Anda di halaman 1dari 8

MODUL PRAKTIKUM

ANALISIS SINYAL GEOFISIKA

Disusun Oleh:
Intan Andriani Putri, S.Si., M.T

SPIKING DECONVOLUTION

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOFISIKA


JURUSAN TEKNOLOGI PRODUKSI DAN INDUSTRI
INSTITUT TEKNOLOGI SUMATERA
2021
TUJUAN
Mahasiswa melakukan spiking deconvolution dan mampu mengamati pengaruh dari proses
dekonvolusi tersebut terhadap data terutama energi

SPIKING DECONVOLUTION
Spiking deconvolution bertujuan untuk mengkompresi wavelet sumber 𝑤(𝑡) menjadi zero-phase
spike dengan lebar nol atau dengan kata lain fungsi impuls 𝛿(𝑡). Hal ini berarti efek dari wavelet
sumber dieliminasi dan hanya menyisakan efek dari reflektivitas bumi pada seismogram. Efek
wavelet dapat dilakukan dengan cara mengkonvolusikan trace seismic dengan suatu inverse filter
ℎ(𝑡) dari wavelet sumber yang didefinisikan sebagai:
𝑤(𝑡) ∗ ℎ(𝑡) = 𝛿(𝑡) ..................................................................................................................... (1)
Transformasi Fourier dari persamaan (1) yaitu:
𝑤(𝑓)𝐻(𝑓) = 1 ............................................................................................................................ (2)
Di mana 𝑊(𝑓), 𝐻(𝑓), dan 1 adalah Transformasi Fourier dari 𝑤(𝑡), ℎ(𝑡), dan 𝛿(𝑡). Dari
persamaan (2) dapat terlihat bahwa:
1 1
𝐻(𝑓) = 𝑊(𝑓) = 𝑊(𝑓) 𝑒 −𝜙𝑤 (𝑓) ...................................................................................................... (3)
1
Yang mengimplikasikan bahwa |𝐻(𝑓)| = |𝑊(𝑓)| dan 𝜙ℎ (𝑓) = −𝜙𝑤 (𝑓). Spectrum amplitude dari

inverse filter |𝐻(𝑓)| merupakan resiprokal dari spektrum amplitude wavelet sumber |𝑊(𝑓)| serta
spectrum fasenya adalah negatif dari spectrum fase wavelet sumber. Jika dilakukan inverse
Transformasi Fourier terhadap 𝐻(𝑓), maka kita akan mendapatkan filter ℎ(𝑡) yang diinginkan.
Spiking deconvolution dilakukan dengan konvolusi inverse filter dengan trace 𝑠(𝑡):
ℎ(𝑡) ∗ 𝑠(𝑡) = ℎ(𝑡) ∗ [𝑤(𝑡) ∗ 𝑒(𝑡)
ℎ(𝑡) ∗ 𝑠(𝑡) = [ℎ(𝑡) ∗ 𝑤(𝑡)] ∗ 𝑒(𝑡)
ℎ(𝑡) ∗ 𝑠(𝑡) = 𝛿(𝑡) ∗ 𝑒(𝑡)
ℎ(𝑡) ∗ 𝑠(𝑡) = 𝑒(𝑡) ...................................................................................................................... (4)
yang menghasilkan 𝑒(𝑡) atau respon bumi itu sendiri.
Pada praktiknya, data yang dimiliki merupakan data yang disampling secara uniform dan juga
mengandung noise. Dengan demikian, trace seismik dapat ditulis sebagai:
𝑠(𝑡) = 𝑤(𝑛) ∗ 𝑒(𝑛) + 𝛾(𝑛) ........................................................................................................ (5)
Di mana 𝑛 merepresentasikan index waktu. Transformasi-Z umumnya digunakan untuk
menghitung inverse filter. Metoda lain untuk menentukan operator filter adalah metode least
square. Optimum Wienner filter yang mencari error terkecil antara output yang diinginkan (zero
phase spike dengan lebar nol) dan output sebenarnya menghasilkan bentuk matrix sebagai berikut:
𝑟(0) 𝑟(1) 𝑟(2) ⋯ 𝑟(𝑁 − 1) ℎ(0) 𝑤(0)
𝑟(1) 𝑟(0) 𝑟(1) ⋯ 𝑟(𝑁 − 2) ℎ(1)
[ ][ ] = [ 0 ] ............................ (6)
⋮ ⋮ ⋮ ⋱ ⋮ ⋮ ⋮
𝑟(𝑁 − 1) 𝑟(𝑁 − 2) 𝑟(𝑁 − 3) ⋯ 𝑟(0) ℎ(𝑁 − 1) 0
Dengan 𝑟(𝑛) adalah autokorelasi data, dan 𝑤(𝑛) adalah korelasi silang.

