PENDAHULUAN
1
Sumsum tulang menjadi target pada pasien SLE dengan sitopenia. Sebuah
penelitian pada pasien-pasien SLE dengan sitopenia, yang tidak menggunakan
obat imunosupresif, melaporkan gambaran sumsum tulang hiposelularitas
menyeluruh (47,6%), peningkatan proliferasi retikulin (76,2%) dengan
mielofibrosis pada satu pasien, dan nekrosis (19%). Plasmasitosis tampak pada
26,7% pasien dan cadangan besi menurun atau tidak ada pada 73,3% pasien2..
Dalam 30 tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu penyakit rematik
utama di dunia. Prevalensi SLE di berbagai negara sangat bervariasi. Prevalensi
pada berbagai populasi antara 2,9/100.000 – 400/100.000. SLE lebih sering
ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa negro, China, dan mungkin juga
Filipina. Terdapat juga tendensi familial. Faktor ekonomi dan geografi tidak
mempengaruhi distribusi penyakit3.
Beberapa data di Indonesia dari pasien yang dirawat di Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ditemukan 37,7 %
kasus pada tahun 1998-1990. Di Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad
sendiri belum ada data mengenai prevalensi SLE. Diagnosis SLE ditentukan
dengan beberapa kriteria seperti kriteria Dubois, kriteria American College of
Rheumatology atau kriteria American Rheumatic Association3.
Prinsip umum dalam penatalaksanaan SLE berupa penyuluhan dan
intervensi psikologis. Penatalaksanaan dilaksanakan secara komprehensif meliputi
non medika mentosa dan medika mentosa3.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penulis berkeinginan
menyajikan masalah ini dalam bentuk sebuah laporan kasus Sistemik Lupus
Eritematosus (SLE) agar dapat menjadi bahan masukan kepada diri penulis dan
kita semua dalam menangani penyakit tersebut.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas
No. RM : 980656
Nama lengkap : Yatik
Tanggal lahir : 9 September 1993
Usia : 20 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan Terakhir : SD
Pekerjaan : Ibu RT
Alamat : Sukamaju Kenten
2.2 Anamesis
Keluhan Utama:
Os mengeluh badan terasa lemas sejak ± 3 bulan yang lalu SMRS.
Riwayat Perjalanan Penyakit:
3 bulan yang lalu os mengeluh timbul bercak-bercak kemerahan di
pipi dan di seluruh tubuh. Keluhan tersebut muncul setelah os terpapar sinar
matahari. Bercak-bercak tersebut terasa gatal. Os juga mengeluh badan
terasa lemas dan seluruh tubuh terasa nyeri,
1 minggu yang lalu os dibawa ke RS swasta dan dirawat selama 3 hari
dengan keluhan demam, badan terasa lemas dan seluruh tubuh terasa nyeri.
Os dirawat selama 3 hari, lalu os minta pulang paksa, akhirnya os
dipulangkan dan diberi obat.
2 hari SMRS os mengeluh badan terasa lemas kembali dan kaki terasa
nyeri sehingga os dibawa ke IGD RSMP.
3
2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada
Keadaan Spesifik:
1. Pemeriksaan Kepala:
- Bentuk kepala : Normocepali
- Rambut : Hitam, mudah rontok
- Muka : Malar rash (+/+)
2. Pemeriksaan Mata:
- Palpebra : Edema (-/-)
- Konjungtiva : Anemis (+/+)
- Sklera : Ikterik (-/-)
- Pupil : Refleks cahaya (+/+)
3. Pemeriksaan Telinga : Nyeri tekan (-/-), gangguan pendengaran (-)
4. Pemeriksaan Hidung : Nafas cuping hidung (-/-)
5. Pemeriksaan Mulut + tengorokan:
Mulut : Bibir kering (+), sianosis (-), dan lidah terdapat plak
keputihan multiple dengan tepi hiperemis.
Tenggorokan : Tonsil T1/T1, hiperemis (-).
6. Pemeriksaan Leher :
Inspeksi : Simetris, tidak terlihat benjolan, retraksi suprasternal (-)
Palpasi : Pembesaran Tiroid (-), pembesaran KGB (-).
