1. HIV : Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis virus dari family retroviridae yang
menyerang / menginfeksi sel darah putih berevolusi untuk menghasilkan infeksi persisten kronis
dengan onset gejala-gejala klinis yang bertahap. yang menyebabkan turunnya kekebalan tubuh
manusia. Ada dua famili utama HIV. Kebanyakan epidemikmelibatkan HIV-I; HIV-} merupakan
famili sejenisyang distribusinya terkonsentrasi diAfrika barat. HIV-1secara genetik beragam,
dengan paling sedikit terdapatlima subfamili atau klad yang berbeda.
18. Zika : salah satu virus dari jenis Flavivirus. Virus ini memiliki kesamaan dengan virus
dengue, berasal dari kelompok arbovirus, Akibat virus Zika, ribuan bayi telah lahir dengan
kondisi otak yang belum berkembang sepenuhnya.
19. Demografis :bersifat tentang susunan, jumlah, dan perkembangan penduduk; ilmu yang
memberikan uraian atau gambaran statistik mengenai suatu bangsa dilihat dari sudut sosial
politik; ilmu kependudukan
20. Urbanisasi : perpindahan penduduk secara berduyun-duyun dari desa (kota kecil, daerah) ke
kota besar (pusat pemerintahan atau perubahan sifat suatu tempat dari suasana (cara hidup dan
sebagainya) desa ke suasana kota
Loscher dan Kramer (2010:40) mengklasifisikasikan emerging infectious disease ke dalam 4 jenis:
Newly emerging infectious disease (seperti: HIV/Aids, varian baru dari Creutzfeld-
Jakob-Disease, Norovirus, Japanese Encephalitis, Avian influenza H5N1, SARS,
Hemorrhagic fevers: Hanta dan Ebola, LAssa, Marburg, Cholera non 01 type atau
Cholera 139, Human ehrlichiosis, Monkeypox di Kongo, Nipahvirus enchepalitis, dan
West nile fever);
Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapi ARV adalah
didasarkan pada penilaian klinis.
b. Tersedia pemeriksaan CD4
Rekomendasi :
1. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350 sel/mm3 tanpa
memandang stadium klinisnya.
2. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan koinfeksi
Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.
ODHA harus mendapatkan informasi yang lebih mengutamakan manfaat terapi ARV
sebelum terapi dimulai. Bila informasi dan rawatan HIV dimulai lebih awal sebelum
memerlukan terapi ARV maka pasien mempunyai kesempatan lebih panjang untuk
mempersiapkan diri demi keberhasilan terapi ARV jangka panjang, melalui konseling
pra-terapi ARV yang meliputi cara dan ketepatan minum obat, efek samping yang
mungkin terjadi, interaksi dengan obat lain, pemantauan keadaan klinis dan pemantauan
pemeriksaan laboratorium secara berkala termasuk pemeriksaan jumlah CD4.
terhadap kera menunjukkan bahwa efavirenz dapat menyebabkan cacat lahir. Oleh karena ini,
efavirenz sebaiknya tidak dipakai oleh perempuan hamil, terutama pada triwulan pertama
kehamilan.
Kurang lebih 80% perempuan hamil yang memakai ART akan mengalami sedikit satu efek
samping dari obatnya. Angka ini tidak jauh berbeda dari perempuan tidak hamil. Sebagian besar
efek samping adalah ringan, termasuk mual, sakit kepala, kelelahan, dan diare.
Risiko diabetes dapat lebih tinggi bila kita memakai protease inhibitor. Oleh karena itu,
sebaiknya kita memantau tingkat gula dalam darah dan diskrining terhadap diabetes waktu hamil
– seharusnya tes ini baku untuk perempuan hamil.
Kehamilan mungkin juga faktor risiko untuk tingkat tinggi asam laktik (asidosis laktik), yang
dapat disebabkan terutama oleh d4T dan ddI.
