Anda di halaman 1dari 57

i

WEESKAMER

Fendi Adiatmono

i
UU No 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta Fungsi dan
Sifat hak Cipta Pasal 2 1. Hak Cipta merupakan hak
eksklusif bagi pencipta atau pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang
PERSEMBAHAN
timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan
tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Hak Terkait Pasal 49
1. Pelaku memiliki hak eksklusif untuk memberikan izin
atau melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya
membuat, memperbanyak, atau menyiarkan rekaman
suara dan/atau gambar pertunjukannya. Sanksi
Pelanggaran Pasal 72 1. Barangsiapa dengan sengaja dan
tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1
(satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp
1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2.
Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu
ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah)

ii
iii
:

iv
PRAKATA

Terimakasih kepada Allah Yang Maha Esa telah


melimpahkan cinta kasihNya, sehingga penulisan buku ini dapat
terselesaikan juga. Disadari adanya berbagai keterbatasan dan
kesulitan yang dihadapi, namun dengan adanya bantuan dari
berbagai pihak maka penulisan buku ini dapat diselesaikan.
Ucapan terima kasih sedalam-dalamnya disampaikan
kepada Penerbit Deepublish, Advisor Prof. P.J.M. Nas di
Universitas Leiden Belanda, diucapkan terimakasih. Kepada Ibu
Sumiyati dan Bapak Triatmono, orang tua peneliti yang telah
mengorbankan mental dan material untuk suksesnya penulisan
buku ini. Terimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Nelson
Pomalingo M.Pd. Kepada Bapak Dr. Slamet dan Dr. Tubagus yang
telah banyak membantu dalam merelasikan beberapa teori.
Kepada kakak tercinta Priyani Astuti dan Santosa Wibowo B.A.,
juga diucapkan terimakasih atas bantuan tinta dan kertasnya.
Kepada kakak tercinta Dra. Wiwin Widiastuti M.M. dan Suharto
B.A., diucapkan terimakasih atas bantuan kertasnya. Kepada
kakak tercinta Dedi Widianto SH, MH, M.Ec.Dev., yang telah
banyak membantu peneliti dalam hal keuangan. Tak lupa ucapan
terimakasih kepada putri tercinta Lintang Tinelo To’U Botiya dan
Nurleni Samosir atas doa dan spiritnya. Kepada Tri Wahyudi Joko
Sulistya dengan dedikasi yang hebat telah membukakan tabir
ornamen (royal pakadanga, naga, dan makna simbolisnya) serta
rajutan sejarah Gorontalo. Kepada Drs. Yus Iryanto Abbas M.Pd,.
Terimakasih untuk rekan-rekan staf pengajar di Fakultas Teknik,
Universitas Negeri Gorontalo. Penulis ucapkan terimakasih juga
kepada almarhumah Ibu Farha Daulima, seminggu sebelum beliau
wafat penulis telah mendapatkan sesuatu yang berharga
berkenaan dengan rumah tradisional di Gorontalo. Kepada Bapak
Toti Lamusu, budayawan Gorontalo, diucapkan terimakasih.
Kepada Bapak Yosep Ma’ruf, keturunan raja Gorontalo yang telah
banyak berjasa untuk menerbitkan tulisan dari peneliti. Semua
pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu-persatu, yang
secara langsung dan tidak langsung juga telah membantu
penyelesaian buku ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan segala cinta
kasihNya kepada setiap hati yang berbuat baik. Harapan peneliti

v
semoga tulisan ini bermanfaat dalam pengembangan kreatifitas
seni dan sebagai informasi bagi mereka yang membaca dan
membutuhkan.

Yogyakarta, September 2014

Penulis

vi
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................... i


PERNYATAAN................................................................. iii
PERSEMBAHAN ............................................................. iv
PRAKATA ....................................................................... v
DAFTAR ISI .................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR .......................................................... x
TABEL DAN SKEMA ....................................................... xix
DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH .............................. xxii
TANDA BACA DAN EJAAN.............................................. xxiv

BAB I PENGANTAR .......................................................... 1

BAB II GORONTALO, KOTA RUMAH TRADISIONAL DAN


PERSPEKTIF HISTORISNYA .................................. 64
A. Gambaran Umum Gorontalo ............................... 64
1. Kondisi Geografis Gorontalo ............................ 66
2. Kondisi Iklim Gorontalo................................... 68
3. Ilmu dan Teknologi ......................................... 70
4. Agama dan Kepercayaan ................................. 72
5. Sosial Budaya ................................................. 79
6. Sejarah Orang Gorontalo ................................. 83
B. Populasi Penduduk Gorontalo ............................. 90
C. Rumah Tradisional di Gorontalo dalam
Pendekatan Sejarah Kebudayaan ........................ 94
1. Masa Kolonial Belanda abad ke-18 sampai ke-
20....................................................................... 98
2. Masa Kependudukan Jepang 1942-1945 ......... 108
3. Masa Kemerdekaan 1945-2001 ....................... 110

BAB III RUMAH TRADISIONAL GORONTALO TAHUN


1890-2001 .............................................................. 112
A. Rumah Tradisional di Gorontalo .......................... 112
B. Rumah Orang Eropa di Gorontalo ....................... 150
C. Rumah Tradisional Cina di Gorontalo .................. 156
D. Rumah Tradisional Arab di Gorontalo.................. 163
E. Rumah Tradisional Ternate di Gorontalo ............. 166
F. Teknik Penyambungan Rumah Tradisional di
Gorontalo ........................................................... 169
G. Kuda-kuda Rumah Tradisional di Gorontalo ........ 175

vii
BAB IV BENTUK MOTIF ORNAMEN RUMAH
TRADISIONAL DI GORONTALO TAHUN 1890-2001
. .............................................................................. 180
A. Bentuk Motif Ornamen Rumah Tradisional
Gorontalo.................................... ....................... 180
B. Pesebaran Bentuk Motif Ornamen Rumah
Tradisional di Gorontalo ..................................... 199
1. Bone Bolango Terutama di Daerah sekitar
Suwawa ............................................................. 205
2. Kota Timur .................................................... 209
3. Kota Selatan ................................................. 211
4. Kota Gorontalo ............................................... 212
C. Gaya Ornamen Rumah Tradisional di Gorontalo . 220
1. Gaya Ornamen Rumah Tradisional di
Gorontalo abad ke-19.......................................... 220
2. Gaya Ornamen Rumah Tradisional dan Gaya
Rumah di Gorontalo abad ke-20 .......................... 223
D. Kelangsungan Ornamen Rumah Tradisional
Gorontalo .......................................................... 230
E. Tradisi Pewarisan Pembuatan Ornamen ............. 239

BAB V UNSUR YANG MEMPENGARUHI BENTUK MOTIF


ORNAMEN RUMAH TRADISIONAL GORONTALO
TAHUN 1890-2001 ................................................. 243
A. Pengaruh Animisme dan Dinamisme ................... 243
B. Pengaruh Masa Percampuran Timur dan Barat ... 257
1. Masa Percampuran Ternate ............................ 257
2. Masa Percampuran Cina ................................ 268
3. Masa Percampuran Arab ................................ 280
4. Masa Percampuran Belanda ........................... 287

BAB VI MAKNA SIMBOLIS BENTUK MOTIF ORNAMEN


RUMAH TRADISIONAL DI GORONTALO ................ 305
A. Pengertian Simbol.................................... .......... 305
B. Makna Dasar Rumah Tradisional di Gorontalo ... 309
C. Makna Simbolis Bentuk Motif dan Ornamen
Rumah Tradisional di Gorontalo ......................... 315
1. Makna Simbolis Rumah Tradisional di
Gorontalo .......................................................... 316
2. Makna Simbolis Rumah Bělě .......................... 320
3. Makna Simbolis Banthayo Pobo’idě dan
Dulohupa ........................................................... 322
4. Makna Simbolis Ornamen pada Masjid di
Gorontalo .......................................................... 324
5. Makna Simbolis Yiladiya ................................ 325

viii
6. Makna Simbolis Bentuk Motif Ornamen
Rumah Tradisional di Gorontalo ......................... 326

BAB VII KESIMPULAN ......................................................... 355


A. Kesimpulan ........................................................ 355
B. Saran ................................................................. 363
Kepustakaan ........................................................... 366
Glosarium ............................................................... 376
Lampiran ................................................................ 379

ix
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Bentuk tata ruang rumah residen di Gorontalo


(C.B.H. Von Rosenberg, 1865, 16, digambar kembali:
Fendi Adiatmono, 2014)
Gambar 2. Manuskrip empat sudut pandang dalam berperilaku
bagi orang di Gorontalo. (Koleksi: KITLV Leiden, kode
D or 510, digambar kembali: Fendi Adiatmono, 2014)
Gambar 3. Masjid yang pernah dikunjungi Gubernur Jenderal
A.C.D. Graef 1927 di Gorontalo. Bentuk motif ornamen
diletakkan pada peranginan. Bentuk tiang seperti gaya
Corinthia. (KITLV Leiden, kode: 11326)
Gambar 4. Masjid Hunto Sultan Amaij dibuat sekitar tahun 1562
terletak di Siendeng di kota Gorontalo.
(Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 5. Alur hubungan perdagangan di Pulau Sulawesi.
(Koleksi KITLV Leiden, 1801)
Gambar 6. Suku Vordato Gorontalo dengan rumah tinggalnya.
(C.B.H. Von Rosenberg, 1865, 120)
Gambar 7. Peta pembagian wilayah Limo lo Pohala’a 1879
(S. C. J. W. Van Musschenbroek, 1879)
Gambar 8. Keadaan Gunung Telu dan Teluk Gorontalo yang di
tumbuhi pohon Nolle
(C.B.H. Von Rosenberg, 1865, hal. 164)
Gambar 9. Danau Limboto Gorontalo,1910. Simbol sejarah
berakhirnya peperangan Gorontalo-Limboto.
(Foto: J.H.E. Van der Wal, Den Haag)
Gambar 10. Rumah tradisional Dulohupa yang telah dimusnahkan
karena dirobohkan tahun 2001 dan diganti bangunan
baru (Medi Botutihe & Farha Daulima,Tata Upacara
Adat Gorontalo, 2003)
Gambar 11. Hotel Veldberg di Kota Gorontalo 1910
(Koleksi KITLV Leiden, kode 31039)
Gambar 12. Kediaman Orang Eropa di Gorontalo 1890
(Koleksi KITLV Leiden)
Gambar 13. Dulohupa baru (Foto: Pipin Idris, 2007)
Gambar 14. Banthayo pobo’ide. (Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 15. Rumah tradisional di Kota Gorontalo
(Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 16. Rumah tradisional Suwawa Gorontalo
(Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 17. Rumah tradisional di Gorontalo
(Foto: I Komang Suarmika, 2007)
Gambar 18. Rumah tradisional Bone Bolango
(Foto: Fendi Adiatmono, 2007)

x
Gambar 19. Rumah tradisional di Kota Barat, Gorontalo
(Foto: I Komang Suarmika, 2007)
Gambar 20. Rumah tradisional milik Usman Bumulo di Padebuolo
(Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 21. Rumah tradisional di Botupingge, Gorontalo
(Foto: Ellias, 2007)
Gambar 22. Rumah tradisional di Gorontalo
(Foto: I Komang Suarmika, 2007)
Gambar 23. Rumah tradisional di Kota Selatan
(Foto: I Komang Suarmika, 2007)
Gambar 24. Rumah tradisional di Ipilo, Gorontalo
(Foto: Edi, 2007)
Gambar 25. Rumah tradisional di Kota Gorontalo
(Foto: I Komang Suarmika, 2007)
Gambar 26. Rumah tradisional di Padebuolo
(Foto Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 27. Tempat penyimpanan lowalungobělě
(Foto: I Komang Suarmika, 2007)
Gambar 28. Tempat penyimpanan Lowalungobělě pada rumah
tradisional di Gorontalo
(Foto: I Komang Suarmika, 2007)
Gambar 29. Rumah tradisional Gorontalo di Kota Timur
(Foto: I Komang Suarmika, 2007)
Gambar 30. Rumah orang Belanda di Gorontalo
(KITLV Leiden)
Gambar 31. Rumah asisten residen L.F. Hoeke tahun 1909
(KITLV Leiden, kode 32749)
Gambar 32. a. Ornamen pada rumah asisten residen L.F. Hoeke
tahun 1909 b. Ornamen pada pagar rumah orang
Eropa di Gorontalo (KITLV Leiden, digambar kembali:
Fendi Adiatmono, 2009)
Gambar 33. Awal perkampungan orang Cina di Gorontalo 1900
(Koleksi KITLV Leiden, kode 91561)
Gambar 34. Perkampungan Cina di Jl. Penghulu Gorontalo
(KITLV Leiden, 1900)
Gambar 35. Rumah peribadatan orang Cina di Kota Gorontalo
masa kini (Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 36. Rumah tradisional orang Manado di Gorontalo 1930
(KITLV Leiden, kode: KLV001010467)
Gambar 37. Ornamen pada rumah etnis Arab di Kota Gorontalo
(Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 38. Hubungan milik etnis Arab di Gorontalo
(Foto: Fendi Adiatmono, 2007)

xi
Gambar 39. Rumah tradisional Ternate (KITLV Leiden, 1900)
Gambar 40. Ornamen peranginan rumah milik Kontrolir P.E.
Molenburgh di Ternate, 1903 (KITLV Leiden, kode:
KLV001003283)
Gambar 41. Bentuk tangga (Foto: Multi Hasan, 2007)
Gambar 42. Bentuk sambungan tiang penyangga rumah
tradisional Gorontalo (Foto: Erwin Panigoro, 2007)
Gambar 43. Sambungan purus lurus
(Budi Martono, Teknik Perkayuan Jilid 1, 2008)
Gambar 44. Sambungan bentuk bibir lurus tekan dada miring
(Budi Martono, Teknik Perkayuan Jilid 1, 2008)
Gambar 45. Sambungan takikan lurus ekor burung
(Budi Martono, Teknik Perkayuan Jilid 1, 2008)
Gambar 46. Sambungan landasan rumah dan papan bawah
(Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 47. Sambungan landasan rumah dan papan bawah
(Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 48. Sambungan landasan rumah dan papan bawah
(Budi Martono, Teknik Perkayuan Jilid 1, 2008)
Gambar 49. Sambungan bibir miring
(Budi Martono, Teknik Perkayuan Jilid 1, 2008)
Gambar 50. Sambungan raveling tekan
(Budi Martono, Teknik Perkayuan Jilid 1, 2008)
Gambar 51. a. Sambungan tarik dada tegak.
b. Sambungan berkait dada mulut ikan
(Budi Martono, Teknik Perkayuan Jilid 1, 2008)
Gambar 52. a. Sambungan tiang dengan ibu pintu dan
b.Sambungan takikan setengah ekor burung
(Budi Martono, Teknik Perkayuan Jilid 1, 2008)
Gambar 53. Biliinga atau bubungan
(Foto: I Komang Suarmika, 2007)
Gambar 54. Biliinga atau bubungan
(Foto: Multi Mutia Hasan, 2007)
Gambar 55. Bentuk motif geometris ornamen pada jendela
(Foto: I Komang Suarmika, 2007)
Gambar 56. Ornamen kuda-kuda rumah tradisional di Suwawa
(Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 57. Ornamen pada jendela, peranginan dan papan pinggir
di Suwawa (Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 58. Ornamen papan pinggir
(Foto: I Komang Suarmika, 2007)
Gambar 59. Ornamen pada kuda-kuda rumah tradisional di Kota
Selatan, Gorontalo (Foto: I Komang Suarmika, 2007)
Gambar 60. Ornamen pada peranginan rumah tradisional Limboto,
Gorontalo (Foto: Fendi Adiatmono, 2007)