4
JVP : 5-2 cm ( normal)
7. Kulit: Kering, hipergigmentasi (+), ikterik (-), jaringan parut (-).
8. Pemeriksaan Toraks
PARU Depan
Inspeksi :
Statis : Kanan sama dengan kiri
Dinamis : Tidak ada yang tertinggal, sela iga melebar (-),
retraksi intercostae (-)
Palpasi : Stem fremitus kanan sama dengan kiri .
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru kanan kiri.
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronki (-), wheezing (-/-)
PARU BELAKANG
Inspeksi :
Statis: Kanan sama dengan kiri
Dinamis: Tidak ada yang teringgal, sela iga melebar (-), retraksi
intercostae (-).
Palpasi : Stem fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru.
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronki (-), wheezing (-/-)
JANTUNG
Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
Palpasi : Iktus cordis teraba di ICS VI mid clavicula sinistra
Perkusi :
Kanan atas : ICS II linea para sternalis dextra.
Kanan bawah : ICS IV linea para sternalis dextra.
Kiri atas : ICS II linea para sternalis sinistra.
Kiri bawah : ICS IV linea mid clavicula sinistra.
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II normal, murmur (-) gallop (-)
5
9. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Datar (+), lemas (+), spider naevi (-).
Auskultasi : BU (+) Normal
Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (-), hepatomegali (+),
pembesaran lien (-) , ginjal tidak teraba.
Perkusi : Tympani (+), undulasi (-), pekak berpindah (-),
10. Pemeriksaan Genetalia: Tidak dilakukan.
11. Ekstremitas: Clubing fingger (-/-), edema (-/-), nyeri sendi (+/+),
bercak-bercak kemerahan (+/+).
22 Februari 2013
Urine
- Warna urin : kuning muda (N : kuning muda)
- Kejernihan : keruh (N : jernih)
6
- Berat Jenis : 1.010 (N : 1,001 – 1,035)
- pH urin : 7,5 (N: 4,6 – 8,0).
- Leukosit urin : penuh (N : < 5/LPB)
- Eritrosit urin : 2-3 (N : < 2/LPB)
- Epitel Urin : + (N : positif)
- Kristal urin : - (N : negatif)
- Silinder urin : - (N : negatif)
22 Februari 2013
Faal Hati
- SGOT : 59 U/L (N : 31 U/L)
- SGPT : 88 U/L (N : 31 U/L)
- Total protein : 4,6 g/dl (N : 5,8 – 8,7 g/dl)
- Albumin : 2,2 g/dl (N : 3,0 – 5,0 g/dl)
- Globulin : 2,4 g/dl (N : 2 – 3,5 g/dl)
Faal Ginjal
- Ureum : 11 (N : 10-50 mg/dl)
- Creatinin : 0,4 mg/dl (N : 0,6 – 1,2 mg/dl)
Karbohidrat
BSS : 121 mg/dl (N : 60-120 mg/dl)
25 Februari 2013
USG Abdomen
- Hepar : membesar, tepi rata, sudut tumpul.
2.7 Resume
3 bulan yang lalu os mengeluh timbul bercak-bercak kemerahan di
pipi dan di seluruh tubuh. Keluhan tersebut muncul setelah os terpapar sinar
matahari. Bercak-bercak tersebut terasa gatal. Os juga mengeluh badan
terasa lemas dan seluruh tubuh terasa nyeri,
7
1 minggu SMRS os dibawa ke RS swasta dan dirawat selama 3 hari
dengan keluhan demam, badan terasa lemas dan seluruh tubuh terasa nyeri.
Os dirawat selama 3 hari, lalu os minta pulang paksa, akhirnya os
dipulangkan.
2 hari SMRS os mengeluh badan terasa lemas kembali dan kaki terasa
nyeri sehingga os dibawa ke IGD RSMP.
Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum keadaan umum tampak sakit
sedang dan kesadaran compos mentis. Tekanan darah 100/70 mmHg, Heart
rate: 84 x/menit, Respiration rate: 24 x/menit dan temperature: 37,5 C.
Keadaan spesifik muka : malar rash (+/+), mulut : bibir kering (+),
sianosis (-), dan lidah terdapat plak keputihan multiple dengan tepi
hiperemis, kulit : kering, bercak-bercak kemerahan, dan hiperpigmentasi
(+/+), ekstremitas : nyeri sendi (+/+) dan bercak-bercak kemerahan (+/+).