Menurut WHO (2009), kecenderungan infeksi HIV pada perempuan dan anak meningkat,
sehingga diperlukan berbagai upaya untuk mencegah penularan HIV dari ibu hamil ke bayi
antara lain dengan program PMTCT. Program PMTCT dapat dilaksanakan pada perempuan usia
produktif, melibatkan para remaja pranikah dengan jalan menyebarkan informasi tentang
HIV/AIDS, meningkatkan kesadaran perempuan tentang bagaimana cara menghindari penularan
HIV/AIDS dan infeksi menular seksual (IMS), menjelaskan manfaat dari konseling dan tes
HIV/AIDS secara sukarela, melibatkan kelompok yang beresiko, petugas lapangan, kader PKK,
dan bidan
Sementara menurut WHO (2010) beberapa tujuan diterapkannya program pencegahan penularan
HIV dari ibu ke bayi, antara lain:
1. Mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi. Hal ini disebabkan karena sebagian besar infeksi
HIV pada bayi ditularkan dari ibu. Diperlukan upaya intervensi dini yang baik, mudah dan
mampu laksana guna menekan proses penularan tersebut;
2. Mengurangi dampak epidemi HIV terhadap Ibu dan Bayi. Dampak akhir dari epidemi HIV
berupa berkurangnya kemampuan produksi dan peningkatan beban biaya hidup yang harus
ditanggung oleh ODHA dan masyarakat Indonesia dimasa mendatang karena morbiditas dan
mortalitas terhadap ibu dan bayi.
Sedangkan program PMTCT pada ibu hamil di Indonesia, menjadi kebijakan resmi
pemerintah. Kebijakan ini menurut Depkes RI (2005) mencakup hal-hal penting dalan tiap
langkah intervensi program diantaranya dengan integrasi program, konseling dan testing
HIV sukarela, pemberian obat ARV, persalinan yang aman, serta pemberian makanan bayi.
Langkah dini paling efektif untuk mencegah terjadinya penularan HIV pada bayi adalah
mencegah perempuan usia reproduktif tertular HIV, dengan mencegah perempuan muda di
usia reproduktif, ibu hamil dan penangana bumil agar tidak terinfeksi HIV.
Terdapat beberapa strategi yang dilakukan dalam kegiatan PMTCT, antara lain:
3. Pencegahan terjadinya penularan HIV dari ibu hamil HIV positif pada bayi yang
dikandungnya.
4. Merujuk ibu dengan HIV positif ke sarana layanan kesehatan tingkat kabupaten atau
propinsi untuk mendapatkan layanan tindak lanjut
5. Dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu positif beserta keluarganya
dengan merujuk ibu HIV positif ke sarana layanan kesehatan tingkat kabupaten atau
propinsi untuk mendapatkan layanan tindak lanjut.
6. Mengapa perlu larangan diskriminasi terhadap ODHA?
Karena ini berkaitan dengan psikososial ODHA.
Tindakan diskriminasi dan stigmatisasi membuat orang enggan untuk melakukan tes HIV,
enggan mengetahui hasil tes mereka, dan tidak berusaha untuk memperoleh perawatan yang
semestinya serta cenderung menyembunyikan status penyakitnya. Hal ini semakin
memperburuk keadaan, membuat penyakit yang tadinya dapat dikendalikan menjadi
semacam “hukuman mati” bagi para pengidapnya dan membuat penyakit ini makin meluas
penyebarannya secara terselubung.
Nasronuddin 2007, mengungkapkan bahwa terjadi peningkatan kadar ACTH dan kadar
kortisol dalam tujuh hari pertama yang dipicu oleh stressor psikologis akibat dinyatakan
terinfeksi HIV, selain akibat stressor psikologis peningkatan setelah hari ke tujuh terjadi
akibat stressor biologis HIV, dari sini dapat dilihat bahwa efek dari pernyataan diagnosis
mengidap HIV terhadap seseorang sangat signifikan meningkatkan tingkat stress, belum lagi
menghadapi reaksi keluarga dan teman-teman yang perlahan tapi pasti beranjak menjauh.
