Anda di halaman 1dari 16

PERILAKU KEKERASAN

1. DEFINISI
Perilaku kekerassan dianggap sebagai suatu akibat yang ekstrem dari marah atau
ketakutan/panik. Perilaku agresif dan perilaku kekerasan sering dipandang sebagai
rentang dimana agresiv verbal di suatu sisi dan perilaku kekerasan (violence) disisi yang
lain. Suatu keadaan yang menimbulkan emosi, perasaan frustasi, benci atau marah. Hal
ini kan mempengaruhi perilaku seseorang berdasarkan keadaan emosi secara mendalam
tersebut terkadang perillaku menjadi agresif atau melukai karena penggunaan koping
yang kurang bagus (Wati, 2010).
Menurut Keliat, Keperawatan kesehatan jiwa komunitas (2012) Perilaku kekerasan
adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang, baik secara fisik
maupun psikologis. Berdasarkan definisi ini, perilaku kekerasan dapat di lakukan secara
verbal di arahkan pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.Perilaku kekerasan dapat
terjadi dalam dua bentuk yaitu perilaku kekrasan saat sedang berlangsung atau perilaku
kekerasan terdahulu (riwayat perilaku kekerasan).
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku kekerasan adalah
suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun
psikologis, bisa terjadi dalam bentuk vebal, dan terjadi dalam dua bentuk: sedang berlaku
kekerasan atau riwayat kekerasan.

2. KLASIFIKASI
Galtung (2003) membagi jenis kekerasan menjadi 3 (tiga), yaitu:
1) Kekerasan Langsung: kekerasan langsung disebut juga sebagai sebuah peristiwa
(event) dari terjadinya kekerasan. Kekerasan langsung terwujud dalam perilaku,
misalnya: pembunuhan, pemukulan, intimidasi, penyiksaan. Kekerasan langsung
merupakan tanggungjawab individu, dalam arti individu yang melakukan tindak
kekerasan akan mendapat hukuman menurut ketentuan hukum pidana.
2) Kekerasan Struktural (kekerasan yang melembaga): disebut juga sebuah proses dari
terjadinya kekerasan. Kekerasan struktural terwujud dalam konteks, sistem, dan
struktur, misalnya: diskriminasi dalam pendidikan, pekerjaan, pelayanan kesehatan.
Kekerasan struktural merupakan bentuk tanggungjawab negara, dimana
tanggungjawab adalah mengimplementasikan ketentuan konvensi melalui upaya
merumuskan kebijakan, melakukan tindakan pengurusan administrasi, melakukan
pengaturan, melakukan pengelolaan dan melakukan pengawasan. Muaranya ada
pada sistem hukum pidana yang berlaku.
3) Kekerasan Kultural: kekerasan kultural merupakan suatu bentuk kekerasan
permanen. Terwujud dalam sikap, perasaan, nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat,
misalnya: kebencian, ketakutan, rasisme, ketidaktoleranan, aspek-aspek budaya,
ranah simbolik yang ditunjukkan oleh agama dan ideologi, bahasa dan seni, serta ilmu
pengetahuan. Sama dengan kekerasan struktural, kekerasan kultural merupakan
bentuk tanggungjawab negara, dimana tanggungjawab adalah mengimplementasikan
ketentuan konvensi melalui upaya merumuskan kebijakan, melakukan tindakan
pengurusan administrasi, melakukan pengaturan, melakukan pengelolaan dan
melakukan pengawasan. Muaranya ada pada sistem hukum pidana yang berlaku.
Tim dari yayasan SEJIWA dalam bukunya tentang Bullying (2008) membagi
bentuk kekerasan ke dalam dua jenis, yaitu:
1) Kekerasan fisik: yaitu jenis kekerasan yang kasat mata. Artinya, siapapun bisa
melihatnya karena terjadi sentuhan fisik antara pelaku dengan korbannya. Contohnya
adalah: menampar, menimpuk, menginjak kaki, menjegal, meludahi, memalak,
melempar dengan barang, dll.
2) Kekerasan non fisik: yaitu jenis kekerasan yang tidak kasat mata. Artinya, tidak bisa
langsung diketahui perilakunya apabila tidak jeli memperhatikan, karena tidak terjadi
sentuhan fisik antara pelaku dengan korbannya.
Kekerasan non fisik ini dibagi menjadi dua, yaitu;
a. Kekerasan verbal: kekerasan yang dilakukan lewat kata-kata. Contohnya:
membentak, memaki, menghina, menjuluki, meneriaki, memfitnah, menyebar
gosip, menuduh, menolak dengan kata-kata kasar, mempermalukan di depan
umum dengan lisan, dll.
b. Kekerasan psikologis/psikis: kekerasan yang dilakukan lewat bahasa tubuh.
Contohnya memandang sinis, memandang penuh ancaman, mempermalukan,
mendiamkan, mengucilkan, memandang yang merendahkan, mencibir &
memelototi.
Tahapan rentang respon:
1) Assertif adalah mengungkapkan marah tanpa menyakiti, melukai perasaan orang lain,
atau tanpa merendahkan harga diri orang lain.
2) Frustasi adalah respons yang timbul akibat gagal mencapai tujuan atau keinginan.
Frustasi dapat dialami sebagai suatu ancaman dan kecemasan. Akibat dari ancaman
tersebut dapat menimbulkan kemarahan.
3) Pasif adalah respons dimana individu tidak mampu mengungkapkan perasaan yang
dialami.
4) Agresif merupakan perilaku yang menyertai marah namun masih dapat dikontrol oleh
individu. Orang agresif biasanya tidak mau mengetahui hak orang lain. Dia
berpendapat bahwa setiap orang harus bertarung untuk mendapatkan kepentingan
sendiri dan mengharapkan perlakuan yang sama dari orang lain.
5) Mengamuk adalah rasa marah dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan kontrol
diri. Pada keadaan ini individu dapat merusak dirinya sendiri maupun terhadap orang
lain

3. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala perilaku kekerasan menurut Yosep (2009) adalah sebagai berikut:
1) Fisik
a. Muka merah dan tegang
b. Mata melotot/ pandangan tajam
c. Tangan mengepal
d. Rahang mengatup
e. Postur tubuh kaku
f. Jalan mondar-mandir
2) Verbal
a. Bicara kasar
b. Suara tinggi, membentak atau berteriak
c. Mengancam secara verbal atau fisik
d. Mengumpat dengan kata-kata kotor
e. Suara keras
f. Ketus
3) Perilaku
a. Melempar atau memukul benda/orang lain
b. Menyerang orang lain
c. Melukai diri sendiri/orang lain
d. Merusak lingkungan
e. Amuk/agresif
4) Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan jengkel, tidak
berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan menuntut.
5) Ntelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.

6) Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang lain,
menyinggung perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.
7) Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.
8) Perhatian
Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.

4. FASE
1) Triggering intcidens
Fase ini ditandai dengan adanya pemicu sehingga muncul agresi klien.
Beberapa faktor yang mungkin menjadi pemicu agresi meliputi: provokasi , respon
terhadap kegagalan, komunikasi yang buruk, situasi yang menyebabkan frustasi,
pelanggaran batas terhadap jarak personal, dan harapan yang tidak terpenuhi.
Pada fase ini petugas kesehatan perlu memahami berbagai macam , pemicu
yang menjadi faktor bagi klien untuk melakukan agresi, dan melakukan upaya
meminimalkan faktor pemicu tersebut. Keterangan selengkapnya mengenai faktor
pemicu dan bagaimana agar petugas kesehatan tidak menjadi pemicu bagi perilaku
agresi.
2) Ascalation phase
Fase ini di tandai dengan kondisi kebangkitan fisik dan emosional,dapat
disetarakan dengan respon flight or flight karena kondisi ini ada kondisi sebelum
tejadinya kekerasana maka diagnose keperawatan yang tepat pada fase in adalah
“risk for other directed violence” (NANDA, 2007) atau “ violence/aggressive behaviore
risk” (ICNP,2005).
Pada saat in kemarahan klien meningkat dan tujuan utama petugas kesehatan
fase in adalah untuk menurunkan kemarahan dan kecemasan orang yang berada di
escalation phase. Pada klien dengan gangguan psikiatrik, pemicu dari perilaku agresif
lebih berfariasi misalnya karena adanya halusinasi, gangguan kognitiv, gangguan
penurunan zat, kerusakan neurologi, kognitif, bunuh diri, koping tidak efektif,
pengenalan petugas kesehatan terhadap penyebab dari perilaku kekerasan
diperlukan untuk memberikan penanganan yang tepat sesuai penyebab dari perilaku
kekerasan.
3) Crisis point
Fase ini merupakan fase lanjutan dari escalation phase apabila negosiasi dan
teknik descalation gagal mencapai tujuan. Emosi menonjol yang dutunjukan oleh klien
adalah bermusuhan. Karena kondisi pada saat in klien sedang melakukan perilaku
kekerasan maka diagnosa yang tepat untuk mengambarkan situasi saat itu adalah
diagnosa “violence/aggressive behavior actual” (ICNP,2005). Sayangnya tidak
terdapat reverensi yang tepat dari nanda untuk mengganbarkan kondisi klien pada
saat ini. Tujuan utama penangganan pada fase in adalah petugas melindungi diri
sendiri dan orang lain termasuk klien. Disinilah aktifitas petugas berkaitan dengan
physical atau chemical restraint tepat dilakukan pada klien.
4) Setting phase
Fase ini adalah fase dimana klien yang melakukan perilaku kekerasan telah
melepaskan energy marahnya. Meskipun begitu, klien mungkin masih merasa cemas
atau marah dan mempunyai resiko kembali ke masa awal.Kondisi in merupakan
situasi yang digambarkan dalam diagnosa sebagai ”Risk for other directed violence”
(NANDA,2007) atau ”violence/ Aggressive behavior Risk” karena memungkinkan 90
menit setelah insidan, hormone adrenalin bisa kembali terpicu dan klien kembali ke
fase cricis point.
Petugas kesehatan perlu berhati-hati untuk tidak mencetuskan perilaku agresif
kembali dengan berhati-hati terhadap faktor yang memicu klien untuk berperilaku
agresif. Fase ini juga ditandai dengan pelepasan restraint yang dilakukan secara
berangsur dan pemenuhan kebutuhan klien setelah dilakukan restraint yang
dilakukan untuk membina hubungan saling percaya.
5) Post crisis depression
Dalam fase ini klien mungkin mengalami kecemasan, depresi dan berfokus
pada kemarahan dan kelelahan. Pada saat ini intervensi petugas kesehatan berfokus
pada debriefing/memperoleh informasi dari klien. Karena itu diagnosa keperawatan
yang mungkin tepa pada fase in adalah “knowledge deficit (Specify)” (NANDA,2007)
atau “Lack of knowledge” (ICPN,2007). Kesempatan untuk meningkatkan insight
seseorang terhadap perlakunya tepat dilakukan pada fase ini. Meskipun begitu,
apabila penyebab perilaku kekerasan adalah karena masalah psikiatrik yang
lain,mungkin diagnosa keperawatan akan menyesuaikan dengan kondisi yang lain.
6) Return to normal functional
Ini adalah fase dimana klien telah kembali kepada keseimbangan normal,dari
perasaan cemas, depresi dan kelelahan. Fase in merupakan kesempatan yang
sangat baik bagi klien untuk melatih kemampuan kognitif, fisik, dan emosi jika suatu
saat klien terpicu untuk menjadi agresif.

