Anda di halaman 1dari 166

NOMER 1

SISTEM PEREDARAN DARAH

A. Pengelomppokan pembuluh darah

Pembuluh darah pada mnusia dibedakan menjadi 2 kelompok berdasarkan arah aliran darahnya.
Pembuluh darah yang arahnya meninggalakan jantung disebut dengan Arteri sedangkan yang
arah aliran darahnya menuju ke jantung disebut dengan vena.

Perbedaan arteri dengan vena yang lain selain dari aspek aliran darahnya, dapat pula dilihat dari
aspek letaknya dari permukaan tubuh, semburan jika pembuluh tersebut dipotong, elatisitasitas
pembuluh. Arteri terletak jauh dari permukaan tubuh jika dibandingkan dengan vena yang dekat
dengan permukaan tubuh. jika dilihat dari segi kekuatan tekanan pada pembuluh maka arteri
memiliki kekuatan tekanan yang lebih besar dibandingkan dengan vena, sehingga arteri jika
dipotong akan menyebabkan darah akan menyembur keluar dengan deras., karena arteri
berhubungan langsung dengan bilik kiri. Jik dilihat dari tingkat elastisitasnya maka arteri lebih
elastis dibandingkan dengan vena.

B. Macam peredaran Darah

Peredarah darah manusia dibagi menjadi dua kelompok yaitu peredaran darah besar dan
peredaran darah kecil. Nama lain peredaran darah besar dalah peredaran darah sistemik
sedangkan nama lain peredaran darah kecil disebut dengan peredaran darah pulmonalis. Jalur
Peredaran darah kecil meliputi jantung kemudian ke menuju paru-paru dan kembali lagi ke
janung. Sedangkan peredaran darah besar mengambil jalur dri jntung kemudian menuju seluruh
tubuh kemudian kembali lagi ke jantung. Lihat gambar berikut ini.
peredaran darah ganda pada manusia

Dari gambar tersebut analisislah manakah yang termasuk perdarah darah sistemik dan yang mana
peredaran pulmonaris!
peredaran darah sistemik dimulai dari bilik kiri ke bagian semua bagian tubuh dan berakhir di
serambi kanan. Sedangkan peredaran darah pulmonaris dimulai dari bilik kanan menuju paru-
paru dan berakhir di serambi kiri.

Karena darah mengalir dua kali melwati jantung maka peredaran darah tipe ini disebut peredaran
darah ganda. selain itu karena darah selalu beredar di dalam pembuluh darah maka disebut
dengan peredaran darah tertutup. Penjelasan di atas menjelaskan makan peredaran darah ganda
dan tertutup.

Perhatikan pada pembuluh darah yang meninggalkan jantung melalui aorta. Pembuluh ini disebut
dengan arteri dengan kandungannya kaya akan oksigen. Kemudian bagaimana dengan pembuluh
lain yang keluar dari jantung(bilik kanan) yang langsung menuju ke paru-paru? apakah
pembuluh darah arteri ini juga mengandung oksigen?

hal yang serupa juga sebaiknya Anda analisis untuk vena yang langsung dari paru-paru apakah
kandungannya kaya akan CO2?

Selain hal tersebut di atas konsep yang perlu dikuasai adalah arah aliran dari darah pada jantung
adalah dari serambi ke bilik, sama seperti ketika Anda masuk ke dalam rumah yang sopan adalah
melewati serambi dahulu baru masuk ke bilik/kamar Anda kan, demikian juga dengan darah-
serambi dulu baru bilik.

Pertanyaan refleksi:

1. Harus melewati pembuluh apakah agar darah yang kaya akan CO2 dapat mengikat kembali
CO2?

2. Apakah pembuluh arteri selalu mengangkut oksigen?

3. kemanakah arah aliran darah pada jantung?

4. Di jantung bagian manakah berakhirnya peredaran sistemik dan pulmonaris?

5. Di jantung bagian manakah peredaran darah sistemik dan pulmonaris dimulai?

6. Di bagian mana saja terjadi pertukaran gas CO2 dan O2?

posting selanjutnya adalah mengenai gangguan yang terjadi pada sistem peredaran darah.

Gangguan sistem peredaran


Gangguan sistem peredaran darah melipui gangguan dan kelainan pada darah, pembuluh, jantung
dan karena kebiasaan juga penyakit.

Kelainan Pada Sistem Peredaran Darah

Kelainan atau penyakit pada sistem peredaran darah antara lain:

1. Arteriosklerosis yaitu pengerasan pembuluh nadi karena endapan lemak berbentuk plak (kerak)
yaitu jaringan ikat berserat dan sel-sel otot polos yang di infiltrasi oleh lipid (lemak)
2. Embolus yaitu tersumbatnya pembuluh darah karena benda yang bergerak.
3. Anemia yaitu rendahnya kadar hemoglobin dalam darah atau berkurangnya jumlah eritrosit
dalam darah
4. Varises yaitu pelebaran pembuluh darah di betis
5. Trombus yaitu tersumbatnya pembuluh darah karena benda yang tidak bergerak .
6. Hemofili yaitu kelainan darah yang menyebabkan darah sukar membeku (diturunkan secara
hereditas)
7. Leukemia (kanker darah ) yaitu peningkatan jumlah eritrosit secara tidak terkendali.
8. Erithroblastosis fetalis yaitu rusaknya eritrosit bayi/janin akibat aglutinasi dari antibodi yang
berasal dari ibu.
9. Thalasemia yaitu anemia yang diakibatkan oleh rusaknya gen pembentuk hemoglobin yang
bersifat menurun.
10. Hipertensi yaitu tekanan darah tinggi akibat arteriosklerosis
11. Hemeroid (ambeien) pelebaran pembuluh darah di sekitar dubur

Sistem Transportasi/Peredaran Darah pada Manusia


Posted by gurungeblog ⋅ Oktober 31, 2008 ⋅ 345 Komentar

Filed Under Sistem Peredaran darah transportasi manusia


Sistem transportasi manusia

Transportasi ialah proses pengedaran berbagai zat yang diperlukan ke seluruh tubuh dan
pengambilan zat-zat yang tidak diperlukan untuk dikeluarkan dari tubuh.
Alat transportasi pada manusia terutama adalah darah. Di dalam tubuh darah beredar dengan
bantuan alat peredaran darah yaitu jantung dan pembuluh darah.
Selain peredaran darah, pada manusia terdapat juga peredaran limfe (getah bening) dan yang
diedarkan melalui pembuluh limfe.
Pada hewan alat transpornya adalah cairan tubuh, dan pada hewan tingkat tinggi alat
transportasinya adalah darah dan bagian-bagiannya. Alat peredaran darah adalah jantung dan
pembuluh darah.

1. Darah
Bagian-bagian darah

Sel-sel darah (bagian yg padat)

 Eritrosit (sel darah merah)


 Leukosit (sel darah putih)
 Trombosit (keping darah)

sel-darah

Plasma Darah (bagian yg cair)

 Serum
 Fibrinogen

Fungsi Darah
Darah mempunyai fungsi sebagai berikut :
1. Mengedarkan sari makanan ke seluruh tubuh yang dilakukan oleh plasma darah
2. Mengangkut sisa oksidasi dari sel tubuh untuk dikeluarkan dari tubuh yang dilakukan oleh
plasma darah, karbon dioksida dikeluarkan melalui paru-paru, urea dikeluarkan melalui ginjal
3. Mengedarkan hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar buntu (endokrin) yang dilakukan oleh
plasma darah.
4. Mengangkut oksigen ke seluruh tubuh yang dilakukan oleh sel-sel darah merah
5. Membunuh kuman yang masuk ke dalam tubuh yang dilakukan oleh sel darah putih
6. Menutup luka yang dilakuakn oleh keping-keping darah
7. Menjaga kestabilan suhu tubuh.

2. Jantung

jantung-manusia

Jantung manusia dan hewan mamalia terbagi menjadi 4 ruangan yaitu: bilik kanan, bilik kiri,
serambi kanan, serambi kiri. Pada dasarnya sistem transportasi pada manusia dan hewan adalah
sama.

3. Pembuluh Darah
Ada 3 macam pembuluh darah yaitu: arteri, vena, dan kapiler (yang merupakan pembuluh darah
halus)

Pembuluh Nadi

 Tempat Agak ke dalam


 Dinding Pembuluh Tebal, kuat, dan elastis
 Aliran darah Berasal dari jantung
 Denyut terasa
 Katup Hanya disatu tempat dekat jantung
 Bila ada luka Darah memancar keluar

Pembuluh Vena

1. Dinding Pembuluh Tipis, tidak elastis


2. Dekat dengan permukaan tubuh (tipis kebiru-biruan)
3. Aliran darah Menuju jantung
4. Denyut tidak terasa
5. Katup Disepanjang pembuluh
6. Bila ada luka Darah Tidak memancar

1. Sistem peredaran darah tertutup dan peredaran darah ganda

Dalam keadaan normal darah ada didalam pembuluh darah, ujung arteri bersambung dengan
kapiler darah dan kapiler darah bertemu dengan vena terkecil (venula) sehingga darah tetap
mengalir dalam pembuluh darah walaupun terjadi pertukaran zat, hal ini disebut sistem
peredaran darah tertutup.

Peredaran darah ganda pada manusia, terdiri peredaran darah kecil (jantung –paru-paru –
kembali ke jantung) dan peredaran darah besar (jantung – seluruh tubuh dan kembali ke jantung).
Peredaran ini melewati jantung sebanyak 2 kali.

5. Getah Bening
Disamping darah sebagai alat transpor, juga terdapat cairan getah bening. Terbentuknya cairan
ini karena darah keluar melalui dinding kapiler dan melalui ruang antarsel kemudian masuk ke
pembuluh halus yang dinamakan pembuluh getah bening (limfe)

Penyakit pada Sistem Transportasi


1. Anemia
• Anemia sel sabit merupakan penyakit menurun tak bisa diobati
• Anemia perniosa, rendahnya jumlah eritrosit karena makan kurang vit B12
2. Talasemia
Sel darah merah abnormal,umur lebih pendek,diasesi dengan transfusi darah
3. Hemofili
Darah sulit/tidak bisa membeku
4. varises
Pelebaran pembuluh vena
5. Atherosklerosis
Penyumbatan pembuluh darah oleh lemak
6. Arteriosklerosis
Penyumpatan pembuluh darah oleh zat kapur
7. leukopeni
jumlah sel darah putih kurang dari normal

NOMER 3 PROTAP TATA CARA PEMERIKSAAN GOLONGAN DARAH

1.Tujuan pemeriksaan
Untuk mengetahui golongan darah seseorang
2.Persiapan pasen.
Tidak diperlukan

3.Alat yang diperlukan


1.Kaca objek
2.Lancet
3.Kapas alcohol

4.Reagen
1 set anti sera yang berisi:
1. serum anti A
2.serum anti B
3.Serum anti AB
4.Anti Rh factor

5.Cara pemeriksaan
1.Taruhlah pada sebuah kaca objek:
1 tetes serum anti A
1 tetes serum anti B
1 tetes serum anti AB
1 tetes RH factor

2.Setetes kecil darah kapiler atau vena diteteskan pada serum serum diatas,campur dengan ujung
lidi satu lidi untuk satu macam campuran

3.Goyangkan kaca objek dengan membuat gerakan melingkar selama 4 menit

4.Liat bagian mana yang ada aglutinasinya

5.Pelaporan
1.Anti A aglitinasi positip
Anti B aglutinasi negatip Golongan darah A
Anti AB aglutinasi positip
2.Anti A aglitinasi negatip
Anti B aglutinasi positip Golongan darah B
Anti AB aglutinasi positip
3.Anti A aglitinasi positip
Anti B aglutinasi positip Golongan darah AB
Anti AB aglutinasi positip
4.Anti A aglitinasi negatip
Anti B aglutinasi negatip Golongan darah O
Anti AB aglutinasi negatip
5.Anti Rh factor aglutinasi positip Rh +
Anti RH factor aglutinasi negatip Rh -
GOLONGAN DAN TRANSFUSI DARAH

PERTEMUAN 2

GOLONGAN DARAH DAN TRANSFUSI DARAH

Darah dibagi dalam berbagai golongan berdasrkan tipe antigen yang terdapat didalam sel.

Golongan Darah
Membran eritrosit mengandung dua antigen yaitu tipe-A dan tipe-B. antigen ini disebut
aglutinogen. Sebaliknya, antibody yang terdapat dalam plasma akan bereaksi spesifik terhadap
antigen tipe-A atau tipe-B yang dapat menyebabkan aglutinasi (penggumpalan) eritrosit.
Antibody plasma yang menyebabkan penggumpalan aglutinogen disebut aglutinin. Ada dua
macam aglutinin, yaitu aglutinin-a (zat anti-A) dan aglutinin-b (zat anti-B).

Aglutinogen-A mempunyai enzim glikosil tranferase yang mengnadung asetil glukosamin pada
rangka glikoproteinnya. Sedangkan aglutinogen-B mengandung enzim galaktosa pada rangka
glikoprotennya. Aglutinogen-AB adalah golongan yang memiliki kedua jenis enzim tersebut.

Ahli imunologi (ilmu tentang kekebalan tubuh) kebangsaan Austria bernama Karl Landsteiner
(1868-1943) mengelompokkan golongan darah manusia. Berdasarkan ADA ATAU TIDAK
ADANYA AGLUTINOGEN maka golongan darah dikelompokkan menjadi golongan darah A,
B, AB, dan O.
 Golongan darah A, yaitu jika eritrosit mengandung aglutinogen-A dan aglutinin-b dalam plasma
darah.
 Golongan darah B, yaitu jika eritrosit mengandung aglutinogen-B dan aglutinin-a dalam plasa
darah.
 Golongan darah AB, yaitu jika eritrosit mengandung aglutinogen-A dan B, dan plasma darah
tidak meiliki aglutinin.
 Golongan darah O, yaitu jika eritrosit tidak memiliki agutinogen-A dan B, dan plasma darah
memiliki aglutinin-a dan b.
Tabel Golongan Darah Berdasarkan Aglutinin dan Aglutinogen

Golongan Darah Aglutinogen Aglutinin


A A b
B B a
AB A dan B Tidak Ada
O Tidak Ada a dan b

Uji Golongan Darah


Uji golongan darah atau tes darah dilakukan untuk mengetahui golongan darah seseorang. Cara
melakukan tes darah adalah dengan mengambil sampel darah orang yang akan di tes golongan
darahnya, kemudian sampel darah tersebut ,masing- masing akan ditetesi oleh serum anti A, anti
B dan anti AB. Serum tersebut identik dengan aglutinin sehingga serum tersebut dapat
menggumpalkan darah apabila bercampur dengan darah yang memiliki aglutinogen yang sesuai.
Contohnya seseorang dengan golongan darah A jika ditetesi dengan serum anti A maka darahnya
akan menggumpal, karena aglutinogen pada darah orang tersebut bercampur dengan serum anti
A yang identik dengan aglutinin a. Sedangkan ketika ditetesi serum anti B darahnya tidak
menggumpal karena orang tersebut tidak memiliki aglutinogen B sehingga serum anti B tidak
menggumpalkan darah.

Golongan Darah Serum Anti A/ Serum anti B/ Serum anti AB/ Aglutinogen
Aglutinin a Aglutinin b Aglutinin ab
A Menggumpal Tidak Menggumpal Menggumpal A
B Tidak Menggumpal Menggumpal Menggumpal B
AB Menggumpal Menggumpal Menggumpal AB
O Tidak Menggumpal Tidak Menggumpal Tidak Menggumpal Tidak Ada
Tabel aglutinasi golongan darah dengan serum anti A, Anti B dan anti AB
Gambar 2.1 Uji serum golongan darah ( Tes darah )

Metode Rhesus
Cara lain dalam mengelompokan golongan darah adalah dengan menggunakan metode Rhesus.
Tipe Rhesus ini pertama kali ditemukan pada eritrosit kera spesies Maccacus rhesus.
Rhesus positif (+) maka di dalam eritrositnya terdapat aglutinogen/ antigen rhesus (Disebut juga
aglutinogen D). Rhesus negative (-) maka di dalam eritrositnya tidak terdapat aglutinogen/
antigen rhesus (Aglutinogen D).
Kira-kira 85% dari seluruh bangsa berkulit putih adalah Rh negatif, sedangkan pada bangsa Afrika
yang berkulit hitam 100% adalah Rh positif.
Golongan darah rhesus ini dapat mempengaruhi keturunan dan jika terjadi ketidakcocokan maka
dapat menyebabkan kelainan eritroblastosis fetalis.

Tabel Fenotip dan Genotip


Macam Rhesus Fenotip Genotip
Rhesus (+) Rhesus Positif Rh+Rh+ / Rh+Rh-
Rhesus (-) Rhesus Negatif Rh-Rh-

Eritroblastosis Fetalis

Seorang ibu Rh- dan ayah Rh+ dapat memiliki janin yang Rh+. Selama kehamilan atau
persalinan antigen Rh (aglutinogen Rh) dari bayi dapat masuk ke peredaran darah ibu melalui
plasenta dan darah ibu akan bereaksi dengan memproduksi aglutinin anti Rh. Makin sering si ibu
hamil maka akan semakin banyak aglutinin Rh yang dibentuk si ibu.

Aglutinin Rh ini kemudian akan masuk kedalam peredaran darah janin melalui plasenta, dan
akan menimbulkan aglutinasi dan hemolisis eritrosit janin, dan timbul anemia pada janin. Untuk
mengatasi anemia ini, sum-sum merah, hati, limfa janin melepaskan eritroblas yang belum
matang ke peredaran darah, sehingga timbul penyakit yang disebut eritroblastosis fetalis. Karena
terjadi hemolisis maka kadar bilirubin janin dapat meingkat.

Kehamilan pertama biasanya hanya menimbulkan efek kecil terhadap janin, tetapi pada
kehamilan-kehamilan berikutnya janin dapat mati didalam rahim.
Gambar 2.2 Proses terjadinya eritroblastosis fetalis

Transfusi Darah
Transfusi darah adalah pemberian darah seseorang kepada orang lain. Orang yang berperan
sebagai pemberi darah disebut dengan DONOR dan yang menerima darah disebut RESIPIEN.
Donor perlu memperhatikan jenis aglutinogen di dalam eritrosit, sedangkan resipien perlu
memperhaitkan jenis aglutinin dalam plasma darah.
Sebelum melakukan transfusi perlu menentukan golongan darah resipien dan golongan darah
donor. Proses penentuan golongan darah dilakukan dengan cara Tes Darah seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya.
Setelah diketahui jenis golongan darah antara donor dan resipien barulah proses transfuse darah
dapat dilakukan.

Bagan Transfusi Darah


Golongan darah O adalah DONOR UNIVERSAL karena dapat di transfusikan ke seluruh
golongan darah
Golongan drah AB adalah RESIPIEN UNIVERSAL karena dapat menerima semua jenis
golongan darah

Tabel aglutinasi dari berbagai golongan darah


Golongan Darah Aglutinin A Aglutinin B
O Tidak Menggumpal Tidak Menggumpal
A Menggumpal Tidak Menggumpal
B Tidak Menggumpal Menggumpal
AB Menggumpal Menggumpal

Dari bagan dan tabel diatas dapat kita ketahui dari dan ke golongan darah apa saja proses
transfusi darah dapat terjadi.

Pada tabel melukiskan reaksi yang terjadi pada empat golongan darah yang berbeda. Golongan
darah O, eritrositnya tidak mempunyai aglutinogen sehingga tidak dapat bereaksi dengan salah
satu serum anti-A atau anti-B. Golongan darah A mempunyai aglutinogen-A sehingga
beraglutinasi dengan aglutinin anti-A. Golongan darah AB mempunyai aglutinogen B sehingga
beraglutinasi dengan kedua jenis aglutinin.
Golongan darah AB adalah resipien universal karena dapat menerima semua jenis golongan
darah. Sebaliknya golongan darah O adalah donor universal karena dapat ditransfusikan kepada
seluruh golongan darah. Tetapi transfusi darah yang terbaik adalah transfusi darah dari golongan
darah yang sejenis. Jika transfuse dilakukan dengan jenis golongan darah yang berbeda,
meskipun itu memungkinkan, misalnya golongna darah O ditransfusikan ke golongan darah AB,
masih mungkin terjadi penggumpalan walaupun sedikit.

Alasan terbanyak melakukan transfuse adalah karena penurunan volume darah. Transfusi juga
sering digunakan untuk pengobatan anemia atau member resipien beberapa unsur lain dari darah.

Melakukan pemeriksaan darah

I.Tujuan
Dapat melakukan tes untuk mengetahui golongan darah system AB0, dan mengetahui kecepatan
penggumpalan darah.
II. Dasar Teori
a. Golongan darah system AB0
Golongan Darah sistem ABO ditemukan oleh seorang ahli Patologi Amerika kelahiran
Austria bernama Karl Landsteiner pada tahun 1900. Antigen utama dalam sistem ini disebut
antigen A dan B dan antibodi utama adalah anti-A dan anti-B. Gen yang menentukan ada
tidaknya aktivitas A atau B terdapat pada kromosom nomor 9. Orang normal yang berumur
diatas 6 bulan selalu mempunyai antibodi yang dapat bereaksi dengan antigen A atau B apabila
antigen bersangkutan tidak terdapat dalam eryhtrositnya sendiri.
Jika tidak terlihat sugroups maka dikenal empat golongan darah :
 Golongan darah A
Erythrositnya mengandung aglutinogen A dan serumnya mengandung aglutinin anti B
 Golongan darah B
Erythrositnya mengandung aglutinogen B dan serumnya mengandung aglutinin anti A
 Golongan darah O
Erythrositnya tidak mengandung aglutinogen dan serumnya mengandung aglutinin anti A dan
aglutinin anti B.
 Golongan darah AB
Erythrositnya mengandung aglutinogen A dan aglutinogen B sedangkan serumnya tidak
mengandung aglutinin
Walaupun anti-A dan anti-B bereaksi secara spesifik dan kuat dengan eryhtrosit yang
relevan, rangsangan untuk pembentukan anti-A dan anti-B tidak ditimbulkan oleh eryhtrosit itu
sendiri. Orang-orang dengan golongan darah A hanya membentuk anti-B dan mereka dengan
golongan darah B hanya membentuk anti-A. Orang-orang dengan golongan darah O mempunyai
baik anti-A maupun anti-B, sedangkan yang golongan darah AB tidak memiliki anti-A dan anti-
B.
Anti-A dan anti-B merupakan aglutinin yang kuat dan mudah dinyatakan dengan
pemeriksaan laboratorium. Aglutinin ini dengan cepat menghancurkan eryhtrosit tidak
kompatibel yang masuk dalam sirkulasi melalui aktivitas komplemen.satu-satunya cara eryhtrosit
inkompatibel golongan darah ABO masuk dalam sirkulasi, melalui transfusi darh yang salah,
kecuali pada beberapa kasus dimana eryhtrosit janin masuk dalam sirkulasi darah ibu pada waktu
hamil atau saat melahirkan.
Reaksi transfusi hemolitik pada umumnya disebabkan kesalahan dalam identifikasi
penderita, kesalahan sampel darah penderita atau donor dan kesalahan administrasi.
Penetapan golongan darah menentukan jenis aglutinogen yang ada dalam darah,
adakalanya disamping itu juga dilakukan penetapan jenis aglutinin yang ada dalam serum
(reverse grouping dan serum grouping).
Tabel penggumpalan darah
Golongan darah Anti A Anti B
A + -
B - +
AB + +
0 - -
b. Pengaruh sodium sitrat pada penggumpalan darah
III. Alat dan Bahan

1. Lancing device
2. Blood lancet atau jarum
3. Kaca obyek
4. Anti A
5. Anti B
6. Kapas
7. Alkohol 70%
8. Pengaduk
9. Pipet
10. Sodium sitrat
11. Air

IV. Cara kerja


A. Menentukan golongan darah
1. Menyiapkan kaca tempat untuk meletakkan darah. (pada kaca ada 2 bagian, A dan B)
2. Membersihkan ujung jari dengan menggunakan kapas yang dibasahi alcohol 70%
3. Melakukan penusukan pada jari dengan menggunakan lancing device yang sudah dipasangi blood
lancet steril.
4. Menempatkan darah yang menetes pada kaca A dan B
5. Menetesi bagian A dengan anti A, bagian B dengan anti B,
6. Mengaduk campuran darah dan zat anti dengan menggunakan pengaduk yang berbeda- beda.
7. Mengulangi hal yang sama untuk orang lain.
8. Memasukkan hasil pengamatan kedalam tabel pengamatan.
B. Penggumpalan darah
1. Meneteskan darah pada kaca obyek di dua titik di sisi yang berlawanan (A dan B) dengan cara
yang sama pada percobaan pertama.
2. Menambahkan setetes larutan sodium sitrat pada tetesan A
3. Menambahkan setetes air pada tetesan B
4. Mengaduk setiap campuran tetesan tersebut dengan pengaduk yang berbeda hingga darah
menggumpal, kemudian mencatat mana yang lebih dulu menggumpal.
V. Data
No Nama Darah + Darah + Golongan
Anti A Anti B Darah
1 Rizka Wira P - - 0
2 Rizki Apriliani + + AB
3 Rosy Azizah R - + B
4 Tusta Rika P - + B
Ket :
+ = terjadi penggumpalan
- = tidak terjadi penggumapalan
VI. Pertanyaan dan diskusi
1. Pada percobaan yang kamu lakukan apakah ada yang menggumpal? Kalau ada mengapa bisa
terjadi penggumpalan?
Ya, ada yang menggumpal. Bisa terjadi penggumpalan karena aglutinogen bertemu dengan
aglutininnya sehingga menyebabkan aglutinasi.
2. Apakah fungsi serum anti A dan anti B pada tes golongan darah?
Untuk mengetahui apakah darah akan menggumpal atau tidak ketika bertemu
denganserum anti-A dan serum anti-B
3. Apakah darah semua orang memberikan hasil yang sama? Mengapa demikian?
Darah semua orang ada yang memberikan hasil yang sama ada yang tidak.Karena golongan
darah setiap orang ada yang berbeda ada yang tidak.
4. Berdasar percobaan ada berapa macam golongan darah yang kamu test?
Menurut sistem AB0 ada 4 golongan darah yaitu A, B, AB dan 0. Tetapi dalam kelompok kami
hanya ada 3 macam golongan darah yaitu B, AB dan 0
5. Apa manfaat tes golongan darah?
Agar kita dapat mengetahui golongan darah apa yang dapat kita terima ketika sewaktu-waktu
kita memerlukan bantuan darah dari orang lain dan kita dapat mendonorkan darahkita kepada orang
yang tepat.
6. Pada bagian mana dari darah yang mengandung aglutinogen dan aglutinin?
Aglutinogen terdapat pada eritrosit
Aglutinin terdapat dalam plasma darah.
7. Manakah yang lebih cepat menggumpal, darah yang dicampur air atau darah yang dicampur
sodium sitrat?
Yang lebih cepat menggumpal adalah darah yang dicampur air.
8. Apa pengaruh penambahan sodium sitrat pada penggumpalan darah?
Natrium sitrat dalam darah akan mengikat kalsium menjadi kompleks kalsium sitrat. Bahan ini
banyak digunakan dalam darah untuk transfusi, karena tidak tosik.
9. Pada saat seseorang mendonorkan darah nya pada bank darah, sejumlah kecil sitrat ditambahkan
pada darah, apa tujuannya?
Untuk mencegah pembekuan darah.
VII. Kesimpulan dan saran
1. Kesimpulan
2. Saran
Sumber:
http://medicastore.com/apotik_online/obat_jantung/antikoagulan.htm
http://www.scribd.com/doc/48229296/Laporan-Biologi-Sistem-Peredaran-Darah
http://ripanimusyaffalab.blogspot.com/2010/02/golongan-darah.html

NOMER 4

Golongan darah manusia (part 3-habis)


Posted by hnz11 under Medical, My Writing | Tags: darah, donor, resipien |
1 Comment

Sebelumnya di golongan darah manusia…. Pada bagian-bagian terdahulu telah dibahas apa itu
golongan darah, apa yang menjadi ciri biologis suatu golongan darah tertentu, bagaimana
golongan darah diturunkan dalam keluarga, distribusi ras, perbedaan golongan darah dalam
kasus obstetri, perubahan golongan darah, dan peran medis golongan darah.

Apa yang sebenarnya ditransfusikan pada transfusi darah?

Darah yang ditransfusikan dapat berupa darah lengkap (whole blood) yang mengandung semua
komponen plasma (bagian cair darah) dan seluler (bagian padat darah); ataupun hanya berupa
komponen tertentu saja. Komponen darah yang sering ditransfusikan secara spesifik antara lain
packed-red-cells (PRC, eritrosit), thrombocyte concentrate (TC, trombosit), kriopresipitat
(konsentrat beberapa faktor pembekuan darah seperti fibrinogen dan antihemofilia A), dan fresh
frozen plasma (FFP, plasma).

Apakah darah yang ditransfusikan selalu harus sama golongannya? Adakah faktor lain yang
perlu dipertimbangkan?

Pertimbangan utama dalam transfusi darah, khususnya yang mengandung eritrosit, adalah
kecocokan antigen-antibodi eritrosit. Mengapa demikian?

Golongan darah AB secara teoritis merupakan resipien universal, karena memiliki antigen A dan
B di permukaan eritrositnya, sehingga serum darahnya tidak mengandung antibodi (baik anti-A
maupun anti-B). Karena tidak adanya antibodi tersebut, berarti darah mereka (lagi-lagi, secara
teoritis) tidak akan menolak darah golongan manapun yang berperan selaku donor, dengan kata
lain mereka boleh menerima darah dari semua golongan darah lainnya. Sedangkan golongan
darah O secara teoritis merupakan donor universal, karena memiliki antibodi anti-A dan anti-B.
Darah yang diberikan diharapkan tidak memicu reaksi imunitas dari resipien, dengan kata lain
mereka boleh memberikan darah ke semua golongan darah lain, termasuk golongan A dan B.

Benarkah teori ini bisa dipakai pada semua metode transfusi darah? Misalnya kita ambil contoh
ekstrim di mana seorang golongan darah O mendonorkan darah untuk golongan AB. Plasma
darah donor mengandung kedua aglutinin (anti-A dan anti-B). Sedangkan sel darah merah
resipien mengandung kedua aglutinogen (antigen A dan antigen B). Tentu saja masih terjadi
reaksi imunologis yang ujung-ujungnya aglutinasi juga. Karena itulah konsep O sebagai donor
universal dan AB sebagai resipien universal hanya berlaku untuk transfusi PRC, TIDAK
BERLAKU UNTUK DARAH LENGKAP.

Faktor yang perlu diperhatikan dalam donor darah lengkap adalah plasma dan antigen baik dari
donor serta resipien. Dalam kasus ini golongan darah donor dan resipien harus sama persis.
Sedangkan konsep donor universal tadi bisa digunakan untuk PRC, di mana hanya faktor
antigen donor dan plasma resipien yang diperhatikan. Namun untuk menghindari hal yang
tidak diinginkan (kemungkinan sekecil apapun pasti ada…), darah yang didonorkan diusahakan
semaksimal mungkin sama golongannya dengan golongan darah si penerima; agar reaksi
semacam itu tidak terjadi. Apabila kondisi sangat mendesak, baru boleh dipikirkan konsep donor
darah universal.

Tabel kesesuaian golongan darah donor dan resipien

Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah faktor Rh. Seorang Rh (-) yang belum memiliki anti-
D namun menerima donor darah Rh (+) akan mengalami reaksi sensitisasi terhadap antigen D.
Untuk wanita hal ini dapat berbahaya bagi kehamilan (sudah dibahas di bagian kedua). Sekali
saja seorang Rh (-) terpapar darah Rh (+); jika kali berikutnya ia kembali terpapar darah Rh (+),
maka reaksi transfusi yang timbul dapat sangat berbahaya. Namun hal ini tidak berlaku
sebaliknya. Jika seorang Rh (+) mendapat darah dari donor Rh (-), darah Rh (-) itu sudah lepas
dari sistem imunitas si donor, sehingga tidak akan terjadi reaksi sensitisasi. Dengan kata lain,
sistem imun orang Rh (+) tidak bereaksi imunologis terhadap paparan darah Rh (-).

Benarkan ada beberapa tipe golongan darah A? Amankah memberikan donor darah A kepada
resipien A yang berbeda subtipe?

Golongan darah A terdiri atas 20 subgrup, di mana A1 dan A2 adalah dua yang terbanyak,
meliputi masing-masing hampir 80% dan hampir 20% individu. Subtipe semacam ini, sejauh ini
tidak mengganggu transfusi darah.
Apa itu weak D?

Nilai negatif dari uji antigen D yang meragukan. Kasus yang sering ditemukan pada orang
Afrika ini dulu pernah disimbolkan sebagai Du (tapi simbol ini jarang dipakai, sehingga tidak
berlaku lagi sekarang). Hal ini terjadi karena perubahan struktur permukaan eritrosit, sehingga
reaksi pemeriksaan Rh dapat memberikan hasil variabel. Dalam mendonorkan darah, orang
dengan weak D harus dianggap sebagai Rh positif. Sebaliknya waktu menerima darah, keharusan
menganggap orang ini sebagai Rh negatif masih diragukan, walaupun pada praktiknya biasa
orang weak D mendapat darah Rh negatif. Kondisi yang membingungkan ini membuat orang
weak D mungkin saja tidak dapat melakukan transfusi darah autolog!

Adakah perbedaan aturan donor dan resipien plasma darah (pendonoran darah tanpa
komponen seluler)?

Untuk plasma darah, faktor yang perlu diperhatikan hanya antibodi saja. Golongan darah AB
tidak memiliki antibodi dalam plasma, sehingga secara teoritis boleh didonorkan ke semua
golongan darah. Sedangkan golongan darah O yang memiliki anti-A dan anti-B (lagi-lagi,
teoritis) diharapkan tidak memberikan perlawanan terhadap plasma yang masuk, baik apakah itu
mengandung anti-A ataupun anti-B. Jadi dalam pendonoran plasma, AB berperan sebagai donor
universal teoritis dan O sebagai resipien universal teoritis.

Apa yang membedakan golongan darah O biasa dan O bombay?

Golongan darah O bombay memiliki genotipe hh, di mana mereka tidak mampu
mengekspresikan antigen H pada eritrositnya akibat mutasi fukosiltransferase, enzim yang
diperlukan untuk menghasilkan substansi H. Karena itu golongan darah ini disimbolkan sebagai
Oh. H merupakan substansi yang berperan sebagai prekursor (prasyarat) untuk mengekspresikan
antigen A dari gen A atau antigen B dari gen B. Struktur H sendiri terdiri atas karbohidrat
fukosa. Jika seseorang tidak mampu mengekspresikan antigen H, otomatis gen A maupun gen B
dari orang tuanya tidak muncul dalam bentuk antigen, sehingga eritrosit orang tersebut tidak
memiliki antigen. Terlihat genotipe O. Namun jika mereka menerima darah dari golongan O
biasa, timbul reaksi imunologi. Hal ini kemungkinan disebabkan darah mereka bereaksi terhadap
antigen H pada golongan darah O.
Mekanisme substansi H membentuk antigen A atau B

Sebagai perbandingan:

 O Rh (+): antigen H ada, antigen D ada, aglutinogen A tidak ada, aglutinogen B tidak ada
 O Rh (-): antigen H ada, antigen D tidak ada, aglutinogen A tidak ada, aglutinogen B tidak ada
 O bombay: antigen H tidak ada, antigen D variabel (bisa ada bisa tidak), aglutinogen A tidak ada,
aglutinogen B tidak ada

Berdasarkan perbandingan di atas, golongan darah O bombay, seperti halnya O Rh (+), dapat
dianggap sebagai donor universal di kalangan golongan darah Rh (+). Masalahnya apabila
mereka yang berada di posisi “memerlukan donor”, karena donornya juga harus bergolongan
darah O bombay. Pemberian darah biasa dapat mengakibatkan reaksi aglutinasi antara antigen H
darah donor dan antibodi anti-H dari si resipien. Dan biasanya darah langka ini tidak tersedia di
palang merah atau bank darah (apalagi kalau kejadiannya bukan di India!).

Sekedar informasi: golongan darah ini pertama kali ditemukan oleh Bhende dkk. di Mumbai,
India pada tahun 1952. Frekuensi orang dengan golongan darah O bombay di seluruh dunia
diperkirakan 1 dari 250.000 orang, namun di India angka ini lebih besar (1 dari 7500 orang). Saat
ini golongan darah langka ini paling banyak ditemukan di negara bagian Maharashtra, bagian
barat India. Golongan darah ini disebut langka karena, di Mumbai sendiri donornya hanya
tersedia 35-40 orang; dan di India seluruhnya hanya ada 179 orang (Int J Hum Genet 2005, 5(3):
193-98). Di Indonesia pernah ditemukan 2 kasus golongan darah O bombay, keduanya pada anak
perempuan. Masing-masing pada tahun 1976 dan 1978 (Irawan & Rustam, 1978). Tapi setelah
itu kasus semacam ini belum pernah terdengar lagi (sejauh yang saya tahu. Mungkin ada yang
tahu atau pernah dengar?).

Golongan darah apakah yang sebenarnya disebut donor darah universal? Apakah semua O, O
Rh (-), atau O-bombay? Lalu siapa yang sebenarnya disebut resipien darah universal?

Secara teoritis, golongan darah universal hendaknya merupakan golongan darah yang tidak
memiliki antigen sama sekali, agar aglutinin resipien tidak “melakukan reaksi perlawanan”.
Golongan darah O Rh (-) telah diterima sebagai donor darah universal secara luas. Hal ini
disebabkan darah tersebut tidak memiliki antigen imunogenik (antigen A, antigen B, dan antigen
D) sehingga diharapkan tidak terjadi reaksi imunologik jika dimasukkan ke tubuh resipien.
Golongan darah O Rh (+) dan O bombay hanya diterima sebagai donor universal di kalangan
semua orang yang memiliki Rh (+) (kecuali, tentu saja, orang bergolongan darah O bombay Rh
negatif). Tidak diketahui apakah O bombay Rh negatif dapat menjadi donor universal (walaupun
secara teoritis mungkin saja).

Sebaliknya, golongan darah AB Rh (+) yang memiliki semua antigen, merupakan resipien
universal. Konsepnya sama; karena sel darah golongan ini memiliki semua antigen, aglutinin dari
plasma darah apapun yang masuk tidak akan menimbulkan reaksi imunologis terhadap darah
resipien.
Sekian pembahasan saya mengenai golongan darah manusia, mudah-mudahan bermanfaat bagi
rekan-rekan semua, khususnya dalam pemahaman konsep transfusi darah. Jika ada informasi
yang mungkin kurang tepat, saya menerima kritik dan saran dari Anda semua.

Transfusi Darah
December 16, 2011 Journals No comments

*dedicated for @Blood4LifeID

Apa saja sih yang kita perlu ketahui tentang Transfusi Darah? Mungkin beberapa keterangan
dibawah ini bisa sedikit memperjelas…

1. Informasi terpenting dlm proses transfusi darah adalah gol. darah pendonor & penerima
(resipien).

2. Adapun gol. darah yg paling umum dipakai adalah gol. darah ABO & Rhesus.

3. Untuk gol. darah ABO terbagi menjadi A, B, AB, & O sedangkan untuk Rhesus terbagi
menjadi Rhesus positif & Rhesus negatif. Sehingga kombinasi yg tercipta adalah A+, A-, B+, B-,
AB+, AB-, O+, & O-.

4. Menyangkut transfusi darah maka selain transfusi antar gol. darah yg sama, sebenarnya ada
yang disebut gol. darah donor universal yaitu O- karena tidak memiliki antigen apapun & gol.
darah resipien universal yaitu AB+.

5.Jika terjadi inkompatibilitas gol. darah saat transfusi maka dpt mengakibatkan :
- penggumpalan sel darah merah yg kemudian dpt menyumbat pembuluh darah. FATAL!
- sel darah merah yg menggumpal dpt pecah & Hb yg terkandung di dalamnya akan ikut keluar
& bersifat toksik. FATAL!

6. Transfusi darah sekarang bisa berapa komponen saja seperti sel darah merah, sel darah putih,
faktor pembeku, trombosit, & plasma.

7. Transfusi darah dihubungkan dgn bbrp komplikasi yg secara garis besar terbagi atas
komplikasi imunologis & infeksi.

8. Komplikasi imunologis termasuk:


- Reaksi hemolitik akut (0,016%) akibat destruksi sel darah merah donor oleh sel darah resipien.
- Reaksi hemolitik tertunda (0,025%) dengan penyebab & gejala yg sama dengan reaksi akut
hanya lebih ringan.
- Reaksi nonhemolitik disertai demam (7%) diakibatkan adanya antibodi resipien terhadap sel
darah putih donor.
- Reaksi alergi diakbatkan resipien telah memiliki antibodi terhadap zat-zat kimia tertentu pada
darah donor.
- Purpura pasca transfusi adalah komplikasi yg sangat jarang.

9. Komplikasi infeksi:
- Kontaminasi bakteri.
- Infeksi HIV jika donor dlm window period (donor telah terinfeksi tetapi belum memproduksi
antibodi).
- Infeksi hepatitis C.
- Infeksi lain spt hepatitis A, sifilis, sitomegalovirus (pada donor yg lemah imunitasnya).

10.Kondisi yg membutuhkan transfusi darah: Perdarahan hebat,anemia, kekurangan trombosit.

Apakah seseorg yg sdg menggunakan obat2an #PSIKOAKTIF boleh #dondar?


1. Apa saja jenis zat #PSIKOAKTIF itu? a. NAPZA, b. zat depresan, c. opiat (opioid), d.
stimulan, e. obat halusinogen, f. inhalasia
2. #PSIKOAKTIF bekerja pd susunan saraf pusat, bkn di darah, darah adlh media pengangkut
obat2an tsb ke susunan saraf pusat.
3. Apabila kbthn di susunan saraf pusat sdh terpenuhi maka kelebihan zat tsb dalam darah akan
dibuang melalui urin. #PSIKOAKTIF
4. BOLEH #dondar dgn indikasi medis & menunggu bbrp jam s/d obat2antsb dikeluarkan dr
darah (8-12 jam). #PSIKOAKTIF
5. Dgn catatan bukan pengguna aktif atau penderita kecanduan. #PSIKOAKTIF

Nah..
Mungkin ada diantara teman² yg pernah mau mendonorkan darahnya tapi dibilang darahnya
terlalu kental. lho, kok darah bisa kental? apa krn sebelumnya kebanyakan makan cireng
(aci/kanji digoreng) di abang² trus jadi kental darahnya? bukaaaaannnnn…
ini nih maksudnya…

1. Darah terlalu kental sering disebut dengan nama ‘Polisitemia’. Ini disebabkan oleh jumlah sel
darah merah atau eritrosit yang berlebihan.
Maksudnya, kelebihan eritrosit dapat dilihat dari kadar Hemoglobin (Hb) yang normalnya
berkisar antara 11-12 g/dL (P), dan 12-16 g/dL (L).

2. Ada 2 jenis polisitemia, yaitu polisitemia primer (vera) yang disebabkan oleh faktor genetik
atau turunan. Yang kedua, polisitemia sekunder, biasanya disebabkan oleh penyakit seperti
jantung atau paru-paru.

3. Penderita polisitemia memiliki resiko yang lebih besar untuk mengalami penyumbatan
pembuluh darah hingga stroke. Tidak hanya untuk penderita, namun ketika darah kental tersebut
didonorkan, maka resiko yang sama dapat dialami oleh penerima darah. Itulah alasan, mengapa
penderita polisitemia tidak dapat melakukan donor.

Bagaimana mengatasinya?
- Pertama, dengan proses phlebotomy, mengambil dan membuang (bukan didonorkan) sebagian
darah agar lebih encer.
- kedua menekan produksi eritrosit dengan ‘hidroksi urea’
- ketiga menggunakan obat untuk mencegah penggumpalan darah (jenis warfarin atau aspilet).
- Keempat menjaga gaya hidup. Memang, jenis makanan juga tidak berpengaruh secara langsung
terhadap kelainan ini. Akan tetapi, menjaga pola makan setidaknya mampu mengurangi resiko
kita untuk mengalami darah kental, misalnya mengurangi makanan berlemak.

Eh..eh… tp kayanya belum lengkap kl blm nerangin syarat2 pendonor yah… kelupaan…
nih Syarat2 pendonornya:

1. Usia 17-60 tahun


2. Berat minimal 45 kg
3. Suhu oral tidak boleh melebihi 37,5 ?C
4. Nadi antara 48 – 100 per menit
5. Tekanan darah – di bawah kebijaksanaan petugas medis
6. Hemoglobin tidak boleh kurang dari 12,5 gr%
7. Tidur malam sebelum donor darah harus cukup minimal 5 jam.
8. Sudah sarapan / makan.
9. Persyaratan Medis

Ummm… kk.. persyaratan medisnya apa dong…


oh iya, ini persyaratan medisnya:

Para penderita penyakit di bawah ini tidak pernah dianjurkan untuk mendonor :
- Penyakit paru aktif
- Serangan demam rematik
- Penyakit kardiovaskular
- Penyakit ginjal
- Reaksi alergi yang sedang kambuh
- Kanker
- Filiariasis (penyakit kaki gajah)
- HIV/AIDS
- Diabetes bawah oral hipoglikemik insulin dan obat-obatan
- Asma dalam waktu dua bulan terakhir serangan
- Sawan, epilepsi atau penyakit mental lainnya
- Eksim, dermatitis kronis atau rutin dan kambuh
- Ulkus/tukak lambung akut dalam dua tahun terakhir
- Penyakit kulit kronis
- Sifilis & penyakit menular seksual lainnya
- Hepatitis B, Ikterus (sakit kuning)
- Malaria – orang yang telah malaria tiga tahun lalu, tetapi tanpa kekambuhan bisa mendonorkan
darah

Juga dengan kondisi-kondisi medis di bawah ini :

- Penerima transfusi darah atau plasma yang telah menerima transfusi darah dalam enam bulan
terakhir tidak dapat memberikan darah
- Orang yang memiliki penyakit serius dalam tiga bulan terakhir
- Pekerjaan yang berbahaya – orang yang mengoperasikan alat berat seperti mesin berat, derek,
bus, kereta api atau terlibat dalam pekerjaan yang sama, berbahaya bagi diri mereka sendiri dapat
memberikan darah, tetapi seharusnya tidak melanjutkan pekerjaan mereka selama paling sedikit
lima jam setelah donasi
- Obat-obatan & Alkohol – di bawah kebijaksanaan petugas medis
- Jarak penyumbangan darah : 2,5 – 3 bulan ( maksimal 5 kali /tahun )
- Dapat donor : 12 bulan setelah mendapat vaksinasi Rabies dan Hepatitis B, 4 minggu setelah
imunisasi Rubella, 2 minggu setelah Immmunisasi polio, Varisella, MUMPS, Yellow fever.
- Dapat donor : 3 hari setelah minum obat mengandung aspirin, 12 bulan setelah pengobatan
siphylis, GO
- Dapat donor 3 hari setelah pencabutan gigi, 6 bulan setelah operasi kecil, 12 bulan setelah
operasi besar.
- Dapat donor 12 bulan setelah di tatto, ditindik, di tusuk jarum.
- Kulit lengan donor didaerah tempat penyadapan harus sehat tanpa kelainan

Jadi udah kebayang kan kapan mau donor darahnya…


Tapi tapi tapi…. udah tau belom apa yg harus kita persiapkan kalau mau donor darah?
Apa saja yg perlu disiapkan selama #dondar?
1.Kenakan pakaian dengan lengan yg dpt dinaikkan ke atas siku.
2.Biarkan petugas donor drh lengan mana yg disukai u/ diambil drhnya.
3.Tenang, dengarkan musik, berbicara dengan donor lain atau membaca .
4.Luangkan waktu u/ menikmati makanan ringan & minuman di area minuman segera setlh
donor selesai.
Lantas, stlh melakukan #dondar kita harus ngapain agar stamina cpt pulih ya?
a)Minum banyak cairan selama 24-48 jam berikutnya u/ mengisi setiap cairan yg terambil.
b)hindari aktivitas fisik berat atau angkat berat selama sekitar lima jam setlh donasi.
c)Jika kepala terasa ringan, berbaringlah dengan kaki ditinggikan sampai perasaan itu hilang.
d)Jika pendrhan terjadi setlh perban dilepas, tekan titik bekas jarum & angkatlah tangan selama
3-5 menit. Jika perdrhan atau memar terjadi di bawah kulit, lakukan kompres dingin ke daerah
tersebut scr berkala selama 24 jam pertama
e)Nikmati perasaan baik yg muncul karena mengetahui bahwa Anda mungkin tlh
menyelamatkan tiga nyawa.

Donor Darah
Diulas oleh dokterLisin on Saturday, July 20th, 2013, Rating: 4.5

Donor Darah, mungkin sering kali kita lihat dan kita dengar kata “donor darah”, banyak
diantaranya disertai dengan ajakan donor darah, pentingnya atau manfaat donor darah, dan lain
sebagainya. Mungkin banyak diantara kita yang sudah sering melakukan donor darah sehingga
sudah paham apa itu donor darah. Namun tak jarang juga diantara kita yang belum pernah
melakukannya, ada yang ingin dan akan melakukannya, ada juga yang masih takut-takut dan
mencari-cari informasi di internet.

Nah, disini yuk kita belajar tentang donor darah.


Pengertian donor darah

Donor Darah dalam bahasa inggris disebut “blood donation“, dari segi bahasa bisa kita artikan
“sumbangan darah”. Jadi donor darah adalah proses pengambilan darah dari seseorang (donor)
secara sukarela yang biasanya digunakan untuk transfusi yang sebelumnya telah diproses
dan/atau disimpan di bank darah (wikipedia).

Donor darah dapat dilakukan di pusat donor darah lokal contohnya PMI (Palang Merah
Indonesia) atau pada event-event tertentu di mana disitu diadakan donor darah, contohnya di
sekolah, universitas, perusahaan, dan lain-lain.

Proses donor darah

Donor darah merupakan proses sederhana akan tetapi memiliki manfaat yang luar biasa untuk
orang lain yang membutuhkannya, waktu yang dibutuhkan donor darahpun tidak lama-lama
yakni rata-rata sekitar 8-10 menit.

Langkah-langkah dalam proses donor darah ini meliputi:

Pendaftaran

 Anda akan diminta untuk melengkapi data pendonor, yang mencakup informasi seperti nama,
alamat, nomor telepon, dan nomor identifikasi donor (jika Anda memilikinya).
 Anda akan diminta untuk menunjukkan kartu donor, SIM atau Kartu identitas lainnya.

Riwayat Kesehatan dan Pemeriksaan Fisik

 Anda akan ditanya beberapa pertanyaan selama wawancara pribadi dan rahasia tentang riwayat
penyakit yang pernah dialami atau riwayat perawatan sebelumnya.
 Kemudian dilakukan pemeriksaan suhu tubuh, berat badan, hemoglobin (Hb), golongan darah,
tekanan darah dan denyut nadi.
 Setelah memenuhi syarat donor darah sesuai persyaratan diatas seperti HB normal, berat badan
cukup, maka donor dipersilahkan tidur untuk diperiksa kesehatannya oleh dokter transfusi.
Setelah dinyatakan sehat oleh dokter, selanjutnya dilakukan pengambilan darah.

Pengambilan Darah

 Anda akan disuruh berbaring atau setengah duduk di tempat yang telah disediakan, kemudian
akan diambil darah dari lengan Anda yang sebelumnya telah dibersihkan dengan alkohol, jarum
kecil steril akan dimasukkan ke dalam pembuluh darah lengan lalu dialirkan melalui selang ke
dalam sebuah kantung darah. Jumlah darah yang diambil antara 250 cc – 500 cc. Tenang saja
tidak sakit kok, mungkin terasa agak nyeri ketika jarum ditusukkan itupun seperti gigitan semut.
Pengambilan Darah : santai ya, bisa sambil mainan HP.

