Anda di halaman 1dari 28

Terminologi

1. HIV : Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis virus dari family retroviridae yang
menyerang / menginfeksi sel darah putih berevolusi untuk menghasilkan infeksi persisten kronis
dengan onset gejala-gejala klinis yang bertahap. yang menyebabkan turunnya kekebalan tubuh
manusia. Ada dua famili utama HIV. Kebanyakan epidemikmelibatkan HIV-I; HIV-} merupakan
famili sejenisyang distribusinya terkonsentrasi diAfrika barat. HIV-1secara genetik beragam,
dengan paling sedikit terdapatlima subfamili atau klad yang berbeda.

2. AIDS : Acquired Immune Deficiency Syndrome adalah sekumpulan gejala penyakit


yang timbul karena turunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi oleh HIV.
3. ODHA : Orang Dengan Hiv/Aids , orang yang sudah terinfeksi HIV baik pada tahap
bergejala maupun sudah bergejala.
4. ARV : obat antiretroviral untuk menekan supaya replikasi dan perkembangan virus
menjadi seminimal mungkin.

5. Replikasi virus : proses penggandaan virus.


6. PMTCT : Menurut Depkes RI (2008), Prevention Mother to Child Transmission
(PMTCT) atau Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA), merupakan program
pemerintah untuk mencegah penularan virus HIV/AIDS dari ibu ke bayi yang dikandungnya.
Program tersebut mencegah terjadinya penularan pada perempuan usia produktif, kehamilan
dengan HIV positif, penularan dari ibu hamil ke bayi yang dikandungnya.
7. Diskriminasi : pembedaan perlakuan thd sesama warga negara (berdasarkan warna kulit,
golongan, suku, ekonomi, agama, dsb)
8. LSM : LSM adalah organisasi/lembaga yang anggotanya adalah masyarakat warga
negara Republik Indonesia yang secara sukarela atau kehendak sendiri berniat serta bergerak di
bidang kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh organisasi/lembaga sebagai wujud partisipasi
masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, yang
menitikberatkan kepada pengabdian secara swadaya.( Instruksi Menteri Dalam Negeri
(Inmendagri) No. 8/1990)
9. Epidemiologi : suatu ilmu mengenai terjadinya dan distribusi keadaan kesehatan, penyakit dan
perubahan pada penduduk, begitu juga determinannya serta akibat – akibat yang terjadi pada
kelompok penduduk. (Abdel R. Omran,1974 )
10. Konseling HIV : suatu dialog antara konselor dan klien untuk meningkatkan kemampuan klien
dalam memahami HIV dan AIDS beserta resiko dan konsekuensi terhadap diri, pasangan dan
keluarga serta orang di sekitarnya.
11. Testing HIV : tes terhadap antibody akibat masuknya HIV kedalam tubuh atau tes antigen
yang mendeteksi adanya virus itu sendiri dengan kata lain, tes HIV adalah tes darah yang dipakai
untuk memastikan seseorang terinfeksi HIV atau tidak.
12. VCT : Voluntary Counselling and Testing,yang dalam bahasa Indonesia kurang lebih
artinya konseling dan tes sukarela,berarti layanan tesHIV secara pasif.Pada layanan tersebut
klien datang sendiri untuk meminta dilakukan tesHIV atas berbagai alasan baik kefasilitas
kesehatan atau layanan tesHIV berbasiskomunitas.
13. PITC : Provider-Initiated Testing and Counselling, atau inisiatif pemberi layanan
kesehatan dan konseling (TIPK) yaitu tes HIV yang dianjurkan atau ditawarkan oleh petugas
kesehatan kepada pasien pengguna layanan kesehatan sebagai komponen standar layanan
kesehatan di fasilitas tersebut.
14. Getting in zerro : strategi dari UNAIDS 2011-2015 dengan paradigma Zero new infection, Zero
AIDS-related death dan Zero Discrimination.
15. Re-Emerging disease : penyakit yang baru muncul di populasi dan perluasan host (misal dari
hewan ke manusia) secara cepat yang berhubungan dengan peningkatan penyakit yang dapat
terdeteksi.
16. New-Emerging disease : penyakit yang dulu ada dan kemudian hilang, dan sekarang kembali
muncul.
17. MERS : Middle East Respiratory Syndrome Corona Virus (Sindrom pernapasan Timur
Tengah karena Virus Corona). Penyakit pernapasan ini disebabkan oleh virus corona, pertama
kali diidentifikasi di Arab Saudi pada tahun 2012. Coronavirus adalah keluarga besar virus yang
dapat menyebabkan penyakit mulai dari selesma (pilek) sampai Sindrom Pernapasan Akut Berat
(Severe Acute Respiratory Syndrome = SARS).

18. Zika : salah satu virus dari jenis Flavivirus. Virus ini memiliki kesamaan dengan virus
dengue, berasal dari kelompok arbovirus, Akibat virus Zika, ribuan bayi telah lahir dengan
kondisi otak yang belum berkembang sepenuhnya.
19. Demografis :bersifat tentang susunan, jumlah, dan perkembangan penduduk; ilmu yang
memberikan uraian atau gambaran statistik mengenai suatu bangsa dilihat dari sudut sosial
politik; ilmu kependudukan
20. Urbanisasi : perpindahan penduduk secara berduyun-duyun dari desa (kota kecil, daerah) ke
kota besar (pusat pemerintahan atau perubahan sifat suatu tempat dari suasana (cara hidup dan
sebagainya) desa ke suasana kota

Identifikasi Masalah dan Brainstorming


1. Bagaimana emerging disease yang ada di Indonesia?

Loscher dan Kramer (2010:40) mengklasifisikasikan emerging infectious disease ke dalam 4 jenis:

 Emerging diagnosis as infectious disease (seperti: H. Pylori-associated disease,


Borreliosis, Hepatitis C&E, Cervical Carcinoma)

 Newly emerging infectious disease (seperti: HIV/Aids, varian baru dari Creutzfeld-
Jakob-Disease, Norovirus, Japanese Encephalitis, Avian influenza H5N1, SARS,
Hemorrhagic fevers: Hanta dan Ebola, LAssa, Marburg, Cholera non 01 type atau
Cholera 139, Human ehrlichiosis, Monkeypox di Kongo, Nipahvirus enchepalitis, dan
West nile fever);

 Re-emerging disease (seperti: Dengue, Chikungunya, Cholera, Tuberculosis, Malaria,


Syphilis, Measles); dan
 Emerging resistence of infectious disease (seperti: Multiresistant tuberculosis, Multiresistant
malaria, MRSA, HIV)