Oleh karena itu, larangan diskriminasi ini,Dengan berusaha mencoba memahami
pengalaman hidup yang dialami pengidap HIV akan menyebabkan hasil psikologis yang
positif untuk membantu meningkatkan kualitas hidup orang dengan HIV/ AIDS
9. Mengapa kasus HIV/AIDS meningkat dan siapa aja yang termasuk golongan berisiko?
Menurut UNAIDS ;
Pengguna napza suntik,
pekerja seks dan pelanggan mereka,
lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki,
narapidana,
pelaut
pekerja di sektor transportasi
.
Kasus HIV/AIDS ini meningkat dikarenakan peningkatan Mobilitasi dan migrasi
Peningkatan akses sarana transportasi dan komunikasi mengakibatkan kemudahan masyarakat
untuk melakukan mobilisasi atau perpindahan baik secara vertikal dengan berganti profesi dari
petani menjadi tenaga buruh pabrik, buruh konstruksi serta secara horisontal karena berpindah
tempat tinggal dari desa ke kota. Hal ini menunjukkan terjadinya revolusi mobilitas penduduk.
Baik mobilitas vertikal akibat perubahan status pekerjaan seseorang maupun mobilitas horisontal
akibat berpindahnya seseorang yang melintasi batas wilayah dan waktu tertentu. Kondisi ini juga
berdampak pada pola gaya hidup seksual dari masyarakat yang mengarah pada risiko penularan
HIV/AIDS. Mobilitas dapat membuat seseorang masuk ke dalam situasi yang berisiko tinggi
(Skeldon, 2000). Dikarenakan jauh dari keluarga dan masyarakat mereka dimana norma-norma
seksual dan sosial diterapkan dan dipatuhi pada tingkatan yang berbeda, kini mereka harus
beradaptasi dengan lingkungan yang baru (Hugo, 2001). Kondisi ini seperti pada hasil penelitian
komprehensif mengenai perpindahan penduduk dengan HIV/AIDS di Kenya dengan menguji
hipotesa yang menyatakan bahwa bila dibandingkan dengan mereka yang bukan pendatang, para
pendatang laki-laki dan perempuan di daerah perkotaan dan pedesaan nampaknya lebih
cenderung terlihat dalam kegiatan-kegiatan seksual yang dapat meningkatkan risiko mereka
terjangkit HIV dan akhirnya berujung pada AIDS
Selain itu juga disebabkan oleh . seks bebas, penggunaan jarum suntik beramai-ramai saat
mengkonsumsi narkoba, transfusi darah .
13. Apa saja pencegahan primer, sekunder dan tersier untuk HIV/AIDS?
1) Primer
Pencegahan primer dilakukan sebelum seseorang terinfeksi HIV. Hal ini diberikan
pada seseorang yang sehat secara fisik dan mental. Pencegahan ini tidak bersifat
terapeutik; tidak menggunakan tindakan yang terapeutik; dan tidak menggunakan
identifikasi gejala penyakit. Pencegahan ini meliputi dua hal, yaitu:
a) Peningkatan kesehatan, misalnya: dengan pendidikan kesehatan reproduksi
tentang HIV/AIDS; standarisasi nutrisi; menghindari seks bebas; screening, dan
sebagainya.
b) Perlindungan khusus, misalnya: imunisasi; kebersihan pribadi; atau
pemakaian kondom.
2) Sekunder
Pencegahan sekunder berfokus pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) agar tidak
mengalami komplikasi atau kondisi yang lebih buruk. Pencegahan ini dilakukan melalui
pembuatan diagnosa dan pemberian intervensi yang tepat sehingga dapat mengurangi
keparahan kondisi dan memungkinkan ODHA tetap bertahan melawan penyakitnya.
Pencegahan sekunder terdiri dari teknik skrining dan pengobatan penyakit pada tahap dini.
