Anda di halaman 1dari 41

BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. Y
No.RM : 257173
Agama : Islam
Umur : 37 tahun
Alamat : Bonto Panno, Maros
Jenis kelamin : Laki-laki
Suku : Makassar
Status : Menikah
Pekerjaan : Petani
Tanggal masuk : 23 November 2018
Tanggal keluar : 26 November 2018
Perawatan : Amarilis 3B

II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Demam
b. Anamnesis Terpimpin
Pasien dirujuk dari puskesmas cenrana ke UGD RSUD Makassar karena
demam sejak 4 hari yang lalu, demam terus menerus kemudian demam
turun pada hari ke 3, dan suhu meningkat lagi pada hari ke 4, mimisan
(+) 1 kali di rumah sebelum masuk RS, pusing (+), nyeri kepala(+),
sesak(-), batuk (-), flu (-), nyeri menelan (-), mual(+), muntah(+)
frekuensi 1 kali, Nyeri ulu hati (+), Nyeri perut kanan atas (+), nafsu
makan kurang, BAB biasa, BAK kuning lancar. Hematom pada lengan
kiri (+). Rumple leed (-).

1
c. Riwayat Penyakit Sama
Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan yang sama
Tidak ada teman yang memiliki keluhan yang sama
Tidak ada tetangga yang memiliki keluhan yang sama
d. Riwayat Penyakit sebelumnya
Riwayat penyakit sebelumnya disangkal

III. HASIL PEMERIKSAAN


1. Status Praesens
 Keadaan umum : Sakit sedang
 Kesadaran : Compos mentis
 Gizi : Gizi baik
 Tanda vital :
- Tekanan darah : 130/90 mmHg
- Nadi : 85x/menit
- Pernapasan : 20x/menit
- Suhu : 37,8C (axilla)
 Kepala
- Bentuk : Normocephal
- Konjungtiva : Anemis (-), sklera ikterik (-)
- Pupil : Isokor Ɵ 2.5 mm ODS, refleks cahaya
langsung (+/+), reflex cahaya tak langsung (+/+)
- Bibir sianosis : (-)
- Wajah : Simetris ka=ki
 Leher
- Inspeksi : dalam batas normal
- Pembesaran KGB : (-)
- Kelenjar Gondok : tidak ada pembesaran
- DVS : R+/-2 cmH2O
- Kaku kuduk : (-)

2
 Thoraks
- Paru
- Inspeksi : Dinding thoraks simetris saat statis atau dinamis,
retraksi otot dinding dada (-)
- Palpasi : Pelebaran ICS (-), nyeri tekan (-), massa tumor
(-), vocal fremitus kiri=kanan
- Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru

- Auskultasi : Bunyi pernapasan : vesikuler


Bunyi tambahan : ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
- Jantung
- Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak

- Palpasi : Iktus cordis tidak teraba

- Perkusi : Batas jantung atas : ICS III sinistra


Batas jantung kanan : Linea Para Sternalis dextra
Batas jantung kiri : Linea Mid Clavicularis sinistra
Batas jantung bawah : ICS V sinista
- Auskultasi : S1/S2 murni reguler, murmur (-) gallop (-)

 Abdomen
- Inspeksi : normal, mengikuti gerak nafas,
jejas/bekas trauma (-)
- Auskultasi : peristaltic (+) kesan normal
- Palpasi : Nyeri tekan regio hipokondrium dextra (+),
Nyeri tekan epigastrium (+)
hepar/lientidak teraba, massa (-)
- Perkusi : thympani di seluruh abdomen, ascites (-)

 Ekstremitas atas dan bawah

3
- Akral hangat - Hematom pada lengan kiri (+)
- Edema (-/-) - Rumple leed (-) - Deformitas (-)
IV. DIAGNOSA KERJA
Febris Pro Evaluasi susp DBD

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Darah Rutin
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
WBC 6.600 3
4.0-10.0x10 /ul
Neutrofil 53.7 50-70%
Limfosit 19.5 20-40%
RBC 5.320.000 6
4.50-6.20x10 /ul
Hb 17.2 13.0-17.0 g/dL
HCT 46.3 40.1-51.0%
PLT L 13.000 3
150-400x10 /ul
SGPT H 69 <55 U/L
SGOT H 119 <27 U/L
Kreatinin 0.7 0.67-1.17 mg/dL

VI. DIAGNOSIS BANDING


Demam Tifoid
Malaria
ITP
Morbili

VII. PENATALAKSANAAN
Terapi :
- IVFD RL 28 tpm

- Paracetamol tablet 3 x 1

- Neurosanbe 1 amp/24 jam/drips

4
VIII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia et bonam
Quo ad sanam : dubia et bonam
Quo ad functionam : dubia et bonam

IX. FOLLOW UP

24 November 2018
Subjective Objective Assesment Planning
Demam(-), KU : Sedang DHF Grade II Non Farmakologi
pusing(+),mual(+) TD : 120/70
+ • Istirahat cukup
, muntah(+), mmHg
N: 84 x/menit Dispepsia • Diet makanan
Nyeri perut kanan
reguler
atas (+), nyeri P : 20x/menit lunak
epigastrium (+)
S : 37,10C • Banyak minum
  air putih
Farmakologi
• IVFD RL 40 tpm
• Transfusi TC 4 unit
• Injeksi Ranitidin
1amp/12jam/IV
• Injeksi
Dexamethason
1amp/12jam/IV
• Parcetamol tab 3x1
• Caps
Imunomodulator 2x1
Plan : Periksa darah
rutin/hari

5
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
WBC 4.800 3
4.0-10.0x10 /ul
Neutrofil 18.6 50-70%
Limfosit 29.1 20-40%
Hb 15.7 13.0-17.0 g/dL
HCT 42.3 40.1-51.0%
PLT L 23.000 3
150-400x10 /ul