xii
Gambar 61. Ornamen pada kuda-kuda di Suwawa
(Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 62. Jendela (bahasa Gorontalo: Tutuloa) rumah tradisional
Gorontalo (Foto: I Komang Suarmika, 2007)
Gambar 63. Jalamba pada pagar rumah tradisional Gorontalo
(Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 64. Alikusu. (Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 65. a. Motif bunga b. Jalamba
(Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 66. Pagar pada rumah tradisional di Gorontalo
(Foto: I Komang Suarmika, 2007)
Gambar 67. Ornamen rumah tradisional di Padebuolo, Gorontalo
(Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 68. Ornamen rumah tradisional di Limboto
(Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 69. Ornamen rumah tradisional di Padebuolo, Gorontalo
(Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 70. Ornamen pada peranginan banthayo pobo’idě
(Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 71. Ornamen motif kipas pada peranginan rumah
tradisional Gorontalo (Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 72. Ornamen pada papan pinggir banthayo pobo’idě
(Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 73. Ornamen rumah tradisional di Suwawa
(Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 74. Ornamen rumah tradisional di Suwawa
(Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 75. Ornamen rumah tradisional di Suwawa
(Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 76. Ornamen pada pagar di Suwawa
(Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 77. Ornamen pada peranginan rumah di Suwawa
Gorontalo (Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 78. Ornamen pada kuda-kuda di Padebuolo Kota Timur,
Gorontalo (Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 79. Ornamen di Kota Timur, Gorontalo
(Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 80. Ornamen di Kota Timur (Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 81. Ornamen kaligrafi Arab pada rumah tradisional
Padebuolo Kota Timur (Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 82. Ornamen kaligrafi Arab pada rumah tradisional milik
Usman Bumulo yang dibuat tahun 1917 di Padebuolo
Kota Timur, Gorontalo (Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 83. Ornamen pada peranginan di Kota Selatan, Gorontalo
(Foto: Fendi Adiatmono, 2007)

xiii
Gambar 84. Lisplang rumah di Kota Gorontalo
(Foto: I Komang Suarmika, 2007)
Gambar 85. Ornamen pada atas pintu rumah tradisional Gorontalo
(Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 86. Ornamen pada pagar rumah di Kota Gorontalo
(Foto: I Komang Suarmika, 2007)
Gambar 87. Ornamen rumah tradisional di Kota Gorontalo
(Foto: I Komang Suarmika, 2007)
Gambar 88. Ornamen kaligrafi Arab ‘Allah-Allah’ rumah tradisional
di Kota Gorontalo (Foto: I Komang Suarmika, 2007)
Gambar 89. Ornamen pada peranginan rumah tradisional di
Limboto, Gorontalo (Foto: I Komang Suarmika, 2007)
Gambar 90. Ornamen pada peranginan rumah tradisional di
Limboto, Gorontalo (Foto: I Komang Suarmika, 2007)
Gambar 91. Ornamen kaligrafi Arab pada rumah tradisional di
Limboto, Gorontalo (Foto: I Komang Suarmika, 2007)
Gambar 92. Ornamen rumah tradisional di Limboto
(Foto: I Komang Suarmika, 2007)
Gambar 93. Ornamen pada peranginan di Kota Barat, Gorontalo.
(Foto: I Komang Suarmika, 2007)
Gambar 94. Ornamen motif tumbuhan dan hewan di Kota Barat,
Gorontalo (Foto: I Komang Suarmika, 2007)
Gambar 95. Ornamen dulohupa (Botutihe, 2004)
Gambar 96. Ornamen pada peranginan di Kampung Bugis. Kota
Timur (Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 97. Gaya Eropa bangunan rumah di Gorontalo yang
dibangun dengan mengadopsi tiang Ionia.
(Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 98. Bentuk motif gaya Doria, Ionia dan Corinthia. Tiang
Romawi disandingkan dengan Yunani (La Rue van
Hook, Greek Life and Thought: A Portrayal of Greek
Civilization, 1948)
Gambar 99. Desain kuda-kuda (bahasa Gorontalo: Bilinga)
(E.E.W.G. Schroder, Gorontalosche Woordenlijst, S-
Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1908, 26)
Gambar 100. Desain atap (bahasa Gorontalo: Atã)
(E.E.W.G. Schroder, Gorontalosche Woordenlijst, S-
Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1908, 26)
Gambar 101. Desain rangka atap (bahasa Gorontalo: duluhu)
(E.E.W.G. Schroder, Gorontalosche Woordenlijst, S-
Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1908, 26)
Gambar 102. Desain rangka rumah (bahasa Gorontalo: palidulu)
(E.E.W.G. Schroder, Gorontalosche Woordenlijst, S-
Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1908, 26)

xiv
Gambar 103. Ornamen pada pintu (bahasa Gorontalo: pakadanga)
(E.E.W.G. Schroder, Gorontalosche Woordenlijst, S-
Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1908, 27)
Gambar 104. a. Zie b. Jala-jala atau Kisi-kisi
(E.E.W.G. Schroder, Gorontalosche Woordenlijst, S-
Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1908,115)
Gambar 105. a. Rumah tradisional Vordato Gorontalo masa
animisme dan dinamisme abad ke-16 (J.T.F. Riede,
post card, tahun 1871-1887), b. Rumah orang
Gorontalo abad ke-17 (C.B.H. Von Rosenberg,
Teistogten in de Afdeling Gorontalo Gedaan op Las Der
1865)
Gambar 106. a dan b Kartu pos yang menggambarkan orang
Gorontalo (J.T.F. Riede tahun 1871-1887)
Gambar 107. Kartu Pos tentang orang Gorontalo.
(J.T.F. Riede tahun 1871-1887)
Gambar 108. Suku Polahi Gorontalo
(Dokumentasi: Opha Woretma, 2001)
Gambar 109. Kartu pos yang menggambarkan orang Gorontalo.
(J.T.F. Riede tahun 1871-1887)
Gambar 110. Bentuk ornamen peranginan kantor Belanda di
Ternate. (KITLV Leiden, 1900)
Gambar 111. Dua simbol naga yang berada di atap klenteng Tian
HouKiong, Gorontalo (Foto: Budi Susilo, 2013)
Gambar 112. Model sepasang pengantin Gorontalo
(Foto: Nurhayati Dawali, 2011)
Gambar 113. Ornamen Cina di Sulawesi
(Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 114. Ornamen peranginan Suwawa Gorontalo
(Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 115. Ornamen banji Cina (Foto: Fendi Adiatmono, 2004)
Gambar 116. Ornamen Cina
(Owen Jones. The Grammar of Ornament. London,
1856, 73)
Gambar 117. Ornamen Cina
(Owen Jones. The Grammar of Ornament. London,
1856, 73)
Gambar 118. Ornamen Cina
(Owen Jones. The Grammar of Ornament. London,
1856, 73)
Gambar 119. Ornamen peranginan gaya universal Biawao,
Gorontalo (Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 120. Ornamen pada peranginan di Kota Utara, Gorontalo
(Foto: Pipin Idris 2007)

xv
Gambar 121. Ornamen Cina
(Owen Jones. The Grammar of Ornament. London,
1856, 73)
Gambar 122. Ornamen di Kota Selatan, Gorontalo
(Foto: I Komang Suarmika, 2007)
Gambar 123. Ornamen Arab
(Owen Jones. The Grammar of Ornament. London,
1856, 73)
Gambar 124. Ornamen Arab yang ada di Gorontalo
(Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 125. Ornamen milik Usman Bumulo yang dibuat tahun
1917 di Gorontalo (Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 126. Ornamen di Kota Utara, Gorontalo (Foto: Elias, 2007)
Gambar 127. Ornamen peranginan dari Arab
(Owen Jones. The Grammar of Ornament. London,
1856, 73)
Gambar 128. Royal pakadanga pada rumah tradisional di Kota
Gorontalo. (Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 129. Royal pakadanga sederhana di Kota Gorontalo
(Foto: Fendi Adiamono, 2007)
Gambar 130. Heemskerk. Kapal perusahaan pelayaran paket
untuk tujuan Gorontalo tahun 1910. (KITLV Leiden,
kode: 13757)
Gambar 131. Rumah orang Eropa di Gorontalo tahun 1926 yang
bergaya Doria (KITLV Leiden, kode 171115)
Gambar 132. a. Ukiran pada kayu dari Sulawesi Selatan, b.
Tumpal Manado, Sulawesi Utara (A. N. J. Th. â Th.
Van der Hoop, Indonesische Siermotieven, 1949, 71
dan 25).
Gambar 133. Rumah di Leiden Belanda 1834 yang bergaya Ionia
(Foto: Fendi Adiatmono, 2008)
Gambar 134. Sketsa ornamen rumah tradisional Manado di
Gorontalo (KITLV Leiden, digambar ulang: Fendi
Adiatmono, 2007)
Gambar 135. Ornamen Arab
(Owen Jones. The Grammar of Ornament. London,
1856, 73)
Gambar 136. Disain ornamen rumah tradisional Gorontalo
(KITLV Leiden, digambar ulang: Fendi Adiatmono,
2007)
Gambar 137. Gus Dur memakai kopiah tradisional muslim
Gorontalo (Reuter)
Gambar 138. Ornamen bentuk motif kaligrafi rumah tradisional
Biawao (Foto: Fendi Adiatmono, 2007)

xvi
Gambar 139. Ornamen peranginan rumah tradisional Biawao.
(Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 140. Ornamen peranginan rumah tradisional Biawao.
(Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 141. Sketsa basi Gorontalo dalam membuat pahangga
(Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 142. Sketsa basi Gorontalo (Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 143. Ornamen peranginan rumah tradisional Biawao.
(Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 144. Hiasan berbentuk kepala rusa rumah tradisional
Gorontalo. Hiasan ini dipasang pada banthayo pobo’idě
(Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 145. Bentuk tangga Dulohupa yang telah musnah
(Foto: Ilena, 2000)
Gambar 146. Bentuk motif alikusu petanda kedatangan de Graeff
1927 (KITLV Leiden, kode 11321)
Gambar 147. a. Ornamen peranginan pintu utama, b. Ornamen
peranginan atas jendela, c. Ornamen peranginan atas
jendela, d.Ornamen peranginan papan pinggir pada
rumah dinas A.C.D. de Graef di Gorontalo (KITLV
Leiden, digambar ulang: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 148. Ornamen Eropa
(Owen Jones, The Grammar of Ornament, 1856)
Gambar 149. Ornamen lisplang di Gorontalo
(Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 150. Ornamen Eropa
(Owen Jones. The Grammar of Ornament, 1856)
Gambar 151. Ornamen peranginan pada kuda-kuda rumah
tradisional Gorontalo (Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 152. Ornamen peranginan pada masjid tertua Gorontalo
(Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 153. Ornamen peranginan masjid tertua di Gorontalo
(Foto: Fendi Adiatmono, 2007)
Gambar 154. Ornamen peranginan rumah tradisional di Suwawa
(Foto: Fendi Adiatmono, 2007)

xvii
TABEL DAN SKEMA

Tabel 1. Pertumbuhan Populasi Penduduk Beberapa Daerah


Sulawesi Utara, 1600-1930. (David Henley, 2002) ..... 95
Skema 1. Cara Kerja Pembedahan Bentuk Motif Ornamen ........ 41
Skema 2. Skema Hermeneutika Romantisme (Maulidin, dalam
Mudjia Raharjo, 2008) .............................................. 49
Skema 3. Analisis Data Model Interaktif (Mattew B. Miles & A.
Michel Huberman,terj. Rohidi, tt.: 20. Didesain ulang:
Fendi Adiatmono, 2014). ........................................... 60
Skema 4. Uji Kredibilitas Sumber dan Teknik (Sugiyono, 2006: 372-
373 dan dikembangkan peneliti) .............................. 62
Skema 5. Persebaran Ornamen Berdasarkan Bentuk Motifnya pada
Jendela Paranginan, Pintu dan Kuda-kuda ................ 251
Skema 6. Persebaran Bentuk Motif Ornamen Rumah Tradisional di
Gorontalo dalam Satuan Wilayah Propinsi .................. 202
Skema 7. Pesebaran Ornamen dengan Rumah Tradisional
Gorontalo berdasarkan Coraknya .............................. 252

xviii
FORM OF MOTIVES, APPLICATION, MEANINGS OF SYMBOLS
ORNAMENTS TRADITIONAL HOUSES OF GORONTALO
YEARS 1890 – 2001

Abtract

Gorontalo people had a set of activities that are focused on a


traditional house or bělě, like banthayo pobo’idě and dulohupa. That
house has some form of ornamental motifs. The ethnic of Gorontalo first
built by their traditional house, it was used for unifying 5 different
regions (Gorontalo, Limboto, Bone, Boalemo and Atinggola).
This research aims to determine the distribution of forms, motifs,
themes, and the application of the traditional house ornaments in
Gorontalo years 1890-2001. Observed data in the form of Gorontalo
traditional house ornaments placed on the netting or roof made of
boards, lisplang, jalusi or air vents, tutulowa or house of window, fence
or jalamba, uhěbu or house door, and the lowalungobělě or door for
storage. Moreover, it can also note the presence of style (rhythm
preparation) and character (the main inspiration object) to some
traditional houses ornaments of Gorontalo.
The book which would be referenced in this qualitative research,
especially on the issue of Koentjaraningrat acculturation theory, namely
Anthropology methods in society research and culture in Indonesia.
Classification of various ethnic groups in the eastern part of Indonesia,
especially Gorontalo, North Sulawesi and Central Sulawesi is a region
immediately adjacent, so it is possible the work of local ornament will
touch each other. Infiltration traditional house ornaments that developed
in Gorontalo is also not free from the newcomers like Ternate, Chinese,
Dutch, and Arabic.
To understanding the traditional house ornaments of Gorontalo
reseacher uses Raymond Firth's method to determine the symbolic
meaning used as guidance and social order. This qualitative research
uses the theories and concepts from several disciplines of History,
Anthropology the main emphasis is acculturation and also on the
meaning of ornaments so that it can be done with a multidisciplinary
approach.
The results of this research are expected to provide a view of the
traditional houses of Gorontalo ornaments as a foothold in the
development of ethnic self-identity Gorontalo. Especially the explanation
of the role of the symbol of democracy as a solution to the crisis uses
method elongated history explanation of a historical explanation of
Kuntowijoyo.