2. Kenapa diperingati hari HIV/AIDS sedunia dan kapan itu?


 Agustus 1987, Thomas Netter dan James Bunn yang bekerja di bagian informasi
Program Global untuk AIDS Badan Kesehatan Dunia (World Health
Organization/WHO)di Jenewa, Swiss, mencetuskan ide untuk menetapkan satu hari
untuk meningkatkan kesadaran atas pandemik AIDS.
 1 Desember 1988 sebagai awal peringatan tahunan atas AIDS.
 1 desember, beralasan, hari itu sangat tepat bagi media Barat mengingatnya lantaran
dirayakan setelah pemilu AS namun juga sebelum liburan Natal.
3. Mengapa ODHA perlu diberikan ARV?
 Pengobatan ARV terbukti mempunyai peran yang bermakna dalam pencegahan
penularan HIV, karena obat ARV memiliki mekanisme kerja mencegah replikasi virus
yang secara bertahap menurunkan jumlah virus dalam darah. Penurunan jumlah virus ini
berhubungan dengan penurunan kadar virus dalam duh genital dengan catatan tidak
terdapat IMS. Penelitian observasional menunjukkan penurunan penularan HIV pada
pasangan serodiscordant (berbeda status HIV-nya) yang mendapatkan pengobatan ARV.
 Pemerintah menetapkan paduan yang digunakan dalam pengobatan ARV berdasarkan
pada 5 aspek yaitu:
• Efektivitas
• Efek samping / toksisitas
• Interaksi obat
• Kepatuhan
• Harga obat
 Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 (bila
tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal tersebut adalah untuk
menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat terapi antiretroviral atau belum.
Berikut ini adalah rekomendasi cara memulai terapi ARV pada ODHA dewasa.
a. Tidak tersedia pemeriksaan CD4

Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapi ARV adalah
didasarkan pada penilaian klinis.
b. Tersedia pemeriksaan CD4

 Rekomendasi :
1. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350 sel/mm3 tanpa
memandang stadium klinisnya.
2. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan koinfeksi
Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.

 Prinsip dalam pemberian ARV adalah


1. Paduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang terserap dan berada dalam dosis
terapeutik. Prinsip tersebut untuk menjamin efektivitas penggunaan obat.
2. Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dengan mendekatkan akses pelayanan
ARV .
3. Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan menerapkan manajemen logistik
yang baik.

 ODHA harus mendapatkan informasi yang lebih mengutamakan manfaat terapi ARV
sebelum terapi dimulai. Bila informasi dan rawatan HIV dimulai lebih awal sebelum
memerlukan terapi ARV maka pasien mempunyai kesempatan lebih panjang untuk
mempersiapkan diri demi keberhasilan terapi ARV jangka panjang, melalui konseling
pra-terapi ARV yang meliputi cara dan ketepatan minum obat, efek samping yang
mungkin terjadi, interaksi dengan obat lain, pemantauan keadaan klinis dan pemantauan
pemeriksaan laboratorium secara berkala termasuk pemeriksaan jumlah CD4.

 Obat untuk orang yang belum pernah dapatkan terapi:


4. Apakah ARV tidak berpengaruh pada ibu hamil (terutama janin) yang HIV?
 Terapi antiretroviral/ARV/HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy) dalam program
PMTCT (Prevention Mother to Child Transmission – PPIA = Pencegahan Penularan Ibu ke
Anak) adalah penggunaan obat antiretroviral jangka panjang (seumur hidup) untuk mengobati
perempuan hamil HIV positif dan mencegah penularan HIV dari ibu ke anak.
 Pemberian obat antiretroviral dalam program PMTCT/PPIA ditujukan pada keadaan seperti
terpapar berikut ini.

Penelitian

terhadap kera menunjukkan bahwa efavirenz dapat menyebabkan cacat lahir. Oleh karena ini,
efavirenz sebaiknya tidak dipakai oleh perempuan hamil, terutama pada triwulan pertama
kehamilan.
 Kurang lebih 80% perempuan hamil yang memakai ART akan mengalami sedikit satu efek
samping dari obatnya. Angka ini tidak jauh berbeda dari perempuan tidak hamil. Sebagian besar
efek samping adalah ringan, termasuk mual, sakit kepala, kelelahan, dan diare.
 Risiko diabetes dapat lebih tinggi bila kita memakai protease inhibitor. Oleh karena itu,
sebaiknya kita memantau tingkat gula dalam darah dan diskrining terhadap diabetes waktu hamil
– seharusnya tes ini baku untuk perempuan hamil.
 Kehamilan mungkin juga faktor risiko untuk tingkat tinggi asam laktik (asidosis laktik), yang
dapat disebabkan terutama oleh d4T dan ddI.

5. Apa itu PMTCT?

 Menurut WHO (2009), kecenderungan infeksi HIV pada perempuan dan anak meningkat,
sehingga diperlukan berbagai upaya untuk mencegah penularan HIV dari ibu hamil ke bayi
antara lain dengan program PMTCT. Program PMTCT dapat dilaksanakan pada perempuan usia
produktif, melibatkan para remaja pranikah dengan jalan menyebarkan informasi tentang
HIV/AIDS, meningkatkan kesadaran perempuan tentang bagaimana cara menghindari penularan
HIV/AIDS dan infeksi menular seksual (IMS), menjelaskan manfaat dari konseling dan tes
HIV/AIDS secara sukarela, melibatkan kelompok yang beresiko, petugas lapangan, kader PKK,
dan bidan

 Sementara menurut WHO (2010) beberapa tujuan diterapkannya program pencegahan penularan
HIV dari ibu ke bayi, antara lain:

1. Mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi. Hal ini disebabkan karena sebagian besar infeksi
HIV pada bayi ditularkan dari ibu. Diperlukan upaya intervensi dini yang baik, mudah dan
mampu laksana guna menekan proses penularan tersebut;

2. Mengurangi dampak epidemi HIV terhadap Ibu dan Bayi. Dampak akhir dari epidemi HIV
berupa berkurangnya kemampuan produksi dan peningkatan beban biaya hidup yang harus
ditanggung oleh ODHA dan masyarakat Indonesia dimasa mendatang karena morbiditas dan
mortalitas terhadap ibu dan bayi.
 Sedangkan program PMTCT pada ibu hamil di Indonesia, menjadi kebijakan resmi
pemerintah. Kebijakan ini menurut Depkes RI (2005) mencakup hal-hal penting dalan tiap
langkah intervensi program diantaranya dengan integrasi program, konseling dan testing
HIV sukarela, pemberian obat ARV, persalinan yang aman, serta pemberian makanan bayi.
Langkah dini paling efektif untuk mencegah terjadinya penularan HIV pada bayi adalah
mencegah perempuan usia reproduktif tertular HIV, dengan mencegah perempuan muda di
usia reproduktif, ibu hamil dan penangana bumil agar tidak terinfeksi HIV.

