Anda di halaman 1dari 15

UNIVERSITAS INDONESIA

MENOLONG ANAK DENGAN PENYAKIT KRONIK

TUGAS TERSTRUKTUR
KEPERAWATAN ANAK LANJUT 2

Disusun Oleh:
Dwi Sulistyo C. 1206195211
Laviana Nita L 1206195464
Novi Enis Rosuliana 1206303380
Roshinta Sony A. 1206195672

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


PASCA SARJANA KEPERAWATAN ANAK
UNIVERSITAS INDONESIA
2012

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anak-anak dengan penyakit kronik akan mengalami perubahan dalam hal fisik dan
psikososial akibat dari penyakitnya tersebut, Perubahan yang terjadi secara fisik itu dapat
berdampak secara psikososial pada anak. Anak dengan penyakit kronik merasa berbeda dengan
kelompoknya, merasa rendah diri, terisolasi akibat sakitnya, merasa khawatir dengan
penyakitnya serta dampak akibat penyakitnya (Hockenberry & Wilson, 2007)
Penyakit kronik memberikan efek yang penting bagi berjalannya fungsi keluarga. Salah
satunya adalah efek yang substansial pada fungsi keluarga dimana keluarga akan mendapatkan
tugas keluarga yang lebih kompleks, tanggungjawab yang lebih besar, perhatian yang lebih besar,
tugas identifikasi kebutuhan anak seperti kebutuhan akan alat bantu, akses pendidikan yang
sesuai, pembiayaan, ketidakpastian masa depan, kehilangan secara emosional, reaksi terhadap
stigma dalam masyarakat, isolasi social, dan kehilangan kesempatan dalam bermasyarakat secara
normal.
Berdasarkan hal ini orang tua menjadi orang yang sangat terpengaruh dengan kondisi
yang terjadi pada anak. Salah satu pengaruh yang besar pada orang tua adalah perasaan berduka
atau kehilangan disebabkan oleh orang tua mempersepsikan adanya perbedaan anaknya dengan
anak normal lain. Perasaan berduka atau kehilangan ini akan muncul dalam respon emosional
seperti putus asa, menyesal, tidak percaya, menyalahkan diri sendiri, permusuhan, cemas, ragu-
ragu disorientasi dan perasaan terisolasi. Keadaan ini berlangsung lama disebabkan respon
emosional itu akan selalu muncul pada saat-saat dimana terjadi kejadian-kejadian yang memicu
keadaan yang mengkhawatirkan dan managemen emosional yang tidak efektif. Beberapa riset
menggambarkan bahwa 80% orang tua dengan anak dengan penyakit kronik mengalami kondisi
ini. (Susan Roos, 2002).
Keberhasilan keluarga dalam merawat anaknya dengan penyakit kronik sangat didukung
dengan kemampuan anak melakukan perilaku perawatan diri (self care behavior). Suatu
penelitian pernah dilakukan pada anak dengan thalasemia dimana judul penelitian tersebut
adalah analisis factor yang berhubungan dengan selfcare behavior pada anak usia sekolah
dengan thalasemia di RSUPN Cipto Mangun Kusumo Jakarta. Penelitian tersebut meneliti
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi self care behavior antara lain usia, jenis kelamin,
lamanya sakit, dukungan social, status kesehatan dan selfcare behavior. Hasilnya dari 131 pasien
anak dengan thalasemia yang berusia 6-12 tahun dengan lamanya sakit satu tahun mempunyai
89% selfcare behavior yang baik atau sekitar 117 pasien. Faktor yang mendukung dalam selfcare
behavior yang baik adalah pengetahuan,serta dukungan sosial (Krisna&Luknis, 2010 ).
Keluarga sangat berperan dalam mengontrol perilaku anak dalam menghadapi perubahan
fisik dan psikologis. Hasil dari penelitian tersebut juga pernah diungkapkan oleh Newland pada
tahun 2008 bahwa hubungan orangtua dan anak berpengaruh langsung dengan kondisi sakit
anak dan kemampuan mengatur perilaku dalam menghadapi perubahan yang terjadi. Untuk itu
perlu kita mempelajari materi tentang bagaimana kita mengetahui serta memahami prinsip untuk
menolong anak dalam mengatasi penyakit kronik yang dialaminya.