Pemeriksaan laboratorium , darah : hemoglobin 10,1 g/dl (menurun),
hematokrit 30 g/dl (menurun), eritrosit 3,4 juta/mm3, neutrofilia dari diff
count, diff count menunjukkan shift to the left. Urin : kejernihan : keruh,
leukosit urin penuh, dan eritrosit urin 2-3/LPB. Faal hati : SGOT 59 U/L
(meningkat), SGPT 88 U/L (meningkat), total protein 4,6 g/dl (menurun),
albumin 2,2 g/dl (menurun), faal ginjal : creatinin 0,4 mg/dl (menurun).
Karbohidrat : BSS 121 mg/dl (meningkat).
Dari pemeriksaan USG abdomen, hepar membesar, tepi rata dan
sudutnya tumpul.
2.9 Diagnosis
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE).
8
- Anti Sm
- Antibody antinuclear
- IgG IgM antikardiolipin
2.11 Penatalaksanaan
A. Penatalaksanaan non farmakologi
- Penjelasan mengenai penyakit dan penyebabnya
- Mencegah terpapar sinar UV
- Edukasi mengenai tanda-tanda penyakit mengancam nyawal
- Istirahat yang cukup
- Diet seimbang
- Latihan jasmani
B. Penatalaksanaan farmakologi
- Paracetamol 3x500 mg
- Sunblock paraffin jika akan terpapar matahari
- Nistatin drop 4x6 cc
Terapi yang diberikan di ruangan :
- Diet makanan lunak
- IVFD RL 20 tpm
- PCT 3x500 mg
- Mycostic oral drop 3x10 gtt
2.12 Follow up
28 Februari 2013
S : Tidak ada keluhan
O : TD: 120/ 70 mmHg, nadi: 79 x/menit, napas: 19x/menit, suhu: 36,60C,
malar rash (+/+)
A : SLE
P : Diet makanan lunak
- IVFD RL 20x/menit
- Sanmol 3x1 tab
9
- Azytromisin 1x1 tab
28 Februari 2013
Pasien pulang.
10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang
mengakibatkan kerusakan organ, jaringan, dan sel yang di mediasi karena
kompleks imun dan autoantibodi yang berikatan dengan antigen jaringan3.
2.2 Epidemiologi
Sistemik lupus eritematosus terutama menyerang wanita muda dengan
insiden puncak pada usia 15-40 tahun selama masa reproduksi dengan ratio
wanita: laki-laki 5:1. Dalam 30 tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu
penyakit rematik utama di dunia. Prevalensi SLE di berbagai negara sangat
bervariasi. Prevalensi pada berbagai populasi antara 2,9/100.000 –
400/100.000. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa
negro, China, dan mungkin juga Filipina. Terdapat juga tendensi familial.
Prevalensi SLE di Amerika 15-50 per 100.000 penduduk dengan etnis
terbanyak yakni Amerika Afrika. Faktor ekonomi dan geografi tidak
mempengaruhi distribusi penyakit2,3.
Beberapa data di Indonesia dari pasien yang dirawat di Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ditemukan
37,7 % kasus pada tahun 1998-1990. Di Rumah Sakit Umum Daerah Arifin
Achmad sendiri belum ada data mengenai prevalensi SLE2.
2.3 Etiopatogenesis
Etiologi dan patogenesis SLE belum diketahui dengan jelas. Meskipun
demikian, terdapat banyak bukti bahwa patogenesis SLE bersifat multifaktor,
dan ini mencakup pengaruh faktor genetik, lingkungan dan hormonal
terhadap respon imun. Faktor genetik memegang peranan penting dalam
kerentanan serta ekspresi penyakit. Sekitar 10-20% pasien SLE mempunyai
11
kerabat dekat yang juga menderita SLE. Angka terdapatnya SLE pada kembar
identik 24-69% lebih tinggi dari saudara kembar non identik 2-9%2.
Penelitian terakhir yang menunjukkan beberapa gen berikut HLA-DR 2
dan HLA-DR 3 berperan dalam mengkode unsur sistem imun. Gen lain yang
ikut berperan seperti gen yang mengkode sel reseptor T, imunoglobulin, dan
sitokin. Sistem neuroendokrin ikut berperan melalui pengaruhnya terhadap
sistem imun. Penelitian menunjukkan bahwa sistem neuroendokrin dengan
sistem imun saling mempunyai hubungan timbal balik. Beberapa penelitian
berhasil menunjukkan bahwa hormon prolaktin dapat merangsang respon
imun2.
