Anda di halaman 1dari 29

1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori


2.1.1. Lupus Eritematosus Sistemik (LES)
2.1.1.1.Definisi
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit reumatik autoimun
yang
ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau
sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposit autoantibodi dan
kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan (Isbagio H., dkk.,
2009).

2.1.1.2.Epidemiologi
Di seluruh dunia, prevalensi terjadinya LES sangat beragam. Keberagaman
ini didasarkan atas umur ras, gender dan etnik. Di USA insiden LES diperkirakan
2.2 kasus per 100,000 penduduk/ tahun. Di San Francisco, California insiden LES
diperkirakan 2.2. kasus per 100.000 penduduk/tahun. Di Eropah insidenya
berbeza-beza untuk tiap negara: 2.2 kasus per 100.000 di Spanyol sampai 5.8
kasus per 100.000 di Islandia. Insiden tahunan LES di Amerika serikat sebesar 5,1
per 100.000 penduduk, sementara prevalensi LES di Amerika dilaporkan 52 kasus
per 100.000 penduduk,10 dengan rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:1
(Danchenko N., dkk., 2006). Di Indonesia, belum terdapat adanya epidemiologi
LES yang mencakup seluruh wilayah Indonesia. Tahun 2002, data Rumah Sakit
Umum Pusat (RSUP) Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4%
kasus LES dari total kunjungan pasien di Poliklinik Rheumatologi Penyakit dalam
dan di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 pasien LES atau 10.5%
dari total pasien yang berobat ke poliklinik Reumatologi selama 2010 (Poliklinik
Reumatologi RS Hasan Sadikin Bandung, 2010).
2

2.1.1.3.Faktor risiko
Beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya Lupus Eritematosus
Sistemik (LES) antara lain (Simard J.F., dkk., 2012):

1. Faktor genetik
Riwayat keluarga sangat berperan penting dan mempuyai insiden yang ttinggi
untuk terjadinya penyakit ini.

2. Faktor obat
Terutama bagi penderita hipertensi yang mengonsumsi obat hydralazine, LES
dapat terjadi pada 6-7% penderita hipertensi yang telah terapi hydralazine selama
3 tahun, dengan dosis 100 mg/hati (terjadi LES sebesar 5.4%) dan 200 mg/hari
(terjadi LES sebesar 10.4%). Tetapi LES tidak terjadi pada pasien terapi pada
terapi hydralazine dengan dosis 50 mg/hari.

3. Jenis kelamin
LES terutam menyerang wanita dibandingkan pria. Ini diakibatkan karena
produksi hormone estrogen yang berlebihan pada wanita akan mempengaruhi sel-
sel imun sehingga membuatnya bertindak superaktif menyerang benda asing
seperti virus dan kuman juga sel-sel tubuh sendiri.

4. Radiasi sinar ultraviolet


Sinar ultraviolet juga merupakan faktor pencetus pada onset LES atau
kekambuhan pada perjalanan penyakit ini yang mana dapat ditemukan antibodi.

5. Faktor lain
Beberapa faktor lainya yang dapat berperan juga sebagai pencetus terjadinya LES
adalah infeksi dan stress baik fisik maupun mental.
3

2.1.1.4.Etiopatogenesis.
Etiopatogenesis dari LES masih belum diketahui secara jelas, dimana
terdapat banyak bukti bahwa patogenesis LES bersifat multifaktoral seperti faktor
genetik, faktor lingkungan, dan faktor hormonal terhadap respons imun.
Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan
resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot. Penelitian
terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan terutama gen yang
mengkode unsur-unsur sistem imun. Diduga berhubungan dengan gen respons
imun spesifik pada kompleks histokompabilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2
dan HLA-DR3 serta dengan komponen-komplemen yang berperan dalam fase
awal reaksi ikat komplemen (yaitu C1q, C1r, C1s, C4, dan C2) telah terbukti.
Gen-gen lain yang mulai ikut berperan adalah gen yang mengkode reseptor sel T,
imunoglobulin dan sitokin (Isbagio H., dkk., 2009).
Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan
HLA (Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen MHC
(Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi spesifik.
Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen-komplemen, seperti
C2, C4, atau C1q (Mokk C.C., dkk., 2003). Kekurangan komplemen dapat
merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear
sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan sel
fagosit gagal membersihkan sel apoptosis sehingga komponen nuklear akan
menimbulkan respon imun (A.J.G. Swaak, H.G. Van Den Brink, R.J.T. Smeenk,
dkk., 1999).
Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti
radiasi ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self
immunity dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit.
Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus,
dan memegang peranan dalam fase induksi yang secara langsung mengubah sel
DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu
menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit (Mok C.C., Lau C.S., 2003).
4

Faktor lingkungan lainnya yaitu kebiasaan merokok yang menunjukkan


bahwa perokok memiliki resiko tinggi terkena lupus, berhubungan dengan zat
yang terkandung dalam tembakau yaitu amino lipogenik aromatik (Eisenberg H.,
2010). Pengaruh obat juga memberikan gambaran bervariasi pada pengaruh obat
salah satunya yaitu dapat meningkatkan apoptosis keratinosit.
Faktor lingkungan lainnya yaitu peranan agen infeksius terutama virus dapat
ditemukan pada penderita lupus. Virus rubella, sitomegalovirus, dapat
mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis (Mok C.C., Lau C.S., 2003).
Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor hormonal.
Mayoritas penyakit ini menyerang wanita muda dan beberapa penelitian
menunjukkan terdapat hubungan timbal balik antara kadar hormone estrogen
dengan sistem imun. Estrogen mengaktivasi sel B poliklonal sehingga
mengakibatkan produksi autoantibodi berlebihan pada pasien LES. Autoantibodi
pada lupus kemudian dibentuk untuk menjadi antigen nuklear (ANA dan anti-
DNA).
Selain itu, terdapat antibodi terhadap struktur sel lainnya seperti eritrosit,
trombosit dan fosfolipid. Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks
imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi
pada banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal (Kanda N., Tsuchida T., Tamaki
K., 1999).