1.2. Tujuan Penulisan


Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui serta memahami prinsip
untuk menolong anak dalam mengatasi penyakit kronik yang dialaminya.
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Penyakit Kronik


Penyakit kronik adalah suatu kondisi yang menunjukkan adanya gangguan pada fungsi
tubuh yang berlangsung lebih dari 3 bulan. Keadaan kronik yang membutuhkan perawatan di
rumah sakit dalam kurun waktu lebih dari 1 bulan sejak didiagnosis, (Hockenberry, 2009,
p. 576).
Menurut WHO; International Statistical Classification of Disease and Related Health
Problem (ICD) (1992), definisi penyakit kronik pada anak terdiri atas 4 kriteria, antara lain:
1. Terjadi pada anak usia 0 18 tahun
2. Diagnosis penyakit pada anak berdasarkan pada pengetahuan ilmiah medis dan
dapat dibuktikan dengan menggunakan metode yang valid sesuai dengan standar
3. Penyakit yang diderita tidak dapat disembuhkan karena sudah resisten terhadap
pengobatan, dan akan mengganggu kondisi kesehatan mental pasien
4. Penyakitnya berlangsung lebih dari 3 bulan, dan mengalami hospitalisasi lebih
dari 1 bulan dalam setahun (Mokkink, et al., 2008).
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa penyakit kronik pada anak adalah
suatu penyakit yang didiagnosis berdasarkan ilmu medis yang terjadi pada anak usia 0-18
tahun yang berlangsung lebih dari 3 bulan dan dilakukan perawatan di rumah sakit dalam
waktu lebih dari 1 bulan dalam setahun. Penyakit kronik yang dialami oleh anak adalah
penyakit yang akan mengganggu fungsi biologis, psikologis dan kognitif, serta berdampak
pada pembatasan fungsi tubuh, aktivitas, peran sosial, terganggunya tumbuh kembang anak
serta ketergantungan terhadap perawatan, terapi medis dan teknologi medis.

2.2 Definisi Diasability/ Kecatatan


Disability adalah keterbatasan fungsi tubuh baik secara fisik maupun mental yang
disebabkan oleh adanya penyakit sehingga akan mengganggu seseorang dalam melakukan
ktivitas seperti berjalan, mendengar, belajar dan lain-lain, (Hockenberry, 2009).
2.3 Jenis-Jenis Penyakit Kronik
Berikut adalah jenis-jenis penyakit kronik pada anak, (DeAngelis & Zylke, 2006):
1. Diabetes 9. Dermatitis
2. Gagal ginjal kronik 10. Leukemia
3. Juvenil arthritis 11. Anemia
4. Asma 12. Luka Bakar
5. Sindroma down 13. Epilepsi
6. ADHD 14. Cystic fibrosis
7. Congenital Heart Desease 15. Cerebral Palsy
8. Malnutrition