25 November 2018
Subjective Objective Assesment Planning
Demam(-), KU : Sedang DHF Grade II Non Farmakologi
pusing(↓),mual(+) T : 110/60
+ • Istirahat cukup
, nyeri epigastrium mmHg
N: 69x/menit Dispepsia • Diet makanan
berkurang.
reguler
lunak
P : 20x/menit
S : 36,90C • Banyak minum
 
air putih
Farmakologi
• IVFD RL 40 tpm
• Injeksi Ranitidin
1amp/12jam/IV
• Injeksi
Dexamethason
1amp/12jam/IV
• Parcetamol tab 3x1
• Caps
Imunomodulator
2x1
Plan : darah rutin kontrol

6
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
WBC 7000 3
4.0-10.0x10 /ul
Hb 14.5 13.0-17.0 g/dL
HCT L 39.8 40.1-51.0%
PLT L 87.000 3
150-400x10 /ul

26 November 2018
Subjective Objective Assesment Planning
Tidak ada KU : Baik DHF Grade II Non Farmakologi
keluhan T : 110/80
+ • Istirahat cukup
mmHg
N: 80x/menit Dispepsia Farmakologi
reguler
• Omeprazole 20 mg
P : 18x/menit
S : 36,20C 2x1
  
• Domperidon tab 3x1
• Caps
Imunomodulator 1x1
• Vit.B1, B6 2x1
Plan :
Kontrol poli 3 hari kedepan.

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


WBC 9.400 3
4.0-10.0x10 /ul
Neutrofil 72.3 50-70%
Limfosit 18.6 20-40%
Hb 15 13.0-17.0 g/dL
HCT 40.9 40.1-51.0%
PLT 182.000 3
150-400x10 /ul

X. RESUME

7
Pasien dirujuk dari puskesmas cenrana ke UGD RSUD karena demam sejak 4
hari yang lalu, demam terus menerus kemudian demam turun pada hari ke 3, dan
suhu meningkat lagi pada hari ke 4, mimisan (+) 1 kali di rumah sebelum masuk
RS, pusing (+), nyeri kepala(+), mual(+), muntah(+) frekuensi 1 kali, Nyeri ulu
hati(+), Nyeri perut kanan atas (+), nafsu makan kurang, hematom pada lengan
kiri (+), Rumple leed (-).
Tanda Vital TD 130/90 mmHg, Nadi 85x/menit, Pernapasan 20x/menit, Suhu
37,8oC (axilla). Pemfis didapatkan nyeri tekan regio hipokondrium dextra (+),
nyeri tekan epigastrium (+), dan adanya hematom pada lengan kiri (+).
Hasil laboratorium menunjukkan adanya penurunan kadar trombosit dihari
pertama dirawat dan terus mengalami peningkatan tiap harinya dari PLT 13000
U/L hingga saat perawatan terakhir PLT 87000.
Dari hasil diskusi kami dan berdasarkan dari anamnesis, pemfis dan hasil
laboratorium maka pasien didiagnosis dengan Demam Berdarah Dengue Grade 2
+ Dispepsia.

BAB II

8
DISKUSI
Berdasarkan pedoman buku Panduan Praktik Klinis (PPK) tentang teori
derajat keparahan Demam Berdarah Dengue maka pasien masuk ke dalam derajat
2 dimana gejala yang dapat ditemukan demam disertai gejala konstitusional yang
tidak spesifik ditambah perdarahan spontan, baik dalam bentuk perdarahan kulit
ataupun perdarahan lainnya. Yang ditemukan pada pasien adanya demam,
mual,muntah, nyeri kepala, pusing, nyeri uluhati (gejala konstitusional) dan
mimisan serta hematom pada lengan kanan ( bentuk perdarahan).4
Hasil darah rutin pasien Hb 17,2 g/dL terjadi peningkatan kadar
hemoglobin yang bisa terjadi karena adanya dehidrasi.1
PLT 13000 uL terjadi trombositopenia pada pasien yang merupakan salah
satu kriteria diagnosis DHF. Trombositopenia terjadi karena adanya replikasi
virus yang menyebabkan kompleks virus-antibodi membuat terjadinya agregasi
trombosit dan mengakibatkan penghancuran trombosit oleh RES sehingga terjadi
trombositopenia.4
Pada pasien ditemukan terjadinya peningkatan SGOT (119U/L) dan SGPT
(69U/L). Berdasarkan beberapa penelitian peningktan SGOT,SGPT pada pasien
DHF merupakan akibat dari cedera sel hepar dimana virus dengue menyerang
sistem retikuloendotelial dari pejamu.15
tanggal 26 ditemukan Neutrofil H72.3%, dimana terjadinya neutrofilia
bisa sebagai tanda adanya infeksi, kebiasaan merokok atau olahraga/pekerjaan
berat.1

Pemberian terapi

9
• IVFD RL 40 tpm
1500+(20x (75-20)) = 2600ml1
• Transfusi Trombosit konsentrat 4 unit
Transfusi TC diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan
masif dengan jumlah trombosit dibawah 100.000/ul disertai atau tanpa
KID.1
• Injeksi Ranitidin 1amp/12jam/IV
Golongan ARH2 yang bekerja menghambat reseptor histamin H2 yang
mengurangi sekresi asam lambung dan juga dapat berfungsi sebagai
profilaksis lambung.4
• Injeksi Dexamethason 1amp/12jam/IV
Merupakan kortikosteroid yang sampai saat ini masih Pro-Kontra terhadap
penggunaannya pada pasien DHF, pada beberapa literatur mengatakan
bahwa perbandingan proses penyembuhan dan peningkatan kadar trombosit
pada pasien DHF tidak terlalu menunjukkan perbedaan yang signifikan
terhadap pasien yang diberi kortikosteroid maupun yang tidak.16
Terapi utama DHF adalah pemberian cairan yang adekuat.
• Parcetamol tab 3x1
Sebagai antipiretik dan analgetik untuk mengobati gejala.4
• Kapsul Imunomodulator (Echinacea purpurea, Zinc picolinate, Selenium)
Sebagai imunomodulator yang berfungsi untuk meingkatkan daya tahan
tubuh dan memperbanyak produksi antibodi agar pasien cepat sembuh
karena seperti yang diketahui DHF merupakan penyakit yang disebabkan
oleh virus.4