Keywords: Ornaments, traditional houses, identity.

xix
INTISARI

Orang Gorontalo memiliki himpunan kegiatan yang


dipusatkan pada rumah atau bělě tradisional, seperti banthayo
poboidě dan dulohupa. Rumah tersebut mempunyai beberapa
bentuk motif ornamen. Etnik Gorontalo pertama kali dibangun
melalui rumah tradisional tersebut, ternyata berimplikasi
mempersatukan ke-5 wilayah yang berbeda (Gorontalo, Limboto,
Bone, Boalemo dan Atinggola).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persebaran
bentuk, motif, tema, dan penerapan pada ornamen rumah
tradisional di Gorontalo tahun 1890-2001. Data yang diamati
berupa ornamen rumah tradisional Gorontalo yang diletakkan
pada jala-jala atau atap yang terbuat dari papan, lisplang, jalusi
atau ventilasi udara, tutulowa atau jendela rumah, jalamba atau
pagar, uhěbu atau pintu rumah, dan lowalungobělě atau pintu
penyimpanan. Selain itu dapat juga diketahui adanya gaya (irama
penyusunan) dan karakter (penjiwaan utama objek) pada beberapa
ornamen rumah tradisional di Gorontalo.
Buku yang akan diacu pada penelitian kualitatif ini
terutama pada masalah teori akulturasi Koentjaraningrat, yakni
Metode-metode Anthropologi Dalam Penjelidikan Masyarakat dan
Kebudayaan di Indonesia. Klasifikasi aneka suku bangsa di
wilayah Indonesia bagian Timur khususnya Gorontalo, Sulawesi
Utara, dan Sulawesi Tengah merupakan wilayah yang berbatasan
langsung, sehingga dimungkinkan karya ornamen daerah tersebut
akan saling bersentuhan. Perembesan ornamen rumah tradisional
yang berkembang di Gorontalo juga tidak lepas dari para
pendatang seperti Cina, Belanda, dan Arab.
Pada makna simbolis ornamen rumah tradisional di
Gorontalo peneliti menggunakan pendekatan Raymond Firth
untuk mengetahui makna simbolis yang digunakan orang
Gorontalo sebagai tuntunan dan tatanan sosial. Penelitian
kualitatif ini menggunakan teori dan konsep dari beberapa disiplin
ilmu Sejarah, Anthropologi pada penekanan akulturasi dan
penekanan pada makna ornamen sehingga bisa dilakukan dengan
pendekatan multidisiplin.
Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan suatu
pandangan atau gambaran tentang ornamen rumah tradisional di
Gorontalo sebagai pijakan dalam pengembangan diri identitas
etnis di Gorontalo terutama perannya sebagai simbol musyawarah
dan solusi krisis dengan penjelasan sejarah memanjang
Kuntowijoyo.

Kata Kunci: Ornamen, rumah tradisional, identitas.

xx
DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH

afdeeling : Satuan wilayah dalam administrasi kolonial


sebagai bagian dari keresidenan dan dipimpin
oleh asisten residen
algemeen verslag : Laporan tiap tahun kepala daerah kepada
gubernur jendral biasanya dibuat olehresiden
Asisten Residen : Pejabat daerah Belanda di bawah residen yang
satuan wilayah afdeeling
distrik : Satuan daerah yang menjadi bagian
onderafdeling namun dipimpin oleh penguasa
pribumi marsaoleh
EIC : East Indie Company. Kongsi dagang Ingris
yang berpusat di India
Gezaghebber : Jabatan kolonial setingkat kontroleur yang
memegang administrasi sipil namun dipegang
oleh militer biasanya jabatan ini bersifat
darurat bagi daerah yang baru ditklukan
Belanda
Jogugu : Perdana Menteri atau pelaksana perintah raja,
istilah ini berasal dari Ternate
Kaicil : gelar bangsawan tinggi Gorontalo setingkat
pangeran.
Kawedanan : "ke-wedana-an", bahasa Jawa adalah wilayah
administrasi kepemerintahan yang berada di
bawah kabupaten dan di atas kecamatan yang
berlaku pada masa Hindia Belanda
Kimalaha : Status Kepala Unit Wilayah Tingkat Dua
KIT : Koninklijk Instituut voor de Tropen,
(Tropenmuseum Royal Tropical Institute)
KITLV : Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en
Volkenkunde (Royal Netherlands Institute of
Southeast Asian and Caribbean Studies).
KLV : Koninklijk Land- en Volkenkunde
Kolonial Verslag : Laporan dari tanah jajahan yang dibuat oleh
Mentri Kolonial untuk dibacakan di depan
Sidang Tahunan Parlemen Belanda
Kontroluer : Pejabat kolonial Belanda di bawah asisten
residen yang membawahi suatu onder afdeeling
KPM : Koninklijk Paketvaart Maatschappij
Perusahaan perkapalan nasional Belanda yang
diberi monopoli untuk pelayaran domestik dan
internasional di Inonesia pada akhir abad XIX
Limo Lo Pohalaa : Lima bersaudara

xxi
Marsaoleh : Kepala daerah atau satuan wilayah di bawah
raja, berasal dari bahasa Ternate.
Memori van Overgave : Laporan serah terima jabatan setiap kepala
daerah Belanda pada akhir masa jabatannya
tentang semua peristiwa di daerahnya selama
dia memerintah
Negori : Satuan wilyah terkecil setingkat kampung
Olongia : Kepala desa di bawah, pada masa lalu juga
digunakan untuk menyebut sesorang yang
berpengaruh di daerah tertentu
Onder afdeeling : Satuan aerah administrasi kolonial di bawah
pimpinan kontroleur atau civil gazaghebber,
menjadi bagian dari afdeeling
Onder koopman : Jabatan dalam struktur birokrasi VOC di
bawah Opper koopman
Opper koopman : Jabatan dalam struktur birokrasi VOC di atas
Onder koopman
Raja Gouvernement: Raja yang memerintah atau yang
mengeluarkan perintah
Raja Negori : Raja yang melaksanakan perintah
Residen : Pejabat Belanda yang mebawahi suatu
wilayah karesidenan dalam struktur
administrasi kolonial kedudukannya di bawah
gubernur. Misalnya Residen Manado yang
membawahi seluruh Sulawesi Utara dan
Sulwesi Tengah
VOC : Vereenigde Oost-Indische Compagnie (Kongsi
dagang Belanda yang diberi hak kekuasaan
oleh Raja Belanda untuk memerintah daerah
taklukannya).
Wala apulu : Kepala kampung di bawah Olongia
Walea lolipu : Kepala satuan daerah dibawah Marsaoleh
setingkat camat sekarang

xxii
TANDA BACA DAN EJAAN

Beberapa penulisan dalam buku ini menggunakan sumber

tanda baca dan ejaan bahasa daerah Gorontalo, seperti untuk

huruf vokal yang berbunyi ‘e’ pada kata ‘bele’ mendapat tanda

baca khusus ‘ê’ menjadi ‘bêlê’. Demikian pula pada kata banthayo

poboidě, yang merupakan penekanan vokal ‘ě’.

Nama orang yang masih menggunakan ejaan lama, tetap

ditulis dengan ejaan lama tetapi dengan huruf biasa, seperti:

Soedarsono dan Koentjaraningrat.

xxiii
CHAPTER I

PENGANTAR

Pada abad ke-16 Portugis dan Spanyol menguasai pelayaran


ke Asia serta menguasai perdagangan rempah-rempah antara Asia
dengan Eropa, khususnya perdagangan lada. Perkembangan
selanjutnya di Eropa Raja Portugal memiliki berkuasa atas
pengangkutan dan pembelian hasil bumi dari Asia. Orang Belanda
merasa dirugikan oleh tindakan Portugal tersebut, dan akhirnya
berusaha mencari jalan sendiri untuk menghindari monopoli
perdagangan Portugal. Atas inisiatif Staten-Generaal (Dewan
Rakyat) pada tanggal 20 Maret 1602 didirikan perusahaan dagang
VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) di Amsterdam, yang
kemudian berkembang di berbagai kota lainnya. Para pedagang
besar Belanda sebagai pemegang sahamnya. Dalam waktu hanya
lima tahun VOC memiliki 15 armada yang terdiri dari 65 kapal
yang memulai pelayarannya dari pelabuhan-pelabuhan Rotterdam,
Amsterdam, Middelburg, Vlissingen, Veere, Delft, Hoorn dan
Enkhuizen. Sebelum terbentuknya VOC, ekspedisi Belanda
pertama ke Asia telah melakukan tiga kali pelayaran antara tahun
1594 – 1596 namun mengalami kegagalan. VOC merupakan
perusahaan multinasional yang pertama di dunia yang tersebar di
banyak negara. Dalam melaksanakan kegiatan perdagangannya
tidak segan-segan melakukan tindakan-tindakan yang tidak
beradab, termasuk pembunuhan terhadap penduduk dan
memperlakukan penduduk asli sebagai budak tanpa rasa
perikemanusiaan khususnya di Indonesia. Persaingan antara
Belanda dan Portugis dalam perdagangan rempah-rempah di
kepulauan Maluku berakhir ketika Belanda berhasil membangun
permukiman tetap dengan mengusir Portugal pada tgl 23 Februari
1605. 1Secara umum Belanda berhasil menggantikan posisi
Portugal mendapatkan sumber hasil bumi dari kepulauan
Nusantara. Selama dua abad menguasai bumi Indonesia, VOC
telah bertindak dan memerintah dengan menggunakan kekuasaan
militer menekan dan mengadu-domba kerajaan-kerajaan

1Erlina Wiyanarti, “Korupsi Pada Masa VOC Dalam Multiperspektif”,

Artikel Historia (Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia),4

xxiv
setempat, memberlakukan hukumnya sendiri di seluruh
Indonesia, memiliki pengadilan sendiri dan melakukan
perdagangan monopoli yang sangat merugikan rakyat. Bagi
Belanda VOC merupakan kenyataan sejarah yang membanggakan
karena memberi nilai tambah yang tidak kecil kepada rakyat
Belanda, dan karena alasan itu Kementerian Pendidikan Belanda
memprakarsai peringatan dan perayaan 400 tahun VOC secara
nasional yang pelaksanaannya dilakukan oleh swasta di seluruh
negeri. VOC juga dianggap telah membawa kemakmuran serta
kekayaan kultur bagi negara Belanda, bahkan dianggap membawa
cakrawala baru karena berhasil menguasai kawasan-kawasan
dunia baru. VOC dinilai berhasil mendorong berbagai
perkembangan kemasyarakatan, dan dengan mengarungi lautan
telah memperkaya bangsa Belanda belajar tentang bangsa-bangsa
lain.
Peringatan dan perayaan 400 tahun VOC akan dilakukan di
6 kota dan dipusatkan di Ridderzaal melalui pameran dan
penyediaan informasi tentang VOC sepanjang tahun 2002.
Pandangan terhadap peran VOC di Indonesia
Dr Gerrit Knaap dari KITLV (Belanda), dalam tulisannya berjudul
“Dutch Perception of Indonesian History, Anno 2001” dalam
sarasehan mengenai sejarah hubungan Indonesia-Belanda di KBRI
Den Haag pada bulan Agustus 2001, a.l. mengatakan sebagai
berikut.
...personally, I fully agree to the fact that the VOC in Indonesia
was nothing more and nothing less than a colonial state. This
was already imminent in the charter by which the VOC was
founded in 1602, where it was stipulated by the government
that this company not only should be the exclusive Dutch
Organization to trade in the area between Cape of Good Hope
and Cape Hoorn, but that also possessed the right to wage
war, make peace and built fortress in that area. War, peace
and fortress are attributes of a state, not of a trader.

Anhar Gonggong mengatakan bahwa VOC merupakan


simbol dari kehendak Belanda untuk mendapatkan keuntungan
ekonomi-perdagangan sekaligus perluasan wilayah kolonialnya.
VOC merupakan suatu kongsi dagang monopolistis yang
dipersenjatai memiliki kedaulatan atas wilayah-wilayah tertentu

xxv
yang diperolehnya dengan merampas. Hal itu merupakan tindakan
awal dari kekuatan-kekuatan imperialis-kolonialistik dan proses
awal penancapan kekuasaan kolonialistik yang didorong oleh motif
ekonomi-merkantil. Motif ini hanya bisa berhasil kalau didukung
oleh pemerintah Belanda dengan memberi bantuan militer. Salah
satu keberhasilan VOC menguasai seluruh wilayah Indonesia
adalah melalui kemampuannya memanfaatkan sikap bangsa kita
yang mudah diadu-domba karena keragaman etnis. VOC juga
menggunakan penguasa bangsa Indonesia sendiri untuk menekan
rakyatnya.
Inisiatif Staten-Generaal (semacam Dewan Rakyat) pada
tanggal 20 Maret 1602 didirikan perusahaan dagang VOC
(Vereenigde Oost Indische Compagnie) di Amsterdam, Balai Harta
Peninggalan (disingkat BHP) merupakan Unit Pelaksana Teknis
instansi pemerintah yang secara struktural berada dibawah
Direktorat Perdata, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum
Umum, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia. Sejarah dan pembentukan Balai Harta Peninggalan
dimulai dengan masuknya bangsa Belanda ke Indonesia pada
tahun 1596, yang pada mulanya mereka datang sebagai pedagang.
Dalam dunia perdagangan di Indonesia mereka bersaing dengan
pedagang-pedagang asing lainnya, seperti Cina, Inggris, dan
Portugis yang memiliki armada-armada besar. Untuk menghadapi
persaingan tersebut orang-orang Belanda kemudian pada tahun
1602 mendirikan suatu perkumpulan dagang yang diberi nama
VOC yang oleh bangsa kita disebut Kumpeni. Lama kelamaan
kekuasaan VOC di Indonesia semakin meluas, maka akhirnya
timbullah kebutuhan bagi para anggotanya khusus dalam
mengurus harta kekayaan yang ditinggalkan oleh mereka bagi
kepentingan para ahli waris yang berada di Nederland, anak-anak
yatim piatu dan sebagainya. Untuk menanggulangi kebutuhan
itulah oleh Pemerintah Belanda dibentuk suatu lembaga yang
diberi nama ''Wees-en Boedelkamer'' atau ''Weskamer'' (Balai Harta
Peninggalan) pada tanggal 1 Oktober 1624 berkedudukan di
Jakarta. Sedangkan pendirian Balai Harta Peninggalan didaerah
lain sejalan pula dengan kemajuan territorial yang dikuasai VOC,
untuk memenuhi kebutuhan orang-orang VOC. Secara lengkap
data-data mengenai pendirian Balai Harta Peninggalan ditempat-
tempat lain tidak dapat diketemukan lagi, tetapi dapat dicatat

xxvi
bahwa Balai Harta Peninggalan di Banda pada tahun 1678 sudah
ada, di Ambon tahun 1694, di Ternate tahun 1695, di Ujung
Pandang tahun 1696, di Semarang dapat diketahui didirikan
tanggal 17 Mei 1763, di Padang tahun 1739, dan di Surabaya
tahun 1809. Mengenai Perwakilan-Perwakilan Balai Harta
Peninggalan diketahui sudah ada di Palembang tahun 1691, di
Jepara tahun 1727, di Banten tahun 1725, di Cirebon tahun 1739,
di Timor tahun 1764 dan di Bengkulu tahun 1827.2 Sebagai
panduan dalam menjalankan tugasnya sehari-hari diberikan
dalam suatu Instruksi. Sepanjang sejarahnya Weeskamer / Balai
Harta Peninggalan mengenal 4 macam Instruksi yaitu : 1. Tanggal
16 Juli 1625 terdiri dari 49 pasal yang mengatur organisasi dan
tugas-tugas Weeskamer (Balai Harta Peninggalan). 2. Tahun 1642,
pada perlakuan kodifikasi pertama hukum Indonesia, yang isinya
kira-kira sama dengan yang pertama. 3. Stbl. 1818 No.72, yang
dibuat setelah pemulihan kembali kekuasaan Belanda di
Indonesia sesudah Pemerintahan tentara Inggris, juga dalam hal
ini tidak banyak perbedaan dengan yang terdahulu. 4. Stbl. 1872
No.166 yang didasarkan pada berlakunya perundang-undangan
baru di Indonesia pada tahun 1848 dan masih berlaku sampai
sekarang.3
Waris berarti ‘orang yang berhak menerima pusaka
(peninggalan) orang yang telah meninggal’. Warisan berarti ‘harta
pusaka peninggalan’. Mewarisi dalam tulisan ini bermakna
‘menerima sesuatu yang ditinggalkan untuk dijaga dan
dikembangkan’, misalnya bangsa Indonesia mewarisi nilai budaya
luhur peninggalan nenek moyang yang hidup pada zaman dahulu.
Mewariskan berarti memberi pusaka (peninggalan) kepada
seseorang atau generasi lanjutan. Menjadikan waris meskipun
bukan waris jika diwariskan oleh orang yang meninggal itu
menjadi waris juga. Pewaris berarti ‘yang memberi pusaka’. Orang
Gorontalo memiliki harta pusaka semenjak abad ke-16. Harta
pusaka tersebut sangat dihormati dan dianggap keramat oleh
orang Gorontalo. Identitas etnik Gorontalo pertama kali dibangun
melalui rumah tradisional berimplikasi mempersatukan kelima
wilayah yang berbeda (Gorontalo, Limboto, Bone, Boalemo dan