5. RENTANG RESPON
Respon kemarahan dapat berfluktuasi dalam rentang adaptif maladaptif,seperti
rentang respon kemarahan di bawah ini (Yosep, 2007).

a. Asertif adalah kemarahan atau rasa tidak setuju yang dinyatakan ataudiungkapkan
tanpa menyakiti orang lain, akan memberi kelegaan padaindividu dan tidak akan
menimbulkan masalah.
b. Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan karenayang tidak
realistis atau hambatan dalam proses pencapaian tujuan. Dalamkeadaan ini tidak
ditemukan alternatif lain. Selanjutnya individu merasatidak mampu mengungkapkan
perasaan dan terlihat pasif.
c. Pasif adalah individu tidak mampu mengungkapkan perasaannya, klientampak
pemalu, pendiam, sulit diajak bicara karena rendah diri danmerasa kurang mampu.
d. Agresif adalah perilaku yang menyertai marah dan merupakan doronganuntuk
bertindak dalam bentuk destruktif dan masih terkontol, perilakuyang tampak dapat
berupa : muka masam, bicara kasar, menuntut, kasardisertai kekerasan.
e. Amuk adalah perasaan marah dan bermusuhan kuat disertai kehilangankontrol diri.
Individu dapat merusak diri sendiri orang lain danlingkungan.

6. PSIKOPATOLOGI/PROSES TERJADINYA MASALAH

Resiko tinggi mencederai orang lain

Perilaku kekerasan Perubahan persepsi sensori halusinasi

Inefektif proses terapi Harga diri rendah kronis Isolasi social

Koping keluarga tidak efektif Berduka disfungsional

Faktor – faktor yang menyebabkan perilaku kekerasan pada pasien gangguan jiwa:
1) Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan
menurut teori biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang dijelaskan oleh
Towsend (1996 dalam Purba dkk, 2008) adalah:
1. Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap
perilaku:
a. Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif:
sistem limbik, lobus frontal dan hypothalamus. Neurotransmitter juga
mempunyai peranan dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls
agresif. Sistem limbik merupakan sistem informasi, ekspresi, perilaku, dan
memori. Apabila ada gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan atau
menurunkan potensial perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada lobus
frontal maka individu tidak mampu membuat keputusan, kerusakan pada
penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif. Beragam komponen dari sistem
neurologis mempunyai implikasi memfasilitasi dan menghambat impuls
agresif. Sistem limbik terlambat dalam menstimulasi timbulnya perilaku agresif.
Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat agresif.
b. Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine,
asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau
menghambat impuls agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight atau flight
yang dikenalkan oleh Selye dalam teorinya tentang respons terhadap stress.
c. Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku
agresif dengan genetik karyotype XYY.
d. Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku agresif
dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang sistem limbik
dan lobus temporal; trauma otak, yang menimbulkan perubahan serebral; dan
penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsy, khususnya lobus temporal, terbukti
berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
2. Teori Psikologik
a. Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk mendapatkan
kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan
membuat konsep diri rendah. Agresi dan tindak kekerasan memberikan
kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri dan memberikan arti
dalam kehidupannya. Perilaku agresif dan perilaku kekerasan merupakan
pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan
rendahnya harga diri.
b. Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka, biasanya
orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena dipersepsikan
sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti dengan
pujian yang positif. Anak memiliki persepsi ideal tentang orang tua mereka
selama tahap perkembangan awal. Namun, dengan perkembangan yang
dialaminya, mereka mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan orang lain.
Individu yang dianiaya ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua
yang mendisiplinkan anak mereka dengan hukuman fisik akan cenderung
untuk berperilaku kekerasan setelah dewasa.
3. Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur sosial
terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum menerima
perilaku kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalahnya. Masyarakat
juga berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan, apabila individu menyadari
bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara konstruktif.
Penduduk yang ramai /padat dan lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk
perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan
dalam hidup individu.
2) Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali berkaitan
dengan (Yosep, 2009):
a. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti
dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian masal
dan sebagainya.
b. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
c. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melalukan
kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
d. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan dirinya
sebagai seorang yang dewasa.
e. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan alkoholisme
dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa frustasi.
f. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan
tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga

7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan Laboratorium
Meskipun pemeriksaan laboratorik adalah pemeriksaan penunjang, tetapi
perannya penting dalam menjelaskan dan mengkuantifikasi disfungsi neurofisiologis,
memilih pengobatan dan memonitor respon klinis. Karenanya, dokter atau psikiater perlu
mengerti pemilihan pemeriksaan laboratorik untuk pasien tertentu. Dalam hal ini harus
dipertimbangkan kondisi ekonomi, ketidaknyamanan, dan resiko efek yang merugikan;
interpretasi data laboratorik dalam pengertian spesifitas, sensivitas dan nilai prediktif. Hasil
pemeriksaan laboratorik harus dapat diintegrasikan dengan data riwayat penyakit,
wawancara dan pemeriksaan psikiatrik untuk memperoleh gambaran komprehensif
tentang diagnosis dan pengobatan yang diperlukan oleh pasien (Maramis, 2009).
Untuk pasien rawat jalan, melakukan serangkaian tes penyaring secara membabi
buta hanya mempunyai kegunaan klinis yang terbatas dan merupakan pemborosan. Lebih
baik dilakukan tes laboratorik tertentu berdasarkan penilaian yang cermat dan integrasi
antara riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Pada pasien rawat inap, dianjurkan agar
dilakukan tes dasar pada waktu masuk rumah sakit untuk mengevaluasi kondisi medis
umum (Maramis, 2009).
Sampai saat ini belum ada konsensus mengenai tes apa saja yang digunakan
sebagai penyaring, tetapi beberapa tes berikut patut untuk dipertimbangkan pemeriksaan
darah lengkap, elektrolit serum, glukosa darah, tes fungsi hepar, tes fungsi ginjal, kalsium
serum, tiroksin (T4), pemeriksaan penyaring untuk sifilis (VDRL dan TPHA), dan tes urine
untuk obat terlarang (Maramis, 2009).

2. Pencitraan
CT (computerized tomography, sering disebut Ctscan) dan MRI (magnetic
resonance imaging) adalah pencitraan diagnostik yang paling sering digunakan dalam
evaluasi pasien dengan gejala psikiatrik. CT adalah pemeriksaan non-invasif yang dapat
melihat anatomi kepala menurut irisan dengan berbagai ketebalan (Maramis, 2009).
Indikasi spesifik CT adalah episode pertama psikologis di atas umur 40 tahun,
episode pertama gangguan afektif setelah umur 50 tahun, episode pertama gangguan
kepribadian di atas usia 40 tahun, gerakan involunter abnormal, delirium atau demensia
yang tak diketahui penyebabnya, katatonia persisten, dan anoreksia nervosa (Maramis,
2009).
MRI mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan CT, yaitu: tidak melibatkan
radiasi radioaktif, irisan dapat dilakukan pada berbagai bidang, dapat lebih baik
mengdiferensiasi masa putih (white mass) dan abu-abu (grey mass) otak sehingga lebih
sensitif untuk anatomik otak, dan lebih baik untuk melihat kelainan di fosa posterior dan
batang otak (Maramis, 2009).
Beberapa kondisi yang merupakan kontraindikasi untuk MRI adalah pasien
dengan alat pacu jantung, klip aneurisma, wanita hamil, dan pasien dengan benda asing
yang berpotensi magnetik. Selain itu, karna harga pemeriksaan ini yang mahal, serta
menuntut kerja sama pasien untuk diam berbaring dalam waktu yang cukup lama, maka
penggunaan CT lebih populer (Maramis, 2009).