2.4 Tumbuh Kembang Anak dengan Penyakit Kronik


Setiap anak merupakan individu unik, bukan miniatur orang dewasa serta memiliki
tahapan tumbuh dan kembang yang berbeda. Tumbuh berhubungan dengan perubahan
kuantitatif bentuk dan ukuran dari setiap organ tubuh. Sedangkan berkembang merupakan
perubahan kualitatif individu dalam menunjukkan keahlian baru, misalnya bahasa, motorik
kasar, hubungan sosial, dan lain-lain (Bowden & Dickey, 1998). Menurut Nelms & Mullins
(1982) dalam Bowden & Dickey (1998), tingkat kematangan tumbuh dan berkembang sangat
dipengaruhi oleh faktor genetik, meskipun tidak sedikit pula dipengaruhi oleh stimulasi dari
lingkungan. Maka maturasi atau kematangan dari seorang anak melibatkan tumbuh, kembang
serta stimulasi. Pencapaian tahap tumbuh dan kembang pada anak tergantung pada status
fisiologis (Jackson & Vessey, 1992). Oleh karena itu, pada anak dengan penyakit kronik
kemungkinan besar dapat terjadi keterlambatan perkembangan.
Tugas perkembangan utama pada bayi yaitu mempertahankan kepercayaan dan mengenal
lingkungan melalui rangsang sensorimotorik (Bowden & Dickey, 1998). Bayi yang lahir
dengan kelainan bawaan menyebabkan munculnya rasa bersalah pada orang tuanya, tidak
sedikit pula orang tua yang menolak kehadiran anaknya karena perasaan malu. Pada
prognosis penyakit yang lebih buruk, orang tua terkadang menjauh dari anaknya, mengisolasi
diri karena tidak ingin terlarut pada perasaan sedih saat melihat anaknya menderita dengan
penyakit bawaan. Keadaan bayi sering dirawat di rumah sakit, dengan banyaknya tim
kesehatan, perawatan yang tidak adekuat serta trauma nyeri yang dirasakan semakin
menghambat keberhasilan tugas perkembangan pada bayi (Jackson & Vessey, 1992).
Pada anak toddler, tugas perkembangan utamanya yaitu mendapatkan otonomi,
mengembangkan kontrol diri, dan mengembangkan kemampuan bahasa (Bowden & Dickey,
1998). Jika anak toddler mengalami penyakit kronik, orang tua tidak dapat mengoptimalkan
kemampuan toileting, makan sendiri dan pengembangan hubungan sosial anak. Kehilangan
kesempatan menyelesaikan tugas perkembangan pada usia toddler besar pengaruhnya
terhadap tugas perkembangan pada usia selanjutnya. Apalagi usia toddler ini merupakan usia
emas perkembangan anak. Meskipun keterlambatan tugas perkembangan daapat terjadi pada
usia berapapun, perlu perhatian lebih besar apabila terjadi gangguan perkembangan akibat
penyakit kronik pada usia toddler (Jackson & Vessey, 1992).
Pengembangan kemampuan inisiatif merupakan tugas perkembangan pada usia pra
sekolah. Penyakit kronik menyebabkan anak kurang energi untuk beraktivitas sehingga
kesempatan untuk mengembangkan kemandirian kurang. Anak usia toddler penuh dengan
pikiran magis, menghubungkan kondisi penyakitnya dengan kebiasaan-kebiasaan yang ia
lakukan sebelum sakit atau orang tuanya (Bowden & Dickey, 1998). Jika pemikiran magis ini
tidak diperbaiki, anak akan merasa rendah diri akan keadaannya serta menurunkan semangat
untuk sembuh (Jackson & Vessey, 1992).
Usia sekolah anak memiliki tugas perkembangan untuk meningkatkan kemandirian dan
penguasaan lingkungan. Pada tahap ini anak dituntut untuk dapat mengembangkan hubungan
sosialisasi dengan teman sebaya, menyelesaikan masalah, memilih koping efektif untuk
stress, dan mengembangkan kemampuan-kemampuan tersebut untuk kematangan diri
(Jackson & Vessey, 1992). Kekurangan stamina pada anak usia sekolah yang menderita
penyakit kronik dapat menghalangi partisipasi anak dalam kegiatan sekolah maupun
ekstrakurikuler. Apabila tidak mengkomunikasikan kondisi anak dengan teman sebayanya,
kemungkinan anak untuk dikucilkan dari teman-temannya semakin besar.
Remaja adalah fase peralihan dari anak-anak menjadi dewasa, dituntut untuk tidak lagi
tergantung pada orang tuanya, mampu mengambil keputusan sendiri terhadap kehidupannya
kelak (Jackson & Vessey, 1992). Perrin & Gerrity (1984) menyatakan bahwa ada 2
kecenderungan remaja dengan penyakit kronik dalam menanggapi kondisi sakitnya, yaitu
terus tertekan dengan kondisi fisiknya hingga berputus asa untuk terus hidup, dan menolak
kondisi keterbatasannya. Pada anak remaja dengan kondisi sakit kronis sering juga terjadi
keterlambatan pubertas. Hal ini sering menjadi penyebab remaja menolak untuk bergabung
dalam aktivitas sosial dan menghindari hubungan dengan teman lawan jenis.