2.1.1.5.Manifestasi Klinis
Menurut George Bertsias, dkk., 2012, manifestasi klinis penyakit ini sangat
beragam tergantung organ yang terlibat dimana dapat melibatkan banyak organ
dalam tubuh manusia dengan perjalanan klinis yang kompleks, sangat bervariasi,
dapat ditandai oleh serangan akut, periode aktif, kompleks, atau remisi dan
seringkali pada keadaan awal tidak dikenali sebagai LES.
Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinis penyakit LES ini seringkali
tidak terjadi secara bersamaan. Seseorang dapat saja selama beberapa tahun
mengeluhkan nyeri sendi yang berpindah-pindah tanpa adanya keluhan lain.
Kemudian diikuti oleh manifestasi klinis lainnya seperti fotosensitivitas dan
sebagainya yang pada akhirnya akan memenuhi kriteria LES.
5

1. Manifestasi Konstitusional
Kelelahan merupakan keluhan yang umum dijumpai pada penderita LES
dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya. Kelelahan ini agak
sulit dinilai karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan seperti
anemia, meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti
prednison. Apabila kelelahan disebabkan oleh aktivitas penyakit LES, diperlukan
pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat
penyakit ini memberikan respons terhadap pemberian steroid atau latihan.
Penurunan berat badan dijumpai pada sebagian penderita LES dan terjadi
dalam beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan berat badan ini
dapat disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau diakibatkan gejala
gastrointestinal.
Demam sebagai salah satu gejala konstitusional LES sulit dibedakan dari
sebab lain seperti infeksi karena suhu tubuh lebih dari 40oC tanpa adanya bukti
infeksi lain seperti leukositosis. Demam akibat LES biasanya tidak disertai
menggigil dan sulit untuk di bedakan dari penyebab demam lain seperti infeksi,
kareana suhu tubuh dapat lebih dari 400C tanpa adanya bukti infeksi lain seperti
leukositosis.

2. Manifestasi Muskuloskeletal
Pada penderita LES, manifestasi pada muskuloskeletal ditemukan
poliartritis, biasanya simetris dengan episode artralgia pada 90% kasus. Pada 50%
kasus dapat ditemukan kaku pagi, tendonitis juga sering terjadi dengan akibat
subluksasi sendi tanpa erosi sendi.
Gejala lain yang dapat ditemukan berupa osteonekrosis yang didapatkan
pada 5-10% kasus dan biasanya berhubungan dengan terapi steroid. Selain itu,
ditemukan juga mialgia yang terjadi pada 60% kasus, tetapi miositis timbul pada
penderita LES< 5% kasus. Miopati juga dapat ditemukan, biasanya berhubungan
6

dengan terapi steroid dan kloroquin. Osteoporosis sering didapatkan dan


berhubungan dengan aktifitas penyakit dan penggunaan steroid.

3. Manifestasi Kulit
Lesi mukokutaneus yang tampak sebagai bagian LES dapat berupa reaksi
fotosensitifitas, discoid LE (DLE), subacute cutaneous lupus erythematosus
(SCLE). Lupus profundus/paniculitis, alopecia, lesi vaskuler berupa eritema
periungual, livedo reticularis, teleangiectasia, fenomena raynaud’s atau vaskulitis
atau bercak yang menonjol berwarna putih perak dan dapt pula berupa bercak
eritema pada palatum mole dan durum. Bercak atrofis, eritema atau depigmentasi
pada bibir.

4. Manifestasi Kardiovaskular
Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial, dapat
berupa perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan perikardial.
Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh takikardia, aritmia,
interval PR yang memanjang, kardiomegali sampai gagal jantung.
Endokarditis Libman-Sachs, seringkali tidak terdiagnosis dalam klinik, tapi
data autopsi mendapatkan 50% LES disertai endokarditis Libman-Sachs. Adanya
vegetasi katup yang disertai demam harus dicurigai kemungkinan endokarditis
bakterialis. Wanita dengan LES memiliki risiko penyakit jantung koroner 5-6%
lebih tinggi dibandingkan wanita normal. Pada wanita yang berumur 35-44 tahun,
risiko ini meningkat sampai 50%.

5. Manifestasi Paru-paru
Kelainan paru-paru pada LES seringkali bersifat subklinik sehingga foto
toraks dan spirometri harus dilakukan pada pasien LES dengan batuk, sesak nafas
atau kelainan respirasi lainnya. Pleuritis dan nyeri pleuritik dapat ditemukan pada
60% kasus. Efusi pleura dapat ditemukan pada 30% kasus, tetapi biasanya ringan
dan secara klinik tidak bermakna. Fibrosis interstitial, vaskulitis paru dan
pneumonitis dapat ditemukan pada 20% kasus, tetapi secara klinis seringkali sulit
7

dibedakan dengan pneumonia dan gagal jantung kongestif. Hipertensi pulmonal


sering didapatkan pada pasien dengan sindrom antifosfolipid. Pasien dengan nyeri
pleuritik dan hipertensi pulmonal harus dievaluasi terhadap kemungkinan sindrom
antifosfolipid dan emboli paru.
6. Manifestasi Ginjal
Penilainan keterlibatan ginjal pada pasien LES harus dilakukan dengan
menilai ada/tidaknya hipertensi, urinalisis untuk melihat proteinuria dan
silinderuria, ureum dan kreatinin, proteinuria kuantitatif, dan klirens kreatinin.
Secara histologik, WHO membagi nefritis lupus atas 5 kelas. Pasien LES
dengan hematuria mikroskopik dan/atau proteinuria dengan penurunan GFR harus
dipertimbangkan untuk biopsi ginjal.

7. Manifestasi Hemopoetik
Pada LES, terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai
dengan anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit
kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia
hemolitik autoimun.
Selain itu, ditemukan juga leukopenia dan limfopenia pada 50-80% kasus.
Adanya leukositosis harus dicurigai kemungkinan infeksi. Trombositopenia pada
LES ditemukan pada 20% kasus. Pasien yang mula-mula menunjukkan gambaran
trombositopenia idiopatik (ITP), seringkali kemudian berkembang menjadi LES
setelah ditemukan gambaran LES yang lain.

8. Manifestasi Susunan Saraf


Keterlibatan Neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa migrain,
neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik dengan
antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan penyebab terbanyak kelainan
serebrovaskular pada LES. Neuropati perifer, terutama tipe sensorik ditemukan
pada 10% kasus.
Keterlibatan saraf otak, jarang ditemukan. Kelainan psikiatrik sering
ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan psikiatrik juga
dapat dipicu oleh terapi steroid. Analisis cairan serebrospinal seringkali tidak
8

memberikan gambaran yang spesifik, kecuali untuk menyingkirkan kemungkinan


infeksi. Elektroensefalografi (EEG) juga tidak memberikan gambaran yang
spesifik. CT scan otak kadang-kadang diperlukan untuk membedakan adanya
infark atau perdarahan.
9. Manifestasi Gastrointestinal
Gejala gastrointestinal adalah seperti anoreksia, nausea, vomiting, sakit
perut
dan diare. Penyebab sakit di bagian abdominal karena lupus akibat vaskulitis
mesenteric dan penyakit hepatobiliaris (Kiriakodou M, 2013).

2.1.1.6.Terapi medikamentosa ( Perhimpunan Rheumotologi Indonesia,


2011).
Berikut ini adalah jenis, dosis obat yang dipakai pada SLE serta pemantauannya,
selanjutnya dapat dilihat pada tabel 2.1.