BAB III

10
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Demam dengue (DF) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah
penyaki infeksi yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk
Aedes Aegypti dan Aedes albopticus dengan manfestasi klinis demam, nyeri otot
dan/atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati,
trombositopenia, dan diastesis hemoragik. Penyakit ini ditemukan di daerah tropis
dan sub tropis, dan menjangkit secara luas di banyak negara di asia tenggara salah
satunya indonesia. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan
hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga
tubuh. Infeksi virus dengue pada manusia tidak selalu mengakibatkan demam
berdarah dengue (DBD), melainkan mempunyai spektrum manifestasi klinis yang
luas, mulai dari asimtomatik, demam dengue (DD), DBD, manifestasi yang tidak
lazim (unusual manifestations) sampai demam berdarah dengue disertai syok
(dengue shock syndrome atau DSS). 1,2,3

B. EPIDEMIOLOGI
Dalam 50 tahun terakhir, kasus DBD meningkat 30 kali lipat dengan
peningkatan ekspansi geografis ke negara-negara baru dan, dalam dekade ini, dari
kota ke lokasi pedesaan. Penderitanya banyak ditemukan di sebagian besar
wilayah tropis dan subtropis, terutama Asia Tenggara, Amerika Tengah, Amerika
dan Karibia. Virus dengue dilaporkan telah menjangkiti lebih dari 100 negara,
terutama di daerah perkotaan yang berpenduduk padat dan pemukiman di Brazil
dan bagian lain Amerika Selatan, Karibia, Asia Tenggara, dan India. Jumlah orang
yang terinfeksi diperkirakan sekitar 50 sampai 100 juta orang, setengahnya
dirawat di rumah sakit dan mengakibatkan 22.000 kematian setiap tahun,
diperkirakan 2,5 miliar orang atau hampir 40 persen populasi dunia, tinggal di
daerah endemis DBD yang memungkinkan terinfeksi virus dengue melalui gigitan
nyamuk setempat. Jumlah kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah
tropik dan subtropik bahkan cenderung terus meningkat dan banyak menimbulkan
kematian.4

11
Indonesia adalah daerah endemis Demam Berdarah Dengue dan
mengalami epidemi sekali dalam 4-5 tahun. Faktor lingkungan dengan banyak
genangan air bersih yang menjadi sarang nyamuk, mobilitas penduduk yang
tinggi, dan cepatnya transportasi antar daerah, menyebabkan seringnya terjadi
epidemi dengue. Pada tahun 1968 Demam Berdarah Dengue pertama kali
dilaporkan di Surabaya dengan penderita sebanyak 58 orang, dan 24 orang
diantaranya kemudian meninggal dunia (41,3%). DBD kemudian menyebar ke
seluruh Indonesia dan pada tahun 1988 jumlah penderita mencapai 13,45 per
100.000 penduduk. Peningkatan kasus Demam Berdarah Dengue sesudah tahun
1989 terjadi karena masih luasnya penyebaran nyamuk Aedes baik di daerah urban
maupun di daerah rural, majunya transportasi antar daerah, mobilitas penduduk
yang tinggi, dan terjadinya Demam Berdarah Dengue di daerah-daerah baru yang
sebelumnya tidak pernah terejangkit penyakit ini serta urbanisassi ke kota-kota
besar yang sukar dikendalikan.4,5
Secara geografis, sebaran dengue sudah dapat ditetapkan. Dengue dapat
menyerang semua ras. Jika terjadi epidemi demam dengue, beberapa jenis ras
Afrika dan Haiti jarang yang menderita Demam Berdarah Dengue atau dengue
shock syndrome. Meskipun Aedes aegypti tersebar di kawasan Sub-Sahara dan
Timur Tengah, epidemi besar Demam Berdarah Dengue belum pernah terjadi di
Afrika, meskipun 4 serotipe virus dengue terdapat di benua ini. Hal ini
menunjukkan adanya pengaruh faktor genetik terhadap infeksi virus dengue.4
Insiden dengue sama antara orang laki-laki dan perempuan, meskipun
pada beberapa laporan orang laki-laki lebih banyak mengalami Demam Berdarah
Dengue dan dengue shock syndrome dari pada perempuan. Dengue juga
menginfeksi semua kelompok umur. Meskipun demikian, anak-anak kecil
berumur dibawah 15 tahun umumnya hanya menderita infeksi dengan demam
yang tidak spesifik dan sembuh dengan sendirinya. Di daerah endemis, tingginya
imunitas pada orang dewasa dapat mengurangi kejadian epidemi pada anak-anak.4