Terdapat beberapa strategi yang dilakukan dalam kegiatan PMTCT, antara lain:

1. Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi

2. Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV positif

3. Pencegahan terjadinya penularan HIV dari ibu hamil HIV positif pada bayi yang
dikandungnya.

4. Merujuk ibu dengan HIV positif ke sarana layanan kesehatan tingkat kabupaten atau
propinsi untuk mendapatkan layanan tindak lanjut

5. Dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu positif beserta keluarganya
dengan merujuk ibu HIV positif ke sarana layanan kesehatan tingkat kabupaten atau
propinsi untuk mendapatkan layanan tindak lanjut.
6. Mengapa perlu larangan diskriminasi terhadap ODHA?
 Karena ini berkaitan dengan psikososial ODHA.
 Tindakan diskriminasi dan stigmatisasi membuat orang enggan untuk melakukan tes HIV,
enggan mengetahui hasil tes mereka, dan tidak berusaha untuk memperoleh perawatan yang
semestinya serta cenderung menyembunyikan status penyakitnya. Hal ini semakin
memperburuk keadaan, membuat penyakit yang tadinya dapat dikendalikan menjadi
semacam “hukuman mati” bagi para pengidapnya dan membuat penyakit ini makin meluas
penyebarannya secara terselubung.
 Nasronuddin 2007, mengungkapkan bahwa terjadi peningkatan kadar ACTH dan kadar
kortisol dalam tujuh hari pertama yang dipicu oleh stressor psikologis akibat dinyatakan
terinfeksi HIV, selain akibat stressor psikologis peningkatan setelah hari ke tujuh terjadi
akibat stressor biologis HIV, dari sini dapat dilihat bahwa efek dari pernyataan diagnosis
mengidap HIV terhadap seseorang sangat signifikan meningkatkan tingkat stress, belum lagi
menghadapi reaksi keluarga dan teman-teman yang perlahan tapi pasti beranjak menjauh.
 Oleh karena itu, larangan diskriminasi ini,Dengan berusaha mencoba memahami
pengalaman hidup yang dialami pengidap HIV akan menyebabkan hasil psikologis yang
positif untuk membantu meningkatkan kualitas hidup orang dengan HIV/ AIDS

7. Apa saja program penanganan HIV/AIDS bersama LSM?


 Program pencegahan HIV/AIDS;
Departemen Sosial dan berbagai LSM, seperti Yayasan Abdi Asih, Yayasan
Kerti Praja dan Yayasan Kusuma Buana, menyelenggarakan kegiatan pencegahan penularan HIV
bagi para pekerja seksdan pelanggan mereka. Departemen Kesehatan bersama WHO
mempromosikan konsep penggunaan kondom 100% di lokalisasi dan kawasan hiburan.
 program pendampingan ODHA dan program pendidikan/pelayanan masyarakat
 Program kegiatannya mencakup aspek kesehatan, pendampingan ODHA, ekonomi masyarakat
maupun kegiatan pencegahan/penanggulangan epidemi HIV/AIDS Tentunya diperlukan
pengembangan program yang holistik, multidimensional dan universal mengglobal

8. Bagaimana perkembangan HIV/AIDS secara epidemiologi di Indonesia?


 Di Indonesia, HIVAIDSpertama kali ditemukan di provinsi Bali pada tahun 1987.
Hingga saat ini HIV AIDSsudah menyebar di 386 kabupaten/kota di seluruh provinsi
di Indonesia. 10 besar kasusHIVterbanyak ada di Provinsi DKI Jakarta,JawaTimur,
Papua,JawaBarat, Bali, Sumatera Utara, JawaTengah,Kalimantan Barat, Kepulauan
Riau,dan SulawesiSelatan(2014).
 KasusAIDSdi Indonesia berdasarkan jenis kelamin sejak 1987 sampai September 2014,
lebih banyakterjadi pada kelompok laki-Iaki (54%)atau hampir 2 kali lipat dibandingkan
pada kelompok perempuan (29%).
 Kejadian kasus AIDS di Indonesia berdasarkan kelompok umur memiliki pola yang
jelas. Kasus AIDS yang dilaporkan sejak 1987 sampai September 2014 terbanyak pada
kelompok usia 20-29 tahun, diikuti kelompok usia 30-39 tahun dan 40-49 tahun.
 Menurut jenis pekerjaan, penderita AIDS di Indonesia paling banyak berasal dari
kelompok ibu rumah tangga, diikuti wiraswasta dan tenaga non profesional (karyawan).
 kasus AIDS di Indonesia paling banyak terjadi pada kelompok heteroseksual
(61,5%)' diikuti pengguna narkoba injeksi (IOU) sebesar 15,2%, dan
homoseksual (2,4%). Faktor risiko tak diketahui sebesar 17,1%.
 Kasus HIV/AIDS di Sumatera Barat berada pada posisi 9 di Indonesia. Yang paling
banyak terkena adalah kalangan wiraswasta dan ibu rumah tangga. Untuk daerah yang
terbanyak kasus HIV/AIDS di Sumatera Barat yaitu Padang, Bukittinggi,Agam, Padang
Pariaman dan Pesisir Selatan. Statistik kasus HIV mencapai 1692 dan AIDS mencapai
1346.

9. Mengapa kasus HIV/AIDS meningkat dan siapa aja yang termasuk golongan berisiko?
 Menurut UNAIDS ;
 Pengguna napza suntik,
 pekerja seks dan pelanggan mereka,
 lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki,
 narapidana,
 pelaut
 pekerja di sektor transportasi
.
 Kasus HIV/AIDS ini meningkat dikarenakan peningkatan Mobilitasi dan migrasi
Peningkatan akses sarana transportasi dan komunikasi mengakibatkan kemudahan masyarakat
untuk melakukan mobilisasi atau perpindahan baik secara vertikal dengan berganti profesi dari
petani menjadi tenaga buruh pabrik, buruh konstruksi serta secara horisontal karena berpindah
tempat tinggal dari desa ke kota. Hal ini menunjukkan terjadinya revolusi mobilitas penduduk.
Baik mobilitas vertikal akibat perubahan status pekerjaan seseorang maupun mobilitas horisontal
akibat berpindahnya seseorang yang melintasi batas wilayah dan waktu tertentu. Kondisi ini juga
berdampak pada pola gaya hidup seksual dari masyarakat yang mengarah pada risiko penularan
HIV/AIDS. Mobilitas dapat membuat seseorang masuk ke dalam situasi yang berisiko tinggi
(Skeldon, 2000). Dikarenakan jauh dari keluarga dan masyarakat mereka dimana norma-norma
seksual dan sosial diterapkan dan dipatuhi pada tingkatan yang berbeda, kini mereka harus
beradaptasi dengan lingkungan yang baru (Hugo, 2001). Kondisi ini seperti pada hasil penelitian
komprehensif mengenai perpindahan penduduk dengan HIV/AIDS di Kenya dengan menguji
hipotesa yang menyatakan bahwa bila dibandingkan dengan mereka yang bukan pendatang, para
pendatang laki-laki dan perempuan di daerah perkotaan dan pedesaan nampaknya lebih
cenderung terlihat dalam kegiatan-kegiatan seksual yang dapat meningkatkan risiko mereka
terjangkit HIV dan akhirnya berujung pada AIDS

 Selain itu juga disebabkan oleh . seks bebas, penggunaan jarum suntik beramai-ramai saat
mengkonsumsi narkoba, transfusi darah .

