Anda di halaman 1dari 27

Studi Kitab Hadis: Sohih Muslim Mar

by Jauharudin's Blog

Sohih Muslim

Pendahuluan

1. Latar belakang

Umat Islam meyakini ada dua rujukan pokok untuk istinbat al hukmi (pengambilan hukum)
dalam menentukan keabsahan ‘amaliyah yang biasa mereka kerjakan. Sumber pertama adalah al
Qur’an, karena ia adalah wahyu Allah, maka sepantasnya al Qur’an menjadi rujukan pertama
dalam hierarki istinbat al hukmi. Kemudian ada sunnah nabi, sunnah nabi menempati posisi
kedua melihat kapasitasnya yang “bukan wahyu Allah”, melainkan cerminan dari tingkah-laku
utusan Allah (nabi/rasul). Walaupun begitu, segala macam perbuatan yang dilakukan nabi/rasul
diyakini merupakan “dalil” lain yang dapat dijadikan sebagai pijakan hukum, hal ini dinisbatkan
pada posisi nabi/rasul yang “tidak mungkin” melakukan kesalahan karena senantiasa selalu
diarahkan langsung oleh Allah SWT ketika melakukan kesalahan.

Sebagian besar sunnah nabi dipercaya termanifestasikan dalam hadis atau dalam kata lain, teks
hadis adalah kendaraan dari sunnah nabi. Urgensi dari autentifikasi hadis pun menjadi semakin
ditekankan ketika ia dihadapkan dalam ‘memahami’ wahyu Allah[1]. Melihat begitu kompleks
dan panjangnya perjalanan sunah nabi yang ‘terbukukan’ menjadi hadis, para ulama ahli hadis
memiliki cara tersendiri dalam mengklasifikasikan autentifikasi hadis yang kemudian tertuang
dalam kitab-kitab hadis karya mereka[2]. Sebut saja beberapa kitab kanonik (kutub at sittah)
yang menjadi rujukan umat muslim berkenaan dengan hadis, dari sekitar enam kitab kanon hadis
ada dua diantaranya yang diyakini memuat hadis-hadis autentik didalamnya, pertama, kitab hadis
yang diyakini memiliki autentifikasi mendekati sempurna adalah kitab hadis karya Muhammad
bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardabaza Al Bukhari (Jami’ Sohih Bukhari), hal ini
dinisbatkan pada kitab hadis karya Imam Bukhari salah satunya alasannya adalah karena dalam
perjalanan sejarah pengkodifikasian hadis, beliau dikenal menjadi orang pertama yang
menerapkan kritik sanad dan matan hadis sebagai syarat mutlak sebuah teks hadis dapat dinilai
keabsahannya dan bersumber dari Rasulallah Saw[3]. Kitab hadis kedua yang diyakini memuat
hadis-hadis autentik didalamnya adalah karya Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim an-
Naisaburi atau biasa dikenal dengan Imam Muslim(Sohih Muslim). Dalam makalah kali ini
penulis akan coba ‘mengupas’ kitab hadis karya Imam Muslim tentunya dari berbagai sudut
pandang yang penulis ketahui berkenaan dengan kitab hadis yang satu ini, baik dari biografi,
kemudian latar belakang penulisan, metode penyusunan yang digunakan oleh imam Muslim
dalam menuliskan kitabnya, sistematika penulisan hingga komentar para tokoh tentangnya.

2. Rumusan Masalah

Dari sedikit pemaparan diatas, rumusan masalah yang dapat diambil menjadi pokok pembahasan
yang akan disampaikan antara lain:

a. Siapakah sosok Imam Muslim?