Hal ini dilakukan dengan menghindarkan atau menunda keparahan akibat yang
ditimbulkan dari perkembangan penyakit; atau meminimalkan potensi tertularnya penyakit
lain.
3) Tersier
Pencegahan tersier dilakukan ketika seseorang teridentifikasi terinfeksi HIV/AIDS
dan mengalami ketidakmampuan permanen yang tidak dapat disembuhkan. Pencegahan ini
terdiri dari cara meminimalkan akibat penyakit atau ketidakmampuan melalui intervensi
yang bertujuan mencegah komplikasi dan penurunan kesehatan. Kegiatan pencegahan
tersier ditujukan untuk melaksanakan rehabilitasi, dari pada pembuatan diagnosa dan
tindakan penyakit. Perawatan pada tingkat ini ditujukan untuk membantu ODHA mencapai
tingkat fungsi setinggi mungkin, sesuai dengan keterbatasan yang ada akibat HIV/AIDS.
Tingkat perawatan ini bisa disebut juga perawatan preventive, karena di dalamnya terdapat
tindak pencegahan terhadap kerusakan atau penurunan fungsi lebih jauh. Misalnya, dalam
merawat seseorang yang terkena HIV/AIDS, disamping memaksimalkan aktivitas ODHA
dalam aktivitas sehari-hari di masyarakat, juga mencegah terjadinya penularan penyakit
lain ke dalam penderita HIV/AIDS; Mengingat seseorang yang terkena HIV/AIDS
mengalami penurunan imunitas dan sangat rentan tertular penyakit lain.
Selain hal-hal tersebut, pendekatan yang dapat digunakan dalam upaya pencegahan
penularan infeksi HIV/AIDS adalah penyuluhan untuk mempertahankan perilaku tidak
beresiko. Hal ini bisa dengan menggunakan prinsip ABCDE yang telah dibakukan secara
internasional sebagai cara efektif mencegah infeksi HIV/AIDS lewat hubungan seksual.
ABCDE ini meliputi:
A = abstinensia, tidak melakukan hubungan seks terutama seks berisiko tinggi dan
seks pranikah.
B = be faithful, bersikap saling setia dalam hubungan perkawinan atau hubungan
tetap.
C = condom, cegah penularan HIV dengan memakai kondom secara benar dan
konsisten untuk para penjaja seksual.
D = drugs, hindari pemakaian narkoba suntik.
E = equipment , jangan memakai alat suntik bergantian.
Upaya penanggulangan penyakit HIV/AIDS dapat dilakukan dengan menyediakan
Rumah Sakit atau tempat perawatan khusus bagi pasien penderita HIV/AIDS dan dijaga
sedemikian rupa sehingga penularan kepada yang sehat dapat dicegah serta melakukan
pemantauan secara terus menerus untuk melihat perkembangan masalah AIDS agar
masalah AIDS ini dapat ditangani dengan baik.
Alasan Test
Dokter & Konselor Mengetahui Hasil Untuk Membantu Diagnosa Dan Dukungan Lebih Lanjut.
Dampak pribadi , keluarga , sosial terhadap odha , kepada siapa & bagaimana memberitahu.
Tindak lanjut perawatan & dukungan ke layanan managemen kasus atau layanan dukungan yang
tersedia di wilayah.
Tes HIV harus mengikuti prinsip yang telah disepakati secara global yaitu 5 komponen
dasar yang disebut 5C (informed consent, confidentiality, counseling, correct testing and
connection/linkage to prevention, care, and treatment services). Prinsip 5C tersebut
harus diterapkan pada semua model layanan Konseling dan Tes HIV.