C. ETIOLOGI

12
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus
dengue, yang termasuk kedalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae.
Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat
rantai tunggal dengan berat molekul 4x106. 1
Virus dengue adalah anggota genus Flavivirus dan keluarga Flaviviridae.
Dengan ukuran (50 nm) virus mengandung single-strand RNA sebagai genom.
Virion terdiri dari nukleokapsida dengan kubik simetri tertutup dalam amplop
lipoprotein. Genom virus dengue adalah 11644 nukleotida panjangnya, dan terdiri
dari tiga gen protein struktural yang mengkodekan nukleokaprid atau inti protein
(C), protein terkait membran (M), protein amplop (E), dan tujuh nonstruktural
protein (NS) gen. Di antara protein non-struktural, glikoprotein amplop, NS1,
bersifat diagnostik dan kepentingan patologis. Ini adalah ukuran 45 kDa dan
terkait dengan hemaglutinasi virus dan aktivitas netralisasi.3,6,7
Virus dengue membentuk kompleks yang berbeda dalam genus Flavivirus
berdasarkan antigenik dan karakteristik biologis. Terdapat 4 serotipe virus yaitu
DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam
dengue dan demam berdarah dengue. Keempat serotipe ditemukan di Indonesia
dengan serotipe terbnyak adalah DEN-3. Infeksi dengan serotipe manapun
memberi kekebalan seumur hidup terhadap serotipe virus tersebut. Meskipun
keempat serotipe secara antigenik serupa, namun keduanya cukup berbeda untuk
mendapatkan perlindungan silang hanya beberapa bulan setelah terinfeksi oleh
salah satu dari mereka. Infeksi sekunder dengan serotipe lain atau beberapa
infeksi dengan serotipe yang berbeda menyebabkan bentuk demam dengue
(DBD / DSS) yang parah. 3.1
Ada variasi genetik yang cukup besar dalam setiap serotipe dalam bentuk
filogenetis berbeda "sub-tipe" atau "genotip". Saat ini, tiga sub tipe dapat
diidentifikasi untuk DENV-1, enam untuk DENV-2 (salah satunya ditemukan
pada primata non-manusia), empat untuk DENV-3 dan empat untuk DENV-4,
dengan DENV-4 lain yang eksklusif untuk primata non-manusia. Virus demam
berdarah dari keempat serotipe tersebut telah dikaitkan dengan epidemi demam
berdarah (dengan atau tanpa DBD) dengan tingkat keparahan yang bervariasi.

13
Terdapat reaksi silang antara serotipe dengue dengan flavivirus lain seperti Yellow
fever, Japanese encephalitis dan West Nile Virus.3,1
Dalam laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia
seperti tikus, elinci, anjing, kelelawar dan primata. Survei epidemiologi pada
hewan ternak didapatkan antibodi terhadap virus dengue pada hewan kuda, sapi,
dan babi. Penelitian pada artropoda menunjukkan virus dengue dapat bereplikasi
pada nyamuk genus Aedes (Stegomya) dan Toxorhynchites.1
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes
(terutama A. aegypti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya
berkaitan dengan danitasi lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi
nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas dan
tempat penampungan air lainnya).1

D. PATOGENESIS
Patogenesis terjainya demam berdarah dengue sampai saat ini masih
diperdebatkan. Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa
mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue
dan sindrom renjatan dengue. Virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes
menyerang organ RES seperti sel kupfer di sinusoid hepar, endotel pembuluh
darah, nodus limfatikus, sumsum tulang serta paru-paru. Dalam peredaran darah
virus akan difagosit oleh monosit. Setelah genom virus masuk kedalam sel maka
dengan bantuan organel-organel sel genom virus akan memulai membentuk
komponen-komponen strukturalnya. Setelah berkembang biak didalam sitoplasma
sel maka virus akan dilepaskan dari sel.1,8
Diagnosis pasti dengan uji serologis pada infeksi virus dengue sulit
dilakukan karena semua Flavivirus memiliki epitope pada selubung protein yang
menghasilkan “cross reaction” atau reaksi silang. Infeksi oleh satu serotipe virus
DEN menimbulkan imunitas protektif terhadap serotipe tersebut, tetapi tidak ada
“cross  protektif” terhadap serotipe virus yang lain. Virion dari virus DEN
ekstraseluler terdiri dari protein C (capsid), M (membran) dan E (envelope). Virus
intraseluler terdiri dari protein pre-membran atau pre-M. Glikoprotein E

14
merupakan epitope penting karena mampu membangkitkan antibodi spesifik
untuk proses netralisasi, mempunyai aktifitas hemaglutinin, berperan dalam
proses absorbsi pada permukaan sel, (reseptor  binding), mempunyai fungsi
fisiologis antara lain untuk fusi membran dan perakitan virion. Secara in vitro
antibodi terhadap virus DEN mempunyai 4 fungsi fisiologis: netralisasi virus,
sitolisis komplemen, Antibodi Dependent Cell-mediated Cytotoxicity (ADCC) dan
Antibodi Dependent Enhancement. Secara in vivo antibodi terhadap virus DEN
berperan dalam 2 hal yaitu, Antibodi netralisasi memiliki serotipe spesifik yang
dapat mencegah infeksi virus dan Antibodi non netralising memiliki peran cross-
reaktif dan dapat meningkatkan infeksi yang berperan dalam patogenesis DBD
dan DSS Perubahan patofisiologis dalam DBD dan DSS dapat dijelaskan oleh 2
teori yaitu hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) dan
hipotesis antibody dependent enhancement (ADE). Teori infeksi sekunder
menjelaskan bahwa apabila seseorang mendapatkan infeksi primer dengan satu
jenis virus, maka akan terdapat kekebalan terhadap infeksi virus jenis tersebut
untuk jangka waktu yang lama. Pada infeksi primer virus dengue antibodi yang
terbentuk dapat menetralisir virus yang sama (homologous).
Namun jika orang tersebut mendapat infeksi sekunder dengan jenis virus
yang lain, maka virus tersebut tidak dapat dinetralisasi dan terjadi infeksi berat.
Hal ini disebabkan terbentuknya kompleks yang infeksius antara antibodi
heterologous yang telah dihasilkan dengan virus dengue yang berbeda.
Selanjutnya ikatan antara kompleks virus-antibodi (IgG) dengan reseptor Fc
gamma pada sel akan menimbulkan peningkatan inveksi virus DEN.
Kompleks antibodi meliputi sel makrofag yang beredar dan antibodi tersebut akan
bersifat opsonisasi dan internalisasi sehingga makrofag akan mudah terinfeksi
sehingga akan memproduksi IL-1, IL-6 dan TNFα dan juga “Platelet Activating
Factor” Selanjutnya dengan peranan TNFα akan terjadi kebocoran dinding
pembuluh darah, merembesnya plasma ke jaringan tubuh karena endothel yang
rusak, hal ini dapat berakhir dengan syok. Proses ini juga menyertakan
komplemen yang bersifat vasoaktif dan prokoagulan sehingga menimbulkan
kebocoran plasma dan perdarahan yang dapat mengakibatkan syok hipovolemik.8