10. Mengapa kebanyakan golongan berisiko tidak mengetahui statusnya terinfeksi?


 Karena HIV/AIDS ini, sering tidak khas gejala awalnya. Sehingga sering disebut fenomena
gunung es.
 Stigma masyarakat yang buruk terhadap ODHA, membuat orang juga takut untuk deteksi dini,
sehingga status infeksi pun tidak diketahui.
 Berikut gejala HIV/AIDS :
11. Mengapa peningkatan kasus HIV/AIDS menjadi masalah di masyrarakat?
 Karena, ODHA cenderung bermasalah secara social dalam msyarakat. perilaku
social penderita menunjukkan perilaku yang berubah-ubah dan sangat situasional,
mengalami kesulitan melaksanakan adaptasi sosial t erhadap lingkungannya.
Ketidakmampuan melaksanakan penyesuaian sosial terhadap lingkungan berpijak pada
dua aspek, yaitu perilaku situasional yang dilakukannya menyebabkan yang bersangkutan
tidak berkemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan
ketidakmampuan masyarakat untuk melakukan penyesuaian sosial terhadap penderita.
Jadi lebih cenderung mengasing kan diri.
 Dampak ekonomi yang disebabkan oleh penyakit HIV AIDS dipertegas oleh Carlos
Avila-Figueroa dan Paul Delay (2009), yang menyatakan bahwa krisis ekonomi global
yang terjadi diperparah dengan keadaan empat juta penderita berpenghasilan rendah dan
menengah menerima pengobatan antiretroviral. Keadaan ini menyebabkan meningkatnya
pengangguran, mengurangi kesejahteraan penderita HIV AIDS, khususnya di negara-
negara miskin dengan penderita HIV AIDS yang tinggi. Dana yang diperlukan bagi
negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah untuk terapi bagi penderita HIV
AIDS diperkirakan akan terus bertambah walaupun mendapat bantuan bilateral dari
negara lain atau dari IMF.

12. Apa saja penangangan medis dan psikososial untuk HIV/AIDS?


 Medis dengan pengobatan ARV yang telah dibahas di soal no.1. Untuk ODHA
yang akan memulai terapi ARV dalam keadaan jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm3 maka
dianjurkan untuk memberikan Kotrimoksasol (1x960mg sebagai pencegahan IO) 2
minggu sebelum terapi ARV. Hal ini dimaksudkan untuk: 1. Mengkaji kepatuhan pasien
untuk minum obat,dan 2. Menyingkirkan kemungkinan efek samping tumpang tindih
antara kotrimoksasol dan obat ARV, mengingat bahwa banyak obat ARV mempunyai
efek samping yang sama dengan efek samping kotrimoksasol.
 Psikososial ini terkait dengan faktor yang pengaruhi hidup ODHA.
 Menurut WHO ( 2002 ) faktor – faktor yang mempengaruhi kualitas hidup ODHA
adalah
a.Fisik
Dalam faktor fisik ini merupakan aktifitas sehari – hari yang dilakukan oleh ODHA yaitu
rasa sakit dan ketidaknyamanan atas penyakit yang diderita, energi dan kelelahan dalam
melakukan aktifitas, tidur danistirahat
b.Psikologis
Apabila seseorang sudah dinyatakan HIV positif tentu secara otomatis bukanlah hak yang
mudah diterima. Seseorang akan merasa bahwadirinya tidak berguna, tidak ada harapan,
takut, sedih, marah dan muncul perasaan lainnya. Adapun faktor – faktor psikologis yang
dapat meningkatkan kualitas hidup adalah perasaan positif dan negatif, berfikir, belajar,
memori, konsentrasi, harga diri, citra tubuh danpenampilan. Kualitas hidup terdiri dari
sebuah pendekatan untuk meningkatkan kesenangan atau ke intervensi psikologi yang
positif.
c.Level ketergantungan
Level ketergantungan merupakan dimana penilaian secara biologis baik secara pengobatan
dan perawatan. Adapun faktor – faktornya antara lain mobilitas seseorang untuk menjalani
kehidupan sehari – hari, ketergantungan terhadap obat dan perawatan. Dengan tersedianya
ARV (Antiretroviral) menjadi lebih nyata hasilnya. ODHA yang mendapatkan terapi
berhasil mencapai kualitas hidup yang baik, mereka mengalami pemulihan hidup yang
nyata dan dapat hidup secara produktif
(DEPKES RI, 2007)
d. Hubungan sosial
Masalah sosial yang dapat timbul pada HIV dan AIDS adalah diskriminasi, stigmasasi,
pemberhentian dari pekerjaan, perceraian, serta beban finansial yang harus ditanggung
ODHA. Masalah psikososial dan sosioekonomi tersebut seringkali tidak saja dihadapi oleh
keluarga dan kerabat dekat ODHA. Akhirnya ODHA dilihat sebagai masalah dan bukan
sebagai bagian dari solusi untuk mengatasi epidemi HIV dan
AIDS Nasronudin ( 2007 ). Hal tersebut secara otomatis dapat menurunkan kualitas hidup
ODHA dan dapat memperburuk keadaanfisiologis ODHA. Dengan adanya masalah sosial
maka yang dinilai
dalam kualitas hidup adalah hubungan pribadi, dukungan sosial dan aktifitas seksual.
e. Lingkungan
Lingkungan merupakan dunia luar yang tidak dikelola oleh suatu sistem tetapi mempunyai
pengaruh besar terhadap sistem tersebut. Adapun aspek - aspek yang nantinya dinilai
dalam kualitas hidup ini adalah keselamatan dan keamanan fisik, lingkungan rumah,
sumber keuangan, kesehatan dan kepedulian sosial, kesempatan untuk memperoleh
informasi baru dan keterampilan, partisipasi dalam kesempatan untuk rekreasi atau
kegiatan diwaktu luang, lingkungan fisik dan transportasi.
f. Spiritual
Dalam bidang spiritual aspek – aspek yang dinilai adalah keprihatinan akan masa depan,
pengampunan, memaafkan dan kematian.
g. Manajemen Kasus
Manajemen kasus merupakan pelayanan terpadu dan berkesinambungan yang diberikan
kepada ODHA untuk dapat menghadapi permasalahan dalam hidupnya