Jenis obat Dosis Jenis Toksisitas Evaluasi Pemantauan


awal
Klinis Lab

OAINS Tergantung Perdarahan Darah rutin, Gejala gastro- Darah rutin,


OAINS saluran cerna, keratinin, intestinal keratininAST/
hepatotoksik, urin rutin, ALT setiap
sakit kepala, AST/ 6 bulan.
hipertensi, ALT.
aseptic,
meningitis,
nefrotoksik.
Kortiosteroid Tergantung Chushingold, Gula darah, Tekanan Glukosa
derajat SLE. hipertensi, profillipid, darah.
dislipidemi, DXA,
osteonecrosis, tekanan
hiperglisemia, darah
katarak,
osteoporosis.
Klorokulin 250 mg/hari Retinopati, Evaluasi Fundu-skopi
Hidrok- (3,5- keluhan GIT, mata, dan lapangan
siklorokulin* 4mg/kgBB/ rash, mialgia, G6PD pada mata setiap
hr)200400 sakit kepala, pasien 3-6 bulan.
mg/hari. anemi hemolik berisiko.
pada pasien
dengan
defisiensi
9

G6PD.

Azatioprin 50-150 mg Mielosupresif, Darah tepi Gejala Darah tepi


per hari, hepatotoksik, lengkap, mielosupresif lengkap
dosis terbagi gangguan kreatinin, terutama 1-2
1-3, limfoproliferatif. AST/ minggu, dan
tergantung ALT selanjut-nya
berat badan. 1-3 bulan
interval. AST
tiap tahun dan
pap smear
secara teratur.

Siklofosfamid Peroral: Mielosupresif, Darah tepi Gejala mie- Darah tepi


50-150 mg gangguan limfo- lengkap, losupresif lengkap tiap
per hari. proliferatif, hitung jenis hematuria dan bulan, sitologi
keganasan, leukosit, infertilitas. urin dan pap
IV: imunosupresi, urin smear tiap tahun
500-750 sistitis- lengkap. seumur.
mg/m2 hemoragik,
dalam inferlitas
Dextrose sekunder.
250ml, infus
selama
1 jam.

7.5 – 20 Mielosupresif, Darah tepi Gejala mie- Darah tepi


mg/minggu fibrosis hepatik, lengkap, losupresi, lengkap
dosis sirosis, foto-toraks, sesak nafas, terutama hitung
tunggal atau infiltrat serologi mual trombosit tiap
Metotreksat terbagi 3. pulmonal hepatitis B dan muntah, 4-8 minggu,
Dapat dan fibrosis. dan C pada ulkus mulut. ST/ALT dan
diberikan pasien albumin tiap
pula melalui risiko 4-8 minggu, urin
injeksi. tinggi, lengkap dan
AST, keratinin.
fungsi hati,
kreatinin.

Siklosporin A 2.5-5 Pembengkakan, Darah tepi Gejala hiper- Keratinin. LFT,


mg/kgBB, nyeri gusi, lengkap,kre sensitifitas Darah tepi
atau sekitar peningkatan atinin, urin terhadap castor lengkap.
100 – 400 tekanan darah, lengkap, oil
mg per hari peningkatan LFT. (bila
dalam 2 pertumbuhan diberikan
dosis, rambut, injeksi)
tergantung gangguan tekanan darah,
berat badan fungsi ginjal, fungsi
nafsu makan hati
menurun, dan ginjal.
tremor.

Mikofenolat 1000 - 2.000 Mual, Darah tepi, Gejala gastro- Darah tepi
10

mofetil mg dalam diare, fese intestinal lengkap


2 dosis. leukopenia. lengkap. seperti mual, terutama
muntah. leukosit dan
hitung jenisnya.

Tabel 2.1. Jenis dan Dosis Obat yang Dapat Dipakai pada SLE
OAINs: obat antiinflamasi non steroid, AST/ALT: aspartate serum
transaminase/ alanine serum transaminase, LFT: liver function test
*hidroksiklorokuin saat ini belum tersedia di Indonesia.
2.1.2. Kualitas Hidup
2.1.2.1.Definisi
Setiap individu memiliki kualitas hidup yang berbeda tergantung dari
masing-masing individu dalam menyikapi permasalahan yang terjadi dalam
dirinya. Jika menghadapi dengan positif maka akan baik pula kualitas hidupnya,
tetapi lain halnya jika menghadapi dengan negatif maka akan buruk pula kualitas
hidupnya. Menurut unit penelitian Kualitas Hidup Universitas Toronto, kualitas
hidup adalah tingkat di mana seseorang menikmati hal-hal penting yang mungkin
terjadi dalam hidupnya. Masing-masing orang memiliki kesempatan dan
keterbatasan dalam hidupnya yang merefleksi interaksinya dan lingkungan.
Sedangkan kenikmatan itu sendiri terdiri dari dua komponen yaitu pengalaman
dari kepuasan dan kepemilikan atau prestasi (Rebecca, 2011).
Menurut WHO, 1994, kualitas hidup didefenisikan sebagai persepsi
individu sebagai laki-laki atau wanita dalam hidup, ditinjau dari konteks budaya
dan system nilai dimana mereka tinggal, dan berhubungan dengan standar hidup,
harapan, kesenangan, dan perhatian mereka. Hal ini merupakan konsep tingkatan,
terangkum secara kompleks mencakup kesehatan fisik, status psikologis, tingkat
kebebasan, hubungan sosial dan hubungan kepada karakteristik lingkungan
mereka.
Di dalam bidang kesehatan dan aktivitas pencegahan penyakit, kualitas
hidup dijadikan sebagai aspek untuk menggambarkan kondisi kesehatan (Tika
Larasati, 2012). Menurut Hays, 2005, menyatakan bahwa kualitas hidup dapat
disimpulkan dua bahagian yaitu pertama kesehatan fisik terdiri dari fungsi fisik,
keterbatasan peranan fisik, nyeri pada tubuh dan presepsi kesehatan umum, kedua
kesehatan mental terdiri dari vitalitas, fungsi sosial, keterbatasan peran emosional
dan kondisi mental.
11

Kualitas hidup berarti hidup yang baik sama seperti hidup dengan kualitas
yang tinggiHal ini digambarkan pada kebahagian, pemenuhan kebutuhan, fungsi
dalam konteks sosial, dan lain-lain (Ventegodlt, Merriek, Andersen, 2003).
Kualitas hidup ditetapkan secara berbeda dalam penelitian lain. Namun
dalam penelitian ini kualitas hidup adalah tingkatan yang menggambarkan
keunggulan kualitas hidup seorang individu yang dapat dinilai berdasarkan
Kuesioner SF-36. Kuesioner SF-36 adalah sebuah kuesioner survei kesehatan
untuk menilai kualitas hidup, yang terdiri dari 36 butir pertanyaan. Kuesioner ini
menghasilkan 8-skala fungsional profil kesehatan dan skor kesejahteraan berbasis
psikometri kesehatan fisik dan psikis, serta merupakan kumpulan dari langkah-
langkah dan preferensi kesehatan berbasis indeks. Oleh karena itu, SF-36 telah
terbukti berguna dalam survei umum dan populasi khusus, membandingkan relatif
beban penyakit serta dalam membedakan manfaat kesehatan yang dihasilkan oleh
berbagai intervensi yang berbeda.