Setelah Pengambilan Darah

 Setelah diambil darahnya donor dipersilahkan ke kantin untuk menikmati hidangan ringan yang
telah disiapkan biasanya berupa telor, susu, dan vitamin penambah darah.
 Donor kembali ke bagian pendaftaran untuk mengambil kartu donornya yang telah diisi tanggal
penyumbang dan registrasi oleh petugas
 Selesai (pulang), dan bisa kembali menyumbangkan darahnya setelah 75 hari(2,5 bulan) dan
jangan lupa selalu membawa kartu donor sebelum mendonorkan darah.

Itulah gambaran singkat mengenai donor darah, jadi tunggu apalagi, Ayo Donor Darah!!!

Sumber : http://mediskus.com/kb/donor-darah.html#ixzz2goWpiehG
NOMER 5

BIOLOGI ONLINE

blog pendidikan biologi

 Beranda
 SINOPSIS

Giant Kromosom

Rila Sidika Shofiana


Mahasiswa Biologi – Universitas Negeri Malang

Kromosom adalah suatu molekul asam nukleat yang melakukan repliksi sendiri serta
mengandung sejumlah gen. Pada struktur tertentu kromosom tersusun dari DNA dan protein dan
ditemukan dalam inti sel eukariot (Brown 1989 dalam handout A.D Corebima)
Pada kelenjar ludah lalat buah Drosophila melanogaster ditemukan kromosom yang berukuran
lebih besar dari ukuran kromosom normal, yang biasa disebut kromosom raksasa (polytene
chromosom). Menurut Kimball, 1998, kromosom raksasa ini memiliki ukuran seratus kali lebih
besar daripada ukuran kromosom normal. Kromosom raksasa ini menunjukkan detail struktur
yang lebih jelas dari kromosom normal.
Bentuk kromosom raksasa pada lalat buah (Drosophila melanogaster) ini adalah linier atau
batang. Kromosom raksasa ini terdiri dari dua daerah yaitu daerah pita yang gelap dan pita terang
(interband) yang terletak berselang-seling secara bergantian. Pada daerah pita yang gelap
terdapat banyak DNA. Pada daerah ini, kromatin mengalami kondensasi atau pelipatan secara
maksimal yang disebut sebagai heterokromatin yang berperan aktif pada saat terjadi pembelahan.
Heterokromatin adalah gen yang tidak terekspresi (Kimball, 1998). Sedangkan pada interband
atau pita terang tidak terjadi kondensasi. Pada pita terang ini terdapat eukromatin (gen yang tidak
diaktifkan).
Kromosom raksasa pada Drosophila melanogaster ini kebanyakan memiliki lima lengan, tiga
pada sisi kromosom bagian kanan sedangkan dua pada sisi kiri.
(http://www.ucsf.edu/sedat/polytene_chrom.html)
Seperti pada gambar di bawah ini

http://www.ucsf.edu/sedat/polytene_chrom.html

Kromosom raksasa adalah kromosom interfase yang lebih memanjang daripada kromosom
metaphase, sebab kromosom ini dapat dilihat pada waktu interfase, sedangkan kromosom biasa
tidak karena merupakan hasil duplikasi berulang dari kromosom tanpa disertai pembelahan sel.
Pada kelenjar ludah Drosophila melanogaster setiap kromosom raksasa merupakan hasil
duplikasi berulang dari kromosom tanpa disertai pembelahan sel. Pada kelenjar ludah Drosophila
melanogaster setiap kromosom raksasa merupakan hasil sembilan siklus replikasi (Kimball,
1998). Kromosom raksasa dibentuk oleh peristiwa endomitosis yaitu suatu replikasi yang
menghasilkan banyak kromosom yang terpisah
07/13/2013 Posted by zaifbio | Genetika Dasar | Tinggalkan Sebuah Komentar

PEMBELAHAN SEL

A. Reproduksi Sel
Pernahkah kalian memikirkan proses tumbuhnya badan bayi hing-ga dewasa? Dari bayi, kita
dapat tumbuh menjadi bentuk sekarang ini disebabkan sel-sel di dalam tubuh kita terus-menerus
memperbanyak diri melalui pembelahan sel. Oleh karena itu, pembelahan sel meru-pakan faktor
penting dalam hidup kita. Sel merupakan bagian terkecil yang menyusun tubuh kita. Setiap sel
dapat memperbanyak diri dengan membentuk sel-sel baru melalui proses yang disebut
pembelahan sel atau reproduksi sel . Pada organ-isme bersel satu ( uniseluler ), seperti bakteri
dan protozoa, proses pem-belahan sel merupakan salah satu cara untuk berkembang biak. Proto-
zoa melakukan pembelahan sel dari satu sel menjadi dua, dari dua sel menjadi empat, dan dari
empat sel menjadi delapan, dan seterusnya.
Pada makhluk hidup bersel banyak (multiseluler), pembelahan sel mengakibatkan bertambahnya
sel-sel tubuh. Oleh karena itu, terjadi-lah proses pertumbuhan pada makhluk hidup. Pembelahan
sel juga berlangsung pada sel kelamin atau sel gamet yang bertanggung jawab dalam proses
perkawinan antar individu. Setelah dewasa, sel kelenjar kelamin pada tubuh manusia membelah
membentuk sel-sel kelamin.

Seorang laki-laki menghasilkan sperma di dalam testis, sedangkan wanita menghasilkan sel telur
atau ovum di dalam ovarium.
Pada dasarnya, pembelahan sel dibedakan menjadi dua, yaitu pembelahan secara langsung
(amitosis) dan pembelahan secara tidak langsung (mitosis dan meiosis). Apa yang dimaksud
dengan pembe-lahan sel secara langsung maupun tidak langsung tersebut? Kalian akan
mengetahuinya dengan menyimak penjelasan berikut.
1. Pembelahan Sel secara Langsung
Proses pembelahan secara langsung disebut juga pembelahan ami-tosis atau pembelahan biner.
Pembelahan biner merupakan proses pembelahan dari 1 sel menjadi 2 sel tanpa melalui fase-fase
atau tahap-tahap pembelahan sel. Pembelahan biner banyak dilakukan organisme uniseluler
(bersel satu), seperti bakteri, protozoa, dan mikroalga (alga bersel satu yang bersifat
mikroskopis). Setiap terjadi pembelahan biner, satu sel akan membelah menjadi dua sel yang
identik (sama satu sama lain). Dua sel ini akan membelah lagi menjadi empat, begitu seterus-
nya. Pembelahan biner dimulai dengan pembelahan inti sel menjadi dua, kemudian diikuti
pembelahan sitoplasma. Akhirnya, sel terbelah menjadi dua sel anakan. Pembelahan biner dapat
terjadi pada organisme prokariotik atau eukariotik tertentu. Perbedaan antara organisme
prokariotik dan eukariotik, terutama berdasarkan pada ada tidaknya membran inti selnya.
Membran inti sel tersebut membatasi cairan pada inti sel ( nukleoplasma) dengan cairan di luar
inti sel, tempat terdapatnya organel sel ( sitoplasma). Organisme prokariotik tidak mempunyai
membran inti sel, sedangkan organisme eukariotik mempunyai membran inti sel. Oleh karena
itu, eukariotik dikatakan mempunyai inti sel (nukleus) sejati.
Pembelahan biner pada organisme prokariotik terjadi pada bakteri. DNA bakteri terdapat pada
daerah yang disebut nukleoid .
DNA pada bakteri relatif lebih kecil dibandingkan dengan DNA pada sel eukariotik. DNA pada
bakteri berbentuk tunggal, panjang dan sirkuler sehingga tidak perlu dikemas menjadi kromosom
sebelum pembelahan.

Contoh organisme eukariotik yang mengalami pembelahan biner adalah Amoeba. Proses
pembelahan sel pada Amoeba dapat kalian pe-lajari pada Gambar 4.2.

2. Pembelahan Sel secara Tidak Langsung (Mitosis dan Meiosis)


Pembelahan sel secara tidak langsung adalah pembelahan yang melalui tahapan-tahapan tertentu.
Setiap tahapan pembelahan ditandai dengan penampakan kromosom yang berbeda-beda. Kalian
telah mengetahui bahwa di dalam inti sel terdapat benang-benang kromatin . Ketika sel akan
membelah, benang-benang kromatin ini menebal dan memendek, yang kemudian disebut
kromosom. Kromosom dapat berikatan dengan warna tertentu, sehingga mudah diamati dengan
mikroskop. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kromosom merupakan benang pembawa sifat.
Di dalam kromosom terdapat gen sebagai faktor pembawa sifat keturunan.
Pada waktu sel sedang membelah, terjadi proses pembagian kromosom di dalamnya. Tingkah
laku kromosom selama sel membelah dibedakan menjadi fase-fase atau tahap-tahap pembelahan
sel. Pembelahan sel yang terjadi melalui fase-fase itulah yang disebut pembelahan secara tidak
langsung. Mengenai fase-fase pembelahan mitosis akan dibahas pada subab tersendiri.
Pembelahan sel secara tidak langsung dibedakan menjadi dua, yaitu pembelahan mitosis dan
meiosis . Sebelum kalian mempelajari lebih jauh tentang pembelahan sel secara tidak langsung,
ada baiknya kalian lakukan rubrik Diskusi beri-kut ini.

Proses pertumbuhan dan perkembangan jaringan atau organ tu-buh organisme terjadi melalui
proses pembelahan sel secara mitosis. Pembelahan mitosis adalah pembelahan sel yang
menghasilkan sel anakan dengan jumlah kromosom sama dengan jumlah kromosom induknya.
Proses pembelahan mitosis terjadi pada semua sel tubuh makhluk hidup, kecuali pada jaringan
yang menghasilkan gamet (sel kelamin).
Pada pembelahan mitosis, satu sel induk membelah diri menjadi dua sel anakan. Sel anakan ini
mewarisi sifat sel induknya dan memiliki jumlah kromosom yang sama dengan induknya. Jika
sel induk memi-liki 2n kromosom, maka setiap sel anakan juga emiliki 2n kromo-som. Jumlah
2n ini disebut juga kromosom diploid .
Pembelahan mitosis terjadi selama pertumbuhan dan reproduksi secara aseksual. Pada manusia
dan hewan, pembelahan mitosis terjadi pada sel meristem somatik (sel tubuh) muda yang
mengalami pertum-buhan dan perkembangan. Sebagai contoh, sel telur yang telah dibuahi
sperma akan membelah beberapa kali secara mitosis untuk membentuk embrio. Sel-sel pada
embrio ini terus-menerus membelah secara mitosis dan akhirnya terbentuk bayi. Pertumbuhan
manusia dari bayi hingga dewasa juga melalui mekanisme pembelahan sel secara mitosis. Inilah
salah satu bentuk kekuasaan tuhan yang harus kita syukuri.
Pembelahan meiosis yang disebut juga sebagai pembelahan reduksi merupakan pembelahan sel
induk dengan jumlah kromosom diploid (2n) menghasilkan empat sel anakan. Setiap sel anakan
mengandung separuh kromosom sel induk atau disebut haploid ( n). Pembelahan meiosis terjadi
pada proses pembentukan sel gamet (sel kelamin) pada organ reproduksi (testis atau ovarium).
Pada manusia atau hewan, sperma yang haploid dihasilkan di dalam testis dan sel telur yang juga
haploid dihasilkan di dalam ovarium. Pada tumbuhan berbunga, sel gamet dihasilkan di dalam
putik dan benang sari. Pembentukan gamet jantan dan gamet betina terjadi melalui tahapan
gametogenensis (dibahas pada subbab tersendiri). Penyatuan kedua gamet akan menghasilkan
zigot dengan variasi genetik. Ini disebabkan karena sel anakan merupakan hasil penyatuan dua
sel yang berbeda materi genetiknya. Perpaduan ini menyebabkan adanya variasi genetik.
B. Tahapan Pembelahan Mitosis
Pembelahan sel secara mitosis meliputi sejumlah tahapan tertentu. Sebenarnya, pembelahan
mitosis hanyalah sebagian kecil dari siklus sel. Siklus sel terdiri dari fase pembelahan mitosis
(M) dan periode pertumbuhan yang disebut interfase. Interfase merupakan bagian ter-besar dari
siklus sel. Interfase terdiri dari tiga sub fase, yaitu fase G1 (pertumbuhan primer), fase S
(sintesis) , dan fase G2 (pertumbuhan sekunder ).
Pembelahan mitosis merupakan pembelahan yang menghasil-kan sel-sel tubuh (sel somatik).
Secara garis besar, pembelahan sel
secara mitosis terdiri dari fase istirahat (interfase ), fase pembelahaninti sel ( kariokinesis ), dan
fase pembelahan sitoplasma (sitokinesis). Bagaimanakah ciri-ciri setiap fase pembelahan
tersebut? Untuk menge-tahuinya, simaklah penjelasan berikut.
1. Interfase (Fase Istirahat)
Pada tahap ini, sel dianggap sedang istirahat dan tidak melaku-kan pembelahan. Namun,
interfase merupakan tahap yang penting untuk mempersiapkan pembelahan atau melakukan
metabolisme sel. Pada interfase, tingkah laku kromosom tidak tampak karena berbentuk benang-
benang kromatin yang halus. Walaupun begitu, sel anak yang baru terbentuk sudah melakukan
metabolisme. Sel perlu tumbuh dan melakukan berbagai sintesis sebelum memasuki proses
pembelahan berikutnya.Apa saja kegiatan sel pada saat interfase? Pada saat interfase, sel
mengalami subfase berikut.
a. Fase Pertumbuhan Primer ( Growth 1 disingkat G1 )

Sel yang baru terbentuk mengalami pertumbuhan tahap pertama. Pada subfase ini, sel-sel belum
mengadakan replikasi DNA yang masih bersifat 2n (diploid). Sementara organel-organel yang
ada di dalam sel, seperti mitokondria, retikulum endoplasma, kompleks golgi, dan or-ganel
lainnya memperbanyak diri guna menunjang kehidupan sel.
b. Fase Sintesis (S)
Pada subfase ini, sel melakukan sintesis materi genetik. Materi ge-netik adalah bahan-bahan
yang akan diwariskan kepada keturunannya, yaitu DNA. DNA dalam inti sel mengalami
replikasi (penggandaan jumlah salinan). Jadi, subfase sintesis (penyusunan) menghasilkan 2
salinan DNA.
c. Fase Pertumbuhan Sekunder ( Growth 2 disingkat G2 )
Setelah DNA mengalami replikasi, subfase berikutnya adalah per-tumbuhan sekunder (G2). Pada
subfase ini, sel memperbanyak organel-organel yang dimilikinya. Ini bertujuan agar organel-
organel tersebut dapat diwariskan kepada setiap sel turunannya. Pada subfase ini, rep-likasi DNA
telah selesai dan sel bersiap-siap mengadakan pembelahan secara mitosis. Selain itu, inti sel
(nukleus) telah terbentuk dengan jelas dan terbungkus membran inti.

Pada subfase ini, inti sel mempunyai satu atau lebih nukleolus (membran inti sel). Di luar inti
terdapat dua sentrosom yang terbentuk oleh replikasi sentrosom pada tahap sebelumnya.
Sentrosom mengala-mi perpanjangan menyebar secara radial yang isebut aster (bintang). Pada
sentrosom terdapat sepasang sentriol yang berfungsi menentukan orientasi pembelahan sel.
Walaupun kromosom telah diduplikasi pada fase S, namun pada fase G2, kromosom belum dapat
dibedakan secara individual karena masih berupa benang-benang kromatin.

Setelah ketiga tahapan interfase dilalui, sel telah siap menjalani pembelahan secara mitosis.
Seperti fase interfase, pembelahan mitosis juga terdiri dari beberapa fase. Untuk mengetahui
lebih jauh tentang fase-fase pada pembelahan mitosis, simaklah penjelasan berikut.
2. Pembelahan Mitosis
Kalian telah mengetahui bahwa pembelahan mitosis menghasil-kan sel anakan yang identik
dengan induknya. Secara garis besar, fase pembelahan mitosis terbagi menjadi dua fase, yaitu
fase pembelahan inti ( kariokinesis ) dan fase pembelahan sitoplasma ( sitokinesis).Kariokinesis
adalah fase pembelahan inti sel. Secara rinci, fase kariokinesis dibagi menjadi empat subfase,
yaitu profase, metafase, anafase, dan telofase. Sekarang, marilah kita bahas keempat subfase
tersebut.
a Profase
Pada permulaan profase, di dalam nukleus mulai terbentuk kro-mosom , yaitu benang-benang
rapat dan padat yang terbentuk akibat menggulungnya kromatin. Pada fase ini, kromosom dapat
dilihat menggunakan mikroskop. Selanjutnya, nukleolus menghilang dan terjadi duplikasi
kromosom (kromosom membelah dan memanjang) menghasilkan 2 kromosom anakan yang
disebut kromatid . Kedua kromatid tersebut bersifat identik sehingga disebut kromatid kembar
(sister chromatid ), yang bersatu atau dihubungkan oleh sentromer pada lekukan kromosom.
Perhatikan Gambar 4.6. Sentromer merupakan bagian kromosom yang menyempit, tampak lebih
terang dan membagi kromosom menjadi 2 lengan.
Pada akhir profase, di dalam sitoplasma mulai terbentuk gelendong pembelahan ( spindel ) yang
berasal dari mikrotubulus. Mikrotubulus tersebut memanjang, seolah-olah mendorong dua
sentrosom di sepanjang permukaan inti sel (nukleus). Akibatnya, sentrosom sa ling menjauh.
Proses ini kemudian berlanjut ke fase berikutnya, yaitu metafase.
b Metafase
Tahap awal metafase (prometafase) ditandai dengan semakin memadatnya kromosom
(kromosom ini terdiri dari 2 kromatid) dan
terpecahnya membran inti (membran nukleus). Hal ini menyebab-kan mikrotubulus dapat
menembus inti sel dan melekat pada struktur khusus di daerah sentromer setiap kromatid, disebut
kinetokor . Oleh karena itu, kinetokor ini berfungsi sebagai tempat bergantung bagi kromosom.
Sebagian mikrotubulus yang melekat pada kinetokor disebut mikro-tubulus kinetokor, sedangkan
mikrotubulus yang tidak memperoleh kinetokor disebut mikrotubulus non kinetokor. Sementara
itu, mikrotubulus non kinetokor berinteraksi dengan mikrotubulus lain dari kutub sel yang
berlawanan. Pada metafase, kromosom tampak
jelas.

Pada tahap metafase sesungguhnya, sentrosom telah berada pada kutub sel. Dinding inti sel
menghilang. Sementara itu, kromosom me-nempatkan diri pada bidang pembelahan yang disebut
bidang metafase. Bidang ini merupakan bidang khayal yang terletak tepat di tengah sel, seperti
garis katulistiwa bumi sehingga disebut juga bidang ekuator. Pada bidang ini, sentromer dari
seluruh kromosom terletak pada satu baris yang tegak lurus dengan gelendong pembelahan.
Kinetokor pada setiap kromatid menghadap pada kutub yang berlainan (perhatikan Gambar 4.7).
Dengan letak kromosom berada di bidang pembelahan, maka pembagian jumlah informasi DNA
yang akan diberikan kepada sel anakan yang baru, benar-benar rata dan sama jumlahnya.
Tahapan ini merupakan akhir dari metafase.
c Anafase
Setelah berakhirnya tahap metafase, pembelahan sel berlanjut pada tahap anafase. Tahap anafase
ditandai dengan berpisahnya
kromatid saudara pada bagian sentromer kromosom. Gerak kromatid ini disebabkan tarikan
benang mikrotubulus yang berasal dari sentriol pada kutub sel. Kalian telah mengetahui bahwa
mikrotubulus melekat pada sentromer. Hal ini menyebabkan sentromer tertarik terlebih dahulu.
Akibatnya, sentromer berada di depan dan bagian lengan kromatid berada di belakang. Struktur
ini seperti huruf V. Gerakan ini menempuh jarak sekitar 1μm (10-6 meter) tiap menit. Pada saat
bersamaan, mikrotubulus non kinetokor semakin memanjang sehingga jarak kedua kutub sel
semakin jauh. Selanjutnya, masing-masing kromatid bergerak ke arah kutub yang berlawanan
dan berfungsi sebagai kromosom lengkap, dengan sifat keturunan yang sama (identik). Untuk
menjalankan tugasnya ini, mikrotubulus telah mengalami peruraian pada bagian kinetokornya.
Lalu bagaimanakah bidang pembelahan sel pada hewan dan tumbuhan?
Salah satu perbedaan sel tumbuhan dan sel hewan adalah ada ti-daknya sentriol. Pada sel
tumbuhan, peran sentriol digantikan oleh kromosom sehingga arah pembelahan tetap menuju ke
kutub sel. Pada sel hewan, sentriol pada kutub sel merupakan arah yang dituju oleh gerakan
kromatid saat pembelahan.

d Telofase
Pada tahap telofase ini, inti sel anakan terbentuk kembali dari fragmen-fragmen nukleus. Bentuk
selnya memanjang akibat peran
mikrotubulus non kinetokor. Benang-benang kromatin mulai longgar. Dengan demikian, fase
kariokinesis yang menghasilkan dua inti sel anak yang identik secara genetik telah berakhir,
namun dua inti sel masih berada dalam satu sel. Perhatikan Gambar 4.9.
Agar kedua inti terpisah menjadi sel baru, perlu adanya pembelahan sitoplasma yang disebut
sitokinesis. Sitokinesis terjadi,
segera setelah telofase selesai. Pada fase sitokinesis terjadi pembelahan sitoplasma diikuti
pembentukan sekat sel baru, sehingga terbentuk dua sel anakan.
Pada sel hewan, sitokinesis ditandai dengan pembentukan alur pembelahan melalui pelekukan
permukaan sel di sekitar bekas bidang ekuator. Di sepanjang alur melingkar, terdapat mikrofi
lamen yang terdiri dari protein aktin dan miosin. Protein tersebut berperan dalam kontraksi otot
atau pergerakan sel yang lain. Kontraksi ini semakin ke dalam sehingga menjepit sel dan
membagi isi sel menjadi 2 bagian yang sama.

Berbeda dengan sel hewan, sel tumbuhan mempunyai dinding sel yang keras. Oleh karena itu,
pada sitokinensis tidak terbentuk
alur pembelahan. Sitokinesis terjadi dengan pembentukan pelat sel (cell plate ) yang terbentuk
oleh vesikula di sekitar bidang ekuator. Vesikula-vesikula yang dibentuk oleh badan golgi
tersebut saling bergabung. Penggabungan juga terjadi dengan membran plasma diikuti
terbentuknya dinding sel yang baru oleh materi dinding sel yang dibawa oleh vesikula.

C. Pembelahan Meiosis
Pernahkah kalian berpikir mengapa seekor kambing hanya mela-hirkan kambing, manusia
melahirkan manusia, atau sapi melahirkan sapi? Secara kodrati, makhluk hidup tertentu hanya
melahirkan makh-luk yang sejenis. Ini dikarenakan adanya ekanisme tertentu pada saat awal
perkembangbiakan. Bahkan, sebelum terbentuk calon anak di dalam rahim, mekanisme ini sudah
dimulai. Mekanisme ini dimulai pada sel-sel kelamin (sel reproduksi) calon bapak dan calon ibu.
Me-kanisme tersebut adalah pembelahan sel secara meiosis . Makhluk hidup yang sejenis
mempunyai jumlah kromosom yang sama pada setiap sel. Misalnya, manusia mempunyai 46
kromosom, ke-cuali pada sel reproduksi atau sel kelaminnya. Sel kelamin pada manusia hanya
mempunyai setengah jumlah kromosom sel tubuh lainnya, yaitu 23 kromosom. Jumlah setengah
kromosom (haploid) ini diperlukan untuk menjaga agar jumlah kromosom anak tetap 46. Kalian
telah mengetahui bahwa anak terbentuk dari perpaduan antara sel kelamin betina (sel telur) dan
sel kelamin jantan (sperma). Perpadu an kedua sel kelamin yang ma-sing-masing memiliki 23
kromosom ini akan menghasilkan sel anak (calon janin) yang mempunyai 46 kromosom. Oleh
sebab itu, pembelahan meio-sis sangat berpengaruh dalam perkembang an makhluk hidup.

Pembelahan meiosis disebut juga pembelahan reduksi , yaitu pe-ngurangan jumlah kromosom
pada sel-sel kelamin (sel gamet jantan dan sel gamet betina). Sel gamet jantan pada hewan
(mamalia) diben-tuk di dalam testis dan gamet betinanya dibentuk di dalam ovarium. Gamet
jantan pada tumbuhan dibentuk di dalam organ reproduktif berupa benang sari, sedangkan gamet
betinanya dibentuk di dalam pu-tik. Sel kelamin betina pada hewan berupa sel telur, sedangkan
pada tumbuhan berupa putik. Pada dasarnya, tahap pembelahan meiosis serupa dengan
pembelahan mitosis. Hanya saja, pada meiosis terjadi dua kali pembelahan, yaitu meiosis I dan
meiosis II. Masing-masing pembelahan meiosis terdiri dari tahap-tahap yang sama, yaitu profase,
metafase, anafase, dan telofase. Bagaimanakah ciri-ciri setiap tahap pembelahan meiosis
tersebut? Kalian akan mengetahuinya setelah mempelajari uraian berikut.
1. Tahap Meiosis I
Seperti halnya pembelahan mitosis, sebelum mengalami pembe-lahan meiosis, sel kelamin perlu
mempersiapkan diri. Fase persiapan ini disebut tahap interfase . Pada tahap ini, sel melakukan
persiapan berupa penggandaan DNA dari satu salinan menjadi dua salinan (seperti interfase pada
mitosis). Tingkah laku kromosom masih belum jelas terlihat karena masih berbentuk benang-
benang halus (kro-matin) sebagaimana interfase pada mitosis. Selain itu, sentrosom juga
bereplikasi menjadi dua (masing-masing dengan 2 sentriol), seperti tampak pada gambar di
samping. Sentriol berperan dalam menentu-kan arah pembelahan sel.

Setelah terbentuk salinan DNA, barulah sel mengalami tahap pembelahan meiosis I yang diikuti
tahap meiosis II. Tahap meiosis I ter-diri atas profase I, metafase I, anafase I, dan telofase I, serta
sitokinesis I. Bagaimanakah ciri-ciri setiap fase pembelahan tersebut? Berikut akan dibahas fase-
fase meiosis I pada sel hewan dengan 4 kromosom diploid (2n = 2). Untuk lebih jelasnya,
simaklah penjelasan di bawah ini.
a. Profase I
Pada tahap meiosis I, profase I merupakan fase terpanjang atau terlama dibandingkan fase
lainnya bahkan lebih lama daripada tahap profase pada pembelahan mitosis. Profase I dapat
berlangsung dalam beberapa hari. Biasanya, profase I membutuhkan waktu sekitar 90% dari
keseluruhan waktu yang dibutuhkan dalam pembelahan meiosis. Tahapan ini terdiri dari lima
subfase, yaitu leptoten, zigoten, pakiten, iploten, dan diakinesis.
1) Leptoten
Subfase leptoten ditandai adanya benang-benang kromatin yang memendek dan menebal. Pada
subfase ini mulai terbentuk sebagai kromosom homolog. Kalian perlu membedakan kromosom
homolog dengan kromatid saudara. Gambar 4.13 memperlihatkan perbedaan pasangan
kromosom homolog dengan kromatid saudara.

2) Zigoten
Kromosom homolog saling berdekatan atau berpasangan menurut panjangnya. Peristiwa ini
disebut sinapsis. Kromosom
homolog yang berpasangan ini disebut bivalen (terdiri dari 2 kro-mosom homolog). Amati
kembali Gambar 4.13.
3) Pakiten
Kromatid antara kromosom homolog satu dengan kromosom homolog yang lain disebut sebagai
kromatid bukan saudara ( non
sister chromatids ). Dengan demikian, pada setiap kelompok sinap-sis terdapat 4 kromatid (1
pasang kromatid saudara dan 1 pasang kromatid bukan saudara). Empat kromatid yang
membentuk pa-sangan sinapsis ini disebut tetrad (Gambar 4.14).
4) Diploten
Setiap bivalen me ngandung empat kromatid yang tetap berkaitan atau berpasangan di suatu titik
yang disebut kiasma
(tunggal). Apabila titik-titik perlekatan tersebut lebih dari satu disebut kiasmata. Proses
perlekatan atau persilangan kromatid-kromatid disebut pindah silang ( crossing over ). Pada
proses pin-dah silang, dimungkinkan terjadinya pertukaran materi genetik
(DNA) dari homolog satu ke homolog lainnya. Pindah silang ini-lah yang memengaruhi variasi
genetik sel anakan.
5) Diakinesis
Pada subfase ini terbentuk benang-benang spindel pembela-han (gelendong mikrotubulus).
Sementara itu, membran inti sel
atau karioteka dan nukleolus mulai lenyap.Profase I diakhiri dengan terbentuknya tetrad yang
mem-bentuk dua pasang kromosom homolog. Perhatikan lagi Setelah profase I berakhir,
kromosom mulai bergerak ke bi-dang metafase.

b. Metafase I
Pada metafase I, kromatid hasil duplikasi kromosom homolog berjajar berhadap-hadapan di
sepanjang daerah ekuatorial inti (bidang metafase I). Membran inti mulai menghilang.
Mikrotubulus kinetokor dari salah satu kutub melekat pada satu kromosom di setiap pasangan.
Sementara mikrotubulus dari kutub berlawanan melekat pada pasang-an homolognya. Dalam hal
ini, kromosom masih bersifat diploid.

c. Anafase I
Setelah tahap metafase I selesai, gelendong mikrotubulus mulai menarik kromosom homolog
sehingga pasangan kromosom homolog terpisah dan masing-masing menuju ke kutub yang
berlawanan Gambar 4.16). Peristiwa ini mengawali tahap anafase I. Namun, kromatid saudara
masih terikat pada sentromernya dan bergerak sebagai satu unit tunggal. Inilah perbedaan antara
anafase pada mitosis dan meiosis. Pada mitosis, mikrotubulus memisahkan kromatid yang
bergerak ke arah berlawanan. Coba pelajari lagi tahap anafase pada mitosis.
d. Telofase I
Pada telofase, setiap kromosom homolog telah mencapai kutub-kutub yang berlawanan. Ini
berarti setiap kutub mempunyai satu set kromosom haploid. Akan tetapi, setiap kromosom tetap
mempunyai dua kromatid kembar. Pada fase ini, membran inti muncul kembali. Peristiwa ini
kemudian diikuti tahap selanjutnya, yaitu sitokinesis.
e. Sitokinesis
Kalian masih ingat pengertian sitokinesis pada sel hewan mau-pun tumbuhan bukan? Ya,
sitokinesis merupakan proses pembelahan sitoplasma. Tahap sitokinesis terjadi secara simultan
dengan telofase. Artinya, terjadi secara bersama-sama. Tahap ini merupakan tahap di antara dua
pembelahan meiosis. Alur pembelahan atau pelat sel mulai terbentuk (Gambar 4.17). Pada tahap
ini tidak terjadi perbanyakan (replikasi) DNA. Hasil pembelahan meiosis I menghasilkan dua sel
haploid yang
mengandung setengah jumlah kromosom homolog. Meskipun demiki-an, kromosom tersebut
masih berupa kromatid saudara (kandungan DNA-nya masih rangkap). Untuk menghasilkan sel
anakan yang mem-punyai kromosom haploid diperlukan proses pembelahan selanjutnya, yaitu
meiosis II. Jarak waktu antara meiosis I dengan meiosis II disebut
dengan interkinesis .

Jadi, tujuan meiosis II adalah membagi kedua salinan DNA pada sel anakan yang baru hasil dari
meiosis I. Meiosis II terjadi pada ta-hap-tahap yang serupa seperti meiosis I. Nah, untuk
mengetahui lebih lanjut tentang tahap meiosis II, perhatikan uraian selanjutnya.
2. Tahap Meiosis II
Tahap meiosis II juga terdiri dari profase, metafase, anafase, dan telo-fase. Tahap ini merupakan
kelanjutan dari tahap meiosis I. Masing-masing sel anakan hasil pembelahan meiosis I akan
membelah lagi menjadi dua. Sehingga, ketika pembelahan meiosis telah sempurna, dihasilkan
empat sel anakan. Hal yang perlu diingat adalah bahwa jumlah kromo-som keempat sel anakan
ini tidak lagi diploid (2n) tetapi sudah haploid
(n). Proses pengurangan jumlah kromosom ini terjadi pada tahap meio-sis II. Bagaimanakah
proses pengurangan jumlah kromosom ini terjadi? Kalian akan mengetahuinya setelah
mempelajari uraian di bawah ini.
a. Profase II
Fase pertama pada tahap pembelahan meiosis II adalah profase II (Gambar 4.18a). Pada fase ini,
kromatid saudara pada setiap sel anakan masih melekat pada sentromer kromosom. Sementara
itu, benang mi-krotubulus mulai terbentuk dan kromosom mulai bergerak ke arah bidang
metafase. Tahap ini terjadi dalam waktu yang singkat karena diikuti tahap berikutnya.
b. Metafase II
Pada metafase II, setiap kromosom yang berisi dua kromatid, me-rentang atau berjajar pada
bidang metafase II (Gambar 4.18b). Pada tahap ini, benang-benang spindel (benang
mikrotubulus) melekat pada kinetokor masing-masing kromatid.
c. Anafase II
Fase ini mudah dikenali karena benang spindel mulai menarik kromatid menuju ke kutub
pembelahan yang berlawanan. Akibatnya, kromosom memisahkan kedua kromatidnya untuk
bergerak menuju kutub yang berbeda (Gambar 4.18c). Kromatid yang terpisah ini se-lanjutnya
berfungsi sebagai kromosom individual.
d. Telofase II
Pada telofase II, kromatid yang telah menjadi kromosom menca-pai kutub pembelahan. Hasil
akhir telofase II adalah terbentuknya 4 sel haploid, lengkap dengan satu salinan DNA pada inti
selnya (nuklei).
e. Sitokinesis II
Selama telofase II, terjadi pula sitokinesis II, ditandai adanya sekat sel yang memisahkan tiap inti
sel. Akhirnya terbentuk 4 sel kembar yang haploid. Berdasarkan uraian di depan, sel-sel anakan
sebagai hasil pembelahan meiosis mempunyai sifat genetis yang bervariasi satu sama lain.
Variasi genetis yang dibawa sel kelamin orang tua menyebabkan munculnya keturunan yang
bervariasi juga.

D. Gametogenesis dan Pewarisan Sifat


Sebelum menjadi individu baru, baik pada tumbuhan maupun hewan, tentunya diperlukan bahan
baku atau cikal bakal pembentuk in-dividu baru tersebut. Pada proses perkembangbiakan
generatif (seksu-al) hewan maupun tumbuhan, bahan baku tersebut berupa sel kelamin yang
disebut gamet. Gamet jantan dan betina diperlukan untuk mem-bentuk zigot, embrio, kemudian
individu baru. Nah, pada materi beri-kut ini akan dibahas tentang proses pembentukan gamet,
baik jantan maupun betina yang disebut gametogenesis ( genesis = pembentukan).Gametogenesis
melibatkan pembelahan meiosis dan terjadi pada organ reproduktif. Pada hewan dan manusia,
gametogenesis terjadi pada testis dan ovarium, sedangkan pada tumbuhan terjadi pada pu-tik dan
benang sari. Hasil gametogenesis adalah sel-sel kelamin, yaitu gamet jantan (sperma) dan gamet
betina (ovum atau sel telur). Seka-rang, marilah kita mempelajari proses terjadinya gametoge
nesis pada hewan dan tumbuhan.

1. Gametogenesis pada Hewan


Gametogenesis memegang peranan yang sangat penting dalam perkembangbiakan hewan.
Gametogenesis pada hewan yang akan kita pelajari dibagi menjadi dua, yaitu spermatogenesis
dan oogenesis. Spermatogenesis merupakan proses pembentukan gamet jantan
(sperma).Sementara oogenesis adalah proses pembentuk an gamet betina (ovum
atau sel telur).
a. Spermatogenesis
Sperma berbentuk kecil, lonjong, berfl agela, dan secara keselu-ruhan bentuknya menyerupai
kecebong (berudu). Flagela pada sperma digunakan sebagai alat gerak di dalam medium cair.
Sperma dihasilkan pada testis. Pada mamalia, testis terdapat pada hewan jantan sebagai buah
pelir atau buah zakar. Buah pelir pada manusia berjumlah sepasang.
Di dalam testis terdapat saluran-saluran kecil yang disebut tubulus seminiferus . Pada dinding
sebelah dalam saluran inilah, terjadi proses spermatogenesis. Di bagian tersebut terdapat sel-sel
induk sperma yang bersifat diploid (2n) yang disebut spermatogonium .Pembentukan sperma
terjadi ketika spermatogonium mengalami pembelahan mitosis menjadi spermatosit primer (sel
sperma primer). Selanjutnya, sel spermatosit primer mengalami meiosis I menjadi dua
spermatosit sekunder yang sama besar dan bersifat haploid. Setiap sel spermatosit sekunder
mengalami meiosis II, sehingga terbentuk 4 sel spermatid yang sama besar dan bersifat haploid.

Mula-mula, spermatid berbentuk bulat, lalu sitoplasmanya se-makin banyak berkurang dan
tumbuh menjadi sel spermatozoa yang berfl agela dan dapat bergerak aktif. Berarti, satu
spermatosit primer menghasilkan dua spermatosit sekunder dan akhirnya terbentuk 4 sel
spermatozoa (jamak = spermatozoon ) yang masing-masing bersifat haploid dan fungsional
(dapat hidup).
b. Oogenesis
Oogenesis merupakan proses pembentukan sel kelamin betina atau gamet betina yang disebut sel
telur atau ovum. Oogenesis terjadi di dalam ovarium. Di dalam ovarium, sel induk telur yang
disebut oogonium tumbuh besar sebagai oosit primer sebelum membelah secara meiosis.
Berbeda dengan meiosis I pada spermatogenesis yang menghasilkan 2 spermatosit sekunder
yang sama besar. Meiosis I pada oosit primer menghasilkan 2 sel dengan komponen sitoplasmik
yang berbeda, yaitu 1 sel besar dan 1 sel kecil. Sel yang besar disebut oosit sekunder , sedangkan
sel yang kecil disebut badan kutub primer ( polar body ).
Oosit sekunder dan badan kutub primer mengalami pembelahan meiosis tahap II. Oosit sekunder
menghasilkan dua sel yang berbeda. Satu sel yang besar disebut ootid yang akan berkembang
menjadi ovum. Sedangkan sel yang kecil disebut badan kutub.Sementara itu, badan kutub hasil
meiosis I juga membelah menjadi dua badan kutub sekunder. Jadi, hasil akhir oogenesis adalah
satu ovum (sel telur) yang fungsional dan tiga badan kutub yang me ngalami degenerasi (mati).

Selain pada hewan, gametogenesis juga terjadi pada tumbuhan. Berikut ini akan diuraikan
tentang gametogenesis pada tumbuhan
tingkat tinggi.
2. Gametogenesis pada Tumbuhan Tingkat Tinggi
Sebelum menjadi gamet, hasil akhir meiosis pada gametogenesis mengalami perkembangan
terlebih dahulu melalui proses yang dise-but maturasi. Berikut ini kalian akan membahas proses
gametogenesis pada tumbuhan berbunga (Angiospermae) saja. Pada tumbuhan berbunga,
gametogenesis diperlukan dalam pem-bentukan gamet jantan dan pembentukan gamet betina.
Pembentukan gamet jantan disebut mikrosporogenesis, sedangkan pembentukan gamet betina
disebut megasporogenesis. Mari kita pelajari pengertian kedua macam gametogenesis tersebut.
a. Mikrosporogenesis
Mikrosporogenesis berlangsung di dalam benang sari, yaitu pada bagian kepala sari atau anthera
. Kepala sari ini meng-hasilkan serbuk sari, yang mengandung sel sperma. Pembentukan sel
sperma dimulai dari sebuah sel in-duk mikrospora diploid yang disebut mikros porosit di dalam
anthera. Mikrosporosit ini mengalami meiosis I menghasilkan sepasang sel haploid. Selanjutnya,
sel ini mengalami meiosis II dan menghasilkan 4 mikrospora yang haploid. Keempat mikrospora
ini berkelompok
menjadi satu sehingga disebut sebagai tetrad .
Setiap mikrospora mengalami pembelahan mi-tosis. Pembelahan ini menghasilkan dua sel, yaitu
sel generatif dan sel vegetatif. Sel vege tatif ini mempu-nyai ukuran yang lebih besar daripada sel
generatif. Struktur bersel dua ini terbungkus dalam dinding sel yang tebal. Kedua sel dan dinding
sel ini ber-sama-sama membentuk sebuah butiran serbuk sari yang belum dewasa.
Setelah terbentuk serbuk sari, inti generatif membelah secara mitosis tanpa disertai sitokinesis,
sehingga terbentuklah dua inti sel sperma. Sementara itu, inti vegetatifnya tidak membelah.
Pembentukan sel sperma ini dapat terjadi sebelum serbuk sari keluardari anthera atau pada saat
serbuk sari sampai di kepala putik (stigma). Pada saat inilah, tangkai serbuk sari mulai tumbuh.
Pada umumnya, pembe-lahan mitosis sel generatif terjadi setelah buluh serbuk sari menembus
stigma atau mencapai kantung embrio di dalam bakal biji (ovulum).
b. Megasporogenesis
Megasporogenesis merupakan proses pembentukan gamet betina (Gambar 4.24). Proses ini
terjadi di dalam bagian betina bunga,
yaitu bakal biji (ovulum) yang dibungkus oleh bakal buah ( ovarium) pada pangkal putik. Di
dalam bakal biji terdapat sporangium yang mengandung megasporofi t yang bersifat diploid.
Selanjutnya, megasporofi t mengalami meiosis menghasilkan 4 megaspora haploid yang letaknya
berderet. Tiga buah megaspora mengalami degenerasi dan mati, tinggal sebuah megaspora yang
masih hidup.Megaspora yang hidup ini mengalami pembelahan kromosom secara mitosis 3 kali
berturut-turut, tanpa diikuti pembelahan sitoplasma. Hasilnya berupa sebuah sel besar yang
disebut kandung lembaga muda yang mengan dung delapan inti haploid. Kandung lembaga ini
dikelilingi kulit ( integumen). Di ujungnya terdapat sebuah lubang (mikropil) sebagai tempat
masuknya saluran serbuk sari ke dalam kandung lembaga.

Selanjutnya, tiga dari delapan inti tadi menempatkan diri di dekat mikropil. Dua di antara tiga
inti yang merupakan sel sinergid meng-alami degenerasi. Sementara itu, inti yang ketiga
berkembang menjadi sel telur. Tiga buah inti lainnya bergerak ke arah kutub kalaza , tetapi
kemudian mengalami degenerasi pula. Ketiga inti ini dinamakan inti antipoda . Sisanya, dua inti
yang disebut inti kutub, bersatu di tengah kandung lembaga dan terjadilah sebuah inti diploid
(2n). Inti ini disebut inti kandung lembaga sekunder . Ini berarti kandung lembaga telah masak,
yang disebut megagametofi t dan siap untuk dibuahi.
3. Pewarisan Sifat dan Variasi Genetis
Secara garis besar, ada tiga mekanisme yang menyebabkan ter-jadinya variasi genetik pada suatu
populasi. Ketiga mekanisme ini
dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Pindah silang
Telah dijelaskan di depan bahwa sel kelamin membelah secara meiosis. Pada profase I,
kromosom homolog muncul pertama kali se bagai pasangan. Kromosom-kromosom homolog ini
saling bersilangan pada kiasmata. Pada kiasmata inilah terjadi pindah silang ( crossing over )
materi genetik dari kromosom satu ke kromosom lainnya. Pindah silang ini terjadi ketika dua
kromatid dari kromosom yang berbeda bertukar tempat. Kromatid yang sudah tidak identik lagi
dengan kromatid saudaranya karena terjadi pindah silang disebut dyad . Terjadinya pindah
silang ini dapat kalian lihat pada Gambar 4.24. Pada manusia, dua atau tiga kasus kejadian
pindah silang dapat terjadi untuk setiap pasangan kromosom.

b. Pemilahan kromosom secara bebas


Kalian telah mengetahui bahwa pembelahan sel selalu diikuti pembagian kromosom pada sel
anakan yang dihasilkan. Begitu pula
dengan pembelahan meiosis. Pada metafase I, pasangan kromosom homolog terletak pada
bidang metafase. Orientasi pasangan homolog yang menghadap kutub-kutub sel bersifat acak.
Setiap pasangan mempunyai dua kemungkinan dalam penyusunan ini. Kita ambil contoh
organis-me yang mempunyai empat kromosom diploid (2n = 4). Organisme ini mempunyai 2
kromosom dalam sel gametnya. Dua kromosom ini dapat menghasilkan empat kemungkinan sel
anakan dengan kombinasi kromosom berbeda satu sama lain Bagaimanakah dengan manusia?
Manusia mempunyai 46 kromosom diploid. Ini berarti pada sperma atau sel telur terdapat 23
kromosom haploid. Dari 23 kromosom ini mempunyai sekitar 8 juta kemungkinan penyusunan
homolog pada metafase. Kandungan kromosom pada sel sperma atau sel telur ini akan
diwariskan pada anak keturunannya. Jadi, setiap manusia sebenarnya merupakan 1 dari 8 juta
kemungkinan pemilahan kromosom yang diwariskan oleh bapak atau ibu kandungnya.
c. Fertilisasi random
Di dalam sebuah keluarga, seorang anak mempunyai sifat yang berbeda dengan saudara-
saudaranya. Seorang anak tidak ada yang memiliki sifat yang sama persis dengan ibu atau
bapaknya. Akan tetapi, sifatnya kemungkinan besar merupakan perpaduan sifat kedua orang
tuanya. Ini jelas sangat masuk akal, sebab seorang anak dihasilkan dari pembuahan 1 sel telur ibu
oleh 1 sel sperma bapak. Sel telur yang dibuahi sperma akan menjadi zigot sebagai cikal bakal
manusia. Jadi, genetik seorang anak sangat dipengaruhi kromosom yang terkandung dalam sel
telur atau sperma tersebut. Kalian mengetahui bahwa setiap sel kelamin (sperma dan sel telur)
yang menentukan kromosom anak merupakan 1 dari 8 juta kemungkinan. Hal ini berarti, seorang
manusia merupakan salah satu dari 64 trilyun (8 juta × 8 juta) kombinasi kromosom diploid.
Dengan kata lain, kita telah memenangkan pertandingan melawan 64 trilyun calon anak yang
mungkin dilahirkan. Inilah tanda kebesaran Tuhan Yang Maha Esa.