3. Pemeriksaan Neurologis
Elektroensefalografi (EEG) mengukur aktivitas elektrik di permukaan otak dan
bukanlah alat yang memisahkan normal dari abnormal, karena hasil EEG yang normal
tidak meniadakan kemungkinan adanya gangguan organik atau epilepsi (Maramis, 2009).
Indikasi umum untuk pemeriksaan EEG adalah pasien muda (terutama di bawah
25 tahun) dengan episode pertama psikosis dan pasien dengan riwayat kemungkina n
cedera otak atau gangguan neurologis (misalnya kecelakaan, tidak sadar, infeksi,
kompilkasi perinatal, kejang) (Maramis, 2009).
Beberapa ciri yang memperbesar kemungkinan ditemukannya abnormalitas pada
EEG, CT atau MRI adalah: adanya defisit neurologis fokal, perubahan status mental yang
drastis dan baru, riwayat penyalahgunaan zat, trauma kepala atau patologi SSP lain,
pasien usia lanjut, dan gejala-gejala tidak khas dengan riwayat psikiatrik yang meragukan
(Maramis, 2009).
Modifikasi pemeriksaan EEG yang lebih baru adalah dengan pemetaan topografis
terkomputerisasi atau lazim disebut Computerized EEG atau brain mapping. Aktivitas
elektrik permukaan otak direkam dengan frekuensi tertentu dan dipetakan secara grafis
dua dimensi yang berwarna. Metode ini digunakan lebih banyak dalam riset
psikofarmakologis dan statistik (Maramis, 2009).

4. Pemeriksaan Status Mental Mini atau mini-mental state examination


Digunakan bilamana dicurigai adanya dimensia. Tes ini dibuat berdasarkan
wawancara pemeriksaan status mental standar dan terdiri atas pemeriksaan terhadap
orientasi, memori untuk registrasi dan recall (segera dan ingatan tunda 3 objek), atensi
(pengurangan seri tujuh), memberi nama objek yang umum (verbal skills), mengikuti
perintah lisan dan tertulis, ketrampilan menulis, dan menggambar figur sederhana (praxis
skills). Tes ini untuk menilai secara global fungsi kognitif. Sering dipakai untuk menilai
pasien ddemensia. Betul pada semua item akan menghasilkan skor 30. Skor dibawah 24
biasanya mengindikasikan rendahnya kognitif (Maramis, 2009).

8. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Akut
a. Pertama putuskan bahwa pasien kehilangan kendali secara akut. Apabila demikian,
tangani segera dengan pengekangan fisik dan medikasi bukan dengan percakapan.
Segera temui, jangan biarkan pasien menunggu.
b. Dekati pasien yang kurang bersahabat dengan hati-hati dan berada pada posisi yang
aman (tersedia bantuan setiap saat, pintu dalam keadaan terbuka). Waspadai tanda-
tanda peringatan (misal : gelisah, sikap menuntut). Apabila bercakap-cakap tampak
bermanfaat, coba lakukan, tetapi berilah batas yang jelas selama wawancara.
Gunakan control fisik bila pasien tidak dapat mempertahankan kendali tetapi tetap
tekankan bantuan yang dapat dilakukan oleh pasien sendiri. Apabila pasien datang
dengan keadaan dikekang, jangan dilepas sebelum terjadi rapport dan beberpa hasil
evaluasi diperoleh, meskipun demikian banyak pasien dapat bersikap lebih baik tanpa
pengekangan. Pengekangan dapat meningkatkan agitasi dan menyebabkan
hipertermia. Apabila diperlukan kekuatan untuk meredakannya, gunakan kekuatan
penuh-satu orang memegang masing-masing anggota tubuh pasien. Jangan
mengambil resiko.
c. Medikasi terhadap pasien dengan agitasi akut: lorazepam 1-2 mg IM (diabsorpsi
dengan baik melalui intramuscular) setiap 2-4 jam, maksimal 3 dosis; haloperidol 5 mg
IM/jam untuk 3-4 dosis; atau droperidol (5 mg IM/jam 2-3 dosis-tidak
direkomendasikan oleh FDA untuk keperluan tersebut). Apakah pasien menggunakan
obat-obatan yang menekan SSP, apakah dalam kondisi delirium, atau adakah suatu
kondisi medis yang bertanggung jawab atas perilakunya? Kalau demikian, berikan
medikasi dan observasi. ECT dapat mengendalikan kekerasan psikotik.
d. Jika pasien mengancam dan agitasi tetapi tidak ganas, perlakukan dengan penuh
penghormatan-manusiawi, langsung, pasti, tenang, menetramkan. Jangan
menantang, memprovokasi atau secara terang-terangan tidak setuju dengan pasien.
Kesampingkan birokrasi. Selalu terangkan apa yang akan dilakukan dan mengapa.
Pasien dengan perilaku kekerasan sering ketakutan-telusuri mengapa dan apa
penyebabnya.
e. Tentukan etiologi kekerasan. Apakah ada penyakit mental? Cedera otak?
Penggunaan obat-obatan (lakukan tes urine)? Apakah ada pencetus lingkungan yang
dapat dikenali? Lakukan intervensi secara langsung pada pasien psikotik.
f. Kebanyak pasien dapat “ditenangkan” dengan dukungan, pengertian (dan medikasi);
meskipun demikian, apabila perlu paksa untuk masuk rumah sakit. Apabila ini benar-
benar masalah criminal, dan haruskan melibatkan polisi? (Tomb, 2003)
2. Pengekangan fisik :
Ada 2 macam, pengekangan fisik secara mekanik (menggunkan manset, sprei
pengekang) atau isolasi (menempatkan pasien pada suatu ruangan di mana klien tidak
dapat keluar atas kemauannya sendiri).
Jenis pengekangan mekanik :
a. Camisoles (jaket pengekang)
b. Manset untuk pergelangan tangan
c. Manset untuk pergelangan kaki
d. Menggunakan sprei
Indikasi pengekangan ;
a. Perilaku amuk yang dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain
b. Perilaku agitasi yang tidak dapat dikendalikan dengan pengobatan
c. Ancaman terhadap integritas fisik yang berhubungan dengan penolakan klien
untuk beristirahat, makan dan minum
d. Permintaan klien untuk pengendalian perilaku eksternal. Pastikan tindakan ini
dikaji dan berindikasi terapeutik.
Pengekangan dengan sprei basah atau dingin