2.5 Menolong Anak dengan Penyakit Kronik


1. Memberikan Pendidikan Mengenai Gangguan dan Perawatan Kesehatan
Umum
Seorang anak memerlukan informasi mengenai kondisi penyakit yang dialami,
perjalanan penyakitnya, bagaimana rencana perawatan/ terapi yang harus dijalankan, dan
pengaruh kondisi penyakit atau terapi dalam aktivitas dan kondisi mereka sehari-hari.
Penjelasan yang diberikan kepada anak dilakukan secara bertahap sesuai dengan kondisi
usia dan tumbuh kembang mereka. Informasi diberikan secara berulang dengan melihat
kondisi dan tingkat kematangan anak (Wong, 2009).
Pada usia remaja/ pubertas yang mengalami penyakit kronis selain diberikan
informasi mengenai kondisi penyakitnya, rencana perawatan/ terapi, juga diberikan
informasi mengenai seksualitas yang berhubungan dengan efek gangguan dari penyakit
kronis yang dialami. Komunikasi terbuka harus diterapkan pada anak usia remaja
terutama mengenai segala gangguan yang berhubungan dengan fungsi seksual yang
disebabkan oleh ketidakmampuan (Wong, 2009).
Pemberian pendidikan juga diberikan kepada keluarga/ orang tua, infomasi yang
diberikan bukan hanya dalam segi teknis pelaksanaan perawatan/ terapi tetapi juga
kondisi anak dan perjalanan penyakitnya. Keluarga harus memahami bahwa kondisi
penyakit kronik pada anak akan berpengaruh atau mengubah segala aktivitas harian anak,
kebutuhan primer anak terutama dalam hal nutrisi, tidur, aktivitas, kesehatan gigi dan
pencegahan cedera. Komunikasi juga harus diterapkan antara orang tua dan anak
terutama yag berkaitan dengan kedaruratan medis (Wong, 2009).
2. Berespon terhadap reaksi Emosional Anak dan keluarga
Reaksi emosional yang ditunjukkan oleh anak dan keluarga adalah sesuatu yang
pasti akan terjadi yang meliputi pengingkaran, rasa bersalah dan marah. Penerimaan
reaksi emosional yang ditunjukkan oleh anak dan keluarga adalah dengan cara tidak
menghakimi mereka. Respon yang perawat tunjukkan adalah dengan menjadi pendengar
yang aktif yaitu diam tidak menguatkan dan tidak menolak pengingkaran. Komunikasi
efektif juga harus diterapkan yag menunjukkan bentuk perhatian dan ketertarikan.
3. Memberikan dukungan pada waktu diagnosis
Waktu diagnosis merupakan waktu yang kritis, perawat berperan penting sebagai
advokat terhadap anak dan keluarga. Perawat berperan dalam memberikan dukungan
emosional terhadap keluarga yang menerima informasi tentang kondisi penyakit anak.
Dukungan emosional yang diberikan bisa dalam bentuk menyediakan tisu atau
memberikan sentuhan terapeutik yang bijak pada anak dan keluarga dengan
memperhatikan unsur budaya keluarga.
4. Mendukung metode koping anak dan keluarga
Perawat dapat memberikan dukungan kepada anak dan setiap anggota keluarga.
Dukungan yang diberikan oleh perawat dapat berupa perhatian terhadap respon keluarga
terhadap anak mereka. Perawat juga berperan dalam memberikan perhatian pada anak
dengan penyakit kronik dalam menjalani proses adaptasi terhadap perubahan pada diri
terutama dalam hal interaksi dengan lingkungan dan kebutuhan-kebutuhan mereka.
Perawat berrtindak sebagai model peran yang berakaitan dengan sikap dan perilaku
terhadap anak.
Pendekatan yang dilakukan oleh perawat harus bersifat humaistik serta dapat
diterima oleh anak dan keluarga. Komunikasi berperan penting dalam membantu orang