03/29/2012 Posted by zaifbio | Genetika Dasar | 24 Komentar

GENETIKA POPULASI

BAB XV
GENETIKA POPULASI

• Populasi Mendelian
• Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel
• Polimorfisme Lokus sebagai Indeks Keanekaragaman Genetik
• Hukum Keseimbangan Hardy-Weinberg
• Perubahan Frekuensi Alel

BAB XV. GENETIKA POPULASI

Pola pewarisan suatu sifat tidak selalu dapat dipelajari melalui percobaan persilangan buatan.
Pada tanaman keras atau hewan-hewan dengan daur hidup panjang seperti gajah, misalnya, suatu
persilangan baru akan memberikan hasil yang dapat dianalisis setelah kurun waktu yang sangat
lama. Demikian pula, untuk mempelajari pola pewarisan sifat tertentu pada manusia jelas tidak
mungkin dilakukan percobaan persilangan. Pola pewarisan sifat pada organisme-organisme
semacam itu harus dianalisis menggunakan data hasil pengamatan langsung pada populasi yang
ada.
Seluk-beluk pewarisan sifat pada tingkat populasi dipelajari pada cabang genetika yang disebut
genetika populasi. Ruang lingkup genetika populasi secara garis besar oleh beberapa penulis
dikatakan terdiri atas dua bagian, yaitu (1) deduksi prinsip-prinsip Mendel pada tingkat populasi,
dan (2) mekanisme pewarisan sifat kuantitatif. Bagian yang kedua ini berkaitan dengan
penjelasan pada Bab XIV bahwa analisis genetik sifat-sifat kuantitatif hanya dapat dilakukan
pada tingkat populasi karena individu tidak informatif. Namun, beberapa penulis lainnya, seperti
halnya Bab XV ini, menyebutkan bahwa materi yang dibahas dalam genetika populasi hanya
meliputi deduksi prinsip-prinsip Mendel pada tingkat populasi.
Populasi dalam arti Genetika
Untuk mempelajari pola pewarisan sifat pada tingkat populasi terlebih dahulu perlu difahami
pengertian populasi dalam arti genetika atau lazim disebut juga populasi Mendelian. Populasi
mendelian ialah sekelompok individu suatu spesies yang bereproduksi secara seksual, hidup di
tempat tertentu pada saat yang sama, dan di antara mereka terjadi perkawinan (interbreeding)
sehingga masing-masing akan memberikan kontribusi genetik ke dalam lungkang gen (gene
pool), yaitu sekumpulan informasi genetik yang dibawa oleh semua individu di dalam populasi.
Deskripsi susunan genetik suatu populasi mendelian dapat diperoleh apabila kita mengetahui
macam genotipe yang ada dan juga banyaknya masing-masing genotipe tersebut. Sebagai
contoh, di dalam populasi tertentu terdapat tiga macam genotipe, yaitu AA, Aa, dan aa. Maka,
proporsi atau persentase genotipe AA, Aa, dan aa akan menggambarkan susunan genetik
populasi tempat mereka berada. Adapun nilai proporsi atau persentase genotipe tersebut dikenal
dengan istilah frekuensi genotipe. Jadi, frekuensi genotipe dapat dikatakan sebagai proporsi atau
persentase genotipe tertentu di dalam suatu populasi. Dengan perkataan lain, dapat juga
didefinisikan bahwa frekuensi genotipe adalah proporsi atau persentase individu di dalam suatu
populasi yang tergolong ke dalam genotipe tertentu. Pada contoh di atas jika banyaknya genotipe
AA, Aa, dan aa masing-masing 30, 50, dan 20 individu, maka frekuensi genotipe AA = 0,30
(30%), Aa = 0,50 (50%), dan aa = 0,20 (20%).
Di samping dengan melihat macam dan jumlah genotipenya, susunan genetik suatu populasi
dapat juga dideskripsi atas dasar keberadaan gennya. Hal ini karena populasi dalam arti genetika,
seperti telah dikatakan di atas, bukan sekedar kumpulan individu, melainkan kumpulan individu
yang dapat melangsungkan perkawinan sehingga terjadi transmisi gen dari generasi ke generasi.
Dalam proses transmisi ini, genotipe tetua (parental) akan dibongkar dan dirakit kembali menjadi
genotipe keturunannya melalui segregasi dan rekombinasi gen-gen yang dibawa oleh tiap gamet
yang terbentuk, sementara gen-gen itu sendiri akan mengalami kesinambungan (kontinyuitas).
Dengan demikian, deskripsi susunan genetik populasi dilihat dari gen-gen yang terdapat di
dalamnya sebenarnya justru lebih bermakna bila dibandingkan dengan tinjauan dari genotipenya.
Susunan genetik suatu populasi ditinjau dari gen-gen yang ada dinyatakan sebagai frekuensi gen,
atau disebut juga frekuensi alel, yaitu proporsi atau persentase alel tertentu pada suatu lokus. Jika
kita gunakan contoh perhitungan frekuensi genotipe tersebut di atas, maka frekuensi alelnya
dapat dihitung sebagai berikut.
AA Aa aa Total
Banyaknya individu 30 50 20 100
Banyaknya alel A
60 50 - 110
Banyaknya alel a - 50 40 90
Karena di dalam tiap individu AA terdapat dua buah alel A, maka di dalam populasi yang
mempunyai 30 individu AA terdapat 60 alel A. Demikian juga, karena tiap individu Aa
membawa sebuah alel A, maka populasi yang mempunyai 50 individu Aa akan membawa 50 alel
A. Sementara itu, pada individu aa dengan sendirinya tidak terdapat alel A, sehingga secara
keseluruhan banyaknya alel A di dalam populasi tersebut adalah 60 + 50 + 0 = 110. Dengan cara
yang sama dapat dihitung banyaknya alel a di dalam populasi, yaitu 0 + 50 + 40 = 90. Oleh
karena itu, frekuensi alel A = 110/200 = 0,55 (55%), sedang frekuensi a = 90/200 = 0,45 (45%).
Frekuensi alel berkisar dari 0 hingga 1. Suatu populasi yang mempunyai alel dengan frekuensi =
1 dikatakan mengalami fiksasi untuk alel tersebut.
Hubungan matematika antara frekuensi genotipe dan frekuensi alel
Seandainya di dalam suatu populasi terdapat genotipe AA, Aa, dan aa, masing-masing dengan
frekuensi sebesar P, H, dan Q, sementara diketahui bahwa frekuensi alel A dan a masing-masing
adalah p dan q, maka antara frekuensi genotipe dan frekuensi alel terdapat hubungan matematika
sebagai berikut.
p = P + ½ H dan q = Q + ½ H
Dalam hal ini P + H + Q = 1 dan p + q = 1. Agar diperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai
hubungan tersebut, kita perhatikan contoh perhitungan berikut ini.
Data frekuensi golongan darah sistem MN pada orang Eskimo di Greenland menurut Mourant
(1954) menunjukkan bahwa frekuensi golongan darah M, MN, dan N masing-masing sebesar
83,5 %, 15,6%, dan 0,9% dari 569 sampel individu. Kita telah mengetahui pada Bab II bagian
alel ganda bahwa genotipe golongan darah M, MN, dan N masing-masing adalah IMIM, IMIN,
dan ININ. Maka, dari data frekuensi genotipe tersebut dapat dihitung besarnya frekuensi alel IM
dan IN. Frekuensi alel IM = 83,5% + ½ (15,6%) = 91,3%, sedang frekuensi alel IN = 0,9% + ½
(15,6%) = 8,7%.
Hasil perhitungan frekuensi alel dapat digunakan untuk menentukan sifat lokus tempat alel
tersebut berada. Suatu lokus dikatakan bersifat polimorfik jika frekuensi alelnya yang terbesar
sama atau kurang dari 0,95. Sebaliknya, suatu lokus dikatakan bersifat monomorfik jika
frekuensi alelnya yang terbesar melebihi 0,95. Jadi, pada contoh golongan darah sistem MN
tersebut lokus yang ditempati oleh alel IM dan IN adalah lokus polimorfik karena frekuensi alel
terbesarnya ( IM = 91,3%), masih lebih kecil dari 0,95.
Proporsi lokus polimorfik pada suatu populasi sering kali digunakan sebagai salah satu indeks
keanekaragaman genetik. Nilai lainnya yang juga sering digunakan sebagai indeks
keanekaragaman genetik suatu populasi adalah heterozigositas rata-rata atau frekuensi
heterozigot (H) rata-rata. Pada contoh di atas besarnya nilai H untuk lokus MN adalah 15,6%.
Seandainya dapat diperoleh nilai H untuk lokus-lokus yang lain, maka dapat dihitung nilai
heterozigositas rata-rata pada populasi tersebut.
Perhitungan frekuensi alel menggunakan data elektroforesis
Frekuensi alel pada suatu populasi spesies organisme dapat dihitung atas dasar data
elektroforesis protein/enzim atau zimogram yang menampilkan pita-pita sebagai gambaran
mobililitas masing-masing polipeptida penyusun protein (Gambar 15.1). Elektroforesis
merupakan teknik pemisahan molekul yang berbeda-beda ukuran dan muatan listriknya. Oleh
karena itu, molekul-molekul yang akan dipisahkan tersebut harus bermuatan listrik seperti halnya
protein dan DNA.
Jarak
migrasi (cm)
4
3
2
1
Individu 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Genotipe CL LL LL CL CL CL LL CL CL CL LL CL LL LL CL
Gambar 15.1. Zimogram esterase dari ikan sidat (Anguilla sp)
di kawasan Segara Anakan, Cilacap
(Sumber : Susanto, 2003)

Prinsip kerja elektroforesis secara garis besar dapat dijelaskan sebagai berikut. Sampel
ditempatkan pada salah satu ujung media berupa gel, kemudian kedua ujung gel tersebut diberi
aliran listrik selama beberapa jam sehingga komponen-komponen penyusun sampel akan
bergerak menuju kutub yang muatan listriknya berlawanan dengannya. Kecepatan gerakan
(mobilitas) tiap komponen ini akan berbeda-beda sesuai dengan ukuran molekulnya. Makin besar
ukuran molekul, makin lambat gerakannya. Akibatnya, dalam satuan waktu yang sama molekul
berukuran besar akan menempuh jarak migrasi yang lebih pendek daripada jarak migrasi
molekul berukuran kecil.
Pola pita seperti pada zimogram esterase di atas sebenarnya merupakan gambaran fenotipe,
bukan genotipe. Namun, analisis variasi fenotipe terhadap kebanyakan enzim pada berbagai
macam organisme sering kali dapat memberikan dasar genetik secara sederhana. Seperti
diketahui, tiap enzim dapat mengandung sebuah polipeptida atau lebih dengan susunan asam
amino yang berbeda sehingga menghasilkan fenotipe berupa pita-pita dengan mobilitas yang
berbeda. Variasi fenotipe ini disebabkan oleh perbedaan alel yang menyusun genotipe.
Jika alel-alel yang menyebabkan perbedaan polipeptida pada enzim tertentu terletak pada suatu
lokus, maka bentuk alternatif enzim yang diekspresikannya dikenal sebagai alozim. Alel yang
mengatur alozim biasanya bersifat kodominan, yang berarti dalam keadaan heterozigot kedua-
duanya akan diekspresikan. Dengan demikian, individu pada Gambar 15.1 yang menampilkan
pita lambat dan pita cepat (nomor 1, 4, 5, 6, 8, 9, 10, 12, dan 15) memiliki genotipe heterozigot,
yaitu CL (C=cepat; L=lambat). Sementara itu, individu yang hanya menampilkan pita lambat
(nomor 2, 3, 7, 11, 13, dan 14) adalah homozigot LL. Begitu pula individu dengan hanya satu
pita cepat (kebetulan pada zimogram tersebut tidak ada) dikatakan mempunyai genotipe
homozigot CC.
Dari data genotipe yang diturunkan dari data variasi fenotipe tersebut, kita dengan mudah dapat
menghitung baik frekuensi genotipe maupun frekuensi alelnya. Frekuensi genotipe CC, CL, dan
LL masing-masing adalah 0, 9/15, dan 6/15. Frekuensi alel C = 0 + ½ (9/15) = 9/30, sedang
frekuensi alel L = 6/15 + ½ (9/15) = 21/30.
Hukum Keseimbangan Hardy-Weinberg
Populasi mendelian yang berukuran besar sangat memungkinkan terjadinya kawin acak
(panmiksia) di antara individu-individu anggotanya. Artinya, tiap individu memiliki peluang
yang sama untuk bertemu dengan individu lain, baik dengan genotipe yang sama maupun
berbeda dengannya. Dengan adanya sistem kawin acak ini, frekuensi alel akan senantiasa
konstan dari generasi ke generasi. Prinsip ini dirumuskan oleh G.H. Hardy, ahli matematika dari
Inggris, dan W.Weinberg, dokter dari Jerman,. sehingga selanjutnya dikenal sebagai hukum
keseimbangan Hardy-Weinberg.
Di samping kawin acak, ada persyaratan lain yang harus dipenuhi bagi berlakunya hukum
keseimbangan Hardy-Weinberg, yaitu tidak terjadi migrasi, mutasi, dan seleksi. Dengan perkatan
lain, terjadinya peristiwa-peristiwa ini serta sistem kawin yang tidak acak akan mengakibatkan
perubahan frekuensi alel.
Deduksi terhadap hukum keseimbangan Hardy-Weinberg meliputi tiga langkah, yaitu (1) dari
tetua kepada gamet-gamet yang dihasilkannya, (2) dari penggabungan gamet-gamet kepada
genotipe zigot yang dibentuk, dan (3) dari genotipe zigot kepada frekuensi alel pada generasi
keturunan. Secara lebih rinci ketiga langkah ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
Kembali kita misalkan bahwa pada generasi tetua terdapat genotipe AA, Aa, dan aa, masing-
masing dengan frekuensi P, H, dan Q. Sementara itu, frekuensi alel A adalah p, sedang frekuensi
alel a adalah q. Dari populasi generasi tetua ini akan dihasilkan dua macam gamet, yaitu A dan a.
Frekuensi gamet A sama dengan frekuensi alel A (p). Begitu juga, frekuensi gamet a sama
dengan frekuensi alel a (q).
Dengan berlangsungnya kawin acak, maka terjadi penggabungan gamet A dan a secara acak
pula. Oleh karena itu, zigot-zigot yang terbentuk akan memilki frekuensi genotipe sebagai hasil
kali frekuensi gamet yang bergabung. Pada Tabel 15.1 terlihat bahwa tiga macam genotipe zigot
akan terbentuk, yakni AA, Aa, dan aa, masing-masing dengan frekuensi p2, 2pq, dan q2.
Tabel 15.1. Pembentukan zigot pada kawin acak

Gamet-gamet
dan frekuensinya
A
(p) a
(q)

Gamet-gamet
dan frekuensinya A (p)
AA
(p2) Aa
(pq)
a (q) Aa
(pq) aa
(q2)

Oleh karena frekuensi genotipe zigot telah didapatkan, maka frekuensi alel pada populasi zigot
atau populasi generasi keturunan dapat dihitung. Fekuensi alel A = p2 + ½ (2pq) = p2 + pq = p (p
+ q) = p. Frekuensi alel a = q2 + ½ (2pq) = q2 + pq = q (p + q) = q. Dengan demikian, dapat
dilihat bahwa frekuensi alel pada generasi keturunan sama dengan frekuensi alel pada generasi
tetua.
Aplikasi hukum Hardy-Weinberg untuk perhitungan frekuensi alel autosomal
Kemampuan sesesorang untuk merasakan zat kimia feniltiokarbamid (PTC) disebabkan oleh alel
autosomal dominan T. Individu dengan genotipe TT dan Tt dapat merasakan PTC, sedang
individu tt tidak. Pada suatu pengujian terhadap 228 orang diperoleh bahwa hanya 160 di
antaranya yang dapat merasakan PTC. Dari 160 orang ini dapat dihitung individu yang
bergenotipe TT dan Tt sebagai berikut.
Individu yang tidak dapat merasakan PTC (genotipe tt) jumlahnya 228 – 160 = 68 sehingga
frekuensi genotipe tt = 68/228 = 0,30. Dengan mudah dapat diperoleh frekuensi alel t = √ 0,30 =
0,55 dan frekuensi alel T = 1 – 0,55 = 0,45. Selanjutnya, frekuensi genotipe TT = (0,45)2 = 0,20,
sedang frekuensi genotipe Tt = 2(0,45)(0,55) = 0,50. Banyaknya individu yang bergenotipe TT =
0,20 x 228 =46, sedang individu yang bergenotipe Tt = 0,50 x 228 = 114. Jika TT dijumlahkan
dengan Tt, maka diperoleh individu sebanyak 160 orang, yang semuanya dapat merasakan PTC.
Aplikasi hukum Hardy-Weinberg untuk perhitungan frekuensi alel ganda
Salah satu contoh alel ganda yang sering dikemukakan adalah alel pengatur golongan darah
sistem ABO pada manusia. Seperti telah kita bicarakan pada Bab II, sistem ini diatur oleh tiga
buah alel, yaitu IA, IB, dan I0. Jika frekuensi ketiga alel tersebut masing-masing adalah p, q, dan
r, maka sebaran frekuensi genotipenya = (p + q + r)2 = p2 + 2pq + 2pr + q2 + 2qr + q2.
Frekuensi golongan darah A adalah penjumlahan frekuensi genotipe IA IA dan IA I0 , yakni p2
+ 2pr. Demikian pula, frekuensi golongan darah B, AB, dan O pada suatu populasi dapat dicari
dari sebaran frekuensi tersebut. Sebaliknya, dari data frekuensi golongan darah (fenotipe) dapat
dihitung besarnya frekuensi alel.
Misalnya, dari 500 mahasiswa Fakultas Biologi Unsoed diketahui 196 orang bergolongan darah
A, 73 golongan B, 205 O, dan 26 AB. Alel yang langsung dapat dihitung frekuensinya adalah I0
, yang merupakan akar kuadrat frekuensi O. Jadi, frekuensi I0 = √ 205/500 = 0,64. Selanjutnya,
jumlah frekuensi A dan O = p2 + 2pr + r2 = (p + r)2 = (1 – q) 2 sehingga akar kuadrat frekuensi
A + O = 1 – q. Dengan demikian, frekuensi IB (q) = 1 – akar kuadrat frekuensi A + O = 1 –
√(196 + 205)/500 = 0,11. Dengan cara yang sama dapat diperoleh frekuensi alel IA (p) = 1 –
√(73 + 205)/500 = 0,25.
Aplikasi hukum Hardy-Weinberg untuk perhitungan frekuensi alel rangkai X
Telah kita ketahui bahwa pada manusia dan beberapa spesies organisme lainnya dikenal adanya
jenis kelamin homogametik (XX) dan heterogametik (XY). Pada jenis kelamin homogametik
hubungan matematika antara frekuensi alel yang terdapat pada kromosom X (rangkai X) dan
frekuensi genotipenya mengikuti formula seperti pada autosom. Namun, pada jenis kelamin
heterogametik formula tersebut tidak berlaku karena frekuensi alel rangkai X benar-benar sama
dengan frekuensi genotipe. Pada jenis kelamin ini tiap individu hanya membawa sebuah alel
untuk masing-masing lokus pada kromosom X-nya. Agar lebih jelas dapat dilihat Tabel 15.2
berikut ini.
Tabel 15.2. Hubungan matematika antara fekuensi alel rangkai X
dan frekuensi genotipe
Homogametik Heterogametik
Genotipe AA Aa aa A a
Frekuensi genotipe P H Q R S
Alel A a A a
Frekuensi alel pm = P + ½H qm = Q + ½H pt = R qt = S
pm = frekuensi alel A pada individu homogametik
qm = frekuensi alel a pada individu homogametik
pt = frekuensi alel A pada individu heterogametik
qt = frekuensi alel a pada individu heterogametik
Untuk seluruh populasi frekuensi alel A dapat dihitung, yaitu p = 2/3 pm + 1/3 pt = 1/3 (2 pm +
pt) = 1/3 (2P + H + R). Dengan cara yang sama dapat dihitung pula frekuensi alel a pada seluruh
populasi, yaitu q = 2/3 qm + 1/3 qt = 1/3 (2 qm + qt) = 1/3 (2Q + H + S). Kontribusi alel
sebanyak 2/3 bagian oleh individu homogametik disebabkan oleh keberadaan dua buah
kromosom X pada individu tersebut, sementara individu heterogametik memberikan kontribusi
alel 1/3 bagian karena hanya mempunyai sebuah kromosom X.
Sebagai contoh perhitungan frekuensi alel rangkai X dapat dikemukakan alel rangkai X yang
mengatur warna tortoise shell pada kucing. Misalnya, dalam suatu populasi terdapat 277 ekor
kucing betina berwarna hitam (BB), 311 kucing jantan hitam (B), 54 betina tortoise shell (Bb), 7
betina kuning (bb), dan 42 jantan kuning (b). Dari data ini dapat dihitung frekuensi genotipe BB
pada populasi kucing betina, yaitu P = 277 / (277+54+7) = 0.82. Sementara itu, frekuensi
genotipe Bb (H) = 54 / (277+54+7) = 0,16 dan frekuensi genotipe bb (Q) = 7 / (277+54+7) =
0,02. Di antara populasi kucing jantan frekuensi genotipe B, yaitu R = 311 / (311+42) = 0,88,
sedang frekuensi genotipe b, yaitu S = 42 / (311+42) = 0,12. Sekarang kita dapat menghitung
frekuensi alel B pada seluruh populasi, yaitu p = 1/3 (2.0,82 + 0,16 + 0,88) = 0,89, dan frekuensi
alel b pada seluruh populasi, yaitu q = 1/3 (2.0,02 + 0,16 + 0,12) = 0,11.
Migrasi
Di atas telah disebutkan bahwa migrasi merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi bagi
berlakunya hukum keseimbangan Hardy-Weinberg. Hal ini berarti bahwa peristiwa migrasi akan
menyebabkan terjadinya perubahan frekuensi alel. Lebih jauh, kuantifikasi migrasi dalam bentuk
laju migrasi (lazim dilambangkan sebagai m), sering kali digunakan untuk menjelaskan adanya
perbedaan frekuensi alel tertentu di antara berbagai populasi, misalnya perbedaan frekuensi
golongan darah sistem ABO yang terlihat sangat nyata antara ras yang satu dan lainnya.
Laju migrasi dapat didefinisikan sebagai proporsi atau persentase alel tertentu di dalam suatu
populasi yang digantikan oleh alel migran pada tiap generasi. Sebagai contoh, jika pada tiap
generasi sebanyak 80 dari 1000 ekor ikan normal digantikan oleh ikan albino, maka dikatakan
bahwa laju migrasinya 0,08 atau 8%.
Secara matematika, hubungan antara perubahan frekuensi alel dan laju migrasi dapat dilihat
sebagai persamaan berikut ini.
pn – P = (po – P)(1 – m)n
pn = frekuensi alel pada populasi yang diamati setelah n generasi migrasi
P = frekuensi alel pada populasi migran
po = frekuensi alel pada populasi awal (sebelum terjadi migrasi)
m = laju migrasi
n = jumlah generasi
Mutasi
Faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan frekuensi alel adalah mutasi. Namun,
peristiwa yang sangat mendasari proses evolusi ini sebenarnya tidak begitu nyata pengaruhnya
dalam perubahan frekuensi alel. Hal ini terutama karena laju mutasi yang umumnya terlalu
rendah untuk dapat menyebabkan terjadinya perubahan frekuensi alel. Selain itu, individu-
individu mutan biasanya mempunyai daya hidup (viabilitas), dan juga tingkat kesuburan
(fertilitas), yang rendah.
Dari kenyataan tersebut di atas dapat dimengerti bahwa mutasi hanya akan memberikan
pengaruh nyata terhadap perubahan frekuensi alel jika mutasi berlangsung berulang kali
(recurrent mutation) dan mutan yang dihasilkan memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan
lingkungan yang ada.
Hubungan matematika antara laju mutasi dan perubahan frekuensi alel dapat dirumuskan seperti
pada contoh berikut ini. Misalnya, di dalam suatu populasi terdapat alel A dan a, masing-masing
dengan frekuensi awal po dan qo. Mutasi berlangsung dari A ke a dengan laju mutasi sebesar u.
Sebaliknya, laju mutasi alel a menjadi A adalah v. Dengan demikian, perubahan frekuensi alel A
akibat mutasi adalah ∆p = vqo – upo, sedang perubahan frekuensi alel a akibat mutasi adalah ∆q
= upo – vqo.
Ketika dicapai keseimbangan di antara kedua arah mutasi tersebut nilai ∆p dan ∆q adalah 0. Oleh
karena itu, vqo = upo, atau secara umum vq = up. Jika persamaan ini dielaborasi, maka akan
didapatkan p = v/(u + v) dan q = u/(u + v).
Seleksi
Sebegitu jauh kita mengasumsikan bahwa semua individu di dalam populasi akan memberikan
kontribusi jumlah keturunan yang sama kepada generasi berikutnya. Namun, kenyataan yang
sebenarnya sering dijumpai tidaklah demikian. Individu-individu dapat memberikan kontribusi
genetik yang berbeda karena mereka mempunyai daya hidup dan tingkat kesuburan yang
berbeda.
Proporsi atau persentase kontribusi genetik suatu individu kepada generasi berikutnya dikenal
sebagai fitnes relatif atau nilai seleksi individu tersebut. Nilai fitnes relatif berkisar antara 0 dan
1. Genotipe superior di dalam suatu populasi, atau disebut juga genotipe baku, dikatakan
memiliki nilai fitnes relatif sama dengan 1, sementara untuk genotipe-genotipe lainnya nilai
fitnes relatif besarnya kurang dari 1. Proporsi pengurangan kontribusi genetik suatu genotipe bila
dibandingkan dengan kontribusi genetik genotipe baku disebut koefisien seleksi (s) genotipe
tersebut. Dengan perkataan lain, nilai fitnes relatif genotipe ini adalah 1 – s.
Kembali kita misalkan bahwa di dalam suatu populasi terdapat genotipe AA, Aa, dan aa. Kondisi
dominansi ketiga genotipe ini berdasarkan atas nilai fitnes relatifnya dapat dilihat pada Gambar
15.2 berikut ini.

aa Aa AA
(1-s) (1-½s) 1
a)

aa Aa AA
(1-s) (1-½s) 1
b)

aa AA/Aa
(1-s) 1
c)

aa AA Aa
(1-s2) (1-s1) 1
d)
Fitnes relatif
Gambar 15.2. Berbagai kondisi dominansi dilihat dari nilai fitnes relatifnya
a) Semi dominansi
b) Dominansi parsial
c) Dominansi penuh
d) Overdominansi
Pada kondisi semi dominansi dan dominansi parsial (Gambar 15.2 a dan b) genotipe Aa
memberikan kontribusi genetik yang lebih kecil bila dibandingkan dengan kontribusi genotipe
baku (AA), sedang pada kondisi dominansi penuh (Gambar 15.2 c) genotipe ini memberikan
kontribusi genetik sama besar dengan kontribusi genotipe AA. Bahkan pada kondisi
overdominansi, genotipe Aa menjadi genotipe baku dan kontribusi genetiknya justru lebih besar
daripada kontribusi genotipe AA. Dominansi heterozigot (kondisi overdominansi) ini dapat
dijumpai misalnya pada kasus resistensi individu karier anemia bulan sabit (sickle cell anemia)
terhadap penyakit malaria. Individu dengan genotipe homozigot HbSHbS akan mengalami
pengkristalan molekul hemoglobin, dan eritrositnya berbentuk seperti bulan sabit, sehingga
individu ini akan menderita anemia berat dan biasanya meninggal pada usia muda. Namun,
individu heterozigot HbSHbA justru memiliki ketahanan yang lebih tinggi terhadap infeksi
parasit penyebab malaria bila dibandingkan dengan individu normal (HbAHbA). Di tempat-
tempat yang menjadi endemi penyakit malaria, genotipe HbSHbA merupakan genotipe baku
(fitnes relatif = 1), sedang individu normal HbAHbA mempunyai nilai fitnes relatif kurang dari
1.
Perubahan frekuensi alel akibat seleksi berlangsung sesuai dengan kondisi dominansi yang ada.
Pada kondisi dominansi penuh, misalnya, perubahan frekuensi alel dapat dihitung sebagai
berikut.
Genotipe AA Aa aa Total
Frekuensi awal p2 2pq q2 1
Fitnes relatif 1 1 1 – s
Kontribusi genetik p2 2pq q2(1 – s ) 1 – sq2
Terlihat bahwa kontribusi genetik total mejadi lebih kecil dari 1 karena genotipe aa mempunyai
nilai fitnes relatif 1 – s. Dari rumus hubungan matematika antara frekuensi alel dan frekuensi
genotipe dapat dihitung besarnya frekuensi alel a setelah seleksi, yaitu q1 = q2(1 – s ) + pq / 1-
sq2. Jika perubahan frekuensi alel a dilambangkan dengan ∆q, maka ∆q = q1 – q = q2(1 – s ) +
pq / 1-sq2 – q. Setelah persamaan ini kita elaborasi akan didapatkan ∆q = – sq2( 1 – q) / 1 – sq2.
Untuk kondisi dominansi yang lain besarnya perubahan frekuensi alel akibat seleksi dapat
dirumuskan dengan cara seperti di atas.
Sistem Kawin Tidak Acak
Faktor lain yang meyebabkan gangguan keseimbangan Hardy-Weinberg adalah sistem kawin
tidak acak (non random mating). Jika dilihat dari segi fenotipe, ada sistem kawin tidak acak yang
dikenal sebagai perkawinan asortatif. Dengan perkataan lain, perkawinan asortatif adalah sistem
kawin tidak acak yang didasarkan atas fenotipe.
Perkawinan asortatif dapat berupa perkawinan asortatif positif atau asortatif negatif (disasortatif).
Pada perkawinan asortatif positif individu-individu yang mempunyai fenotipe sama cenderung
untuk lebih sering bertemu bila dibandingkan dengan individu-individu dengan fenotipe berbeda.
Sebaliknya, pada perkawinan asortatif negatif individu-individu yang mempunyai fenotipe
berbeda cenderung untuk lebih sering bertemu bila dibandingkan dengan individu-individu
dengan fenotipe yang sama.
Di samping perkawinan asortatif ada pula sistem kawin tidak acak yang tidak memandang
fenotipe individu tetapi dilihat dari hubungan genetiknya. Sistem kawin semacam ini dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu silang dalam (inbreeding) dan silang luar (outbreeding).
Silang dalam adalah perkawinan di antara individu-individu yang secara genetik memiliki
hubungan kekerabatan, sedang silang luar adalah perkawinan di antara individu-individu yang
secara genetik tidak memiliki hubungan kekerabatan. Perkawinan asortatif positif dan silang
dalam akan meningkatkan frekuensi genotipe homozigot. Sebaliknya, perkawinan asortatif
negatif dan silang luar akan meningkatkan frekuensi genotipe heterozigot.
Silang dalam
Contoh silang dalam yang paling ekstrim dapat dilihat pada tanaman yang melakukan
penyerbukan sendiri. Katakanlah generasi pertama suatu populasi tanaman menyerbuk sendiri
hanya terdiri atas individu-individu dengan genotipe Aa. Oleh karena terjadi penyerbukan sendiri
di antara genotipe Aa, maka pada generasi kedua dari seluruh populasi akan terdapat genotipe
AA, Aa, dan aa masing-masing sebanyak 1/4, 1/2, dan 1/4 bagian. Pada generasi ketiga genotipe
AA dan aa akan bertambah 1/8 bagian yang berasal dari segregasi genotipe Aa pada generasi
kedua. Sebaliknya, genotipe Aa akan berkurang menjadi 1/4 bagian sehingga populasi generasi
ketiga akan terdiri atas (1/4+1/8) AA, 1/4 Aa, dan (1/4+1/8) aa atau 3/8 AA, 1/4 Aa, 3/8 aa.
Dengan demikian, sampai dengan generasi ketiga saja sudah terlihat bahwa frekuensi genotipe
homozigot, baik AA maupun aa, mengalami peningkatan, sedang frekuensi heterozigot Aa
berkurang.
Genotipe homozigot untuk suatu lokus tertentu – jika kita berbicara individu normal diploid –
mempunyai dua buah alel yang sama pada lokus tersebut. Persamaan di antara dua alel pada
genotipe homozigot dapat terjadi dengan dua kemungkinan. Pertama, mereka secara fungsional
sama sehingga menghasilkan fenotipe yang sama pula. Dua alel semacam ini dikatakan sebagai
alel serupa (alike in state). Kemungkinan kedua, mereka berasal dari hasil replikasi sebuah alel
pada generasi sebelumnya. Jika hal ini yang terjadi, maka kedua alel tersebut dikatakan seasal
atau identik (identical by descent).
Untuk menggambarkan besarnya peluang bahwa dua buah alel yang sama pada individu
homozigot merupakan alel identik digunakan suatu nilai yang disebut sebagai koefisien silang
dalam (inbreeding coefficient). Nilai ini besarnya berkisar dari 0 hingga 1, dan biasanya
dilambangkan dengan F. Nilai F sama dengan 0 apabila kedua alel pada individu homozigot
tidak mempunyai asal- usul yang sama atau merupakan hasil kawin acak. Sebaliknya, nilai F
sama dengan 1 apabila kedua alel sepenuhnya merupakan alel identik atau berasal dari leluhur
bersama (common ancestor) yang sangat dekat.
Besarnya nilai F dapat dihitung dari diagram silsilah seperti contoh pada Gambar 15.3. Misalnya,
individu A kawin dengan B menghasilkan dua anak, yaitu C dan D. Selanjutnya, kakak beradik
C dan D kawin, mempunyai anak X. Koefisien silang dalam individu X dapat dihitung sebagai
berikut.
A B * Hitung jumlah loop. Loop adalah jalan yang menghubungkan kedua orang tua
C D X (C dan D) melewati leluhur bersama (A dan B). Pada soal ini terdapat dua
X loop, yaitu CAD dan CBD.
Gambar 15.3.Contoh diagram silsilah *Hitung jumlah individu yang terdapat pada tiap loop
sebagai nilai n.
* Hitung nilai F dengan rumus :
F = Σ (½)n(1 + FA)
n = jumlah individu yang terdapat pada tiap loop (pada soal ini terdapat 3 individu, baik pada
loop CAD maupun CBD)
FA = koefisien silang dalam leluhur bersama (pada soal ini FA dan FB masing-masing sama
dengan 0 karena dianggap sebagai individu hasil kawin acak)
Dengan demikian, nilai F individu X (FX) pada contoh soal tersebut di atas adalah (½)3(1 + 0) +
(½)3(1 + 0) = ¼. Hal ini berarti bahwa peluang bertemunya alel-alel identik yang berasal dari
leluhur bersama, baik A maupun B, pada individu X besarnya ¼.
Makin besar nilai F, makin cepat diperoleh tingkat homozigositas yang tinggi. Sebagai
gambaran, pembuahan sendiri dapat mencapai homozigositas 100% pada generasi keenam,
sementara perkawinan antara saudara kandung baru mencapainya pada generasi keenam belas.
Peningkatan homozigositas akibat silang dalam dapat menimbulkan tekanan silang dalam
(inbreeding depression) apabila di antara alel-alel identik yang bertemu terdapat sejumlah alel
resesif yang kurang menguntungkan.
Perubahan frekuensi alel yang disebabkan oleh terjadinya silang dalam dapat dihitung dari
perubahan frekuensi genotipe seperti pada Tabel 15.3.
Tabel 15.3. Frekuensi genotipe hasil kawin acak
dan silang dalam
Genotipe Frekuensi
Kawin acak Silang dalam
AA p2 p2 (1 – F) + pF
Aa 2 pq 2 pq (1 – F)
aa q2 q2 (1 – F) + qF
Jika nilai F = 0, maka frekuensi genotipe AA, Aa, dan aa masing-masing adalah p2, 2 pq, dan q2
. Frekuensi tersebut ternyata sama dengan frekuensi genotipe hasil kawin acak. Jika nilai F = 1,
maka frekuensi genotipe AA, Aa, dan aa masing-masing menjadi p, 0, dan q. Hal ini berarti di
dalam populasi hanya tinggal individu homozigot, sedang individu heterozigot tidak dijumpai
lagi.
Silang luar
Berkebalikan dengan silang dalam, silang luar akan meningkatkan frekuensi heterozigot. Di
samping itu, jika silang dalam dapat menyebabkan terjadinya tekanan silang dalam yang
berpengaruh buruk terhadap individu yang dihasilkan, silang luar justru dapat memunculkan
individu hibrid dengan sifat-sifat yang lebih baik daripada kedua tetuanya yang homozigot.
Fenomena keunggulan yang diperlihatkan oleh individu hibrid hasil persilangan dua tetua galur
murni (homozigot) disebut sebagai vigor hibrida atau heterosis.
Ada beberapa teori mengenai mekanisme genetik yang menjelaskan terjadinya heterosis. Salah
satu di antaranya adalah teori dominansi, yang pada prinsipnya menyebutkan bahwa alel-alel
reseif merugikan yang dibawa oleh masing-masing galur murni akan tertutupi oleh alel dominan
pada individu hibrid yang heterozigot. Misalnya, ada alel A yang menyebabkan akar tanaman
tumbuh kuat sementara alel a menjadikan akar tanaman lemah. Sementara itu, alel B
menyebabkan batang menjadi kokoh, sedang alel b menyebabkan batang lemah. Persilangan
antara galur murni AAbb (akar kuat, batang lemah) dan aaBB (akar lemah, batang kuat) akan
menghasilkan hibrid AaBb yang mempunyai akar dan batang kuat.
Fenomena heterosis sudah sering sekali dimanfaatkan pada bidang pemuliaan tanaman, antara
lain untuk merakit varietas jagung hibrida. Galur murni A disilangkan dengan galur murni B,
mendapatkan hibrid H. Namun, karena biji hibrid H ini dibawa oleh tongkol tetuanya (A atau B)
yang kecil, maka jumlah bijinya menjadi sedikit dan tidak cukup untuk dijual kepada petani.
Oleh karena itu, jagung hibrida yang dipasarkan biasanya bukan hasil silang tunggal (single
cross) seperti itu, melainkan hasil silang tiga arah (three-way cross) atau silang ganda (double
cross). Pada silang tiga arah hibrid H digunakan sebagai tetua betina untuk disilangkan lagi
dengan galur murni lain sehingga biji hibrid yang dihasilkan akan dibawa oleh tongkol hibrid H
yang ukurannya besar. Agak berbeda dengan silang tiga arah, pada silang ganda hibrid H
disilangkan dengan hibrid I hasil silang tunggal antara galur murni C dan D. Dalam silang ganda
ini, sebagai tetua betina dapat digunakan baik hibrid H maupun hibrid I karena kedua-duanya
mempunyai tongkol yang besar.

11/03/2009 Posted by zaifbio | Genetika Dasar | 5 Komentar

MUTASI

BAB XI
MUTASI

• Pengertian Mutasi
• Mekanisme Molekuler Mutasi
• Mutasi Spontan dan Mutasi Induksi
• Estimasi Laju Mutasi Spontan dengan Metode Clb
• Mutagen Kimia dan Fisika
• Mekanisme Perbaikan DNA
• Mutasi Balik dan Mutasi Penekan
• Uji Ames

BAB XI. MUTASI


Fungsi ketiga materi genetik adalah fungsi evolusi, yang agar dapat melaksanakannya materi
genetik harus mempunyai kemampuan untuk melakukan mutasi. Peristiwa mutasi atau
perubahan materi genetik, di samping segregasi dan rekombinasi, akan menciptakan variasi
genetik yang berguna untuk mengantisipasi perubahan kondisi lingkungan yang sewaktu-waktu
dapat terjadi.
Pengaruh fenotipik yang ditimbulkan oleh mutasi sangat bervariasi, mulai dari perubahan kecil
yang hanya dapat dideteksi melalui analisis biokimia hingga perubahan pada proses-proses
esensial yang dapat mengakibatkan kematian sel atau bahkan organisme yang mengalaminya.
Jenis sel dan tahap perkembangan individu menentukan besar kecilnya pengaruh mutasi. Selain
itu, pada organisme diploid pengaruh mutasi juga bergantung kepada dominansi alel. Dalam hal
ini, alel mutan resesif tidak akan memunculkan pengaruh fenotipik selama berada di dalam
individu heterozigot karena tertutupi oleh alel dominannya yang normal.
Kita mengenal berbagai macam peristiwa mutasi sesuai dengan kriteria yang digunakan untuk
mengelompokkannya. Pada organisme multiseluler dapat dibedakan antara mutasi germinal dan
mutasi somatis. Mutasi germinal terjadi pada sel-sel germinal atau sel-sel penghasil gamet,
sedangkan mutasi somatis terjadi pada sel-sel selain sel germinal. Mutasi somatis akan
menyebabkan terbentuknya khimera, yaitu individu dengan jaringan normal dan jaringan yang
terdiri atas sel-sel somatis mutan. Alel-alel hasil mutasi somatis tidak akan diwariskan kepada
keturunan individu yang mengalaminya karena mutasi ini tidak mempengaruhi sel-sel germinal.
Pada tanaman tingkat tinggi mutasi somatis justru sering kali menghasilkan varietas-varietas
yang diinginkan dan untuk perbanyakannya harus dilakukan secara vegetatif.
Mekanisme Molekuler Mutasi
Meskipun tidak selalu, perubahan urutan asam amino pada suatu protein dapat menyebabkan
perubahan sifat-sifat biologi protein tersebut. Hal ini karena pelipatan rantai polipeptida sebagai
penentu struktur tiga dimensi molekul protein sangat bergantung kepada interaksi di antara asam-
asam amino dengan muatan yang berlawanan. Contoh yang paling sering dikemukakan adalah
perubahan sifat biologi yang terjadi pada molekul hemoglobin.
Hemoglobin pada individu dewasa normal terdiri atas dua rantai polipeptida α yang identik dan
dua rantai polipeptida β yang identik juga. Namun, pada penderita anemia bulan sabit (sickle cell
anemia) salah satu asam amino pada polipeptida β, yakni asam glutamat, digantikan atau
disubstitusi oleh valin. Substitusi asam glutamat, yang bermuatan negatif, oleh valin, yang tidak
bermuatan atau netral, mengakibatkan perubahan struktur hemoglobin dan juga eritrosit yang
membawanya. Hemoglobin penderita anemia bulan sabit akan mengalami kristalisasi ketika
tidak bereaksi dengan oksigen sehingga akan mengendap di pembuluh darah dan menyumbatnya.
Demikian juga, eritrositnya menjadi lonjong dan mudah pecah.
Seperti dikatakan di atas, perubahan urutan asam amino tidak selalu menyebabkan perubahan
sifat-sifat biologi protein atau menghasilkan fenotipe mutan. Substitusi sebuah asam amino oleh
asam amino lain yang muatannya sama, misalnya substitusi histidin oleh lisin, sering kali tidak
berpengaruh terhadap struktur molekul protein atau fenotipe individu. Jadi, ada tidaknya
pengaruh substitusi suatu asam amino terhadap perubahan sifat protein bergantung kepada peran
asam amino tersebut dalam struktur dan fungsi protein.
Setiap perubahan asam amino disebabkan oleh perubahan urutan basa nukleotida pada molekul
DNA. Akan tetapi, perubahan sebuah basa pada DNA tidak selamanya disertai oleh substitusi
asam amino karena sebuah asam amino dapat disandi oleh lebih dari sebuah triplet kodon (lihat
Bab X). Perubahan atau mutasi basa pada DNA yang tidak menyebabkan substitusi asam amino
atau tidak memberikan pengaruh fenotipik dinamakan mutasi tenang (silent mutation). Namun,
substitusi asam amino yang tidak menghasilkan perubahan sifat protein atau perubahan fenotipik
pun dapat dikatakan sebagai mutasi tenang.
Mutasi yang terjadi pada sebuah atau sepasang basa pada DNA disebut sebagai mutasi titik
(point mutation). Mekanisme terjadinya mutasi titik ini ada dua macam, yaitu (1) substitusi basa
dan (2) perubahan rangka baca akibat adanya penambahan basa (adisi) atau kehilangan basa
(delesi). Mutasi titik yang disebabkan oleh substitusi basa dinamakan mutasi substitusi basa,
sedangkan mutasi yang terjadi karena perubahan rangka baca dinamakan mutasi rangka baca
(frameshift mutation) seperti telah disinggung pada Bab X.
Apabila substitusi basa menyebabkan substitusi asam amino seperti pada kasus hemoglobin
anemia bulan sabit, maka mutasinya dinamakan mutasi salah makna (missense mutation).
Sementara itu, jika substitusi basa menghasilkan kodon stop, misalnya UAU (tirosin) menjadi
UAG (stop), maka mutasinya dinamakan mutasi tanpa makna (nonsense mutation) atau mutasi
terminasi rantai (chain termination mutation).
Substitusi basa pada sebuah triplet kodon dapat menghasilkan sembilan kemungkinan perubahan
triplet kodon karena tiap basa mempunyai tiga kemungkinan substitusi. Sebagai contoh, kodon
UAU dapat mengalami substitusi basa menjadi AAU (asparagin), GAU (asam aspartat), CAU
(histidin), UUU (fenilalanin), UGU (sistein), UCU (serin), UAA (stop), UAG (stop), dan UAC
(tirosin). Kita bisa melihat bahwa perubahan yang terakhir, yakni UAC, tidak menghasilkan
substitusi asam amino karena baik UAC maupun UAU menyandi asam amino tirosin.
Mutasi substitusi basa dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu transisi dan transversi. Pada
transisi terjadi substitusi basa purin oleh purin atau substitusi pirimidin oleh pirimidin,
sedangkan pada transversi terjadi substitusi purin oleh pirimidin atau pirimidin oleh purin.
Secara skema kedua macam substitusi basa tersebut dapat dilihat pada Gambar 11.1.
A

TC

G
Gambar 11.1. Skema substitusi basa nukleotida
transisi transversi

Sementara itu, mutasi rangka baca akan mengakibatkan perubahan rangka baca semua triplet
kodon di belakang tempat terjadinya mutasi tersebut. Akan tetapi, adisi atau pun delesi sebanyak
kelipatan tiga basa pada umumnya tidak akan menimbulkan pengaruh fenotipik mutasi rangka
baca. Demikian pula, seperti dikatakan pada Bab X adisi satu basa yang diimbangi oleh delesi
satu basa di tempat lain, atau sebaliknya, akan memperbaiki kembali rangka baca di belakang
tempat tersebut. Selain itu, apabila adisi atau delesi terjadi pada daerah yang sangat dekat dengan
ujung karboksil suatu protein, maka mutasi rangka baca yang ditimbulkannya tidak akan
menyebabkan sintesis protein nonfungsional. Dengan perkataan lain, mutasi tidak memberikan
pengaruh fenotipik.
Mutasi Spontan
Perubahan urutan basa nukleotida berlangsung spontan dan acak. Tidak ada satu pun cara yang
dapat digunakan untuk memprediksi saat dan tempat akan terjadinya suatu mutasi. Meskipun
demikian, setiap gen dapat dipastikan mengalami mutasi dengan laju tertentu sehingga
memungkinkan untuk ditetapkan peluang mutasinya. Artinya, kita dapat menentukan besarnya
peluang bagi suatu gen untuk bermutasi sehingga besarnya peluang untuk mendapatkan suatu
alel mutan dari gen tersebut di dalam populasi juga dapat dihitung.
Terjadinya suatu peristiwa mutasi tidak dapat dikatakan sebagai hasil adaptasi sel atau organisme
terhadap kondisi lingkungannya. Kebanyakan mutasi memperlihatkan pengaruh yang sangat
bervariasi terhadap tingkat kemampuan adaptasi sel atau organisme, mulai dari netral (sangat
adaptable) hingga letal (tidak adaptable). Oleh karena itu, tidak ada korelasi yang nyata antara
mutasi dan adaptasi. Namun, pemikiran bahwa mutasi tidak ada sangkut pautnya dengan adaptasi
tidak diterima oleh sebagian besar ahli biologi hingga akhir tahun 1940-an ketika Joshua dan
Esther Lederberg melalui percobaannya pada bakteri membuktikan bahwa mutasi bukanlah hasil
adaptasi.
Dengan teknik yang dinamakan replica plating koloni-koloni bakteri pada kultur awal (master
plate) dipindahkan ke medium baru (replica plate) menggunakan velvet steril sehingga posisi
setiap koloni pada medium baru akan sama dengan posisinya masing-masing pada kultur awal.
Medium baru dibuat dua macam, yaitu medium nonselektif seperti pada kultur awal dan medium
selektif yang mengandung lebih kurang 109 fag T1. Hanya koloni-koloni mutan yang resisten
terhadap infeksi fag T1 (mutan T1-r) yang dapat tumbuh pada medium selektif ini. Dari
percobaan tersebut terlihat bahwa koloni-koloni mutan T1-r yang tumbuh pada medium selektif
tidak terbentuk sebagai hasil adaptasi terhadap kehadiran fag T1, tetapi sebenarnya sudah ada
semenjak pada kultur awal. Dengan demikian, teknik selektif semacam itu hanya akan
menyeleksi mutan-mutan yang telah ada sebelumnya di dalam suatu populasi.

master plate
transfer

replica plate replica plate


(medium nonselektif) (medium selektif)
Gambar 11.2. Percobaan transfer koloni (replica plating)
= koloni mutan T1-r

Teknik selektif seperti yang diuraikan di atas memberikan dasar bagi pemahaman tentang
munculnya resistensi berbagai populasi hama dan penyakit terhadap senyawa kimia yang
digunakan untuk mengendalikannya. Sebagai contoh, sejumlah populasi lalat rumah saat ini
nampak sangat resisten terhadap insektisida DDT. Hal ini menunjukkan betapa seleksi telah
memunculkan populasi lalat rumah dengan kombinasi mekanisme enzimatik, anatomi, dan
perilaku untuk dapat resisten terhadap atau menghindari bahan kimia tersebut. Begitu pula,
gejala peningkatan resistensi terhadap antibiotik yang diperlihatkan oleh berbagai macam bakteri
penyebab penyakit pada manusia tidak lain merupakan akibat proses seleksi untuk memunculkan
dominansi strain-strain mutan tahan antibiotik yang sebenarnya memang telah ada sebelumnya.
Laju mutasi
Laju mutasi adalah peluang terjadinya mutasi pada sebuah gen dalam satu generasi atau dalam
pembentukan satu gamet. Pengukuran laju mutasi penting untuk dilakukan di dalam genetika
populasi, studi evolusi, dan analisis pengaruh mutagen lingkungan.
Mutasi spontan biasanya merupakan peristiwa yang sangat jarang terjadi sehingga untuk
memperkirakan peluang kejadiannya diperlukan populasi yang sangat besar dengan teknik
tertentu. Salah satu teknik yang telah digunakan untuk mengukur laju mutasi adalah metode ClB
yang ditemukan oleh Herman Muller. Metode ClB mengacu kepada suatu kromosom X lalat
Drosophila melanogaster yang memiliki sifat-sifat tertentu. Teknik ini dirancang untuk
mendeteksi mutasi yang terjadi pada kromosom X normal.
Kromosom X pada metode ClB mempunyai tiga ciri penting, yaitu (1) inversi yang sangat besar
(C), yang menghalangi terjadinya pindah silang pada individu betina heterozigot; (2) letal resesif
(l); dan (3) marker dominan Bar (B) yang menjadikan mata sempit (lihat Bab VII). Dengan
adanya letal resesif, individu jantan dengan kromosom tersebut dan individu betina homozigot
tidak akan bertahan hidup.
Persilangan pertama dilakukan antara betina heterozigot untuk kromosom ClB dan jantan dengan
kromosom X normal. Di antara keturunan yang diperoleh, dipilih individu betina yang
mempunyai mata Bar untuk selanjutnya pada persilangan kedua dikawinkan dengan jantan
normal. Individu betina dengan mata Bar ini jelas mempunyai genotipe heterozigot karena
menerima kromosom ClB dari tetua betina dan kromosom X normal dari tetua jantannya. Hasil
persilangan kedua yang diharapkan adalah dua betina berbanding dengan satu jantan. Ada
tidaknya individu jantan hasil persilangan kedua ini digunakan untuk mengestimasi laju mutasi
letal resesif.
Oleh karena pindah silang pada kromosom X dihalangi oleh adanya inversi (C) pada individu
betina, maka semua individu jantan hasil persilangan hanya akan mempunyai genotipe + .
Kromosom X pada individu jantan ini berasal dari tetua jantan awal (persilangan pertama).
Sementara itu, individu jantan dengan kromosom X ClB selalu mengalami kematian. Meskipun
demikian, kadang-kadang pada persilangan kedua tidak diperoleh individu jantan sama sekali.
Artinya, individu jantan yang mati tidak hanya yang membawa kromosom ClB, tetapi juga
individu yang membawa kromosom X dari tetua jantan awal. Jika hal ini terjadi, kita dapat
menyimpulkan bahwa kromosom X pada tetua jantan awal yang semula normal berubah atau
bermutasi menjadi kromosom X dengan letal resesif. Dengan menghitung frekuensi terjadinya
kematian pada individu jantan yang seharusnya hidup ini, dapat dilakukan estimasi kuantitatif
terhadap laju mutasi yang menyebabkan terbentuknya alel letal resesif pada kromosom X.
Ternyata, lebih kurang 0,15% kromosom X terlihat mengalami mutasi semacam itu selama
spermatogenesis, yang berarti bahwa laju mutasi untuk mendapatkan letal resesif per kromosom
X per gamet adalah 1,5 x 10-3.

betina Bar ClB + jantan normal

ClB ? + ? ClB +
letal
betina Bar
(dipilih untuk disilangkan dengan jantan normal)

ClB ? +

ClB + ? + ClB ?

letal letal
jika X-nya
membawa
letal resesif
Gambar 11.3. Metode ClB untuk mengestimasi laju mutasi
= kromosom X yang berasal dari tetua jantan pada
persilangan pertama

Pada metode ClB tidak diketahui laju mutasi gen tertentu karena kita tidak dapat memastikan
banyaknya gen pada kromosom X yang apabila mengalami mutasi akan berubah menjadi alel
resesif yang mematikan. Namun, semenjak ditemukannya metode ClB berkembang pula
sejumlah metode lain untuk mengestimasi laju mutasi pada berbagai organisme. Hasilnya
menunjukkan bahwa laju mutasi sangat bervariasi antara gen yang satu dan lainnya. Sebagai
contoh, laju mutasi untuk terbentuknya tubuh berwarna kuning pada Drosophila adalah 10-4 per
gamet per generasi, sementara laju mutasi untuk terbentuknya resitensi terhadap streptomisin
pada E. coli adalah 10-9 per sel per generasi.
Asal-mula terjadinya mutasi spontan
Ada tiga mekanisme yang paling penting pada mutasi spontan, yaitu (1) kesalahan selama
replikasi, (2) perubahan basa nukleotida secara spontan, dan (3) peristiwa-peristiwa yang
berkaitan dengan penyisipan (insersi) dan pemotongan (eksisi) unsur-unsur yang dapat berpindah
(transposable elements).
Pada Bab IX telah kita bicarakan bahwa enzim Pol I dan Pol III adakalanya membuat kesalahan
dengan menyisipkan basa yang salah ketika replikasi DNA sedang berlangsung. Namun, enzim-
enzim DNA polimerase ini juga diketahui mempunyai kemampuan untuk memperbaiki
kesalahan (proof reading) melalui aktivitas eksonukleasenya dengan cara memotong basa yang
salah pada ujung 3’ untai DNA yang sedang dipolimerisasi.
Aktivitas penyuntingan oleh DNA polimerase boleh dikatakan sangat efisien meskipun tidak
berarti sempurna benar. Kadang-kadang suatu kesalahan replikasi luput dari mekanisme
penyuntingan tersebut. Akan tetapi, ada sistem lain yang berfungsi dalam perbaikan kesalahan
replikasi DNA. Sistem ini dikenal sebagai sistem perbaikan salah pasangan (mismatch repair).
Berbeda dengan sistem penyuntingan oleh DNA polimerase, sistem perbaikan salah pasangan
tidak bekerja pada ujung 3’ untai DNA yang sedang tumbuh, tetapi mengenali kesalahan basa di
dalam untai DNA. Caranya, segmen DNA yang membawa basa yang salah dibuang sehingga
terdapat celah (gap) di dalam untai DNA. Selanjutnya, dengan bantuan enzim Pol I celah ini
akan diisi oleh segmen baru yang membawa basa yang telah diperbaiki.
Sistem perbaikan salah pasangan, seperti halnya mekanisme penyuntingan oleh DNA
polimerase, tidaklah sempurna sama sekali. Kadang-kadang ada juga kesalahan pasangan basa
yang tidak dikenalinya. Jika hal ini terjadi, timbullah mutasi spontan.