b. Bagaimana latar belakang penulisan kitab Sohih Muslim

c. Bagaimana metode penyusunan kitab Sohih Muslim

d. Bagaimana sistematika penulisan kitab Sohih Muslim

e. Bagaimana komentar serta penilaian ulama atas kitab Sohih Muslim

3. Tujuan Penulisan

Setidaknya ada beberapa poin yang menjadi konsentrasi dari tujuan penulisan makalah ini,
pertama, minimal dapat mendeskripsikan biografi dari tokoh pengarang kitab Sohih Muslim.
kedua, dapat mengetahui latar belakang dari penulisan kitab Sohih Muslim. ketiga, mengetahui
metode penulisan dari kitab Sohih Muslim. keempat, mengetahui sistematika penulisan kitab
Sohih Muslim. Terakhir, kelima, dapat mengetahui sebagian pendapat atau kometar para ulama
berkenaan dengan kitab Sohih Muslim.
4. Manfaat Penulisan

Seburuk apapun hal yang ada di dunia, penulis yakini memiliki manfaat walaupun dengan kadar
yang sangat kecil, demikian pula dengan makalah ini setidaknya ada beberapa manfaat yang
dapat diambil minimal bagi penulis sendiri atau bagi pembacanya. Diantaranya adalah sebagai
proses pembelajaran yang erat kaitannya dalam hal tafaqquh fi ad din dan besamaan dengan
proses pengembangan kreatifitas akademik.

Pembahasan

Sekilas Biografi Imam Muslim

Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin bin Wardi bin Kausyaz al Qusyairi an-
Naisaburi adalah nama lengkap dari Imam Muslim, beliau dinisbatkan dengan kota Naisabur
dimana beliau dilahirkan disana, sebuah kota kecil di sebelah timur laut Negara Iran (sekarang).
Terdapat perbedaan pendapat berkenaan dengan tahun kelahiran beliau[4], namun menurut
pendapat yang kuat, Imam Muslim dilahirkan pada tahun 204 H/802 M[5].

Pengembaraan Imam Muslim dalam menimba ilmu dimulai sejak usianya menginjak 15 tahun,
dalam perrjalanan ke beberapa tempat beliau berguru pada tokoh-tokoh besar kala itu, sebut saja
Ahmad bin Hambal dan Abdullah bin Maslamah (Irak), Ahmad Bin Yunus (Kuffah), Yahya bin
Yahya dan Ishak bin Rahawaih (Khurasan), Muhammad bin Mahran dan Abu ‘Ansan (Ray),
‘Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya (Mesir), Sa’id bin Mansur dan Abu Mas’Abuzar
(Hijaz), Usman dan Abu Bakar, keduanya putra Abu Syaibah, Syaiban bin Farwakh, Abu Kamil
al-Juri, Zuhair bin Harb, Amr an-Naqid, Muhammad bin al-Musanna, Muhammad bin Yassar,
Harun bin Sa’id al-Ajli, Qutaibah bin Sa’id dan beberapa ulama dan muhadditsin lain[6].

Selain dikenal banyak mempunyai guru dari beberapa Negara dalam rihlah ilmiyahnya, imam
Muslim pun dikenal banyak mempunyai murid dalam hal meriwayatkan hadits darinya, sebut
saja Abu Hatim ar-Razi, Musa bin Harun, Ahmad bin Salamah, Abu Bakar bin Khuzaimah,
Yahya bin Said, Abu Awanah al-Isfarayini, Abi isa at-Tirmidzi, Abu Amar Ahmad bin al-
Mubarak al-Mustamli, Abul Abbas Muhammad bin Ishaq bin as-Sarraj, Ibrahim bin Muhammad
bin Sufyan al-Faqih az-Zahid dan masih banyak lagi murid-muridnya yang lain[7]
Dari kejeniusan dan tangan dingin imam Muslim telah terlahir banyak karya-karya dalam bentuk
tulisan, selain kitab Sohih Muslim yang monumental, beberapa karya imam Muslim diantaranya
adalah: Al-Musnad al-Kabir ‘ala al Rijal, Al-Asma wa al-Kuna, Al-‘Ilal, Awham al-
Muhadditsin, At-Tamyin, Man Laisa Lahu illa Rawin Wahid, Al-Thabaqat al-Tabi’in, Al-
Muhadramain, Awlad al-Sahabah, Intifa bi Uhud (julud) al-Siba’, Al-Aqran, Su’alatihi Ahmad
bin Hanbal, Al-Afrad wa al Wihdan, Masyaikh al-Sauri, Masyaikh Syu’bah, Masyaikh Malik,
Al-Thabaqat, Afrad al-Syamiyin, Al-Wuhdan, Al-Sahih al-Musnad, Hadis ‘Amr bin Syuaib,
Rijal ‘Urwah, Al-Tarikh dan lain-lain.