tua dan anak untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan mereka. Serta mendiskusikan
mengenai kondisi keluarga dan proses perawatan yang harus dijalani.
5. Melibatkan anak (pasien) dan keluarga dalam proses perawatan
Orang tua harus dilibatkan dalam setiap kunjungan misalnya dalam proses
pengkajian agar keluarga mampu untuk menggambarkan kekuatan dan kesulitan anak.
Selain itu keluarga juga harus dilibatkan dalam proses perawatan agar orang tua
mempunyai pengetahuan dan pengalaman dalam merawat anak dengan kebutuhan khusus
dan mampu untuk melakukan proses penyesuaian.
Anak juga harus dilibatkan dalam proses perawatan, dalam hal ini perawat
melakukan kontak dengan anak untuk mengamati respon anak terhadap gangguan,
kemampuan fungsi dan perilaku adapted terhadap lingkungan dan orang lain, menggali
pemahaman mengenai kondisi penyakit dan memberikan dukungan dalam mengahadapi
perasaan yang dialami. Keterlibatan anak dalam proses perawatan adalah untuk
memunculkan rasa tanggung jawab dan kepatuhan. Tanggung jawab dan kepatuhan anak
terhadap proses perawatan yang dijalani akan membantu dalam mengatasi perasaan
cemas.
6. Menciptakan lingkungan dan komunikasi yang terapeutik
Proses perawatan pada anak dengan kebutuhan khusus yang dilakukan dirumah
harus memperhatikan lingkungan. Perawat membantu keluarga untuk menciptakan
lingkungan yang terapeutik agar anak merasa nyaman dan terhindar dari stres.
Komunikasi juga harus diterapkan antara anggota keluarga satu dengan yang lain agar
terjalin komunikasi yang efektif dalam proses perawatan anak dengan kebutuhan khusus
dan dapat memahami kondisinya. Komunikasi juga diterapkan pada sibling agar mampu
terlibat dalam proses perawatan yang dilakukan (Wong, 2004).
7. Memberikan dukungan Psikologis Pada Anak dan Keluarga
Sebuah studi menunjukkan bahwa jika anak-anak tahu sebelumnya tentang
kondisi penyakitnya, maka proses adaptasi terhadap perkembangan kondisi penyakit akan
berlangsung lebih cepat. Suatu strstegi yang dapat digunakan untuk melibatkan anak
dalam bekerjasama terhadap proses perawatan anak di ruang rawat inap yaitu :
a. Memberikan informasi secara singkat mengenai perawatan yang akan di lakukan
di ruang rawat inap
b. Memberikan penjelasan tentang pemberian obat dan alasan pengambilan darah
c. Jika anak akan dilakukan operasi, maka memberikan penjelasan mengenai
tahapan pembedahan yang akan dilakukan secara singkat
Memberikan dan membantu anak memunculkan motivasi dalam dirinya sendiri
agar anak selalu berpikir positif terhadap kondisi penyakitnya. Pada anak yang di rawat di
RS perawat membantu anak dalam beradaptasi dengan lingkungan di rumah sakit dengan
melibatkan keluarga agar menimbulkan kepercayaan dan membangun hubungan yang
harmonis (Theofanidis, n.d).
Miller (2009) melakukan penelitian secara kualitatif tentang kolaborasi
pemecahan masalah managemen penyakit kronik pada anak. Penelitian ini melibatkan
anak dan orang tuanya. Perlu dilakukan eksplorasi persepsi orang tua dan anak tentang
penyakitnya sebelum perawat atau dokter mengajukan alternatif manajemen penyakit
kronis, misalnya pada kepatuhan pengobatan atau fisioterapi. Anak diberi kesempatan
untuk terlibat dalam memutuskan pengobatannya sendiri (Child Desicion Making).
BAB III
IMPLIKASI KEPERAWATAN