5’ GAGTCGAATC 3’ untai cetakan


3’ CTCAGTTTAG 5’ untai baru

GAGTCGAATC
CTC AG AGTTT segmen dengan
perbaikan eksisi basa yang salah

GAGTCGAATC
CTCAGCTTAG untai yang telah diperbaiki
Gambar 11.4. Mekanisme perbaikan salah pasangan
Basa-basa tautomerik adakalanya dapat tergabung dengan benar ke dalam molekul DNA. Pada
saat penggabungan berlangsung, basa tersebut akan membentuk ikatan hidrogen yang benar
dengan basa pada untai DNA cetakan sehingga fungsi penyuntingan oleh DNA polimerase tidak
dapat mengenalinya. Sistem perbaikan salah pasangan akan mengoreksi kesalahan semacam itu.
Akan tetapi, jika segmen yang membawa kesalahan basa tersebut telah mengalami metilasi,
maka sistem perbaikan salah pasangan tidak dapat membedakan antara untai cetakan dan untai
baru. Hal ini akan menimbulkan mutasi spontan.
Sumber mutasi spontan lainnya adalah perubahan basa sitosin yang telah termetilasi menjadi
timin karena hilangnya gugus amino. Sitosin yang seharusnya berpasangan dengan guanin
berubah menjadi timin yang berpasangan dengan adenin sehingga terjadilah mutasi transisi
(purin menjadi purin, pirimidin menjadi pirimidin). Dalam hal ini hilangnya gugus amino dari
sitosin yang telah termetilasi tidak dapat dikenali oleh sistem perbaikan salah pasangan, dan basa
timin yang seharusnya sitosin tersebut tidak dilihat sebagai basa yang salah.
Mutasi Induksi
Laju mutasi spontan yang sangat rendah ternyata dapat ditingkatkan dengan aplikasi berbagai
agen eksternal. Mutasi dengan laju yang ditingkatkan ini dinamakan mutasi induksi. Bukti
pertama bahwa agen eksternal dapat meningkatkan laju mutasi diperoleh dari penelitian H.
Muller pada tahun 1927 yang memperlihatkan bahwa sinar X dapat menyebabkan mutasi pada
Drosophila. Agen yang dapat menyebabkan terjadinya mutasi seperti sinar X ini dinamakan
mutagen.
Semenjak penemuan Muller tersebut, berbagai mutagen fisika dan kimia digunakan untuk
meningkatkan laju mutasi. Dengan mutagen-mutagen ini dapat diperoleh bermacam-macam
mutan pada beberapa spesies organisme.
Basa analog
Basa analog merupakan senyawa kimia yang struktur molekulnya sangat menyerupai basa
nukleotida DNA sehingga dapat menjadi bagian yang menyatu di dalam molekul DNA selama
berlangsungnya replikasi normal. Hal ini karena suatu basa analog dapat berpasangan dengan
basa tertentu pada untai DNA cetakan. Namun, bisa juga masuknya sebuah basa analog
terkoreksi melalui mekanisme penyuntingan oleh enzim DNA polimerase.
Apabila suatu basa analog dapat membentuk ikatan hidrogen dengan dua macam cara, maka basa
analog ini dikatakan bersifat mutagenik. Sebagai contoh, basa 5-bromourasil (BU) yang
diketahui mudah sekali bergabung dengan DNA bakteri dan virus, dapat mempunyai dua macam
bentuk, yaitu keto dan enol sehingga dapat membentuk ikatan hidrogen dengan dua macam cara.
Basa ini analog dengan basa timin karena hanya berbeda pada posisi gugus metil yang diganti
dengan atom bromium. Jika sel yang akan dimutasi ditumbuhkan pada medium yang
mengandung BU dalam bentuk keto, maka selama replikasi DNA adakalanya timin digantikan
oleh BU sehingga pasangan basa AT berubah menjadi ABU. Penggantian ini belum dapat
dikatakan sebagai peristiwa mutasi. Akan tetapi, jika BU berada dalam bentuk enol, maka BU
akan berpasangan dengan guanin (GBU), dan pada putaran replikasi berikutnya, molekul DNA
yang baru akan mempunyai pasangan basa GC pada posisi yang seharusnya ditempati oleh
pasangan basa AT. Dengan demikian, telah terjadi mutasi tautomerik berupa transisi dari AT ke
GC (Gambar 11.5).
Percobaan-percobaan berikutnya menunjukkan bahwa mekanisme mutagenesis BU dapat terjadi
dengan cara lain. Konsentrasi deoksinukleosida trifofat (dNTP) di dalam sel pada umumnya
diatur oleh konsentrasi deoksitimidin trifosfat (dTTP). Artinya, konsentrasi dTTP akan
menentukan konsentrasi ketiga dNTP lainnya untuk keperluan sintesis DNA. Apabila suatu saat
dTTP terdapat dalam jumlah yang sangat berlebihan, maka akan terjadi hambatan dalam sintesis
dCTP. Sementara itu, BU sebagai basa yang analog dengan timin juga dapat menghambat
sintesis dCTP. Jika BU ditambahkan ke dalam medium pertumbuhan, maka dTTP akan disintesis
dalam jumlah normal tetapi sintesis dCTP akan sangat terhambat. Akibatnya, nisbah dTTP
terhadap dCTP menjadi sangat tinggi dan frekuensi salah pasangan GT, yang seharusnya GC,
akan meningkat. Mekanisme penyuntingan dan perbaikan salah pasangan sebenarnya dapat
membuang basa timin yang salah berpasangan dengan guanin tersebut. Akan tetapi, keberadaan
BU ternyata menyebabkan laju perbaikan menjadi tertinggal oleh laju salah pasangan. Pada
putaran replikasi berikutnya basa timin pada pasangan GT akan berpasangan dengan adenin
sehingga posisi yang seharusnya ditempati oleh GC sekarang diganti dengan AT. Dengan
perkataan lain, BU telah menginduksi mutasi tautomerik berupa transisi GC menjadi AT.
A=T
substitusi T oleh BU (keto)
A=BU
replikasi 1
A=T G=BU pengikatan G oleh BU (enol)
replikasi 2
A=T A=T G=C A=BU
transisi
Gambar 11.5. Mutasi tautomerik (transisi) akibat basa analog 5-bromourasil
Mutagen-mutagen kimia
Berbeda dengan basa analog yang hanya bersifat mutagenik ketika DNA sedang melakukan
replikasi, mutagen kimia dapat mengakibatkan mutasi pada DNA baik yang sedang bereplikasi
maupun yang tidak sedang bereplikasi. Beberapa di antara mutagen kimia, misalnya asam nitros
(HNO2), menimbulkan perubahan yang sangat khas. Namun, beberapa lainnya, misalnya agen-
agen alkilasi, memberikan pengaruh dengan spektrum yang luas.
HNO2 bekerja sebagai mutagen dengan mengubah gugus amino (NH2) pada basa adenin,
sitosin, dan guanin menjadi gugus keto (=O) sehingga spesifisitas pengikatan hidrogen pada
basa-basa tersebut juga mengalami perubahan. Deaminasi adenin akan menghasilkan hipoksantin
(H), yang berpasangan dengan sitosin. Hal ini mengakibatkan terjadinya transisi AT menjadi GC
melaui HC. Dengan mekanisme serupa, deaminasi sitosin yang menghasilkan urasil akan
mengakibatkan transisi GC menjadi AT melalui AU.
Agen alkilasi etilmetan sulfonat (EMS) dan mustard nitrogen merupakan mutagen-mutagen
kimia yang banyak digunakan dalam penelitian genetika. Kedua-duanya akan memberikan gugus
etil (C2H5) atau sejenisnya kepada basa DNA. Jika HNO2 terbukti sangat bermanfaat pada
sistem prokariot, maka agen-agen alkilasi sangat efektif untuk digunakan pada sistem eukariot.
Alkilasi pada basa G atau T akan menyebabkan terjadinya salah pasangan yang mengarah
kepada transisi AT→ GC dan GC → AT. Selain itu, EMS dapat juga bereaksi dengan A dan C.
O CH2 – CH2 – Cl
CH3 – CH2 – O – S – CH3 HN
O CH2 – CH2 – Cl
etilmetan sulfonat mustard nitrogen
Gambar 11.6. Struktur molekul dua agen alkilasi yang umum digunakan
Fenomena lain yang dapat muncul akibat terjadinya alkilasi guanin adalah depurinasi, yaitu
hilangnya basa purin yang telah mengalami alkilasi tersebut dari molekul DNA karena patahnya
ikatan yang menghubungkannya dengan gula deoksiribosa. Depurinasi tidak selalu bersifat
mutagenik karena celah yang terbentuk dengan hilangnya basa purin tadi dapat segera diperbaiki.
Akan tetapi, garpu replikasi sering kali terlebih dahulu telah mencapai celah tersebut sebelum
perbaikan sempat dilakukan. Jika hal ini terjadi, maka replikasi akan terhenti tepat di depan celah
dan kemudian dimulai lagi dengan menyisipkan basa adenin pada posisi yang komplementer
dengan celah tersebut. Akibatnya, setelah replikasi basa adenin di posisi celah tersebut akan
berpasangan dengan timin atau terjadi pasangan TA. Padahal seharusnya pasangan basa pada
posisi celah tersebut adalah GC (bukankah yang hilang adalah G?). Oleh karena itu pada posisi
celah tersebut terjadi perubahan dari GC menjadi TA atau purin-pirimidin menjadi pirimidin-
purin. Perubahan ini tidak lain merupakan mutasi tautomerik jenis transversi.
Interkalasi
Senyawa kimia akridin, yang salah satu contohnya adalah proflavin (Bab X), memiliki struktur
molekul berupa tiga cincin sehingga sangat menyerupai pasangan basa purin – pirimidin atau
pirimidin – purin. Dengan struktur yang sangat menyerupai sebuah pasangan basa, akridin dapat
menyisip di antara dua pasangan basa yang berdekatan pada molekul DNA. Peristiwa penyisipan
semacam ini dinamakan interkalasi.
Pengaruh interkalasi terhadap molekul DNA adalah terjadinya perenggangan jarak antara dua
pasangan basa yang berurutan. Besarnya perenggangan sama dengan tebal molekul akridin.
Apabila DNA yang membawa akridin tadi melakukan replikasi, maka untai DNA hasil replikasi
akan ada yang mengalami adisi dan ada yang mengalami delesi pada posisi terjadinya interkalasi.
Dengan demikian, mutasi yang ditimbulkan bukanlah mutasi tautomerik, melainkan mutasi
rangka baca.
Iradiasi ultraviolet
Sinar ultraviolet (UV) dapat menghasilkan pengaruh, baik letal maupun mutagenik, pada semua
jenis virus dan sel. Pengaruh ini disebabkan oleh terjadinya perubahan kimia pada basa DNA
akibat absorpsi energi dari sinar tersebut. Pengaruh terbesar yang ditimbulkan oleh iradiasi sinar
UV adalah terbentuknya pirimidin dimer, khususnya timin dimer, yaitu saling terikatnya dua
molekul timin yang berurutan pada sebuah untai DNA. Dengan adanya timin dimer, replikasi
DNA akan terhalang pada posisi terjadinya timin dimer tersebut. Namun, kerusakan DNA ini
pada umumnya dapat diperbaiki melalui salah satu di antara empat macam mekanisme, yaitu
fotoreaktivasi, eksisi, rekombinasi, dan SOS.
Fotoreaktivasi
Mekanisme perbaikan ini bergantung kepada cahaya. Dengan adanya cahaya, ikatan antara timin
dan timin akan terputus oleh suatu enzim tertentu. Sebenarnya enzim tersebut telah mengikat
dimer, baik ketika ada cahaya maupun tidak ada cahaya. Akan tetapi, aktivasinya memerlukan
spektrum biru cahaya sehingga enzim tersebut hanya bisa bekerja apabila ada cahaya.
Eksisi
Perbaikan dengan cara eksisi merupakan proses enzimatik bertahap yang diawali dengan
pembuangan dimer dari molekul DNA, diikuti oleh resintesis segmen DNA baru, dan diakhiri
oleh ligasi segmen tersebut dengan untai DNA. Ada dua mekanisme eksisi yang agak berbeda.
Pada mekanisme pertama, enzim endonuklease melakukan pemotongan (eksisi) pada dua tempat
yang mengapit dimer. Akibatnya, segmen yang membawa dimer akan terlepas dari untai DNA.
Pembuangan segmen ini kemudian diikuti oleh sintesis segmen baru yang akan
menggantikannya dengan bantuan enzim DNA polimerase I. Akhirnya, segmen yang baru
tersebut diligasi dengan untai DNA sehingga untai DNA ini sekarang tidak lagi membawa dimer.
Pada mekanisme yang kedua pemotongan mula-mula hanya terjadi pada satu tempat, yakni di
sekitar dimer. Pada celah yang terbentuk akibat pemotongan tersebut segera terjadi sintesis
segmen baru dengan urutan basa yang benar. Pada waktu yang sama terjadi pemotongan lagi
pada segmen yang membawa dimer sehingga segmen ini terlepas dari untai DNA. Seperti pada
mekanisme yang pertama, proses ini diakhiri dengan ligasi segmen yang baru tadi dengan untai
DNA.
Rekombinasi
Berbeda dengan dua mekanisme yang telah dijelaskan sebelumnya, perbaikan kerusakan DNA
dengan cara rekombinasi terjadi setelah replikasi berlangsung. Oleh karena itu, mekanisme ini
sering juga dikatakan sebagai rekombinasi pascareplikasi.
Ketika DNA polimerase sampai pada suatu dimer, maka polimerisasi akan terhenti sejenak untuk
kemudian dimulai lagi dari posisi setelah dimer. Akibatnya, untai DNA hasil polimerisasi akan
mempunyai celah pada posisi dimer. Mekanisme rekombinasi pada prinsipnya merupakan cara
untuk menutup celah tersebut menggunakan segmen yang sesuai pada untai DNA cetakan yang
membawa dimer. Untuk jelasnya, skema mekanisme tersebut dapat dilihat pada Gambar 11.8.
DNA yang membawa dimer pada kedua untainya melakukan replikasi (Gambar 11.8.a) sehingga
pada waktu garpu replikasi mencapai dimer akan terbentuk celah pada kedua untai DNA yang
baru (Gambar 11.8.b). Celah akan diisi oleh segmen yang sesuai dari masing-masing untai DNA
cetakan yang membawa dimer. Akibatnya, pada untai DNA cetakan terdapat segmen yang
hilang. Jadi, sekarang kedua untai DNA cetakan selain membawa dimer juga mempunyai celah,
sedangkan kedua untai DNA baru tidak mempunyai celah lagi (Gambar 11.8.c). Akhirnya,
segmen penutup celah akan terligasi dengan sempurna pada masing-masing untai DNA baru
(Gambar 11.8.d).

Mekanisme SOS
Mekanisme perbaikan DNA dengan sistem SOS dapat dilihat sebagai jalan pintas yang
memungkinkan replikasi tetap berlangsung meskipun harus melintasi dimer. Hasilnya berupa
untai DNA yang utuh tetapi sering kali sangat defektif. Oleh karena itu, mekanisme SOS dapat
dikatakan sebagai sistem perbaikan yang rentan terhadap kesalahan.

dimer

pemotongan di dua tempat pemotongan di satu tempat


di sekitar dimer

resintesis segmen baru oleh Pol I

pemotongan segmen
ligasi yang membawa dimer

ligasi

Gambar 11.7. Mekanisme eksisi untuk memperbaiki DNA

Ketika sistem SOS aktif, sistem penyuntingan oleh DNA polimerase III justru menjadi tidak
aktif. Hal ini dimaksudkan agar polimerisasi tetap dapat berjalan melintasi dimer. Untai DNA
yang baru akan mempunyai dua basa adenin berurutan pada posisi dimer (dalam kasus timin
dimer). Dengan sendirinya, kedua adenin ini tidak dapat berpasangan dengan timin karena kedua
timin berada dalam bentuk dimer. Sistem penyuntingan tidak dapat memperbaiki kesalahan ini
karena tidak aktif, sedangkan sistem perbaikan salah pasangan sebenarnya dapat
memperbaikinya. Namun, karena jumlah dimer di dalam setiap sel yang mengalami iradiasi UV
biasanya begitu banyak, maka sistem perbaikan salah pasangan tidak dapat memperbaiki semua
kesalahan yang ada. Akibatnya, mutasi tetap terjadi. Pengaruh mutagenik iradiasi UV memang
hampir selalu merupakan akibat perbaikan yang rentan terhadap kesalahan.

a) b)

d) c)

Gambar 11.8. Skema mekanisme rekombinasi pascareplikasi


= pirimidin dimer
= penutupan celah oleh segmen dari untai DNA
cetakan yang membawa dimer

Radiasi pengion
Radiasi pengion mempunyai energi yang begitu besar sehingga molekul air dan senyawa kimia
lainnya yang terkena olehnya akan terurai menjadi fragmen-fragmen bermuatan listrik. Semua
bentuk radiasi pengion akan menyebabkan pengaruh mutagenik dan letal pada virus dan sel.
Radiasi pengion meliputi sinar X beserta partikel-partikelnya dan radiasi yang dihasilkan oleh
unsur-unsur radioaktif seperti partikel α, β, dan sinar γ.
Intensitas radiasi pengion dinyatakan secara kuantitatif dengan beberapa macam cara. Ukuran
yang paling lazim digunakan adalah rad, yang didefinisikan sebagai besarnya radiasi yang
menyebabkan absorpsi energi sebesar 100 erg pada setiap gram materi.
Frekuensi mutasi yang diinduksi oleh sinar X sebanding dengan dosis radiasi yang diberikan.
Sebagai contoh, frekuensi letal resesif pada kromosom X Drosophila meningkat linier sejalan
dengan meningkatnya dosis radiasi sinar X. Pemaparan sebesar 1000 rad meningkatkan frekuensi
mutasi dari laju mutasi spontan sebesar 0,15% menjadi 3%. Pada Drosophila tidak terdapat
ambang bawah dosis pemaparan yang yang tidak menyebabkan mutasi. Artinya, betapapun
rendahnya dosis radiasi, mutasi akan tetap terinduksi.
Pengaruh mutagenik dan letal yang ditimbulkan oleh radiasi pengion terutama berkaitan dengan
kerusakan DNA. Ada tiga macam kerusakan DNA yang disebabkan oleh radiasi pengion, yaitu
kerusakan pada salah satu untai, kerusakan pada kedua untai, dan perubahan basa nukleotida.
Pada eukariot radiasi pengion dapat menyebabkan kerusakan kromosom, yang biasanya bersifat
letal. Akan tetapi, pada beberapa organisme terdapat sistem yang dapat memperbaiki kerusakan
kromosom tersebut meskipun perbaikan yang dilakukan sering mengakibatkan delesi, duplikasi,
inversi, dan translokasi.
Radiasi pengion banyak digunakan dalam terapi tumor. Pada prinsipnya perlakuan ini
dimaksudkan untuk meningkatkan frekuensi kerusakan kromosom pada sel-sel yang sedang
mengalami mitosis. Oleh karena tumor mengandung banyak sekali sel yang mengalami mitosis
sementara jaringan normal tidak, maka sel tumor yang dirusak akan jauh lebih banyak daripada
sel normal yang dirusak. Namun, tidak semua sel tumor mengalami mitosis pada waktu yang
sama. Oleh karena itu, iradiasi biasanya dilakukan dengan selang waktu beberapa hari agar sel-
sel tumor yang semula sedang beristirahat kemudian melakukan mitosis. Diharapkan setelah
iradiasi diberikan selama kurun waktu tertentu, semua sel tumor akan rusak.
Mutasi Balik dan Mutasi Penekan
Kebanyakan mutasi yang telah kita bicarakan hingga saat ini adalah perubahan dari bentuk alami
atau normal ke bentuk mutan, atau sering dikatakan sebagai mutasi ke depan (forward mutation).
Namun, seperti telah disinggung pada Bab X, mutasi dapat juga berlangsung dari bentuk mutan
ke bentuk normal. Mutasi semacam ini dinamakan mutasi balik atau reversi. Ada dua mekanisme
yang berbeda pada mutasi balik, yaitu (1) perubahan urutan basa pada DNA mutan sehingga
benar-benar pulih seperti urutan basa pada fenotipe normalnya dan (2) terjadinya mutasi kedua di
suatu tempat lainnya di dalam genom yang mengimbangi atau menekan pengaruh mutasi
pertama sehingga mutasi yang kedua tersebut sering disebut sebagai mutasi penekan (suppressor
mutation).
Mekanisme mutasi balik berupa mutasi penekan jauh lebih umum dijumpai daripada mekanisme
yang pertama. Mutasi penekan dapat terjadi di suatu tempat di dalam gen yang sama dengan
mutasi pertama yang ditekannya. Dengan perkataan lain, terjadi penekanan intragenik. Akan
tetapi, mutasi penekan dapat juga terjadi di dalam gen yang lain atau bahkan di dalam kromosom
yang lain sehingga peristiwanya dinamakan penekanan intergenik. Kebanyakan mutasi penekan,
baik intra- maupun intergenik, tidak dapat sepenuhnya memulihkan mutan ke fenotipe
normalnya seperti yang akan diuraikan di bawah ini.
Penekanan intragenik
Pada garis besarnya ada dua macam cara penekanan intragenik. Cara yang pertama telah kita
jelaskan pada Bab X, yaitu perbaikan rangka baca dengan kompensasi adisi-delesi sehingga
rangka baca yang bergeser sebagian besar dapat dikembalikan seperti semula. Jika bagian yang
tidak dapat dipulihkan bukan merupakan urutan yang esensial, maka pembacaan rangka baca
akan menghasilkan fenotipe normal.
Pada cara yang kedua tidak terjadi adisi dan delesi pada urutan basa, tetapi perubahan suatu asam
amino yang mengakibatkan hilangnya aktivitas protein akan diimbangi oleh perubahan asam
amino lainnya yang memulihkan aktivitas protein tersebut. Sebagai contoh dapat dikemukakan
penekanan mutasi enzim triptofan sintetase pada E. coli, yang disandi oleh gen trpA pada. Salah
satu di antara dua polipeptida yang menyusun enzim tersebut adalah polipeptida A yang terdiri
atas 268 asam amino. Pada strain normal asam amino yang ke-210 adalah glisin. Jika asam
amino glisin ini berubah menjadi asam glutamat, maka enzim triptofan sintetase menjadi tidak
aktif. Perubahan glisin menjadi asam glutamat sebenarnya tidak menyebabkan inaktivasi enzim
secara langsung karena glisin tidak terletak pada tapak aktif. Namun, perubahan ini
mengakibatkan perubahan struktur pelipatan enzim sehingga secara tidak langsung akan
mempengaruhi tapak aktifnya. Sementara itu, asam amino normal yang ke-174 adalah tirosin,
yang interaksinya dengan asam amino ke-210 menentukan aktivitas enzim. Apabila tirosin
berubah menjadi sistein, maka struktur pelipatan enzim yang telah berubah karena glisin
digantikan oleh asam glutamat justru akan dipulihkan oleh interaksi sistein dengan asam
glutamat. Dengan demikian, aktivitas enzim pun dapat dipulihkan. Jadi, perubahan glisin
menjadi asam glutamat akan ditekan pengaruhnya oleh perubahan tirosin menjadi sistein. Begitu
pula sebaliknya, jika perubahan tirosin menjadi sistein terjadi terlebih dahulu, maka pengaruhnya
akan ditekan oleh perubahan glisin menjadi asam glutamat.
Penekanan intergenik
Penekanan intergenik yang paling umum dijumpai adalah penekanan oleh suatu produk mutasi
gen terhadap pengaruh mutasi yang ditimbulkan oleh sejumlah gen lainnya. Contoh yang paling
dikenal dapat dilihat pada gen-gen penyandi tRNA. Pengaruh yang ditimbulkannya adalah
mengubah kekhususan pengenalan kodon pada mRNA oleh antikodon pada tRNA.
Mutasi semacam itu pertama kali ditemukan pada strain-strain E. coli yang dapat menekan
mutan-mutan fag T4 tertentu. Mutan-mutan ini gagal untuk membentuk plak (lihat Bab XII) pada
strain bakteri standar tetapi dapat membentuk plak pada strain yang mengalami mutasi penekan.
Strain yang mengalami mutasi penekan ini ternyata juga dapat menekan mutasi pada sejumlah
gen yang terdapat pada genom bakteri sendiri.
Mutasi penekan intergenik dapat memulihkan baik mutasi tanpa makna (nonsense) maupun
mutasi salah makna (missense). Penekanan mutasi tanpa makna disebabkan oleh mutasi gen
penyandi tRNA sehingga terjadi perubahan antikodon pada tRNA yang memungkinkannya untuk
mengenali kodon stop hasil mutasi. Sebagai contoh, salah satu kodon untuk tirosin, yakni UAC
dapat berubah menjadi kodon stop UAG. Mutasi ini dapat ditekan oleh molekul tRNA mutan
yang membawa triptofan dengan antikodon AUC. Antikodon pada molekul tRNA normal yang
membawa triptofan adalah AAC. Dengan tRNA mutan, kodon UAG yang seharusnya
merupakan kodon stop berubah menjadi kodon yang menyandi triptofan. Akibatnya, terminasi
dapat dibatalkan, atau dengan perkataan lain, mutasi tRNA telah memulihkan mutasi tanpa
makna.
Penekanan mutasi salah makna oleh mutasi penekan intergenik antara lain dapat dilihat
contohnya pada pemulihan aktivitas protein yang hilang akibat perubahan valin (tidak
bermuatan) menjadi asam aspartat (bermuatan negatif). Pemulihan terjadi karena asam aspartat
digantikan oleh alanin (tidak bermuatan). Substitusi ini dapat terjadi dengan empat macam cara,
yaitu (1) mutasi antikodon yang memungkinkan tRNA untuk mengenali kodon yang berbeda
seperti halnya yang terjadi pada pemulihan mutasi tanpa makna, (2) mutasi pada tRNA yang
mengubah sebuah basa di dekat antikodon sehingga tRNA dapat mengenali dua kodon yang
berbeda, (3) mutasi di luar kala (loop) antikodon yang memungkinkan aminoasil sintetase
mengenali tRNA sehingga terjadi asilasi yang menyebabkan tRNA ini membawa asam amino
yang lain, dan (4) mutasi aminoasil sintetase yang kadang-kadang salah mengasilasi tRNA.
Pada notasi konvensional, mutasi penekan diberi lambang sup diikuti dengan angka (atau
kadang-kadang huruf) yang membedakan penekan yang satu dengan penekan lainnya. Sel yang
tidak mempunyai penekan dilambangkan dengan sup0.
Mutasi balik sebagai cara untuk mendeteksi mutagen dan karsinogen
Dewasa ini terjadi peningkatan jumlah dan macam bahan kimia yang mencemari lingkungan.
Beberapa di antaranya dikenal potensial sebagai mutagen. Selain itu, kebanyakan karsinogen
juga merupakan mutagen. Oleh karena itu, uji mutagenesis terhadap bahan-bahan kimia
semacam ini perlu dilakukan.
Cara yang paling sederhana untuk melihat mutagenesis suatu bahan kimia adalah uji mutasi balik
menggunakan mutan nutrisional pada bakteri. Senyawa yang dicurigai potensial sebagai mutagen
ditambahkan ke dalam medium padat, diikuti dengan penaburan (plating) suatu mutan bakteri
dalam jumlah tertentu. Banyaknya koloni revertan (fenotipe normal hasil mutasi balik) yang
muncul dihitung. Peningkatan frekuensi revertan yang tajam apabila dibandingkan dengan
frekuensi yang diperoleh di dalam medium tanpa senyawa kimia yang dicurigai tersebut
mengindikasikan bahwa senyawa yang diuji adalah mutagen.
Meskipun demikian, cara seperti tersebut di atas tidak dapat digunakan untuk memperlihatkan
mutagenesis sejumlah besar karsinogen yang potensial. Hal ini karena banyak sekali senyawa
kimia yang tidak langsung bersifat mutagenik / karsinogenik, tetapi harus melalui beberapa
reaksi enzimatik terlebih dahulu sebelum menjadi mutagen. Reaksi-reaksi enzimatik tersebut
terjadi di dalam organ hati hewan dan tidak ada kesepadanannya di dalam sel bakteri. Fungsi
normal enzim-enzim itu adalah melindungi organisme dari berbagai bahan beracun dengan cara
mengubahnya menjadi bahan yang tidak beracun. Akan tetapi, ketika enzim-enzim itu bertemu
dengan bahan kimia tertentu, maka mereka akan mengubah bahan tersebut dari sifatnya yang
semula tidak mutagenik menjadi mutagenik. Enzim-enzim tersebut terdapat di dalam komponen
sel-sel hati yang dinamakan fraksi mikrosomal. Pemberian fraksi mikrosomal yang berasal dari
hati tikus ke dalam medium pertumbuhan bakteri memungkinkan dilakukannya deteksi
mutagenisitas. Perlakuan ini mendasari teknik pemeriksaan karsinogen menggunakan metode
yang dinamakan uji Ames.
Di dalam uji Ames mutan-mutan bakteri Salmonella typhimurium yang memerlukan pemberian
histidin eksternal atau disebut dengan mutan His- digunakan untuk menguji mutagenisitas
senyawa kimia atas dasar mutasi baliknya menjadi His+. Mutan-mutan His- membawa baik
mutasi tautomerik maupun mutasi rangka baca. Di samping itu, strain-strain bakteri tersebut
dibuat menjadi lebih sensitif terhadap mutagenesis dengan menggabungkan beberapa alel mutan
yang dapat menginaktifkan sistem perbaikan eksisi dan menjadikannya lebih permiabel terhadap
molekul-molekul asing. Oleh karena beberapa mutagen hanya bekerja pada DNA yang sedang
melakukan replikasi, maka medium pertumbuhan yang digunakan harus mengandung histidin
dalam jumlah yang cukup untuk mendukung beberapa putaran replikasi tetapi tidak cukup untuk
memungkinkan terbentuknya koloni yang dapat dilihat. Ke dalam medium tersebut kemudian
ditambahkan mutagen potensial yang akan diuji. Fraksi mikrosomal dari hati tikus disebarkan ke
permukaan medium, diikuti dengan penaburan bakteri. Apabila bahan kimia yang diuji adalah
mutagen atau diubah menjadi mutagen, maka koloni bakteri akan terbentuk. Analisis kuantitatif
terhadap frekuensi mutasi balik dapat dilakukan juga dengan membuat variasi jumlah mutagen
potensial tersebut di dalam medium. Frekuensi mutasi balik ternyata bergantung kepada
konsentrasi bahan kimia yang diuji, dan pada karsinogen tertentu juga nampak adanya korelasi
dengan efektivitasnya pada hewan.
Uji Ames saat ini telah banyak digunakan pada beribu-ribu senyawa seperti pengawet makanan,
pestisida, pewarna rambut, dan kosmetika. Frekuensi mutasi balik yang tinggi tidak serta-merta
berarti bahwa senyawa yang diuji adalah karsinogen, tetapi setidak-tidaknya memperlihatkan
adanya peluang seperti itu. Akibat dilakukannya uji Ames, banyak industri terpaksa
mereformulasi produk-produknya.
Bukti terakhir tentang karsinogenisitas suatu bahan kimia ditentukan atas dasar hasil uji
pembentukan tumor pada hewan-hewan percobaan. Jadi, uji Ames sebenarnya hanya berperan
dalam mengurangi jumlah bahan kimia yang harus diuji menggunakan hewan percobaan.

11/03/2009 Posted by zaifbio | Genetika Dasar | 13 Komentar

EKSPRESI GEN

BAB X

EKSPRESI GEN

 Dogma Sentral Genetika Molekuler


 Perkembangan Konsep tentang Gen
 Transkripsi
 Tiga Macam RNA
 Translasi, khususnya pada Prokariot
 Kode Genetik
 Mekanisme Pengaturan Ekspresi Gen pada Prokariot
 Mekanisme Pengaturan Ekspresi Gen pada Eukariot

BAB X. EKSPRESI GEN

Pada Bab IX telah disebutkan bahwa salah satu fungsi dasar yang harus dijalankan oleh DNA
sebagai materi genetik adalah fungsi fenotipik. Artinya, DNA harus mampu mengatur
pertumbuhan dan diferensiasi individu organisme sehingga dihasilkan suatu fenotipe tertentu.

Fenotipe organisme sangat ditentukan oleh hasil interaksi protein-protein di dalam sel. Setiap
protein tersusun dari sejumlah asam amino dengan urutan tertentu, dan setiap asam amino
pembentukannya disandi (dikode) oleh urutan basa nitrogen di dalam molekul DNA. Rangkaian
proses ini, mulai dari DNA hingga terbentuknya asam amino, dikenal sebagai dogma sentral
genetika molekuler.

DNA RNA asam amino


replikasi transkripsi translasi

Gambar 10.1. Diagram dogma sentral genetika molekuler

Perubahan urutan basa di dalam molekul DNA menjadi urutan basa molekul RNA dinamakan
transkripsi, sedangkan penerjemahan urutan basa RNA menjadi urutan asam amino suatu
protein dinamakan translasi. Jadi, proses tanskripsi dan translasi dapat dilihat sebagai tahap-
tahap ekspresi urutan basa DNA. Namun, tidak semua urutan basa DNA akan diekspresikan
menjadi urutan asam amino. Urutan basa DNA yang pada akhirnya menyandi urutan asam amino
disebut sebagai gen. Dengan demikian, secara kimia gen adalah urutan basa nitrogen tertentu
pada molekul DNA yang dapat dieskpresikan melalui tahap-tahap transkripsi dan translasi
menjadi urutan asam amino tertentu.

Di atas telah kita katakan bahwa sejumlah asam amino dengan urutan (sekuens) tertentu akan
menyusun sebuah molekul protein. Namun, setiap molekul protein sendiri dapat dilihat sebagai
gabungan beberapa subunit yang dinamakan polipeptida. Oleh karena itu, muncul pertanyaan
tentang hakekat sebuah gen : tiap gen menyandi satu protein ataukah tiap gen menyandi satu
polipeptida ?

Perkembangan konsep tentang gen dapat diikuti semenjak awal abad ke-20 ketika seorang dokter
sekaligus ahli biokimia dari Inggris, Sir Archibald E. Garrod, mengajukan konsep satu gen
mutan – satu hambatan metabolisme. Garrod mempelajari sejumlah penyakit metabolik
bawaan pada manusia dan menyimpulkan bahwa setiap gangguan metabolisme bawaan yang
menimbulkan penyakit tertentu, misalnya alkaptonuria, disebabkan oleh satu gen mutan resesif.

Sekitar 50 tahun kemudian dua orang peneliti, G. W. Beadle dan E.L. Tatum, mempelajari
mutasi gen pada jamur Neurospora crassa dengan menumbuhkan berbagai strain mutan hasil
iradiasi menggunakan sinar X atau sinar ultraviolet pada medium lengkap dan medium minimal.
Medium minimal adalah medium untuk pertumbuhan mikroorganisme yang hanya mengandung
garam-garam anorganik, sebuah gula sederhana, dan satu macam vitamin. Mutan yang
digunakan adalah mutan dengan hanya satu kelainan, yang untuk mendapatkannya dilakukan
silang balik dengan strain tipe liar. Mutan hasil silang balik dengan nisbah keturunan tipe liar :
mutan = 1 : 1 dipastikan sebagai mutan dengan hanya satu kelainan (mutasi).

Strain tipe liar, sebagai kontrol, mampu tumbuh baik pada medium lengkap maupun pada
medium minimal, sedangkan strain mutan hanya mampu tumbuh pada medium lengkap. Strain-
strain mutan ini kemudian dianalisis lebih lanjut untuk mengetahui macam faktor pertumbuhan
yang diperlukannya dengan cara melakukan variasi penambahannya ke dalam medium minimal.
Sebagai contoh, mutan yang hanya tumbuh pada medium minimal yang ditambah dengan tiamin
adalah mutan yang mengalami mutasi pada gen untuk biosintesis tiamin. Dengan cara seperti ini
Beadle dan Tatum memperlihatkan bahwa tiap mutasi menyebabkan kebutuhan akan pemberian
satu macam faktor pertumbuhan. Selanjutnya, dengan mengorelasikan hasil analisis genetik
dengan hasil analisis biokimia terhadap strain-strain mutan Neurospora tersebut dapat diketahui
bahwa tiap mutasi menyebabkan hilangnya satu aktivitas enzim. Maka, konsep satu gen mutan –
satu hambatan metabolisme bergeser menjadi satu gen – satu enzim.
Dalam perkembangan berikutnya, setelah diketahui bahwa sebagian besar enzim tersusun dari
beberapa polipetida, dan masing-masing polipeptida merupakan produk gen yang berbeda, maka
konsep terbaru tentang gen yang dianut hingga kini adalah satu gen – satu polipeptida. Sebagai
contoh, enzim triptofan sintetase pada Escherichia coli terdiri atas dua buah polipeptida, yaitu
polipeptida α dan polipeptida β. Polipeptida α merupakan produk gen trpA, sedangkan
polipeptida β merupakan produk gen trpB.

sinarX atau sinar uv

spora seksual

konidia

tipe liar silang balik medium lengkap medium minimal

riboflavin piridoksin tiamin asam pantotenat niasin inositol


kholin asam folat asam nukleat

Gambar 10.2. Diagram percobaan yang memperlihatkan satu gen – satu enzim

Transkripsi

Tahap pertama ekspresi gen adalah transkripsi atau sintesis molekul RNA dari DNA (gen).
Sintesis RNA mempunyai ciri-ciri kimiawi yang serupa dengan sintesis DNA, yaitu
1. Adanya sumber basa nitrogen berupa nukleosida trifosfat. Bedanya dengan sumber basa untuk
DNA hanyalah pada molekul gula pentosanya yang tidak berupa deoksiribosa tetapi ribosa dan
tidak adanya basa timin tetapi tetapi digantikan oleh urasil. Jadi, keempat nukleosida trifosfat
yang diperlukan adalah adenosin trifosfat (ATP), guanosin trifosfat (GTP), sitidin trifosfat (CTP),
dan uridin trifosfat (UTP).
2. Adanya molekul cetakan berupa untai DNA. Dalam hal ini hanya salah satu di antara kedua untai
DNA yang akan berfungsi sebagai cetakan bagi sintesis molekul RNA. Untai DNA ini mempunyai
urutan basa yang komplementer dengan urutan basa RNA hasil transkripsinya, dan disebut
sebagai pita antisens. Sementara itu, untai DNA pasangannya, yang mempunyai urutan basa
sama dengan urutan basa RNA, disebut sebagai pita sens. Meskipun demikian, sebenarnya
transkripsi pada umumnya tidak terjadi pada urutan basa di sepanjang salah satu untai DNA.
Jadi, bisa saja urutan basa yang ditranskripsi terdapat berselang-seling di antara kedua untai
DNA.
3. Sintesis berlangsung dengan arah 5’→ 3’ seperti halnya arah sintesis DNA.
4. Gugus 3’- OH pada suatu nukleotida bereaksi dengan gugus 5’- trifosfat pada nukleotida
berikutnya menghasilkan ikatan fosofodiester dengan membebaskan dua atom pirofosfat
anorganik (PPi). Reaksi ini jelas sama dengan reaksi polimerisasi DNA. Hanya saja enzim yang
bekerja bukannya DNA polimerase, melainkan RNA polimerase. Perbedaan yang sangat nyata di
antara kedua enzim ini terletak pada kemampuan enzim RNA polimerase untuk melakukan
inisiasi sintesis RNA tanpa adanya molekul primer.

Tahap-tahap transkripsi

Transkripsi berlangsung dalam empat tahap, yaitu pengenalan promoter, inisiasi, elongasi, dan
teminasi. Masing-masing akan dijelaskan sebagai berikut.

1. Enzim RNA polimerase mengikat untai DNA cetakan pada suatu daerah yang mempunyai urutan
basa tertentu sepanjang 20 hingga 200 basa. Daerah ini dinamakan promoter. Baik pada
prokariot maupun eukariot, promoter selalu membawa suatu urutan basa yang tetap atau
hampir tetap sehingga urutan ini dikatakan sebagai urutan konsensus. Pada prokariot urutan
konsensusnya adalah TATAAT dan disebut kotak Pribnow, sedangkan pada eukariot urutan
konsensusnya adalah TATAAAT dan disebut kotak TATA. Urutan konsensus akan menunjukkan
kepada RNA polimerase tempat dimulainya sintesis. Kekuatan pengikatan RNA polimerase oleh
promoter yang berbeda sangat bervariasi. Hal ini mengakibatkan perbedaan kekuatan ekspresi
gen.
2. Setelah mengalami pengikatan oleh promoter, RNA polimerase akan terikat pada suatu tempat
di dekat daerah promoter, yang dinamakan tempat awal polimerisasi. Nukleosida trifosfat
pertama akan diletakkan di tempat ini dan sintesis RNA pun segera dimulai.
3. Selama sintesis RNA berlangsung RNA polimerase bergerak di sepanjang molekul DNA cetakan
sambil menambahkan nukleotida demi nukleotida kepada untai RNA yang sedang diperpanjang.
4. Molekul RNA yang baru saja selesai disintesis, dan juga enzim RNA polimerase, segera terlepas
dari untai DNA cetakan begitu enzim tersebut mencapai urutan basa pengakhir (terminasi).
Terminasi dapat terjadi oleh dua macam sebab, yaitu terminasi yang hanya bergantung kepada
urutan basa cetakan (disebut terminasi diri) dan terminasi yang memerlukan kehadiran suatu
protein khusus (protein rho). Di antara keduanya terminasi diri lebih umum dijumpai. Terminasi
diri terjadi pada urutan basa palindrom yang diikuti oleh beberapa adenin (A). Urutan palindrom
adalah urutan yang sama jika dibaca dari dua arah yang berlawanan. Oleh karena urutan
palindom ini biasanya diselingi oleh beberapa basa tertentu, maka molekul RNA yang dihasilkan
akan mempunyai ujung terminasi berbentuk batang dan kala (loop) seperti pada Gambar 10.3.

urutan penyela

5’ 3’

ATTAAAGGCTCCTTTTGGAGCCTTTTTTTT DNA

T A A T T T C C G A G GA AA A C C T C G G A A AAA A AA

3’ 5’

transkripsi

U U

U U

C G

C G

U A

C G

G C RNA

G C

A U

A U

5’ A U 3’

A U U U U U U U

Gambar 10.3 Terminasi sintesis RNA menghasilkan


ujung berbentuk batang dan kala

Inisiasi transkripsi tidak harus menunggu selesainya transkripsi sebelumnya. Hal ini karena
begitu RNA polimerase telah melakukan pemanjangan 50 hingga 60 nukleotida, promoter dapat
mengikat RNA polimerase yang lain. Pada gen-gen yang ditranskripsi dengan cepat reinisiasi
transkripsi dapat terjadi berulang-ulang sehingga gen tersebut akan terselubungi oleh sejumlah
molekul RNA dengan tingkat penyelesaian yang berbeda-beda.

Secara umum mekanisme transkripsi pada prokariot dan eukariot hampir sama. Hanya saja, pada
prokariot produk langsung transkripsi atau transkrip primernya adalah mRNA (akan dijelaskan
di bawah), sedangkan pada eukariot transkrip primernya harus mengalami prosesing RNA
terlebih dahulu sebelum menjadi mRNA. Prosesing RNA ini mencakup dua peristiwa, yaitu
modifikasi kedua ujung transkrip primer dan pembuangan urutan basa pada transkrip primer
yang tidak akan ditranslasi (disebut intron). Ujung 5’ dimodifikasi dengan penambahan
guanosin dalam ikatan 5’-5’ yang tidak umum hingga terbentuk suatu gugus terminal yang
dinamakan cap, sedangkan ujung 3’ dimodifikasi dengan urutan poliadenosin (poli A) sepanjang
lebih kurang 200 basa. Sementara itu, panjang intron yang harus dibuang dapat mencapai 50%
hingga 90% dari panjang transkrip primer, tetapi segmen yang mengandung ujung 5’ (gugus cap)
tidak pernah dibuang. Setelah intron dibuang, segmen-segmen sisanya (disebut ekson) segera
digabungkan menjadi mRNA. Pembuangan intron dan penggabungan ekson menjadi molekul
mRNA dinamakan penyatuan RNA atau RNA splicing.

Macam-macam RNA

Transkripsi DNA menghasilkan molekul RNA yang kemudian akan mengalami diferensiasi
struktur sesuai dengan fungsinya masing-masing. Kita mengenal tiga macam RNA, yaitu

1. RNA duta atau messenger RNA (mRNA), yang mempunyai struktur linier kecuali bagian ujung
terminasinya yang berbentuk batang dan kala (Gambar 10.3). Molekul mRNA membawa urutan
basa yang sebagian di antaranya akan ditranslasi menjadi urutan asam amino. Urutan basa yang
dinamakan urutan penyandi (coding sequences) ini dibaca tiga demi tiga. Artinya, tiap tiga basa
akan menyandi pembentukan satu asam amino sehingga tiap tiga basa ini dinamakan triplet
kodon. Daftar triplet kodon beserta asam amino yang disandinya dapat dilihat pada Tabel 10.1.
Pada prokariot bagian mRNA yang tidak ditranslasi terletak di depan urutan penyandi (disebut
pengarah atau leader) dan di antara dua urutan penyandi (disebut spacer sequences atau
noncoding sequences). Sementara itu, pada eukariot di samping kedua bagian tadi ada juga
bagian di dalam urutan penyandi yang tidak ditranslasi. Bagian inilah yang dinamakan intron
seperti telah dijelaskan di atas. Molekul mRNA pada prokariot sering kali membawa sejumlah
urutan penyandi bagi beberapa polipeptida yang berbeda. Molekul mRNA seperti ini dinamakan
mRNA polisistronik. Dengan adanya mRNA polisistronik, sintesis beberapa protein yang masih
terkait satu sama lain dapat diatur dengan lebih efisien karena hanya dibutuhkan satu sinyal.
Pada eukariot hampir tidak pernah dijumpai mRNA polisistronik.
2. RNA pemindah atau transfer RNA (tRNA), yang strukturnya mengalami modifikasi hingga
berbentuk seperti daun semanggi. Seperti halnya struktur ujung terminasi mRNA, struktur
seperti daun semanggi ini terjadi karena adanya urutan palindrom yang diselingi oleh beberapa
basa (Gambar 10.4). Pada salah satu kalanya, tRNA membawa tiga buah basa yang komplemeter
dengan triplet kodon pada mRNA. Ketiga basa ini dinamakan antikodon. Sementara itu, pada
ujung 3’-nya terdapat tempat pengikatan asam amino tertentu. Pengikatan yang membentuk
molekul aminoasil-tRNA ini terjadi dengan bantuan enzim aminoasil-tRNA sintetase. Dalam hal
ini gugus hidroksil (OH) pada ujung 3’ tRNA terikat sangat kuat dengan gugus karboksil (COOH)
asam amino. Macam asam amino yang dibawa ditentukan oleh urutan basa pada antikodon.
Jadi, ada beberapa macam aminoasil-tRNA sesuai dengan antikodon dan macam asam amino
yang dibawanya.

antikodon

5’

3’ (tempat pengikatan asam amino)

Gambar 10.4. Diagram struktur tRNA

3. RNA ribosomal atau ribosomal RNA (rRNA), yang strukturnya merupakan bagian struktur
ribosom. Lebih kurang separuh struktur kimia ribosom berupa rRNA dan separuh lainnya berupa
protein. Molekul rRNA, dan juga tRNA, dapat dikatakan sebagai RNA struktural dan tidak
ditranslasi menjadi asam amino/protein. Akan tetapi, mereka adalah bagian mesin sel yang
menyintesis protein (lihat uraian tentang translasi di bawah ini).

Translasi

Bila dibandingkan dengan transkripsi, translasi merupakan proses yang lebih rumit karena
melibatkan fungsi berbagai makromolekul. Oleh karena kebanyakan di antara makromolekul ini
terdapat dalam jumlah besar di dalam sel, maka sistem translasi menjadi bagian utama mesin
metabolisme pada tiap sel. Makromolekul yang harus berperan dalam proses translasi tersebut
meliputi

1. Lebih dari 50 polipeptida serta 3 hingga 5 molekul RNA di dalam tiap ribosom
2. Sekurang-kurangnya 20 macam enzim aminoasil-tRNA sintetase yang akan mengaktifkan asam
amino
3. Empat puluh hingga 60 molekul tRNA yang berbeda
4. Sedikitnya 9 protein terlarut yang terlibat dalam inisiasi, elongasi, dan terminasi polipeptida.

Translasi, atau pada hakekatnya sintesis protein, berlangsung di dalam ribosom, suatu struktur
organel yang banyak terdapat di dalam sitoplasma. Ribosom terdiri atas dua subunit, besar dan
kecil, yang akan menyatu selama inisiasi translasi dan terpisah ketika translasi telah selesai.
Ukuran ribosom sering dinyatakan atas dasar laju pengendapannya selama sentrifugasi sebagai
satuan yang disebut satuan Svedberg (S). Pada kebanyakan prokariot ribosom mempunyai
ukuran 70S, sedangkan pada eukariot biasanya sekitar 80S.
Tiap ribosom mempunyai dua tempat pengikatan tRNA, yang masing-masing dinamakan tapak
aminoasil (tapak A) dan tapak peptidil (tapak P). Molekul aminoasil-tRNA yang baru
memasuki ribosom akan terikat di tapak A, sedangkan molekul tRNA yang membawa rantai
polipeptida yang sedang diperpanjang terikat di tapak P.

Gambaran penting sintesis protein adalah bahwa proses ini berlangsung dengan arah tertentu
sebagai berikut.

1. Molekul mRNA ditranslasi dengan arah 5’→ 3’, tetapi tidak dari ujung 5’ hingga ujung 3’.
2. Polipeptida disintesis dari ujung amino ke ujung karboksil dengan menambahkan asam-asam
amino satu demi satu ke ujung karboksil. Sebagai contoh, sintesis protein yang mempunyai
urutan NH2-Met-Pro- . . . -Gly-Ser-COOH pasti dimulai dengan metionin dan diakhiri dengan
serin.

Mekanisme sintesis protein secara skema garis besar dapat dilihat pada Gambar 10.5. Sebuah
molekul mRNA akan terikat pada permukaan ribosom yang kedua subunitnya telah bergabung.
Pengikatan ini terjadi karena pada mRNA prokariot terdapat urutan basa tertentu yang disebut
sebagai tempat pengikatan ribosom (ribosom binding site) atau urutan Shine-Dalgarno.
Sementara itu, pada eukariot pengikatan ribosom dilakukan oleh ujung 5’ mRNA. Selanjutnya,
berbagai aminoasil-tRNA akan berdatangan satu demi satu ke kompleks ribosom-mRNA ini
dengan urutan sesuai dengan antikodon dan asam amino yang dibawanya. Urutan ini ditentukan
oleh urutan triplet kodon pada mRNA. Ikatan peptida terbentuk di antara asam-asam amino yang
terangkai menjadi rantai polipeptida di tapak P ribosom. Penggabungan asam-asam amino terjadi
karena gugus amino pada asam amino yang baru masuk berikatan dengan gugus karboksil pada
asam amino yang terdapat pada rantai polipeptida yang sedang diperpanjang. Penjelasan tentang
mekanisme sintesis protein yang lebih rinci disertai contoh, khususnya pada prokariot, akan
diberikan di bawah ini.

arah gerakan ribosom

ribosom

AUC ACC

UAG UGG

aa aa
5’ CUG GGG 3’ mRNA

GAC

COOH

aa

tRNA aminoasil-tRNA

aa aa

NH2 NH2 COOH

ikatan peptida

Gambar 10.5. Skema garis besar sintesis protein

Inisiasi sintesis protein dilakukan oleh aminoasil-tRNA khusus, yaitu tRNA yang membawa
metionin (dilambangkan sebagai metionil-tRNAiMet). Hal ini berarti bahwa sintesis semua
polipeptida selalu dimulai dengan metionin. Khusus pada prokariot akan terjadi formilasi gugus
amino pada metionil-tRNAiMet (dilambangkan sebagai metionil-tRNAfMet) yang mencegah
terbentuknya ikatan peptida antara gugus amin tersebut dengan gugus karboksil asam amino
pada ujung polipetida yang sedang diperpanjang sehingga asam amino awal pada polipeptida
prokariot selalu berupa f-metionin. Pada eukariot metionil-tRNAiMet tidak mengalami formilasi
gugus amin, tetapi molekul ini akan bereaksi dengan protein-protein tertentu yang berfungsi
sebagai faktor inisiasi (IF-1, IF-2, dan IF-3). Selain itu, baik pada prokariot maupun eukariot,
terdapat pula metionil-tRNA yang metioninnya bukan merupakan asam amino awal
(dilambangkan sebagai metionil-tRNAMet).