Di tingkat epidemi meluas maka TIPK diterapkan pada semua pasien (dewasa, remaja
dan anak) pengunjung fasilitas kesehatan, termasuk di layanan medis dan bedah; IMS;
layanan untuk hepatitis; TB; baik di fasyankes pemerintah maupun swasta; rawat jalan
dan rawat inap; layanan medis bergerak atau melalui penjangkauan; layanan antenatal;
KB; kesehatan anak; layanan bagi populasi kunci; kesehatan reproduksi
Di tingkat epidemi terkonsentrasi maka TIPK diterapkan pada
dewasa, remaja, dan anak pengunjung semua fasilitas layanan kesehatan dengan tanda
dan gejala atau kondisi klinis/medis yang diduga terkait dengan infeksi HIV, termasuk
TB;
anak yang terpajan oleh HIV, atau anak yang terlahir dari ibu terinfeksi HIV serta bayi
dan anak yang simtomatis.
pasien IMS; hepatitis; TB; ibu hamil yang melakukan pemeriksaan kehamilan di
antenatal care dan populasi kunci (LSL, waria, PS dan penasun)
1. SUKARELA artinya bahwa seseorang yang akan melakukan tes HIV haruslah
berdasarkan
2. KOFIDENSIAL artinya apapun hasil tes ini nantinya (baik positif maupun negative)
hasilnya hanya boleh diberitahukan langsung kepada orang yang bersangkutan. Tidak
boleh diwakilkan kepada siapapun, baik oramg tua, pasangan,atasan atau siapapun.
Disamping itu hasil tes HIV juga harus dijamin kerahasiaanya oleh pihak yang
melakukan tes itu (dokter, rumah sakit, atau laboratorium dan tidak boleh disebarluaskan
15. Bagaimana pelayanan VCT dan PITC? Kenapa semua pelayan kesehatan harus terlibat?
Semua pelayan kesehatan harus terlibat, karena konsep lintas sector dalam penangan
HIV/AIDS ini.
Tujuan dari PTIC adalah untuk melakukan diagnosis HIV secara lebih dini dan
memfasilitasi pasien untuk mendapatkan pengobatan lebih dini pula, juga untuk
memfasilitasi pengambilan keputusan klinis atau medis terkait pengobatan yang
dibutuhkan dan yang tidak mungkin diambil tanpa mengetahui status HIV nya.
VCT/KTS Layanan ini menekankan penilaian dan pengelolaan risiko infeksi HIV dari
klien yang dilakukan oleh seorang konselor, membahas perihal keinginan klien untuk
menjalani tes HIV dan strategi untuk mengurangi risiko tertular HIV. KTS dilaksanakan
di berbagai macam tatanan seperti fasilitas layanan kesehatan, layanan KTS mandiri di
luar institusi kesehatan, layanan di komunitas, atau lainnya.
ALUR VCT
Konseling Individual pra-testing - Periksa Darah dg Rapid Testing - Terima hasil &
konseling Pasca Tes - Konseling Dukungan dan rujukan pelayanan Kesehatan & MK -
Rujukan untuk dukungan proses yang sedang berjalan, termasuk Support group.
Tersedia waktu
16. Apa maksud target WHO getting to zero,Mengapa Indonesia terapkan ini?
Indonesia sudah menjadi negara urutan ke 5 di Asia paling berisiko HIV-AIDS, sehingga
tidak bisa dihindari lagi bagi Indonesia untuk menerapkan kesepakatan tingkat
internasional yang diikuti kebijakan nasional.
Tahun 2020 target WHO UNUTUK HIV AIDS
Di sumbar :
NO KAB/KOTA NAMA RUMAH SAKIT ALAMAT TELEPON WEBSITE
1 Kota Padang RSUP Dr. M. Djamil Jl. Perintis Kemerdekaan, Padang
0751-32373
2 Kota BukittinggiRSUD Dr. Achmad Muchtar
Jl. Dr. A. Rivai, Bukittinggi 0752-21720
3 Kota Pariaman RSUD Pariaman
Umumnya gejala infeksi virus zika tidak terlihat (asymptomatic), hanya 20 persen, antara lain
demam ringan, nyeri persendian, pening, sakit perut, konjungtivitis (mata merah), dan ruam
(bintik merah) pada kulit. Gejala ini bisa keliru dengan flu atau sejenisnya. Infeksi DBD lebih
mengkhawatirkan mengingat struktur virus zika jauh lebih sederhana dibandingkan DBD.