15
Sel T DEN-naive Infeksi virus dengue menyebabkan terbentuknya kompleks antigen-
DEN-1>DEN-2
DEN-2>DEN-1
antibodi yang mengaktivasi sistem komplemen, menyebabkan agregrasi trombosit
dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan endotel pembuluh darah.
Pelekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit merangsang
pengeluaran adenosin diphosphat (ADP) yang menyebabkan sel-sel trombosit
saling melekat. Oleh sistem retikuloendotel (reticuloendothelial system - RES)
kelompok trombosit dihancurkan, sehingga mengakibatkan terjadi trombositopeni.
Agregasi trombosit akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III
penyebab terjadinya koagulopati konsumtif atau koagulasi intravaskuler
diseminata (KID) sehingga terjadi peningkatan FDP (fibrinogen degradation
products) yang berakibat turunnya faktor pembekuan. Agregasi trombosit
menimbulkan gangguan fungsi trombosit. Meskipun jumlah trombosit normal
tetapi tidak baik cara kerjanya. Aktivasi koagulasi mengaktifkan faktor Hageman
yang mengaktifkan sistem kinin yang meningkatkan permeabilitas kapiler
sehingga syok capat terjadi.4

Gambar 1. Patogenesis Perdarahan pada DBD


Pada teori kedua (ADE), terdapat 3 hal yang berkontribusi terhadap
terjadinya DBD dan DSS yaitu antibodies enhance infection, T-cells enhance

16
infection, serta limfosit T dan monosit. Teroi ini menyatakan bahwa jika terdapat
antibodi spesifik terhadap jenis virus tertentu, maka antibodi tersebut dapat
mencegah penyakit tetapi sebaliknya apabila antibodi yang terdapat dalam tubuh
tidak dapat menetralisir penyakit, maka justru dapat menimbulkan penyakit berat.8
Pada teori ADE, terjadi proses yang meningkatkan infeksi dan replikasi
virus dengue di dalam sel mononuklir. Dengan terjadinya infeksi virus dengue,
terbentuk mediator vasoaktif yang menyebabkan terjadinya peningkatan
permeabilitas pembuluh darah. Akibatnya terjadi hipovolemia dan syok. Syok
juga terjadi pada infeksi sekunder oleh virus dengue serotipe yang berbeda dari
serotipe virus yang menginfeksi pertama kali. Respons antibodi yang terjadi
menyebabkan terjadinya proliferasi dan transformasi limfosit yang menimbulkan
antibodi IgG anti dengue yang tinggi titernya. Selain itu, terjadi replikasi virus di
dalam limfosit yang mengalami transformasi yang juga menghasilkan peningkatan
jumlah virus. Akibat terbentuknya kompleks virus-antibodi (virus antibody
complex) yang memicu terjadinya aktivasi sistem komplemen C3 dan C5. Hal ini
menyebabkan permeabilitas dinding pembuluh darah meningkat sehingga terjadi
perembesan plasma ke ruang ekstravaskuler. Pada keadaan syok berat, dalam
waktu 24-48 jam volume plasma dapat berkurang lebih dar 30%. Tanda-tanda
perembesan plasma dapat diketahui dengan adanya peningkatan hematokrit,
penurunan kadar natrium dan terjadinya efusi pleura serta asites.4
Pada hipotesis kedua, akibat tekanan pada waktu virus mengadakan
replikasi di dalam tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk, virus mengalami
perubahan genetik. Ekpresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus
menyebabkan meningkatnya replikasi virus dan viremia serta meningkatnya
virulensi virus. Akibatnya potensi virus untuk menimbulkan wabah juga
meningkat.4

17
Gambar 2. Patogenesis Syok pada DBD

E. MANIFESTASI KLINIS DAN KLASIFIKASI


Manifestasi infeksi virus dengue tidak selalu menunjukkan adanya gejala
(asimtomatik), atau menunjukkan gejala klinis berupa demam yang tidak
diketahui penyebabnya, demam dengue (DD), Demam Berdarah Dengue (DBD)
atau terjadi syok hipovolemik DSS (dengue shock syndrome).4