Untuk melakukan spiking deconvolution, beberapa parameter harus ditentukan yaitu:


 Window autokorelasi
Pemilihan parameter dekonvolusi bergantung kepada karakteristik autokorelasi dari data seismik.
Maka dari itu, sangat penting untuk memilih window autokorelasi yang cocok. Window
autokorelasi harus mengandung refleksi dan bebas dari noise koheren maupun inkoheren. Panjang
window autokorelasi minimal delapan (8) lali lebih besar dari operator length yang digunakan.
Pada modul ini, seluruh window data seismik akan digunakan.

 Filter/ Operator Length


Filter/ operator length harus sama dengan wavelet length. Zona transien merupakan bagian yang
merepresentasikan autokorelasi wavelet sumber. Biasanya zona transien adalah bagian awal
autokorelasi yang memiliki amplitude tinggi. Operator length harus ditentukan sedemikian hingga
nilainya mendekati zona transien pertama.

 Prewhitening
Spectrum amplitude operator filter merupakan resiprokal dari spectrum wavelet sumber. Jika
spectrum amplitude sumber pada beberapa frekuensi bernilai nol, spectrum amplitude operator
filter tidak akan stabil (mendekati tak hingga). Untuk memastikan algoritma stabil secara numeric,
random white noise biasanya ditambahkan kepada spectrum amplitude dan autokorelasi sebelum
spiking deconvolution yang disebut dengan prewhitening.
A. TUGAS PENDAHULUAN
1. Buktikan persamaan (6) dengan menggunakan prinsip least square
2. Mengapa autokorelasi data dapat menggantikan autokorelasi wavelet sumber?
3. Jelaskan yang dimaksud dengan power spectral density (PSD)

B. PRAKTIKUM
B.1 DEKONVOLUSI DATA SEISMIK MENGGUNAKAN METODE SPIKING
DECONVOLUTION
Pada bagian ini, kita akan melakukan spiking deconvolution terhadap data seismik real berupa
gather 2D lapangan East Texas, USA. Beberapa parameter data yang penting adalah:
- Jumlah penembakan : 18
- Jumlah channel per shot : 33
- Jumlah trace inline : 594
- Receiver interval : 220 ft
- Sampling interval : 2 ms
- Jumlah sample tiap trace : 1501
- Filter : 8 – 64 Hz bandpass filter
1. Buat script baru dengan nama spiking_deconv_NIM_nama
2. Inputkan data lalu ambil tiga shot point (4 – 6) untuk contoh dekonvolusi dengan dengan
menjalankan script berikut pada Editor:
clc; clear all;
% Ekstrak gather yang telah dilakukan gain dan SegyHeader (H)
load ('Data_Modul_2.mat');
%% Ambil trace yang diinginkan
shot_num=4:6; % Definisikan data gather yang akan diproses
% p=0 untuk offset (single gather) dan p=1 untuk nomor trace
p=1;
% ekstrak trace dan informasi dari data yang diperlukan
[trace,dt,dx,t,offset]=extracting_shots(Dbpf,H,shot_num,p);
% definisikan ukuran data
[nt,nx]=size(trace);
% Plot trace awal sebelum dilakukan dekonvolusi
% skala amplitudo trace bisa dimodifikasi untuk membantu display
scale=1.5;

% plot trace
figure(1)
mwigb(trace,scale,offset,t)
title('Trace awal')
xlabel('Trace number','FontSize',14)
ylabel('Time (s)','FontSize',14)
Hingga muncul trace seperti di bawah dan simpan gambar tersebut.