2Periksa Adriaan W Bedner, Sulistyowati Irianto, Jan Michiel Otto,

Theresia Dyah Wirastri, (ed.), Kajian Sosio-Legal (Leiden: Universitas Leiden,


2002), 22.
3Periksa Adriaan W Bedner dkk., 22.

xxvii
Atinggola).4 Rumah tradisional Gorontalo merupakan sarana yang
memberikan kontribusi tatanan adat budaya Gorontalo.
Parmono Atmadi seorang ahli arsitektur menyatakan bahwa
arsitektur dapat memberi petunjuk mengenai cara hidup, tingkat
perkembangan sosial, ekonomi budaya, dan kepercayaan suatu
zaman tertentu.5 Dari pernyataan tersebut menunjukkan bahwa
arsitektur rumah dapat menjelaskan mengenai masa lalu dari
suatu masyarakat yang menggunakan rumah tradisional. Rumah
tradisional cenderung memiliki bentuk arsitektur yang sama
secara turun-temurun. Pada bagian rumah tradisional terdapat
bentuk motif ornamen kadang mirip dengan rumah tradisional
dari daerah lain. Rumah tradisional di Gorontalo merupakan
suatu cara untuk mengenal Gorontalo mengenai cara hidup,
tingkat perkembangan sosial, ekonomi budaya, dan kepercayaan.
Orang yang hidup di Gorontalo memiliki himpunan kegiatan
adat budaya dipusatkan pada rumah tradisional, seperti Banthayo
Poboidě dan Dulohupa. Identitas etnik di Gorontalo pertama kali
yang dibangun melalui rumah tradisional tersebut berimplikasi
mempersatukan kelima wilayah yang berbeda (Gorontalo, Limboto,
Bone, Boalemo dan Atinggola).6 Rumah tradisional di Gorontalo
merupakan sarana yang memberikan kontribusi tatanan adat
budaya di Gorontalo. Pada rumah tradisional di Gorontalo di
dalamnya terdapat ornamen penghias peranginan, jendela, pintu,
dan pagar.
Ada beberapa rujukan yang menjelaskan bahwa rumah
tradisional ini dipergunakan sebagai titik pusat kegiatan seni
budaya di Gorontalo. Rujukan tersebut di antaranya adalah Sastra
Lisan Tahuli. Sastra ini menyebutkan bahwa rumah tradisional di
Gorontalo adalah Banthayo Poboidě Pohintuwato atau Banthayo
Poboidě sebagai tempat bertanya dan pedoman berkarya seni
budaya di Gorontalo atau Paduma lo Ilomata.7 Indikasi adanya
rumah tradisional di Gorontalo mempunyai peluang untuk dapat

4Medi Botutihe & Farha Daulima, Tata Upacara Adat Gorontalo


(Gorontalo: Generasi Penerus, 2003), i.
5Parmono Atmadi, “Arsitektur dan Pengembangannya di Indonesia”,

Pidato Pengukuhan Guru Besar Arsitektur (Yogyakarta: Fakultas Teknik,


Universitas Gadjah Mada, 19 November 1981), 3.
6Medi Botutihe & Farha Daulima, Tata Upacara Adat Gorontalo
(Gorontalo: Generasi Penerus, 2003), i.
7Farha Daulima, Sastra Lisan Tahuli (Gorontalo: Forum Suara
Perempuan LSM Mbu’i Bungale Limboto, Edisi ke-1, Juli, 2005), 3.

xxviii
diterima dan dipergunakan sebagai tempat aktivitas komunikasi
seni budaya. Banthayo Poboidě bisa menentukan tumbuh dan
berkembangnya seni budaya di Gorontalo. Perkembangan seni
budaya tersebut menuju ke arah identitas diri masyarakat di
Gorontalo. Hal ini bisa dilakukan dengan menunjukkan,
mempertahankan, dan mengembangkan bentuk motif ornamen
rumah tradisionalnya. Gejala tunggal tentang pencarian identitas
diri di Gorontalo yang meminjam ornamen rumah tradisional di
Gorontalo berpeluang untuk dikuak dan dituturkan. Seperti
diungkap oleh Kuntowijoyo bahwa sejarah bisa dikuak dan
dituturkan dalam waktu yang memanjang.8 Objek ornamen rumah
tradisional di Gorontalo diteliti dalam kurun waktu 1890-2001.
Penentuan tahun ini karena pada tahun 1890 banyak bangunan
tradisional di Gorontalo berdasarkan foto yang terdapat di
museum KITLV Leiden. Hal tersebut diterangkan oleh Harto
Juwono dan Yosephine Hutagalung bahwa pada masa tahun 1889
adalah berakhirnya kerajaan-kerajaan di Gorontalo dilanjutkan
masuknya pemerintah Hindia Belanda.9 Pembatasan waktu tahun
2001 berdasar pada diruntuhkannya rumah tradisional Dulohupa
diganti dengan bangunan baru.10 Kedua peristiwa ini oleh peneliti
dianggap mewakili sebagai suatu kronik sejarah ornamen rumah
tradisional di Gorontalo.
Rumah tradisional di Gorontalo yang dihiasi oleh ornamen
menunjukkan tingkat status sosial pemiliknya. Hal itu tampak
pada beberapa rumah tradisional di Kota Gorontalo yang
merupakan bekas perkantoran orang Belanda dan pedagang dari
Cina. Selain itu di Kota Gorontalo banyak rumah tradisional yang
dihuni oleh pedagang dari Arab dan pribumi Gorontalo. Itu
menunjukkan bahwa status sosial orang yang menempati rumah
tradisional di Gorontalo digolongkan pada ekonomi atas atau
berkecukupan. Karena berkecukupan secara material akhirnya
mereka mampu membangun atau membeli rumah tradisional yang
awalnya hanya dimiliki bangsawan Gorontalo.

8Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah (Historical Explanation) (Yogyakarta:

Tiara Wacana, 2008), 7-8.


9Periksa foto rumah tradisional di Gorontalo tahun 1890-1910 KITLV

Leiden. Periksa Harto Juwono & Yosephine Hutagalung, Limo Lo Pohalaa:


Sejarah Kerajaan Gorontalo (Yogyakarta: Ombak, 2005), 322.
10Wawancara dengan Farha Daulima, 64 th., di Gorontolo, 31 Desember

2009.

xxix
Provinsi Gorontalo terbentuk berdasarkan Undang-Undang
No. 38 Tahun 2001 ditetapkan sebagai provinsi yang ke-32 lepas
dari Provinsi Sulawesi Utara. Secara geografis letaknya diapit oleh
Laut Sulawesi di sebelah utara, Provinsi Sulawesi Utara di sebelah
timur, Teluk Tomini di sebelah selatan, dan Provinsi Sulawesi
Tenggara di sebelah barat. Pemekaran yang dilakukan tahun 2001
terdiri atas wilayah Kota Gorontalo (ibukota provinsi), Kabupaten
Boalemo, Bone Bolango, Gorontalo, Gorontalo Utara, dan
Pohuwato. Luas wilayah Gorontalo sebesar 12.215,45 km.
Umumnya penduduk asli suku di Gorontalo beragama Islam. Hal
tersebut diperkuat pernyataan Haga yang menuliskan bahwa di
setiap daerah di Gorontalo memiliki masjid.11 Masjid tersebut
berfungsi untuk beribadah juga berfungsi sebagai tempat
berkumpul untuk acara permusyawaratan adat. Melihat
manuskrip KITLV Leiden kode D or 510 gambar 3 dan 4, masjid
tersebut juga dihiasi motif ornamen tradisional di Gorontalo.
Beberapa motif ornamen di daerah yang berbatasan
langsung, di antaranya merembes hingga Gorontalo. Indikasi
akulturasi tersebut tampak pada bentuk motif ornamen yang ada
dan berkembang di Gorontalo. Jika direlasikan pendapat dari
Kuntowijoyo hal ini merupakan bentuk penjelasan sejarah yang
menunjukkan adanya paralelisme atau kemiripan dan
ketidakmiripan. 12 Ketidakmiripan tersebut bisa diambil contoh
pada wilayah Palu (Sulawesi Tengah) yang berbatasan langsung
dengan Gorontalo tetapi mempunyai bentuk motif ornamen yang
berbeda dengan Gorontalo. Beberapa bukti lain adalah bentuk
motif ornamen peranginan rumah yang dipakai sebagai kantor
Belanda di Ternate (gambar 40) dengan bentuk motif ornamen
rumah tinggal staf Belanda Menado di Gorontalo tahun 1900
(gambar 39).13
Data yang telah ditemukan melalui foto dari KITLV Leiden
merupakan sumber data visual. Hal ini diperlukan untuk
menjawab penelitian sejarah ornamen rumah tradisional di
Gorontalo. Gelman Taylor menulis mengenai Aceh dengan

11B.J. Haga, Limo Lo Pohala’a: Susunan Masyarakat, Hukum Adat dan

kebijaksanaan Pemerintah di Gorontalo, terj. KITLV bersama Lembaga Ilmu


Pengetahuan IIndonesia (Jakarta: Djambatan, 1981), 7.
12Kuntowijoyo, 80.
13Periksa gambar 40 dan gambar 39 koleksi KITLV Leiden.

xxx
menggunakan narasi foto.14 Ivan Gaskel menawarkan penulisan
sejarah visual (history of image).15 Sejarah visual ini bermanfaat
sebab analisis bentuk motif ornamen rumah tradisional di
Gorontalo mempergunakan data foto pada abad ke-19.
Penggunaan sumber data visual dalam buku ini merupakan hasil
tampilan sebenarnya dari keadaan masa lalu yang diambil pada
jamannya. Hal tersebut seperti metode yang dipakai oleh James T.
Siegel yang ditulis kembali oleh Henk Sculte Nordholt, Bambang
Purwanto, dan Ratna Saptari dalam menjelaskan perang Aceh.
Hasil rekonstruksinya menjadi lebih nyata dengan memiliki daya
imaginasi yang lebih mudah dengan bantuan sumber visual.16
Data visual tentang ornamen rumah tradisional di Gorontalo
yang diperoleh tahun 1890 sampai dengan 2001 beberapa di
antaranya berperan dalam kehidupan masyarakat di Gorontalo.
Seperti dijelaskan oleh Medi Botutihe seorang keturunan Raja
Botutihe. Botutihe adalah seorang mantan Walikota Gorontalo
yang selalu melestarikan bentuk motif ornamen rumah tradisional
di Gorontalo. Bukti nyata pelestarian bentuk motif ornamen
adalah dua buah Royal Pakadanga dan motif gapura. Royal
Pakadanga adalah bentuk motif ornamen yang diterapkan pada
bagian tengah suatu bangunan arsitektur dan menjadi fokus
utama tampilan keseluruhan rumah. Pakadanga adalah istilah
yang dipakai oleh orang di Gorontalo yang merupakan bentuk
motif ornamen yang diletakkan sebagai hiasan pada rumah
tradisional di Gorontalo. Hal tersebut pernah digambarkan melalui
sketsa E.E.W.G. Schroder.17
Hiasan atau ukiran yang terdapat di peranginan pintu dan
jendela ini disebut Pakadanga. Pakadanga memiliki berbagai
macam motif atau ragam makna tertentu. Makna mengenai
Pakadanga merupakan tanda identitas suatu penyebutan bahasa

14Jean Gelman Taylor, Aceh: Narasi Foto, 1873-1930, dalam Henk Sculte
Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (ed), Perspektif Baru Penulisan
Sejarah Indonesia (Jakarta: Obor-KITLV, 2008), 313.
15Periksa Ivan Gaskell, The History of Image, dalam Peter Burke (ed), New

Pers Historical Writing (Pennynsylvania: The Pennynsylvania State University


Press University Park, 1991), 168.
16James T. Siegel, The Curse of the Photograph: Atjeh, 1901, yang

menuliskan mengenai perang di Aceh dengan menggunakan sumber-sumber


visual, dalam Henk Sculte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari
(ed.), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia (Jakarta: Obor-KITLV, 2008)
17E.E.W.G. Schroder, Gorontalosche Woordenlijst (S-Gravenhage,
Martinus Nijhoff, 1908), 27.

xxxi
khas dan bentuk motif ornamen rumah tradisional di Gorontalo.18
Bentuk motif ornamen rumah tradisional di Gorontalo beberapa di
antaranya memiliki makna tertentu tetapi hal tersebut tidak
dikenal secara luas oleh masyarakat di Gorontalo itu sendiri. Buku
ini menjadi penting dalam menemukan kembali makna yang telah
lama tenggelam dan sekedar menjadi sebuah nama ornamen
belaka sekitar abad ke-18. Ditemukannya kembali tentang arti dan
makna semacam ini membuktikan bahwa orang di Gorontalo telah
mempunyai kreatifitas dalam bidang seni ornamen rumah
tradisionalnya.
Sugiyarto Dakung menjelaskan bahwa bentuk arsitektur
tradisional ada yang masih mempertahankan nilai tradisional.19
Pendapat tersebut sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh
Harley Rizal Lihawa yang menyatakan bahwa rumah dekat dengan
realitas budaya dengan unsur tradisinya yang diutamakan.20
Keunikan dari rumah tradisional di Gorontalo adalah
Dulohupa ode heluma yang berarti merupakan semangat dari,
untuk, dan oleh rakyat (demokrasi). Demokrasi ini berlangsung di
Gorontalo semenjak 1566 melalui perserikatan Limo Lo Pohala’a.
Hal ini di tandai dengan adanya rumah tradisional Banthayo
Poboidě dan Dulohupa, rumah tradisional ini merupakan wadah
bagi kebudayaan di Gorontalo yang di dalamnya disusun adat
istiadat Gorontalo. Adat istiadat tersebut di antaranya adalah
untuk melakukan pemilihan raja atau memecatnya apabila
melakukan hal-hal yang bertentangan dengan adat-istiadat
maupun norma yang diakui. Semangat persaudaraan di Gorontalo
ditandai dengan perserikatan Limo Lo Pohala’a atau lima kerajaan
yang bergabung menjadi satu konfederasi kerajaan. Menurut A.
Ariobimo lambang perdamaian adalah berakhirnya perseteruan
Gorontalo dan Limboto dengan cincin emas yang dikaitkan
menjadi dua mata rantai yang ditempa dengan kuat dan
ditenggelamkan di danau Limboto.21

18Wawancara, Farha Dualima, 64 th, di Gorontalo, 2009.