Gambar 3. Spektrum Klinis Infeksi Virus Dengue

18
Penderita dengue biasanya mempunyai riwayat pernah mengunjungi
daerah dimana penyakit ini endemis. Karena masa inkubasi dengue antara 3-14
hari, jika gejala klinis baru terjadi 2 minggu sesudah seseorang meninggalkan
daerah endemis dengue, kemungkinan besar bukan dengue. Banyak penderita
dengue menunjukkan gejala awal yang berlangsung selama 2-3 hari berupa
menggigil, terdapat bercak eritema pada kulit, dan wajah kemerahan (facial
flushing). Anak berumur kurang dari 15 tahun biasanya menunjukkan sindrom
demam yang tidak spesifik, disertai ruam makulopapuler pada kulit.4
Diagnosis dengue pada umumnya berdasar pada gejala klinis yang timbul.
Pada awal penyakit gejala yang timbul antara lain adalah menurunnya nafsu
makan, demam, sakit kepala, nyeri sendi, malaise, nyeri otot, dan muntah.
Gejala klinis penyakit dengue berlangsung mendadak diawali dengan
demam, sakit kepala yang berat, nyeri otot (mialgia) dan nyeri sendi (atralgia)
yang sangat menyakitkan sehingga penyakit ini dikenal sebagai break-bone fever
(demam patah tulang) atau bonecrusher disease (penyakit remuk tulang), dan
ruam kulit (rash). Ruam kulit pada dengue berbentuk khas berupa petekia yang
berwarna merah terang yang biasanya mulai terjadi di tubuh bagian bawah dan di
daerah dada. Pada beberapa orang penderita ruam kulit menyebar ke semua
bagian tubuh. Selain itu penderita dapat mengalami gastritis, nyeri perut, mual,
muntah dan diare. Sebagian penderita hanya mengalami gejala klinis ringan
sehingga jika tidak terdapat gejala ruam kulit dikira sebagai gejala influenza atau
infeksi virus lainnya. Demam dengue yang klasik akan menyembuh dalam waktu
2-7 hari, dengan puncak demam ringan pada bagian akhir dari penyakit (disebut
sebagai pola bifasik dari dengue). Pada pemeriksaan darah jumlah trombosit akan
menurun sampai demam penderita normal kembali.4

1. Demam Dengue
Setelah masa inkubasi 4-6 hari (rentang 3-24 hari), gejala prodromal
yang tidak khas seperti nyeri kepala, nyeri tulang belakang, dan perasaan
lelah. Tanda khas dari DD adalah peningkatan suhu mendadak, kadang-
kadang disertai menggigil, nyeri kepela, dan flushed face (muka
kemerahan). Dalam 24 jam terasa nyeri pada belakang mata terutama pada

19
pergerakan mata atau bila bola mata ditekan, fotofobia, dan nyeri otot
sendi. Gejala lain yang dapat dijumpai adalah anoreksia, konstipasi, nyeri
perut/kolik, nyeri tenggorokan, dan depresei (biasanya terdapat pada
pasien demam). Gejala tersebut biasanya menetap untuk beberapa hari.
Secara klinis ditemukan demam, suhu pada umumnya antara 39-400
C, bersifat bifasik, menetap antara 5-7 hari. Pada awal fase demam
terdapat ruam yang tampak di muka, leher, dada. Pada akhir fase demam
(hari ketiga atau keempat) ruam berbentuk makulopapular atau berbentuk
skarlatina. Selanjutnya pada fase penyembuhan suhu turun dan timbul
petekie yang menyeluruh pada kaki dan tangan dan diantara petekie dapat
dijumpai area kulit normal berupa bercak keputihan, kadang-kadang dirasa
gatal. Perdarahan kulit pada Demam Dengue terbanyak adalah uji
Tourniquet positif dengan atau tanpa petekie.
Derajat penyakit sangat bervariasi berbeda untuk tiap individu dan
pada daerah epidemi. Perjalanan penyakit biasanya pendek 5 hari, tetapi
dapat memanjang terutama pada dewasa sampai beberapa minggu. Pada
dewasa seringkali disertai lemah, depresi dan bredikardia. Perdarahan
seperti mimisa, perdarahan gusi, hematuria, menorrhagia, sering terjadi
pada saat epidemi DD. Walaupun jarang, kadang-kadang terjadi
perdarahan hebat walaupun jarang menyebabkan kematian. DD yag
disertai dengan manifestasi perdarahan harus dibedakan dengan DBD.9

2. Demam Berdarah Dengue


Perubaha patofisiologis pada infeksi dengue menentukan perbedaan
perjalanan penyakit antara DBD dengan DD. Perubahan patofisiologis
tersebut adalah kelainan hemostasis dan pembesaran plasma. Kedua
kelainan tersebut dapat diketahui dengan adanya trombositopenia dan
peningkatan hematokrit. Oleh karena itu, trombositopenia (sedang sampai
berat) dan hemokonsentrasi merupakan kejadian yang sering dijumpai.
Gambaran Klinis penderita penyakit dengue terdapat tiga fase dalam
perjalanan penyakit, meliputi fase febris, kritis, dan masa pemulihan.

20
Pada fase febris, Biasanya demam mendadak tinggi 2-7 hari, disertai
muka kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan
sakit kepala. Pada beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorok, injeksi
farings dan konjungtiva, anoreksia, mual dan muntah. Pada fase ini dapat
pula ditemukan tanda perdarahan seperti ptekie, perdarahan mukosa,
walaupun jarang dapat pula terjadi perdarahan pervaginam dan
perdarahan gastrointestinal.10
Fase kritis, terjadi pada hari 3-7 sakit dan ditandai dengan penurunan
suhu tubuh disertai kenaikan permeabilitas kapiler dan timbulnya
kebocoran plasma yang biasanya berlangsung selama 24-48 jam.
Kebocoran plasma sering didahului oleh lekopeni progresif disertai
penurunan hitung trombosit. Pada fase ini dapat terjadi syok.
Fase pemulihan, bila fase kritis terlewati maka terjadi pengembalian
cairan dari ekstravaskuler ke intravaskuler secara perlahan pada 48-72 jam
setelahnya. Keadaan umum penderita membaik, nafsu makan pulih
kembali , hemodinamik stabil dan diuresis membaik.10