Klien dapat dimobilasasi dengan membalutnya seperti mummi dalam lapisan sprei dan
selimut. Lapisan paling dalam terdiri atas sprei yang telah direndam dalam air es.
Walaupun mula-mula terasa dingin, balutan segera menjadi hangat dan
menenangkan. Hal ini dilakukan pada perilaku amuk atau agitasi yang tidak dapat
dikendalikan obat.
3. Intervensi keperawatan :
1. Baringkan klien dengan pakaian rumah sakit di atas tempat tidur yang tahan
air
2. Balutan sprei pada tubuh klien dengan rapi dan pastikan bahwa permukaan
kulit tidak saling bersentuhan
3. Tutupi sprei basah dengan selapis selimut
4. Amati klien dengan konstan
5. Pantau suhu, nadi, dan pernapasan. Jika tampak sesuatu yang bermakna
buka pengekangan
6. Berikan cairan sesering mungkin
7. Pertahankan suasana lingkungan yang tenang
8. Kontak verbal dengan suara yang menyenangkan
9. Lepaskan balutan setelah lebih kurang 2 jam
10. Lakukan perawatan kulit sebelum membantu kline berpakaian
4. Restrains
Tujuan tindakan keperawatan adalah memonitor alat restrain mekanik atau restrain
manual terhadap pergerakan klien. Dapatkan dokter jika diharuskan karena kebijakan
institusi.
5. Isolasi
Adalah menempatkan klien dalam ruangan dimana klien tidak dapat keluar
atas kemauannya sendiri. Tingkatan pengisolasian dapat berkisar dari penempatan
dalam ruangan yang tertutup tetapi tidak terkunci sampai pada penempatan dalam
ruangan terkunci dengan kasur tanpa sprei di lantai, kesempatan berkomunikasi
dibatasi dan klien memakai pakaian RS atau kain terpal yang berat.
Indikasi pengunaan :
o Pengendalian perilaku amuk yang potensial membahayakan klien atau orang
lain dan tidak dapat dikendalikan oleh orang lain dengan intervensi
pengendalian yang longgar, sperti kontak interpersonal atau pengobatan.
o Reduksi stimulus lingkungan jika diminta oleh klien
Kontraindikasi :
o Kebutuhan untuk pengamatan masalah medic
o Resiko tinggi untuk bunuh diri
o Potensial tidak dapat mentoleransi deprivasi sensori. (Yosep, 2010)
6. Kronis
a. Pasien dengan kekerasan kronis perlu uji coba medikasi. Obat psikosis dengan
antipsikotik dan kejang dengan obat antikonvulsan. Untuk perilaku agresi yang
berlanjut pertimbangkan:
i. Klozapin atau risperidon (lebih dipilih untuk pasien skizofrenia yang disertai
hostilitas)
ii. SSRI [misal fluoksetin (12)] untuk kondisi berbeda-beda dan buspiron (cedera
kepala, retardasi mental)
iii. Propanol (200-800 mg/hari, dosis terbagi), nadolol (sampai 120 mg/hari) atau
pindolol; efektif setelah 4-6 minggu.
iv. Karbamazepin (600-1200 mg/hari, dosis terbagi), asam valproat dan litium
(kadar di dalam darah 0,6-1,2 mEq/L) mungkin berguna untuk pasien dengan
kekerasan disertai dengan gangguan bipolar, skizofrenia, retardasi mental,
gangguan eksplosif intermiten dan obat-obatan stimulant lainnya untuk pasien
dewasa yang hiperaktif.
Benzodiazepan dapat bermanfaat selama masa-masa stress, tetapi
kemarahan yang paradoks dapat muncul pada beberapa pasien.
b. Ajarkan pasien untuk mengenali secara dini tanda-tanda meningkatnya kemarahan
dan belajar untuk menghilangkan tekanan-tekanan. Kerusakan otak yang berat
mungkin memerlukan lingkungan yang terstruktur dan teknik-teknik perilaku.
c. Bantu pasien mengembangkan suatu system dukungan dan belajar untuk
mengendalikan stress lingkungan. Pelihara saluran komunikasi dengan pasien yang
berpotensi kekerasan-siap sedialah melalui telepon. (Tomb, 2003)