19Sugiyarto Dakung, Arsitektur Tradisional DIY (Yogyakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Kebudayaan DIY, 1982/1983), 210.
20Harley Rizal Lihawa, ”Interpretasi Dogma Charles Jenks dalam Langam

Arsitektur Modern & Postmodern”, Jurnal Teknik, Volume 4 No. 1 (Gorontalo:


Fakultas Teknik, Universitas Negeri Gorontalo, Juni 2006), 5.
21A. Ariobimo Nusantara, Biografi J.A Katili: Harta Bumi Indonesia

(Jakarta: PT Grasindo, 2007), 355.

xxxii
Gorontalo pada abad ke-19 menjadi magnet bagi
berlangsungnya percampuran kebudayaan atau akulturasi. Hal ini
disebabkan oleh kekayaan alam Gorontalo yang melimpah.
Beberapa daya tarik tersebut adalah emas di Tomini22, beras yang
melimpah23, dan rotan yang banyak terdapat di hutan.24 Potensi
alam Gorontalo juga baik untuk perkebunan di antaranya adalah
perkebunan cengkih (Syzygium aromaticum), coklat (Theobroma
cacao), kopi (Coffe) dan jagung (Zea mays). Inilah yang kemudian
membuat bangsa Eropa tertarik untuk menguasai Gorontalo.25
Pada tahun 1678 VOC datang ke Gorontalo dan melakukan
kontrak dengan raja di Gorontalo. Dari sinilah awal mula
Gorontalo lepas dari kekuasaan Ternate dan kemudian di bawah
kekuasaan VOC tahun 1681. Gorontalo dalam genggaman
penjajahan VOC namun demokrasi tetap ditegakkan untuk
memilih raja yang berkuasa di Gorontalo. Raja tersebut akhirnya
menjadi perwakilan untuk berhubungan dengan kekuasaan
VOC.26
Sejarah panjang masyarakat Gorontalo terdapat keunikan
tersendiri. Hal itu tampak pada bagaimana orang di Gorontalo
mempertahankan kebudayan musyawarah dan mufakat yang
dilakukan di rumah tradisional. Musyawarah dan mufakat
tersebut merupakan ciri demokrasi sebagai kearifan lokal yang
terus di tekan oleh kekuasaan penjajahan. Para penjajah tersebut
adalah Ternate, VOC, EIC, dan Hindia Belanda. Semangat
kemerdekaan begitu kuat bahkan Gorontalo pernah melakukan
proklamasi kemerdekaan terlebih dahulu di tahun 1942 sebelum
Indonesia merdeka.27 Setelah kemerdekaan Gorontalo menjadi
salah satu propinsi di Indonesia lepas dari Propinsi Sulawesi
Utara.28 Menurut Alim S. Niode kearifan lokal itu diwujudkan
dalam tatanan negara konfederasi. Nilai demokrasi yang melekat
didalamnya mendorong masyarakat di Gorontalo memerdekakan
diri dari penjajahan Belanda melalui peristiwa patriotik tanggal 23

22Juwono & Yosephine Hutagalung, 140-146.


23Juwono & Yosephine Hutagalung, 238.
24 Verrianto Madjowa, Kisah Orang Gorontalo (Makasar, 2006), 95.
25Juwono & Yosephine Hutagalung, 22-23. Farha Daulima, Terbentuknya

Kerajaan Limboto-Gorontalo (Gorontalo: Yayasan Fitrah, 2001), 67.


26Periksa R Monoarfa, ‘Weeskamer di Gorontalo’, Manuskrip (Leiden:

KITLV, 1942).
27Ariobimo, 357.
28www.gorontaloprov.go.id.

xxxiii
Januari 1942. Hari Kemerdekaan Gorontalo yaitu 23 Januari 1942
dikibarkan bendera merah putih dan dinyanyikan lagu Indonesia
Raya. Saat itu negara Indonesia masih merupakan mimpi kaum
nasionalis tetapi rakyat Gorontalo telah menyatakan kemerdekaan
dan menjadi bagian dari Indonesia.29
Rumah tradisional di Gorontalo pada dasarnya berbentuk
empat persegi panjang dan bujur sangkar ditopang oleh beberapa
tiang penyangga. Bahan dasar tiang tersebut adalah kayu.
Menurut Herbert Read seperti yang ditulis oleh Soedarso Sp
adalah sesuatu yang bisa dianalisis seperti ukuran, imbangan,
irama, dan harmoni.30 Bentuk ornamen rumah tradisional di
Gorontalo dapat dijumpai di berbagai daerah Sulawesi. Pendapat
itu diperkuat dengan bentuk motif ornamen rumah tradisional
yang tampak pada gambar 36 .31 Ornamen tersebut adalah hasil
penelitian A. N. J. Th. â Th. van der Hoop mengenai bentuk motif
ornamen di Manado Sulawesi Utara. Pada gambar 39 ditampilkan
KITLV Leiden tentang rumah tradisional Ternate di Gorontalo yang
dipakai sebagai kantor oleh orang Belanda. Pada rumah tersebut
ada ornamen peranginan yang mirip dengan bentuk motif
ornamen yang ada pada abad ke-19 di Gorontalo.
Persebaran bentuk motif ornamen rumah tradisional
Ternate, perkampungan orang Arab, Cina, dan rumah orang
Belanda di Gorontalo membawa dampak bagi pribumi Gorontalo.
Dampak langsung maupun tidak, menimbulkan perembesan dan
saling mempengaruhi tentang bentuk motif dan yang
melingkupinya. Adanya saling pengaruh dan mempengaruhi pada
kasus di atas adalah seperti dijabarkan oleh Koentjaraningrat
perihal akulturasi. Akulturasi merupakan dampak dari perpaduan
antara suatu kebudayaan lokal dengan kebudayaan asing yang
mengalami proses perpaduan tiap dua kebudayaan yang ada di
muka bumi ini.32 Indikasi orang di Gorontalo dalam berakulturasi

29Alim S. Niode, “Pohala’a: Memperkuat Demokrasi Ala Gorontalo”,


Makalah (Jakarta: Kemendikbud, 2013), 1.
30Herbert Read, The Meaning of Art, Seni: Arti dan Problematikanya, terj.

Soedarso, SP (Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 2000), 27.


31Periksa A. N. J. Th. â Th. van der Hoop, Indonesische Siermotieven

(Jakarta: Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenshappen,


1949), 38 dan periksa gambar nomor 36 koleksi foto Museum KITLV Leiden.
32Koentjaraningrat, Metode-metode Anthropologi dalam Penjelidikan
Masjarakat dan Kebudajaan di Indonesia (Djakarta: Penerbitan Universitas
Djakarta, 1958), 441.

xxxiv
dengan negara luar diawali oleh kontak orang di Gorontalo dengan
Vereenigde Oost Indische Company (VOC) tahun 1667-167833 dan
Hindia Belanda tahun 1677-1942.34 Kontak yang terjadi
mengakibatkan semakin diwarnai kompleksitas peristiwa dengan
bangsa asing. Pengaruh bangsa pendatang itu merupakan
penyebaran unsur kebudayaan dari satu tempat ke tempat lain.
Dampak dari penyebaran tersebut bisa dilihat pada bentuk motif
ornamen rumah tradisional. Orang-orang yang datang ke
Gorontalo adalah Belanda, Cina, Arab, Bugis, dan Ternate. Para
pendatang ini beberapa di antaranya tinggal di Kota Gorontalo. Hal
ini tercermin dari bentuk rumah, pola pagar teras, ornamen
peranginan, ornamen pada pintu, jendela, dan bagian depan dari
tempat tinggal di Gorontalo. Pendatang tersebut membawa
kebudayaan asal yang berupa bentuk motif ornamen. Bentuk
motif ornamen asal yang mereka bawa kemudian diterapkan pada
saat berada di Gorontalo. Bukti nyata yang bisa diambil adalah
bentuk motif oramen peranginan Hotel Veldberg di Gorontalo yang
difoto tahun 1910 dan Kediaman Orang Eropa di Gorontalo tahun
1890.35
Kekuatan pembaharuan yang selama ini menjadi momok
masyarakat tetapi tidak mungkin dihindari ialah sentuhan budaya
(kultural encounters). Bangsa yang telah datang dan pergi ke
Gorontalo telah memperlancar mobilitas komunikasi orang di
Gorontalo yang mendorong peningkatan intensitas kontak budaya.
Budaya tersebut secara langsung maupun tidak telah merembes
melalui proses komunikasi. Komunikasi yang ditujukan pada
orang di Gorontalo atau kelompok adalah sebuah pertukaran
kebudayaan.
Menurut Harto Juwono dan Yosephine Hutagalung orang
asing yang ke Gorontalo selain pemerintah Kolonial, juga didatangi
oleh orang Arab dan Cina.36 Dijelaskan pula bahwa arus
kedatangan orang Cina dalam jumlah besar ke Gorontalo sejak
akhir 1870-an, yang menekuni perdagangan kecil.37 Orang Cina
ini membawa kebudayaan asal mereka termasuk bentuk motif
ornamen rumah tradisional. Pada masa sekarang, peninggalan

33Juwono & Yosephine Hutagalung, 63.


34Madjowa, 76.
35Periksa gambar 11 koleksi KITLV Leiden.
36Juwono & Yosephine Hutagalung, 23.
37Juwono & Yosephine Hutagalung, 17.

xxxv
rumah orang-orang Cina masih ada di seputar pusat perbelanjaan
Sentral Kota Gorontalo. Ornamen pada rumah tradisional tersebut
berada di peranginan, pintu dan jendela. Pada kenyataannya
sebagian besar bentuk motif ornamen tersebut sudah rusak
karena usia atau diubah oleh pemiliknya menjadi bangunan yang
kurang berhubungan dengan aslinya.
Istilah ornamen dalam Bahasa Sansekrit digunakan oleh
peneliti keturunan India yang menterjemahkan ‘ornamen’ sebagai
Alamkara.38 Alamkara atau ornamen merupakan hiasan dan
kegunaannya untuk menambah mutu dan tidak untuk menutupi
kesalahan.39 Ornamen yang berfungsi sebagai hiasan pada rumah
mempunyai fungsi tertentu. James M. Dennis dan Lu B. Wenneker
berpendapat bahwa bangunan atau arsitektur tanpa hiasan ibarat
pohon tanpa daun.40 Gustami mengutarakan bahwa ornamen
adalah komponen produk seni yang ditambahkan atau sengaja
dibuat untuk tujuan hiasan.41 Hal ini juga ditegaskan oleh Basuki
Martono yang menjelaskan tentang ornamen, yaitu keinginan
manusia untuk menghias benda-benda sekelilingnya.42 Ornamen
adalah motif dan tema yang dipakai pada benda, bangunan atau
permukaan apa saja yang memiliki atau tidak memiliki manfaat
struktural dan guna pakai, dalam arti semua hasil pekerjaan itu
bisa mempunyai makna tertentu atau pun hanya dipakai untuk
hiasan semata. Di balik itu ada sesuatu yang kemudian hadir yang
lebih dari sekedar muatan hiasan pada ornamen tersebut. Hal itu
adalah munculnya suatu bentuk penghargaan pada hiasan karena
di dalamnya ada muatan nilai yang dihadirkan melalui simbol.
Simbol bentuk motif ornamen rumah tradisional seperti yang
disebut di atas itu bisa dijumpai di Gorontalo seperti ornamen
bermotif burung hantu sebagai simbol kesehatan.
Gustami menjelaskan bahwa pada setiap ornamen (dilihat
pada kenyataan) terdapat suatu komponen pokok yaitu ’tokoh’

38Philip Rawson, “An Exalted Theory of Ornament: A Study in Indian


Aesthetic”, British Journal of Aesthetic, 7:1 (British: 1967), 31.
39Wallace Rosenbauer, “The Function of Ornament”, College Art Journal,

6:3 (Spring: 1947), 222.


40James M. Denis and Lu B. Wenneker, “Ornamentation and the Organic

Architecture of Frank Lloyd Wright”, Art Journal, 25:1 (Fall: 1965), 2.


41SP Gustami, Nukilan Seni Ornamen Indonesia (Yogyakarta: STSRI ‘ASRI’

1980), 4.
42Basuki Martono dan Bejo Haryana, Pesona Ragam Hias, Busana dan

Tempat Tinggal Masyarakat se-Jawa (Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudyaan Direktorat Permuseuman, 1998), 4.

xxxvi
yaitu motif yang ditonjolkan sebagai motif pokok, ’figuran’ sebagai
pendukung motif pokok atau berfungsi sebagai latar belakang
suatu susunan, dan ’isian-isian’ bidang untuk menambah
keindahan secara keseluruhan.43 Motif yang menjadi pusat
perhatian adalah motif pokok, berfungsi penting dalam suatu
susunan. Bentuk motif pokok pada ornamen di Gorontalo
mengindikasikan latar belakang etnis pemilik rumah. Contoh dari
penjelasan di atas adalah orang Arab menggunakan motif kaligrafi
sebagai hiasan rumah tradisionalnya. Orang di Gorontalo selalu
terpukau oleh bentuk kesatuan, hal ini juga tercermin pada
bentuk motif ornamen rumah tradisionalnya. Bentuk motif
ornamen tersebut beberapa di antaranya ada motif pokok yang
ditunjang oleh beberapa figuran sebagai penguat elemen utama.
Gustami kembali mengutarakan bahwa motif merupakan
persoalan yang diceritakan si pencipta, sedang figuran
dimaksudkan sebagai motif penunjang pola pokok untuk
mencapai keberhasilan pada tingkat yang bagus atau sebagai
pengiring dalam suatu penampilan.44 Motif penunjang pola pokok
yang ditampilkan pada ornamen rumah tradisional di Gorontalo
beraneka ragam. Sebagian besar karya motif pokok penunjang
adalah bentuk silang. Bentuk silang ini berkelanjutan atau tidak
ada awal dan tidak ada akhirnya. Menurut Gustami apabila
sebuah pola mengalami proses penyusunan dan ditebarkan secara
berulang-ulang dan diterapkan pada benda lain maka jadilah
suatu ornamen.45
Isian pada ornamen tertentu mempengaruhi keindahannya,
dan merupakan instrumen kecil penunjang pola pokok. Motif
pokok pada beberapa rumah tradisional di Gorontalo berupa
tumbuhan dan geometris yang terkadang banyak pola yang
diulang-ulang, serta tidak ada awal dan tidak ada akhirnya.
Bentuk motif ornamen yang menghiasi rumah tradisional tersebut
bisa menjadi suatu identitas sebuah daerah, seperti di Gorontalo.
Philip Rawson menyebutkan bahwa ornamen tidak menampakkan
keseluruhan, tetapi tanpa kehadiran ornamen tidak ada
keseluruhan.46 Melihat adanya suatu identitas suatu daerah, bisa

43Gustami, 7.
44Gustami,7.
45Gustami, 7.
46Rawson, 31.