3. Expanded dengue syndrome


Manifestasi berat yang tidak umum terjadi meliputi organ seperti
system saraf, hati, ginjal, otak, jantung, dan organ lain. Kelainan organ
tersebut berkaitan dengan infeksi penyerta, komorbiditas, atau komplikasi
dari syok yang berkepanjangan. Ensefalopati merupakan kasus fatal yang
telah dilaporkan di Indonesia, Malaysia, Myanmar, Inda, dan Puerto Rico.
Tabel 1 menjelaskan tentang maifestasi yang tidak biasa pada dengue.3
Manifestasi pada pada Sistem Saraf Pusat (SSP) termasuk kejang,
spastisitas, perubahan kesadaran dan kelumpuhan yang bersifat sementara
telah di laporkan. Penyebab yang mendasari tergantung pada waktu
munculnya manifetasi ini berhubungan dengan fase viremia, kebocoran
plasma, atau convalescence.3
Tabel 1. Expanded dengue syndrome (Manifestasi dengue atipikal) 3
Sistem Manifestasi tidak biasa atau atipikal

21
Neurologi Kejang Demam pada anak
Ensefalopati
Ensefalitis/Meningitis Aseptik
Perdarahan Intrakranial/thrombosis
Efusi Subdural
Mononeuropati/Polineuropati/Guillane-Barre
Syndrome
Myelitis transversa
Gastroenterohepatologi Hepatitis/Gagal hati fulminant
Kolesistitis akalkulosa
Pankreatitis akut
Hiperplasia Palque Payer
Parotitis akut
Renal Gagal Ginjal Akut
Sindrom Hemolisis Uremia
Kardiovaskular Gangguan Konduksi
Myokarditis
Perikarditis
Respirasi Acute Respiratory Distress Syndrome
Pulmonary haemorage
Muskuloskeletal Myositis engan peningkatan keratin
fosfokinase
Rabdomyolisis
Limforetikular/Sumsum Infeksi berhubungan dengan sindorm
tulang hemofagositosis
Haemophagotic Lymphohistiocytosis (HLH),
Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP)
Ruptur Lien Spontan
Mata Perdarahan Makula
Gangguan visus
Neuritis optic
Lain-lain Post-infectious fatigue syndrome, depresi,
halusinasi, psikosis, alopesia

F. DIAGNOSIS

22
Diagnosis Diagnosis DBD/DSS ditegakkan berdasarkan kriteria klinis
dan laboratorium.11
a) Kriteria klinis
 Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-
menerus selama 2-7 hari
 Manifestasi perdarahan, termasuk uji bendung positif (paling umum),
petekie, purpura (di situs venepuncture), ekimosis, epistaksis,
perdarahan gusi, hematemesis, dan/melena
 Pembesaran hati (hepatomegali) diamati pada beberapa tahap penyakit
di 90% -98% dari anak-anak. Frekuensi bervariasi dengan waktu dan /
atau pengamat.
 Syok, ditandai nadi cepat (takikardi), perfusi jaringan yang buruk
dengan denyut nadi yang lemah serta penurunan tekanan nadi (≤20
mmHg), hipotensi dengan adanya kaki dan tangan yang dingin, kulit
lembab, dan pasien tampak gelisah.3,11

b) Kriteria laboratorium
 Trombositopenia (≤100.000/mikroliter)
 Hemokonsentrasi, 20% dari nilai dasar / menurut standar dilihat dari
peningkatan hematokrit umur dan jenis kelamin atau populasi
seumuran
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan:
 Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia dan
hemokonsentrasi atau 20% peningkatan hematokrit
 Dijumpai hepatomegali sebelum terjadi perembesan plasma
 Dijumpai tanda perembesan plasma
 Efusi pleura (foto toraks/ultrasonografi) sebagai bukti paling
objektif kebocoran plasma
 Hipoalbuminemia sebagai bukti pendukung.

Perhatian

23
 Pada kasus syok, hematokrit yang tinggi dan trombositopenia yang
jelas, mendukung diagnosis DSS.
 Nilai LED rendah (<10mm/jam) saat syok membedakan DSS dari
syok sepsis.

Gambar 4: Derajat DBD menurut WHO 2011

24
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada infeksi virus dengue yaitu:
pemeriksaan darah lengkap dan pemeriksaan serologi. Parameter darah
lengkap yang dapat diperiksa antara lain: trombosit, hematokrit,
leukosit, hemoglobin, protein albumin, ALT, AST dan hemostatis.4,9
Trombosit pada infeksi virus dengue mengalami penurunan, sampai
terjadi trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000). Hematokrit
mengalami peningkatan sebesar ≥ 20% dari hematokrit awal karena
terjadi kebocoran plasma biasanya dimulai pada hari ke-3 demam. Pada
protein albumin bisa terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.
Tes fungsi hati ALT/AST (serum alanin aminotransferse) dapat
meningkat pada infeksi virus dengue. Pemeriksaan hemostatis,
dilakukan pemeriksaan PT, APTT pada keadaan yang dicurigai terjadi
perdarahan atau kelainan pembekuan darah.1
2. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto Thorax
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks
kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura
dapat dijumpai pada kedua hemithoraks. Pemeriksaan foto rontgen
dada sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur
pada sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula
dideteksi dengan pemeriksaan USG.1
b. Ultrasonografi
Untuk melakukan pengamatan demam berdarah dengue,
ultrasonografi dilakukan karena dapat cepat diketahui hasilnya,
mudah dikerjakan dan relatif murah biayanya. Dengan USG dapat
diketahui adanya cairan di dalam rongga paru dan rongga abdomen,
efusi perikardial, dan penebalan kantung empedu, yang merupakan
gambaran klinik adanya peningkatan permeabilitas vaskuler.
Pemeriksaan USG secara teratur sangat bermanfaat untuk