13. Apa saja pencegahan primer, sekunder dan tersier untuk HIV/AIDS?
1) Primer
Pencegahan primer dilakukan sebelum seseorang terinfeksi HIV. Hal ini diberikan
pada seseorang yang sehat secara fisik dan mental. Pencegahan ini tidak bersifat
terapeutik; tidak menggunakan tindakan yang terapeutik; dan tidak menggunakan
identifikasi gejala penyakit. Pencegahan ini meliputi dua hal, yaitu:
a) Peningkatan kesehatan, misalnya: dengan pendidikan kesehatan reproduksi
tentang HIV/AIDS; standarisasi nutrisi; menghindari seks bebas; screening, dan
sebagainya.
b) Perlindungan khusus, misalnya: imunisasi; kebersihan pribadi; atau
pemakaian kondom.
2) Sekunder
Pencegahan sekunder berfokus pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) agar tidak
mengalami komplikasi atau kondisi yang lebih buruk. Pencegahan ini dilakukan melalui
pembuatan diagnosa dan pemberian intervensi yang tepat sehingga dapat mengurangi
keparahan kondisi dan memungkinkan ODHA tetap bertahan melawan penyakitnya.
Pencegahan sekunder terdiri dari teknik skrining dan pengobatan penyakit pada tahap dini.
Hal ini dilakukan dengan menghindarkan atau menunda keparahan akibat yang
ditimbulkan dari perkembangan penyakit; atau meminimalkan potensi tertularnya penyakit
lain.
3) Tersier
Pencegahan tersier dilakukan ketika seseorang teridentifikasi terinfeksi HIV/AIDS
dan mengalami ketidakmampuan permanen yang tidak dapat disembuhkan. Pencegahan ini
terdiri dari cara meminimalkan akibat penyakit atau ketidakmampuan melalui intervensi
yang bertujuan mencegah komplikasi dan penurunan kesehatan. Kegiatan pencegahan
tersier ditujukan untuk melaksanakan rehabilitasi, dari pada pembuatan diagnosa dan
tindakan penyakit. Perawatan pada tingkat ini ditujukan untuk membantu ODHA mencapai
tingkat fungsi setinggi mungkin, sesuai dengan keterbatasan yang ada akibat HIV/AIDS.
Tingkat perawatan ini bisa disebut juga perawatan preventive, karena di dalamnya terdapat
tindak pencegahan terhadap kerusakan atau penurunan fungsi lebih jauh. Misalnya, dalam
merawat seseorang yang terkena HIV/AIDS, disamping memaksimalkan aktivitas ODHA
dalam aktivitas sehari-hari di masyarakat, juga mencegah terjadinya penularan penyakit
lain ke dalam penderita HIV/AIDS; Mengingat seseorang yang terkena HIV/AIDS
mengalami penurunan imunitas dan sangat rentan tertular penyakit lain.
Selain hal-hal tersebut, pendekatan yang dapat digunakan dalam upaya pencegahan
penularan infeksi HIV/AIDS adalah penyuluhan untuk mempertahankan perilaku tidak
beresiko. Hal ini bisa dengan menggunakan prinsip ABCDE yang telah dibakukan secara
internasional sebagai cara efektif mencegah infeksi HIV/AIDS lewat hubungan seksual.
ABCDE ini meliputi:
A = abstinensia, tidak melakukan hubungan seks terutama seks berisiko tinggi dan
seks pranikah.
B = be faithful, bersikap saling setia dalam hubungan perkawinan atau hubungan
tetap.
C = condom, cegah penularan HIV dengan memakai kondom secara benar dan
konsisten untuk para penjaja seksual.
D = drugs, hindari pemakaian narkoba suntik.
E = equipment , jangan memakai alat suntik bergantian.
Upaya penanggulangan penyakit HIV/AIDS dapat dilakukan dengan menyediakan
Rumah Sakit atau tempat perawatan khusus bagi pasien penderita HIV/AIDS dan dijaga
sedemikian rupa sehingga penularan kepada yang sehat dapat dicegah serta melakukan
pemantauan secara terus menerus untuk melihat perkembangan masalah AIDS agar
masalah AIDS ini dapat ditangani dengan baik.

14. Bagaimana cara deteksi dini melalui konseling dan Testing?

TAHAPAN KONSELING PRE TEST

 Alasan Test

 Pengetahuan tentang HIV & manfaat testing

 Perbaikan kesalahpahaman ttg HIV / AIDS

 Penilaian pribadi resiko penularan HIV

 Informasi tentang test HIV

 Diskusi tentang kemungkinan hasil yang keluar


 Kapasitas menghadapi hasil / dampak hasil

 Kebutuhan dan dukungan potensial - rencana pengurangan resiko pribadi

 Pemahaman tentang pentingnya test ulang.

 Memberi waktu untuk mempertimbangkan.

 Pengambilan keputusan setelah diberi informasi.

 Membuat rencana tindak lanjut.

 Memfasilitasi dan penandatanganan Informed Consent

KONSELING PASCA TEST

 Dokter & Konselor Mengetahui Hasil Untuk Membantu Diagnosa Dan Dukungan Lebih Lanjut.

 Hasil diberikan dalam amplop tertutup .

 Hasil Disampaikan Dengan Jelas Dan Sederhana

 Beri Waktu Untuk Bereaksi

 Cek Pemahaman Hasil Test

 Diskusi Makna Hasil Test

 Dampak pribadi , keluarga , sosial terhadap odha , kepada siapa & bagaimana memberitahu.

 Rencana pribadi penurunan resiko

 Menangani reaksi emosional.

 Apakah segera tersedia dukungan ?

 Tindak lanjut perawatan & dukungan ke layanan managemen kasus atau layanan dukungan yang
tersedia di wilayah.

 Tes HIV harus mengikuti prinsip yang telah disepakati secara global yaitu 5 komponen
dasar yang disebut 5C (informed consent, confidentiality, counseling, correct testing and
connection/linkage to prevention, care, and treatment services). Prinsip 5C tersebut
harus diterapkan pada semua model layanan Konseling dan Tes HIV.
 Di tingkat epidemi meluas maka TIPK diterapkan pada semua pasien (dewasa, remaja
dan anak) pengunjung fasilitas kesehatan, termasuk di layanan medis dan bedah; IMS;
layanan untuk hepatitis; TB; baik di fasyankes pemerintah maupun swasta; rawat jalan
dan rawat inap; layanan medis bergerak atau melalui penjangkauan; layanan antenatal;
KB; kesehatan anak; layanan bagi populasi kunci; kesehatan reproduksi
 Di tingkat epidemi terkonsentrasi maka TIPK diterapkan pada
 dewasa, remaja, dan anak pengunjung semua fasilitas layanan kesehatan dengan tanda
dan gejala atau kondisi klinis/medis yang diduga terkait dengan infeksi HIV, termasuk
TB;
 anak yang terpajan oleh HIV, atau anak yang terlahir dari ibu terinfeksi HIV serta bayi
dan anak yang simtomatis.
 pasien IMS; hepatitis; TB; ibu hamil yang melakukan pemeriksaan kehamilan di
antenatal care dan populasi kunci (LSL, waria, PS dan penasun)

 Tes HIV harus bersifat :

1. SUKARELA artinya bahwa seseorang yang akan melakukan tes HIV haruslah
berdasarkan

2. KOFIDENSIAL artinya apapun hasil tes ini nantinya (baik positif maupun negative)
hasilnya hanya boleh diberitahukan langsung kepada orang yang bersangkutan. Tidak
boleh diwakilkan kepada siapapun, baik oramg tua, pasangan,atasan atau siapapun.
Disamping itu hasil tes HIV juga harus dijamin kerahasiaanya oleh pihak yang
melakukan tes itu (dokter, rumah sakit, atau laboratorium dan tidak boleh disebarluaskan
15. Bagaimana pelayanan VCT dan PITC? Kenapa semua pelayan kesehatan harus terlibat?
 Semua pelayan kesehatan harus terlibat, karena konsep lintas sector dalam penangan
HIV/AIDS ini.
 Tujuan dari PTIC adalah untuk melakukan diagnosis HIV secara lebih dini dan
memfasilitasi pasien untuk mendapatkan pengobatan lebih dini pula, juga untuk
memfasilitasi pengambilan keputusan klinis atau medis terkait pengobatan yang
dibutuhkan dan yang tidak mungkin diambil tanpa mengetahui status HIV nya.
 VCT/KTS Layanan ini menekankan penilaian dan pengelolaan risiko infeksi HIV dari
klien yang dilakukan oleh seorang konselor, membahas perihal keinginan klien untuk
menjalani tes HIV dan strategi untuk mengurangi risiko tertular HIV. KTS dilaksanakan
di berbagai macam tatanan seperti fasilitas layanan kesehatan, layanan KTS mandiri di
luar institusi kesehatan, layanan di komunitas, atau lainnya.
 ALUR VCT
Konseling Individual pra-testing - Periksa Darah dg Rapid Testing - Terima hasil &
konseling Pasca Tes - Konseling Dukungan dan rujukan pelayanan Kesehatan & MK -
Rujukan untuk dukungan proses yang sedang berjalan, termasuk Support group.