xxxvii
ditunjukkan dengan menampilkan kehadiran ornamen itu
meskipun dalam jumlah yang sedikit sekalipun.
Ornamen rumah tradisional di Gorontalo merupakan
hiasan yang terkadang bukan hanya sebagai pengisi ruang
kosong, dan beberapa di antaranya mengandung makna. Makna
yang diangkat bermacam-macam, seperti bentuk motif ornamen
peranginan milik Usman Bumulo yang dibuat tahun 1917 Kota
Timur Gorontalo. Bentuk motif ornamen tersebut diwujudkan
dalam kalimat bismillahirrohmanirrohim yang bermotif daun
cengkih. Daun dan buah cengkih tersebut menurut Usman
Bumulo dihadirkan sebagai manifestasi terhadap alam sekeliling
dan mata pencaharian si empunya rumah. Tokoh utama pada
ornamen tersebut adalah beberapa figur buah cengkih yang
bertemakan kalimat bismillahirrohmanirrohim.47 Kalimat tersebut
yang menunjukkan ayat yang harus diucapkan ketika berangkat
bekerja di kebun cengkih tersebut. Hal itu dijelaskan dalam hadits
dari ad-Da’ru Quthni dari Abu Hurairah. Ornamen tersebut
biasanya diletakkan pada langit-langit, atap/nok, lisplang,
ventilasi udara, jendela rumah, pagar, pintu rumah, pintu
penyimpanan, dan papan pinggir.
Pada perkembangannya perspektif karya ornamen rumah
tradisional di Gorontalo kurang memperlihatkan kelenturan untuk
memelihara ruang otonomi dan kreatifitas pembuatnya. Terbukti
beberapa di antara ornamen rumah tradisional yang ada, tidak
diketahui siapa pembuatnya dan kurang dilestarikan keberadaan
ornamen tersebut. Adanya kondisi yang tidak nyaman ini adalah
merupakan beberapa ketertarikan dari peneliti untuk menulisnya.
Nelson Pomalingo berusaha memberikan landasan adat
budaya setelah Gorontalo lepas dari Sulawesi Utara. Penjelasan
tersebut adalah tentang perlu adanya pemasyarakatan budaya di
Gorontalo dengan pelestarian, pembinaan dan pengembangan
adat.48 Pada acara seminar nasional tentang adat di Belle Li Mbui
tahun 2007 tentang budaya di Gorontalo didengungkan kembali

47Periksa hadits ad-Da’ru Quthni dari Abu Hurairah, ia berkata,

Rasulullah SAW bersabda: “Jika kalian membaca Surat AI-Fatihah, hendaklah


kalian membaca bismillahirrahmaanirrahiim, karena ia termasuk ke dalam surat
Al-Fatihah. Surat Al-Fatihah terdiri dari 7 ayat, dan bismillahirrahmaanirrahiim
termasuk ke dalam saIah satu ayatnya”.
48Nelson Pomalingo, Pembangunan Gorontalo (Gorontalo: The Presnas

Center, 2004), 107.

xxxviii
‘Gorontalonologi dalam Conture’.49 Pomalingo menggaris bawahi
bahwa karya ornamen rumah tradisional di Gorontalo juga
merupakan cara mempertautkan masyarakatnya.
Kurangnya kajian tentang ornamen rumah tradisional di
Gorontalo semakin menambah beratnya menemukan pencitraan
ornamen yang ada di Gorontalo. Selain sebagai hiasan ornamen
berpeluang untuk menunjukkan latar belakang suatu daerah,
karena ‘tradisi’ juga terbukti telah menjadi sumber utama
pembentukan identitas sebuah komunitas pemilik tradisi
bersangkutan, dan secara makro menjadi sumber identitas yang
memungkinkan suatu bangsa dikenàl lagi. Pada masa kini
ornamen tersebut mengarah kepada proses yang semakin lama
semakin menghilang. Hal ini ditunjukkan dengan jarang dipakai,
tidak dirawat, bahkan dirobohkannya artefak rumah tradisional di
Gorontalo yang di dalamnya ada motif ornamen.
Ungkapan tersembunyi yang masih belum diketahui oleh
orang di Gorontalo sendiri mengenai hasil karya ornamen abad ke-
19 dan 20 tersebut menjadi menarik saat titik pusat ornamen ini
(Dulohupa) telah dimusnahkan oleh masyarakat pendukungnya
pada awal abad ke-21 ini. Kini masih ada Banthayo Pobo’ide, Bělě
Dupi, dan rumah tradisional di Gorontalo lainnya yang dianggap
mewakili. Hal ini merupakan sesuatu yang urgen untuk diteliti.
Latar belakang sebagai suatu cikal bakal tumbuh dan
berkembangnya ornamen rumah tradisional di Gorontalo adalah
merujuk pernyataan C.B.H. von Rosenberg yang menyebutkan
bahwa pada abad pertengahan ke-19 terjadi titik balik suatu
kondisi krisis di Gorontalo. Terjadinya banyak pertikaian antar
kerajaan, krisis ekonomi, kelangkaan pangan dan munculnya
wabah penyakit di pertengahan abad ke-19 menimbulkan
kemunduran kebudayaan di Gorontalo.50 Rumah tradisional
kembali dibangun di tahun 1890 disebabkan oleh kebangkitan

49Nelson Pomalingo, ”Gorontalonologi dalam Conture”, Seminar Nasional


Adat Budaya sebagai Alat Pembentukan Polisi Masyarakat, 21 Pebruari (Belle Li
Mbu’i Gorontalo, 2007). Salah satu isi dari makalah tersebut adalah perlunya
pemberdayaan adat dan budaya Gorontalo dalam usaha mencari identitas
Gorontalo, seperti rumah tradisional di Gorontalo.
50David Henley, “Population, Economic And Environtment in Island

Southeast Asia: An Historical View With Special Reference To Northern


Sulawesi”, Singapore Journal of Tropical Geography, 23.2 (Singapore: National
University of Singapore and Blackwell Publisher Ltd, 2002), 179.

xxxix
ekonomi Gorontalo. Mengingat ungkapan C.B.H. von Rosenberg
bagaimana munculnya tambang emas di Gorontalo dan
ketertarikan perusahaan Eropa untuk memperdagangkan
kerajinan kain dari Gorontalo.51
Keunikan ornamen rumah tradisional di Gorontalo ini
terletak di sebalik karya tersebut. Bagaimana pola fikir orang di
Gorontalo dalam mempertahankan dan melestarikan rumah
tradisional yang ada pada abad ke-16 hingga kini merupakan
bukti nyata adanya suatu fenomena yang telah dijunjung tinggi
keberadaannya. Keadaan tersebut berada pada rentang yang
memanjang dari abad ke-16 hingga 19.
Potensi dalam buku ini bersifat kompleks yang berkaitan
dengan ornamen tradisional Gorontalo maupun pendukung
sosiokultural yang relevan. Adanya kronikal historis dalam
rentang tahun 1890-2001 merupakan hal mendesak dan bersifat
urgen yang dimunculkan dalam buku ini. Kronologi munculnya
ketertarikan peneliti tersebut adalah sebagai berikut :
1. Penulis tertarik untuk melakukan penelitian ornamen
rumah tradisional di Gorontalo diawali dengan
menemukan beberapa foto rumah tardisional di
Gorontalo abad ke-19. Pada ornamen tersebut di
dalamnya terdapat sesuatu yang unik dan khas
sehingga memunculkan bererapa pertanyaan tentang
hal yang melatar belakangi munculnya rumah
tradisional di Gorontalo beserta ornamennya.
Ketertarikan ini semakin terasa urgen untuk segera
dilakukan penelitian yang lebih mendalam dengan
adanya peristiwa perobohan rumah tradisional di
Gorontalo yang disebut Dulohupa pada tahun 2001.
Nihilnya penelitian mengenai ornamen rumah
tradisional di Gorontalo membuka peluang bagi peneliti
untuk mengadakan penelitian.
2. Setelah peneliti melakukan studi kepustakaan sejarah
Gorontalo, peneliti mendapati adanya peristiwa sejarah
yang monumental yaitu ajakan Raja Motolodulahu saat
penobatannya di tahun 1589.52 Ia membuat sebuah

51C.B.H. von Rosenberg, Reistogten in de afdeeling Gorontalo, gedaan op

last der nederlandsch indische regering (Amsterdam: Frederik Muller, 1865), 23.
52Juwono & Yosephine Hutagalung, 16.

xl
panggung yang terdapat tangga di sisi kanan dan kiri
untuk berpidato, hal ini belum pernah dilakukan oleh
raja-raja sebelumnya. Dalam pidatonya ia mengajak
orang Gorontalo untuk meninggalkan kebiasaan mereka
yaitu memakan makanan haram seperti babi, kemudian
menyalami semua yang hadir dan mengurapi dahi
mereka dengan darah babi yang disembelih dari semua
babi yang ada di seluruh Gorontalo. Darah babi-babi
tersebut di tampung dalam wadah dulanga yaitu tempat
air yang terbuat dari kayu.53 Dari sini awal revolusi adat
“Aadati ai-aimitila to syara’a, syara’a hula-hula’a to
kuru’ani” terjadi dalam kurun waktu tahun1562-158954,
maka Raja Motolodula diduga sebagai penggagasnya.
Motolodulahu putra Raja Amai menurut Farha Daulima
disingkat namanya menjadi Motolodula.55
3. Adanya migrasi bangsawan Wilhelmina Belanda ke
Gorontalo pada tahun 1900-an. Didirikan rumah
komunal Wilhelmina terindikasi kuat orang Eropa tidak
seluruhnya menampilkan gaya Eropa. Rumah tersebut
mempunyai ornamen ventilasi yang ada dan
berkembang di Gorontalo. Artinya rumah komunal
tersebut menggunakan ornamen rumah tradisional di
Gorontalo sebagai pelengkap rumah bercorak Eropa
yang mereka bangun. Hal tersebut menunjukkan
adanya sesuatu yang menarik dari ornamen rumah
tradisional di Gorontalo bagi para aristokrat, arsitek,
dan pemimpin.
Kronologis ketertarikan peneliti dalam menelusuri ornamen
rumah tradisional di Gorontalo tahun 1890-2001 dapat difahami
sebagai lengkapnya pemaknaan simbol ornamen rumah
tradisional sebagai identitas multi etnis di Gorontalo. Motif baru
yang diproduksi beserta fungsinya pada abad ke-19 dan 20
merupakan permasalahan yang timbul dari penelusuran ornamen
rumah tradisional di Gorontalo. Hal ini merupakan momen penting
dalam mengungkap bentuk motif, penerapan, dan makna

53Botutihe& Farha Daulima, 78.


54Juwono & Yosephine Hutagalung, 17.
55Daulima, 75.

xli
simbolisme ornamen rumah tradisional di Gorontalo untuk tetap
dipertahankan dalam membentuk peradabannya.
Pertanyaan menarik pada akhir dari konsentrasi seperti
mengapa bentuk motif ornamen di Gorontalo mendapat pengaruh
Ternate, Arab, Cina, dan Eropa, bagaimana bentuk motif ornamen
dan penerapannya pada rumah tradisional di Gorontalo, dan
bagaimana makna simbolis pada ornamen rumah tradisional di
Gorontalo, merupakan ihwal urgent dalam menghadirkan
Weeskamer Gorontalo.
Adanya tiga formula di atas pada akhirnya menimbulkan
beberapa tujuan mengapa buku ini ditulis, yakni:
Mengetahui keterkaitan ornamen rumah tradisional di Gorontalo
dengan ornamen yang dibawa oleh orang Ternate, Arab, Cina, dan
Belanda. Timbulnya keterkaitan tersebut akhirnya bercampur dan
bisa diidentifikasi persebaran bentuk motif ornamen rumah
tradisional di Gorontalo tahun 1890-2001.
Mengetahui adanya bentuk motif dan penerapan pada beberapa
ornamen rumah tradisional di Gorontalo. Hal tersebut sekaligus
bisa diidentifikasi adanya gaya (irama penyusunan), tradisi
pewarisan, dan cara orang Gorontalo dalam memelihara dan
mempertahankan bentuk motif ornamen.
Mengetahui makna simbolisme ornamen rumah tradisional di
Gorontalo yang dianut oleh orang di Gorontalo. Nilai makna
tersebut berkaitan dengan kehidupan sehari-hari yang
diwujudkan dalam bangunan rumah beserta ornamennya sebagai
simbol kearifan dan kebijaksanaan lokal.
Diharapkan buku ini dapat memberikan suatu pandangan
atau gambaran tentang ornamen rumah tradisional di Gorontalo
sebagai pijakan dalam pengembangan diri identitas etnis
Gorontalo. Hasil kajian ornamen rumah tradisional di Gorontalo
ini juga diharapkan dapat meningkatkan modal simbol budaya
bagi lembaga pendidikan.
Pada buku Limo Lo Pohala’a: Sejarah Kerajaan Gorontalo
tulisan Harto Juwono dan Yoshephine Hutagalung, dijelaskan ada
konsep kerukunan melalui seremonial adat.56 Kerukunan tersebut
ada pada wilayah Limo Lo Pohala’a yakni ‘lima wilayah yang
bersatu dalam perbedaan’. Limo Lo Pohala’a berasal dari Bahasa
Gorontalo, artinya adalah ‘lima bersaudara’, yakni lima kerajaan

56Juwono & Yosephine Hutagalung, 3.

xlii
yang merasa bersaudara yang terdiri dari Gorontalo, Limboto, Bone,
Boalemo dan Atinggola.57 Hal tersebut dikuatkan Medi Botutihe
dan Farha Daulima dengan semboyan payu limo to talu (lima
prinsip dikedepankan), lipu pei hulalu (negeri kita muliakan).58
Dijelaskan dalam buku tersebut secara rinci kronologi dimulai dari
masa animisme dan dinamisme sampai kemerdekaan Republik
Indonesia. Pada penjelasannya ada yang dipakai untuk penelitian
ini yaitu bentuk rumah tradisional di Gorontalo, masjid, dan adat
istiadat orang di Gorontalo. Buku Limo Lo Pohala’a itu merupakan
rajutan dari deskripsi yang dituliskan Haga, perjalanan dinas
Gubernur Jenderal Maluku Padtbrugge ke Sulawesi Utara (1867),
Asisten Residen Gorontalo J.G.F. Reidel (1864), dan C.B.H. von
Rosenberg dalam perjalanan dinas ke Gorontalo tahun 1865.59
Buku-buku tersebut secara keseluruhan jarang dan hampir tidak
ada yang meneliti bahkan mengulas tentang ornamen rumah
tradisional di Gorontalo. Berdasarkan penjelasan di atas peneliti
berpeluang untuk menguak, meneliti, menelaah, serta mengkaji
ornamen yang pernah ada dan berkembang di Gorontalo.
Sejarah kerajaan Gorontalo dan kesadaran bersejarah
merupakan bagian dari budaya, seperti diungkap F.R. Ankersmit
tentang budaya. Penelitian sejarah adalah suatu analisis tentang
latar belakang untuk membentuk opini yang berkaitan dengan
kegunaannya.60
Pola persebaran ornamen rumah tradisional di Gorontalo
diinspirasi oleh analisis A. N. J. Th. â Th. van der Hoop yang
berjudul Indonesische Siermotieven atau Ragam-ragam Perhiasan
Indonesia, terbitan tahun 1949 yang mengutarakan tentang ragam
hias di Indonesia, beberapa di antaranya memberikan petunjuk
yang signifikan. Pendapat itu adalah: “in de kunst van de
Toradja’s (Midden Celebes) speelt het geometrisch ornament een
grotte rol. Als voorbeelt geven wij hierbij verschillende motieven van
het houtsnijwerk, waarmede, de huizen aldaar versierd zijn” (dalam
kesenian Toraja, Sulawesi Tengah, adanya berbagai ragam-ragam

57Botutihe & Farha Daulima, i.