2.1.2.2.Ruang lingkup dan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup


pada pasien LES
Secara umum terdapat 6 domain yang dipakai untuk mengukur kualitas
hidup berdasarkan kuesioner yang dikembangkan oleh WHO (World Health
Organization), bidang tersebut adalah kesehatan fisik, kesehatan psikologik,
keleluasaan aktivitas, hubungan sosial dan lingkungan, sedangkan secara rinci
domain-domian yang termasuk kualitas hidup adalah sbb :
1. Kesehatan fisik (physical health): Kesehatan umum, nyeri, energi dan
vitalitas, aktivitas seksual, tidur dan istirahat.
2. Kesehatan psikologis (psychological health): Cara berpikir, belajar, memori
dan konsentrasi.
3. Tingkat aktivitas (level of independence): mobilitas, aktivitas sehari-hari,
komunikasi, kemampuan kerja.
4. Hubungan sosial (social relationship): hubungan sosial, dukungan sosial.
5. Lingkungan (environment), keamanan, lingkungan rumah, kepuasan kerja.
6. Kepercayaan rohani atau religius (spirituality/religion beliefs).
12

Dalam penelitian nenilai kualitas kesehatan hidup pasien LES dengan


menggunakan kuesioner WHOQoL-100 didapat persepsi kualitas hidup
perempuan dewasa dengan LES memiliki domain spiritualitas lebih baik daripada
domain lingkungan. Semakin intens aktivitas penyakit yang dideritai, semakin
buruk kualitas hidup yang dirasakan wanita dengan penyakit LES yang aktif.
Sementara wanita dengan LES yang tidak aktif memiliki persepsi kualitas hidup
yang lebih baik. Faktor fisik, psikologis dan lingkungan adalah faktor yang paling
berpengaruh pada wanita dengan LES aktif (Maria Gorette dos Reis dkk., 2010).
2.1.3. Depresi
2.1.3.1.Definisi
Depresi merupakan kondisi emosional yang biasanya ditandai dengan
kesedihan yang amat sangat mendalam, perasaan tidak berarti dan bersalah,
menarik diri dari orang lain dan tidak dapat tidur, kehilangan selera makan,
hasrat seksual dan minat serta kesenangan dalam aktivitas yang biasa dilakukan
(Davison dkk., 2006). Dalam edisi DMS (Dignostic and Statistical Manual of
Mental Disorders) Depresi merupakan gangguan suasana hati atau mood yang
dikenal sebagai gangguan afektif (Kaplan & Sadock, 2010) dan merupakan salah
satu bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan (affective/mood disorder),
yang ditandai dengan kemurungan, kelesuan, ketidak gairahan hidup, perasaan
tidak berguna, dan putus asa (Hawari, 2010).
Menurut National Institute of Mental Health, 2010, Depresi merupakan
gangguan mental yang serius yang ditandai dengan perasaan sedih dan cemas.
Gangguan ini biasanya akan menghilang dalam beberapa hari tetapi dapat juga
berkelanjutan yang dapat mempengaruhi aktivitas sehari-hari.

2.1.3.2.Epidemiologi
Depresi adalah diagnosis pasien rawat jalan ketujuh tertinggi. Rata- rata usia
awitan adalah akhir dekade kedua walau dapat ditemui pada semua kelompok
usia. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa depresi mayor lebih sering pada
wanita dibanding pria dengan rasio 2:1 (Sunarsih S., Purwanti S., Khosidah A.,
2010).
13

Prevalensi selama kehidupan pada wanita 10%-25% dan pada laki-laki 5%-
12%. Walaupun depresi lebih sering pada wanita, bunuh diri lebih sering pada
laki-laki terutama usia muda dan tua (Silberg dkk., 1999).

2.1.3.3.Etiologi
Dalam Kaplan & Sadock, 2010, penyebab terjadinya depresi adalah :
1. Faktor Biologis
Banyak penelitian melaporkan abnormalitas metabolit amin biogenic-
seperti asam 5-hidroksiindolasetat (5-HIAA), asam homovanilat (HVA) dan 3
metoksi-4-hdroksifenilglikol (MHPG) di dalam darah, urine dan cairan
serebrospinalis pasien dengan gangguan mood. Laporan data ini paling konsisten
dengan hipotesisi bahwa gangguan mood disebabkan oleh disregulasi heterogen
amin biogenic.

2. Faktor Neurokimia
Walaupun data belum meyakinkan, neurotransmitter asam amino dan
peptide neuro aktif telah dilibatkan dalam patofiologi gangguan mood. Sejumlah
peneliti telah mengajukan bahwa system messengers kedua- seperti regulasi
kalsium, adenilat siklase, dan fosfatidilinositol- dapat menjadi penyebab. Asam
amino glutamate dan glisin tampaknya menjadi neurotransmitter eksitasi utama
pada system saraf pusat. Glutamat dan glisin berikatan dengan reseptor N-Metil-
D-Aspartat (NMDA), jika berlebihan dapat memiliki efek neurotoksik.
Hipokampus memiliki konsentrasi reseptor NMDA yang tinggi sehingga mungkin
jika glutamate bersama dengan hiperkortisolemia memerantarai efek
neurokognitif pada stress kronis. Terdapat bukti yang baru muncul bahwa obat
yang menjadi antagonis reseptor NMDA memiliki efek antidepresan.

3. Faktor Genetik
Data genetik dengan kuat menunjukkan bahwa faktor genetik yang
signifikan terlibat dalam timbulnya gangguan mood tetapi pola pewarisan genetik
terjadi melalui mekanisme yang kompleks. Tidak hanya menyingkirkan pengaruh
psikososial tetapi faktor nongenetik mungkin memiliki peranan kausatif didalam
14

timbulnya gangguan mood pada beberapa orang. Komponen genetik memiliki


peranan yang bermakna didalam gangguan bipolar I daripada gangguan depresi
berat.