Kompleks inisiasi pada prokariot terbentuk antara mRNA, metionil-tRNAfMet, dan subunit kecil
ribosom (30S) dengan bantuan protein IF-1, IF-2, dan IF-3, serta sebuah molekul GTP.
Pembentukan kompleks inisiasi ini diduga difasilitasi oleh perpasangan basa antara suatu urutan
di dekat ujung 3’ rRNA berukuran 16S dan sebagian urutan pengarah (leader sequence) pada
mRNA. Selanjutnya, kompleks inisiasi bergabung dengan subunit besar ribosom (50S), dan
metionil-tRNAfMet terikat pada tapak P. Berpasangannya triplet kodon inisiasi pada mRNA
dengan antikodon pada metionil-tRNAfMet di tapak P menentukan urutan triplet kodon dan
aminoasil-tRNAfMet berikutnya yang akan masuk ke tapak A. Pengikatan aminoasil-tRNAfMet
berikutnya, misalnya alanil- tRNAala, ke tapak A memerlukan protein-protein elongasi EF-Ts
dan EF-Tu. Pembentukan ikatan peptida antara gugus karboksil pada metionil-tRNAfMet di tapak
P dan gugus amino pada alanil-tRNAala di tapak A dikatalisis oleh enzim peptidil transferase,
suatu enzim yang terikat pada subunit ribosom 50S. Reaksi ini menghasilkan dipeptida yang
terdiri atas f-metionin dan alanin yang terikat pada tRNAala di tapak A.

Langkah berikutnya adalah translokasi, yang melibatkan (1) perpindahan f-met-ala- tRNAala dari
tapak A ke tapak P dan (2) pergeseran posisi mRNA pada ribosom sepanjang tiga basa sehingga
triplet kodon yang semula berada di tapak A masuk ke tapak P. Dalam contoh ini triplet kodon
yang bergeser dari tapak A ke P tersebut adalah triplet kodon untuk alanin. Triplet kodon
berikutnya, misalnya penyandi serin, akan masuk ke tapak A dan proses seperti di atas hingga
translokasi akan terulang kembali. Translokasi memerlukan aktivitas faktor elongasi berupa
enzim yang biasa dilambangkan dengan EF-G.

Pemanjangan atau elongasi rantai polipeptida akan terus berlangsung hingga suatu tripet kodon
yang menyandi terminasi memasuki tapak A. Sebelum suatu rantai polipeptida selesai disintesis
terlebih dahulu terjadi deformilisasi pada f-metionin menjadi metionin. Terminasi ditandai oleh
terlepasnya mRNA, tRNA di tapak P, dan rantai polipeptida dari ribosom. Selain itu, kedua
subunit ribosom pun memisah. Pada terminasi diperlukan aktivitas dua protein yang berperan
sebagai faktor pelepas atau releasing factors, yaitu RF-1 dan RF-2.

Sesungguhnya setiap mRNA tidak hanya ditranslasi oleh sebuah ribosom. Pada umumnya
sebuah mRNA akan ditranslasi secara serempak oleh beberapa ribosom yang satu sama lain
berjarak sekitar 90 basa di sepanjang molekul mRNA. Kompleks translasi yang terdiri atas
sebuah mRNA dan beberapa ribosom ini dinamakan poliribosom atau polisom. Besarnya
polisom sangat bervariasi dan berkorelasi dengan ukuran polipeptida yang akan disintesis.
Sebagai contoh, rantai hemoglobin yang tersusun dari sekitar 150 asam amino disintesis oleh
polisom yang terdiri atas lima buah ribosom (pentaribosom).

Pada prokariot translasi seringkali dimulai sebelum transkripsi berakhir. Hal ini dimungkinkan
terjadi karena tidak adanya dinding nukleus yang memisahkan antara transkripsi dan translasi.
Dengan berlangsungnya kedua proses tersebut secara bersamaan, ekspresi gen menjadi sangat
cepat dan mekanisme nyala-padam (turn on-turn off) ekspresi gen, seperti yang akan dijelaskan
nanti, juga menjadi sangat efisien.

Namun, tidak demikian halnya pada eukariot. Transkripsi terjadi di dalam nukleus, sedangkan
translasi terjadi di sitoplasma (ribosom). Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana mRNA hasil
transkripsi dipindahkan dari nukleus ke sitoplasma, faktor-faktor apa yang menentukan saat dan
tempat translasi? Sayangnya, hingga kini kita belum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut dengan memuaskan. Kita baru mengetahui bahwa transkripsi dan translasi pada eukariot
jauh lebih rumit daripada proses yang ada pada prokariot. Salah satu di antaranya seperti telah
kita bicarakan di atas, yaitu bahwa mRNA hasil transkripsi (transkrip primer) pada eukariot
memerlukan prosesing terlebih dahulu sebelum dapat ditranslasi.

Kode genetik

Penetapan triplet kodon pada mRNA sebagai pembawa informasi genetik atau kode genetik yang
akan menyandi pembentukan suatu asam amino tertentu berawal dari pemikiran bahwa macam
basa nitrogen jauh lebih sedikit daripada macam asam amino. Basa nitrogen pada mRNA hanya
ada empat macam, sedangkan asam amino ada 20 macam. Oleh karena itu, jelas tidak mungkin
tiap asam amino disandi oleh satu basa. Begitu juga, kombinasi dua basa hanya akan
menghasilkan 42 atau 16 macam duplet, masih lebih sedikit daripada macam amino yang ada.
Kombinasi tiga basa akan menghasilkan 43 atau 64 triplet, melebihi jumlah macam asam amino.
Dalam hal ini, satu macam asam amino dapat disandi oleh lebih dari satu macam triplet kodon.

Tabel 10.1. Kode genetik

Basa I Basa II Basa III (3’)

(5’) U C A G

Phe Ser Tyr Cys U

U Phe Ser Tyr Cys C

Leu Ser Stop Stop A

Leu Ser Stop Trp G

Leu Pro His Arg U

C Leu Pro His Arg C

Leu Pro Gln Arg A

Leu Pro Gln Arg G

ILe Thr Asn Ser U

A Ile Thr Asn Ser C

ILe Thr Lys Arg A

Met Thr Lys Arg G

Val Ala Asp Gly U

G Val Ala Asp Gly C

Val Ala Glu Gly A

Val Ala Glu Gly G

Keterangan :
phe = fenilalanin ser = serin his = histidin glu = asam glutamat

leu = leusin pro = prolin gln = glutamin cys = sistein

ile = isoleusin thr = treonin asn = asparagin trp = triptofan

met = metionin ala = alanin lys = lisin arg = arginin

val = valin tyr = tirosin asp = asam aspartat gly = glisin

AUG (kodon metionin) dapat menjadi kodon awal (start codon)

stop = kodon stop (stop codon)

Bukti bahwa kode genetik berupa triplet kodon diperoleh dari hasil penelitian F.H.C. Crick dan
kawan-kawannya yang mempelajari mutasi pada lokus rIIB bakteriofag T4. Mutasi tersebut
diinduksi oleh proflavin, suatu molekul yang dapat menyisip di sela-sela pasangan basa nitrogen
sehingga kesalahan replikasi DNA dapat terjadi sewaktu-waktu, menghasilkan DNA yang
kelebihan atau kekurangan satu pasangan basa. Hal ini akan menyebabkan perubahan rangka
baca (reading frame), yaitu urutan pembacaan basa-basa nitrogen untuk diterjemahkan menjadi
urutan asam amino tertentu. Mutasi yang disebabkan oleh perubahan rangka baca akibat
kelebihan atau kekurangan pasangan basa disebut sebagai mutasi rangka baca (frameshift
mutation) (lihat Bab XI).

Jika mutan (hasil mutasi) rangka baca yang diinduksi oleh proflavin ditumbuhkan pada medium
yang mengandung proflavin, akan diperoleh beberapa fag tipe liar sehingga mutasi seolah-olah
dapat dipulihkan atau terjadi mutasi balik (reverse mutation). Pada awalnya mutasi balik diduga
karena kelebihan pasangan basa dibuang dari rangka baca yang salah sehingga rangka baca
tersebut telah diperbaiki menjadi seperti semula. Namun, karena mutasi bersifat acak, maka
mekanisme semacam itu kecil sekali kemungkinannya untuk terjadi dan dugaan tersebut
nampaknya tidak benar. Crick dan kawan-kawannya menjelaskan bahwa mutasi balik
disebabkan oleh hilangnya (delesi) satu pasangan basa lain yang letaknya tidak terlalu jauh dari
pasangan basa yang menyisip (adisi). Rangka baca yang baru ini akan menghasilkan urutan asam
amino yang masih sama fungsinya dengan urutan sebelum terjadi mutasi. Dengan perkataan lain,
mutasi balik terjadi karena efek mutasi awal akibat penambahan basa ditekan oleh mutasi kedua
akibat pengurangan basa sehingga mutasi yang kedua ini disebut juga sebagai mutasi penekan
(suppressor mutation).

Protein rIIB pada T4 mempunyai bagian-bagian yang di dalamnya dapat terjadi perubahan urutan
asam amino. Perubahan ini dapat berpengaruh atau tidak berpengaruh terhadap fungsi
proteinnya. Jika dua strain mutan T4 yang satu sama lain mengalami mutasi berbeda di dalam
bagian protein rIIB disilangkan melalui infeksi campuran pada suatu inang, maka T4 tipe liar
akan diperoleh sebagai hasil rekombinasi genetik antara kedua tempat mutasi yang berbeda itu.
Akan tetapi, ketika kedua strain mutan rIIB yang disilangkan merupakan strain-strain yang
diseleksi secara acak (tidak harus mengalami mutasi yang berbeda), ternyata tidak selalu
diperoleh tipe liar. Hasil ini menunjukkan bahwa strain-strain mutan dapat dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu strain + dan strain -. Dalam hal ini, strain + tidak harus selalu mutan adisi, dan
strain – tidak harus selalu mutan delesi. Namun, sekali kita menggunakan tanda + untuk mutan
adisi berarti strain + adalah mutan adisi. Begitu pula sebaliknya, sekali kita gunakan tanda +
untuk mutan delesi berarti strain + adalah mutan delesi.

Persilangan antara strain + dan strain – hanya menghasilkan rekombinasi berupa fenotipe tipe
liar, sedangkan persilangan antara sesama + atau sesama – tidak pernah menghasilkan tipe liar.
Hal ini karena persilangan sesama + atau sesama – akan menyebabkan adisi atau delesi ganda
sehingga selalu menghasilkan fenotipe mutan. Sementara itu, persilangan antara starin + dan –
akan menyebabkan terjadinya mutasi penekan (adisi ditekan oleh delesi atau delesi ditekan oleh
adisi) atau hanya menghasilkan mutasi pada urutan asam amino yang tidak berpengaruh terhadap
fungsi protein sehingga diperoleh fenotipe tipe liar.

AUG UUU CCC AAA GGG UUU . . . . . . CCC UAG mRNA tipe liar

met phe pro lys gly phe pro stop

penambahan pasangan basa A=T (mutasi rangka baca I)

AUG AUU UCC CAA AGG GUU U . . . . . CCU AG . . . mRNA mutan

met ile ser gln arg val leu

pengurangan pasangan basa G = G(mutasi rangka baca II)

AUG AUU UCC AAA GGG UUU . . . . . . CCC UAG mRNA ‘tipe liar’

met ile ser lys gly phe pro stop

urutan asam urutan asam amino tipe liar

amino yang berubah

Gambar 10.6. Mutasi penekan yang memulihkan rangka baca


Oleh karena persilangan sesama + atau sesama – tidak pernah menghasilkan tipe liar, kode
genetik jelas tidak mungkin terdiri atas dua basa. Seandainya, kode genetik berupa duplet, maka
akan terjadi pemulihan rangka baca hasil persilangan tersebut. Kenyataannya tidak demikian.
Pemulihan rangka baca akibat mutasi penekan justru terjadi apabila persilangan dilakukan antara
strain + dan strain -.

Apabila kode genetik berupa triplet, maka persilangan teoretis sesama + atau sesama – akan
menghasilkan fenotipe mutan, sesuai dengan hasil kenyataannya. Namun, rekombinasi antara
tiga + atau tiga – akan menghasilkan tipe liar. Hal ini memperlihatkan bahwa kode genetik terdiri
atas tiga basa.

urutan yang bila berubah tidak berpengaruh urutan yang bila berubah berpengaruh

tipe liar AB CD EF GH IJ KL MN OP QR ST UV WX
protein tipe liar

+1 AB C1 DE FG HI JK LM NO PQ RS TU VW X protein mutan

+2 AB CD E2 FG HI JK LM NO PQ RS TU VW X protein mutan

-1 AB DE FG HI JK LM NO PQ RS TU VW X protein mutan

-2 AB CD FG HI JK LM NO PQ RS TU VW X protein mutan

+1 x +2 AB C1 DE 2F GH IJ KL MN OP QR ST UV WX protein tipe
liar

-1 x -2 AB CD EF GH IJ KL MN OP QR ST UV WX protein tipe liar

+1 x -1 AB C1 DE FG HI JK LM NO PQ RS TU VW X protein mutan

a)

urutan yang bila berubah tidak berpengaruh urutan yang bila berubah berpengaruh

tipe liar ABC DEF GHI JKL MNO PQR STU VWX
protein tipe liar
+1 AB1 CDE FGH IJK LMN OPQ RST UVW X protein mutan

+2 ABC DE2 FGH IJK LMN OPQ RST UVW X protein mutan

+3 ABC DEF GHI J3K LMN OPQ RST UVW X protein mutan

+1 x +2 AB1 CDE 2FG HIJ KLM NOP QRS TUV WX protein mutan

+1 x +2 x +3 AB1 CDE 2FG HIJ 3KL MNO PQR STU VWX protein
tipe liar

b)

Gambar 10.7. Diagram persilangan mutan rIIB pada T4 yang memperlihatkan

bahwa kode genetik berupa triplet kodon

a) Jika kode genetik berupa duplet, hasil persilangan teoretis

tidak sesuai dengan kenyataan yang diperoleh.

b) Jika kode genetik berupa triplet, hasil persilangan teoretis

sesuai dengan kenyataan yang diperoleh.

Sifat-sifat kode genetik

Kode genetik mempunyai sifat-sifat yang akan dijelaskan sebagai berikut.

1. Kode genetik bersifat universal. Artinya, kode genetik berlaku sama hampir di setiap spesies
organisme.
2. Kode genetik bersifat degenerate atau redundant, yaitu bahwa satu macam asam amino dapat
disandi oleh lebih dari satu triplet kodon. Sebagai contoh, treonin dapat disandi oleh ACU, ACC,
ACA, dan ACG. Sifat ini erat kaitannya dengan sifat wobble basa ketiga, yang artinya bahwa
basa ketiga dapat berubah-ubah tanpa selalu disertai perubahan macam asam amino yang
disandinya. Diketahuinya sifat wobble bermula dari penemuan basa inosin (I) sebagai basa
pertama pada antikodon tRNAala ragi, yang ternyata dapat berpasangan dengan basa A, U, atau
pun C. Dengan demikian, satu antikodon pada tRNA dapat mengenali lebih dari satu macam
kodon pada mRNA.
3. Oleh karena tiap kodon terdiri atas tiga buah basa, maka tiap urutan basa mRNA, atau berarti
juga DNA, mempunyai tiga rangka baca yang berbeda (open reading frame). Di samping itu, di
dalam suatu segmen tertentu pada DNA dapat terjadi transkripsi dan translasi urutan basa
dengan panjang yang berbeda. Dengan perkataan lain, suatu segmen DNA dapat terdiri atas
lebih dari sebuah gen yang saling tumpang tindih (overlapping). Sebagai contoh, bakteriofag
фX174 mempunyai sebuah untai tunggal DNA yang panjangnya lebih kurang hanya 5000 basa.
Seandainya dari urutan basa ini hanya digunakan sebuah rangka baca, maka akan terdapat
sekitar 1700 asam amino yang dapat disintesis. Kemudian, jika sebuah molekul protein rata-rata
tersusun dari 400 asam amino, maka dari sekitar 1700 asam amino tersebut hanya akan
terbentuk 4 hingga 5 buah molekul protein. Padahal kenyataannya, bakteriofag фX174
mempunyai 11 protein yang secara keseluruhan terdiri atas 2300 asam amino. Dengan
demikian, jelaslah bahwa dari urutan basa DNA yang ada tidak hanya digunakan sebuah rangka
baca, dan urutan basa yang diekspresikan (gen) dapat tumpang tindih satu sama lain.

Pengaturan Ekspresi Gen

Produk-produk gen tertentu seperti protein ribosomal, rRNA, tRNA, RNA polimerase, dan
enzim-enzim yang mengatalisis berbagai reaksi metabolisme yang berkaitan dengan fungsi
pemeliharaan sel merupakan komponen esensial bagi semua sel. Gen-gen yang menyandi
pembentukan produk semacam itu perlu diekspresikan terus-menerus sepanjang umur individu di
hampir semua jenis sel tanpa bergantung kepada kondisi lingkungan di sekitarnya. Sementara itu,
banyak pula gen lainnya yang ekspresinya sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan sehingga
mereka hanya akan diekspresikan pada waktu dan di dalam jenis sel tertentu. Untuk gen-gen
semacam ini harus ada mekanisme pengaturan ekspresinya.

Pengaturan ekspresi gen dapat terjadi pada berbagai tahap, misalnya transkripsi, prosesing
mRNA, atau translasi. Namun, sejumlah data hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan
ekspresi gen, khususnya pada prokariot, paling banyak terjadi pada tahap transkripsi.

Mekanisme pengaturan transkripsi, baik pada prokariot maupun pada eukariot, secara garis besar
dapat dibedakan menjadi dua kategori utama, yaitu (1) mekanisme yang melibatkan
penyalapadaman (turn on and turn off) ekspresi gen sebagai respon terhadap perubahan
kondisi lingkungan dan (2) sirkit ekspresi gen yang telah terprogram (preprogramed circuits).
Mekanisme penyalapadaman sangat penting bagi mikroorganisme untuk menyesuaikan diri
terhadap perubahan lingkungan yang seringkali terjadi secara tiba-tiba. Sebaliknya, bagi eukariot
mekanisme ini nampaknya tidak terlalu penting karena pada organisme ini sel justru cenderung
merespon sinyal-sinyal yang datang dari dalam tubuh, dan di sisi lain, sistem sirkulasi akan
menjadi penyangga bagi sel terhadap perubahan kondisi lingkungan yang mendadak tersebut.
Pada mekanisme sirkit, produk suatu gen akan menekan transkripsi gen itu sendiri dan sekaligus
memacu transkripsi gen kedua, produk gen kedua akan menekan transkripsi gen kedua dan
memacu transkripsi gen ketiga, demikian seterusnya. Ekspresi gen yang berurutan ini telah
terprogram secara genetik sehingga gen-gen tersebut tidak akan dapat diekspresikan di luar
urutan. Oleh karena urutan ekspresinya berupa sirkit, maka mekanisme tersebut dinamakan sirkit
ekspresi gen.

Induksi dan represi pada prokariot

Escherichia coli merupakan bakteri yang sering dijadikan model untuk mempelajari berbagai
mekanisme genetika molekuler. Bakteri ini secara alami hidup di dalam usus besar manusia
dengan memanfaatkan sumber karbon yang umumnya berupa glukosa. Apabila suatu ketika E.
coli ditumbuhkan pada medium yang sumber karbonnya bukan glukosa melainkan laktosa, maka
enzim pemecah laktosa akan disintesis, sesuatu yang tidak biasa dilakukannya. Untuk itu, gen-
gen penyandi berbagai enzim yang terlibat dalam pemanfaatan laktosa akan diekspresikan
(turned on). Sebaliknya, dalam keadaan normal, yaitu ketika tersedia glukosa sebagai sumber
karbon, maka gen-gen tersebut tidak diekspresikan (turned off). Proses yang terjadi ketika
ekspresi gen merupakan respon terhadap keberadaan suatu zat di lingkungannya dikenal sebagai
induksi, sedangkan zat atau molekul yang menyebabkan terjadinya induksi disebut sebagai
induser. Jadi, dalam contoh ini laktosa merupakan induser.

Induksi secara molekuler terjadi pada tingkat transkripsi. Peristiwa ini berkenaan dengan laju
sintesis enzim, bukan dengan aktivitas enzim. Pada pengaktifan enzim suatu molekul kecil akan
terikat pada enzim sehingga akan terjadi peningkatan aktivitas enzim tersebut, bukan
peningkatan laju sintesisnya.

Selain mempunyai kemampuan untuk memecah suatu molekul (katabolisme), bakteri juga dapat
menyintesis (anabolisme) berbagai molekul organik yang diperlukan bagi pertumbuhannya.
Sebagai contoh, Salmonella typhimurium mempunyai sejumlah gen yang menyandi enzim-enzim
untuk biosintesis triptofan. Dalam medium pertumbuhan yang tidak mengandung triptofan, S.
typhimurium akan mengekspresikan (turned on) gen-gen tersebut. Akan tetapi, jika suatu saat ke
dalam medium pertumbuhannya ditambahkan triptofan, maka gen-gen tersebut tidak perlu
diekspresikan (turned off). Proses pemadaman (turn off) ekspresi gen sebagai respon terhadap
keberadaan suatu zat di lingkungannya dinamakan represi, sedangkan zat yang menyebabkan
terjadinya represi disebut sebagai korepresor. Jadi, dalam contoh ini triptofan merupakan
korepresor.

Seperti halnya induksi, represi juga terjadi pada tahap transkripsi. Represi sering dikacaukan
dengan inhibisi umpan balik (feedback inhibition), yaitu penghambatan aktivitas enzim akibat
pengikatan produk akhir reaksi yang dikatalisis oleh enzim itu sendiri. Represi tidak
menghambat aktivitas enzim, tetapi menekan laju sintesisnya.

Model operon

Mekanisme molekuler induksi dan represi telah dapat dijelaskan menurut model yang diajukan
oleh F. Jacob dan J. Monod pada tahun 1961. Menurut model yang dikenal sebagai operon ini
ada dua unsur yang mengatur transkripsi gen struktural penyandi enzim, yaitu gen regulator
(gen represor) dan operator yang letaknya berdekatan dengan gen-gen struktural yang
diaturnya. Gen regulator menyandi pembentukan suatu protein yang dinamakan represor. Pada
kondisi tertentu represor akan berikatan dengan operator, menyebabkan terhalangnya transkripsi
gen-gen struktural. Hal ini terjadi karena enzim RNA polimerase tidak dapat memasuki promoter
yang letaknya berdekatan, atau bahkan tumpang tindih, dengan operator.

Secara keseluruhan setiap operon terdiri atas promoter operon atau promoter bagi gen-gen
struktural (PO), operator (O), dan gen-gen struktural (GS). Di luar operon terdapat gen regulator
(R) beserta promoternya (PR), molekul protein represor yang dihasilkan oleh gen regulator, dan
molekul efektor. Molekul efektor pada induksi adalah induser, sedangkan pada represi adalah
korepresor.

operon
PR R PO O GS1 GS2 GS3

represor efektor (induser atau korepresor)

a)

RNA polimerase

induser

RNA polimerase berjalan

transkripsi

kompleks represor-induser

translasi

b)

RNA polimerase berjalan

transkripsi

korepresor

translasi

kompleks represor-korepresor

c)

Gambar 10.8. Model operon untuk pengaturan ekspresi gen

a) komponen operon b) induksi c) represi


Pada Gambar 10.8 terlihat bahwa terikatnya represor pada operator terjadi dalam keadaan yang
berkebalikan antara induksi dan represi. Pada induksi represor secara normal akan berikatan
dengan operator sehingga RNA polimerase tidak dapat memasuki promoter operon. Akibatnya,
transkripsi gen-gen struktural tidak dapat berlangsung. Namun, dengan terikatnya represor oleh
induser, promoter operon menjadi terbuka bagi RNA polimerase sehingga gen-gen struktural
dapat ditranskripsi dan selanjutnya ditranslasi. Dengan demikian, gen-gen struktural akan
diekspresikan apabila terdapat molekul induser yang mengikat represor.

Operon yang terdiri atas gen-gen yang ekspresinya terinduksi dinamakan operon induksi. Salah
satu contohnya adalah operon lac, yang terdiri atas gen-gen penyandi enzim pemecah laktosa
seperti telah disebutkan di atas.

Sebaliknya, pada represi secara normal represor tidak berikatan dengan operator sehingga RNA
polimerase dapat memasuki promoter operon dan transkripsi gen-gen struktural dapat terjadi.
Akan tetapi, dengan adanya korepresor, akan terbentuk kompleks represor-korepresor yang
kemudian berikatan dengan operator. Dengan pengikatan ini, RNA polimerase tidak dapat
memasuki promoter operon sehingga transkripsi gen-gen struktural menjadi terhalang. Jadi,
ekspresi gen-gen struktural akan terepresi apabila terdapat molekul korepresor yang berikatan
dengan represor.

Gen-gen yang ekspresinya dapat terepresi merupakan komponen operon yang dinamakan operon
represi. Operon trp, yang terdiri atas gen-gen penyandi enzim untuk biosintesis triptofan
merupakan contoh operon represi.

Pengaturan ekspresi gen pada eukariot

Hingga sekarang kita baru sedikit sekali mengetahui mekanisme pengaturan ekspresi gen pada
eukariot. Namun, kita telah mengetahui bahwa pada eukariot tingkat tinggi gen-gen yang
berbeda akan ditranskripsi pada jenis sel yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme
pengaturan pada tahap transkripsi, dan juga prosesing mRNA, memegang peran yang sangat
penting dalam proses diferensiasi sel.

Operon, kalau pun ada, nampaknya tidak begitu penting pada eukariot. Hanya pada eukariot
tingkat rendah seperti jamur dapat ditemukan satuan-satuan operon atau mirip operon. Semua
mRNA pada eukariot tingkat tinggi adalah monosistronik, yaitu hanya membawa urutan sebuah
gen struktural. Transkrip primer yang adakalanya menyerupai polisistronik pun akan diproses
menjadi mRNA yang monosistronik.

Selain itu, terindikasi juga bahwa diferensiasi sel sedikit banyak melibatkan ekspresi seperangkat
gen yang telah terprogram (preprogramed). Berbagai macam sinyal seperti molekul-molekul
sitoplasmik, hormon, dan rangsangan dari lingkungan memicu dimulainya pembacaan program-
program dengan urutan tertentu pada waktu dan tempat yang tepat selama perkembangan
individu. Bukti paling nyata mengenai adanya keharusan urutan pembacaan program pada waktu
dan tempat tertentu dapat dilihat pada kasus mutasi yang terjadi pada lalat Drosophila, misalnya
munculnya sayap di kepala di tempat yang seharusnya untuk mata. Dengan mempelajari mutasi-
mutasi semacam ini diharapkan akan diperoleh pengetahuan tentang mekanisme pengaturan
ekspresi gen selama perkembangan normal individu.

Pada eukariot tingkat tinggi kurang dari 10 persen gen yang terdapat di dalam seluruh genom
akan terepresentasikan urutan basanya di antara populasi mRNA yang telah mengalami
prosesing. Sebagai contoh, hanya ada dua hingga lima persen urutan DNA mencit yang akan
terepresentasikan pada mRNA di dalam sel-sel hatinya. Demikian pula, mRNA di dalam sel-sel
otak katak Xenopus hanya merepresentasikan delapan persen urutan DNAnya. Jadi, sebagian
besar urutan basa DNA di dalam genom eukariot tingkat tinggi tidak terepresentasikan di antara
populasi mRNA yang ada di dalam sel atau jaringan tertentu. Dengan perkataan lain, molekul
mRNA yang dihasilkan dari perangkat gen yang berbeda akan dijumpai di dalam sel atau
jaringan yang berbeda pula.

Dosis gen dan amplifikasi gen

Kebutuhan akan produk-produk gen pada eukariot dapat sangat bervariasi. Beberapa produk gen
dibutuhkan dalam jumlah yang jauh lebih besar daripada produk gen lainnya sehingga terdapat
nisbah kebutuhan di antara produk-produk gen yang berbeda. Untuk memenuhi nisbah
kebutuhan ini antara lain dapat ditempuh melalui dosis gen. Katakanlah, ada gen A dan gen B
yang ditranskripsi dan ditranslasi dengan efisiensi yang sama. Produk gen A dapat 20 kali lebih
banyak daripada produk gen B apabila terdapat 20 salinan (kopi) gen A untuk setiap salinan gen
B. Contoh yang nyata dapat dilihat pada gen-gen penyandi histon. Untuk menyintesis histon
dalam jumlah besar yang dibutuhkan dalam pembentukan kromatin, kebanyakan sel mempunyai
beratus-ratus kali salinan gen histon daripada jumlah salinan gen yang diperlukan untuk replikasi
DNA.

Salah satu pengaruh dosis gen adalah amplifikasi gen, yaitu peningkatan jumlah gen sebagai
respon terhadap sinyal tertentu. Sebagai contoh, amplifikasi gen terjadi selama perkembangan
oosit katak Xenopus laevis. Pembentukan oosit dari prekursornya (oogonium) merupakan proses
kompleks yang membutuhkan sejumlah besar sintesis protein. Untuk itu dibutuhkan sejumlah
besar ribosom. Kita mengetahui bahwa ribosom antara lain terdiri atas molekul-molekul rRNA.
Padahal, sel-sel prekursor tidak mempunyai gen penyandi rRNA dalam jumlah yang mencukupi
untuk sintesis molekul tersebut dalam waktu yang relatif singkat. Namun, sejalan dengan
perkembangan oosit terjadi peningkatan jumlah gen rRNA hingga 4000 kali sehingga dari
sebanyak 600 gen yang ada pada prekursor akan diperoleh sekitar dua juta gen setelah
amplifikasi. Jika sebelum amplifikasi ke-600 gen rRNA berada di dalam satu segmen DNA
linier, maka selama dan setelah amplifikasi gen tersebut akan berada di dalam gulungan-
gulungan kecil yang mengalami replikasi. Molekul rRNA tidak diperlukan lagi ketika oosit telah
matang hingga saat terjadinya fertilisasi. Oleh karena itu, gen rRNA yang telah begitu banyak
disalin kemudian didegradasi kembali oleh berbagai enzim intrasel.

Jika waktu yang tersedia untuk melakukan sintesis sejumlah besar protein cukup banyak,
amplifikasi gen sebenarnya tidak perlu dilakukan. Cara lain untuk mengatasi kebutuhan protein
tersebut adalah dengan meningkatkan masa hidup mRNA (lihat bagian pengaturan translasi).

Pengaturan transkripsi
Berdasarkan atas banyaknya salinan di dalam tiap sel, molekul mRNA dapat dibagi menjadi tiga
kelompok, yaitu (1) mRNA salinan tunggal (single copy), (2) mRNA semiprevalen dengan
jumlah salinan lebih dari satu hingga beberapa ratus per sel, dan (3) mRNA superprevalen
dengan jumlah salinan beberapa ratus hingga beberapa ribu per sel. Molekul mRNA salinan
tunggal dan semiprevalen masing-masing menyandi enzim dan protein struktural. Sementara itu,
mRNA superprevalen biasanya dihasilkan sejalan dengan terjadinya perubahan di dalam suatu
tahap perkembangan organisme eukariot. Sebagai contoh, sel-sel eritroblas di dalam sumsum
tulang belakang mempunyai sejumlah besar mRNA yang dapat ditranslasi menjadi globin
matang. Di sisi lain, hanya sedikit sekali atau bahkan tidak ada globin yang dihasilkan oleh sel-
sel prekursor yang belum berkembang menjadi eritroblas. Dengan demikian, kita dapat
memastikan adanya suatu mekanisme pengaturan ekspresi gen penyandi mRNA superprevalen
pada tahap transkripsi eukariot meskipun hingga kini belum terlalu banyak rincian prosesnya
yang dapat diungkapkan.

Salah satu regulator yang diketahui berperan dalam transkripsi eukariot adalah hormon, molekul
protein kecil yang dibawa dari sel tertentu menuju ke sel target. Mekanisme kerja hormon dalam
mengatur transkripsi eukariot lebih kurang dapat disetarakan dengan induksi pada prokariot.
Namun, penetrasi hormon ke dalam sel target dan pengangkutannya ke dalam nukleus
merupakan proses yang jauh lebih rumit bila dibandingkan dengan induksi oleh laktosa pada E.
coli.

Secara garis besar pengaturan transkripsi oleh hormon dimulai dengan masuknya hormon ke
dalam sel target melewati membran sel, yang kemudian ditangkap oleh reseptor khusus yang
terdapat di dalam sitoplasma sehingga terbentuk kompleks hormon-reseptor. Setelah kompleks
ini terbentuk biasanya reseptor akan mengalami modifikasi struktur kimia. Kompleks hormon-
reseptor yang termodifikasi kemudian menembus dinding nukleus untuk memasuki nukleus.
Proses selanjutnya belum banyak diketahui, tetapi rupanya di dalam nukleus kompleks tersebut,
atau mungkin hormonnya saja, akan mengalami salah satu di antara beberapa peristiwa, yaitu (1)
pengikatan langsung pada DNA, (2) pengikatan pada suatu protein efektor, (3) aktivasi protein
yang terikat DNA, (4) inaktivasi represor, dan (5) perubahan struktur kromatin agar DNA
terbuka bagi enzim RNA polimerase.

Contoh induksi transkripsi oleh hormon antara lain dapat dilihat pada stimulasi sintesis
ovalbumin pada saluran telur (oviduktus) ayam oleh hormon kelamin estrogen. Jika ayam
disuntik dengan estrogen, jaringan-jaringan oviduktus akan memberikan respon berupa sintesis
mRNA untuk ovalbumin. Sintesis ini akan terus berlanjut selama estrogen diberikan, dan hanya
sel-sel oviduktus yang akan menyintesis mRNA tersebut. Hal ini karena sel-sel atau jaringan
lainnya tidak mempunyai reseptor hormon estrogen di dalam sitoplasmanya.

Pengaturan pada tahap prosesing mRNA

Dua jenis sel yang berbeda dapat membuat protein yang sama tetapi dalam jumlah yang berbeda
meskipun transkripsi di dalam kedua sel tersebut terjadi pada gen yang sama. Fenomena ini
seringkali berkaitan dengan adanya molekul-molekul mRNA yang berbeda, yang akan ditranslasi
dengan efisiensi berbeda pula.
Pada tikus, misalnya, ditemukan bahwa perbedaan sintesis enzim α-amilase oleh berbagai
mRNA yang berasal dari gen yang sama dapat terjadi karena adanya perbedaan pola
pembuangan intron. Kelenjar ludah menghasilkan α-amilase lebih banyak daripada yang
dihasilkan oleh jaringan hati meskipun gen yang ditranskripsi sama. Jadi, dalam hal ini transkrip
primernya sebenarnya sama, tetapi kemudian ada perbedaan mekanisme prosesing, khususnya
pada penyatuan (splicing) mRNA.

Pengaturan translasi

Berbeda dengan translasi mRNA pada prokariot yang terjadi dalam jumlah yang lebih kurang
sama, pada eukariot ada mekanisme pengaturan translasi. Macam-macam pengaturan tersebut
adalah (1) kondisi bahwa mRNA tidak akan ditranslasi sama sekali sebelum datangnya suatu
sinyal, (2) pengaturan umur (lifetime) molekul mRNA, dan (3) pengaturan laju seluruh sintesis
protein.

Telur yang tidak dibuahi secara biologi bersifat statis. Akan tetapi, begitu fertilisasi terjadi,
sejumlah protein akan disintesis. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam sel telur yang belum
dibuahi akan dijumpai sejumlah mRNA yang menantikan datangnya sinyal untuk translasi.
Sinyal tersebut tidak lain adalah fertilisasi oleh spermatozoon, sedangkan molekul mRNA yang
belum ditranslasi itu dinamakan mRNA tersembunyi (masked mRNA).

Pengaturan umur mRNA juga dijumpai pada telur yang belum dibuahi. Sel telur ini akan
mempertahankan diri untuk tidak mengalami pertumbuhan atau perkembangan. Dengan
demikian, laju sintesis protein menjadi sangat rendah. Namun, hal ini bukan akibat kurangnya
pasokan mRNA, melainkan karena terbatasnya ketersediaan suatu unsur yang dinamakan faktor
rekrutmen. Hingga kini belum diketahui hakekat unsur tersebut, tetapi rupanya berperan dalam
pembentukan kompleks ribosom-mRNA.

Sintesis beberapa protein tertentu diatur oleh aktivitas protein itu sendiri terhadap mRNA.
Sebagai contoh, konsentrasi suatu jenis molekul antibodi dipertahankan konstan oleh mekanisme
inhibisi atau penghambatan diri dalam proses translasi. Jadi, molekul antibodi tersebut berikatan
secara khusus dengan molekul mRNA yang menyandinya sehingga inisiasi translasi akan
terhambat.

Sintesis beberapa protein dari satu segmen DNA

Pada prokariot terdapat mRNA polisistronik yang menyandi semua produk gen. Sebaliknya,
pada eukariot tidak pernah dijumpai mRNA polisistronik, tetapi ada kondisi yang dapat
disetarakan dengannya, yakni sintesis poliprotein. Poliprotein adalah polipeptida berukuran
besar yang setelah berakhirnya translasi akan terpotong-potong untuk menghasilkan sejumlah
molekul protein yang utuh. Tiap protein ini dapat dilihat sebagai produk satu gen tunggal.

Dalam sistem semacam itu urutan penyandi pada masing-masing gen tidak saling dipisahkan
oleh kodon stop dan kodon awal, tetapi dipisahkan oleh urutan asam amino tertentu yang dikenal
sebagai tempat pemotongan (cleavage sites) oleh enzim protease tertentu. Tempat-tempat
pemotongan ini tidak akan berfungsi serempak, tetapi bergantian mengikuti suatu urutan.
11/01/2009 Posted by zaifbio | Genetika Dasar | Tinggalkan Sebuah Komentar

MATERI GENETIK

BAB IX

MATERI GENETIK

 Pembuktian DNA sebagai Materi Genetik


 Pembuktian RNA sebagai Materi Genetik pada Virus Tertentu
 Model Struktur Molekul DNA menurut Watson-Crick
 Tiga Fungsi Materi Genetik
 Replikasi Semi Konservatif
 Replikasi Θ dan Replikasi Lingkaran Menggulung

BAB IX. MATERI GENETIK

Pada tahun 1868 seorang mahasiswa kedokteran di Swedia, J.F. Miescher, menemukan suatu zat
kimia bersifat asam yang banyak mengandung nitrogen dan fosfor. Zat ini diisolasi dari nukleus
sel nanah manusia dan kemudian dikenal dengan nama nuklein atau asam nukleat. Meskipun
ternyata asam nukleat selalu dapat diisolasi dari nukleus berbagai macam sel, waktu itu
fungsinya sama sekali belum diketahui.

Dari hasil analisis kimia yang dilakukan sekitar empat puluh tahun kemudian ditemukan bahwa
asam nukleat ada dua macam, yaitu asam deoksiribonukleat atau deoxyribonucleic acid (DNA)
dan asam ribonukleat atau ribonucleic acid (RNA). Pada tahun 1924 studi mikroskopis
menunjukkan bahwa DNA terdapat di dalam kromosom, yang waktu itu telah diketahui sebagai
organel pembawa gen (materi genetik). Akan tetapi, selain DNA di dalam kromosom juga
terdapat protein sehingga muncul perbedaan pendapat mengenai hakekat materi genetik, DNA
atau protein.

Dugaan DNA sebagai materi genetik secara tidak langsung sebenarnya dapat dibuktikan dari
kenyataan bahwa hampir semua sel somatis pada spesies tertentu mempunyai kandungan DNA
yang selalu tetap, sedangkan kandungan RNA dan proteinnya berbeda-beda antara satu sel dan
sel yang lain. Di samping itu, nukleus hasil meiosis baik pada tumbuhan maupun hewan
mempunyai kandungan DNA separuh kandungan DNA di dalam nukleus sel somatisnya.

Meskipun demikian, dalam kurun waktu yang cukup lama fakta semacam itu tidak cukup kuat
untuk meyakinkan bahwa DNA adalah materi genetik. Hal ini terutama karena dari hasil analisis
kimia secara kasar terlihat kurangnya variasi kimia pada molekul DNA. Di sisi lain, protein
dengan variasi kimia yang tinggi sangat memenuhi syarat sebagai materi genetik. Oleh karena
itu, selama bertahun-tahun protein lebih diyakini sebagai materi genetik, sementara DNA hanya
merupakan kerangka struktur kromosom. Namun, pada pertengahan tahun 1940-an terbukti
bahwa justru DNA-lah yang merupakan materi genetik pada sebagian besar organisme.

DNA sebagai Materi Genetik

Ada dua bukti percobaan yang menunjukkan bahwa DNA adalah materi genetik. Masing-masing
akan diuraikan berikut ini.

Percobaan transformasi

F. Griffith pada tahun 1928 melakukan percobaan infeksi bakteri pneumokokus (Streptococcus
pneumonia) pada mencit. Bakteri penyebab penyakit pneumonia ini dapat menyintesis kapsul
polisakarida yang akan melindunginya dari mekanisme pertahanan tubuh hewan yang terinfeksi
sehingga bersifat virulen (menimbulkan penyakit). Jika ditumbuhkan pada medium padat, bakteri
pneumokokus akan membentuk koloni dengan kenampakan halus mengkilap. Sementara itu, ada
pula strain mutan pneumokokus yang kehilangan kemampuan untuk menyintesis kapsul
polisakarida sehingga menjadi tidak tahan terhadap sistem kekebalan tubuh hewan inangnya, dan
akibatnya tidak bersifat virulen. Strain mutan ini akan membentuk koloni dengan kenampakan
kasar apabila ditumbuhkan pada medium padat. Pneumokokus yang virulen sering dilambangkan
dengan S, sedangkan strain mutannya yang tidak virulen dilambangkan dengan R.

Mencit yang diinfeksi dengan pneumokokus S akan mengalami kematian, dan dari organ paru-
parunya dapat diisolasi strain S tersebut. Sebaliknya, mencit yang diinfeksi dengan strain R dapat
bertahan hidup. Demikian juga, mencit yang diinfeksi dengan strain S yang sebelumnya telah
dipanaskan terlebih dahulu akan dapat bertahan hidup. Hasil yang mengundang pertanyaan
adalah ketika mencit diinfeksi dengan campuran antara strain S yang telah dipanaskan dan strain
R yang masih hidup. Ternyata dengan perlakuan ini mencit mengalami kematian, dan dari organ
paru-parunya dapat diisolasi strain S yang masih hidup.

Dengan hasil tersebut Griffith menyimpulkan bahwa telah terjadi perubahan (transformasi) sifat
strain R menjadi S. Transformasi terjadi karena ada sesuatu yang dipindahkan dari sel-sel strain
S yang telah mati (dipanaskan) ke strain R yang masih hidup sehingga strain R yang semula
tidak dapat membentuk kapsul berubah menjadi strain S yang dapat membentuk kapsul dan
bersifat virulen.

Percobaan Griffith sedikit pun tidak memberikan bukti tentang materi genetik. Namun, pada
tahun 1944 tiga orang peneliti, yakni O. Avery, C. MacLeod, dan M. McCarty melakukan
percobaan untuk mengetahui hakekat materi yang dipindahkan dari strain S ke strain R.

Mereka melakukan percobaan transformasi secara in vitro, yaitu dengan menambahkan ekstrak
DNA dari strain S yang telah mati kepada strain R yang ditumbuhkan di medium padat. Di
dalam ekstrak DNA ini terdapat juga sejumlah protein kontaminan, dan penambahan tersebut
ternyata menyebabkan strain R berubah menjadi S seperti pada percobaan Griffith. Jika pada
percobaan Avery dan kawan-kawannya itu ditambahkan enzim RNase (pemecah RNA) atau
enzim protease (pemecah protein), transformasi tetap berjalan atau strain R berubah juga menjadi
S. Akan tetapi, jika enzim yang diberikan adalah DNase (pemecah DNA), maka transformasi
tidak terjadi. Artinya, strain R tidak berubah menjadi strain S. Hal ini jelas membuktikan bahwa
materi yang bertanggung jawab atas terjadinya transformasi pada bakteri pneumonia, dan
ternyata juga pada hampir semua organisme, adalah DNA, bukan RNA atau protein.

kultur strain S

ekstraksi DNA

ekstrak DNA + protein kontaminan

ditambahkan ke kultur strain R

protease RNase DNase

kultur kultur kultur

strain R strain R strain R

strain R + S strain R + S strain R

Gambar 9.1. Diagram percobaan transformasi yang

membuktikan DNA sebagai materi genetik

Percobaan infeksi bakteriofag

Percobaan lain yang membuktikan bahwa DNA adalah materi genetik dilaporkan pada tahun
1952 oleh A. Hershey dan M. Chase. Percobaan dilakukan dengan mengamati reproduksi
bakteriofag (virus yang menyerang bakteri) T2 di dalam sel bakteri inangnya, yaitu Escherichia
coli. Sebelumnya, cara berlangsungnya infeksi T2 pada E. coli telah diketahui (lihat Bab XII).
Mula-mula partikel T2 melekatkan ujung ekornya pada dinding sel E. coli, diikuti oleh
masuknya materi genetik T2 ke dalam sel E. coli sehingga memungkinkan terjadinya
penggandaan partikel T2 di dalam sel inangnya itu. Ketika hasil penggandaan partikel T2 telah
mencapai jumlah yang sangat besar, sel E. coli akan mengalami lisis. Akhirnya, partikel-partikel
T2 yang keluar akan mencari sel inang yang baru, dan siklus reproduksi tadi akan terulang
kembali.
Bakteriofag T2 diketahui mempunyai kandungan protein dan DNA dalam jumlah yang lebih
kurang sama. Untuk memastikan sifat kimia materi genetik yang dimasukkan ke dalam sel inang
dilakukan pelabelan terhadap molekul protein dan DNAnya. Protein, yang umumnya banyak
mengandung sulfur tetapi tidak mengandung fosfor dilabeli dengan radioisotop 35S. Sebaliknya,
DNA yang sangat banyak mengandung fosfor tetapi tidak mengandung sulfur dilabeli dengan
radioisotop 32P.

materi genetik masuk

dilabeli dengan 35S dan 32P ke sel inang

banyak

sel
didapatkan
35 inang
S
lisis

banyak

Gambar 9.2.
didapatkan
32
PDaur hidup
bakteriofag
T2 dan diagram percobaan infeksi T2 pada E. coli yang membuktikan DNA sebagai materi
genetik

Bakteriofag T2 dengan protein yang telah dilabeli diinfeksikan pada E. coli. Dengan
sentrifugasi, sel-sel E. coli ini kemudian dipisahkan dari partikel-partikel T2 yang sudah tidak
melekat lagi pada dinding selnya. Ternyata di dalam sel-sel E. coli sangat sedikit ditemukan
radioisotop 35S, sedangkan pada partikel-partikel T2 masih banyak didapatkan radioisotop
tersebut. Apabila dengan cara yang sama digunakan bakteriofag T2 yang dilabeli DNAnya, maka
di dalam sel-sel E. coli ditemukan banyak sekali radiosiotop 32P, sedangkan pada partikel-
partikel T2 hanya ada sedikit sekali radioisotop tersebut. Hasil percobaan ini jelas menunjukkan
bahwa materi genetik yang dimasukkan oleh bakteriofag T2 ke dalam sel E. coli adalah materi
yang dilabeli dengan 32P atau DNA, bukannya protein.

RNA sebagai Materi Genetik pada Beberapa Virus

Beberapa virus tertentu diketahui tidak mempunyai DNA, tetapi hanya tersusun dari RNA dan
protein. Untuk memastikan di antara kedua makromolekul tersebut yang berperan sebagai materi
genetik, antara lain telah dilakukan percobaan rekonstitusi yang dilaporkan oleh H. Fraenkel-
Conrat dan B. Singer pada tahun 1957.

Mereka melakukan penelitian pada virus mozaik tembakau atau tobacco mozaic virus (TMV),
yaitu virus yang menyebabkan timbulnya penyakit mozaik pada daun tembakau. Virus ini
mengandung molekul RNA yang terbungkus di dalam selubung protein. Dengan perlakuan kimia
tertentu molekul RNA dapat dipisahkan dari selubung proteinnya untuk kemudian digabungkan
(direkonstitusi) dengan selubung protein dari strain TMV yang lain.

protein

RNA

pemisahan rekonstitusi infeksi ke daun

RNA dari tembakau

protein

Gambar 9.3. Percobaan yang membuktikan RNA sebagai materi genetik pada TMV

= TMV strain A = TMV strain B

RNA dari strain A direkonstitusi dengan protein strain B. Sebaliknya, RNA dari strain B
direkonstitusi dengan protein dari strain A. Kedua TMV hasil rekonstitusi ini kemudian
diinfeksikan ke inangnya (daun tembakau) agar mengalami penggandaan. TMV hasil
penggandaan ternyata merupakan strain A jika RNAnya berasal dari strain A dan merupakan
strain B jika RNAnya berasal dari strain B. Jadi, faktor yang menentukan strain hasil
penggandaan adalah RNA, bukan protein. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa materi
genetik pada virus-virus yang tidak mempunyai DNA, seperti halnya TMV, adalah RNA.

Komposisi Kimia Asam Nukleat

Hasil analisis kimia asam nukleat menunjukkan bahwa makromolekul ini tersusun dari subunit-
subunit berulang (monomer) yang disebut nukleotida sehingga asam nukleat dapat juga
dikatakan sebagai polinukleotida. Nukleotida yang satu dengan nukleotida berikutnya
dihubungkan oleh ikatan fosfodiester yang sangat kuat. Tiap nukleotida terdiri atas tiga
komponen, yaitu gugus fosfat, gula pentosa (gula dengan lima atom karbon), dan basa nukleotida
atau basa nitrogen (basa siklik yang mengandung nitrogen). Pada DNA basa nitrogen berikatan
secara kimia dengan gula pentosa membentuk molekul yang disebut nukleosida sehingga setiap
nukleotida pada DNA dapat disebut juga sebagai nukleosida monofosfat.

Gula pentosa pada DNA adalah 2-deoksiribosa, sedangkan pada RNA adalah ribosa. Menurut
kebiasaan, penomoran atom C pada gula pentosa dilakukan menggunakan tanda aksen (’) untuk
membedakannya dengan penomoran atom C pada basa nitrogen. Atom C pada gula pentosa yang
berikatan dengan basa nitrogen ditentukan sebagai atom C pertama (1’). Atom C nomor 2’ pada
DNA tidak mengikat gugus OH seperti halnya pada RNA, tetapi mengikat gugus H sehingga
gula pentosanya dinamakan deoksiribosa.