Adanya satu atau beberapa faktor pemicu pada individu yang
mempunyai predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong
abnormal pada sel CD4 mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self
antigen. Akibatnya muncullah sel T autoreaktif yang menyebabkan induksi
dan ekspansi sel B, baik yang memproduksi autoantibodi maupun yang
berupa sel memori. Wujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian diduga
hormon seks, sinar UV, dan infeksi2.
Pada SLE autoantibodi terbentuk ditujukan terhadap antigen yang
terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA,
protein histon dan non histon. Kebanyakan di antaranya adalah dalam
keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan kompleks protein
RNA. Ciri khas autoantigen ini mereka tidak tissue spesific dan merupakan
komponen integrasi dari semua jenis sel2.
Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti nuclear antibodi).
Dengan antigen spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar di
sirkulasi. Klirens kompleks imun menurun, meningkatnya kelarutan
kompleks imun, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan
penurunan uptake kompleks imun pada limpa terjadi pada SLE. Sehingga
kompleks imun tersebut deposit ke luar sistem fagosit mononuklear.
Endapannya di berbagai organ mengakibatkan aktivasi komplemen sehingga
12
terjadi peradangan. Organ tersebut bisa berupa ginjal, sendi, pleura, pleksus
koroideus, kulit, dan lain-lain2.
13
dan mialgia merupakan gejala tersering. Keluhan ini sering kali dianggap
mirip dengan artritis reumatoid dan bisa disertai dengan faktor reumatoid
positif. Perbedaannya SLE biasanya tidak menyebabkan deformitas, durasi
kejadian hanya beberapa menit2,4.
Manifestasi kulit. Gejala yang terjadi berikut berupa rash malar dan
diskoid. Sering dicetuskan oleh fotosensitivitas. Bisa terjadi alopesia.
Manifestasi oral berupa terbentuknya ulkus atau kandidiasis, mata dan vagina
kering. Perhatikan gambar 1 berikut malar rash dan gambar 2 alopesia berat
akibat SLE4,5.
14
berupa eksudat. Shrinking lung syndrome merupakan sistemik yang terjadi
akibat atelektasis paru basal yang terjadi akibat disfungsi diafragma4-6.
Manifestasi gastrointestinal. Gejala tersering berupa dispepsia, yang
bisa terjadi baik akibat penyakit SLE itu sendiri atau efek samping
pengobatannya. Hepatosplenomegali (+). Terjadinya vaskulitis mesenterika
merupakan komplikasi paling mengancam nyawa karena dapat menyebabkan
terjadinya perforasi sehingga memerlukan penatalaksanaan berupa
laparotomi4-6.
Manifestasi vaskuler. Fenomena raynaud, livedo reticularis yang
merupakan abnormalitas mikrovaskuler pada ekstremitas, trombosis
merupakan komplikasi yang terjadi. Gambar 3 berikut menunjukkan livedo
reticularis4-7.
G
a
m
b
a
Gambar 3. Livedo reticularis7
Manifestasi kardiovaskuler. SLE dapat menyebabkan terjadinya
aterosklerosis yang pada akhirnya dapat mengakibatkan terjadi infark
miokard. Gagal jantung dan angina pektoris, valvulitis, vegetasi pada katup
jantung merupakan beberapa manifestasi lainnya2,4.
2.5 Diagnosis
Kriteria diagnosis yang digunakan adalah dari American College of
Rheumatology 1997 yang terdiri dari 11 kriteria, dikatakan pasien tersebut
SLE jika ditemukan 4 dari 11 kriteria yang ada. Berikut ini adalah 11 kriteria
tersebut2,8.
15
No Kriteria Batasan
1. Rash malar Eritema, datar atau timbul di atas
eminensia malar dan bisa meluas ke
lipatan nasolabial.
2. Discoid rash Bercak kemerahan dengan keratosis
bersisik dan sumbatan folikel. Pada
SLE lanjut ditemukan parut atrofi.
3. Fotosensitivitas Ruam kulit akibat reaksi abnormal
terhadap sinar matahari.