4. Faktor Psikososial
Peristiwa hidup dan penuh tekanan lebih sering timbul mendahului episode
gangguan mood yang megikuti. Hubungan ini telah dilaporkan untuk pasien
gangguan depresif berat dan gangguan depresif I. sebuah teori yang diajukan
untuk menerangkan pengamatan ini adalah bahwa stress yang menyertai episode
pertama mengakibatkan perubahan yang bertahan lama didalam biologi
otak.perubahan yang bertahan lama ini dapat menghasilkan perubahan keadaan
fungsional berbagai neurotransmitter dan system pemberian sinyal interaneuron,
perubahan yang bahkan mencakup hilangnya neuron dan berkurangnya kontak
sinaps yang berlebihan. Akibatnya seseorang memiliki resiko tinggi mengalami
episode gangguan mood berikutnya, bahkan tanpa stressor eksternal. Sejumlah
klinis bahwa peristiwa hidup memegang peranan utama dalam depresi. Klinisi
lain menunjukkan bahwa peristiwa hidup hanya memegang peranan terbatas
dalam awitan dan waktu depresi. Data yang paling meyakinkan menunjukkan
bahwa peristiwa hidup yang paling sering menyebabkan timbulnya depresi
dikemudian hari pada seseorang adalah kehilangan orang tua sebelum usia 11
tahun. Stresor lingkungan yang paling sering menyebabkan timbulnya awitan
depresi adalah kematian pasangan. Factor resiko lain adalah PHK- seseorang yang
keluar dari pekerjaan sebanyak tiga kali lebih cenderung memberikan laporan
gejala episode depresif berat daripada orang yang bekerja.

5. Faktor Kepribadian
Tidak ada satupun ciri bawaan atau jenis kepribadian yang secara khas
merupakan predisposisi seseorang mengalami depresi dibawah situasi yang
sesuai. Orang dengan gangguan kepribadian tertentu-objektif kompulsif, histrionic
dan borderline-mungkin memiliki resiko yang lebih besar untuk mengalami
depresi daripada orang dengan gangguan kepribadian antisocial atau paranoid.
Gangguan kepribadian paranoid dapat menggunakan mekanisme defense proyeksi
15

dan mekanisme eksternalisasi lainnya untuk melindungi diri mereka dari


kemarahan didalam dirinya. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa gangguan
kepribadian tertentu terkait dengan timbulnya gangguan bipolar I dikemudian
hari; meskipun demikian, orang dengan gangguan distemik dan siklotimik
memiliki resiko gagguan depresi berat atau gangguan bipolar I kemudian hari.

6. Faktor Psikodinamik Depresi


Pemahaman psikodinamik depresi yang dijelaskan oleh Sigmund freud dan
dikembangkan Karl Abraham dikenal dengan pandangan klasik mengenai depresi.
Teori ini memiliki 4 poin penting :
1. Gangguan hubungan ibu-bayi selama fase oral (10-18 bulan pertama
kehidupan) menjadi predisposisi kerentanan selanjutnya terhadap depresi
2. Depresi dapat terkait dengan kehilangan objek yang nyata atau khayalan.
3. Introyeksi objek yang meninggal adalah mekanisme pertahanan yang
dilakukan untuk menghadapi penderitaan akibat kehilangan objek.
4. Kehilangan objek dianggap sebagai campuran cinta dan benci sehingga rasa
marah diarahkan kedalam diri sendiri.

2.1.3.4.Faktor risiko
1. Jenis Kelamin
Secara umum dikatakan bahwa gangguan depresi lebih sering terjadi pada
wanita dibandingkan pada pria. Pendapat-pendapat yang berkembang
mengatakan bahwa perbedaan dari kadar hormonal wanita dan pria, perbedaan
faktor psikososial berperan penting dalam gangguan depresi mayor ini (Kaplan,
dkk, 2010). Dalam diskusi panel yang diselenggarakan oleh American
Psychological Association (APA) menyatakan bahwa sebagian besar perbedaan
16

gender disebabkan peningkatan jumlah stres yang dihadapi wanita dalam


kehidupan kontemporer.

2. Umur
Depresi dapat terjadi dari berbagai kalangan umur. Serkitar 7,8% dari
setiap populasi mengalami gangguan mood dalam hidup mereka dan 3,7%
mengalami gangguan mood sebelumnya. Menurut Barlow, 1995, Depresi mayor
umumnya berkembang pada masa dewasa muda, dengan usia rata-rata onsetnya
adalah pertengahan 20. Namun gangguan tersebut dapat dialami bahkan oleh
anak kecil, meski hingga usia 14 tahun resikonya sangat rendah.

3. Faktor Sosial-Ekonomi dan Budaya


Tidak ada suatu hubungan antara faktor sosial-ekonomi dan gangguan
depresi mayor, tetapi insiden dari gangguan Bipolar I lebih tinggi ditemukan
pada kelompok sosial-ekonomi yang rendah (Kaplan dkk., 2010). Dari faktor
budaya tidak ada seorang pun mengetahui mengapa depresi telah mengalami
peningkatan di banyak budaya, namun spekulasinya berfokus pada perubahan
sosial dan lingkungan, seperti meningkatnya disintegrasi keluarga karena
relokasi, pemaparan terhadap perang, dan konflik internal, serta meningkatnya
angka kriminal yang disertai kekerasan, seiring dengan kemungkinan pemaparan
terhadap racun atau virus di lingkungan yang dapat mempengaruhi kesehatan
mental maupun fisik (Nevid dkk., 2003).

2.1.3.5.Patofisiologi
Patofisiologi depresi dijelaskan dalam beberapa hipotesis. Amina biogenik
merupakan hipotesis yang menyatakan, depresi disebabkan menurunnya atau
berkurangnya jumlah neurotransmitter norepinefrin (NE), serotonin (5 – HT)
dan dopamine (DA) dalam otak (Sukandar dkk., 2009). Hipotesis sensitivitas
reseptor yaitu perubahan patologis pada reseptor yang dikarenakan terlalu
kecilnya stimulasi oleh monoamine dapat menyebabkan depresi. Hipotesis
desregulasi, tidak beraturannya neurotransmitter sehingga terjadi gangguan
depresi dan psikiatrik. Dalam teori ini ditekankan pada kegagalan hemeostatik
17

sistem neurotransmitter, bukan pada penurunan atau peningkatan absolute


aktivitas neurotransmitter (Teter dkk., 2007).

2.1.3.6.Manifestasi Klinis Depresi dan Tingkat Depresi


Gejala-gejala dari gangguan depresi sangat bervariasi, gejala-gejala tersebut
adalah:
1. Merasa sedih & bersalah.
2. Merasa cemas & kosong.
3. Merasa tidak ada harapan.
4. Merasa tidak berguna dan gelisah.
5. Merasa mudah tersinggung.
6. Merasa tidak ada yang peduli.
Selain gejala-gejala diatas, gejala-gejala lain yang dikeluhkan adalah:
1. Hilangnya ketertarikan terhadap sesuatu atau aktivitas yang dijalani
2. Kekurangan energi dan adanya pikiran untuk bunuh diri
3. Gangguan berkonsentrasi, mengingat informasi,dan membuat keputusan
4. Gangguan tidur, tidak dapat tidur atau tidur terlalu sering
5. Kehilangan nafsu makan atau makan terlalu banyak
6. Nyeri kepala, sakit kepala, keram perut, dan gangguan pencernaan

Tingkat depresi dibagi menjadi 5 tingkat, yang akan dijelaskan di bawah ini:

1. Gangguan mood ringan dan depresi sedang ditandai dengan gejala depresi
berkepanjangan setidaknya 2 tahun tanpa episode depresi utama. Untuk
dapat diagnosis depresi ringan-sedang seseorang harus harus menunjukkan
perasaan depresi ditambah setidaknya dua lainnya suasana hati yang
berhubungan dengan gejala.
2. Batas depresi borderline ditandai dengan gejala perasaan depresi yang
berkepanjangan disertai perasaan depresi lebih dari dua suasana hati yang
berhubungan dengan gejala.
3. Depresi berat ditandai dengan gejala depresi utama selama 2 minggu atau
lebih.Untuk dapat didiagnosis depresi berat harus mengalami 1 atau 2 dari
total 5 gejala depresi utama.
18

4. Depresi ekstrim ditandai dengan gejala depresi utama yang berkepanjangan.


Untuk dapat diagnosis depresi ekstrim mengalami lebih dari 2 dari total 5
gejala depresi utama (National Institute of Mental Health, 2010).