Anak dengan penyakit kronik tentunya harus mendapatkan perawatan dan pengobatan
dalam jangka waktu yang relative lama. Sedangkan seorang anak merupakan usia untuk
bertumbuh dan berkembang dengan sangat pesat. Pada anak dengan penyakit kronik,
pertumbuhan dan perkembangannya tidak bias maksimal karena proses penyembuhan. Misalnya
saja dalam hal nutrisi. Nutrisi yang masuk ke dalam tubuh anak harus terbagi untuk proses
penyembuhan penyakit yang dideritanya. Padahal seharusnya nutrisi yang didapatkannya
digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan.
Pada anak dengan penyakit kronik akan berdampak tidak hanya secara fisik akan tetapi
secara psikologis juga. Secara fisik, merupakan efek dari proses penyakitnya yang bias
berdampak pada kecacatan ataupun ketidaksempurnaan fisik. Hal ini akan berdampak pula pada
psikologisnya. Anak akan merasa minder ketika dia memiliki gangguan pada tubuhnya apalagi
sampai muncul kecacatan. Interaksi sosial anak akan mengalami gangguan juga karena dengan
keterbatasannya itu dia akan merasa malu untuk berinteraksi dengan teman-temannya.
Pada anak usia sekolah seharusnya mereka juga bias meningkatkan kemandirian mereka
dan meningkatkan prestasinya. Akan tetapi pada anak dengan penyakit kronik, tidak bisa secara
maksimal karena harus menjalani proses pengobatan dan perawatan terhadap penyakitnya. Oleh
sebab itu diperlukan perhatian dan stimulasi yang lebih, baik dari keluarga maupun dari
lingkungan sekitar.
Pada anak dengan penyakit kronik yang perlu lebih ditekankan adalah informasi tentang
penyakitnya maupun pengobatan dan perawatannya. Baik itu pada orang tua maupun pada
anaknya. Hal itu dimaksudkan agar pengobatan maupun perawatannya bisa terus berlanjut sesuai
dengan regimen terapi dan tidak terputus. Pada anak, orang tua memegang peranan yang sangat
penting karena pada saat anak belum bisa mengerti dan memahami informasi yang kita berikan
maka orang tualah yang dilibatkan dalam pengobatan maupun perawatan. Apabila orangtua
memiliki informasi yang cukup, maka akan mampu memberikan perawatan yang baik pula pada
anaknya. Sehingga akan membantu meningkatkan kualitas hidup dari anak.
Pemberian informasi baik pada anak maupun orang tua juga sangat memerlukan proses
komunikasi yang baik pula. Sebagai perawat maupun tenaga kesehatan harus memberikan
informasi secara jelas dan komunikasi secara terapeutik baik pada orangtua maupun anak. Hal ini
dimaksudkan untuk mengurangi adanya kesalahan informasi yang diterima oleh orangtua
maupun anak.
Dalam proses perawatan dan pengobatan keterlibatan anak dan orang tua juga sangat
diperlukan. Anak maupun orang tua bisa dieksplorasi pengetahuannya tentang penyakit yang
diderita oleh anak. Sehinga pada saat memutuskan terapi dan perawatan, perawata maupun
tenaga kesehatan bisa memutuskan intervensi yang tepat terhadap anak maupun keluarga. Selain
itu anak juga bisa dilibatkan dengan membiarkannya untuk memilih terapi selama tidak
mengganggu proses pengobatan dan perawatan yang diberikan. Hal ini diharapkan akan dapat
membantu anak dalam memenuhi kebutuhan tumbuh kembangnya.
Pada perawatan anak dengan penyakit kronik ini, lingkungan juga sangat menentukan
peningkatan kualitas hidup anak baik itu lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat.
Dengan adanya partisipasi dan dukungan yang positif dari lingkungan internal maupun eksternal,
anak akan lebih bisa beradaptasi secara positif pula. Dukungan tersebut tidak hanya berupa
materi tetapi juga secara moral yang dapat meningkatkan kemandirian dan kepercayaan diri
anak. Sehingga proses tumbuh kembangnya juga bisa dicapai secara optimal.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Penyakit kronik pada anak dapat menimbulkan gangguan pada anak baik secara fisik
maupun secara psikologis. Hal ini sangat berpengaruh terhadap fase tumbuh kembang anak.
Sehingga diperlukan beberapa prinsip dalam memberikan pertolongan pada anak dengan
penyakit kronik. Antara lain adalah memberikan informasi yang cukup pada anak maupun orang
tua, memberikan dukungan yang positif terhadap anak,melibatkan anak dan orangtua dalam
proses perawatan, melibatkan lingkungan dalam proses perawatan, dan memberikan komunikasi
terapeutik