3. Hitung autokorelasi keseluruhan data untuk mengamati berapa panjang operator filter yang
akan digunakan
[trace_auto ,lags]=auto_correlation_map(trace,max(t),dt);

% Plot hasil autokorekasi


figure(2)
mwigb(trace_auto ,scale ,offset ,lags)
xlabel('Trace number','FontSize',14)
ylabel('Time lag (s)','FontSize',14)

sehingga menghasilkan gambar berikut

4. Tentukan zona transien (max lag).


5. Hitung auto korelasi dan korelasi silang dari data dengan menjalankan script berikut pada
Editor:
%% auto korelasi dan korelasi silang
max_lag=0.3;
mu=0.01;

N=round(max_lag/dt);
p_noise=mu/100;
Dauto=zeros(N,nx);
Rxd=zeros(1,N);

for i=1:nx
Dauto(:,i)=my_xcorr(trace(:,i)',N)';
Rxd=Rxd+my_xcorr(trace(:,i)',N,1);
end
Rxd=abs(Rxd);

6. Buat matrix Toeplitz dengan menjalankan script berikut pada Editor:


%% Membuat matrix Toeplitz
DDauto=sum(Dauto,2);
Rxx=toeplitz(DDauto);
Rxx(1,1)=Rxx(1,1)*(p_noise);

7. Hitung operator filter sebagai berikut:


%% Operator filter
h_opt=(inv(Rxx+eps))*Rxd';

8. Setelah mendapatkan operator filter, konvolusikan dengan data untuk memperoleh hasil
spiking deconvolution

%% Konvolusikan input data dengan operator filter


for i=1:nx
trace_SD(:,i)=conv(trace(:,i),h_opt);
end
trace_SD=trace_SD(1:nt,:);

9. Plot hasil yang diperoleh


% Plot hasil spiking deconvolution
figure(3)
mwigb(trace_SD,scale,offset,t)
title('Hasil Dekonvolusi (max lag all)')
xlabel('Trace number','FontSize',14)
ylabel('Time (s)','FontSize',14)

hingga menghasilkan trace seperti dibawah:


10. Bandingkan hasil spiking deconvolution dengan trace awal, amati perubahan yang terjadi
dan tulis pada laporan sementara
11. Hitung power spectral density dari rata – rata trace sebelum ataupun setelah dekonvolusi
dengan menjalankan script berikut pada Editor:
%% PSD before and after spiking deconvolution
T_avg_before=mean(trace');
fs=1/dt;
[T_avg_before,f] = periodogram(T_avg_before,[],2*nt,fs);
T_avg_before=T_avg_before/max(T_avg_before);
T_avg_before=20*log10(abs(T_avg_before));

T_avg_after=mean(trace_SD');
[T_avg_after ,f] = periodogram(T_avg_after ,[],2*nt,fs);
T_avg_after=T_avg_after/max(T_avg_after);
T_avg_after=20*log10(abs(T_avg_after));
f=linspace(0,0.5,nt+1)/dt;

figure(4)
plot(f,T_avg_before')
hold on
plot(f,T_avg_after,'r')
xlabel('Frequency (Hz)','FontSize',14)
ylabel('Normalized PSD','FontSize',14)
grid
legend('Sebelum spiking deconv','Setelah spiking deconv')

sehingga diperoleh gambar berikut:


12. Amati perubahan pada PSD dan tulis pada laporan sementara

B.3 SPIKING DECONVOLUTION


- Lakukan spiking deconvolution pada shot gather lain sesuai petunjuk asisten
- Tentukan zona transien dari gather yang anda analisa
- Lakukan spiking deconvolution dan amati yang terjadi
- Tuliskan hasil yang anda peroleh pada laporan akhir

Anda mungkin juga menyukai