Elemen Penting dalam VCT

 Tersedia waktu

 Penerimaan klien dan berorintasi kepada klien


 Mudah di Jangkau (Accessibility)

 Confidentiality ( rasa nyaman)

16. Apa maksud target WHO getting to zero,Mengapa Indonesia terapkan ini?
 Indonesia sudah menjadi negara urutan ke 5 di Asia paling berisiko HIV-AIDS, sehingga
tidak bisa dihindari lagi bagi Indonesia untuk menerapkan kesepakatan tingkat
internasional yang diikuti kebijakan nasional.
Tahun 2020 target WHO UNUTUK HIV AIDS

17. Mengapa deteksi dini perlu dicatat dan dilaporkan?

 Laporan layanan deteksi dini membantu Kementerian Kesehatan dalam melakukan


monitoring dan evaluasi terhadap layanan TKHIV yang ada. Selain itu data yang
dilaporkan juga dapat dijadikan bahan perencanaan berbasis data dalam merencanakan
program penanggulangan HIV di masa yang akan datang. Pelaporan layanan TKHIV
dimulai dari laporan bulanan dari setiap layanan TKHIV yang ada ke dinas kesehatan di
kabupaten/kota tempat layanan tersebut berada. Selanjutnya setiap bulan laporan tersebut
dilaporkan kembali ke tingkat provinsi dan pusat (Subdit AIDS dan PMS) Kementerian
Kesehatan. Setiap bulan laporan tersebut diberi umpan balik untuk memantau kualitas
pelaporan.

Data yang perlu dicatat:


1. Data Identitas
2. Alasan tes HIV dan asal rujukan kalau ada
3. Tanggal pemberian informasi HIV
4. Informasi tentang tes HIV sebelumnya bila ada
5. Penyakit terkait HIV yang muncul: TB, Diare, Kandidiasis oral, Dermatitis, LGV, PCP,
Herpes, Toksoplasmosi, Wasting syndrome, IMS, dan lainnya.
6. Tanggal kesediaan menjalani tes HIV
7. Tanggal dan tempat tes HIV
8. Tanggal pembukaan hasil tes HIV, dan reaksi emosional yang muncul
9. Hasil tes HIV, nama reagen ke 1, 2 dan ke 3.
10. Tindak lanjut: rujukan ke PDP, konseling, dan rujukan lainnya
11. Penggalian faktor risiko oleh konselor (melalui rujukan)
12. Nama petugas

18. RS rujukan Bagaimana yang bisa merawat HIV/AIDS?


Rujukan dapat berupa:
 Internal: rujukan kepada layanan lain yang ada pada fasilitas layanan kesehatan yang sama.
 Eksternal: rujukan kepada berbagai sumber daya yang ada di wilayah tempat tinggal klien,
baik yang dimiliki oleh pemerintah ataupun masyarakat.

 Di sumbar :
NO KAB/KOTA NAMA RUMAH SAKIT ALAMAT TELEPON WEBSITE
1 Kota Padang RSUP Dr. M. Djamil Jl. Perintis Kemerdekaan, Padang
0751-32373
2 Kota BukittinggiRSUD Dr. Achmad Muchtar
Jl. Dr. A. Rivai, Bukittinggi 0752-21720
3 Kota Pariaman RSUD Pariaman

19. Mengapa flu burung mesti di rs rujukan juga?


 Karena Flu burung mesti di rawat di ruang isolasi
 Selain itu juga harus dilakukan pemriksaan labor melihat kenaikan titernya.

20. Bagaimana MERS dan Zika di Indonesia?


 MERS
 25 negara telah melaporkan kasus MERS CoV, yaitu Iran, Yordania, Kuwait, Lebanon, Oman,
Qatar, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Yaman (Timur Tengah); Austria, Prancis, Jerman,
Yunani, Italia, Belanda, Turki, dan Inggris (UK) (Eropa); Aljazair, Tunisia dan Mesir (Afrika);
Cina, Malaysia, Republik Korea dan Filipina (Asia); dan Amerika Serikat (Amerika). Sebagian
besar kasus sejauh ini terjadi di Kerajaan Arab Saudi.
 Seberapa luas penyebaran virus ini masih belum diketahui. Data WHO tahun 2015 sampai 15
Juni menyebutkan jumlah kasus MERS CoV adalah 1.317 kasus dengan 463 kematian. Korea
melaporkan kasus yang terjadi pada bulan Mei - 15 Juni 2015 terdapat 150 kasus, dengan 16
kematian. Arab Saudi melaporkan sampai tanggal 15 Juni 2015 terdapat 1.034 kasus, dengan
456 kematian.
 Sampai tanggal 16 Juni 2015 belum ada kasus positif MERS CoV di Indonesia. Namun deteksi
dini kasus tetap dilakukan di bandar udara dan fasilitas pelayanan kesehatan.
 Penyelidikan di Arab Saudi menunjukkan bahwa mereka yang pernah kontak dengan penderita
dapat tertular tanpa memperlihatkan gejala-gejala penyakit ini. Ketika dilakukan pemeriksaan
terhadap 280 orang yang pernah kontak dengan penderita, hanya sembilan orang yang terbukti
positif sebagai pembawa virus dan tidak satu pun dari mereka memperlihatkan gejala-gejala
telah terinfeksi.
 Untuk saat ini, pemeriksaan lanjutan terhadap semua pasien dengan gejala-gejala selesma
(pilek) atau mirip flu belum perlu dilakukan. Namun, sebagai langkah pencegahan, telah
ditetapkan kriteria bagi mereka yang harus menjalani pemeriksaan lanjutan. Orang dengan
gejala demam ≥ 38o C, batuk sesak nafas (gejala pneumonia) dan mempunyai riwayat
perjalanan dari wilayah terjangkit dalam 14 hari terakhir sebelum sakit harus dicurigai
kemungkinan tertular MERS CoV sehingga harus diperiksa lebih lanjut.
 Gejala MERS CoV sama dengan gejala penyakit infeksi pernafasan lainnya terutama demam,
batuk, dan sesak napas. Pneumonia merupakan temuan umum pada pemeriksaan. Gejala
gastrointestinal, termasuk diare, juga telah dilaporkan. Penyakit dapat menjadi berat dan dapat
menyebabkan kegagalan pernapasan yang membutuhkan ventilator dan dukungan unit
perawatan intensif. Beberapa pasien memiliki kegagalan organ, terutama ginjal atau syok septik.
Virus ini tampaknya menyebabkan penyakit yang lebih parah pada orang dengan sistem
kekebalan tubuh lemah, orang tua, dan orang-orang dengan penyakit kronis seperti diabetes,
kanker dan penyakit paru-paru kronis.
 ZIKA
 Sebetulnya indikasi adanya virus zika di Indonesia atau negara ASEAN lain sudah lama
dilaporkan, di antaranya yang dilaporkan Trans. Royal Society of Trop.Med: 57(5), 1963 dan
75(3), 1981; Am.J.Med.Hyg: 89(3), 2013. Kasus terakhir dilaporkan pada EID: 22 (5), 2016.
Penyakit Zika bukan merupakan penyakit baru atau new emerging disease, tetapi re-emerging
disease atau muncul kembali yang neglected (terlupakan).
 Awal tahun 2016, tim Eijkman dan CDC Amerika Serikat melaporkan adanya virus zika di
antara penderita yang diduga demam berdarah dengue (DBD) tahun 2015 di Jambi.
 Tim Australia telah berhasil mengisolasi virus zika pada seorang turis wanita Australia, 52
tahun. Ia menderita demam dan ruam kulit setelah pulang dari Indonesia tahun 2012.
 Telah dilaporkan pula hasil riset tim Namru-2 dan UGM, spesimen yang diambil dari pasien
demam di Rumah Sakit Klaten, Jawa Tengah, tahun 1977-1978, adanya pasien positif terhadap
jejak virus zika dengan rentang dari 3,2 persen sampai 7,8 persen, dari setiap kelompok penderita
demam. Kemudian jejak zika tercatat kembali di Indonesia pada tahun 1983 sebanyak 12,7
persen positif