Tingkat Gejala Gejala lain Fungsi Keterangan


Depresi Utama

Ringan 2 2 Baik -

Sedang 2 3-4 Terganggu Nampak distress

Berat 3 >4 Sangat Terganggu Sangat distress

Tabel 2.2. Penggolongan Depresi Menurut ICD-10 (Soejono dkk, 2007)

2.1.3.7.Klasifikasi
Gangguan depresi terdiri dari berbagai jenis, yaitu:
1. Gangguan depresi mayor
Gejala-gejala dari gangguan depresi mayor berupa perubahan dari nafsu
makan dan berat badan, perubahan pola tidur dan aktivitas, kekurangan
energi, perasaan bersalah, dan pikiran untuk bunuh diri yang berlangsung
setidaknya ± 2 minggu (Kaplan, dkk., 2010).
2. Gangguan dysthmic
Dysthmia bersifat ringan tetapi kronis (berlangsung lama). Gejala gejala
dysthmia berlangsung lama dari gangguan depresi mayor yaitu selama 2
tahun atau lebih. Dysthmia bersifat lebih berat dibandingkan dengan
gangguan depresi mayor, tetapi individu dengan gangguan ini masih dapat
berinteraksi dengan aktivitas sehari-harinya.
3. Gangguan depresi minor
Gejala-gejala dari depresi minor mirip dengan gangguan depresi mayor dan
dysthmia, tetapi gangguan ini bersifat lebih ringan dan atau berlangsung
lebih singkat.

4. Tipe-tipe lain dari gangguan depresi adalah:


a. Gangguan depresi psikotik
19

Gangguan depresi berat yang ditandai dengan gejala-gejala, seperti:


halusinasi dan delusi.
b. Gangguan depresi musiman
Gangguan depresi yang muncul pada saat musim dingin dan menghilang
pada musim semi dan musim panas (National Institute of Mental Health,
2010).

2.1.3.8.Diagnosis
2.1.3.8.1. Derajat Depresi dan Penegakan Diagnosis
Gangguan depresi pada usia lanjut ditegakkan berpedoman pada PPDGJ III
(Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa III) yang merujuk pada ICD
10 (International Classification Diagnostic 10). Gangguan depresi dibedakan
dalam depresi berat, sedang, dan ringan sesuai dengan banyak dan beratnya gejala
serta dampaknya terhadap fungsi kehidupan seseorang (Maslim, 2002).

Gejala Utama:

 Perasaan depresif
 Hilangnya minat dan semangat
 Mudah lelah dan tenaga hilang

Gejala Lain:

 Konsentrasi dan perhatian menurun


 Harga diri dan kepercayaan diri menurun
 Perasaan bersalah dan tidak berguna
 Pesimis terhadap masa depan
 Gagasan membahayakan diri atau bunuh diri
 Gangguan tidur
20

 Gangguan nafsu makan


 Menurunnya libido

2.1.4. Tingkat Aktifitas Penyakit dan Kerusakan Organ pada Pasien LES
2.1.4.1.MEX SLEDAI
Perjalanan penyakit LES yang ditandai dengan eksaserbasi dan remisi,
memerlukan pemantauan yang ketat akan aktifitas penyakitnya. Evaluasi
penyakit ini berguna sebagai panduan dalam pemberian terapi. Terdapat
beberapa indeks untuk menilai akitifitas penyakit LES antara lain menggunakan
ECLAM (European Consensus Lupus Activity Measurement); LAI (Lupus
Activity Index); SLAM (Systemic Lupus Activity Measure); BILAG (British Isles
Lupus Assessment Group); dan SLEDAI (Systemic Lupus Erythematosus
Disease Activity Index). Ketiga indeks penilaian terakhir terbukti valid dan
memiliki korelasi yang sangat kuat terhadap aktifitas penyakit (Freire E.A.M.,
dkk., 2012).

Aktifitas penyakit LES digambarkan sebagai 10 variabel klinik utama


yaitu berupa gangguan neurologi, gangguan ginjal, vaskulitis, hemolisis,
miositis, artritis, gangguan muskulokutan, serositis, demam dan kelelahan,
leukopenia dan limfopenia. Pasien yang memiliki skor < 2 memiliki aktifitas
penyakit LES ringan sementara skor 2-5 memiliki aktifitas penyakit LES sedang,
dan pasien yang memiliki skor > 5 memiliki aktifitas penyakit LES berat (T.
Stoll dkk., 2004).

Bobot Deskripsi Definisi

8 Gangguan Psikosa: angguan kemampuan melaksanakan aktifitas


Neurologi fungsi normal dikarenakan gangguan persepsi realitas.
Termasuk: halusinasi, inkoheren, kehilangan
berasosiasi, isi pikiran yang dangkal, berfikir yang
tidak logis, bizzare, disorganisasi atau bertingkah laku
kataton.
Kejang: Onset baru, eksklusi metabolik, infeksi, atau
pemakaian obat.
Sindrom otak organik: Keadaan berubahnya fungsi
mental yang ditandai dengan gangguan orientasi,
memori atau fungsi intelektual lainnya dengan onset
yang cepat, gambaran klinis yang berfluktuasi. Seperti
21

:
a) Kesadaran yang berkabut dengan berkurangnya
kapasitas untuk memusatkan pikiran dan
ketidakmampuan memberikan perhatian terhadap
lingkungan, disertai dengan sedikitnya 2 dari
b) Gangguan persepsi; berbicara melantur; insomnia
atau perasaan mengantuk sepanjang hari;
meningkat atau menurunnya aktfitas psikomotor.
Eksklusi penyebab metabolik, infeksi atau penggunaan
obat.
Mononeuritis: Defisit sensorik atau motorik yang baru
disatu atau lebih saraf kranial atau perifer. Myelitis:
Paraplegia dan/atau gangguan mengontrol BAK/BAB
dengan onset yang baru. Eksklusi penyebab lainnya.