58Botutihe & Farha Daulima, i. Bangusa talalo/bangsa dijaga, lipu
poduluwolo/negeri dibela, batanga pomaya/diri diabdikan, Upango
potumbulu/harta diwakafkan, dan Nyawa podungalo/nyawa taruhannya.
59Haga, 32.
60F.R. Ankersmit, “Historiography and Postmodernism”, dalam K.
Jenkins ed., The Postmodern History Reader (London: 1997), 278.

xliii
hias ukiran kayu, yang dipakai untuk menghiasi rumah-rumah).61
Dari pernyataan dan data visual yang ada pada buku tersebut
terdapat adanya kesamaan ragam hias pada peranginan yang
berkembang di Gorontalo. Selanjutnya van der Hoop mengadakan
penelitian pula sampai ke Manado, dibuktikan dengan gambar
ornamen dan tulisan “in krullèn bewerkte tumpals op een bronzen
kanon van Menado, Celebes (tumpal berselimpat pada meriam
perunggu dari Menado, Sulawesi)”.62 Dari pernyataan van der
Hoop diketahui bahwa penelitian tersebut belum sampai ke
Gorontalo. Untuk menuju ke Sulawesi Utara (Manado) tidak bisa
tanpa melewati wilayah Gorontalo, seandainya itu melewati jalan
darat, sedangkan Toraja (Sulawesi Tengah) dan Manado (Sulawesi
Utara) adalah daerah yang berbatasan langsung dengan Gorontalo.
Buku tersebut berguna bagi buku ini sebagai salah satu referensi.
Buku tersebut tidak mengulas tentang ornamen rumah tradisional
di Gorontalo, tetapi buku ini dipakai untuk perbandingan bentuk
motif ornamen karena wilayah tersebut berbatasan langsung
dengan Gorontalo. Di dalam buku tersebut ada bentuk motif
ornamen yang bermanfaat untuk analisis formal dan komparasi
khususnya tentang akulturasi antar bentuk motif Toraja-
Gorontalo-Manado dan Ternate. Hal ini sekaligus untuk menjawab
rumusan masalah kedua yaitu bagaimana bentuk motif dan
penerapan ornamen rumah tradisional di Gorontalo.
Buku Gorontalo: Perubahan Nilai-Nilai Budaya dan Pranata
Sosial yang diterbitkan tahun 2007 tulisan dari Alim S. Niode
yang berisikan sebuah riset tentang perubahan sosial pada level
nilai-nilai budaya secara sosiologis. Objek yang digarap adalah
eksplorasi masyarakat pada tataran yang abstrak yaitu nilai
budaya masyarakat Gorontalo.63 Buku ini juga merupakan riset
sejarah dan tradisi masyarakat Gorontalo yang pada inti dan
penjelasan dari buku tersebut belum menunjukkan adanya ulasan
tentang ornamen rumah tradisional di Gorontalo. Buku ini
dipinjam pada buku ini karena di dalam buku tersebut beberapa
di antaranya memuat bagaimana orang di Gorontalo

61A. N. J. Th. â Th. van der Hoop, 70. Alih bahasa dibantu dan

disempurnakan oleh P.J.M. Peter Nas.


62Alih bahasa tentang buku van der Hoop yang menganalisis ornamen

dibantu dan sempurnakan oleh P.J.M. Peter Nas, 24.


63Alim S. Niode, Gorontalo: Perubahan Nilai-Nilai Budaya dan Pranata

Sosial (Jakarta: Pustaka Indonesia, 2007).

xliv
mempergunakan dan memaknai sebuah bangunan rumah
tradisional, seperti Banthayo Poboidě. Hal ini dapat menjawab
rumusan masalah yang ada hubungannya dengan makna, tradisi
pewarisan dan kelangsungan ornamen rumah tradisional di
Gorontalo. Selain itu berpeluang untuk menjelaskan hubungan
orang di Gorontalo dengan para pendatang Cina, Arab, Ternate,
dan Belanda.
Manuskrip Keradjaan Suwawa-Gorontalo dari A.J. Usman
tahun 1972, mengulas tentang beberapa pembabakan dari masa
penjajahan Belanda dan kemerdekaan Indonesia yang terjadi di
Gorontalo.64 Hal ini berguna pada ulasan mengenai apa yang
terjadi di tahun 1890-2001 yang berhubungan dengan topik kajian
khususnya rumusan masalah kesatu yaitu hubungan orang
Gorontalo dengan para pendatang Cina, Arab, dan Eropa.
Buku Living Through Histories: Culture, History and Social
Life in South Sulawesi yang diterbitkan tahun 1998 tulisan
Kathryn Robinson dan Mukhlis Paeni, berisikan tentang rumah
tradisional Sulawesi Utara. Pada buku itu dituliskan bahwa rumah
di Sulawesi Utara fungsinya bukan hanya sebagai tempat
perlindungan atau fungsional saja, tetapi juga mempunyai fungsi
estetik.65 Fungsi estetik ini tidak dijelaskan secara lebih rinci.
Fungsi rumah tradisional Sulawesi Utara dari buku tersebut
berguna sebagai studi komparasi pada buku ini, khususnya
dengan daerah Sulawesi Utara mengingat Gorontalo sebelum
tahun 2001 adalah merupakan bagian dari Sulawesi Utara yang
dahulu dinamakan Kotamadya Gorontalo.
Manuskrip yang sedikit memberikan gambaran tentang
Gorontalo adalah Weeskamer di Gorontalo dari R. Monoarfa (kode
R.32). Manuskrip yang diketik tahun 1940 itu menjelaskan
tentang datangnya agama Islam masuk Gorontalo di abad ke-15,66
bisa mengindikasikan pengaruh orang Arab pada ornamen rumah
tradisional di Gorontalo. Buku ini bisa menjawab rumusan

64A.J. Usman, “Keradjaan Suwawa-Gorontalo”, 1972, Manuscript (Leiden:


KITLV), 2.
65Kathryn Robinson & Mukhlis Paeni, Ed., Living Through Histories:

Culture, History and Social Life in South Sulawesi (Canberra: Research School of
Pacific and Asian Studies The Australian National University published in
association with The National Archieves of Indonesia, 1998), 169.
66R. Monoarfa, “Weeskamer di Gorontalo”, 1942, Manuskrip (Leiden:

KITLV), 3.

xlv
masalah kesatu yaitu adanya saling mempengaruhi antar orang
Gorontalo dan para pendatang.
Pada jurnal tentang ‘Rumah Adat Gorontalo’, terdapat
penjelasan bahwa penggambaran motif ornamen rumah bagian
depan, menunjukkan bahwa logika pembuat rumah dan ornamen
yang melekat di dalamnya mampu menangkap substansi struktur
dan anatomi bentuk-bentuk dasar dari alam yang berada di
sekitar mereka, lalu dituangkan ke dalam bahasa visual yang
sederhana dan substansial.67 Kemampuan untuk mengungkap
bentuk dasar ini menjadi penting mengingat bahwa pemilihan
elemen rupa dan struktur bentuk dari sebuah objek yang ada di
alam sebagai manivestasi bahasa rupa, pada dasarnya memiliki
tingkat kesulitan yang relatif tinggi.
Gaya ornamen rumah tradisional di Gorontalo dapat dibagi
menjadi tiga kelompok. Pertama, gaya ornamen yang bersifat
kultural. Kedua, gaya yang lebih berorientasi pada referensi
personal. Dan ketiga, gaya yang tampil sebagai gaya universal.
Kehadiran ketiga gaya ornamen tersebut terlihat nyata di seluruh
belahan dunia dan terkait dengan tarik-menarik kekuatan global
versus lokal, homogenitas versus heterogenitas kultur,
keterbukaan versus ketertutupan masyarakat terhadap ide baru.
Di dalam gaya ornamen rumah tradisional di Gorontalo
merupakan penggambaran kultur masyarakat dan lingkungan
alamnya.
Dari buku, artikel, jurnal dan manuskrip di atas,
disimpulkan bahwa belum ada yang sama (mirip) dengan buku ini,
sehingga peneliti berpeluang untuk mengkajinya.

Mengingat rumah tradisional merupakan cerminan adat


budaya dari orang yang mendirikannya,68 maka dalam
mempelajari rumah tradisional diperlukan studi sejarah. Proses
adat budaya yang ada penting untuk dipelajari sebagai penopang
kelestarian subjek kebudayaan. Untuk memahami suatu petunjuk
maupun pesan kebudayaan yang ada pada rumah tradisional
diperlukan pemahaman anthropologis dengan mempelajari simbol.
Sebagaimana Dillistone dalam studi teori simbolisme ia terlebih

67Fendi Adiatmono, ‘Rumah Adat Gorontalo’, Jurnal Kebijakan Publik

(Pusat Kajian Kebijakan Provinsi Gorontalo, 2007), 15.


68Atmadi, 3.

xlvi
dahulu mempelajari Teori Simbolisme dari ahli-ahli anthropologi
sosial. Dalam Dillistone, Raymond Firth mengungkapkan bahwa
simbol merupakan suatu cara merekonstruksi dan menegakkan
tatanan sosial.69
Adanya pengaruh bangsa lain dalam proses terbentuknya
motif ornamen rumah tradisional perlu dipelajari sejauh mana
akulturasi yang melatar belakangi. Buku ini mempelajari adanya
adanya harta warisan (weeskamer) berupa suatu ornamen yang
terkena perembesan. Perembesan tersebut adalah adanya
pengaruh dari luar kebudayaan di Gorontalo sebagai bentuk
akulturasi. Bentuk akulturasi tersebut diungkapakan
menggunakan analisis teori akulturasi Koentjaraningrat.
Kompleksitas permasalahan terindikasi karena kondisi yang
tidak nyaman sehingga memerlukan perubahan dengan lingkup
yang efektif dan efisien guna mendapatkan hasil kajian secara
rinci dan mendalam untuk itu diperlukan pendekatan yang tepat.
Dalam buku ini kondisi yang sedemikian itu dijawab secara
kontekstual dengan pendekatan sejarah seni. Buku yang dijadikan
pijakan, yaitu Penjelasan Sejarah (Historical Explanation) dari
Kuntowijoyo. Pada buku tersebut dijelaskan bahwa hakikat
sejarah adalah ilmu mandiri yang bertugas untuk ‘menafsirkan’,
‘memahami’ dan ‘menuturkan’ gejala tunggal dalam lingkup waktu
memanjang dan lingkup ruang terbatas.70 Penjelasan sejarah ialah
usaha membuat satu unit sejarah intelligible dimengerti secara
cerdas. Hakikat sejarah adalah ilmu yang mandiri. Mandiri,
artinya mempunyai filsafat ilmu sendiri, permasalahan sendiri,
dan penjelasan sendiri. Beberapa pemahaman tentang sejarah:
Sejarah bertumpu pada metode verstenhen, yaitu pengalaman
dalam yang menembus jiwa dan seluruh pengalaman
kemanusiaan. Verstehen atau understanding adalah usaha untuk
meletakkan diri dalam diri yang lain. Artinya verstehen adalah
mengerti makna yang ada di dalam. Sejarah adalah ilmu
diakronis, sedangkan ilmu sosial adalah ilmu sinkronis. Sejarah
Ilmu diakronis sebab sejarah meneliti gejala-gejala yang
memanjang dalam waktu, tetapi dalam ruang yang terbatas.
Sementara ilmu social lainnya seperti ilmu politik, sosiologi,

69Periksa Raymond Firth dalam F.W Dillistone, The Power of Symbols,

terj. A. Widyamartaya (Yogyakarta: Kanisius 2002)103.


70Kuntowijoyo, 1-8.

xlvii
adalah ilmu sinkronis, yaitu ilmu yang meneliti gejala-gejala yang
meluas dalam ruang, tetapi dalam waktu yang terbatas. Sejarah
bersifat menuturkan gejala tunggal (ideographic, singularizing),
sejarah menuturkan suatu objek atau ide dan mengangkatnya
sebagai gejala tunggal. Sementara ilmu sosial lain menarik hukum
umum (nomothetic, generalizing), bermaksud menarik hukum
karenanya mengangkat gejala-gejala umum. Regularity adalah
penjelasan antar peristiwa yang mengandung prediksi sejarah
menjadi pejelasan dalam peristiwa (inner coherence). Artinya
secara ajek gejal-gejala muncul di mana saja terjadi suatu
peristiwa. Generalisasi adalah persamaan karakteristik tertentu.
Suatu bagian yang menjadi ciri sebuah kelompok, juga menjadi
ciri dari kelompok yang lain pula merupakan generalisasi yang
mengandung konseptual. Realitas sejarah mengalir tanpa sekat,
dan pembabakan waktu adalah hasil konseptualisasi suatu
rasionalisasi. Sejarah adalah cerita masa lalu. Susunan yang
teratur itu sendiri tidak terdapat dalam gejala sejarah peneliti
membuatnya lebih teratur. Caranya adalah merekonstruksi masa
lalu, menghubungkan fakta yang satu dengan yang lainnya,
sehingga terbentuklah suatu cerita. Sejarah yang dipahami
sebagai menafsirkan, memahami, dan mengerti, cukup
menjelaskan adanya subjectivisme dan relativisme dalam
penjelasan sejarah.
Peneliti meminjam rumusan periodisasi sejarah seni yang
ditawarkan oleh RM Soedarsono untuk melengkapi penjelasan
tentang sejarah seni. Rumusan periodisasi tersebut adalah sebagai
berikut. (1) Masa Prasejarah; (2) Masa Pengaruh Hindu; (3) Masa
Pengaruh Islam; (4) Masa Pengaruh Cina; (5) Masa Pengaruh
Barat; (6) Masa Kemerdekaan; dan (7) Masa Orde Baru dan
Globalisasi.71
Dalam teori pembabakan sejarah, digunakan Limo Lo
Pohala’a: Susunan Masyarakat, Hukum Adat dan kebijaksanaan
Pemerintah di Gorontalo karangan B.J. Haga. Buku ini tepat
dipakai sebagai pijakan, mengingat kesamaan wilayah kaji dan
cara pembabakan yang mirip dengan buku ini. Isi buku yang
meneliti Gorontalo pada tahun 1931 tentang bentuk persekutuan
adat tersebut terbukti berguna dalam menjawab rumusan

71RM Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi


(Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2002), xi-xii.

xlviii
masalah kesatu, yaitu masa percampuran orang Gorontalo dengan
orang Arab, Cina, Ternate, dan Eropa.
Rumusan pembabakan yang diutarakan oleh Haga dalam
meneliti Gorontalo adalah sebagai berikut. (1) Masa Nasional; (2)
Masa Kecampuran Timur; (3) Masa Kecampuran Barat; (4)
Kerajaan-kerajaan Kecil (5) Keadaan Sekarang, Susunan
Masyarakat, Persekutuan Hukum Pribumi; (6) Hukum Adat
Gorontalo; dan (7) Harta Pusaka Kerajaan Gorontalo.72 Rumusan
tersebut tepat dan dipakai pada buku ini.
Penajaman penjelasan sejarah menurut Kuntowijoyo
mencakup hermeneutics dan verstehen. Hermeneutics adalah
menafsir sedangkan verstehen adalah mengerti. Penjelasan
tersebut dalam kurun waktu yang panjang dan berujud peristiwa
tunggal.73 Kedua rumusan tersebut di atas merupakan
pendekatan yang saling melengkapi menyangkut permasalahan
dan implikasinya terhadap periodisasi bentuk motif ornamen
rumah tradisional di Gorontalo.
Objek ornamen rumah tradisional di Gorontalo ditafsir dan
dipahami melalaui jejak periode 1890-2001. Ornamen rumah
tradisional di Gorontalo dituturkan dengan bantuan Nold Egenter.
Egenter melakukan pembedahan rumah tradisional dan elemen
pendukungnya. Dijelaskan bahwa jika dilihat dari sudut pandang
arsitektur, ilmu Anthropologi pada bangunan adalah hal yang
berhubungan erat pada rumah. Keadaan itu dijelaskan dan
digambarkan saat pembedahan sebuah rumah tradisional
Mediterania. Egenter membuat sketsa interior dan eksterior dari
rumah tersebut. Pada artikel tersebut Egenter juga membahas
detail bagian ornamen rumah tradisional. Pembedahan ornamen
tersebut meliputi ornamen pada tiang penyangga, langit-langit,
pintu dan jendela.74 Berdasarkan pendapat dari Egenter dan
ditambah sebagian penjelasan A.D.F. Hamlin maka analisis
ornamen rumah tradisional di Gorontalo dapat digolongkan
menjadi beberapa cara, yaitu: a) menurut caranya untuk
menutupi bidang dan alat produksinya (dibagi menjadi hiasan
lurus dan menyebar, masing-masing ini dapat dibagi lagi ke dalam
hiasan berlanjut dan hiasan tak berlanjut, b) menurut cara dan