 Umumnya gejala infeksi virus zika tidak terlihat (asymptomatic), hanya 20 persen, antara lain
demam ringan, nyeri persendian, pening, sakit perut, konjungtivitis (mata merah), dan ruam
(bintik merah) pada kulit. Gejala ini bisa keliru dengan flu atau sejenisnya. Infeksi DBD lebih
mengkhawatirkan mengingat struktur virus zika jauh lebih sederhana dibandingkan DBD.
 Gejala penyakit zika juga bervariasi, tergantung dari waktu dan wilayah. Wabah di Pulau Yap di
Pasifik menunjukkan seperti gejala infeksi zika umumnya. Namun, yang terjadi di Kepulauan
Franch Polinesia tahun 2013 muncul gejala auto- imun (sindrom Guillain-Barre), pada sebagian
penderita ada kelumpuhan (paralisis).
 Gejala paling dramatik, yang sering dikaitkan dengan infeksi zika, saat wabah terjadi di Brasil
dan beberapa negara Amerika Latin lain tahun 2015 adalah gejala saraf dan mikrosepali pada
janin dan bayi. Lebih-lebih setelah WHO menetapkan wabah zika sebagai keadaan kedaruratan
kesehatan global. Namun, pada strain virus zika Afrika dan Asia, sampai saat ini belum ada
laporan keterkaitan dengan mikrosepali atau gejala saraf.

21. Bagaimna perubahan demografis, urbanisasi dan travelling secara global serta perilaku
manusia sbisa sebabkan emerging disease?