6 Gangguan ginjal Cast, Heme granular atau sel darah merah.


Haematuria: > 5 /lpb. Eksklusi penyebab lainnya
(batu/infeksi).
Proteinuria: Onset baru, > 0.5g/l pada random
spesimen. Peningkatan kreatinin: > 5 mg/dl.

4 Vaskulitis Ulserasi, gangren, nodul pada jari yang lunak, infark


periungual, Splinter Haemorrhages.

3 Hemolisis Hb < 12.0g/dl dan koreksi retikulosit > 3%


thrombositipeni Trombositopeni: < 100.000. Bukan disebabkan oleh
obat.

3 Miositis Nyeri dan lemahnya otot-otot proksimal, yang


dihubungkan dengan peningkatan CPK.

2 Artritis Pembengkakan atau efusi lebih dari 2 sendi.

2 Gangguan Ruam malar: Onset baru atau malar eritema yang


Muskulokutaneus menonjol.

2 Serositis Mucous ulcer: Oral atau nasofaringeal ulserasi dengan


onset baru atau berulang Abnormal Alopecia:
Kehilangan sebagaian atau seluruh rambut atau
mudahnya rambut rontok.
Pleuritis: Terdapatnya nyeri pleura atau pleural rub
atau efusi.
Perikarditis: Terdapatnya nyeri perikardial atau
terdengarnya rub.
Peritonitis: Terdapatnya nyeri abdominal difus dengan
rebound tenderness (Eksklusi penyakit intra-
abdominal).

1 Demam Demam > 38˚ C sesudah eksklusi infeksi.


22

1 Fatigue Fatigue Fatigue yang tidak dapat dijelaskan.

1 Lekopenia Sel darah putih < 4000/mm3, bukan akibat obat.

1 Limfopenia Limfosit < 1200.mm3, bukan akibat obat.

Tabel 2.3. Penilaian aktifitas berdasarkan MEX-SLEDAI

SLEDAI
Score n %

Case Intense ≥ 11 21 22.1

Mild to moderate 1-10 58 61.1


Control Inactive 0 16 16.8

Total 95 100
Table 2.4. Aktivitas penyakit pada wanita dewasa dengan LES di NHUUFMS,
second score of the Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index
(SLEDAI), by study group. Campo Grande, MS, 2007-2008.
Perbandingan kualitas hidup perempuan dengan SLE di semua domain dari
WHOQOL-100 dengan tingkat aktivitas penyakit dalam uji ANOVA didapat
keandalan (realibility) 95 % dan perbedaan yang signifikan ( P < 0,05 ) ditemukan
di tiga domain yaitu domain fisik, domain psikologis, dan domain lingkungan.
Ditemukan bahwa wanita dewasa dengan aktivitas LES intens menunjukkan
persepsi kualitas hidup yang lebih buruk daripada wanita dewasa dengan LES
tanpa aktivitas (Maria Gorette dos Reis dkk,. 2010).

2.1.5. Kualitas hidup dan status kesehatan pada pasien LES dengan
menggunakan SF-36.
Definisi kualitas hidup masih belum berlaku secara umum. Selain itu
terdapat istilah lain, seperti kesejahteraan sosial dan pembangunan manusia sering
digunakan sebagai istilah yang setara atau analog dengan quality of life. Misalnya,
Indeks Pembangunan Manusia PBB sering digambarkan sebagai pengukuran
salah satu pengukuran kualitas hidup. Secara umum, kualitas hidup merupakan
suatu produk yang dihasilkan dari interaksi sejumlah faktor-faktor yang berbeda,
seperti sosial, fisik, kesehatan, ekonomi, dan kondisi lingkungan, yang secara
kumulatif, juga dengan cara-cara yang belum diketahui, berinteraksi untuk
23

mempengaruhi pembangunan manusia dan sosial di tingkat individu dan


masyarakat. Ini merupakan “gagasan tentang kesejahteraan manusia yang diukur
dengan indicator sosial bukan secara pengukuran “kuantitatif” terhadap
pendapatan dan produksi.” (United Nations Glossary, 2009).
Status kesehatan dilihat berdasarkan pengukuran kualitas hidup berdasarkan
persepsi dari penderita LES. Definisi kualitas hidup yang berhubungan dengan
kesehatan atau healthrelated quality of life (HRQoL) dapat diartikan sebagai
respon emosi dari penderita terhadap aktivitas sosial, emosional, pekerjaan dan
hubungan antar keluarga, rasa senang atau bahagia, adanya kesesuaian antara
harapan dan kenyataan yang ada, adanya kepuasan dalam melakukan fungsi fisik,
sosial dan emosional serta kemampuan mengadakan sosialisasi dengan orang lain
(Hermann B.P., 1993).

Penelitian terbaru yang dilakukan oleh NIAMS tentang hubungan antara


LES dengan pekerjaan menunjukkan bahwa hampir tiga perempat dari 982 studi
peserta akan berhenti bekerja sebelum usia pensiun mereka. Kemudian, setengah
dari mereka yang memiliki pekerjaan ketika mereka didiagnosis LES tidak lagi
bekerja pada usia 50 tahun. Para peneliti menemukan bahwa demografi dan
karakteristik pekerjaan (tuntutan fisik dan psikologis dari pekerjaan dan tingkat
kontrol atas tugas dan lingkungan kerja) memiliki dampak paling besar pada
status kesehatan penderita LES (Wicaksono N. Utomo, 2012).
Untuk menilai status kesehatan /kualitas hidup penderita secara umum
menggunakan dua pendekatan dasar, yaitu dengan menggunakan kuesioner
generik (disease-generic questionnaires) dan penggunaan kuesioner spesifik
penyakit (disease-spesific questionnaires). Kuesioner generik (disease-spesific
questionnaires) dikembangkan untuk penggunaan secara umum dan dapat
digunakan pada beragam penyakit dan populasi. Sedangkan, kuesioner spesifik
penyakit (disease-spesific questionnaires) disusun untuk menilai outcome pada
penyakit spesifik karena memasukkan elemen spesifik untuk penyakit tertentu
sehingga diharapkan dapat lebih responsif dibandingkan dengan kuesioner
generik. Namun, kuesioner ini memiliki keterbatasan karena hanya dapat menilai
fungsi fisik. Oleh karena itu, untuk pengkajian yang lebih komprehensif maka
24

harus dikombinasi dengan instrumen yang mengkaji fungsi psikososial. Saat ini,
kuesioner yang paling umum dan sering digunakan dalam menilai status
kesehatan/ kualitas hidup penderita LES adalah Short Form-36 (SF-36).
Short Form-36 (SF-36) adalah salah satu kuesioner generik yang digunakan
untuk menilai status kesehatan penderita LES. Kuesioner yang dikembangkan
oleh Ware dkk., 1992, ini terdiri dari 36 butir pertanyaan yang dijawab/
dilaporkan oleh pasien sendiri supaya dapat digunakan pada kondisi, populasi, dan
keadaan yang bervariasi. Kuesioner ini terdiri dari 8 sub penelitian: fungsi fisik,
fungsi sosial, keterbatasan peran akibat masalah fisik, keterbatasan peran akibat
masalah emosional, kesehatan mental, energi/ vitalitas, nyeri, dan persepsi
kesehatan secara keseluruhan. Semuanya dapat dirangkum menjadi 2 skor
komponen: gabungan komponen fisik dan gabungan skor komponen mental.
Pada penelitian Stoll, dkk., 1997, SF-36 menjadi suatu instrument pada LES
yang kesahihan dan keandalannya telah teruji (validitas dan reliabilitasnya telah
teruji) sehingga telah digunakan pada beberapa penelitian LES. Dengan SF-36 ini,
beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pasien dengan LES mempunyai
status kesehatan yang secara signifikan lebih buruk dibandingkan pasien tanpa
penyakit kronik.
25