Sementara tu, basa nitrogen ada dua macam, yakni basa dengan cincin rangkap atau disebut
purin dan basa dengan cincin tunggal atau disebut pirimidin. Basa purin, baik pada DNA
maupun RNA, dapat berupa adenin (A) atau guanin (G), sedangkan basa pirimidin pada DNA
dapat berupa sitosin (C) atau timin (T). Pada RNA tidak terdapat basa timin, tetapi diganti
dengan urasil (U).

Biasanya DNA mempunyai struktur sebagai molekul polinukleotida untai ganda, sedangkan
RNA adalah polinukleotida untai tunggal. Ini merupakan perbedaan lain di antara kedua macam
asam nukleat tersebut.

O P=O gugus fosfat

5’CH2OH O 5’CH2OH O

OH OH

4’ 1’ 4’ 1’

H H H H H H H H

3’ 2’ 3’ 2’

OH H OH OH

gula 2-deoksiribosa gula ribosa

NH2 O

N N
N 6 5 7 8 H H N 6 5 7 8 H

1 1

H 2 4 9 NH2 2 4 9

3 N H 3 N H

N N

adenin guanin

NH2 O O

4 4 4

N3 5 H H N3 5 CH3 H N3 5 H

2 1 6 H 2 1 6 H 2 1 6 H

O NH O NH O NH

sitosin timin urasil

Gambar 9.4. Komponen kimia asam nukleat

Model Struktur DNA Watson-Crick

Model struktur fisik molekul DNA pertama kali diajukan pada tahun 1953 oleh J.D. Watson dan
F.H.C. Crick. Ada dua dasar yang digunakan dalam melakukan deduksi terhadap model tersebut,
yaitu

1. Hasil analisis kimia yang dilakukan oleh E. Chargaff terhadap kandungan basa nitrogen molekul
DNA dari berbagai organisme selalu menunjukkan bahwa konsentrasi adenin sama dengan
timin, sedangkan guanin sama dengan sitosin. Dengan sendirinya, konsentrasi basa purin total
menjadi sama dengan konsentrasi basa pirimidin total. Akan tetapi, nisbah konsentrasi adenin +
timin terhadap konsentrasi guanin + sitosin sangat bervariasi dari spesies ke spesies.
2. Pola difraksi yang diperoleh dari hasil pemotretan molekul DNA menggunakan sinar X oleh
M.H.F. Wilkins, R. Franklin, dan para koleganya menunjukkan bahwa basa-basa nitrogen
tersusun vertikal di sepanjang sumbu molekul dengan interval 3,4 Å.

Dari data kimia Chargaff serta difraksi sinar X Wilkins dan Franklin tersebut Watson dan Crick
mengusulkan model struktur DNA yang dikenal sebagai model tangga berpilin (double helix).
Menurut model ini kedua untai polinukleotida saling memilin di sepanjang sumbu yang sama.
Satu sama lain arahnya sejajar tetapi berlawanan (antiparalel). Basa-basa nitrogen menghadap
ke arah dalam sumbu, dan terjadi ikatan hidrogen antara basa A pada satu untai dan basa T pada
untai lainnya. Begitu pula, basa G pada satu untai selalu berpasangan dengan basa C pada untai
lainnya melalui ikatan hidrogen. Oleh karena itu, begitu urutan basa pada satu untai
polinukleotida diketahui, maka urutan basa pada untai lainnya dapat ditentukan pula. Adanya
perpasangan yang khas di antara basa-basa nitrogen itu menyebabkan kedua untai polinukleotida
komplementer satu sama lain.

Setiap pasangan basa berjarak 3,4 Å dengan pasangan basa berikutnya. Di dalam satu kali pilinan
(360°) terdapat 10 pasangan basa. Antara basa A dan T yang berpasangan terdapat ikatan
hidrogen rangkap dua, sedangkan antara basa G dan C yang berpasangan terdapat ikatan
hidrogen rangkap tiga. Hal ini menyebabkan nisbah A+T terhadap G+C mempengaruhi stabilitas
molekul DNA. Makin tinggi nisbah tersebut, makin rendah stabilitas molekul DNAnya, dan
begitu pula sebaliknya.

Gugus fosfat dan gula terletak di sebelah luar sumbu. Seperti telah disebutkan di atas,
nukleotida-nukleotida yang berurutan dihubungkan oleh ikatan fosfodiester. Ikatan ini
menghubungkan atom C nomor 3’ dengan atom C nomor 5’ pada gula deoksiribosa. Di salah
satu ujung untai polinukleotida, atom C nomor 3’ tidak lagi dihubungkan oleh ikatan fosfodiester
dengan nukleotida berikutnya, tetapi akan mengikat gugus OH. Oleh karena itu, ujung ini
dinamakan ujung 3’ atau ujung OH. Di ujung lainnya atom C nomor 5’ akan mengikat gugus
fosfat sehingga ujung ini dinamakan ujung 5’ atau ujung P. Kedudukan antiparalel di antara
kedua untai polinukleotida sebenarnya dilihat dari ujung-ujung ini. Jika untai yang satu
mempunyai arah dari ujung 5’ ke 3’, maka untai komplementernya mempunyai arah dari ujung
3’ ke 5’.

OH(3’)

P(5’)

P
P

P(5’)

OH(3’) Gambar 9.5 Diagram struktur molekul DNA

= gula = adenin = timin = guanin = sitosin

Fungsi Materi Genetik

Setelah terbukti bahwa DNA merupakan materi genetik pada sebagian besar organisme, kita
akan melihat fungsi yang harus dapat dilaksanakan oleh molekul tersebut sebagai materi genetik.
Dalam beberapa dasawarsa pertama semenjak gen dikemukakan sebagai faktor yang diwariskan
dari generasi ke generasi, sifat-sifat molekulernya baru sedikit sekali terungkap. Meskipun
demikan, ketika itu telah disepakati bahwa gen sebagai materi genetik, yang sekarang ternyata
adalah DNA, harus dapat menjalankan tiga fungsi pokok berikut ini.

1. Materi genetik harus mampu menyimpan informasi genetik dan dengan tepat dapat
meneruskan informasi tersebut dari tetua kepada keturunannya, dari generasi ke generasi.
Fungsi ini merupakan fungsi genotipik, yang dilaksanakan melalui replikasi. Bagian setelah ini
akan membahas replikasi DNA.
2. Materi genetik harus mengatur perkembangan fenotipe organisme. Artinya, materi genetik
harus mengarahkan pertumbuhan dan diferensiasi organisme mulai dari zigot hingga individu
dewasa. Fungsi ini merupakan fungsi fenotipik, yang dilaksanakan melalui ekspresi gen (Bab X).
3. Materi genetik sewaktu-waktu harus dapat mengalami perubahan sehingga organisme yang
bersangkutan akan mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang berubah. Tanpa
perubahan semacam ini, evolusi tidak akan pernah berlangsung. Fungsi ini merupakan fungsi
evolusioner, yang dilaksanakan melalui peristiwa mutasi (Bab XI).

Replikasi DNA

Ada tiga cara teoretis replikasi DNA yang pernah diusulkan, yaitu konservatif, semikonservatif,
dan dispersif. Pada replikasi konservatif seluruh tangga berpilin DNA awal tetap dipertahankan
dan akan mengarahkan pembentukan tangga berpilin baru. Pada replikasi semikonservatif tangga
berpilin mengalami pembukaan terlebih dahulu sehingga kedua untai polinukleotida akan saling
terpisah. Namun, masing-masing untai ini tetap dipertahankan dan akan bertindak sebagai
cetakan (template) bagi pembentukan untai polinukleotida baru. Sementara itu, pada replikasi
dispersif kedua untai polinukleotida mengalami fragmentasi di sejumlah tempat. Kemudian,
fragmen-fragmen polinukleotida yang terbentuk akan menjadi cetakan bagi fragmen nukleotida
baru sehingga fragmen lama dan baru akan dijumpai berselang-seling di dalam tangga berpilin
yang baru.
konservatif semikonservatif dispersif

Gambar 9.6. Tiga cara teoretis replikasi DNA

= untai lama = untai baru

Di antara ketiga cara replikasi DNA yang diusulkan tersebut, hanya cara semikonservatif yang
dapat dibuktikan kebenarannya melalui percobaan yang dikenal dengan nama sentrifugasi
seimbang dalam tingkat kerapatan atau equilibrium density-gradient centrifugation.
Percobaan ini dilaporkan hasilnya pada tahun 1958 oleh M.S. Meselson dan F.W. Stahl.

Mereka menumbuhkan bakteri Escherichia coli selama beberapa generasi di dalam medium yang
mengandung isotop nitrogen 15N untuk menggantikan isotop nitrogen normal 14N yang lebih
ringan. Akibatnya, basa-basa nitrogen pada molekul DNA sel-sel bakteri tersebut akan memiliki
15
N yang berat. Molekul DNA dengan basa nitrogen yang mengandung 15N mempunyai tingkat
kerapatan (berat per satuan volume) yang lebih tinggi daripada DNA normal (14N). Oleh karena
molekul-molekul dengan tingkat kerapatan yang berbeda dapat dipisahkan dengan cara
sentrifugasi tersebut di atas, maka Meselson dan Stahl dapat mengikuti perubahan tingkat
kerapatan DNA sel-sel bakteri E. coli yang semula ditumbuhkan pada medium 15N selama
beberapa generasi, kemudian dikembalikan ke medium normal 14N selama beberapa generasi
berikutnya.

Molekul DNA mempunyai kerapatan yang lebih kurang sama dengan kerapatan larutan garam
yang sangat pekat seperti larutan 6M CsCl (sesium khlorida). Sebagai perbandingan, kerapatan
DNA E.coli dengan basa nitrogen yang mengandung isotop 14N dan 15N masing-masing adalah
1,708 g/cm3 dan 1,724 g/cm3, sedangkan kerapatan larutan 6M CsCl adalah 1,700 g/cm3.
Ketika larutan 6M CsCl yang di dalamnya terdapat molekul DNA disentrifugasi dengan
kecepatan sangat tinggi, katakanlah 30.000 hingga 50.000 rpm, dalam waktu 48 hingga 72 jam,
maka akan terjadi keseimbangan tingkat kerapatan. Hal ini karena molekul-molekul garam
tersebut akan mengendap ke dasar tabung sentrifuga akibat adanya gaya sentrifugal, sementara di
sisi lain difusi akan menggerakkan molekul-molekul garam kembali ke atas tabung. Molekul
DNA dengan tingkat kerapatan tertentu akan menempati kedudukan yang sama dengan
kedudukan larutan garam yang tingkat kerapatannya sama dengannya.

DNA yang diekstrak dari sel E. coli yang ditumbuhkan pada medium 15N terlihat menempati
dasar tabung. Selanjutnya, DNA yang diekstrak dari sel E.coli yang pertama kali dipindahkan
kembali ke medium 14N terlihat menempati bagian tengah tabung. Pada generasi kedua setelah
E.coli ditumbuhkan pada medium 14N ternyata DNAnya menempati bagian tengah dan atas
tabung. Ketika E.coli telah ditumbuhkan selama beberapa generasi pada medium 14N, DNAnya
nampak makin banyak berada di bagian atas tabung, sedangkan DNA yang berada di bagian
tengah tabung tetap. Meselson dan Stahl menjelaskan bahwa pada generasi 15N, atau dianggap
sebagai generasi 0, DNAnya mempunyai kerapatan tinggi. Kemudian, pada generasi 14N yang
pertama, atau disebut sebagai generasi 1, DNAnya merupakan hibrid antara DNA dengan
kerapatan tinggi dan rendah. Pada generasi 2 DNA hibridnya masih ada, tetapi muncul pula
DNA baru dengan kerapatan rendah. Demikian seterusnya, DNA hibrid akan tetap jumlahnya,
sedangkan DNA baru dengan kerapatan rendah akan makin banyak dijumpai. Pada Gambar 9.7
terlihat bahwa interpretasi data hasil percobaan sentrifugasi ini jelas sejalan dengan cara
pembentukan molekul DNA melalui replikasi semikonservatif.

medium 15N ekstrak DNA

(generasi 0)

ekstrak DNA
medium 14N (generasi 1)

ekstrak DNA

(generasi 2)

medium 14N

ekstrak DNA

medium 14N (generasi 3)

interpretasi data hasil sentrifugasi DNA

Gambar 9.7. Diagram percobaan Meselson dan Stahl yang memperlihatkan

replikasi DNA secara semikonservatif

Pada percobaan Meselson dan Stahl ekstrak DNA yang diperoleh dari sel-sel E. coli berada
dalam keadaan terfragmentasi sehingga replikasi molekul DNA dalam bentuknya yang utuh
sebenarnya belum diketahui. Replikasi DNA kromosom dalam keadaan utuh _ yang pada
prokariot ternyata berbentuk melingkar atau sirkular _ baru dapat diamati menggunakan teknik
autoradiografi dan mikroskopi elektron. Dengan kedua teknik ini terlihat bahwa DNA berbagai
virus, khloroplas, dan mitokhondria melakukan replikasi yang dikenal sebagai replikasi θ (theta)
karena autoradiogramnya menghasilkan gambaran seperti huruf Yunani tersebut. Selain replikasi
θ, pada sejumlah bakteri dan organisme eukariot dikenal pula replikasi yang dinamakan
replikasi lingkaran menggulung (rolling circle replication). Replikasi ini diawali dengan
pemotongan ikatan fosfodiester pada daerah tertentu yang menghasilkan ujung 3’ dan ujung 5’.
Pembentukan (sintesis) untai DNA baru terjadi dengan penambahan deoksinukleotida pada ujung
3’ yang diikuti oleh pelepasan ujung 5’ dari lingkaran molekul DNA. Sejalan dengan
berlangsungnya replikasi di seputar lingkaran DNA, ujung 5’ akan makin terlepas dari lingkaran
tersebut sehingga membentuk ’ekor’ yang makin memanjang (Gambar 9.8).

penambahan

nukleotida

ujung 3’

tempat ujung 5’ pelepasan ujung 5’ pemanjangan ’ekor’

terpotongnya ikatan fosfodiester

Gambar 9.8. Replikasi lingkaran menggulung

= untai lama = untai baru

Dimulainya (inisiasi) replikasi DNA terjadi di suatu tempat tertentu di dalam lingkaran molekul
DNA yang dinamakan titik awal replikasi atau origin of replication (ori). Proses inisiasi ini
ditandai oleh saling memisahnya kedua untai DNA, yang masing-masing akan berperan sebagai
cetakan bagi pembentukan untai DNA baru sehingga akan diperoleh suatu gambaran yang
disebut sebagai garpu replikasi. Biasanya, inisiasi replikasi DNA, baik pada prokariot maupun
eukariot, terjadi dua arah (bidireksional). Dalam hal ini dua garpu replikasi akan bergerak
melebar dari ori menuju dua arah yang berlawanan. Pada eukariot, selain terjadi replikasi dua
arah, ori dapat ditemukan di beberapa tempat.

Enzim-enzim yang berperan dalam replikasi DNA

Replikasi DNA, atau sintesis DNA, melibatkan sejumlah reaksi kimia yang diatur oleh beberapa
enzim. Salah satu diantaranya adalah enzim DNA polimerase, yang mengatur pembentukan
ikatan fosfodiester antara dua nukleotida yang berdekatan sehingga akan terjadi pemanjangan
untai DNA (polinukleotida).

Agar DNA polimerase dapat bekerja mengatalisis reaksi sintesis DNA, diperlukan tiga
komponen reaksi, yaitu
1. Deoksinukleosida trifosfat, yang terdiri atas deoksiadenosin trifosfat (dATP), deoksiguanosin
trifosfat (dGTP), deoksisitidin trifosfat (dCTP), dan deoksitimidin trifosfat (dTTP). Keempat
molekul ini berfungsi sebagai sumber basa nukleotida.
1. Untai DNA yang akan digunakan sebagai cetakan (template).
2. Segmen asam nukleat pendek, dapat berupa DNA atau RNA, yang mempunyai gugus 3’-
OH bebas. Molekul yang dinamakan primer ini diperlukan karena tidak ada enzim DNA
polimerase yang diketahui mampu melakukan inisiasi sintesis DNA.

Reaksi sintesis DNA secara skema dapat dilihat pada Gambar 9.9. Dalam gambar tersebut
sebuah molekul dGTP ditambahkan ke molekul primer yang terdiri atas tiga nukleotida (A-C-A).
Penambahan dGTP terjadi karena untai DNA cetakannya mempunyai urutan basa T-G-T-C- . . . .
. Hasil penambahan yang diperoleh adalah molekul DNA yang terdiri atas empat nukleotida (A-
C-A-G). Dua buah atom fosfat (PPi) dilepaskan dari dGTP karena sebuah atom fosfatnya
diberikan ke primer dalam bentuk nukleotida dengan basa G atau deoksinukleosida monofosfat
(dGMP). Kita lihat bahwa sintesis DNA (penambahan basa demi basa) berlangsung dari ujung
5’ ke ujung 3’.

T G T C . . . . . DNA cetakan T G T C......

A C A A C A G

dGTP PPi

3’ 3’ 3’ 3’ 3’ 3’ 3’

P P P OH DNA polimerase P P P P OH

5’ 5’ 5’ Mg2+ 5’ 5’ 5’ 5’

Gambar 9.9. Skema reaksi sintesis DNA

Enzim DNA polimerase yang diperlukan untuk sintesis DNA pada E. coli ada dua macam, yaitu
DNA polimerase I (Pol I) dan DNA polimerase III (Pol III). Dalam sintesis DNA, Pol III
merupakan enzim replikasi yang utama, sedangkan enzim Pol I memegang peran sekunder.
Sementara itu, enzim DNA polimerase untuk sintesis DNA kromosom pada eukariot disebut
polimerase α.

Selain mampu melakukan pemanjangan atau polimerisasi DNA, sebagian besar enzim DNA
polimerase mempunyai aktivitas nuklease, yaitu pembuangan molekul nukleotida dari untai
polinukleotida. Aktivitas nuklease dapat dibedakan menjadi (1) eksonuklease atau pembuangan
nukleotida dari ujung polinukleotida dan (2) endonuklease atau pemotongan ikatan fosfodiester
di dalam untai polinukleotida.

Enzim Pol I dan Pol III dari E. coli mempunyai aktivitas eksonuklease yang hanya bekerja pada
ujung 3’. Artinya, pemotongan terjadi dari ujung 3’ ke arah ujung 5’. Hal ini bermanfaat untuk
memperbaiki kesalahan sintesis DNA atau kesalahan penambahan basa, yang bisa saja terjadi
meskipun sangat jarang (sekitar satu di antara sejuta basa !). Kesalahan penambahan basa pada
untai polinukleotida yang sedang tumbuh (dipolimerisasi) menjadikan basa-basa salah
berpasangan, misalnya A dengan C. Fungsi perbaikan kesalahan yang dijalankan oleh enzim Pol
I dan III tersebut dinamakan fungsi penyuntingan (proofreading). Khusus enzim Pol I ternyata
juga mempunyai aktivitas eksonuklease 5’→ 3’ di samping aktivitas eksonuklease 3’→5’ (lihat
juga Bab XI).

Enzim lain yang berperan dalam proses sintesis DNA adalah primase. Enzim ini bekerja pada
tahap inisiasi dengan cara mengatur pembentukan molekul primer di daerah ori. Setelah primer
terbentuk barulah DNA polimerase melakukan elongasi atau pemanjangan untai DNA.

Tahap inisiasi sintesis DNA juga melibatkan enzim DNA girase dan protein yang
mendestabilkan pilinan (helix destabilizing protein). Kedua enzim ini berperan dalam
pembukaan pilinan di antara kedua untai DNA sehingga kedua untai tersebut dapat saling
memisah.

Pada bagian berikut ini akan dijelaskan bahwa sintesis DNA baru tidak hanya terjadi pada salah
satu untai DNA, tetapi pada kedua-duanya. Hanya saja sintesis DNA pada salah satu untai
berlangsung tidak kontinyu sehingga menghasilkan fragmen yang terputus-putus. Untuk
menyambung fragmen-fragmen ini diperlukan enzim yang disebut DNA ligase.

Replikasi pada kedua untai DNA

Proses replikasi DNA yang kita bicarakan di atas sebenarnya barulah proses yang terjadi pada
salah satu untai DNA. Untai DNA tersebut sering dinamakan untai pengarah (leading strand).
Sintesis DNA baru pada untai pengarah ini berlangsung secara kontinyu dari ujung 5’ ke ujung
3’ atau bergerak di sepanjang untai pengarah dari ujung 3’ ke ujung 5’.

Pada untai DNA pasangannya ternyata juga terjadi sintesis DNA baru dari ujung 5’ ke ujung 3’
atau bergerak di sepanjang untai DNA cetakannya ini dari ujung 3’ ke ujung 5’. Namun, sintesis
DNA pada untai yang satu ini tidak berjalan kontinyu sehingga menghasilkan fragmen terputus-
putus, yang masing-masing mempunyai arah 5’→ 3’. Terjadinya sintesis DNA yang tidak
kontinyu sebenarnya disebabkan oleh sifat enzim DNA polimerase yang hanya dapat
menyintesis DNA dari arah 5’ ke 3’ serta ketidakmampuannya untuk melakukan inisiasi sintesis
DNA.

Untai DNA yang menjadi cetakan bagi sintesis DNA tidak kontinyu itu disebut untai tertinggal
(lagging strand). Sementara itu, fragmen-fragmen DNA yang dihasilkan dari sintesis yang tidak
kontinyu dinamakan fragmen Okazaki, sesuai dengan nama penemunya. Seperti telah
dikemukakan di atas, fragmen-fragmen Okazaki akan disatukan menjadi sebuah untai DNA yang
utuh dengan bantuan enzim DNA ligase.
ori untai tertinggal

5’ 3’ 5’ 3’ 5’

3’ fragmen-fragmen 3’ 5’

3’ 5’ Okazaki

5’ 3’ 5’ 3’

untai baru kontinyu

untai pengarah

Gambar 9.10. Diagram replikasi pada kedua untai DNA

11/01/2009 Posted by zaifbio | Genetika Dasar | 5 Komentar

Sterilitas Jantan pada Jagung

hingga dihasilkan delapan mikronuklei haploid, yang tujuh di antaranya akan mengalami
degenerasi. Satu mikronukleus yang tersisa mengalami mitosis menjadi dua mikronuklei yang
juga haploid. Selanjutnya, membran sel di tempat kedua sel berlekatan akan rusak sehingga
terjadi pertukaran salah satu mironuklei antarsel, yang diikuti dengan fusi kedua mikronuklei
menjadi satu mikronukleus diploid. Mulai tahap ini kedua sel (ekskonjugan) secara genetik
menjadi sama.

Fase aseksual juga diawali dengan meiosis mikronuklei menjadi delapan mikronuklei haploid,
yang tujuh di antaranya mengalami degenerasi. Satu mikronukleus yang tersisa mengalami
mitosis menjadi dua mikronuklei haploid. Kedua mikronuklei ini bergabung membentuk satu
mikronukleus diploid, yang kemudian mengalami dua kali mitosis menjadi empat mikronuklei
diploid. Dua di antara mikronuklei ini berkembang menjadi makronuklei. Kedua mikronuklei
yang tersisa mengalami mitosis menjadi empat mikronuklei diploid. Setelah terjadi sitokinesis
(pemisahan sel) diperoleh dua buah sel masing-masing dengan dua mikronuklei dan satu
makronukleus yang semuanya diploid. Hal yang perlu untuk diketahui pada fase aseksual ini
adalah bahwa meskipun sel yang mengalami autogami pada awalnya heterozigot, sel-sel yang
dihasilkan semuanya akan menjadi homozigot karena sel awal heterozigot tersebut terlebih
dahulu mengalami meiosis menjadi sel haploid. Dengan demikian, peristiwa autogami pada
hakekatnya sangat menyerupai pembuahan sendiri, khususnya dalam hal peningkatan
homozigositas. Dari hasil autogami dapat dipelajari bahwa pewarisan suatu sifat diatur oleh gen-
gen kromosomal ataukah sitoplasmik.
Pada strain tertentu Paramecium aurelia ditemukan adanya fenomena ‘pembunuh’ (killer) yang
berkaitan dengan keberadaan sejumlah partikel yang disebut sebagai kappa di dalam
sitoplasmanya. Keberadaan kappa bergantung kepada gen kromosomal dominan K. Beberapa
peneliti, seperti T.M. Sonneborn, mengamati bahwa sel P. aurelia yang mengandung partikel-
partikel kappa akan menghasilkan senyawa beracun yang dapat mematikan strain-strain protozoa
lainnya yang ada di sekitarnya. Senyawa beracun ini selanjutnya disebut sebagai paramesin,
sedangkan partikel-partikel kappa ternyata merupakan bakteri simbion yang kemudian dikenal
dengan nama Caedobacter taeniospiralis, yang artinya bakteri pembunuh berbentuk pita spiral.

Apabila strain pembunuh melakukan konjugasi dengan strain bukan pembunuh (pada suatu
kondisi yang memungkinkan strain bukan pembunuh untuk bertahan hidup), maka ada dua
kemungkinan yang dapat terjadi. Pertama, kedua sel tidak bertukar materi sitoplasmik tetapi
hanya bertukar mikronuklei (Gambar 8.5.a) sehingga diperoleh dua kelompok sel, yakni sel
pembunuh dan sel bukan pembunuh yang kedua-duanya bergenotipe Kk. Jika masing-masing sel
ini melakukan autogami, maka akan diperoleh sel pembunuh (KK) dan sel bukan pembunuh (kk)
yang berasal dari sel pembunuh (Kk) serta sel bukan pembunuh (baik KK maupun kk) yang
berasal dari sel bukan pembunuh (Kk). Jadi, genotipe KK dapat menghasilkan fenotipe bukan
pembunuh jika di dalam sitoplasma tidak terdapat partikel kappa. Sebaliknya sel pembunuh (Kk)
melalui autogami dapat menghasilkan sel bukan pembunuh (kk) karena partikel kappa tidak akan
mampu bertahan di dalam sitoplasma tanpa adanya gen K. Dengan demikian, dari hasil tersebut
tampak jelas bahwa sifat pembunuh atau bukan pembunuh ditentukan oleh ada tidaknya partikel
kappa di dalam sitoplasma walaupun partikel itu sendiri keberadaannya bergantung kepada gen
K di dalam nukleus.

Kemungkinan ke dua terjadi pertukaran materi sitoplasmik di antara kedua sel (Gambar 8.5 b)
sehingga hanya diperoleh satu kelompok sel, yakni sel pembunuh yang bergenotipe Kk. Jika sel-
sel ini melakukan autogami, maka akan diperoleh sel pembunuh (KK) dan sel bukan pembunuh
(kk) dengan nisbah 1 : 1.

Sterilitas Jantan pada Jagung

Di bidang pertanian ada satu contoh fenomena pewarisan sitoplasmik yang sangat penting, yaitu
sterilitas jantan sitoplasmik pada jagung. Tanaman jagung dikatakan steril atau mandul jantan
sitoplasmik apabila tidak mampu menghasilkan polen yang aktif dalam jumlah normal sementara
proses reproduksi dan fertilitas betinanya normal. Sterilitas jantan sitoplasmik tidak diatur oleh
gen-gen kromosomal tetapi diwariskan melalui sitoplasma gamet betina dari generasi ke
generasi. Jenis sterilitas ini telah banyak digunakan dalam produksi biji jagung hibrida.

Pola pewarisan sterilitas jantan pertama kali dipelajari oleh M. Rhoades melalui percobaan
persilangan pada jagung, yang secara skema dapat dilihat pada Gambar 8.6. Individu mandul
jantan sebagai tetua betina disilangkan dengan individu normal sebagai

11/01/2009 Posted by zaifbio | Genetika Dasar | Tinggalkan Sebuah Komentar


Materi Genetik di dalam Kloroplas.

betina tersebut dinamakan mutan poki (poky mutant). Persilangan


antara betina poki dan jantan tipe liar menghasilkan keturunan yang
semuanya poki. Sebaliknya, persilangan antara betina tipe liar dan
jantan poki menghasilkan keturunan yang semuanya normal.

Mutan poki menyerupai mutan petit pada S. cerevisae dalam hal


pertumbuhannya yang lambat dan kerusakan fungsi mitokondrianya.
Secara biokimia kelainan ini berupa gangguan pada sistem sintesis
protein mitokondria yang diatur oleh materi genetik di dalam
mitokondria. Akibatnya, sel kehilangan kemampuan untuk membentuk
protein yang diperlukan dalam metabolisme oksidatif. Seperti halnya
mutan petit, mutan poki juga memperoleh energi untuk
pertumbuhannya melalui jalur fermentasi anaerob yang sangat tidak
efisien.

Materi Genetik di dalam Kloroplas.

Carl Correns pada tahun 1908 melihat adanya perbedaan hasil


persilangan resiprok pada pewarisan warna bagian vegetatif tanaman,
khususnya daun, pada beberapa tanaman tertentu seperti bunga pukul
empat (Mirabilis jalapa). Dia mengamati bahwa pewarisan warna
tersebut semata-mata ditentukan oleh tetua betina dan berkaitan
dengan ada tidaknya kloroplas di dalam sitoplasma.
Suatu tanaman bunga pukul empat dapat memiliki bagian vegetatif yang
berbeda-beda warnanya, yaitu hijau, putih, dan belang-belang hjau-
putih (variegated). Sel-sel pada bagian yang berwarna hijau mempunyai
kloroplas yang mengandung klorofil, sedang sel-sel pada bagian yang
berwarna putih tidak mempunyai kloroplas tetapi berisi plastida yang
tidak berwarna. Sementara itu, bagian yang belang-belang terdiri atas
sel-sel, baik dengan maupun tanpa kloroplas. Ketiga macam bagian
tanaman tersebut dapat menghasilkan bunga, baik sebagai sumber
polen (tetua jantan) maupun sebagai pembawa putik (tetua betina),
sehingga dimungkinkan adanya sembilan kombinasi persilangan, yang
hasilnya dapat dilihat pada Tabel 8.1.

Jelas dapat disimpulkan dari Tabel 8.1 bahwa fenotipe keturunan akan selalu sama dengan
fenotipe tetua betina atau terjadi pewarisan maternal. Hal ini karena seperti telah dikatakan di
atas bahwa warna hijau bergantung kepada ada tidaknya kloroplas, sementara polen hanya
sedikit sekali atau bahkan sama sekali tidak memiliki kloropas. Dengan demikian, kontribusi
kloroplas kepada zigot dapat dipastikan hanya berasal dari sel kelamin betina. Model yang
menjelaskan pewarisan maternal ini dapat dilihat pada Gambar 8.2.

Tabel 8.1 Hasil persilangan pada tanaman bunga pukul empat

Fenotipe cabang Fenotipe cabang Fenotipe keturunan


yang membawa yang membawa
bunga sebagai tetua bunga sebagai tetua
betina jantan

putih Putih putih

putih Hijau putih

putih belang-belang putih

hijau Putih hijau

hijau Hijau hijau

hijau belang-belang hijau

belang-belang Putih belang-belang, hijau, atau putih

belang-belang Hijau belang-belang, hijau, atau putih


belang-belang belang-belang belang-belang, hijau, atau putih

Penelitian tentang pewarisan sitoplasmik telah dilakukan pula pada alga uniseluler
Chlamydomonas reinhardii, yakni mengenai pewarisan sifat ketahanan terhadap antibiotik. Sel
alga ini memiliki sebuah kloroplas yang besar ukurannya dan di dalamya terdapat sejumlah
materi genetik.

Ada dua macam sel pada Chlamydomonas bila dilihat dari tipe kawinnya, yakni mt + dan mt -.
Kedua macam sel haploid ini dapat bergabung membentuk zigot diploid, yang selanjutnya akan
mengalami meiosis untuk menghasilkan tetrad yang terdiri atas empat buah sel haploid. Oleh
karena kedua sel tipe kawin tersebut ukurannya sama besar, maka kontribusi sitoplasma kepada
zigot yang terbentuk akan sama banyaknya. Sel-sel haploid di dalam tetrad dapat ditumbuhkan
pada medium selektif padat dan membentuk koloni yang menunjukkan genotipenya.

putih hijau belang-belang

sel telur

x x x x x

polen
zigot

Gambar 8.2. Model pewarisan maternal pada tanaman bunga pukul empat

= plastida tanpa klorofil ; = kloroplas

Persilangan resiprok antara tipe liar (rentan antibiotik) dan mutan-mutan yang tahan antibiotik
memberikan hasil yang berbeda-beda. Sebagai contoh, persilangan antara tipe liar dan mutan
yang tahan terhadap streptomisin menghasilkan keturunan yang sifat ketahanannya terhadap
streptomisin bergantung kepada tetua mt+. Secara skema persilangan tersebut dapat digambarkan
seperti pada Gambar 8.3.

Keturunan hasil persilangan antara kedua tipe kawin selalu mempunyai genotipe seperti salah
satu tetuanya. Persilangan mt+ str+ dengan mt – str - menghasilkan keturunan yang semuanya
tahan streptomisin (str+) sementara persilangan mt+ str - dengan mt - str+ menghasilkan keturunan
yang semuanya rentan streptomisin (str -) . Jadi, pewarisan sifat ketahanan terhadap streptomisin
berlangsung uniparental atau bergantung kepada genotipe salah satu tetuanya, dalam hal ini mt+.
Dengan perkataan lain, pewarisan alel str mengikuti pola pewarisan uniparental. Meskipun
demikian, alel yang menentukan tipe kawin itu sendiri (alel mt) tampak bersegregasi mengikuti
pola Mendel, yakni menghasilkan keturunan dengan nisbah 1 : 1, yang menunjukkan bahwa alel
tersebut terletak di dalam kromosom nukleus.

Berbagai penelitian mengenai ketahanan terhadap antibiotik selain streptomisin telah dilakukan
pula pada Chlamydomonas, dan semuanya memperlihatkan terjadinya pewarisan uniparental.
Analisis biokimia membuktikan bahwa sifat ketahanan terhadap antibiotik berhubungan dengan
kloroplas. Seperti telah kita ketahui bahwa sel haploid Chlamydomonas hanya mempunyai
sebuah kloroplas. Jika kloroplas ini berasal dari penggabungan kloroplas kedua sel tipe kawin
yang digunakan sebagai tetua dengan nisbah yang sama, maka tidak mungkin terjadi pewarisan
uniparental. Dengan demikian, kloroplas dapat dipastikan berasal dari salah satu tipe kawin saja.
Hal ini didukung oleh penelitian menggunakan penanda fisik untuk membedakan kloroplas dari
kedua tipe kawin yang telah menunjukkan bahwa setelah terjadi penggabungan, kloroplas dari
mt – akan hilang oleh suatu sebab yang hingga kini beluim diketahui. Jadi, kloroplas yang
diwariskan hanya berasal dari tetua mt +. Oleh karena pewarisan sifat ketahanan terhadap
antibiotik selalu ditentukan oleh tetua mt +, yang berarti sejalan dengan pola pewarisan kloroplas,
maka sifat ini jelas dibawa oleh kloroplas. Dengan perkataan lain, pewarisan sifat ketahanan
terhadap antibiotik pada Chlamydomonas merupakan pewarisan ekstrakromosomal atau
pewarisan sitoplasmik.

mt+ str+ zigot mt – str - mt+ str - zigot mt – str+

mt+ mt – mt+ mt –

mt+ mt – mt+ mt –

semuanya str+ semuanya str –

mt+ str+ mt - str+ mt+str - mt – str –

Gambar 8.3. Diagram pewarisan sifat ketahanan terhadap streptomisin pada

Chlamydomonas

(mt = tipe kawin ; str+ = tahan streptomisin ; str - =rentan

streptomisin)

11/01/2009 Posted by zaifbio | Genetika Dasar | Tinggalkan Sebuah Komentar

PEWARISAN SITOPLASMIK

BAB VIII
PEWARISAN SITOPLASMIK

 Kriteria Pewarisan Sitoplasmik


 Organel Sitoplasmik Pembawa Materi Genetik
 Pengaruh Genetik Simbion Sitoplasmik pada Paramaecium
 Mekanisme Sterilitas Jantan pada Jagung
 Pengaruh Maternal dan Pewarisan Maternal
BAB VIII. PEWARISAN SITOPLASMIK
Sebegitu jauh pembicaraan kita tentang pewarisan sifat pada eukariot selalu
dikaitkan dengan gen-gen yang terletak di dalam kromosom/nukleus.
Kenyataannya gen-gen kromosomal ini memang memegang peranan utama di
dalam pewarisan sebagian besar sifat genetik. Meskipun demikian, sesekali
pernah pula dilaporkan bahwa ada sejumlah sifat genetik pada eukariot yang
pewarisannya diatur oleh unsur-unsur di luar nukleus. Pewarisan
ekstranukleus, atau dikenal pula sebagai pewarisan sitoplasmik, ini tidak
mengikuti pola Mendel.

Pewarisan sifat sitoplasmik diatur oleh materi genetik yang terdapat di dalam
organel-organel seperti mitokondria, kloroplas (pada tumbuhan), dan
beberapa komponen sitoplasmik lainnya. Begitu juga virus dan partikel mirip
bakteri dapat bertindak sebagai pembawa sifat herediter sitoplasmik. Pada
Bab VIII ini akan dibahas berbagai contoh kasus yang termasuk dalam
pewarisan sitoplasmik. Di bagian akhir dibicarakan pula suatu fenomena lain
yang masih ada sangkut pautnya dengan pewarisan sitoplasmik.

Kriteria Pewarisan Sitoplasmik

Sebenarnya tidak ada kriteria yang dapat berlaku universal untuk


membedakan pewarisan sitoplasmik dengan pewarisan gen-gen kromosomal.
Namun, setidak-tidaknya lima hal di bawah ini dapat digunakan untuk
keperluan tersebut.

1. Perbedaan hasil perkawinan resiprok merupakan penyimpangan dari


pola Mendel. Sebagai contoh, hasil persilangan antara betina A dan jantan B
tidak sama dengan hasil persilangan antara betina B dan jantan A. Jika dalam
hal ini pengaruh rangkai kelamin (Bab VI) dikesampingkan, maka perbedaan
hasil perkawinan resiprok tersebut menunjukkan bahwa salah satu tetua
(biasanya betina) memberikan pengaruh lebih besar daripada pengaruh tetua
lainnya dalam pewarisan suatu sifat tertentu.
2. Sel kelamin betina biasanya membawa sitoplasma dan organel
sitoplasmik dalam jumlah lebih besar daripada sel kelamin jantan. Organel
dan simbion di dalam sitoplasma dimungkinkan untuk diisolasi dan dianalisis
untuk mendukung pembuktian tentang adanya transmisi maternal dalam
pewarisan sifat. Jika materi sitoplasmik terbukti berkaitan dengan pewarisan
sifat tertentu, maka dapat dipastikan bahwa pewarisan sifat tersebut
merupakan pewarisan sitoplasmik.

3. Gen-gen kromosomal menempati loki tertentu dengan jarak satu sama


lain yang tertentu pula sehingga dapat membentuk kelompok berangkai (Bab
V). Oleh karena itu, jika ada suatu materi penentu sifat tidak dapat dipetakan
ke dalam kelompok-kelompok berangkai yang ada, sangat dimungkinkan
bahwa materi genetik tersebut terdapat di dalam sitoplasma

4. Tidak adanya nisbah segregasi Mendel menunjukkan bahwa pewarisan


sifat tidak diatur oleh gen-gen kromosomal tetapi oleh materi sitoplasmik.

5. Substitusi nukleus dapat memperjelas pengaruh relatif nukleus dan


sitoplasma. Jika pewarisan suatu sifat berlangsung tanpa adanya pewarisan
gen-gen kromosomal, maka pewarisan tersebut terjadi karena pengaruh
materi sitoplasmik.

Organel Sitoplasmik Pembawa Materi Genetik

Di dalam sitoplasma antara lain terdapat organel-organel seperti mitokondria


dan kloroplas, yang memiliki molekul DNA (lihat Bab IX) dan dapat
melakukan replikasi subseluler sendiri. Oleh karena itu, kedua organel ini
sering kali disebut sebagai organel otonom. Beberapa hasil penelitian
memberikan petunjuk bahwa mitokondria dan kloroplas pada awalnya
masing-masing merupakan bakteri dan alga yang hidup bebas. Dalam kurun
waktu yang sangat panjang mereka kemudian membangun simbiosis turun-
temurun dengan sel inang eukariotnya dan akhirnya berkembang menjadi
organel yang menetap di dalam sel.
Mitokondria, yang dijumpai pada semua jenis organisme eukariot, diduga
membawa hingga lebih kurang 50 gen di dalam molekul DNAnya. Gen-gen ini
di antaranya bertanggung jawab atas struktur mitokondria itu sendiri dan
juga pengaturan berbagai bentuk metabolisme energi. Enzim-enzim untuk
keperluan respirasi sel dan produksi energi terdapat di dalam mitokondria.
Begitu juga bahan makanan akan dioksidasi di dalam organel ini untuk
menghasilkan senyawa adenosin trifosfat (ATP), yang merupakan bahan
bakar bagi berbagai reaksi biokomia.

Sementara itu, kloroplas sebagai organel fotosintetik pada tumbuhan dan


beberapa mikroorganisme membawa sejumlah materi genetik yang
diperlukan bagi struktur dan fungsinya dalam melaksanakan proses
fotosintesis. Klorofil beserta kelengkapan untuk sintesisnya telah dirakit
ketika kloroplas masih dalam bentuk alga yang hidup bebas. Pada alga hijau
plastida diduga membawa mekanisme genetik lainnya, misalnya mekanisme
ketahanan terhadap antibiotik streptomisin pada Chlamydomonas, yang nanti
akan dibicarakan pada bagian lain bab ini.

Mutan Mitokondria

Pada suatu penelitian menggunakan khamir Saccharomyces cerevisae B.


Ephrusi menemukan sejumlah koloni berukuran sangat kecil yang kadang-
kadang terlihat ketika sel ditumbuhkan pada medium padat. Koloni-koloni ini
dinamakan mutan petit (petite mutant). Hasil pengamatan mikroskopis
menunjukkan bahwa sel-sel pada koloni tersebut berukuran normal. Namun,
hasil studi fisiologi menunjukkan bahwa sel-sel tersebut mengalami
petumbuhan yang sangat lambat karena adanya kelainan dalam metabolisme
senyawa karbon. Mutan petit melakukan metabolisme karbon bukan dengan
respirasi menggunakan oksigen, melainkan melalui fermentasi glukosa
secara anaerob yang jelas jauh kurang efisien bila dibandingkan dengan
respirasi aerob.

Analisis genetik terhadap hasil persilangan antara mutan petit dan tipe
liarnya memperlihatkan adanya tiga tipe mutan petit seperti dapat dilihat
pada Gambar 8.1.
Tipe pertama memperlihatkan segregasi Mendel seperti biasanya
sehingga dinamakan petit segregasional. Persilangan dengan tipe
liarnya menghasilkan zigot diploid yang normal. Jika zigot ini
mengalami pembelahan meiosis, akan diperoleh empat askopora
haploid dengan nisbah fenotipe 2 normal : 2 petit. Hal ini menunjukkan
bahwa petit segregasional ditimbulkan oleh mutasi di dalam nukleus.
Selain itu, oleh karena zigot diploid mempunyai fenotipe normal, maka
dapat dipastikan bahwa alel yang mengatur mutan petit merupakan alel
resesif.

Tipe ke dua, yang disebut petit netral, berbeda dengan tipe pertama jika
dilihat dari keempat askopora hasil pembelahan meiosis zigot diploid.
Keempat askospora ini semuanya normal. Hasil yang sama akan
diperoleh apabila zigot diploid disilang balik dengan tetua petitnya. Jadi,
fenotipe keturunan hanya ditentukan oleh tetua normalnya. Dengan
perkataan lain, pewarisan sifatnya merupakan pewarisan uniparental.
Berlangsungnya pewarisan uniparental tersebut disebabkan oleh
hilangnya sebagian besar atau seluruh materi genetik di dalam
mitokondria yang menyandi sintesis enzim respirasi oksidatif pada
kebanyakan petit netral. Ketika sel petit netral bertemu dengan sel tipe
liar, sitoplasma sel tipe liar akan menjadi sumber materi genetik
mitokhodria bagi spora-spora hasil persilangan petit dengan tipe liar
sehingga semuanya akan mempunyai fenotipe normal.
Segregasional Netral Supresif

haploid : x x x
zigot diploid : normal normal petit

askospora :

2 normal : 2 petit 4 normal 4 petit

Gambar 8.1. Pewarisan mutasi petit pada persilangan dengan tipe


liarnya

(lingkaran kecil menggambarkan sel petit ; nukleus bergaris mendatar membawa alel
untuk pembentukan petit)
Tipe ke tiga disebut petit supresif, yang hingga kini belum dapat
dijelaskan dengan baik. Pada persilangannya dengan tipe liar dihasilkan
zigot diploid dengan fenotipe petit. Selanjutnya, hasil meiosis zigot petit
ini adalah empat askospora yang semuanya mempunyai fenotipe petit.
Dengan demikian, seperti halnya pada tipe petit netral, pewarisan
uniparental juga terjadi pada tipe petit supresif. Bedanya, pada petit
supresif alel penyebab petit bertindak sebagai penghambat (supresor)
dominan terhadap aktivitas mitokondria tipe liar. Petit supresif juga
mengalami kerusakan pada materi genetik mitokondrianya tetapi
kerusakannya tidak separah pada petit netral.

Selain pada khamir S. cerevisae, kasus mutasi mitokondria juga dijumpai pada jamur
Neurospora, yang pewarisannya berlangsung uniparental melalui tetua betina (pewarisan
maternal) meskipun sebenarnya pada jamur ini belum ada perbedaan jenis kelamin yang nyata.
Mutan mitokondria pada Neurospora yang diwariskan melalui tetua

10/31/2009 Posted by zaifbio | Genetika Dasar | 1 Komentar

RANGKAI KELAMIN DAN PENENTUAN JENIS KELAMIN

BAB VI

RANGKAI KELAMIN

DAN

PENENTUAN JENIS KELAMIN

· Kromosom Kelamin dan Autosom

 Gen Rangkai Kelamin


 Tipe Penentuan Jenis Kelamin Organisme
 Kromatin Kelamin dan Hipotesis Lyon
 Pengaruh Hormon Kelamin dalam Penentuan Jenis Kelamin

BAB VI. RANGKAI KELAMIN

DAN PENENTUAN JENIS KELAMIN


Pada Bab V telah kita pelajari pola pewarisan sifat yang diatur oleh gen-gen berangkai atau gen-
gen yang terletak pada satu kromosom. Keberadaan gen berangkai pada suatu spesies organisme,
yang meliputi urutan dan jaraknya satu sama lain, menghasilkan peta kromosom untuk spesies
tersebut, misalnya peta kromosom pada lalat Drosophila melanogaster yang terdiri atas empat
kelompok gen berangkai (Gambar 5.4).

Salah satu dari keempat kelompok gen berangkai atau keempat pasang kromosom pada D.
melanogaster tersebut, dalam hal ini kromosom nomor 1, disebut sebagai kromosom kelamin.
Pemberian nama ini karena strukturnya pada individu jantan dan individu betina memperlihatkan
perbedaan sehingga dapat digunakan untuk membedakan jenis kelamin individu. Ternyata
banyak sekali spesies organisme lainnya, terutama hewan dan juga manusia, mempunyai
kromosom kelamin.

Gen-gen yang terletak pada kromosom kelamin dinamakan gen rangkai kelamin (sex-linked
genes) sementara fenomena yang melibatkan pewarisan gen-gen ini disebut peristiwa rangkai
kelamin (linkage). Adapun gen berangkai yang dibicarakan pada Bab V adalah gen-gen yang
terletak pada kromosom selain kromosom kelamin, yaitu kromosom yang pada individu jantan
dan betina sama strukturnya sehingga tidak dapat digunakan untuk membedakan jenis kelamin.
Kromosom semacam ini dinamakan autosom.

Seperti halnya gen berangkai (autosomal), gen-gen rangkai kelamin tidak mengalami segregasi
dan penggabungan secara acak di dalam gamet-gamet yang terbentuk. Akibatnya, individu-
individu yang dihasilkan melalui kombinasi gamet tersebut memperlihatkan nisbah fenotipe dan
genotipe yang menyimpang dari hukum Mendel. Selain itu, jika pada percobaan Mendel
perkawinan resiprok (genotipe tetua jantan dan betina dipertukarkan) menghasilkan keturunan
yang sama, tidak demikian halnya untuk sifat-sifat yang diatur oleh gen rangkai kelamin.

Gen rangkai kelamin dapat dikelompok-kelompokkan berdasarkan atas macam kromosom


kelamin tempatnya berada. Oleh karena kromosom kelamin pada umumnya dapat dibedakan
menjadi kromosom X dan Y, maka gen rangkai kelamin dapat menjadi gen rangkai X (X-linked
genes) dan gen rangkai Y (Y-linked genes). Di samping itu, ada pula beberapa gen yang terletak
pada kromosom X tetapi memiliki pasangan pada kromosom Y. Gen semacam ini dinamakan
gen rangkai kelamin tak sempurna (incompletely sex-linked genes). Pada bab ini akan
dijelaskan cara pewarisan macam-macam gen rangkai kelamin tersebut serta beberapa sistem
penentuan jenis kelamin pada berbagai spesies organisme.

Pewarisan Rangkai X

Percobaan yang pertama kali mengungkapkan adanya peristiwa rangkai kelamin dilakukan oleh
T.H Morgan pada tahun 1910. Dia menyilangkan lalat D. melanogaster jantan bermata putih
dengan betina bermata merah. Lalat bermata merah lazim dianggap sebagai lalat normal atau tipe
alami (wild type), sedang gen pengatur tipe alami, misalnya pengatur warna mata merah ini,
dapat dilambangkan dengan tanda +. Biasanya, meskipun tidak selalu, gen tipe alami bersifat
dominan terhadap alel mutannya.
Hasil persilangan Morgan tersebut, khususnya pada generasi F1, ternyata berbeda jika tetua
jantan yang digunakan adalah tipe alami (bermata merah) dan tetua betinanya bermata putih.
Dengan perkataan lain, perkawinan resiprok menghasilkan keturunan yang berbeda. Persilangan
resiprok dengan hasil yang berbeda ini memberikan petunjuk bahwa pewarisan warna mata pada
Drosophila ada hubungannya dengan jenis kelamin, dan ternyata kemudian memang diketahui
bahwa gen yang mengatur warna mata pada Drosophila terletak pada kromosom kelamin, dalam
hal ini kromosom X. Oleh karena itu, gen pengatur warna mata ini dikatakan sebagai gen rangkai
X.

Secara skema pewarisan warna mata pada Drosophila dapat dilihat pada Gambar 6.1.
Kromosom X dan Y masimg-masing lazim dilambangkan dengan tanda dan .

P: + + w P: w w +

x x

betina normal jantan mata putih betina mata putih jantan normal

F1 : + w + F1: + w w

betina normal jantan normal betina normal jantan mata putih

a) b)

Gambar 6.1. Diagram persilangan rangkai X pada Drosophila

Jika kita perhatikan Gambar 6.1.b, akan nampak bahwa lalat F1 betina mempunyai mata seperti
tetua jantannya, yaitu normal/merah. Sebaliknya, lalat F1 jantan warna matanya seperti tetua
betinanya, yaitu putih. Pewarisan sifat semacam ini disebut sebagai criss cross inheritance.