Dari perjalanan panjang hidupnya, rihlah ilmiyah, perjuangannya dalam ‘mencari’ hadis,
memberikan kontribusi besar bagi ummat Islam lewat sekian banyak karya, akhirnya pada usia
57 tahun Imam Muslim (rahimahullahu ta’ala) menutup usia, tepatnya pada hari minggu 4 rajab
tahun 261 H / 859 M, beliau dikebumikan pada hari senin tanggal 5 rajab tahun 261 H di kota
kelahirannya; Naisabur[8].

Latar Belakang Penulisan Kitab Sohih Muslim

Tidak ada kekosongan yang bisa menjadikan berwujudnya sesuatu, begitupun juga dengan kitab
hadis Sohih Muslim. Perseteruan ahl al Ra’y serta ahl al Hadits dipercaya menjadi salah satu
embrio terciptanya kitab hadis. Perseteruan yang dimulai pada abad kedua ini kemudian semakin
memuncak pada awal abad ketiga hijriyah. Para pemimpin kurun pertama daulah Abasiyah[9]
yang berideologi rasionalis banyak memberikan kontribusi terhadap berkembangnya paham ini,
terbukti saat mereka berkuasa terbangunlah sebuah lembaga Bait al Hikmah yang berkonsentrasi
pada penerjemahan karya-karya filusuf Yunani kedalam bahasa Arab. Setelah tampuk kekuasaan
Daulah Abasiyah berada di tangan Khalifah Mutawakkil (232 H), para penggiat hadis (termasuk
didalamnya Imam Muslim) serasa mendapatkan ‘angin segar’ karena konfrontasi dengan
penguasa sudah tidak lagi menjadi hal yang menghambat berkembangnya kreatifitas yang
berhubungan dengan hadis[10].

Hal lain yang memicu terbukukannya kitab hadis Sohih Muslim adalah ketika kemajuan
dibidang ilmu pengetahuan yang dicapai pada dinasti Abasiyah dibarengi dengan memanasnya
konflik yang bernuansa politis oleh beberapa kelompok, dimana tak jarang demi terwujudnya
kepentingan, mereka menciptakan hadis palsu sebagai legitimasi dari ‘hajat busuk’ mereka.
Tentu saja hal ini menjadi keresahan tersendiri bagi sebagian besar masyarakat pada saat itu.
Dengan kata lain, secara garis besar kitab hadis Imam Muslim lahir atas ‘desakan’ kebutuhan
masyarakat akan pentingnya otentifikasi hadis dikarenakan banyak bertebaran hadis palsu yang
digunakan oleh sebagian kalangan untuk mendukung hasrat ‘politis’nya. Dari satu sisi kehadiran
kitab hadis ini menjadi ‘penawar’ akan merebaknya ‘racun’ yang banyak berkembang pada
masyarakat kala itu, namun disisi yang lain kitab hadis ini pun dianggap sebagai wujud
‘perlawanan’ para muhadditsin (baca: pemegang hadis) untuk meng-counter hegemoni kaum
rasionalis.

Metode Penyusunan dan Penulisan Kitab Sohih Muslim

Secara eksplisit dalam kitab Sohih Muslim, penulis belum menemukan metodologi yang
digunakan oleh imam Muslim dalam menyusun kitab hadisnya. Namun dari beberapa pemaparan
ulama ahli hadis, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa syarat yang digunakan oleh imam
Muslim dalam ‘menyaring’ hadis yang kemudian dituliskan dalam kitab hadis karyanya, diantara
syarat yang digunakan imam Muslim hasil penelitian para ulama adalah:

(1) hanya meriwayatkan Hadis dari para periwayat yang adil, dhabit (kuat dalam hal hafalan) dan
dapat dipertanggungjawabkan kejujurannya, serta amanah.