 Perubahan demografis serta perpindahan penduduk itu,menyebabkan terjadinya


perubahan ekosistem. Dikarenakan : perubahan suhu rata-rata lokal, perubahan siklus
air, perubahan distribusi air akibat irigasi dan pembangunan bendungan, perubahan
akibat pencemaran pupuk dan pestisida, sampai pada perubahan akibat urbanisasi.
Umumnya gangguan ekosistem, kerusakan dan fragmentasi habitat terjadi sebagai akibat
dari konversi habitat alami menjadi lahan pertanian atau peternakan, pemukiman.
 Terjadinya gangguan terhadap ekosistem telah menyebabkan perubahan komposisi
ekosistem dan fungsinya. Perubahan komposisi dan fungsi ekosistem mengakibatkan
berubahnya keseimbangan alam khususnya predator, serta patogen dan vektornya.
Beberapa perubahan ekosistem akibat aktivitas manusia yang mengganggu secara
langsung ataupun tidak langsung terhadap ekosistem antara lain : perkembangan
pertanian, manajemen sumberdaya air, deforestasi atau pertambangan
Beberapa penyebab utama gangguan ekosistem yang menyebabkan ledakan penyakit infeksi
menular pada manusia meliputi : perusakan ekosistem hutan, sistem pengairan, perkembangan pertanian,
urbanisasi dan perubahan iklim.
1. Perusakan ekosistem hutan dan deforestasi
Hutan merupakan habitat asli banyak jenis serangga yang terlibat dalam transmisi penyakit.
Beberapa kelompok serangga yang menjadi vektor utama penyakit menular adalah nyamuk Anopheles,
Aedes, Culex dan Mansonia ; lalat hitam Simulium ; lalat Chrysops dan lalat tsetse Glossina. Deforestasi
menciptakan batas hutan dan interface baru yang memacu pertumbuhan populasi hewan inang reservoir
dan vektor. Secara bersamaan adanya batas hutan yang baru seringkali menarik perhatian manusia untuk
menghuni daerah perbatasan hutan yang beresiko tinggi (Molyneux, 2008).
Kerusakan habitat hutan juga menyebabkan perubahan atau hilangnya vektor yang sebelumnya
menempati habitat tersebut. Ketidakberuntungnya adalah jenis vektor pengganti ternyata merupakan
inang yang lebih disukai oleh patogen dan mempunyai dominansi yang tinggi terhadap populasi vektor
sebelumnya. Deforestasi semacam ini menyebabkan terjadinya penurunan biodiversitas vektor serangga
hutan. Meledaknya penyakit malaria akibat populasi nyamuk Anopheles yang meningkat, merupakan
contoh paling umum akibat deforestasi, seperti terjadi di negara-negara Asia tenggara dan Amerika
Selatan (Molyneux, 2008).
2. Manajemen sumber dan badan air / Irigasi
Sumber air dan badan-badan air yang secara alamiah berupa sungai, rawa dan danau merupakan
habitat dari banyak jenis mahluk hidup yang membentuk ekosistem air tawar seperti sungai, rawa dan
danau. Pembangunan saluran irigasi, waduk dan bendungan telah mengubah keseimbangan ekosistem
yang menyebabkan terjadinya ledakan penyakit menular (Molyneux, 2008).
Contoh yang paling akurat adalah pada tahun 1990 di India terjadi wabah yang dikenal dengan
“irrigation malaria” yang menimpa lebih dari 200 juta penduduk pedesaan di India. Hal ini terjadi akibat
buruknya sistem irigasi yang menyebabkan terjadinya ledakan populasi nyamuk Anopheles culicifacies
yang merupakan vektor utama malaria di India (Molyneux, 2008).
Perubahan ekosistem bendungan buatan manusia juga menyebabkan terjadinya wabah
schistosomiasis di Bendungan Aswan Mesir dan saluran irigasi sungai Nil di Sudan. Cacing Schistosoma
ternyata dibawa oleh nelayan pendatang, kemudian disebarkan oleh vektor perantara yaitu siput Bulinus
truncatus. Terjadinya kelimpahan populasi fitoplankton telah menyebabkan ledakan populasi B.
truncatus. Selain penyakit schistosomiasis, juga terjadi wabah filariasis yang disebarkan oleh nyamuk
Culex pipiens. Populasi Culex pipiens meledak akibat terbentuknya water-table pada saluran irigasi yang
arusnya tertahan (Paterson, 2008).
3. Perkembangan pertanian
Pertanian dalam arti luas mencakup budidaya tanaman, perikanan dan peternakan. Ternak dan
unggas menjadi hewan reservoir dari banyak patogen penyakit menular manusia. Wabah penyakit
salmonellosis yang disebabkan bakteri Gram negatif Salmonella enteridis, terjadi pada daerah yang
berdekatan dengan peternakan unggas (ayam). Ledakan S. enteridis telah menghilangkan jenis
Salmonella yang non patogenik pada manusia yaitu S. gallinarum (Tishkoff, 2004).
Wabah penyakit Japanese encephalitis (JE) yang disebabkan oleh virus yang disebarkan nyamuk
Culex sp. banyak terjadi di Cina, Nepal, India, Thailand, Sri Lanka dan Taiwan. Penyakit JE merupakan
endemik daerah pertanian padi, dengan babi sebagai hewan reservoirnya. Ledakan wabah JE terjadi
akibat perkembangan peternakan babi di negara-negara tersebut, yang menyebabkan virus JE meningkat
jumlahnya (Tishkoff, 2004).
4. Urbanisasi
Perubahan daerah suburban telah menyebabkan ledakan penyakit menular manusia seperti
demam berdarah dengue (DBD) yang disebarkan oleh nyamuk Aedes aegypti, seperti terjadi di
Singapura, Rio de Janeiro dan Jakarta (Mayer, 2000).
Pemukiman kumuh akibat urbanisasi merupakan lingkungan dengan sanitasi yang sangat buruk.
Genangan-genangan air banyak ditemukan di pemukiman kumuh dan sanitasi yang buruk tersebut
menjadi tempat berkembang biak yang ideal bagi nyamuk A. aegypti yang menjadi vektor utama virus
DBD (Molyneux, 2008).
Selain nyamuk, hewan reservoir yang menjadi vektor penyakit menular manusia yang hidup di
daerah pemukiman kumuh adalah tikus. Tikus menjadi hewan yang mengikuti migrasi penduduk dari
satu tempat ke tempat yang baru. Sanitasi lingkungan yang buruk menambah peluang populasi tikus
untuk meledak sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan. Penyakit leptospirosis menjadi wabah yang
banyak terjadi di pemukiman kumuh (Mayer, 2000).
5. Perubahan Iklim
Bukti iklim bumi yang meningkat dikarenakan gas greenhouse yang berasal dari aktivitas
manusia telah banyak buktinya, dan dampak dari iklim global telah merobah sistim biologi yang
mengkontrol terjadinya suatu penyakit. Perobahan iklim telah mengganggu ekosistim sehingga
mempengaruhi populasi serta interaksi antara vektor penyakit, inang dan pathogen. Ledakan penyakit
kolera telah dihubungkan dengan peningkatan suhu dimana suhu yang lebih panas tersedianya nutrisi
seperti fitoplankton yang merupakan sumber makanan dari copepod yang merupakan vektor Vibrio
cholerae penyebab penyakit kolera. Perubahan iklim juga mempengaruhi vektor penyakit seperti
dicontohkan pada nyamuk. Nyamuk secara umum repoduksinya meningkat, dan juga menggigit lebih
banyak pada suhu yang lebih panas (Paterson, 2008).
22. Bagaimana program pemerintah untuk emerging disease?
WHO telah merekomendasikan kepada setiap negara dengan sebuah sistem peringatan dini (early
warning system) untuk wabah penyakit menular dan sistemsurveillance untuk emerging dan re-emerging
disease khususnya untuk wabah penyakit pandemik. Sistem surveillance merujuk kepada pengumpulan,
analisis dan intrepretasi dari hasil data secara sistemik yang akan digunakan sebagai rencana
penatalaksaan (pandemic preparedness) dan evaluasi dalam praktek kesehatan masyakarat dalam rangka
menurunkan angka morbiditas dan meningkatkan kualitas kesehatan(Center for Disease Control and
Prevention/CDC). Contoh sistem surveillance ini seperti dalam kasus severe acute respiratory syndrome
(SARS), di mana salah satu aktivitas di bawah ini direkomendasikan untuk harus dilaksanakan yaitu:

1. Komprehensif atau surveillance berbasis hospital (sentinel) untuk setiap individual dengan gejala
acute respiratory ilness ketika masuk dalam rumah sakit.
2. Surveillance terhadap kematian yang tidak dapat dijelaskan karena acute respiratory ilness di
dalam komunitas.
3. Surveillance terhadap kematian yang tidak dapat dijelaskan karena acute respiratory ilness di
lingkup rumah sakit.
4. Memonitor distribusi penggunaan obat antiviral untuk influenza A , obat antrimicrobial dan obat
lain yang biasa digunakan untuk menangani kasus acute respiratory illness (Paterson, 2008).

Upaya untuk Zika : untuk mencegah dan mendeteksi penularan Zika maka setiap penumpang
yang masuk ke Indonesia melalui Singapura akan diberikan health alert card di setiap pintu
masuk bandara untuk mereka bawa.

Bentuk kartunya sederhana. Ada peringatan yang memberikan informasi, bahwa apabila dalam
waktu 10 hari anda di rumah, anda mengalami demam dengan ciri-ciri demam tinggi, ada ruam
atau bercak pada kulit, maka segera melapor ke fasilitas kesehatan yang ada seperti Puskesmas
atau rumah sakit dengan harus membawa kartu tersebut, jelas Subuh.

Menurutnya pemberian health alert card akan lebih baik dalam memonitor penumpang yang
diduga terinfeksi virus Zika selain dengan dilakukan screening dan pemeriksaan melalui thermal
scanner. Penggunaan thermal scanner sendiri baru akan lebih optimal bila dilakukan kepada
orang yang terinfeksi apabila sudah masuk kedalam masa inkubasi dari virus Zika yaitu 7-10
hari.
Kemenkes untuk merespon kemunculan MERS CoV?
Upaya-upaya yang sudah dilakukan sejak adanya informasi kemunculan MERS CoV (sejak tahun
2012),
- Penyampaian informasi mengenai risiko yang akan dihadapi oleh jamaah haji/umroh di tempat
tujuan dan cara pencegahannya melalui TKHI pada saat musim haji
- Pengamatan ketat terhadap jamaah haji/penumpang yang baru datang dari daerah terjangkit melalui
K3JH dan Health Alert Card (HAC)
- Pemasangan thermal scanner guna menskrining jamaah atau penumpang yang dating dari daerah
terjangkit dan mengalami demam
- Meningkatkan surveilans Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) berat di masyarakat dan fasilitas
pelayan kesehatan
- Penyebarluasan informasi melalui pemasangan spanduk dan menyediakan leaflet MERS CoV di
bandara-bandara embarkasi
- Penyusunan dan distrbusi buku pedoman MERS CoV kepada Dinkes Provinsi, KKP, RS Rujukan
dll

Anda mungkin juga menyukai