72Haga, v.
73Kuntowijoyo, 10.
74Nold Egenter, “Architectural Anthropology”, Journal Structura Mundi
Editions 49 (Laosanne: Presses Centrales Lausanne SA, 1992)

xlix
sarana produksinya, seperti dengan mencetak, mengukir,
menempa dan mencap, c) menurut hiasan konvensional, naturalis,
dan konvensional alami. Hiasan konvensional sebagian besar
bersifat geometris (liku-liku, rumit dan berpilin). Hiasan naturalis
meliputi semua cara menghias yang diperoleh dari alam yang
secara langsung ataupun tidak, d) hiasan berdasarkan objek yang
diberi tempatnya, dan e) hiasan berdasarkan hubungannya
dengan struktur.75
Skema 1. Cara Kerja Pembedahan Bentuk Motif Ornamen

Hiasan Menyebar
1. Berlanjut
Hiasan Lurus 2. Tak berlanjut

Cara Menutupi Bidang


Produksinya

Tempat Ornamen ORNAMEN Cara


1. pakadanga 4. tutulowa RUMAH Produksinya
2. jalusi 5. kisi-kisi TRADISIONAL 1. menempa
3. jalamba DI 2. mencap
GORONTALO 3. mengukir

Prinsip Desain
Produksinya

hiasan konvensional hiasan naturalis


geometris sifatnya (liku- diperoleh dari alam
liku, rumit, berpilin, dan
pola utama geometris

Catatan: Merupakan pengembangan cara pembedahan ornamen


dari Nold Egenter, “Architectural Anthropology”, Journal
Structura Mundi, Laosanne: Presses Centrales Lausanne
SA, 1992). dan A.D.F. Hamlin, A History of Ornament
Ancient and Medieval, New York: The Century Co.,1916).

Skema yang ditunjukkan adalah untuk lebih memperinci


dalam meneliti ornamen rumah tradisional di Gorontalo.
Penggunaan skema tersebut untuk pengelompokan data serta
membedahnya. Skema kerja dalam teknik mengupas bentuk motif

75A.D.F. Hamlin, A History of Ornament: Ancient and Medieval (New York:

The Century Co., 1916), 4-5.

l
ornamen rumah tradisional di Gorontalo tersebut adalah seperti
skema di atas. Teknik tersebut tidak dipakai kesemuanya. Hal
tersebut disebabkan karena faktor waktu dan finansial.
Wilfried van Damme mengatakan dalam Anthropology of
Arts bahwa anthropologi seni bisa dipakai untuk mengkaji
fenomena seni dan agar sampai pada tahap menjelaskan,
diperlukan data yang nantinya dikomparasikan dengan berbagai
budaya sehingga nampak persamaan dan perbedaannya.76 Data
visual ornamen rumah tradisional di Gorontalo pada akhirnya
diterjemahkan secara kontekstual seperti bentuk motif dan
penerapannya. Adanya sumber data tentang ornamen rumah
tradisional tersebut maka pendapat Hamlin yang membicarakan
seni ornamen dua dan tiga dimensi ini beberapa di antaranya bisa
diterapkan untuk mengkaji dan menjelaskan ornamen rumah
tradisional di Gorontalo, namun karena pada data ornamen
tersebut mengarah kepada karya dua dimensi maka kajian ini
banyak membicarakan tentang seni ornamen dua dimensi. Hal ini
agak sedikit mengalami perbedaan dengan kajian ornamen pada
Hamlin yang mengkaji karya dua dan tiga dimensi. Secara garis
besar ke lima prinsip dasar penggolongan tersebut bisa dipakai
dalam penulisan ini.
Edgar Kaufmann Jr. menuliskan bahwa ornamen dari suku
primitif sampai masyarakat maju telah mengalami penambahan,
pendalaman nilai-nilai intrinsik dari objek yang dihiasi. Ornamen
seringkali telah menjadi sumber dalam keanehan-keanehan.77
Ornamen mempunyai fungsi seperti pendapat Philip Rawson
dalam An Exalted Theory of Ornament: A Study in Indian Aesthetics,
mengungkapkan bahwa ornamen mempunyai fungsi khusus.
Menurut orang India, kegunaan ornamen adalah untuk
mengikatkan manusia dengan alam di mana dia tinggal. Kiasan
dan kesan-kesan yang dipakai kemudian digabungkan dengan
unsur pengalaman manusia itu sendiri ke dalam pakaian dan
rumahnya.78 Hal ini terbukti telah pula terjadi di rumah
tradisional di Gorontalo, di mana ornamen yang ada beberapa di

76Wilfried van Damme, “Anthropologies of Art”, Wilfried Afrika Museum,

Berg en Del, 6571 CS, International Journal of Anthropology (The Netherlands,


2003).
77Edgar Kaufmann Jr., “Modern Design Does Not Need Ornament”,

College Art Journal (Winter: 1946), 140.


78Rawson, 31.

li
antaranya mengambil bentuk dari alam sekitar tempat bangunan
itu berdiri. Lingkungan alam dan pengalaman mempunyai peluang
bagi individu dalam menghasilkan ornamen yang oleh Philip
Rawson disebut sebagai metamorfosis ornamen.
Secara keseluruhan artikel ini lengkap dan beberapa di
antaranya bisa digunakan untuk menjelaskan ornamen rumah
tradisional di Gorontalo. Penjelasan tersebut seperti teknik
pembedahan dan komparasi beberapa bentuk motif ornamen
dalam usaha mencari persamaan dan perbedaan ornamennya.
Metode verstehen yang dilakukan Koentjaraningrat dalam
penelitiannya diterapkan pada buku ini. Kondisi verstehen
(mendalami jiwa dari pembuat objek) dalam hal ini adalah bentuk
motif ornamen rumah tradisional di Gorontalo diungkap peneliti
melalui paparan bentuk motif, makna, pola persebaran, gaya,
tradisi pewarisan, dan kelangsungannya.
Dalam tulisan di buku ini terindikasi bahwa ada sedikit
perbedaan dan sebagian besar persamaan di tiap wilayah di
Gorontalo dalam bentuk motifnya. Ornamen rumah tradisional
yang ada di Gorontalo tersebut terjadi percampuran dengan
ornamen rumah tradisional Manado, yang dimungkinkan juga
adanya saling pengaruh dan mempengaruhi dengan pendatang
dari Arab, Cina, dan Kolonial Belanda. Percampuran yang
dimaksud adalah persamaan dan perbedaan yang dimulai dari
bentuk keseluruhan, detail ornamen, makna, serta relasi yang
melingkupinya.
Edmund Burke Feldman menjelaskan bahwa gaya adalah
bahasa tersembunyi dari seni yang disebut juga dengan
kesenangan atau bentuk terakhir.79 Sesuai teori Feldman yang
merumuskan gaya menjadi empat hal, peneliti menemukan
kesesuaian dengan satu rumusan dari Feldman yaitu bahwa gaya
seni ornamen rumah tradisional di Gorontalo lebih banyak
menggunakan gaya susunan formal.
Feldman menawarkan pendapatnya tentang gaya seni yang
dirumuskan ke dalam empat prinsip, yaitu gaya ketepatan
objektif, gaya susunan formal, gaya emosi, dan gaya fantasi.80
Adanya pendapat dari Feldman peneliti melakukan pendekatan

79Edmund Burke Feldman, Arts as Image and Idea (New Jersey: Prantice

Hall Inc., 1967), 136.


80Feldman,138.

lii
dengan gaya susunan formal, mengingat bentuk motif ornamen
rumah tradisional di Gorontalo merupakan hasil dari komunikasi
seni budaya dengan gaya yang terlihat lambat mengalami
perkembangan.
Ditegaskan oleh Feldman bahwa gaya susunan formal yang
dicapai melalui keseimbangan, harmoni, atau stabilitas di dalam
seni yang diciptakan melalui aplikasi (penerapan) pola-pola
ukuran yang metodis, atau merupakan istilah lain dari klasikisme,
yakni suatu gaya klasik yang dapat ditemukan di semua zaman.81
Gaya ornamen diwakili oleh dua hal. Hal tersebut seperti
diungkap oleh Feldman. Pertama, yang paling kasat mata adalah
ornamen rumah tradisional dalam pengertian formalistik atau
wujud, bentukan masa, teknik membuat, fungsi yang diwadahi,
dan kesan keseluruhan karya tersebut.82 Kedua, lebih sulit
dikenali, adalah dalam pengertian pra-anggapan, interpretasi dan
wacana yang melatar belakangi kehadiran wujud ornamen.83 Pada
tataran ini wujud hanya merupakan hasil dari proses desain.
Apresiasi yang dirasa menjadi penting adalah bobot pemikiran,
curahan emosi, maupun penyaluran kehendak dari tukang yang
mengerjakan karya. Beberapa karya yang dirancang dalam proses
dan alur pemikiran yang kurang lebih serupa bisa menjadi pemicu
kehadiran gaya tertentu.
Feldman memberikan contoh karya seni bersusunan
intelektual terdapat dalam karya Piet Mondrian. Karya Piet yang
bersusunan intelektual itu berjudul Composition With, Red, Blue
and Yellow. Dilihat secara kasat mata seluruh gambar diciptakan
dengan garis vertikal dan horizontal. Warna di dalamnya tidak
banyak ragamnya dan seakan tidak memiliki tujuan untuk
menjelaskan sesuatu pun. Karya tersebut tidak menampilkan
garis lengkung, menggunakan garis tegas yang tampak jelas
dengan ketebalan sama pada bentuk bidang segi empat.84
Bertumpu pada teori Feldman tersebut dijumpai beberapa
contoh bentuk motif ornamen rumah tradisional di Gorontalo yang
bergaya susunan intelektual. Susunan intelektual dalam motif
ornamen rumah tradisional di Gorontalo mengajak para
penikmatnya untuk berpikir kreatif dalam menghias rumah.

81Feldman, 162.
82Feldman, 162.
83Feldman, 136.
84Feldman, 168.

liii
Dalam memahami makna simbolis pada ornamen rumah
tradisional di Gorontalo peneliti menggunakan pendekatan F.W.
Dillistone dalam membedah konsep simbol dengan terminologi
“pola hubungan rangkap tiga”, yakni adanya suatu entitas kecil,
adanya suatu keterwakilan, dan adanya suatu entitas besar: 1)
Entitas kecil itu dapat berupa kata, ucapan, benda, peristiwa,
pola, drama, atau pribadi; 2) Sementara itu, entitas besar dapat
berupa makna, realitas, cita-cita, nilai-nilai, keadaan, lembaga,
atau konsep; 3) Adapun keterwakilan dapat berupa represenasi,
ilustrasi, isyarat, ingatan, rujukan, acuan, atau corak (yang
bersifat arbitrer).85 Secara garis besar bahwa simbol adalah suatu
hal atau tindakan yang dapat menuntun subjek terhadap objek.
Adanya ornamen rumah tradisional di Gorontalo menjadi lebih
mudah dalam mencari temuan budaya. Hal tersebut secara tidak
langsung telah melestarikan kebudayaan Gorontalo yang lebih
luas.
Penjelasan mengenai simbol tidak selalu dimaknai oleh si
pembuat ornamen. Makna simbol suatu bentuk motif ornamen
terdapat penjelasannya pula dalam mitos, makanan dan juga
pakaian yang digunakan dalam upacara adat. Peneliti dalam
mencari penafsiran makna simbol bentuk motif ornamen
Gorontalo menggunakan pemahaman hermeneutika juga
verstehen sehingga didapati selain mewawancarai langsung juga
mencari hubungan suatu bentuk motif dengan cerita-cerita mitos
yang dimiliki secara mendalam.
Berkait dengan adanya keilmuan qauniyah atau alam dan
qauliyah atau teologi, Kuntowijoyo mengatakan bahwa ilmu itu
bukan hanya qauniyah dan qauliyah tetapi juga nafsiyah. Ilmu
qauniyah berkaitan dengan alam, qauliyah berkenaan dengan
berkenaan dengan hukum Tuhan dan ilmu nafsiyah berhubungan
dengan makna, nilai, dan kesadaran. Ilmu nafsiyah inilah yang
disebut humaniora atau ilmu-ilmu sosial kemanusiaan dan
hermeneutika.86 Islam merupakan agama yang humanis, artinya
manusia merupakan tujuan sentral dari keberadaan agama. Hal
yang menjadi dasarnya adalah terciptanya kemaslahatan di dalam
kehidupan dan peradaban manusia dengan poros tauhidullah yang
memiliki konsep humanisme teosentrik. Prinsip humanisme

85Dillistone, 20.
86Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Cet. II (Jakarta: Traju, 2005) 51.

liv
teosentrik inilah yang kemudian ditransformasikan sebagai nilai
yang dihayati dan dipatuhi dalam konteks masyarakat
berbudaya.87
Wilhelm Dilthey mengatakan bahwa sebagai bagian dari
metode verstehen, tugas dari hemeneutika adalah menafsirkan
teks klasik atau realitas masa lampau yang asing sama sekali agar
menjadi milik orang yang hidup di masa, tempat, dan nuansa
kultural yang berbeda. Metode hermeneutika bersifat triadik atau
tiga subjek yang saling berhubungan. Tiga subjek tersebut adalah
the world of text, the world of author, dan the world of reader. 88
Mudjia Rahardjo menerangkan hermeneutika merupakan
metode pemahaman simbol yang berasal dari tradisi Yunani kuno
dalam menafsirkan (hermeneuine) dan penafsiran (hermenia),
istilah hermeneutika diasosiasikan Hermes. Dewa Hermes adalah
pembawa pesan takdir seorang utusan dewa dalam mitologi
Yunani kuno yang bertugas menyampaikan dan menerjemahkan
pesan-pesan dewa kepada manusia.89
Dalam buku ini penulis mencari makna simbolis ornamen
rumah tradisional di Gorontalo berdasar tiga subjek yang saling
terkait. Teknik memerinci tiga subjek tersebut menggunakan
Skema Hermeneutika Romantisme yang diciptakan oleh Maulidin.
Skema tersebut dipakai Mudji Raharjo dalam menggali suatu
makna simbol:90

87Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung:

Mizan, 1996), 160.


88Edi Mulyono, Belajar Hermenutika: Dari Konfigurasi Filosofis Menuju

Praktis Islamic Studies (Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), 100.


89Mudjia Raharjo, Dasar-dasar Hermenutika: Antara Intensionalisme dan

Gadamerian (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), 27-28.


90Raharjo, 92.

lv
Skema 2. Skema Hermeneutika Romantisme

PENGALAMAN
PELAKU/INFORMAN
dan PENELITI

PENELITI OBJEK MAKNA

BUDAYA MASYARAKAT
(Tempat tinggal,
Upacara Adat, Mitos)

(Maulidin, dalam Mudji Raharjo, 2008)

lvi

Anda mungkin juga menyukai