4.2 Saran
Perawat harus memiliki kemampuan komunikasi terapeutik yang baik sehingga mampu
memberikan perawatan yang baik pula terhadap anak. Perawat harus memiliki pengetahuan yang
cukup tentang proses penyakit dan perawatannya sehingga mampu memberikan edukasi yang
baik pula terhadap anak dan orang tua. Dengan edukasi yang tepat diharapkan anak dengan
penyakit kronis tetap tumbuh dan berkembang sesuai fasenya dan dapat hidup lebih mandiri di
kemudian hari.
Daftar Pustaka

Hockenberry, M., & Wilson, D. (2009). Wong’s essential of pediatric nursing (8th ed). St. Louis:
Mosby Elsevier.
Wong, Donna L., & Marilyn Hockenberry Eaton. (2009). Wong buku ajar keperawatan pediatrik
(Vol. 1) (Agus Sutarna & Neti Juniarti, Penerjemah). Jakarta: Buku Kedokteran EGC
Wong, Donna L. (2004). Pedoman klinis keperawatan pediatrik (Monica Ester, Penerjemah).
Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Theofanidis, D. (n.d). Chronic illness in childhood: Psychosocial adaptation and nursing support
for the child and family. Health Science Journal. February 16, 2013. Diakses 18 Februari
2013.
Mokkink, Lidwine B, et al. (2008). Defining chronic diseases and health conditions in childhood
(0-18 years of age): National consensus in the Netherlands. Original Paper, Eur J.
Pediatr, (162), 1441-1447. Diakses 18 Februari 2013.
DeAngelis, CatherineD.&Jody W. Zylke. (2006, Oktober 11). Theme issue on chronic disease in
infants children, and young adults: Call for papers. American Medical Association, 296
(14), 1780. Diakses 18 Februari 2013.
Medicaid. (2012). Managed care medical program.diunduh dari: http://hrsa.dshs.wa.gov/
healthyoptions/index.html. Diakses tanggal 9 Oktober 2012.
Neff, J. Et.al. (2010). Family-Centered Care and the Pediatrician’s Role. American Academic of
pediatrics. Vol. 112 (3), 691 -696. Diakses 18 Februari 2013.
Regina, et.al. (2010). Pedoman umum perlindungan kesehatan bagi anak berkebutuhan khusus.
Jakarta: Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI.
Wong, D.L. et.al. (2002). Wong’s nursing care of infants and children. Volume 1. St.Louis:
Mosby Elsevier.
Yetti Krisna, Sabrin Luknis. (2010) JIKK : Analisis faktor yang berhubungan dengan selfcare
Behavior pada anak usia sekolah dengan thalasemia mayor di RSUPN Cipto Mangun
Kusumo Jakarta, Volume 2, 136-147.
Jackson, P. L. & Vessey, J. A. (1992). Primary care of the child with a chronic condition.
Missouri: Mosby Year Book.
Geist, R., Grdisa, V., & Otley, A. (2003). Psychosocial issues in child with chronic conditions.
Best Practice & Research Clinical Gastroenterology, Vol. 17, No. 2 pp. 141-152. Diakses
18 Februari 2013.

Anda mungkin juga menyukai