4. Ulkus oral Ulserasi oral atau nasofaring yang
tidak nyeri.
5. Artritis nonerosif Melibatkan 2 atau lebih sendi perifer
dengan karakteristik efusi, nyeri, dan
bengkak.
6. Pleuritis atau perikarditis a. Pleuritis: nyeri pleuritik,
ditemukannya pleuritik rub atau
efusi pleura.
b. Perikarditis: EKG dan pericardial
friction rub.
7. Gangguan renal a. Proteinuria persisten > 0,5 gr per
hari atau kualifikasi >+++
b. Sedimen eritrosit, granular, tubular
atau campuran
8. Gangguan neurologis a. Kejang- tidak disebabkan oleh
gangguan metabolik maupun obat-
obatan seperti uremia,
ketoasidosis, ketidakseimbangan
elektrolit
b. Psikosis- tanpa disebabkan obat
maupun kelainan metabolik di atas
16
9. Gangguan hematologi a. Anemia hemolitik dengan
retikulositosis
b. Leukopenia < 4000/uL
c. Limfopenia < 1500/uL
d. Trombositopenia< 100,000/uL
10. Gangguan imunologi a. antiDNA meningkat
b. anti Sm meningkat
c. antibodi antifosfolipid: IgG IgM
antikardiolipin meningkat, tes
koagulasi lupus (+) dengan metode
standar, hasil (+) palsu dan
dibuktikan dengan pemeriksaan
imobilisasi T.pallidum 6 bulan
kemudian atau fluoresensi absorsi
antibodi
11. Antibodi antinuklear Titer ANA meningkat dari normal
(ANA)
2.6 Penatalaksanaan
Tidak ada kata sembuh untuk SLE, remisi komplit pun jarang terjadi.
Oleh karena itu perlu diperhatikan untuk mengendalikan serangan akut dan
mengatur stratefi sehingga dapat mensupresi terjadinya kerusakan target
organ. Tatalaksana diberikan sesuai manifestasi klinis yang terjadi dan dibagi
dalam kelompok yang mengancam nyawa dan tidak mengancam nyawa3,4.
17
Masalah terkait fisik misalnya penggunaan kortikosteroid untuk
tatalaksana SLE bisa menyebabkan osteoporosis sehingga perlu
dibarengi dengan latihan jasmani, istirahat, diet, dan mengatasi
infeksi secepatnya.
Menggunakan payung, lengan panjang atau krem sinar matahari
jika terpapar matahari.
Memberikan edukasi mengenai terapi yang akan diberikan. Pasien
dengan SLE mengancam nyawa diberikan terapi agresif yakni
imunosupresan dan kortikosteroid dosis tinggi, sedangkan yang
tidak mengancam nyawa diberikan terapi konservatif.
18
Serositis. Nyeri dada dan abdomen merupakan tanda
serositis. Keadaan ini diatasi dengan NSAID, antimalaria atau
glukokortikoid dosis 15 mg/hari. Pada keadaan berat memerlukan
kostikosteroid sistemik2,8.
19
Glukokortikoid. Prednison oral 1-1,5 mg/kg/hari atau
metilprednisolon bolus 1gram selama 3-5 hari yang dilanjutkan
dengan prednison oral. Respon terapi dilihat selama 6 minggu
pertama, jika respon baik maka dosis steroid diturunkan 5-10% tiap
minggu. Setelah sampai dosis 30 mg/hari diberikan penurunan 2,5
mg/minggu, jika sudah sampai dosis 10-15 mg/hari, turunkan dosis
1mg/minggu. Jika terjadi eksaserbasi berikan dosis efektif, lalu
turunkan lagi.2,8.
Imunosupresan. Imunosupresan ini diberikan jika hanya
tidak respon dengan terapi steroid, setelah 4 minggu pemberian.
Contoh imunosupresan yang bisa diberikan berupa siklofosfamid,
azatioprin, metotreksat, klorambusil, siklosporin. Pilihan obat
tergantung keadaan. Untuk artritis berat pilihannya adalah
metotreksat. Nefritis lupus diberikan siklofosfamid atau azatioprin.