Gejala penyakit zika juga bervariasi, tergantung dari waktu dan wilayah. Wabah di Pulau Yap di
Pasifik menunjukkan seperti gejala infeksi zika umumnya. Namun, yang terjadi di Kepulauan
Franch Polinesia tahun 2013 muncul gejala auto- imun (sindrom Guillain-Barre), pada sebagian
penderita ada kelumpuhan (paralisis).
Gejala paling dramatik, yang sering dikaitkan dengan infeksi zika, saat wabah terjadi di Brasil
dan beberapa negara Amerika Latin lain tahun 2015 adalah gejala saraf dan mikrosepali pada
janin dan bayi. Lebih-lebih setelah WHO menetapkan wabah zika sebagai keadaan kedaruratan
kesehatan global. Namun, pada strain virus zika Afrika dan Asia, sampai saat ini belum ada
laporan keterkaitan dengan mikrosepali atau gejala saraf.
21. Bagaimna perubahan demografis, urbanisasi dan travelling secara global serta perilaku
manusia sbisa sebabkan emerging disease?
1. Komprehensif atau surveillance berbasis hospital (sentinel) untuk setiap individual dengan gejala
acute respiratory ilness ketika masuk dalam rumah sakit.
2. Surveillance terhadap kematian yang tidak dapat dijelaskan karena acute respiratory ilness di
dalam komunitas.
3. Surveillance terhadap kematian yang tidak dapat dijelaskan karena acute respiratory ilness di
lingkup rumah sakit.
4. Memonitor distribusi penggunaan obat antiviral untuk influenza A , obat antrimicrobial dan obat
lain yang biasa digunakan untuk menangani kasus acute respiratory illness (Paterson, 2008).
Upaya untuk Zika : untuk mencegah dan mendeteksi penularan Zika maka setiap penumpang
yang masuk ke Indonesia melalui Singapura akan diberikan health alert card di setiap pintu
masuk bandara untuk mereka bawa.
Bentuk kartunya sederhana. Ada peringatan yang memberikan informasi, bahwa apabila dalam
waktu 10 hari anda di rumah, anda mengalami demam dengan ciri-ciri demam tinggi, ada ruam
atau bercak pada kulit, maka segera melapor ke fasilitas kesehatan yang ada seperti Puskesmas
atau rumah sakit dengan harus membawa kartu tersebut, jelas Subuh.
Menurutnya pemberian health alert card akan lebih baik dalam memonitor penumpang yang
diduga terinfeksi virus Zika selain dengan dilakukan screening dan pemeriksaan melalui thermal
scanner. Penggunaan thermal scanner sendiri baru akan lebih optimal bila dilakukan kepada
orang yang terinfeksi apabila sudah masuk kedalam masa inkubasi dari virus Zika yaitu 7-10
hari.
Kemenkes untuk merespon kemunculan MERS CoV?
Upaya-upaya yang sudah dilakukan sejak adanya informasi kemunculan MERS CoV (sejak tahun
2012),
- Penyampaian informasi mengenai risiko yang akan dihadapi oleh jamaah haji/umroh di tempat
tujuan dan cara pencegahannya melalui TKHI pada saat musim haji
- Pengamatan ketat terhadap jamaah haji/penumpang yang baru datang dari daerah terjangkit melalui
K3JH dan Health Alert Card (HAC)
- Pemasangan thermal scanner guna menskrining jamaah atau penumpang yang dating dari daerah
terjangkit dan mengalami demam
- Meningkatkan surveilans Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) berat di masyarakat dan fasilitas
pelayan kesehatan
- Penyebarluasan informasi melalui pemasangan spanduk dan menyediakan leaflet MERS CoV di
bandara-bandara embarkasi
- Penyusunan dan distrbusi buku pedoman MERS CoV kepada Dinkes Provinsi, KKP, RS Rujukan
dll