Gambar 1. Bagan Penilaian SF-36

2.1.6. Kualitas hidup dengan kejadian depresi pada pasien LES dengan
menggunakan Instrument Pengukuran Derajat Keparahan Depresi Beck
Depression Inventory (BDI) kuesioner pada pasien LES.
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit kronis, inflamasi,
immune-mediated disease dengan manifestasi klinis yang beragam, yang
mempengaruhi 0,1 % dari populasi umum (Postal M. dkk., 2011). Sebagian besar
26

pasien LES menunjukkan gangguan organik psikiatri dan ganguan neurologis


yang melibatkan sistem saraf pusat (CNS).
Berbagai manifestasi neuropsikiatri (NP) pada LES, manifestasi utama
yaitu; (sindrom stroke, sindrom parah otak organik, kejang, episode psikotik, dll)
dan kelainan minor, gangguan mood dan severe cognitive deficits (Hanly J.G.,
dkk., 2005).
Sementara kelangsungan hidup pasien LES telah meningkat secara
substansial sehingga terjadinya perubahan yang lebih banyak dengan kerusakan
akrual dan (disabilitas) kecacatan yang mempengaruhi kesehatan psikososial
pasien LES (Mak A., dkk., 2011).
Depresi dan kecemasan sering kali ditemukan pada pasien LES. Beberapa
studi telah menemukan, semakin meningkat aktivitas penyakit (tingkat keparahan
LES atau riwayat perjalanan penyakit kronis) semakin rentan terjadinya depresi
pada pasien LES (Nery F.G., dkk., 2008).
Peneliti yang lain berpendapat cacat fisik dan stres berserta penyakit kronis
adalah penyebab terjadinya depresi pada pasien LES (Shortall dkk., 2000).
Dalam dua dekade terakhir, sejak laporan awal dari interaksi saraf-imun
(neural-immune interactions) pada pasien depresi, terdapat asosiasi jelas antara
immune system activation, peripheral proinflammatory cytokines dan gejala
psikiatrik.
Tumor necrosis faktor alpha (TNF-α) adalah sitokin pleiotropic yang
menghasilkan rangsangan yang berbeda di berbagai fisiologis dan kondisi
patologis. Efek biologis TNF-α mengikat tumor necrosis factor receptor 1
(TNFR1) dan reseptor 2 (TNFR2), menyebabkan aktivasi kaskade sinyal
kompleks di berbagai intraseluler. Di otak, TNFR1 menunjukkan pola konstitutif
ekspresi sedangkan TNFR2 sebagai kondusi stimulasi (Dowlati Y., dkk., 2010).
TNF-α mungkin mendasari mekanisme depresi dengan aktivasi (HPA) axis
hipotalamus-hipofisis-adrenocortical, aktivasi transporter serotonin neuronal dan
stimulasi indoleamin 2,3-dioksigenase yang mengarah ke penurunan tryptophan
(Krishnadas R., dkk., 2012). Sera tingkat TNF-α berasosiasi secara independen
dengan depresi dan aktivitas penyakit. Semakin tinggi tingkat sera TNF-a,
semakin tinggi tingkat keparahan gejala depresi (Mariana Postal dkk., 2016).
27

Beck Depression Inventory (BDI) kuesioner

Beck Depression Inventory dibuat oleh dr.Aaron T. Beck, BDI merupakan


salah satu instrumen yang paling sering digunakan untuk mengukur derajat
keparahan depresi.
Para responden akan mengisi 21 pertanyaan, setiap pertanyaan memiliki
skor 1 s/d 3, setelah responden menjawab semua pertanyaan kita dapat
menjumlahkan skor tersebut, Skor tertinggi adalah 63 jika responden mengisi 3
poin keseluruhan pertanyaan. Skor terendah adalah 0 jika responden mengisi
poin 0 pada keseluruhan pertanyaan.
Setiap gejala dirangking dalam skala Likert 0-3 dan nilainya ditambahkan
untuk memberi total nilai dari 0-63 (Beck dkk., 1996). Total dari keseluruhan
akan menjelaskan derajat keparahan yang akan dijelaskan di bawah ini.

0 - 10 : Normal

11 – 16 : Gangguan kemurungan sederhana

21-30 : Dibatas ambang normal

31-40 : Gangguan depresi sedang

> 40 : Gangguan depresi berat

2 pengecualian untuk skala ini iaitu soalan 16 dan 18. Soalan 16 ialah
berkaitan dengan perubahan corak tidur dan soalan 18 berkaitan dengan
perubahan selera makan (Abimbola Farinde, 2013).

2.2. Kerangka Teori

Radiasi UV Manifestasi
Konstitusional
Hormonal Lupus
Eritematosus
Manifestasi
Obat-obatan Sistemik
Kulit
(LES)
Genetik Manifestasi
Kardiovaskular
28

Manifestasi
Paru- paru
Manifestasi
klinis LES pada Manifestasi
berbagai organ ginjal

Manifestasi
Hemopoetik
Aktivitas penyakit pada
pasien LES dengan Manifestasi
Skor MEX SELDAI Susunan saraf
Pusat (SSP)

Fizikal Manifestasi
Kualitas Hidup Gastrointestinal
Aspek Psikologis
pada pasien
LES Faktor penyebab terjadinya
Tingkat depresi:
kemandirian
- Stress hidup dengan
Hubungan sosial penyakit kronik.
- Menurunnya kualitas
Aspek Kejadian Depresi hidup.
Lingkungan pada LES - Pengaruh psikososial.
- Gejala konstitusional
Aspek (lemah dan lelah).
kerohanian - Aktivitas penyakit yang
tinggi.

2.3. Kerangka Konsep

Penyakit Lupus
Eritematosus
Sistemik
(LES)

Kualitas hidup Kejadian Depresi


pasien LES pada LES
29

2.4. Hipotesis
Terdapat korelasi antara kualitas hidup dengan kejadian depresi pada pasien
Lupus Eritematosus Sistemik (LES).

Anda mungkin juga menyukai