Siklofosfamid bolus 0,5-1 gr/m2 dalam 250 cc NS selama 1 jam
diikuti pemberian cairan 2-3 L/24 jam. Jika ada nefritis, dosis
siklofosfamid hanya 500-750 mg/m2. Pemberiannya selama 6
bulan, kemudian dalam 3 bulan selama 2 tahun. Azatioprin oral 1-3
mg/kg/hari selama 6-12 bulan. Siklosporin 3-6 mg/kg/hari untuk
nefritis SLE. Metotreksat 7,5-20 mg/minggu terbagi 3 dosis oral
atau injeksi2,8.
Terapi lain seperti imunoglobulin 300-400 mg/kg/hari selama
5 hari berturut-turut untuk mencegah kekambuhan masih dalam
proses penelitian. Selain itu, plasmaferesis juga masih dalam
penelitian2,8.
2.8 Prognosis
Studi di Eropa pada 1000 pasien SLE menunjukkan 92% dengan terapi
optimal memiliki survival rate 10 tahun, dan menurun 88% pada pasien
dengan nefropati. Usia rata-rata kematian 44 tahun, dan usia tertua untuk
kematian 81 tahun. Penyebab kematian terbesar adalah lupus nefritis4.
20
BAB IV
ANALISA KASUS
21
hidralazin, isoniazid, metildopa, prokainamid, dan minoksiklin. Pada pasien ini
risikonya berupa jenis kelamin dan usia2,3,9.
Aspek sosial dari SLE adalah pada pasien SLE disarankan untuk tidak
hamil, karena kehamilan pada SLE yang aktif memerlukan terapi agresif bahkan
sampai penggunaan sitostatika yang dapat mengakibatkan komplikasi pada
kehamilan berupa abortus maupun kelainan kongenital. Dengan demikian pasien
dengan SLE harus diberi tahu jika ingin hamil lagi maka harus pada saat serangan
SLE minimal5.
Dari pemeriksaan penunjang didapatkan hemoglobin 10,1 g/dl dengan
neutrofilia. Tidak terdapat neutrofilia pada pasien SLE. Penyebab terjadinya
neutrofilia bisa berupa infeksi atau atau inflamasi akut. Pada pasien ini tidak
terdapat bukti adanya infeksi akut, dengan demikian neutrofilia yang terjadi
merupakan inflamasi akut2,8.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Poin positif pada pasien ini berupa gejala aspesifik
seperti demam, fatigue, kemudian dari kriteria diagnosis SLE harus memenuhi 4
dari 11 kriteria yang ada. Kriteria yang ada pada pasien ini berupa artritis
poliartikuler, malar rash, kandidiasis oral, dan fotosensitivitas. Dengan demikian
SLE sudah dapat ditegakkan. Rencana pemeriksaan penunjang untuk mendukung
diagnosis sesuai kriteria diagnosis yang disarankan adalah anti DNA, anti Sm,
ANA, IgM IgG antikardiolipin2,8.
Setelah diagnosis SLE ditegakkan maka, penatalaksanaan SLE harus
ditentukan terlebih dahulu apakah SLE yang terjadi pada pasien ini merupakan
SLE yang mengancam nyawa atau tidak. Pada pasien ini termasuk SLE yang tidak
mengancam nyawa karena tidak ada tanda-tanda SLE mengancam nyawa. Dengan
demikian penatalaksanaan akan selalu dimulai dengan tatalaksana non
farmakologi2,8.
Pasien telah diberikan penjelasan mengenai penyakitnya dan penyebabnya.
Selain itu pasien juga disarankan untuk mencegah terpapar sinar UV, diberikan
edukasi mengenai tanda-tanda penyakit mengancam nyawa, istirahat yang cukup,
diet seimbang, dan latihan jasmani. Penatalaksanaan farmakologi yang diberikan
22
berupa parasetamol 3x500 mg untuk antipiretik sekaligus antiinflamasi dan
analgetik, kemudian nistatin drop 4x6 cc untuk kandidiasis oral, kemudian
sunblock parafin yang mengandung PABA jika akan terpapar matahari2,8. Di
ruangan pasien diberikan mycostic drop dan parasetamol. Penulis setuju. Untuk
sunblock tidak diberikan saat ini dengan pertimbangan, pasien belum pulang,
sehingga keterpaparannya terhadap sinar matahari berkurang.
23
DAFTAR PUSTAKA
24