(2) hanya meriwayatkan hadis-hadis yang lengkap sanadnya, muttasil (bersambung sanadnya),
dan marfu’ (disandarkan pada Nabi saw.).

Metode penulisan kitab Sohih Muslim tergolong rapih. Hal ini dapat dilihat, dari ketelitian dan
‘kreatifitas’ yang beliau tuangkan dalam penyajian kritab hadis ini, misalnya:

menyebutkan rawi-rawi dari beberapa hadis yang mempunyai tema yang sama dengan tanpa
memotong satu jalur periwayatan dengan redaksi hadisnya, hanya dipisahkan dengan huruf khâ
(‫ )ح‬yang dicetak tebal sebagai tanda batas satu riwayat disambung dengan jalur riwayat yang
lain[11].

Setelah selesai menyebutkan beberapa jalur sanad yang berbeda dari satu tema hadis yang sama,
kemudian barulah disebutkan redaksi hadis terkait, atau menyebutkan terlebih dahulu redaksi
hadis, baru kemudian disampaikan beberapa jalur periwayatan yang berbeda dari hadis terkait.
Hal ini mengakibatkan minimnya pengulangan hadis dalam penyebutannya, kecuali jika
dibutuhkan untuk mengulang karena keadaan yang ‘memaksa’ untuk dilakukannya pengulangan.
digunakannya ‘cetak tebal’ pada beberapa cara transmisi hadis, misalnya lafad haddatsana (‫)حدثنا‬,
Akhbarâna (‫ )اخبرنا‬dan haddatsani (‫ )حدثنى‬hal ini mengindikasikan adanya ‘perbedaan situasi’
yang perawi alami ketika menerima hadis.

Sistematika Penulisan Kitab Sohih Muslim

Kitab hadis karya Imam Muslim diberi nama al-Musnad al-Shahih al-Mukhtasar min al-Sunnah
bi al-Naql al-Adal ‘an al’Adl ‘an Rasulullah saw, namun lebih dikenal dengan Jami al-Sahih atau
Sahih Muslim[12]. Sistematika yang digunakan Imam Muslim tergolong sangat baik, ini dapat
dilihat dari cara beliau mengklasifikasikan hadis-hadis kedalam tema beasr dalam beberapa
bagian yang secara khusus membincang persoalan tertentu. Kitab hadis ini—menurut hemat
penulis—sepintas memberikan nuansa fiqh, diawali dengan muqaddimah, kemudian pada bagian
pertama (Imam Muslim menyebutnya ‘kitab’) beliau membincang persoalan tentang iman
dengan 96 bab dan kurang lebih 280 hadis, disusul dengan bagian kedua yang menerangkan
tâharâh (34 bab dan 111 hadis), hâid, shalat dan lain sebagainya, untuk lebih lengkapnya berikut
tabel dari sistematika penulisan kitab Sohih Muslim[13].

No

Nama Kitab

Jumlah

Bab

Hadis

. Muqaddimah

74


1

Iman

96

280

Taharah

34

111

Haid

33

126

Shalat

52
285

Masajid wa Mawadi’ al-Shalat

56

316

Shalat al-Musafirin wa al-Qasriha

56

312

Al-Jum’ah

19

73

8
Al-Aidain

22

Al-istisqa’

17

10

Al-Kusufh

29

11

Al-Janaiz

37
108

12

Al-Zakat

56

177

13

As-Siyam

40

222

14

Al-I’tikaf

10

15
Al-Hajj

97

522

16

An-Nikah

24

110

17

Ar-Rada’

19

32

18

At-Talaq

134
19

Al-Li’an

20

20

Al-Atq

26

21

Al-Buyu’

21

123

22

Al-Masaqah
31

143

23

Al-Faraid

21

24

Al-Hibah

32

25

Al-Wasiyah

22
26

An-Nadzar

13

27

Al-Aiman

13

59

28

Al-Qasamah Wa al-Maharibin Wa al-Qishas Wa al-Diyat

11

29

29

Al-Hudud

11
46

30

Al-Aqdiyat

11

21

31

Al-Luqathah

19

32

Al-Jihad

51

150

33
Al-Imarah

56

185

34

Asha’id wa al-Dzhabaih wa ma yu’kilu hayawan

12

60

35

Al-Adaha

45

36

Al-Asyribah

35
188

37

Al-Libas

35

127

38

Al-Adab

10

45

39

As-Salam

41

155

40
Al-fadhz

21

41

Al-Syiir

10

42

Ar-Ruyah

23

43

Al-Fadail

36

174
44

Fadail as-Sahabah

60

232

45

Al-Birr wa al-Shilah wa al-Adab

51

166

46

Al-Qadar

34

47

Al-Ilmu
6

16

48

Ad-dzkr wa Du’a wa taubah wa Istigfar

27

101

49

At-Taubah

11

60

50

Shifat al-Munafiqin

83
51

Al-Jannah wa Shifat Nafsiha wa Ahliha

40

84

52

Al-Fitan wa syarait as Sa’ah

28

143

53

Al-Zuhud wa ar Rafaiq

20

75

54

At-Tafsir

8
34

Pendapat Para Tokoh Tentang Kitab Sohih Muslim

Menurut beberapa tokoh ahli hadis, menyatakan bahwa kitab Sohih Muslim ini memiliki
berbagai macam keunggulan, sedikitnya ada enam poin yang bisa dijadikan argumentasi: (1) dari
segi susunan isinya tergolong tertib dan sangat sistematis, (2) pemilihan redaksi matan hadisnya
sangat teliti dan cermat, (3) proses seleksi dan akumulasi matannya sangat teliti, sehingga tidak
terjadi tercampurnya satu matan hadis dengan matan hadis yang lain, (4) penempatan dan
pengelompokan hadis-hadis ke dalam tema atau tempat tertentu, sehingga sedikit sekali terjadi
pengulangan atau penyebutan Hadis, (5) kitab Sahih Muslim sangat membantu untuk mencari
Hadis dan mengistimbatkan suatu hukum, sebab Imam Muslim meletakkan hadis-hadis sesuai
dengan suatu masalah, (6) kitab ini menyampaikan hadis-hadis tertentu dalam satu tema bab,
sehingga memudahkan para pencari ‘dalil-hadis’ dengan kasuistik yang ada.

Namun dari kelebihan yang dimiliki, kitab hadis ini pun tidak sepi dari kritik yang membangun.
Sebutsaja kritik yang dilontarkan oleh sebagian besar ulama ahli hadis yang menempatkan kitab
hadis Imam Muslim pada urutan kedua setelah kitab hadis karya Imam Bukhari, hal ini terjadi
dikarenakan terlalu longgarnya syarat yang diterapkan oleh imam Muslim dalam menentukan
hadis sohih. Dalam kasus penentuan kesahihan hadis, imam Bukhori mensyaratkan harus
bertemu (liqâ) antara murid dan guru, sedangkan imam Muslim cenderung ‘mengabaikan’ liqâ
sebagai standarisasi hadis sohihnya, tetapi dicukupkan dengan sezaman (mu’asyârah) antara
murid dan gurunya[14].

Syaikh Ibnu Shalah mengatakan, dalam kitab Sahih Muslim pada babu shifati Rasulillah Saw,
Imam Muslim mengatakan: “tidak setiap hadis yang menurutku berkualitas sahih aku letakkan
dalam kitab ini, karena hadis yang aku letakkan dalam kitab ini hanya hadis-hadis yang
kesahihannya telah disepakati”. Hal ini menurut Syaikh Ibnu Shalah membuat orang lain
kebingungan, karena pada kenyataannya terdapat hadis yang kesahihannya diperseisihkan dalam
kitab hadis Imam Muslim[15]

Kesimpulan
Dari sekian banyak kitab kanon hadis, para ulama ahli hadis memberikan penilaian bahwa kitab
karya Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardabaza Al Bukhari atau yang
lebih dikenal dengan Imam Bukhari, menempati urutan pertama dalam validitas dan otentifikasi
hadis yang termuat didalamnya. Hal ini terjadi lebih dikarenakan ‘filterisasi’ Imam Bukhari
terhadap hadis-hadis yang dimasukkan kedalam kitab Sahih-nya harus melewati serangkaian
seleksi yang sangat ketat baik dari segi matan dan juga sanadnya. Sedangkan kitab hadis karya
Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin bin Wardi bin Kausyaz al Qusyairi an-
Naisaburi: Imam Muslim menempati urutan kedua setelah kitab hadis Imam Bukhari. Hal ini
terjadi karena standarisasi hadis sohih yang dilakukan oleh ImamMuslim tidak ‘se-ketat’ Imam
Bukhari.

Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin bin Wardi bin Kausyaz al Qusyairi an-
Naisaburi memulai ‘rihlah ilmiyah-nya’ pada usia 15 tahun, beliau singgah dari kota ke kota dan
beberapa Negara untuk ‘menggali’ ilmu pengetahuan, diantara kota dan negara yang pernah
disinggahinya untuk mencari ilmu adalah, Mesir, Irak, Khurasan, Kuffah, Ra’y dan lain-lain.
Dari sekian banyak guru yang beliau serap ilmunya, beliau memutuskan untuk membuat sebuah
kumpulan hadis sohih yang kemudian dibukukan.

Kitab yang bernama al-Musnad al-Shahih al-Mukhtasar min al-Sunnah bi al-Naql al-Adal ‘an
al’Adl ‘an Rasulullah saw atau yang biasa dikenal dengan Sohih Muslim lahir pada kurun
Khalifah Mutawakkil berkuasa, Khalifah ke empat dinasti Abasiyah, ditengah kondisi
masyarakat ‘terbius’ budaya rasionalis yang dibangun oleh kepemimpinan tiga Khalifah sebelum
Mutawakkil. Masyarakat dibawah kepemimpinan dinasti Abasiyah pada awal abad ke tiga
‘hampir lupa’ dengan hadis, ini terjadi karena hegemoni kaum rasionalis serta banyak beredarnya
hadis palsu yang dipakai oleh beberapa kelompok untuk memuluskan kepentingan kelompok
mereka. Selain menorehkan ‘tinta emas’ lewat kitab Sohih Muslim, Imam Muslim juga
mengarang beberapa kitab lain, sebut saja Awlad al-Sahabah, Intifa bi Uhud (julud) al-Siba’, Al-
Aqran, Su’alatihi Ahmad bin Hanbal, Al-Afrad wa al Wihdan, Masyaikh al-Sauri, Masyaikh
Syu’bah, Masyaikh Malik, Al-Thabaqat, Afrad al-Syamiyin, Al-Wuhdan, Al-Sahih al-Musnad,
Hadis ‘Amr bin Syuaib, Rijal ‘Urwah, Al-Tarikh dan lain-lain.

Metodologi yang dipakai Imam Muslim dalam sohih Muslim nya terringkaskan dalam dua poin
berikut (1) hanya meriwayatkan Hadis dari para periwayat yang adil, dhabit (kuat dalam hal
hafalan) dan dapat dipertanggungjawabkan kejujurannya, serta amanah. (2) hanya meriwayatkan
hadis-hadis yang lengkap sanadnya, muttasil (bersambung sanadnya), dan marfu’ (disandarkan
pada Nabi saw.). selain itu metode penulisan kitab ini pun tergolong rapih, hal ini bisa dilihat
dari penyampaian Imam Muslim dalam menyampaikan beberapa hadis yang mempunyai tema
yang sama dari beberapa redaksi dan sanad dengan cara menggabungkannya menjadi satu (satu
redaksi hadis dari beberapa sanad). Penggunaan ‘cetak tebal’ pada cara periwayatan hadis
semisal haddatsana (‫)حدثنا‬, Akhbarâna (‫ )اخبرنا‬dan haddatsani (‫)حدثنى‬, hal ini mengindikasikan
bahwa adanya ‘perbedaan situasi’ yang dihadapi oleh perawi ketika mendapatkan hadis.

Sistematika yang digunakan dalam penulisan kitab ini pun tergolong sangat rapih. Imam Muslim
membuat tema besar dari berbagai macam bagian yang didalamnya memuat beberapa bab, hal ini
memungkinkan para pencari hadis akan dengan mudah mendapatkan hadis yang dicari. Diawali
dengan muqaddimah, kemudian pada bagian pertama (Imam Muslim menyebutnya ‘kitab’)
beliau membincang persoalan tentang iman dengan 96 bab dan kurang lebih 280 hadis, disusul
dengan bagian kedua yang menerangkan tâharâh (34 bab dan 111 hadis), hâid, shalat dan
seterusnya.

Berkenaan dengan pendapat para ulama tentang kitab hadis karya Imam Muslim, mayoritas
ulama ‘menganggap’ kitab ini mempunyai beberapa kelebihan, misalnya dari segi susunan isinya
tergolong tertib dan sangat sistematis, kemudian pemilihan redaksi matan hadisnya sangat teliti
dan cermat, proses seleksi dan akumulasi matannya sangat teliti, sehingga tidak terjadi
tercampurnya satu matan hadis dengan matan hadis yang lain, penempatan dan pengelompokan
hadis-hadis ke dalam tema atau tempat tertentu, sehingga sedikit sekali terjadi pengulangan atau
penyebutan Hadis, kitab Sahih Muslim sangat membantu untuk mencari Hadis dan
mengistimbatkan suatu hukum, sebab Imam Muslim meletakkan hadis-hadis sesuai dengan suatu
masalah, kitab ini menyampaikan hadis-hadis tertentu dalam satu tema bab, sehingga
memudahkan para pencari ‘dalil-hadis’ dengan kasuistik yang ada. Disamping pujian atas karya
Imam Muslim ada pula yang mengkritisi karya beliau, seperti yang diungkapkan oleh sebagian
besar ulama dan muhadditsin yang mengkritisi ‘standarisasi’ terhadap hadis sohih yang
dilakukan oleh Imam Muslim tergolong ‘longgar’ dibandingkan dengan Imam Bukhari. Kritik
diatas seakan ‘dipertegas’ oleh Ibnu as Sholah, beliau mengatakan bahwa dalam kitab Sahih
Muslim pada babu shifati Rasulillah Saw, Imam Muslim mengatakan: “tidak setiap hadis yang
menurutku berkualitas sahih aku letakkan dalam kitab ini, karena hadis yang aku letakkan dalam
kitab ini hanya hadis-hadis yang kesahihannya telah disepakati”. Hal ini menurut Ibnu as Shalah
membuat orang lain kebingungan, karena pada kenyataannya terdapat hadis yang kesahihannya
diperseisihkan dalam kitab hadis Imam Muslim, disamping banyak ‘kritik’ lain yang
disampaikan oleh para ulama dan muhadditsin. Setidaknya hal diatas yang mengakibatkan kitab
hadis karya Imam Muslim menjadi ter-‘nomor dua’-kan sebagai kitab hadis rujukan setelah al
Qur’an. Walaupun sebagian besar ulama dan muhadditsin menempatkan kitab Sohih Muslim
pada urutan kedua dari segi ‘kesahihan’ hadisnya dibandingkan dengan kitab hadis Imam
Bukhari, namun ‘Abu ‘Ali al Hasan bin ‘Ali an Naisaburi al Hafidz Syaikhul Hakim Abi
‘Abdillah bin ar Rabi’ dan beberapa ulama Maroko sepakat bahwa kitab hadis Imam Muslim
tetap berada pada urutan pertama diatas kitab hadis Imam Bukhari. Hal ini setidaknya
ditandaskan kepada ‘kejeniusan’ Imam Muslim dalam men-sistematis-kan hadis-hadis dalam
kitab karangannya sehingga dapat dengan mudah diakses oleh para ‘pencari hadis’ disamping
jarangnya pengulangan penyebutan hadis seperti yang banyak ditemukan pada kitab hadis Sohih
Bukhari.

Terlepas dari sanjungan dan kritikan yang disampaikan para muhadditsin dan ulama, dalam
pandangan pemakalah, kitab Sahih Muslim adalah salah satu karya agung yang patut diapresiasi
se tinggi-tingginya. Bagaimana tidak, dizaman yang belum mengenal komputer, transportasi
yang sederhana, alat baca-tulis yang belum secanggih saat ini, Imam Muslim mampu
menghadirkan sebuah kitab hadis yang setidaknya terskema dengan baik, banyak mengandung
sejarah, keilmuan, dan akidah umat muslim berkenaan ‘berita’ dari nabi Muhammad Saw.

Wallahu A’alam bi as Shawab

[1] Dr. Phil. Kamaruddin M.A, Metode Kritik Hadis (Jakarta, Penerbit Hikmah 2009) hlm 1

[2] Dr. M. Shaleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia (Yogyakarta, LKis 2007) hlm 10-13

[3] Lihat. Ibid hlm 11

[4] Menurut Ibn Khalkan, tidak seorangpun mengetahui secara pasti tentang tahun kelahiran
Imam Muslim, tetapi kebanyakan dari ulama berpendapat bahwa imam Muslim dilahirkan
setelah tahun 200 H. Imam Taqi ad Din abu ‘Amr Utsman atau yang biasa dikenal dengan
sebutan Ibnu Solah mengatakan bahwa Imam Muslim dilahirkan pada tahun 202 H, Ad Dzihabi
mengatakan 204 H adalah tahun dilahirkannya Imam Muslim, Ibn Katsir berpendapat bahwa
Imam Muslim dilahirkan bertepatan dengan tahun wafatnya Imam As Syafi’i, yakni pada tahun
204 H. Lihat syekh Khalil Ma’mun dalam muqaddimah; al Minhaj syarh Sohih Muslim karya
Imam Muhyi ad Din an Nawawi (Beirut, Dar el-Marefah 1999) vol 1 hlm 70-71

[5] Ibid hal 70


[6] Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis, (Surabaya: Al Muna, 2010), hlm 107.

[7] Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Yogyakarta, Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta:
Teras, 2003) hlm 60.

[8] . Dinukil dari perkataan Ibn Katsir. Lihat Syekh Khalil Ma’mun dalam Muqaddimah: al
Minhaj syarh Sohih Muslim karya Imam Muhyi ad Din an Nawawi (Beirut, Dar el-Marefah
1999) hlm 98

[9] Pada permulaan abad ketiga hijriyah, Daulah Abasiyah dipimpin oleh Khalifah al Ma’mun
(w. 218 H) kemudian dilanjutkan oleh Khalifah al-Mu’tashim (w. 227 H) dan al-Wasiq (w. 232
H). ketiga khalifah kurun pertama daulah Abasiyah ini mempunyai karakter kepemimpinan ra’yu
sebagai ‘ideologi’ pemerintahan, dengan kata lain, ketiga khalifah ini seakan ‘menutup’ ruang
gerak para penggiat hadis untuk mengeksplorasi ilmu pengetahuan yang berbasic hadis. Lihat
Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Yogyakarta, Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta:
Teras, 2003) hlm 63-64

[10] Ibid hal 63

[11] Contoh dapat dilihat pada lampiran

[12] Opcit hal 65

[13] Ibid hal 68-69

[14] Ibid hlm 74-75. Walaupun sebagian besar menempatkan kitab Sohih Muslim pada urutan
kedua dari segi ‘kesahihan’ hadisnya dibandingkan dengan kitab hadis Imam Bukhari, namun
‘Abu ‘Ali al Hasan bin ‘Ali an Naisaburi al Hafidz Syaikhul HakimAbi ‘abdillah bin ar Rabi’
dan beberapa ulama Maroko sepakat bahwa kitab hadis Imam Muslim tetap berada pada urutan
pertama diatas kitab hadis Imam Bukhari. Lihat Imam Nawawi, Terjemah Sahih Muslim bi
Syarhin-Nawawi (Jakarta, Mustaqiim 2002) hlm 53-54

[15] Imam Nawawi, Terjemah Sahih Muslim bi Syarhin-Nawawi (Jakarta, Mustaqiim 2002) hlm
56-57

Anda mungkin juga menyukai