Pada Drosophila, dan juga beberapa spesies organisme lainnya, individu betina membawa dua
buah kromosom X, yang dengan sendirinya homolog, sehingga gamet-gamet yang dihasilkannya
akan mempunyai susunan gen yang sama. Oleh karena itu, individu betina ini dikatakan bersifat
homogametik. Sebaliknya, individu jantan yang hanya membawa sebuah kromosom X akan
menghasilkan dua macam gamet yang berbeda, yaitu gamet yang membawa kromosom X dan
gamet yang membawa kromosom Y. Individu jantan ini dikatakan bersifat heterogametik.

Rangkai X pada kucing


Warna bulu pada kucing ditentukan oleh suatu gen rangkai X. Dalam keadaan heterozigot gen ini
menyebabkan warna bulu yang dikenal dengan istilah tortoise shell. Oleh karena genotipe
heterozigot untuk gen rangkai X hanya dapat dijumpai pada individu betina, maka kucing
berbulu tortoise shell hanya terdapat pada jenis kelamin betina. Sementara itu, individu
homozigot dominan (betina) dan hemizigot dominan (jantan) mempunyai bulu berwarna hitam.
Individu homozigot resesif (betina) dan hemizigot resesif (jantan) akan berbulu kuning.

Istilah hemizigot digunakan untuk menyebutkan genotipe individu dengan sebuah kromosom X.
Individu dengan gen dominan yang terdapat pada satu-satunya kromosom X dikatakan hemizigot
dominan. Sebaliknya, jika gen tersebut resesif, individu yang memilikinya disebut hemizigot
resesif.

Rangkai X pada manusia

Salah satu contoh gen rangkai X pada manusia adalah gen resesif yang menyebabkan penyakit
hemofilia, yaitu gangguan dalam proses pembekuan darah. Sebenarnya, kasus hemofilia telah
dijumpai sejak lama di negara-negara Arab ketika beberapa anak laki-laki meninggal akibat
perdarahan hebat setelah dikhitan. Namun, waktu itu kematian akibat perdarahan ini hanya
dianggap sebagai takdir semata.

Hemofilia baru menjadi terkenal dan dipelajari pola pewarisannya setelah beberapa anggota
keluarga Kerajaan Inggris mengalaminya. Awalnya, salah seorang di antara putra Ratu Victoria
menderita hemofilia sementara dua di antara putrinya karier atau heterozigot. Dari kedua putri
yang heterozigot ini lahir tiga cucu laki-laki yang menderita hemofilia dan empat cucu wanita
yang heterozigot. Melalui dua dari keempat cucu yang heterozigot inilah penyakit hemofilia
tersebar di kalangan keluarga Kerajaan Rusia dan Spanyol. Sementara itu, anggota keluarga
Kerajaan Inggris saat ini yang merupakan keturunan putra/putri normal Ratu Victoria bebas dari
penyakit hemofilia.

Rangkai Z pada ayam

Pada dasarnya pola pewarisan sifat rangkai Z sama dengan pewarisan sifat rangkai X. Hanya
saja, kalau pada rangkai X individu homogametik berjenis kelamin pria/jantan sementara
individu heterogametik berjenis kelamin wanita/betina, pada rangkai Z justru terjadi sebaliknya.
Individu homogametik (ZZ) adalah jantan, sedang individu heterogametik (ZW) adalah betina.

Contoh gen rangkai Z yang lazim dikemukakan adalah gen resesif br yang menyebabkan
pemerataan pigmentasi bulu secara normal pada ayam. Alelnya, Br, menyebabkan bulu ayam
menjadi burik. Jadi, pada kasus ini alel resesif justru dianggap sebagai tipe alami atau normal
(dilambangkan dengan +), sedang alel dominannya merupakan alel mutan.

Pewarisan Rangkai Y

Pada umumnya kromosom Y hanya sedikit sekali mengandung gen yang aktif. Jumlah yang
sangat sedikit ini mungkin disebabkan oleh sulitnya menemukan alel mutan bagi gen rangkai Y
yang dapat menghasilkan fenotipe abnormal. Biasanya suatu gen/alel dapat dideteksi
keberadaannya apabila fenotipe yang dihasilkannya adalah abnormal. Oleh karena fenotipe
abnormal yang disebabkan oleh gen rangkai Y jumlahnya sangat sedikit, maka gen rangkai Y
diduga merupakan gen yang sangat stabil.

Gen rangkai Y jelas tidak mungkin diekspresikan pada individu betina/wanita sehingga gen ini
disebut juga gen holandrik. Contoh gen holandrik pada manusia adalah Hg dengan alelnya hg
yang menyebabkan bulu kasar dan panjang, Ht dengan alelnya ht yang menyebabkan
pertumbuhan bulu panjang di sekitar telinga, dan Wt dengan alelnya wt yang menyebabkan
abnormalitas kulit pada jari.

Pewarisan Rangkai Kelamin Tak Sempurna

Meskipun dari uraian di atas secara tersirat dapat ditafsirkan bahwa kromosom X tidak homolog
dengan kromosom Y, ternyata ada bagian atau segmen tertentu pada kedua kromosom tersebut
yang homolog satu sama lain. Dengan perkataan lain, ada beberapa gen pada kromosom X yang
mempunyai alel pada kromosom Y. Pewarisan sifat yang diatur oleh gen semacam ini dapat
dikatakan tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, dan berlangsung seperti halnya pewarisan gen
autosomal. Oleh karena itu, gen-gen pada segmen kromosom X dan Y yang homolog ini disebut
juga gen rangkai kelamin tak sempurna.

Pada D. melanogaster terdapat gen rangkai kelamin tak sempurna yang menyebabkan
pertumbuhan bulu pendek. Pewarisan gen yang bersifat resesif ini dapat dilihat pada Gambar 6.2.

P: P:

+ + x b b b b x + +

betina normal jantan bulu pendek betina bulu pendek jantan normal

F1 : F1:

+ b + b + b + b

betina normal jantan normal betina normal jantan normal

a) b)

Gambar 6.2. Diagram pewarisan gen rangkai kelamin tak sempurna

Dapat dilihat pada Gambar 6.2 bahwa perkawinan resiprok untuk gen rangkai kelamin tak
sempurna akan memberikan hasil yang sama seperti halnya hasil yang diperoleh dari perkawinan
resiprok untuk gen-gen autosomal. Jadi, pewarisan gen rangkai kelamin tak sempurna
mempunyai pola seperti pewarisan gen autosomal.

Sistem Penentuan Jenis Kelamin

Telah disebutkan di atas bahwa pada manusia dan mamalia, dalam hal ini kucing, individu
pria/jantan adalah heterogametik (XY) sementara wanita/betina adalah homogametik (XX).
Sebaliknya, pada ayam individu jantan justru homogametik (ZZ) sementara individu betinanya
heterogametik (ZW). Penentuan jenis kelamin pada manusia/mamalia dikatakan mengikuti
sistem XY, sedang pada ayam, dan unggas lainnya serta ikan tertentu, mengikuti sistem ZW.

Selain kedua sistem tersebut, masih banyak sistem penentuan jenis kelamin lainnya. Berikut ini
akan dijelaskan beberapa di antaranya.

Sistem XO

Sistem XO dijumpai pada beberapa jenis serangga, misalnya belalang. Di dalam sel somatisnya,
individu betina memiliki dua buah kromosom X sementara individu jantan hanya mempunyai
sebuah kromosom X. Jadi, hal ini mirip dengan sistem XY. Bedanya, pada sistem XO individu
jantan tidak mempunyai kromosom Y. Dengan demikian, jumlah kromosom sel somatis individu
betina lebih banyak daripada jumlah pada individu jantan. Sebagai contoh, E.B. Wilson
menemukan bahwa sel somatis serangga Protenor betina mempunyai 14 kromosom, sedang pada
individu jantannya hanya ada 13 kromosom.

Sistem nisbah X/A

C.B. Bridge melakukan serangkaian penelitian mengenai jenis kelamin pada lalat Drosophila.
Dia berhasil menyimpulkan bahwa sistem penentuan jenis kelamin pada organisme tersebut
berkaitan dengan nisbah banyaknya kromosom X terhadap banyaknya autosom, dan tidak ada
hubungannya dengan kromosom Y. Dalam hal ini kromosom Y hanya berperan mengatur
fertilitas jantan. Secara ringkas penentuan jenis kelamin dengan sistem X/A pada lalat
Drosophila dapat dilihat pada Tabel 6.1.

Tabel 6.1. Penentuan jenis kelamin pada lalat Drosophila

Σ kromosom X Σ autosom nibah X/A jenis kelamin

1 2 0,5 jantan

2 2 1 betina

3 2 1,5 metabetina

4 3 1,33 metabetina

4 4 1 betina 4n
3 3 1 betina 3n

3 4 0,75 interseks

2 3 0,67 interseks

2 4 0,5 jantan

1 3 0,33 metajantan

Jika kita perhatikan kolom pertama pada Tabel 6.1 akan terlihat bahwa ada beberapa individu
yang jumlah kromosom X-nya lebih dari dua buah, yakni individu dengan jenis kelamin
metabetina, betina triploid dan tetraploid, serta interseks. Adanya kromosom X yang didapatkan
melebihi jumlah kromosom X pada individu normal (diploid) ini disebabkan oleh terjadinya
peristiwa yang dinamakan gagal pisah (non disjunction), yaitu gagal berpisahnya kedua
kromosom X pada waktu pembelahan meiosis.

Pada Drosophila terjadinya gagal pisah dapat menyebabkan terbentuknya beberapa individu
abnormal seperti nampak pada Gambar 6.3.

P: E AAXX x AAXY G

gagal pisah

gamet : AXX AO AX AY

F1 : AAXXX AAXXY AAXO AAOY

betina super betina jantan steril letal

Gambar 6.3. Diagram munculnya beberapa individu abnormal pada

Drosophila akibat peristiwa gagal pisah

Di samping kelainan-kelainan tersebut pernah pula dilaporkan adanya lalat Drosophila yang
sebagian tubuhnya memperlihatkan sifat-sifat sebagai jenis kelamin jantan sementara sebagian
lainnya betina. Lalat ini dikatakan mengalami mozaik seksual atau biasa disebut dengan istilah
ginandromorfi. Penyebabnya adalah ketidakteraturan distribusi kromosom X pada masa-masa
awal pembelahan mitosis zigot. Dalam hal ini ada sel yang menerima dua kromosom X tetapi
ada pula yang hanya menerima satu kromosom X.
Partenogenesis

Pada beberapa spesies Hymenoptera seperti semut, lebah, dan tawon, individu jantan
berkembang dengan cara partenogenesis, yaitu melalui telur yang tidak dibuahi. Oleh karena itu,
individu jantan ini hanya memiliki sebuah genom atau perangkat kromosomnya haploid.

Sementara itu, individu betina dan golongan pekerja, khususnya pada lebah, berkembang dari
telur yang dibuahi sehingga perangkat kromosomnya adalah diploid. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa partenogenesis merupakan sistem penentuan jenis kelamin yang tidak ada
sangkut pautnya sama sekali dengan kromosom kelamin tetapi hanya bergantung kepada jumlah
genom (perangkat kromosom).

Sistem gen Sk-Ts

Di atas disebutkan bahwa sistem penentuan jenis kelamin pada lebah tidak berhubungan dengan
kromosom kelamin. Meskipun demikian, sistem tersebut masih ada kaitannya dengan jumlah
perangkat kromosom.

Pada jagung dikenal sistem penentuan jenis kelamin yang tidak bergantung, baik kepada
kromosom kelamin maupun jumlah genom, tetapi didasarkan atas keberadaan gen tertentu.
Jagung normal monosius (berumah satu) mempunyai gen Sk, yang mengatur pembentukan
bunga betina, dan gen Ts, yang mengatur pembentukan bunga jantan. Jagung monosius ini
mempunyai fenotipe Sk_Ts_.

Sementara itu, alel-alel resesif sk dan ts masing-masing menghalangi pembentukan bunga betina
dan mensterilkan bunga jantan. Oleh karena itu, jagung dengan fenotipe Sk_tsts adalah betina
diosius (berumah dua), sedang jagung skskTs_ adalah jantan diosius. Jagung sksktsts berjenis
kelamin betina karena ts dapat mengatasi pengaruh sk, atau dengan perkataan lain, bunga betina
tetap terbentuk seakan-akan tidak ada alel sk.

Pengaruh lingkungan

Sistem penentuan jenis kelamin bahkan ada pula yang bersifat nongenetik. Hal ini misalnya
dijumpai pada cacing laut Bonellia, yang jenis kelaminnya semata-mata ditentukan oleh faktor
lingkungan.. F. Baltzer menemukan bahwa cacing Bonellia yang berasal dari sebuah telur yang
diisolasi akan berkembang menjadi individu betina. Sebaliknya, cacing yang hidup di lingkungan
betina dewasa akan mendekati dan memasuki saluran reproduksi cacing betina dewasa tersebut
untuk kemudian berkembang menjadi individu jantan yang parasitik.

Kromatin Kelamin

Seorang ahli genetika dari Kanada, M.L. Barr, pada tahun 1949 menemukan adanya struktur
tertentu yang dapat memperlihatkan reaksi pewarnaan di dalam nukleus sel syaraf kucing betina.
Struktur semacam ini ternyata tidak dijumpai pada sel-sel kucing jantan. Pada manusia
dilaporkan pula bahwa sel-sel somatis pria, misalnya sel epitel selaput lendir mulut, dapat
dibedakan dengan sel somatis wanita atas dasar ada tidaknya struktur tertentu yang kemudian
dikenal dengan nama kromatin kelamin atau badan Barr.

Pada sel somatis wanita terdapat sebuah kromatin kelamin sementara sel somatis pria tidak
memilikinya. Selanjutnya diketahui bahwa banyaknya kromatin kelamin ternyata sama dengan
banyaknya kromosom X dikurangi satu. Jadi, wanita normal mempunyai sebuah kromatin
kelamin karena kromosom X-nya ada dua. Demikian pula, pria normal tidak mempunyai
kromatin kelamin karena kromosom X-nya hanya satu.

Dewasa ini keberadaan kromatin kelamin sering kali digunakan untuk menentukan jenis kelamin
serta mendiagnosis berbagai kelainan kromosom kelamin pada janin melalui pengambilan cairan
amnion embrio (amniosentesis). Pria dengan kelainan kromosom kelamin, misalnya penderita
sindrom Klinefelter (XXY), mempunyai sebuah kromatin kelamin yang seharusnya tidak
dimiliki oleh seorang pria normal. Sebaliknya, wanita penderita sindrom Turner (XO) tidak
mempunyai kromatin kelamin yang seharusnya ada pada wanita normal.

Mary F. Lyon, seorang ahli genetika dari Inggris mengajukan hipotesis bahwa kromatin kelamin
merupakan kromosom X yang mengalami kondensasi atau heterokromatinisasi sehingga secara
genetik menjadi inaktif. Hipotesis ini dilandasi hasil pengamatannya atas ekspresi gen rangkai X
yang mengatur warna bulu pada mencit. Individu betina heterozigot memperlihatkan fenotipe
mozaik yang jelas berbeda dengan ekspresi gen semidominan (warna antara yang seragam). Hal
ini menunjukkan bahwa hanya ada satu kromosom X yang aktif di antara kedua kromosom X
pada individu betina. Kromosom X yang aktif pada suatu sel mungkin membawa gen dominan
sementara pada sel yang lain mungkin justru membawa gen resesif.

Hipotesis Lyon juga menjelaskan adanya mekanisme kompensasi dosis pada mamalia.
Mekanisme kompensasi dosis diusulkan karena adanya fenomena bahwa suatu gen rangkai X
akan mempunyai dosis efektif yang sama pada kedua jenis kelamin. Dengan perkataan lain, gen
rangkai X pada individu homozigot akan diekspesikan sama kuat dengan gen rangkai X pada
individu hemizigot.

Hormon dan Diferensiasi Kelamin

Dari penjelasan mengenai berbagai sistem penentuan jenis kelamin organisme diketahui bahwa
faktor genetis memegang peranan utama dalam ekspresi sifat kelamin primer. Selanjutnya,
sistem hormon akan mengatur kondisi fisiologi dalam tubuh individu sehingga mempengaruhi
perkembangan sifat kelamin sekunder.

Pada hewan tingkat tinggi dan manusia hormon kelamin disintesis oleh ovarium, testes, dan
kelenjar adrenalin. Ovarium dan testes masing-masing mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai
penghasil sel kelamin (gamet) dan sebagai penghasil hormon kelamin. Sementara itu, kelenjar
adrenalin menghasilkan steroid yang secara kimia berhubungan erat dengan gonad.

Gen terpengaruh kelamin


Gen terpengaruh kelamin (sex influenced genes) ialah gen yang memperlihatkan perbedaan
ekspresi antara individu jantan dan betina akibat pengaruh hormon kelamin. Sebagai contoh, gen
autosomal H yang mengatur pembentukan tanduk pada domba akan bersifat dominan pada
individu jantan tetapi resesif pada individu betina. Sebaliknya, alelnya h, bersifat dominan pada
domba betina tetapi resesif pada domba jantan. Oleh karena itu, untuk dapat bertanduk domba
betina harus mempunyai dua gen H (homozigot) sementara domba jantan cukup dengan satu gen
H (heterozigot).

Tabel 6.2. Ekspresi gen terpengaruh kelamin pada domba

Genotipe Domba jantan Domba betina

HH bertanduk bertanduk

Hh bertanduk tidak bertanduk

hh tidak bertanduk tidak bertanduk

Contoh lain gen terpengaruh kelamin adalah gen autosomal B yang mengatur kebotakan pada
manusia. Gen B dominan pada pria tetapi resesif pada wanita. Sebaliknya, gen b dominan pada
wanita tetapi resesif pada pria. Akibatnya, pria heterozigot akan mengalami kebotakan, sedang
wanita heterozigot akan normal. Untuk dapat mengalami kebotakan seorang wanita harus
mempunyai gen B dalam keadaan homozigot.

Gen terbatasi kelamin

Selain mempengaruhi perbedaan ekspresi gen di antara jenis kelamin, hormon kelamin juga
dapat membatasi ekspresi gen pada salah satu jenis kelamin. Gen yang hanya dapat
diekspresikan pada salah satu jenis kelamin dinamakan gen terbatasi kelamin (sex limited genes).
Contoh gen semacam ini adalah gen yang mengatur produksi susu pada sapi perah, yang dengan
sendirinya hanya dapat diekspresikan pada individu betina. Namun, individu jantan dengan
genotipe tertentu sebenarnya juga mempunyai potensi untuk menghasilkan keturunan dengan
produksi susu yang tinggi sehingga keberadaannya sangat diperlukan dalam upaya pemuliaan
ternak tersebut.

10/31/2009 Posted by zaifbio | Genetika Dasar | 11 Komentar

« Entri Sebelumnya

Senin, 28 Februari 2011

Mengenali Golongan Darah A,B,O Secara Sederhana

(artikel ini merupakan copas dari blog kami yang lain)


Istilah golongan darah sudah sangat sering kita dengar di telinga, karena itu berhubungan erat dengan
darah dalam tubuh kita. Sebagian besar masyarakat mengenali bahwa macam-macam golongan darah
manusia terdiri dari golongan darah A,B,O dan AB. Sebenarnya dalam dunia medis ada masih ada
penamaan golongan darah dengan jenis yang lain, tetapi yang skrab dikenal oleh masyarakat adalah
keempat golongan darah tadi.
Golongan darah manusia sifatnya menurun secara genetik dari orang tua biologisnya, dan ini sudah
dipahami secara luas oleh masyarakat, tapi kemudian ada anggapan bahwa
golongan darah seorang anak harus sama dengan golongan darah ayah atau ibunya. Misal golongan
darah ayah adalah A dan ibu adalah B, maka golongan darah anak harus A atau B, dan jika hasil
pemeriksaan laboratorium menunjukkan hasil bahwa golongan darah anak adalah AB atau O, orang tua
akan berpikir ada kesalahan dalam pemeriksaan atau bahkan mengira itu bukan anaknya. Hal ini salah
besar, karena golongan darah tidak bisa memastikan seratus persen tentang hubungan biologis antara
orang tua dan anak. Selain untuk mengetahui kecocokan jenis golongan darah antara orang tua dan
anak, penggolongan darah diperlukan untuk memudahkan dalam tindakan medis tertentu misalnya
donor darah dan pencangkokan organ rubuh manusia.
Untuk mengetahui golongan darah seseorang biasanya dilakukan pemeriksaan darah di laboratorium
dengan menuangkan cairan anti gen ke contoh darah yang diambil, bisa jadi ini tidak memungkinkan
untuk kita lakukan sendiri tanpa keahlian. Tapi jika anda ingin mengetahui cara mudah memperkirakan
golongan darah anak, berikut ini rumus sederhana yang mudah untuk dihafalkan.
Bila golongan darah ayah A dan ibu A, maka kemungkinannya anak memiliki golongan darah A atau O.
Bila golongan darah ayah B dan ibu B, maka kemungkinannya anak memiliki golongan darah B atau O.
Bila golongan darah ayah A dan ibu B atau sebaliknya ayah B dan ibu A, maka kemungkinannya anak
bergolongan darah A atau B atau AB atau O.
Bila golongan darah ayah A dan ibu AB atau sebaliknya, maka golongan darah anak mungkin A atau B
atau AB.
Bila golongan darah ayah B dan ibu AB atau sebaliknya, maka golongan darah anak adalah A atau B atau
AB.
Bila golongan darah ayah A dan ibu O atau sebaliknya, maka golongan darah anak adalah A atau O.
Bila golongan darah ayah B dan ibu O atau sebaliknya, maka golongan darah anak adalah B atau O.
Bila golongan darah ayah O dan ibu O atau sebaliknya, maka golongan darah anak adalah O.
Bila golongan darah ayah AB dan ibu O atau sebaliknya, maka golongan darah anak adalah A atau B.
Semoga rumus sederhana ini bisa membantu anda untuk mengetahui kemungkinan golongan darah
seorang anak, bukankah menyenangkan jika kita bisa menebak golongan darah anak kelak ket
NOMER 6

Gejala Anemia, Penyebab, Faktor Risiko dan Pencegahan


Anemia atau kurang darah adalah kondisi di mana jumlah sel darah merah atau hemoglobin (protein
pembawa oksigen) dalam sel darah merah berada di bawah normal. Sel darah merah mengandung
hemoglobin yang berperan dalam mengangkut oksigen dari paru-paru dan mengantarkannya ke seluruh
bagian tubuh.

Akibat dari anemia adalah transportasi sel darah merah akan terganggu dan jaringan tubuh si penderita
anemia akan mengalami kekuranga oksigen guna mengahasilkan energi. Maka tidak mengeherankan jika
gejala anemia ditunjukan dengan merasa cepat lelah, pucat, gelisah, dan terkadang sesak. Serta ditandai
dengan warna pucat di beberapa bagian tubuh seperti lidah dan kelopak mata.

Penyebab umum dari anemia antara lain; kekurangan zat besi, pendarahan usus, pendarahan, genetik,
kekurangan vitamin B12, kekuarangan asam folat, gangangguan sunsum tulang.

Gejala Anemia (Kurang Darah)

Berikut adalah beberapa tanda yang menunjukkan bahwa Anda mengalami anemia, seperti dilansir
Boldsky.

1. Kelopak Mata Pucat

Sangat mudah untuk mendeteksi anemia dengan melihat mata. Ketika Anda meregangkan kelopak mata
dan memperhatikan bagian bawah mata. Anda akan melihat bahwa bagian dalam kelopak mata
berwarna pucat.

2. Sering Kelelahan
Jika Anda merasa lelah sepanjang waktu selama satu bulan atau lebih, bisa jadi Anda memiliki jumlah sel
darah merah yang rendah. Pasokan energi tubuh sangat bergantung pada oksidasi dan sel darah merah
Semakin rendah sel darah merah, tingkat oksidasi dalam tubuh ikut berkurang.

3. Sering Mual

Mereka yang menderita anemia seringkali mengalami gejala morning sickness atau mual segera setelah
mereka bangun dari tempat tidur.

4. Sakit kepala

Orang yang mengalami anemia sering mengeluh sakit kepala secara terus-menerus. Kekurangan darah
merah membuat otak kekurangan oksigen. Hal ini sering menyebabkan sakit kepala.

5. Ujung Jari Pucat

Ketika Anda menekan ujung jari, daerah itu akan berubah jadi merah. Tetapi, jika Anda mengalami
anemia, ujung jari Anda akan menjadi putih atau pucat.

6. Sesak napas

Jumlah darah yang rendah menurunkan tingkat oksigen dalam tubuh. Hal ini membuat penderita
anemia sering merasa sesak napas atau sering terengah-engah ketika melakukan aktivitas sehari-hari
seperti berjalan.

7. Denyut Jantung Tidak Teratur

Palpitasi adalah istilah medis untuk denyut jantung tidak teratur, terlalu kuat atau memiliki kecepatan
abnormal. Ketika tubuh mengalami kekurangan oksigen, denyut jantung meningkat. Hal ini
menyebabkan jantung berdebar tidak teratur dan cepat.

8. Wajah Pucat

Jika Anda mengalami anemia, wajah Anda akan terlihat pucat. Kulit juga akan menjadi putih kekuningan.

9. Rambut rontok

Rambut rontok bisa menjadi gejala anemia. Ketika kulit kepala tidak mendapatkan makanan yang cukup
dari tubuh, Anda akan mengalami penipisan rambut dengan cepat.

10. Menurunnya Kekebalan Tubuh


Ketika tubuh Anda memiliki energi yang sangat sedikit, kekebalan atau kemampuan tubuh untuk
melawan penyakit ikut menurun. Anda akan mudah jatuh sakit atau kelelahan.

Penyebab & Faktor Risiko

Darah terdiri dari plasma dan sel. Ada tiga jenis sel darah:

1. Sel darah putih (leukosit). Sel darah ini berguna untuk melawan infeksi.
2. Platelets / keping darah. Sel darah ini membantu membekukan darah saat terluka.
3. Sel darah putih (eritrosit). Sel darah merah ini membawa oksigen dari paru-paru melalui aliran
darah menuju otak dan organ serta jaringan lain.

Tubuh memerlukan suplai oksigen untuk berfungsi. Sel darah merah mengandung hemoglobin yang
merupakan protein yang kayak dengan zat besi yang memberikannya warna merah.

Banyak sel darah diproduksi oleh sumsum tulang belakang. Untuk dapat memproduksi sel darah merah
dan hemoglobin, tubuh anda membutuhkan zat besi, mineral, protein dan vitamin lainnya dari makanan
yang anda makan.

Penyebab Anemia (Kurang Darah)

Anemia terjadi ketika tubuh memproduksi terlalu sedikit sel darah merah, kehilangan terlalu banyak sel
darah merah atau mematikan sel darah merah lebih banyak daripada menggantinya. Beberapa jenis
anemia dan penyebabnya adalah:

Iron deficiency anemia


Penyebab anemia jenis ini adalah kekurangan zat besi di tubuh. Sumsum tulang membutuhkan zat besi
untuk membuat hemoglobin. Tanpa zat besi yang cukup, tubuh tidak akan memproduksi cukup
hemoglobin untuk sel darah merah.

Vitamin deficiency anemia


Sebagai tambahan dari zat besi, tubuh juga membutuhkan folat dan vitamin B-12 untuk menghasilkan
cukup sel darah merah. Asupan makanan yang rendah zat tersebut dan nutrisi penting lain dapat
menyebabkan penurunan produksi sel darah merah. Sebagai tambahan, beberapa orang tidak dapat
dengan efektif menyerap vitamin B-12.

Anemia of chronic disease


Penyakit kronis tertentu, contohnya kanker dan HIV/AIDS. Dapat mempengaruhi produksi sel darah
merah, menghasilkan anemia kronis. Gagal ginjal juga dapat menyebabkan anemia.
Aplastic anemia
Jenis ini sangat jarang terjadi dan merupakan kondisi yang mengancam jiwa. Ini disebabkan oleh
berkurangnya kemampuan sumsum tulang belakang untuk menghasilkan ketiga jenis sel darah.
Penyebabnya tidak diketahui.

Anemias associated with bone marrow disease


Kondisi seperti leukemia dan myelodysplasia dapat menyebabkan anemia yang menyebabkan produksi
darah di sumsum tulang belakang berkurang.

Hemolytic anemias
Ini terjadi ketika sel darah merah hancur lebih cepat dan sumsum tulang belakang tidak mampu
mengimbanginya dengan menghasilkan sel darah merah pengganti. Penyakit tertentu seperti gangguan
pada darah dapat menjadi penyebab. Serta gangguan autoimun tubuh dapat menyebabkan tubuh
menghasilkan antibodi terhadap sel darah merah sehingga menghancurkan sel darah merah.

Sickle cell anemia


Jenis anemia ini disebabkan oleh kecacatan bentuk hemoglobin yang membuat sel darah merah
terbentuk seperti sabit. Sel darah merah ini mati secara prematur dan menyebabkan kondisi kronis
kurangnya sel darah merah.

Anemia lain
Anemia jenis ini berbeda dari yang lain, antara lain thalassemia dan anemia yang disebabkan oleh
kecacatan hemoglobin.

Faktor risiko terkena anemia

Beberapa faktor yang mungkin meningkatkan peluang terjadinya anemia antara lain:

 Rendahnya asupan gizi pada makanan.


 Gangguan kesehatan usus kecil atau operasi yang berkenaan dengan usus kecil.
 Menstruasi.
 Kehamilan.
 Kondisi kronis seperti kanker, gagal ginjal atau kegagalan hati.
 Faktor keturunan.

Infeksi tertentu seperti gangguan pada darah dan autoimun, terkena racun kimia, dan menggunakan
beberapa obat yang berpengaruh pada produksi sel darah merah dan menyebabkan anemia.

Risiko lain adalah diabetes, alkohol dan orang yang menjadi vegetarian ketat dan kurang asupan zat besi
atau vitamin B-12 pada makanannya.
Pencegahan Penyakit Anemia

Banyak jenis anemia tidak dapat dicegah. Tapi anda dapat membantu menghindari iron deficiency
anemia dan vitamin deficiency anemias dengan makanan sehat yang mengandung:

1. Zat besi

Dapat ditemukan pada daging. Jenis lain adalah kacang, sayuran berwana hijau gelap, buah yang
dikeringkan, dan lain-lain.

2. Folat

Dapat ditemukan pada jeruk, pisang, sayuran berwarna hijau gelap, kacang-kavangan, sereal dan pasta.

3. Vitamin B-12

Vitamin ini banyak terdapat pada daging dan susu.

4. Vitamin C

Vitamin C membantu penyerapan zat besi. Makanan yang mengandung vitamin C antara lain jeruk,
melon dan buah beri.

Makanan yang mengandung zat besi penting untuk mereka yang membutuhkan zat besi tinggi seperti
pada anak-anak, wanita menstruasi dan wanita hamil. Zat besi yang cukup juga penting untuk bayi,
vegetarian dan atlet.

Penyakit anemia
Daripada Wikipedia, ensiklopedia bebas.

Lompat ke: pandu arah, cari

PENAFIAN: Untuk pengetahuan sahaja. Sila dapatkan nasihat doktor atau


pakar perubatan bertauliah mengenai kesihatan anda.

Maklumat perubatan dan penjagaan kesihatan dalam laman ini tidak bertujuan menggantikan
jagaan profesional, khidmat nasihat, diagnosis atau rawatan doktor/pakar perubatan bertauliah.
Laman ini tidak mempunyai jawapan kepada semua masalah kesihatan dan perubatan yang
dialami. Jawapan kepada masalah umum mungkin tiada kaitan langsung dengan keadaan
kesihatan anda. Sekiranya anda menyedari tanda/gejala penyakit atau jatuh sakit, sila hubungi
doktor/pakar perubatan bertauliah untuk rawatan segera.

Rencana ini membincangkan keadaan perubatan. Untuk genus paku-pakis, sila lihat Anemia
(paku-pakis)

Anemia

Pengelasan dan sumber luaran

ICD-10 D50-D64

ICD-9 280-285

P. Data Penyakit 663

MedlinePlus 000560

eMedicine med/132 emerg/808 emerg/734

Penafian perubatan

Anemia, perkataan yang berasal daripada bahasa Greek (Ἀναιμία) yang membawa pengertian
"tiada darah", merujuk kepada kekurangan sel darah merah (RBC) dan/atau hemoglobin. Ini
mengurangkan keupayaan darah untuk memindahkan oksigen ke tisu-tisu, dan mengakibatkan
hipoksia; oleh sebab semua sel manusia bergantung kepada oksigen untuk hidup, tingkatan-
tingkatan anemia yang berbeza-beza menimbulkan pelbagai masalah. Hemoglobin (protein yang
membawa oksigen di dalam sel darah merah) harus hadir untuk memastikan pengoksigenan yang
mencukupi bagi semua tisu dan organ badan.

Tiga kelas anemia yang utama termasuk:

1. kehilangan darah akut (mendadak) yang berketerlaluan (genting seperti dalam kes pendarahan
akibat kecelakaan, atau kronik (melalui kehilangan darah isi padu rendah dalam jangka masa
lama);
2. pemusnahan sel darah yang berterlaluan (hemolisis); dan
3. pengeluaran/penghasilan sel darah merah yang kurang (hematopoiesis yang tidak berkesan).

Bagi wanita-wanita yang datang haid, kekurangan ferum dalam diet merupakan satu sebab yang
umum untuk kekurangan pengeluaran sel darah merah.
Anemia merupakan gangguan darah yang paling biasa. Terdapat berbagai-bagai sebab yang
mendasari anemia. Anemia boleh digolongkan melalui berbagai-bagai cara, berdasarkan
morfologi atau bentuk sel darah merah, mekanisme etiologi, dan simptom klinikal yang boleh
dikesan, antara lain.

Adanya dua pendekatan utama untuk mengelaskan anemia, iaitu pendekatan "kinetik" yang
melibatkan penilaian pengeluaran, pemusnahan, dan kehilangan sel darah merah, [1] serta
pendekatan "morfologi" yang mengelaskan anemia mengikut saiz sel darah merah. Pendekatan
morfologi mempergunakan satu ujian makmal yang murah dan mudah didapati (min isi padu
korpuskel, MCV) sebagai titik permulaannya. Sebaliknya, menumpukan perhatian pada
persoalan pengeluaran pada peringkat awal membenarkan seseorang doktor untuk mendedahkan
kes-kes anemia yang diakibatkan oleh berbilang sebab dengan lebih cepat.

Isi kandungan

 1 Simptom dan tanda


 2 Diagnosis
 3 Diagnosis pembezaan
o 3.1 Anemia mikrositik
o 3.2 Anemia normositik
o 3.3 Anemia makrositik
 4 Anemia-anemia tertentu
 5 Rawatan bagi anemia
o 5.1 Pemindahan darah kerana anemia
o 5.2 Hyperbaric Oxygenation (HBO)
 6 Lihat juga
 7 Rujukan
 8 Pautan luar

Simptom dan tanda

Anemia sukar dikesan bagi kebanyakan orang, dan simptomnya kabur. Biasanya, perasaan lemah
atau keletihan dilaporkan. Sesak nafas dilaporkan dalam kes teruk. Anemia amat teruk
memerlukan tindakbalas pengimbal di mana output jantung meningkat dengan jelas, membawa
kepada degupan laju (palpitation) dan berpeluh; kegagalan jantung boleh terjadi jika orang yang
sudah berumur mengalaminya.

Kulit dan selaput mukosa yang pucat sahaja menjadi tanda utama bagi anemia di tahap
berbahaya (severe anemia), dengan itu bukanlah merupakan tanda yang pasti.

Diagnosis

Satu-satu cara mengesan anemia adalah dengan ujian darah. Lazimnya, kiraan darah lengkap
boleh dilaksanakan. Selain daripada melaporkan jumlah sel darah merah dan tahap hemoglobin,
penganalisis automatik juga boleh mengukur saiz sel darah merah, yakni satu alat penting untuk
membezakan sebab-sebabnya.

Kekadangnya, ujian lain diperlu untuk membezakan lagi sebab-sebab anemia. Ini dibincangkan
bersama dengan diagnosis pembezaan (bawah). Doktor mungkin juga memutuskan membuat
ujian darah penyaringan yang lain untuk menentukan sebab keletihan, tahap-tahap glukosa, kadar
pemendapan eritrosit, feritin, ujian fungsi renal serta elektrolit mungkin menjadi sebahagian
daripada kajian diagnosis intensif. Tanda-tanda yang senang dikenalpasti bagi pesakit anemia
antaranya adalah:

Tanda-tanda pucat pada bibir dan sekeliling mulut, kuku, pelipat dan di bahagian dalam kelopak
mata. Tidak bermaya, letih, dan lemah badan. Pendek nafas apabila melakukan senaman..
Pening, pitam disebabkan oleh kurangnya oksigen sampai ke otak. Angina pektoris iaitu suatu
keadaan apabila berlaku kesakitan di dada yang diakibatkan oleh oksigen yang sampai ke
jantung tidak mencukupi. Palpitasi, iaitu suatu keadaan apabila denyutan jantung menjadi cepat
dan kuat secara luarbiasa. Kurang selera makan dan kehilangan berat badan, sukar untuk
berjalan; dan mental bercelaru yang disebabkan oleh kekurangan vitamin B12. Penyakit demam
kuning (jaundis) terjadi bagi kes anemia hemolitik .

Diagnosis pembezaan
Tolong bantu menterjemahkan sebahagian rencana ini.
Rencana ini memerlukan kemaskini dalam Bahasa Melayu piawai Dewan Bahasa dan Pustaka.
Sila membantu, bahan-bahan boleh didapati di Penyakit anemia.
Sumber-sumber bantuan: Pusat Rujukan Persuratan Melayu.

Anemia dikelaskan menurut saiz sel darah merah; ini sama ada dilakukan secara automatik atau
melalui pemeriksaan mikroskop ke atas lumuran darah periferi (peripheral blood smear). Saiz ini
digambarkan dalam min isipadu korpuskel. Sekiranya sel adalah lebih kecil berbanding normal
(bawah 80 fl), anemia dikatakan sebagai mikrositik (microcytic); sekiranya ia bersaiz normal
(80-100 fl), normositik (normocytic); dan sekiranya ia adalah lebih besar berbanding normal
(lebih 100 fl), anemia ini dikelaskan sebagai makrositik (macrocytic). Ciri-ciri lain yang boleh
dilihat pada lumuran periferi mungkin memberikan petunjuk untuk diagnosis yang lebih khusus;
sebagai contoh, sel darah putih luar biasa mungkin menunjukkan punca dalam sum-sum tulang.

Anemia mikrositik

Kekurangan zat besi merupakan sebab paling kerap untuk anemia jenis ini berlaku. Namun
anemia mikrositik juga boleh berlaku kerana penyakit-penyakit darah (hemoglobinopathies) lain
seperti anemia sel sabit dan talasemia.

Anemia kerana kekurangan zat besi (ferum) berlaku apabila pengambilan zat besi dalam diet
tidak mencukupi, atau penyerapannya tidak berlaku dengan sempurna. Zat besi merupakan
elemen penting dalam hemoglobin. Hemoglobin adalah sejenis pigmen yang terkandung dalam
sel darah merah. Pigmen ini berfungsi sebagai tempat untuk oksigen berpaut (oxygen-binding
site). Apabila kandungan zat besi rendah, kadar hemoglobin dalam sel darah merah juga
berkurang. Wanita sering mengalami masalah ini, kerana kadar wanita kepada lelaki yang
mempunyai masalah ini adalah 10:1 (sepuluh wanita untuk satu lelaki). Hal ini sering dikaitkan
dengan pendarahan teruk (heavy bleeding) yang dialami sesetengah wanita. Kajian menunjukkan
pelajar perempuan dengan tahap zat besi yang rendah berprestasi lebih teruk dalam pelajaran dan
tahap IQ berbanding gadis normal dan pelajar lelaki. Kekurangan zat besi juga boleh disebabkan
pendarahan dalaman, terutama sepanjang saluran alimentari (mulut, esofagus, perut, duodenum,
jejunum, ileum, usus besar atau kolon, rektum dan dubur). Walaupun sebabnya berbagai-bagai,
pendarahan di mana-mana tempat sepanjang salur ini boleh disebabkan oleh kanser. Oleh itu,
tempat dan sebab pendarahan berlaku perlu dikenal pasti dengan tepat oleh doktor bertauliah.

Anemia normositik

Anemia normositik selalunya disebabkan kehilangan darah yang banyak dalam masa yang
singkat, seperti yang dialami orang yang terlibat dalam kecelakaan jalan raya atau orang yang
mengelar pergelangan tangannya dalam cubaan membunuh diri. Penyakit yang kronik selalu
menyebabkan tubuh gagal menghasilkan sel darah merah yang cukup (berbeza dengan anemia
milrositik yang disebabkan kekurangan hemoglobin, bukan sel darah). Sebagai contoh,
kegagalan ginjal yang kronik menyebabkan pengurangan kadar rembesan eritropoietin, hormon
penting dalam pembinaan sel darah merah. Kerosakan pada hati juga menyebabkan perkara sama
terjadi.

Anemia jenis ini juga berlaku kepada pesakit yang mempunyai masalah keseimbangan hormon
(hormonal imbalance), terutama kekurangan testosteron atau hipogonadisme. Anemia
sideroblastik (sideroblastic anemia) juga termasuk dalam kategori ini. Anemia sideroblastik
adalah salah satu simptom untuk sindrom myelodisplastik (myelodysplastic syndrome). Sindrom
ini merupakan satu kumpulan masalah yang berpunca dari sintesis sel darah merah yang tidak
normal. Sindrom ini selalunya akan menjadi leukemia.

Anemia aplasia, atau kegagalan sum-sum tulang merupakan anemia yang disebabkan oleh
kegagalan sum-sum tulang untuk menghasilkan sel darah. Anemia aplasia jarang berlaku jika
dibandingkan dengan anemia yang disebabkan kecacatan genetik atau gizi tidak seimbang,
namun ia berkembang dan memburuk dengan lebih pantas.

Anemia makrositik

 Punca utama anemia makrositik adalah kekurangan sama ada vitamin B12 atau asid folik (atau
kedua-duanya) akibat kekurangan pengambilan atau masalah penyerapan .[1] Anemia pernisius
(pernicious anemia) adalah keadaan autoimun (autoimmune) di mana tubuh kekurangan faktor
intrisik yang diperlukan bagi menyerap vitamin B12 daripada makanan.
 Ketagihan alkohol boleh menyebabkan anemia makrositik.
 Anemia hemolitik adalah anemia di mana pelupusan atau degradasi (degradation) sel darah
merah berlaku terlampau cepat. Jaundis (demam kuning) dan peningkatan tahap enzim laktat
dehidrogenase (lactate dehydrogenase) merupakan simptom-simptom anemia hemolitik.
Sebabnya berbagai-bagai, antaranya autoimun, masalah genetik ataupun masalah mekanikal
seperti pembedahan jantung atau sirosis hati (liver cirrhosis)
Rawatan untuk kekurangan vitamin B12 (yang menyebabkan anemia makrositik) telah dijumpai
oleh William Parry Murphy. Beliau melukakan anjing-anjing eksperimen sehingga semuanya
menjadi anemia, dan kemudian memberi mereka pelbagai bahan dan zat makanan untuk mencari
bahan yang mampu mengubat anemia. Berdasarkan kajian beliau ini, memakan hati mampu
mengurangkan simptom dan akhirnya menyembuhkan anemia. George Richards Minot dan
George Hoyt Whipple akhirnya berjaya mengasingkan vitamin B12 dari hati. Untuk itu, ketiga-
tiga orang ini berkongsi Hadiah Nobel 1934 dalam Perubatan.

Anemia-anemia tertentu

 Fanconi anemia (anemia fankoni) - a hereditary disease (penyakit keturunan) featuring aplastic
anemia(anemia aplasia) and various other abnormalities

Rawatan bagi anemia

Terdapat banyak jenis rawatan bagi anemia dan jenis rawatan bergantung kepada keterukan dan
punca anemia.

Kekurangan zat besi akibat kekurangan makanan amat jarang bagi dewasa tidak berhaid (lelaki
dan wanita putus haid). Diagnosis kekurangan zat besi menyatakan pencarian bagi potensi punca
kehilangan sebegitu seperti perdarahan perut (gastrointestinal) akibat ulser atau barah kolon.
Anemia kekurangan zat besi ringan hingga serdahana dirawat dengan tambahan zat besi
menggunakan ferous sulfat atau ferrous gluconate. Vitamin C mungkin membantu keupayaan
tubuh bagi menyerap zat besi.

Vitamin tambahan diberikan secara oral (asid folik) atau suntikan (vitamin B-12) akan
menggantikan kekurangan khusus.

Bagi penyakit anemia kronik, anemia dikaitkan dengan kemoterapi (chemotherapy), atau anemia
dikaitkan dengan penyakit ginjal, sesetengah pakar klinikal prescribe [[recombinant
protein|recombinant](protein rekombinan)] [[erythropoietin](eritropoietin)], epoetin alfa, bagi
menggalakkan penghasilan sel darah merah.

Bagi kes anemia teruk, atau dengan kehilangan darah berterusan, pemindahan darah mungkin
diperlukan.

Pemindahan darah kerana anemia

Secara umum, doktor cuba mengelakkan pemindahan darah kerana, bukti berlainan
menunjukkan peningkatan hasil pesakit bertambah teruk dengan strategi pemindahan yang
semakin meningkat. Prinsip fisiologi yang mengurangkan pengaliran oksigen dikaitkan dengan
anemia mendorong kepada hasil klinikal teruk diimbangi dengan temuan bahawa pemindahan
darah tidak semestinya mengurangkan hasil klinikal mudarat ini.
Bagi perdarahan akut dan teruk, pemindahan darah sering kali menyelamatkan nyawa.
Peningkatan dalam daya hidup tercedera di medan perang, sekurang-kurangnya sebahagian
daripadanya, bergantung kepada peningkatan dalam teknik pemindahan darah dan bank darah.

Transfusi of the stable but anemic hospitalized patient has been the subject of numerous
[[clinical trials](ujikaji klinikal)], and transfusion is emerging as a deleterious intervention.

Four randomized controlled clinical trials (ujikaji klinikal rambang berkawal)have been
conducted to evaluate aggressive versus conservative transfusion strategies (strategi transfusi
konservatif)in critically ill patients (pesakit tenat kritikal). All four of these studies failed to find
a benefit with more aggressive transfusion strategies. [2] [3] [4] [5]

In addition, at least two retrospective studies (kajian retrospektif)have shown increases in


adverse clinical outcomes (nasib mudarat klinikal)with more aggressive transfusion strategies. [6]
[7]

Hyperbaric Oxygenation (HBO)

Treatment of exceptional blood loss (anemia)(kehilangan darah luarbiasa) is recognized as an


indication for [[hyperbaric oxygen](oksigen hiperbarik)] (HBO) by the Undersea and Hyperbaric
Medical Society.[8][9] The use of HBO is indicated when oxygen delivery to tissue is not
sufficient in patients who cannot be transfused for medical or religious reasons. HBO may be
used for medical reasons when threat of blood product incompatibility (ketakserasian produk
darah)or concern for transmissible disease are factors.[8] The beliefs of some religions (ex:
Jehovah's Witnesses) may prohibit the receipt of transfused blood products.[8]

In 2002, Van Meter reviewed the publications surrounding the use of HBO in severe anemia and
found that all publications report a positive result.[10]

Lihat juga

 Asma atau penyakit lelah


 Hematologi
 Metabolisme ferum manusia

Rujukan

1. Jump up ↑ Vitamin B12 can prevent major birth defects


2. Jump up ↑ Hébert PC, Wells G, Blajchman MA, et al (1999). "A multicenter, randomized,
controlled clinical trial of transfusion requirements in critical care (jagaan kritikal). Transfusion
Requirements in Critical Care Investigators, Canadian Critical Care Trials Group". N. Engl. J. Med.
340 (6): 409–17. PMID 9971864.
3. Jump up ↑ Bush RL, Pevec WC, Holcroft JW (1997). "A prospective, randomized trial limiting
perioperative red blood cell transfusions (perioperatif)in vascular patients". Am. J. Surg. 174 (2):
143–8. doi:10.1016/S0002-9610(97)00073-1. PMID 9293831.
4. Jump up ↑ Bracey AW, Radovancevic R, Riggs SA, et al (1999). "Lowering the hemoglobin
threshold (ambang)for transfusion in coronary artery bypass procedures(prosedur pintas arteri
koronari): effect on patient outcome (nasib pesakit)". Transfusion 39 (10): 1070–7.
doi:10.1046/j.1537-2995.1999.39101070.x. PMID 10532600.
5. Jump up ↑ McIntyre LA, Fergusson DA, Hutchison JS, et al (2006). "Effect of a liberal versus
restrictive transfusion strategy on mortality in patients with moderate to severe head injury".
Neurocritical care 5 (1): 4–9. doi:10.1385/NCC:5:1:4. PMID 16960287.
6. Jump up ↑ Corwin HL, Gettinger A, Pearl RG, et al (2004). "The CRIT Study: Anemia and blood
transfusion in the critically ill--current clinical practice in the United States". Crit. Care Med. 32
(1): 39–52. doi:10.1097/01.CCM.0000104112.34142.79. PMID 14707558.
7. Jump up ↑ Vincent JL, Baron JF, Reinhart K, et al (2002). "Anemia and blood transfusion in
critically ill patients". JAMA 288 (12): 1499–507. doi:10.1001/jama.288.12.1499.
PMID 12243637.
8. ↑ Jump up to: 8.0 8.1 8.2 Undersea and Hyperbaric Medical Society. "Exceptional Blood Loss - Anemia".
Capaian 2008-05-19.
9. Jump up ↑ Hart GB, Lennon PA, Strauss MB. (1987). "Hyperbaric oxygen in exceptional acute
blood-loss anemia". J. Hyperbaric Med 2 (4): 205–210. Capaian 2008-05-19.
10. Jump up ↑ Van Meter KW (2005). "A systematic review of the application of hyperbaric oxygen
in the treatment of severe anemia: an evidence-based approach (pendekatan berdasarkan
pembuktian)". Undersea Hyperb Med 32 (1): 61–83. PMID 15796315. Capaian 2008-05-19.

Pautan luar

Talasemia
Daripada Wikipedia, ensiklopedia bebas.

Lompat ke: pandu arah, cari

PENAFIAN: Untuk pengetahuan sahaja. Sila dapatkan nasihat doktor atau


pakar perubatan bertauliah mengenai kesihatan anda.

Maklumat perubatan dan penjagaan kesihatan dalam laman ini tidak bertujuan menggantikan
jagaan profesional, khidmat nasihat, diagnosis atau rawatan doktor/pakar perubatan bertauliah.
Laman ini tidak mempunyai jawapan kepada semua masalah kesihatan dan perubatan yang
dialami. Jawapan kepada masalah umum mungkin tiada kaitan langsung dengan keadaan
kesihatan anda. Sekiranya anda menyedari tanda/gejala penyakit atau jatuh sakit, sila hubungi
doktor/pakar perubatan bertauliah untuk rawatan segera.

Talasemia

Talasemia (bahasa Inggeris: Thalassaemia) adalah penyakit kecacatan darah. Talasemia


merupakan keadaan yang diwarisi, iaitu diwariskan dari keluarga kepada anak. Kecacatan gen
menyebabkan hemoglobin dalam sel darah merah menjadi tidak normal. Mereka yang
mempunyai penyakit Talasemia tidak dapat menghasilkan hemoglobin yang mencukupi dalam
darah mereka. Hemoglobin adalah bahagian sel darah merah yang mengangkut oksigen daripada
paru-paru keseluruh tubuh. Semua tisu tubuh manusia memerlukan oksigen. Akibat kekurangan
sel darah merah yang normal akan menyebabkan pesakit kelihatan pucat kerana paras
hemoglobin (Hb) yang rendah (anemia).