Managemen krisis :
Bila pada waktu intervensi awal tidak berhasil maka diperlukan intervensi yang
lebih aktif. Prosedur penanganan kedaruratan psikiatrik ;
1. Identifikasi pemimpin tim krisis. Sebaiknya dari perawat karena yang bertanggung
jawab selama 24 jam
2. Bentuk tim krisis. Meliputi dokter, perawat dan konselor
3. Beritahu petugas keamanan jika perlu. Ketua tim harus menjelaskan apa saja yang
menjadi tugasnya selama penanganan klien
4. Jauhkan klien lain dari lingkungan
5. Lakukan pengekangan jika memungkinkan
6. Pikirkan suatu rencana penanganan krisis dan beritahu tim.
7. Tugaskan anggota tim untuk mengamankan anggota tubuh klien
8. Jelaskan perlunya intervensi tersebut kepada klien dan upayakan untuk kerjasama
9. Pengekangan klien jika diminta oleh ketua tim krisis. Ketua tim harus segera mengkaji
situasi lingkungan sekitar untuk tetap melindungi keselamatan klien dan timnya.
10. Berikan obat jika diinstruksikan
11. Pertahankan pendekatan yang tenang dan konsisten terhadap klien
12. Tinjau kembali intervensi penanganan krisis dengan tim krisis
13. Proses kejadian dengan klien lain dan staf harus tepat
14. Secara bertahap mengintegrasikan kembali klien dengan lingkungan. (Yosep, 2010)

9. ASUHAN KEPERAWATAN
a. Diagnosa keperawatan : Resiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri
b. NOC : Self Mutilation, Impuls Self Control
c. NIC : Behavior Management: Self Harm, Impulse Control Training
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L.J. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta: EGC
Keliat Budi Ana, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta : EGC, 1999
Stuart GW, Sundeen. 1998.Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th ed.). St.Louis
Mosby Year Book
Tim Direktorat Keswa, Standar Asuhan Keperawatan Jiwa, Edisi 1, Bandung, RSJP Bandung,
2000
Townsend, M.C. 1998. Buku saku Diagnosa Keperawatan pada Keoerawatan Psikiatri, edisi
3. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai