pemilihan parameter dekonvolusi bergantung kepada karakteristik
autokorelasi dari data seismik. Maka dari itu, sangat penting untuk memilih window
autokorelasi yang cocok. Window autokorelasi harus mengandung refleksi dan
bebas dari noise koheren maupun inkoheren. Panjang window autokorelasi minimal
delapan (8) lali lebih besar dari operator length yang digunakan. Pada modul ini,
seluruh window data seismik akan digunakan.

 Filter/ Operator Length


Filter/ operator length harus sama dengan wavelet length. Zona transien
merupakan bagian yang merepresentasikan autokorelasi wavelet sumber. Biasanya
zona transien adalah bagian awal autokorelasi yang memiliki amplitude tinggi.
Operator length harus ditentukan sedemikian hingga nilainya mendekati zona
transien pertama.

 Prewhitening
Spectrum amplitude operator filter merupakan resiprokal dari spectrum
wavelet sumber. Jika spectrum amplitude sumber pada beberapa frekuensi bernilai
nol, spectrum amplitude operator filter tidak akan stabil (mendekati tak hingga).
Untuk memastikan algoritma stabil secara numeric, random white noise biasanya
ditambahkan kepada spectrum amplitude dan autokorelasi sebelum spiking
deconvolution yang disebut dengan prewhitening.

III. Langkah Kerja


Pada praktikum kali ini memiliki langkah kerja sebagai berikut :
a. Buka software Mathlab yang telah diinstal
b. Buat script baru dengan klik menu New dengan nama yang telah ditentukan.
c. Inputkan data lalu ambil tiga shot point untuk dekonvolusi dengan menjalankan script berikut
pada editor :

clc; clear all;


% Ekstrak gather yang telah dilakukan gain dan SegyHeader (H)
load ('Data_Modul_2.mat');
%% Ambil trace yang diinginkan
shot_num=11:15; % Definisikan data gather yang akan
diproses
% p=0 untuk offset (single gather) dan p=1 untuk nomor trace
p=1;
% ekstrak trace dan informasi dari data yang diperlukan
[trace,dt,dx,t,offset]=extracting_shots(Dbpf,H,shot_num,p);
% definisikan ukuran data
[nt,nx]=size(trace);
% Plot trace awal sebelum dilakukan dekonvolusi
% skala amplitudo trace bisa dimodifikasi untuk membantu display
scale=1.5;

% plot trace
figure(1)
mwigb(trace,scale,offset,t)
title('Trace awal')
xlabel('Trace number','FontSize',14)
ylabel('Time (s)','FontSize',14)

Dan didapatkan hasil (trace) seperti berikut :

d. Hitung autokorelasi keseluruhan data untuk mengamati panjang operator yang akan
digunakan dengan menjalankan script sebagai berikut :

[trace_auto ,lags]=auto_correlation_map(trace,max(t),dt);

% Plot hasil autokorekasi


figure(2)
mwigb(trace_auto ,scale ,offset ,lags)
xlabel('Trace number','FontSize',14)
ylabel('Time lag (s)','FontSize',14)

Dan didapatkan hasil sebagai berikut :

e. Menentukan zona transien (Max lag).


f. Menghitung autokorelasi dan korelasi silang dari data dengan menjalankan script
sebagai berikut :

%% auto korelasi dan korelasi silang


max_lag=0.1;
mu=0.01;

N=round(max_lag/dt);
p_noise=mu/100;
Dauto=zeros(N,nx);
Rxd=zeros(1,N);
for i=1:nx
Dauto(:,i)=my_xcorr(trace(:,i)',N)';
Rxd=Rxd+my_xcorr(trace(:,i)',N,1);
end
Rxd=abs(Rxd);

g. Buat matriks Toeplitz dengan menjalankan script sebagai berikut :

%% Membuat matrix Toeplitz


DDauto=sum(Dauto,2);
Rxx=toeplitz(DDauto);
Rxx(1,1)=Rxx(1,1)*(p_noise);

h. Menghitung operator filter dengan menjalankan script sebagai berikut :

%% Operator filter
h_opt=(inv(Rxx+eps))*Rxd';

i. Setelah didapatkannya operator filter, kemudian konvolusikan dengan data untuk


memperoleh hasil spiking deconvolutionnya dan jalankan dengan menggunakan script
berikut ini :

%% Konvolusikan input data dengan operator filter


for i=1:nx
trace_SD(:,i)=conv(trace(:,i),h_opt);
end
trace_SD=trace_SD(1:nt,:);

j. Plot hasil yang diperoleh dengan menjalankan script seperti berikut :

% Plot hasil spiking deconvolution


figure(3)
mwigb(trace_SD,scale,offset,t)
title('Hasil Dekonvolusi (max lag all)')
xlabel('Trace number','FontSize',14)
ylabel('Time (s)','FontSize',14)

Dan kemudian menghasilkan Trace seperti berikut :


k. Membandingkan hasil spiking deconvolution dengan trace awal, dan amati perubahan
yang terjadi.
l. Menghitung power spectral density dari rata-rata trace sebelum ataupun setelah
dekonvolusi. Dan diperoleh hasil sebagai berikut :

IV. Hasil dan Pembahasan


A. Hasil
Dari praktikum yang telah di lakukan oleh praktikan didapatkan hasil seperti berikut
ini :
a. SS Script
b. SS hasil Run

 Trace Awal

 Autokorelasi seluruh data


 Zona transien

 Power Spectral Density dari rata-rata Trace


B. Analisis
Pada praktikum modul 2 dengan judul “Spiking Deconvolution” ini praktikan
melakukan percobaan. Dimana pada praktikum kali ini praktikan melakukan spiking
deconvolution dengan menggunakan 1 script. Dimana dari 1 script ini menghasilkan 4
figures dan spiking deconvolution ini sendiri dilakukan dengan tujuan untuk
mengkompresi wavelet sumber w (t) menjadi zero-phase spike dengan lebar nol atau
dengan kata lain fungsi impuls δ(t). Hal ini berarti efek dari wavelet sumber dieliminasi
dan hanya menyisakan efek dari reflektivitas bumi pada seismogram.

Dimana pada tahap pertama praktikan mendisplay data dari data yang ada. dimana
datanya didapatkan dari modul. Praktikan menginput data dengan mengambil 5 shot point
(gather ke-11 sampai gather ke-15) dengan jumlah trace pada display 99. Menginput
datanya sendiri dengan menggunakan script yang ada pada modul, dari hasil run script
tersebut didapatkanlah trace awalnya. Selanjutnya dilakukan autokorelasi keseluruhan
data, dimana hal ini dimaksudkan untuk mengamati panjang operator filternya dan dari
autokorelasi keseluruhan data ini juga untuk menentukan zona transien atau max lag dari
data tersebut. Zona transien ini merupakan bagian yang mempresentasikan autokorelasi
wavelet sumber dan biasanya memiliki amplitude yang tinggi.

Lalu menghitung autokorelasi dan korelasi silang, membuat matriks Toeplitz, serta
menghitung operator filternya. Setelah didapatkan operator filter, konvolusikan data nya
untuk memperoleh spiking deconvolution . Dari hasil atau figures yang muncul terlihat
perbedaannya antara setelah dilakukannya spiking deconvolution dan trace awal, dimana
perbedaannya terlihat bahwa dimana raw data yang belum dilakukan spiking
deconvolution pada data yang memiliki amplitude tinggi kurang membentuk dan membuat
keambiguitasan lapisan, berbeda dengan yang telah dilakukan spiking deconvolution data
yang lapisan sudah mulai terlihat jelas sehingga dapat lebih mudah melihat perbedaan batas
lapisan.

Dan yang terakhir dilakukannya perhitungan Power Spectral Density dari rata-rata
trace sebelum ataupun setelah dekomvolusi. Dimana dari hasilnya terlihat bahwa gambar
yang ditandai dengan warna merah sebagai hasil setelah spiking deconvolution memiliki
energi yang lebih besar dibandingkan dengan hasil sebelum spiking deconvolution yang di
tandai dengan warna biru. Hal itu yang menyebabkan hasil raw data yang telah dilakukan
spiking deconvolution energi menjadi meningkat dan sudah mulai terlihat jelas batas antar
lapisan. Dari gambar tersebut juga dapat dilihat kekurangan spiking deconvolution yaitu
dapat meningkatkan noise yang berfrekuensi tinggi.

V. Kesimpulan
A. Kesimpulan
Dari praktikum yang telah di lakukan oleh praktikan didapatkan kesimpulan
sebagai berikut :
a. Dekonvolusi merupakan suatu proses inverse dari konvolusi yang
menghilangkan efek filter bumi pada gelombang sumber. Selain itu
dekonvolusi dapat menghilangkan noise dan multiple yang terkandung dalam
rekaman seismik.
b. Spiking deconvolition merupakan metode konvensional untuk meningkatkan
resolusi data seismik, yang mana desain metode ini adalah dengan inverse filter
untuk merubah wavelet seismik menjadi impuls. Metode ini mampu membuat
event yang lebar akibat frekuensi rendah menjadi event yang tajam dan lebih
kontinu.
c. Power Spectral Density memiliki kelebihan energinya menjadi meningkat atau
semakin besar, sedangkan kelemahannya dapat meningkatkan noise yang
berfrekuensi tinggi.

B. Saran
Dari praktikum yang telah dilakukan oleh praktikan, praktikan memiliki saran
sebagai berikut :

a. Lebih teliti lagi dalam menentukan nilai max lag atau zona transiennya agar mendapatkan
hasil yang lebih tepat
b. Lebih Mungkin ketika melakukan penjelasan menggunakan bahasa yang mudah di
mengerti dan mudah dipahami praktikan

VI. Daftar Pustaka

Muhidin, Agus, DKK. 2015. “ANALISA PRESERVASI AMPLITUDO DAN RESOLUSI


SEISMIK PADA DATA HASIL RECONVOLUTION LAPANGAN “X” CEKUNGAN
SUMATERA TENGAH”. https://media.neliti.com/media/publications/193660-ID-
none.pdf. , diakses pada 06 November 2021 pukul 13.02 WIB.
Manrulu, Rahma hi, DKK. 2016. “STUDI PENGOLAH DATA (PROCESSINGING)
SEISMIK DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM PROMAX”.
https://ppjp.ulm.ac.id/journal/index.php/f/article/view/3457. ,diakses pada 06 November
2021 pukul 13.05 WIB.
Romauli, Alfrida, Henry M. Manik , Subarsyah. “PENERAPAN DEKONVOLUSI
SPIKING DAN DEKONVOLUSI PREDIKTIF PADA DATA SEISMIK
MULTICHANNEL 2D DI LAUT FLORES”.
https://journal.ipb.ac.id/index.php/jtpk/article/download/15213/11691 , diakses pada 06
November 2021 pukul 13.10
Modul 2 praktikum Analisis Sinyal Geofisika , “Spiking Deconvolution”

VII. Lampiran

Anda mungkin juga menyukai