Sel darah merah bertugas membekalkan oksigen kepada tisu dalam badan manusia. Kekurangan
sel darah merah bagi membekalkan oksigen akan mengakibatkan pesakit talasemia berasa lesu,
tidak bermaya, dan mungkin sesak nafas sekiranya paras hemoglobin semakin menurun.

Mereka yang mengidap Thalassaemia tidak mampu membekalkan seluruh sel tubuh mereka
denga bekalan oksigen yang mencukupi akibat kekurangan hemoglobin dalam sel darah merah.
Tisu yang ketiadaan oksigen gagal berfungsi dengan baik. Dengan itu tubuh mereka menjadi
lemah, gagal berkembang dengan baik, dan mereka boleh menjadi sakit teruk.

Pesakit Talasemia biasanya mempunyai paras hemoglobin yang rendah iaitu kurang daripada
10g/dl. Mereka yang mengidap Talasemia mempunyai kelebihan melawan penyakit Malaria.

Isi kandungan

 1 Jenis Talasemia
 2 Pembawa Talasemia
 3 Pesakit Talasemia
 4 Tanda dan gejala penyakit Talasemia
 5 Rawatan penyakit Talasemia
 6 Saringan Talasemia
 7 Persatuan Talasemia Malaysia
 8 Pautan luar

Jenis Talasemia

Terdapat dua jenis Talasemia iaitu:

 Talasemia minor : Talasemia minor merujuk kepada mereka yang mempunyai kecacatan gen
talasemia tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda talasemia atau pembawa.

 Talasemia major : Talasemia major merujuk kepada mereka yang mempunyai baka talasemia
sepenuhnya dan menunjukkan tanda-tanda talasemia.

Pembawa Talasemia

Biasanya penghidap Talasemia tidak menunjukkan apa-apa tanda atau masalah kesihatan.
Pengesanan hanya boleh menurunkan gen Talasemia kepada anak-anaknya. Sekiranya salah
seorang ibu atau bapa adalah pembawa, keadaan berikut boleh berlaku. Peratusan risiko untuk
setiap kehamilan;
— 50% kemungkinan adalah pembawa
— 50% kemungkinan adalah normal
— Tiada anak yang menghidap Talasemia(talasemia major)

Pesakit Talasemia

Sekiranya kedua-dua ibu dan bapa adalah pembawa keadaan berikut boleh berlaku;
— 25% kemungkinan anak mereka adalah pesakit Talasemia
— 50% kemungkinan anak mereka adalah pembawa
— 25% kemungkinan anak mereka adalah normal

(Nota: Pesakit Talasemia biasanya mempunyai paras hemoglobin yang rendah iaitu kurang
daripada 10g/dl.)

Tanda dan gejala penyakit Talasemia

 Biasanya anak-anak pembawa Talasemia kelihatan normal sewaktu dilahirkan. Bagaimanapun,


mereka akan mulai mengalami masalah anemia yang serius apabila mencapai usia di antara 13
hingga 18 bulan.
 Tubuh pucat,lemah, dan gelisah.
 Anemia yang serius boleh menyebabkan kesukaran bernafas.
 Jaundis
 Tumbesaran terbantut
 Perut buncit disebabkan pembengkakan hati dan limpa.
 Perubahan pembentukan tulang muka, pipi, dan rahang yang tidak normal(tanda lewat).

Rawatan penyakit Talasemia

 Pesakit perlu menjalani transfusi darah berterusan setiap bulan.


 Transfusi darah berterusan akan menyebabkan pengumpulan zat besi di dalam organ penting
badan seperti hati, jantung, dan kelenjar endokrin yang akhirnya merosakkan fungsi organ-
organ tersebut.
 Rawatan penyingkiran zat besi berlebihan perlu dilakukan dengan suntikan ubat
Desferrioxamine.
 Pemindahan sum-sum tulang sekiranya ada penderma yang sesuai di kalangan keluarga.

Saringan Talasemia

Saringan ujian darah untuk Talasemia boleh dijalankan di semua klinik dan hospital, sama ada
kerajaan atau swasta. Jalanilah ujian darah tersebut untuk mengetahui status penyakit anda.
Pesakit Talasemia memerlukan transfusi darah setiap bulan. Tanpa rawatan yang sempurna,
beberapa komplikasi boleh berlaku dan lazimnya mereka akan meninggal dunia di usia remaja.
Persatuan Talasemia Malaysia

Projek Persatuan Talasemia Malaysia untuk menghubungkan para pesakit talasemia, ibu bapa,
dan penjaga dengan anggota komuniti terpinggir (contohnya, komuniti luar bandar). Tujuannya
untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang penyakit berkenaan, mewujudkan
hubungan dua hala yang interaktif dengan mewujudkan pangkalan data yang memudahkan
kajian dan pembentukan polis

Komuniti ↓

WAKTU SOLAT Kuala Lumpur

SUBUH
ZUHUR
ASAR
MAGHRIB
ISYAK

... kawasan lain

Sabtu , 05 Oktober 2013

Set BH sebagai Laman Utama Arkib Berita : Seminggu | Sejak 1991

 RSS
 Mobile
 Akhbar Digital
 SMS Alert
 1klassifieds

PILIHAN ENJIN CARIAN


 Nasional
 Sukan
 Dunia
 Ekonomi
 Agama
 Hip
 Ratu
 Rencana
 Pendidikan
 Sastera
 Skuad
 Teknologi
 Sisipan
 Klik Khas

Sihat

Cetak . Emel Rakan .

Sinar baru Talasemia


Oleh Suzalina Halid
suzalina@bharian.com.my
2012/05/27

Ubat Exjade diambil secara oral jadi penawar

TALASEMIA adalah sejenis penyakit genetik yang mengganggu pembentukan sel darah merah normal
dan menyebabkan sel darah itu mudah pecah atau musnah. Ini sekali gus boleh menghasilkan bahan zat
besi secara berterusan dan berkumpul di beberapa organ penting seperti jantung otak, hati dan buah
pinggang.

Keadaan ini menyebabkan kerosakan pada organ itu dan pada masa sama, pesakit kelihatan pucat
berikutan kekurangan sel darah merah normal. Ini disebabkan paras hemoglobin yang rendah dan
memerlukan transfusi darah secara berterusan.
Jika sebelum ini, kebanyakan pesakit talasemia di negara ini terutamanya kanak-kanak, terpaksa
berhadapan dengan detik sukar termasuk menanggung sakit setiap kali mengambil suntikan bagi
rawatan penyakit itu, namun selepas ini, mereka bakal menarik nafas lega apabila kerajaan akan
memperkenalkan kaedah rawatan alternatif yang lebih mudah.

Dijangka dilaksanakan Julai ini, rawatan menggunakan sejenis ubat Deeferasirox (Exjade) yang diambil
secara oral ini dijangka dapat dimanfaatkan oleh sebahagian pesakit Talasemia secara optimum
berbanding kaedah lama dengan menggunakan suntikan ‘iron chelation agent’ seperti Desferrioxamine
(Desferral).

Sebelum ini, kaedah suntikan Desferrioxamine (Desferral) perlu diambil selama lapan hingga 10 jam
sehari dengan kekerapan rawatan sebanyak lima hingga enam kali seminggu menggunakan infusion
pump untuk mengikat zat besi yang berlebihan. Seterusnya diikuti proses mengeluarkan tumpukan zat
besi terbabit dari badan.

Bagaimanapun, kaedah itu adalah rumit dan menyakitkan. Ia juga memungkinkan risiko mendatangkan
komplikasi jika ia tercemar ketika proses suntikan berlangsung, sekali gus membuatkan sebahagian
pesakit talasemia gagal mematuhi rawatan dengan sempurna.
Sehubungan itu, kerajaan mencadangkan ubat Deferasirox (Exjade) diguna pakai bagi tujuan rawatan
‘iron chelation’ dan ia diluluskan pendaftarannya oleh Biro Farmaseutikal Kebangsaan di Malaysia pada
2008. Ia dimasukkan pula ke dalam Formulari Kebangsaan Ubat-ubatan Kementerian Kesihatan (Buku
Biru).

Bagaimanapun, penggunaan Deferasirox (Exjade) adalah mahal, yang mana seorang pesakit berumur
tujuh tahun dengan berat badan 25 kilogram (kg) memerlukan peruntukan sebanyak RM49,275 bagi
bekalan ubat itu setahun, sehingga menyebabkan penggunaannya tidak dapat dilaksanakan ketika itu.

Pengarah Institut Perubatan Molekul, Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Prof Datuk Dr A Rahman A
Jamal berkata, penggunaan Deferasirox (Exjade) membabitkan kos lebih mahal iaitu tiga kali ganda
berbanding kaedah Desferrioxamine (Desferral).

Dr A Rahman berkata, apabila kementerian memperuntukkan dana yang lebih untuk penggunaan
Deferasirox (Exjade), doktor akan melihat individu yang lebih layak menerima rawatan itu berdasarkan
garis panduan amalan klinikal dan keperluan setiap pesakit.

Beliau yang juga Penasihat Persekutuan Pertubuhan Talasemia Malaysia berkata, rawatan Deferasirox
(Exjade) diharap dapat dilaksanakan segera di mana doktor boleh memberi rawatan ‘iron chelation’
terbaik kepada pesakit.

“Ini sekali gus mengurangkan kesakitan sepanjang mengambil suntikan Desferrioxamine (Desferral).

“Bagaimanapun, ketika ini, tidak semua pesakit akan dapat menerima rawatan oral berkenaan dan
kementerian akan mengehadkan kepada beberapa jenis pesakit saja, ” katanya kepada Sihat.

Dr A Rahman berkata, walaupun dengan pengenalan kepada ubat Deferasirox (Exjade), namun akan ada
pesakit yang memerlukan gabungan kedua-dua jenis rawatan iaitu suntikan dan oral bagi mereka yang
kadar iron yang berlebihan dan kritikal di hati.

“Penggunaan Desferrioxamine (Desferral) yang digabungkan dengan Deferasirox (Exjade) adalah bagi
membantu mengeluarkan iron dengan lebih efektif bagi pesakit talasemia kronik.

“Permulaan penggunaan rawatan oral bagi kes baru akan membantu mengurangkan kos dos bergantung
kepada berat badan, ” katanya.

Sementara itu, Menteri Kesihatan, Datuk Seri Liow Tiong Lai berkata, penggunaan Deferasirox (Exjade)
akhirnya dapat direalisasikan dalam masa dua bulan lagi selepas kementerian memperoleh peruntukkan
kira-kira RM80.9 juta setiap tahun, iaitu tambahan sebanyak RM31.9 juta, khusus bagi pembelian ubat
berkenaan.

“Melalui kaedah ini, pesakit hanya perlu mengambil sekali dos sehari berbanding suntikan yang perlu
diambil setiap lapan jam selama lima atau enam kali seminggu.

“Dengan pelaksanaan kaedah rawatan ini juga menunjukkan tahap perubatan negara kita semakin maju
dan meningkat ke tahap lebih baik kerana tidak banyak negara lain yang mampu memberi ubat semahal
ini, ” katanya.

Liow berkata, setakat ini, kementerian sudah berunding dengan syarikat farmaseutikal yang
mengeluarkan ubat Deferasirox (Exjade) bagi mendapatkan bekalannya dalam masa sebulan atau dua
bulan lagi untuk dimanfaatkan oleh pesakit talasemia.

Bagaimanapun, katanya berikutan kos ubat Deferasirox (Exjade) adalah tinggi, maka penggunaannya
ditetapkan hanya untuk pesakit berusia lapan tahun ke bawah, pesakit yang mengalami kesan
sampingan serius akibat penggunaan ubat ‘iron chelating agents’ dan pesakit yang tidak mendapat
rawatan optima ‘iron chelation’.

Beliau berkata, melalui peruntukan tambahan sebanyak RM31.9 juta bagi membeli bekalan ubat itu
setiap tahun, ia dijangka dapat dimanfaatkan kira-kira 916 pesakit Talasemia pediatrik yang berumur
antara dua hingga tujuh tahun dan 166 pesakit baru.
“Sebahagian pesakit pediatrik ini membesar dan memasuki alam dewasa hasil dari perawatan talasemia
yang bertambah baik yang diberikan oleh hospital Kementerian Kesihatan ketika tempoh kanak-kanak.

“Sehubungan itu, peruntukan kira-kira RM26.7 juta setiap tahun diperlukan bagi menampung keperluan
ubat Desferrioxamine (Desferral) dan ubat Deferiprone (L1) untuk rawatan 1,646 orang pesakit
talasemia dewasa yang berumur 20 tahun ke atas.
“Selain itu, peruntukan tambahan itu juga meliputi Makmal Diagnostik Prenatal di Hospital Kuala
Lumpur, pengukuhan perkhidmatan Makmal Patologi bagi saringan penduduk di hospital kementerian
serta menjalankan aktiviti penyebaran maklumat dan pendidikan kesihatan berkaitan talasemia, ”
katanya.

Liow berkata, dengan peningkatan program kaunseling dan pendidikan kesihatan talasemia itu, bilangan
kelahiran bayi yang menghidap penyakit itu menurun daripada 192 pada 2004 kepada 82 pada 2009.

Pada masa sama, katanya bilangan remaja dan belia yang menjalani saringan talasemia untuk
mengetahui sama ada mempunyai ‘gen’ penyakit itu juga meningkat daripada 141,758 orang pada 2008
kepada 262,236 orang pada 2010, sekali gus membuktikan ada peningkatan kesedaran masyarakat
mengenainya.

“Peringkat umur remaja adalah golongan paling sesuai untuk menjalani ujian berkenaan kerana
intervensi kaunseling yang dijalankan pada usia itu adalah lebih berkesan,” katanya.

Manakala secara keseluruhan, jumlah pesakit talasemia yang didaftarkan di bawah Daftar Talasemia
Kebangsaan pada 2010 adalah sebanyak 4,823 orang di mana semua mereka sudah mendapat rawatan
sempurna iaitu merangkumi ubat chelators dan transfusi darah yang ditapis untuk mengekalkan kualiti
hidup.

Syukur Exjade beri kesan positif pada anak

MELALUI pengalaman yang sukar dan memeritkan sepanjang menjaga anak tunggal yang menghidap
talasemia, membuatkan suri rumah, Wan Zuraini Wan Muda, 35, tidak mahu mempunyai cahaya mata
lagi selain puteri kesayangan, Nursyafiqah Muhammad Hafiz, 13.

Mula disahkan menghidap penyakit talasemia sejak anaknya berusia dua tahun setengah, Wan Zuraini
mengakui terseksa apabila menyaksikan Nursyafiqah meraung kesakitan setiap kali menjalani rawatan
Desferral iaitu menggunakan kaedah suntikan sejak lapan tahun lalu.

Menurut Wan Zuraini, Nursyafiqah memperoleh penyakit berkenaan berikutan suaminya, Muhammad
Hafiz Abdullah, 43, adalah pembawa talasemia.

“Mula-mula dapat kenal pasti apabila tengok muka dia pucat dan kekuningan. Disebabkan ketika itu
kami tidak tahu bahawa kerajaan ada menawarkan rawatan Desferral secara percuma, kami membeli
mesin dan ubat-ubatan bagi suntikan sendiri yang mencecah ribuan ringgit selama beberapa bulan.

“Namun selepas mendapat tahu bahawa kerajaan ada membiayai rawatan Desferral, anak saya terus
mendapatkan rawatan di Hospital Kuala Lumpur iaitu sebulan dua kali bagi mendapatkan suntikan major
talasemia.

“Bagaimanapun setiap kali mengambil suntikan, anak saya pastinya menangis kerana tidak dapat
menahan kesakitan membuatkan saya tertekan,” katanya berkongsi kisah dengan Sihat.

Tidak sekadar itu, Wan Zuraini berkata, Nursyafiqah juga harus memakai mesin sehingga sembilan jam
pada waktu malam bagi rawatan susulan sehingga menimbulkan kesan pada badannya.

Malah aktiviti anaknya pada waktu malam juga terhad apabila tidak dapat hadir kelas tuisyen bersama
rakan-rakan lain apabila terpaksa menjalankan rawatan dengan mesin pada waktu malam selama lima
kali dalam seminggu.

Bagaimanapun, Wan Zuraini berkata, penderitaan Nursyafiqah sepanjang menjalani proses rawatan
Desferral berakhir apabila anaknya itu terpilih sebagai pesakit perintis untuk melalui proses percubaan
bagi kaedah pengambilan ubat Exjade sejak tiga tahun lalu.

Beliau berkata, ubat Exjade yang diambil secara oral setiap hari itu benar-benar teruji keberkesanannya
apabila kandungan ion dalam darah Nursyafiqah berkurangan dalam kadar yang tinggi dan cepat.

“Saya benar-benar bersyukur selepas anak saya terpilih sebagai antara pesakit awal yang berupaya
mencuba rawatan ini. Ini kerana ia ternyata berkesan dengan pengambilan pil saja berbanding kaedah
Desferral yang hanya mampu menurunkan kandungan ion dalam darah dengan kadar rendah.

“Selain itu, anak saya juga sudah boleh menjalankan aktiviti seperti remaja lain seperti pergi ke kelas
tuisyen kerana tidak perlu memakai mesin lagi pada waktu malam,” katanya.

Apa Itu Hemofilia ?


146865 hit(s)
Hemofilia berasal dari bahasa Yunani Kuno, yang terdiri dari dua kata yaitu haima yang berarti darah dan philia yang berarti
cinta atau kasih sayang.

Hemofilia adalah suatu penyakit yang diturunkan, yang artinya diturunkan dari ibu kepada anaknya pada saat anak tersebut
dilahirkan.

Darah pada seorang penderita hemofilia tidak dapat membeku dengan sendirinya secara normal. Proses pembekuan darah
pada seorang penderita hemofilia tidak secepat dan sebanyak orang lain yang normal. Ia akan lebih banyak membutuhkan
waktu untuk proses pembekuan darahnya.

Penderita hemofilia kebanyakan mengalami gangguan perdarahan di bawah kulit; seperti luka memar jika sedikit mengalami
benturan, atau luka memar timbul dengan sendirinya jika penderita telah melakukan aktifitas yang berat; pembengkakan
pada persendian, seperti lulut, pergelangan kaki atau siku tangan. Penderitaan para penderita hemofilia dapat membahayakan
jiwanya jika perdarahan terjadi pada bagian organ tubuh yang vital seperti perdarahan pada otak.

Hemofilia A dan B

Hemofilia terbagi atas dua jenis, yaitu :


- Hemofilia A; yang dikenal juga dengan nama :
- Hemofilia Klasik; karena jenis hemofilia ini adalah yang paling banyak kekurangan faktor pembekuan pada darah.
- Hemofilia kekurangan Factor VIII; terjadi karena kekurangan faktor 8 (Factor VIII) protein pada darah yang
menyebabkan masalah pada proses pembekuan darah.

- Hemofilia B; yang dikenal juga dengan nama :


- Christmas Disease; karena di temukan untuk pertama kalinya pada seorang bernama Steven Christmas asal Kanada
- Hemofilia kekurangan Factor IX; terjadi karena kekurangan faktor 9 (Factor IX) protein pada darah yang menyebabkan
masalah pada proses pembekuan darah.

Bagaimana ganguan pembekuan darah itu dapat terjadi?

Gangguan itu dapat terjadi karena jumlah pembeku darah jenis tertentu kurang dari jumlah normal, bahkan hampir tidak ada.
Perbedaan proses pembekuan darah yang terjadi antara orang normal (Gambar 1) dengan penderita hemofilia (Gambar 2).
Gambar 1 dan Gambar 2 menunjukkan pembuluh darah yang terluka di dalam darah tersebut terdapat faktor-faktor pembeku
yaitu zat yang berperan dalam menghentukan perdarahan.
a. Ketika mengalami perdarahan berarti terjadi luka pada pembuluh darah (yaitu saluran tempat darah
mengalir keseluruh tubuh), lalu darah keluar dari pembuluh.
b. Pembuluh darah mengerut/ mengecil.
c. Keping darah (trombosit) akan menutup luka pada pembuluh.
d. Faktor-faktor pembeku da-rah bekerja membuat anyaman (benang - benang fibrin) yang akan
menutup luka sehingga darah berhenti mengalir keluar pembuluh.

Gambar 1

a. Ketika mengalami perdarahan berarti terjadi luka pada pembuluh darah (yaitu saluran tempat darah
mengalir keseluruh tubuh), lalu darah keluar dari pembuluh.
b. Pembuluh darah mengerut/ mengecil.
c. Keping darah (trombosit) akan menutup luka pada pembuluh.
d. Kekurangan jumlah factor pembeku darah tertentu, mengakibatkan anyaman penutup luka tidak
terbentuk sempurna, sehingga darah tidak berhenti mengalir keluar pembuluh.

Gambar 2

Seberapa banyak penderita hemofilia ditemukan ?

Hemofilia A atau B adalah suatu penyakit yang jarang ditemukan. Hemofilia A terjadi sekurang - kurangnya 1 di antara
10.000 orang. Hemofilia B lebih jarang ditemukan, yaitu 1 di antara 50.000 orang.

Siapa saja yang dapat mengalami hemofilia ?


Hemofilia tidak mengenal ras, perbedaan warna kulit atau suku bangsa.

Hemofilia paling banyak di derita hanya pada pria. Wanita akan benar-benar mengalami hemofilia jika ayahnya adalah
seorang hemofilia dan ibunya adalah pemabawa sifat (carrier). Dan ini sangat jarang terjadi. (Lihat penurunan Hemofilia)

Sebagai penyakit yang di turunkan, orang akan terkena hemofilia sejak ia dilahirkan, akan tetapi pada kenyataannya
hemofilia selalu terditeksi di tahun pertama kelahirannya.

Tingkatan Hemofilia

Hemofilia A dan B dapat di golongkan dalam 3 tingkatan, yaitu :


Klasifikasi Kadar Faktor VII dan Faktor IX di dalam darah
Berat Kurang dari 1% dari jumlah normalnya
Sedang 1% - 5% dari jumlah normalnya
Ringan 5% - 30% dari jumlah normalnya

Penderita hemofilia parah/berat yang hanya memiliki kadar faktor VIII atau faktor IX kurang dari 1% dari jumlah normal di
dalam darahnya, dapat mengalami beberapa kali perdarahan dalam sebulan. Kadang - kadang perdarahan terjadi begitu saja
tanpa sebab yang jelas.

Penderita hemofilia sedang lebih jarang mengalami perdarahan dibandingkan hemofilia berat. Perdarahan kadang terjadi
akibat aktivitas tubuh yang terlalu berat, seperti olah raga yang berlebihan.

Penderita hemofilia ringan lebih jarang mengalami perdarahan. Mereka mengalami masalah perdarahan hanya dalam situasi
tertentu, seperti operasi, cabut gigi atau mangalami luka yang serius. Wanita hemofilia ringan mungkin akan pengalami
perdarahan lebih pada saat mengalami menstruasi.

Info Oleh shigenoiharuki | Darah | 11 months ago


Trombositopenia sering dtemukan pada pemeriksaan darah rutin. Seringkali adanya trombositopenia hanya dikaitkan dengan
infeksi virus, misalnya dengue. Namun, hal ini masih perlu diteliti lebih lanjut, karena penyebab trombositopenia mencakup
spektrum yang sangat luas, yang dapat dibagi menjadi tiga kategori:

1. Gangguan Produksi

Jumlah trombosit rendah karena gangguan produksi umumnya disebabkan gangguan sumsum tulang. Biasanya sel darah
lainnya juga terpengaruh oleh beberapa proses, dan jumlah mereka mungkin abnormal.

Beberapa infeksi virus dapat menyebabkan jumlah trombosit yang rendah dengan mempengaruhi sumsum tulang, misalnya
parvovirus, rubella, gondok, varicella, hepatitis C, Epstein-Barr virus (EBV), dan HIV.
Anemia aplastik (agranulositosis) adalah terminologi untuk kegagalan sumsum tulang yang mengarah ke jumlah trombosit
yang rendah, biasanya berhubungan dengan anemia (jumlah sel merah yang rendah) dan leukopenia (jumlah sel putih yang
rendah). Penyebab umum anemia aplastik meliputi: Infeksi (parvovirus, HIV); beberapa obat [kloramfenikol, gold,
phenytoin (Dilantin), asam valproik (Depakene, Depakote, Depakote ER, Depacon); radiasi, atau penyakit kongenital
(anemia Fanconi).

Banyak obat kemoterapi sering menyebabkan toksisitas tulang sumsum dan trombositopenia.

Penyebab lainnya trombositopenia akibat gangguan produksi trombosit sumsum tulang meliputi:
thiazide; toksisitas alkohol jangka panjang dari penyalahgunaan alkohol; leukemia dan limfoma, kanker yang menyerang
sumsum tulang, dan kekurangan vitamin B12.

2. Peningkatan penghancuran trombosit

Perusakan platelet yang meningkat dapat menyebabkan trombositopenia oleh mekanisme imunologi dan non-imunologi.

Penyebab imunologi trombositopenia dapat disebabkan oleh:


1. obat tertentu [antibiotik sulfonamide, carbamazepine (Tegretol, Tegretol XR, Equetro, Carbatrol), digoxin (Lanoxin), kina
(Quinerva, Quinite, QM-260), quinidine (Quinaglute, Quinidex), acetaminophen, dan rifampisin)], reaksi transfusi, dan
gangguan rheumatologic (lupus eritematosus sistemik atau SLE).
2. Idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP) adalah trombositopenia imunologi di mana sistem kekebalan tubuh secara
keliru menyerang trombosit yang beredar (autoimun). ITP biasanya kronis (lama) pada orang dewasa dan akut pada anak-
anak.
3. Heparin-induced trombositopenia (HIT) adalah penghancuran imunologis trombosit yang dimediasi oleh penggunaan
heparin dan obat-obatan terkait [heparin berat molekul rendah, yang disebut enoxaparin (Lovenox)].
Proses trombositopeni non-imunologi konsumtif meliputi infeksi berat atau sepsis, irregularitas permukaan pembuluh darah
(vasculitis, katup jantung buatan), atau, jarang terjadi, koagulasi intravaskular diseminata atau DIC (komplikasi serius dari
infeksi biasa, trauma, luka bakar, atau kehamilan).

Penyebab non-imunologi lainnya dari trombositopenia adalah sindrom uremik hemolitik (HUS) dan purpura
trombositopenik trombotik (TTP). Ini mungkin akibat dari beberapa penyakit virus, kanker metastatik, kehamilan, atau
kemoterapi. Manifestasi klinis lain dari kondisi ini adalah anemia hemolitik, gagal ginjal, kebingungan, dan demam. HUS
umumnya dikaitkan dengan diare infeksiosa pada anak-anak disebabkan oleh bakteri Escherichia coli (E. coli O157: H7).

HELLP adalah singkatan untuk sindrom terlihat pada wanita hamil yang menyebabkan anemia hemolitik (sel darah pecah),
peningkatan enzim hati, dan trombosit yang rendah.

3. Absorbsi Limpa

Absorbsi limpa terjadi ketika limpa membesar (misalnya, karena sirosis hati atau beberapa jenis leukemia) dan menangkap
trombosit dari sirkulasi lebih dari biasanya. Hal ini bisa mengakibatkan trombositopenia.

Pseudothrombocytopenia adalah istilah yang diberikan untuk situasi di mana terjadi jumlah platelet rendah palsu pada
hapusan darah ditinjau oleh laboratorium. Hal ini dapat terjadi karena penggumpalan trombosit ketika darah diambil. Oleh
karena itu, sejumlah kecil trombosit dapat dilihat di bawah mikroskop, dan ini dapat rancu dengan trombositopenia yang
sebenarnya.

Trombositopenia dilusi adalah kondisi lain yang dapat dilihat ketika beberapa unit sel darah merah ditransfusikan dalam
jangka waktu pendek. Karena volume darah meningkat, trombosit dapat muncul lebih jarang karena mereka didistribusikan
dalam volume yang lebih besar.

swa FK USU, Medan, Indonesia

Penyebab Terjadinya Trombositopenia

Penyebab terjadinya trombositopenia pada dasarnya dapat dibagi menjadi 4, yaitu:

1. Gangguan produksi

 Depresi selektif megakariosit karena obat, bahan kimia atau infeksi virus.
 Sebagai bagian dari “bone marrow failure” umum:

a) Anemi aplastik

b) Leukemia akut

c) Sindrom mielodisplastik

d) Mielosklerosis

e) Infiltrasi sumsum tulang: limfoma, carcinoma

f) Mieloma multipel

g) Anemia megaloblastik
2. Peningkatan destruksi trombosit

 Autoimmune thrombocytopenic purpura atau idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP)


 Immune thrombocytopenic purpura sekunder, misalnya pada: SLE, CLL, limfoma
 Alloimmune thrombocytopenic purpura: misalnya neonatal thrombocytopenia
 Drug induced immune thrombocytopenia: quinine dan sulfonamid
 Disseminated intravascular coagulation (DIC)

3. Distribusi tidak normal

Sindrom hipersplenism: dimana terjadi pooling trombosit dalam lien.

4. Akibat pengenceran (dilutional loss)

Akibat transfusi masif.

(Bakta, 2006)

Serangan jantung
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari

Wikipedia Indonesia tidak dapat bertanggung jawab dan tidak bisa menjamin bahwa informasi kedokteran yang
diberikan di halaman ini adalah benar.
Mintalah pendapat dari tenaga medis yang profesional sebelum melakukan pengobatan.

Jantung

Serangan jantung (bahasa Inggris: Myocardial infarction, acute myocardial infarction, MI, AMI) adalah terhentinya
aliran darah, meskipun hanya sesaat, yang menuju ke jantung, dan mengakibatkan sebagian sel jantung menjadi mati.

Penyakit jantung merupakan penyebab kematian nomor satu pada orang dewasa di Amerika. Setiap tahunnya, di Amerika
Serikat:
 1.500.000 orang mengalami serangan jantung.[rujukan?]
 478.000 orang meninggal karena penyakit jantung koroner.[rujukan?]
 407.000 orang mengalami operasi peralihan.[rujukan?]
 300.000 orang menjalani angioplasti.[rujukan?]

Penyakit jantung, stroke, dan penyakit periferal arterial merupakan penyakit yang mematikan. Di seluruh dunia, jumlah
penderita penyakit ini terus bertambah. Ketiga kategori penyakit ini tidak lepas dari gaya hidup yang kurang sehat yang
banyak dilakukan seiring dengan berubahnya pola hidup.

Faktor-faktor pemicu serangan jantung ialah Rokok, mengonsumsi makanan berkolestrol tinggi, kurang gerak, malas
berolahraga, stres, dan kurang istirahat.

Daftar isi

 1 Pengenalan Jantung
 2 Faktor-faktor Risiko Penyakit Jantung Koroner
 3 Serangan Jantung
o 3.1 Gejala Serangan Jantung
o 3.2 Tanda-tanda Peringatan Dini
o 3.3 Diagnosis
 4 10 anggapan salah tentang penyakit jantung
 5 Pustaka
 6 Pranala luar

Pengenalan Jantung

Jantung adalah organ berupa otot, berbentuk kerucut, berongga dan dengan basisnya di atas dan puncaknya di bawah. Apex-
nya (puncak) miring ke sebelah kiri. Berat jantung kira-kira 300 gram.[rujukan?] Agar jantung berfungsi sebagai pemompa
yang efisien, otot-otot jantung, rongga atas dan rongga bawah harus berkontraksi secara bergantian. Laju denyut-denyut
jantung atau kerja pompa ini dikendalikan secara alami oleh suatu "pengatur irama". Ini terdiri dari sekelompok secara
khusus, disebut nodus sinotrialis, yang terletak di dalam dinding serambi kanan. Sebuah impuls listrik yang ditransmisikan
dari nodus sinotrialis ke kedua serambi membuat keduanya berkontraksi secara serentak. Arus listrik ini selanjutnya
diteruskan ke dinding-dinding bilik, yang pada gilirannya membuat bilik-bilik berkontraksi secara serentak. Periode
kontraksi ini disebut systole. Selanjutnya periode ini diikuti dengan sebuah periode relaksasi pendek - kira-kira 0,4 detik -
yang disebut diastole, sebelum impuls berikutnya datang. Nodus sinotrialus menghasilkan antara 60 hingga 72 impuls seperti
ini setiap menit ketika jantung sedang santai. Produksi impuls-impuls ini juga dikendalikan oleh suatu bagian sistem syaraf
yang disebut sistem syaraf otonom, yang bekerja diluar keinginan kita. Sistem listrik built-in inilah yang menghasilkan
kontraksi-kontraksi otot jantung beirama yang disebut denyut jantung.

Faktor-faktor Risiko Penyakit Jantung Koroner

 Memasuki usia 45 tahun bagi pria.

Sangat penting bagi kaum pria untuk menyadari kerentanan mereka dan mengambil tindakan positif untuk mencegah
datangnya penyakit jantung.
 Bagi wanita, memasuki usia 55 tahun atau mengalami menopause dini (sebagai akibat operasi).

Wanita mulai menyusul pria dalam hal risiko penyakit jantung setelah mengalami menopause.

 Riwayat penyakit jantung dalam keluarga.

Riwayat serangan jantung di dalam keluarga sering merupakan akibat dari profil kolesterol yang tidak normal.

 Diabetes.

Kebanyakan penderita diabetes meninggal bukanlah karena meningkatnya level gula darah, namun karena kondisi komplikasi
jantung mereka.

 Merokok.

Resiko penyakit jantung dari merokok setara dengan 100 pon kelebihan berat badan - jadi tidak mungkin menyamakan
keduanya.

 Tekanan darah tinggi (hipertensi).


 Kegemukan (obesitas).

Obesitas tengah (perut buncit) adalah bentuk dari kegemukan. Walaupun semua orang gemuk cenderung memiliki risiko
penyakit jantung, orang dengan obesitas tengah lebih-lebih lagi.

 Gaya hidup buruk.

Gaya hidup yang buruk merupakan salah satu akar penyebab penyakit jantung - dan menggantinya dengan kegiatan fisik
merupakan salah satu langkah paling radikal yang dapat diambil.

 Stress.

Banyak penelitian yang sudah menunjukkan bahwa, bila menghadapi situasi yang tegang, dapat terjadi arithmias jantung yang
membahayakan jiwa.

Serangan Jantung

Serangan jantung adalah suatu kondisi ketika kerusakan dialami oleh bagian otot jantung (myocardium) akibat mendadak
sangat berkurangnya pasokan darah ke bagian otot jantung. Berkurangnya pasokan darah ke jantung secara tiba-tiba dapat
terjadi ketika salah satu nadi koroner terblokade selama beberapa saat, entah akibat spasme - mengencangnya nadi koroner -
atau akibat penggumpalan darah - thrombus. Bagian otot jantung yang biasanya dipasok oleh nadi yang terblokade berhenti
berfungsi dengan baik segera setelah splasme reda dengan sendirinya, gejala-gejala hilang secara menyeluruh dan otot
jantung berfungsi secara betul-betul normal lagi. Ini sering disebut crescendo angina atau coronary insufficiency.
Sebaliknya, apabila pasokan darah ke jantung terhenti sama sekali, sel-sel yang bersangkutan mengalami perubahan yang
permanen hanya dalam beberapa jam saja dan bagian otot jantung termaksud mengalami penurunan mutu atau rusak secara
permanen. Otot yang mati ini disebut infark.

Gejala Serangan Jantung

Gejala-gejala ini untuk setiap orang biasa berbeda. Sebuah serangan jantung mungkin dimulai dengan rasa sakit yang tidak
jelas, rasa tidak nyaman yang samar, atau rasa sesak dibagian tengah dada. Kadang, sebuah serangan jantung hanya
menimbulkan rasa tidak nyaman yang ringan sekali sehingga sering disalahartikan sebagai gangguan pencernaan, atau
bahkan lepas dari perhatian sama sekali. Dalam hal ini, satu-satunya cara yang memungkinkan terdeteksinya sebuah
serangan jantung adalah ketika harus menjalani pemeriksaan ECG untuk alasan lain yang mungkin tidak berkaitan. Dipihak
lain, serangan jantung mungkin menghadirkan rasa nyeri paling buruk yang pernah dialami - rasa sesak yang luar biasa atau
rasa terjepit pada dada, tenggorokan atau perut. Bisa juga mengucurkan keringat panas atau dingin, kaki terasa sakit sekali
dan rasa ketakutan bahwa ajal sudah mendekat. Juga mungkin merasa lebih nyaman bila duduk dibanding bila berbaring dan
mungkin napas begitu sesak sehingga tidak bisa santai. Rasa mual dan pusing bahkan sampai muntah, bahkan yang lebih
parah yaitu ketika sampai kolaps dan pingsan.

Ada beberapa gejala yang lebih spesifik, antara lain:

 Nyeri. Jika otot tidak mendapatkan cukup darah (suatu keadaan yang disebut iskemi), maka oksigen yang tidak memadai dan
hasil metabolisme yang berlebihan menyebabkan kram atau kejang. Angina merupakan perasaan sesak di dada atau perasaan
dada diremas-remas, yang timbul jika otot jantung tidak mendapatkan darah yang cukup. Jenis dan beratnya nyeri atau
ketidaknyamanan ini bervariasi pada setiap orang. Beberapa orang yang mengalami kekurangan aliran darah bisa tidak
merasakan nyeri sama sekali (suatu keadaan yang disebut silent ischemia).
 Sesak napas merupakan gejala yang biasa ditemukan pada gagal jantung. Sesak merupakan akibat dari masuknya cairan ke
dalam rongga udara di paru-paru (kongesti pulmoner atau edema pulmoner).
 Kelelahan atau kepenatan. Jika jantung tidak efektif memompa, maka aliran darah ke otot selama melakukan aktivitas akan
berkurang, menyebabkan penderita merasa lemah dan lelah. Gejala ini seringkali bersifat ringan. Untuk mengatasinya,
penderita biasanya mengurangi aktivitasnya secara bertahap atau mengira gejala ini sebagai bagian dari penuaan.
 Palpitasi (jantung berdebar-debar)
 Pusing & pingsan. Penurunan aliran darah karena denyut atau irama jantung yang abnormal atau karena kemampuan
memompa yang buruk, bisa menyebabkan pusing dan pingsan.

Tanda-tanda Peringatan Dini

Bagaimanapun, salah sekali pendapat bahwa sebuah serangan jantung datang seperti petir di siang bolong. Serangan jantung
adalah puncak bencana dari sebuah proses kerusakan yang berlangsung lama, yang sering melibatkan kejutan-kejutan
emosional, kekacauan fisiologis dan kelelahan mental. Tanda-tanda peringatan dini begitu subyektif dan begitu tersamar,
sehingga bahkan dokter yang terlatih untuk mengukur segala sesuatu secara obyektif masih bisa mengabaikannya.

Diagnosis

Berdasarkan gejala-gejala yang dirasakan, seorang dokter dapat membuat perkiraan yang nalar tentang apakah gejala-gejala
itu mengisyaratkan serangan jantung atau tidak. Kecurigaannya mungkin diperkuat oleh penampilan si penderita, tingkat
tekanan darah dan bunyi detak jantung. Dokter mungkin akan mengirimnya ke pemeriksaan ECG dan uji darah, tetapi bila
masih merasakan nyeri, dokter barangkali akan memberi suntikan penghilangrasa nyeri sebelum pemeriksaan itu. Ini karena
nyeri yang menakutkan dapat membawa ke jurang yang lebih dalam, yang bisa menyebabkan gejala jantung. Nyeri itu juga
dapat menimbulkan dampak psikologis jangka panjang. ECG pertama mungkin tidak menunjukkan tanda-tanda serangan
jantung dan mungkin pemeriksaan itu harus diulang. Kadang-kadang uji yang kedua pun masih tidak menunjukkan
perubahan, dan selama hal ini, diagnosis akan bergantung pada pemeriksaan darah. Jantung, seperti semua sel tubuh lain,
mengandung bahan-bahan kimia khusus yang disebut enzim. Ketika sel-sel jantung mengalami kerusakan, enzim-enzim
yang dilepaskan beredar bersama aliran darah. Setelah sebuah serangan jantung, kadar sebagian enzim ini langsung naik,
tetapi selanjutnya enzim-enzim tersebut lekas mengurai dan karena itu tidak terdeteksi lagi setelah sehari atau dua hari; ada
enzim yang baru dilepaskan beberapa jam atau bebera hari kemudian tetap tinggal dalam darah selama beberapa hari atau
bahkan beberapa minggu.

10 anggapan salah tentang penyakit jantung

1. Penyakit jantung hanya terjadi pada orang gemuk saja


2. Penyakit jantung tidak bisa pada anak atau orang muda
3. Wanita terbebas dari penyakit jantung
4. Penyakit jantung hanya satu macam
5. Jantungnya sehat, tak mungkin bisa sakit jantung
6. Tidak ada hubungan dengan serangan stroke
7. Penyakit jantung merupakan penyakit keturunan
8. Penyakit jantung tidak dapat dicegah
9. Terkena penyakit jantung sebab sering dikagetkan
10. Penyakit jantung muncul sebab sering mengonsumsi menu jantung pisang

Pustaka

 Gowan Mary & Castolli William, Menjaga Kebugaran Jantung, tr.by: Patuan Raja; Sugeng Hariyanto & Sukon, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2001.
 Patel Chandra, Panduan Praktis Mencegah & Mengobati Penyakit Jantung, tr.by: Alextri Aantjono Widodo, PT Gramedia,
Jakarta, 1998.
 Pearce Evelyn, Anatomi & Fisiologi Untuk Paramedis, tr.by: Sri Yuliani Handoyo, PT Gramedia, Jakarta, 2002.

Apakah Penyebab Dari Penyakit Jantung


Koroner ?
KATETERISASI JANTUNG - ARTERIOGRAFI KORONER
Tindakan Deteksi Penyempitan Pembuluh Darah Koroner Untuk Mengetahui Lebih Dini Adanya Ancaman Serangan
Jantung Koroner

PTCA (PCI)
Tindakan Pelebaran Penyempitan Pembuluh Darah Koroner Dengan Balon (Tanpa Operasi)

Apa penyebab dari Penyakit Jantung Koroner?


Penyakit Jantung Koroner pada mulanya disebabkan oleh penumpukan lemak pada dinding dalam pembuluh darah
jantung (pembuluh koroner), dan hal ini lama kelamaan diikuti oleh berbagai proses seperti penimbunan jarinrangan
ikat, perkapuran, pembekuan darah, dll.,yang kesemuanya akan mempersempit atau menyumbat pembuluh darah
tersebut. Hal ini akan mengakibatkan otot jantung di daerah tersebut mengalami kekurangan aliran darah dan dapat
menimbulkan berbagai akibat yang cukup serius, dari Angina Pectoris (nyeri dada) sampai Infark Jantung, yang
dalam masyarakat di kenal dengan serangan jantung yang dapat menyebabkan kematian mendadak.
Beberapa faktor resiko terpenting Penyakit Jantung Koroner :

 Kadar Kolesterol Total dan LDL tinggi


 Kadar Kolesterol HDL rendah
 Tekanan Darah Tinggi (Hipertensi)
 Merokok
 Diabetes Mellitus
 Kegemukan
 Riwayat keturunan penyakit jantung dalam keluarga
 Kurang olah raga
 Stress

Bila Anda menyandang salah satu atau beberapa faktor resiko tersebut diatas, Anda dianjurkan secara berkala
memeriksakan kesehatan jantung Anda kepada seorang ahli. Adanya dua atau lebih faktor resiko akan berlipat kali
menaikkan resiko total terhadap Penyakit Jantung Koroner.

Deteksi Penyakit Jantung Koroner


Beberapa pemeriksaan dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya Penyakit Jantung Koroner antar lain : ECG,
Treadmill, Echokardiografi dan Arteriorgrafi Koroner (yang sering dikenal sebagai Kateterisasi).

Dengan pemeriksaan ECG dapat diketahui kemungkinan adanya kelainan pada jantung Anda dengan tingkat
ketepatan 40%. Kemudian bila dianggap perlu Anda akan dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan Treadmill
Echokardiografi.

Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut kemungkinan Anda akan dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan
Arteriografi Koroner (Kateterisasi) yang mempunyai tingkat ketepatan paling tinggi (99 - 100%) untuk
memastikan apakah Anda mempunyai Penyakit Jantung koroner.

Apakah Kateterisasi Jantung?


Kateterisasi Jantung merupakan pemeriksaan yang bertujuan untuk memeriksa struktur serta fungsi jantung,
termasuk ruang jantung, katup jantung, otot jantung, sserta pembuluh darah jantung termasuk pembuluh darah
koroner, terutama untuk mendeteksi adanya pembuluh darah jantung yang tersumbat.

Prosedur tersebut dilakukan oleh Dokter Spesialis dengan menggunakan alat Angiografi. Dengan pemberian zat
kontras melalui kateter, dokter dapat mengetahui secara tepat letak, luas, serta berat atau derajat
penyempitan pembuluh darah koroner. Hasil akan di rekam secara jelas di dalam film atau CD (Compact Disc)

Potongan melintang pembuluh arteri


Potongan melintang pembuluh arteri
yang menyempit karena timbunan
yang normal/ sehat
kolesterol
Bagaimana dengan hasil Kateterisasi Jantung?
Dokter Anda akan menjelaskan hasil film yang direkam selama tindakan dan kemungkinan pengobatan selanjutnya.
Bila hasil dari film tersebut diketahui adanya penyempitan pembuluh koroner, maka dokter akan memberitahukan
tindakan pengobatan selanjutnya apakah cukup dengan obat atau dengan tindakan pelebaran bagian pembuluh
darah jantung yang menyempit atau tersumbat dengan menggunakan alat alat tertentu atau ditiup, Percutaneous
Transluminal Coronary Angioplasty, di singkat PTCA atau akhir akhir ini disebut Percutaneous Coronary
intervention yang disingkat PCI; atau harus dilakukan Operasi Jantung Terbuka (Open Heart Surgery) untuk
memasang pembuluh darah baru menggantikan pembuluh darah jantung yang tersumbat Coronary Artery Bypass
Surgery disingkat CABG.

Bagaimana dengan resiko Kateterisasi Jantung?


Dengan semakin canggihnya peralatan Angiografi dan berkembangnya teknik teknik baru, pada umumnya tindakan
kateterisasi secara praktis dianggap tidak ada resiko.

Menurut data statistik dari ribuan pasien yang telah menjalankan kateterisasi di RS Medistra menunjukkan bahwa
angka keberhasilannya amat tinggi, setingkat dengan yang dilakukan di Amerika Serikat.

Sebelum Tindakan Sesudah Tindakan

Apa yang dimaksud dengan tindakan "Peniupan" (PTCA-PCI)?


Tindakan "peniupan" atau "balonisasi" atau "Angioplasti" bertujuan untuk melebarkan penyempitan pembuluh
koroner dengan menggunakan kateter khusus yang ujungnya mempunyai balon. Balon dimasukkan dan
dikembangkan tepat ditempat penyempitan pembuluh darah jantung. Dengan demikian penyempitan tersebut
menjadi terbuka.

Untuk menyempurnakan hasil peniupan ini, kadang - kadang diperlukan tindakan lain yang dilakukan dalam waktu
yang sama, seperti pemasangan ring atau cincin penyanggah (Stent), pengeboran kerak di dalam
pembuluh darah (Rotablation) atau pengerokan kerak pembuluh darah (Directional Atherectomy).
Dimana Anda bisa melaksanakan Kateterisasi/ PTCA-PCI atau tindakan terkait lain tersebut diatas?
Anda tidak perlu membuang waktu untuk berobat ke Luar Negeri, karena sarana yang ada di RS Medistra setara,
atau bahkan dalam beberapa hal, melebihi beberapa sarana yang tersedia di Negara Tetangga kita.

RS Medistra dengan kekhususan bidang Kardiologi memiliki Angiografi generasi terbaru dengan diperkuat oleh
Dokter Spesialis Kardiologi yang berpengalaman dan cukup dikenal di dalam dan luar negeri, sehingga menjamin
ketepatan diagnosa dan terapi.

Apabila anda akan membuat perjanjian untuk pemeriksaan dengan Dokter Spesialis Jantung silahkan menghubungi:

Penyakit Jantung Koroner

Penyakit jantung koroner ( PJK ) merupakan problemakesehatan utama di negara maju. Di Indonesia telah terjadi pergeseran kejadian
Penyakit Jantung dan pembuluh darah dari urutan ke-l0 tahun 1980 menjadi urutan ke-8 tahun 1986. Sedangkan penyebab kematian
tetap menduduki peringkat ke-3. Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya Penyakit Jantung Koroner sehingga usaha pencegahan
harus bentuk multifaktorial juga.Pencegahan harus diusahakan sedapat mungkin dengan cara pengendalian faktor faktor resiko PJK
dan merupakan hal yang cukup penting dalamusaha pencegahan PJK, baik primer maupun sekunder. Pencegahan primer lebih
ditujukan pada mereka yang sehat tetapi mempunyai resiko tinggi, sedangkan sekunder merupakan upaya memburuknya penyakit
yang secara klinis telah diderita. Berbagai Penelitian telah dilakukan selama 50 tahun lebih dimana didapatlah variasi insidens PJK yang
berbeda pada geografis dan keadaan sosial tertentu yang makin meningkat sejak tahun 1930 dan mulai tahun 1960 merupakan
Penyebab Kematian utama di negaraIndustri. Mengapa didapatkan variasi insidens yang berbeda saat itu belum diketahui dengan
pasti, akan tetapi didapatkan jelas terjadi pada keadaan keadaan tertentu. Penelitian epidemiologis akhirnya mendapatkan hubungan
yang jelas antara kematian dengan pengaruh keadaan sosial, kebiasaan merokok, pola diet, exercise, dsb yang dapat dibuktikan
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya PJK antara lain: umur, kelamin ras, geografis, keadaan sosial, perubahan masa,
kolesterol, hipertensi, merokok, diabetes, obesitas, exercise, diet,perilaku dan kebiasaan lainnya, stress serta keturunan.

Tabel
1.Five year mortalityfrom CHD in to risk (whitehall civil Servants Study 18.240 males 40 to 64
yaer). (FromRose Getal, Myocardial ischaemia,risk factors and death fromcoronaryheart
disease, lancet1977 : 1 : 150-109)

Baseline No. Ischaemia Ischaemia


Overall mortality 1.2% 9.1%
Systolic BP > 160 mmHg 1.9% 5.9%
Serumcholesterol > 6,76 mmol 1.3% 8.4%
Smokers 1.4% 4.7%

Penelitian Whitehall Civil Servants pads18-240 laki antara umur 40-64 tahun mendapatkan hubungan antara miokard iskemik, faktor
resiko dan kematian akibat PJK.

Faktor resiko PJK yang utama adalah : Hipertensi, Hiperkolesterolemia, dan merokok.

Ketiga faktor ini saling mempengaruhi dan memperkuat resiko PJKakan tetapi dapat diperbaiki dan bersifat reversibel bila upaya
pencegahanbetul-betul dilaksanakan.

Diposkan oleh hendra soleh di 21.06 Tidak ada komentar:

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook

Label: Penyakit

Kamis, 27 Juni 2013

Test

Test blog informasi penyakit jantung koroner, pengobatan jantung koroner, penyebab penyakit jantung koroner, gejala penyakit
jantung koroner, pantangan makanan pengidap penyakit jantung koroner, cara mengobati penyakit jantung koroner, bahan alami
untuk penyakit jantung koroner, ramuan tradisional untuk penyakit jantung koroner, anjuran makanan bagi pengidap penyakit
jantung koroner, olahraga sehat bagi pengidap penyakit jantung koroner, penanganan medis pengidap penyakit jantung koroner!
nantikan artikelnya, yang hanya disini yang akan membahas tuntas mengenai pengobatan jantung koroner.

Anda mungkin juga menyukai