25
memantau penderita dengan dugaan demam berdarah dengue.
Dengan USG demam berdarah dengue dapat diketahui sebelum
kriteria hemokonsentrasi ditemukan.4
3. Pemeriksaan Serologi
Pemeriksaan Serologi Pemeriksaan serologi dikerjakan dalam
mendeteksi infeksi virus dengue. Ada beberapa metode pemeriksaan
laboratorium yang digunakan yaitu isolasi virus dalam kultur, deteksi
virus RNA melalui reverse transcription-PCR, antibodi spesifik
IgM/IgG, haemagglutination-inhibition test, dan non-struktural protein
1 (NS1). Gold standar biasanya kombinasi dari metode ini. Isolasi virus
harganya sangat mahal, dan hanya terdapat di laboratorium yang
memiliki infrastruktur untuk kultur sel dan koloni nyamuk, cara
pemeriksaannya yaitu serum sampel dikultur di dalam koloni sel
nyamuk kemudian diinkubasi pada suhu 33ºC selama 10-14 hari, virus
dapat di deteksi dengan menggunakan imunofluoresce. Teknik
polymerase chain reaction (PCR) digunakan untuk mendeteksi jumlah
molekul RNA dengue, diantara jutaan molekul RNA lainnya.
Pemeriksaan ini sangat mahal dan jarang dikerjakan oleh dokter dan
petugas lab. Ada beberapa pemeriksaan antibodi spesifik IgG/IgM
yaitu: In-house IgM capture (MAC) ELISA, PanBio Duo IgM and IgG
Rapid Cassete, PanBio Duo IgM and IgG Capture ELISA, Accusen
Dengue Virus Rapid Strip Test, United Dengue IgG and IgM Combo
Rapid Test. Kelima test ini dilakukan dengan metode yang cepat
dengan waktu antara 30 sampai 45 menit.12
Dari pemeriksaan serologi, pasien yang menunjukkan antibodi IgM
yang positif menunjukkan bahwa pasien terkena infeksi virus dengue
untuk yang pertama kali atau infeksi primer. Sedangkan pasien yang
menunjukkan antibodi IgG positif menunjukkan bahwa pasien terkena
infeksi sekunder yaitu infeksi untuk yang kedua kalinya oleh virus yang
sama dari serotipe yang berbeda. Pada infeksi sekunder antibodi IgM
bisa positif, 13 tetapi tidak selalu. Pasien yang menunjukkan antibodi

26
IgM dan IgG yang keduanya negatif menunjukkan bahwa pasien tidak
terkena infeksi virus dengue, tetapi disebabkan oleh infeksi yang lain,
meskipun trombosit turun atau mengalami hemokonsentrasi.13

Tabel 2. Interpretasi uji serologi IgM dan IgG pada infeksi dengue 11
Antibodi anti dengue
Diagnosis Keterangan
IgM IgG
Infeksi Primer Positif Negatif
Infeksi Sekunder Positif Positif
Infeksi Lampau Negatif Positif
Apabila klinis
mengarah ke infeksi
Bukan Dengue Negatif Negatif dengue, pada fase
penyembuhan: IgM
dan IgG diulang

H. TATALAKSANA
Tidak ada terapi yang spesifik untuk DD dan DBD, prinsip utama adalah
terapi suportif penanganan yang tepat oleh dokter dan perawat dapat
menyelamatkan pasien DBD. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka
kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan
sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD.
Asupan cairan tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien
tidak mampu dipertahankan maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena
untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.1
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama
dengan Divisi Penyakit Tropik Infeksi dan Divisi hematologi dan Onkologi Medik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menyusun protokol penatalaksanaan
DBD pada pasien dewasa berdasarkan kriteria :
1. Tatalaksana dengan rencana tindakan sesuai indikasi
2. Praktis dalam pelaksanaannya
3. Mempertimbangkan cost effectiveness.

27
Protokol ini terbagi dalam 5 kategori:
Protokol 1
Penanganan tersangka (Probable) DBD dewasa tanpa syok
Protokol 2
Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat
Protokol 3
Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht >20%
Protokol 4
Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD dewasa
Protokol 5
Tatalaksana Sindroma Syok Dengue pada dewasa
Protokol 1. Penanganan Tersangka DBD dewasa tanpa syok 
Protokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan
pertama pada pasien penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat
Darurat dan juga dipakai sebagai petunjuk dalam menentukan indikasi rawat.
Seorang yang tersangka menderita DBD di ruang Gawat Darurat
dilakukan pemeriksaan Hemoglobin (Hb), hematokrit dan trombosit apabila
didapatkan: 1
 Hb, Ht dan trombosit normal atau antara 100.000-150.000, pasien dapat
dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke Poliklinik dalam
waktu 24 jam berikutnya (dilakukakan pemeriksaan Hb, Ht, Leukosit dan
trombosit tiap 24 jam) atau bila keadaan penderita memburuk segera
kembali ke Instalasi Gawat Darurat
 Hb, Ht normal tetapi trombosit <100.000 dianjurkan untuk dirawat.
 Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk
dirawat.

28
Gambar 5. Penanganan tersangka DBD tanpa Syok

Protokol 2. Pemberian cairan pada tersangkaa DBD dewasa di ruang rawat


Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan masif dan tampak syok
maka di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus
berikut ini: 1
Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan
Sesuai rumus berikut 1500 + {20x (BB dalam kg-20)}
Contoh volume rumatan untuk BB 55kg: 1500 + {20 x (55-20)} = 2200ml

Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan HB, Ht tiap 24 jam:


 Bila Hb, Ht meningkat 10-20% dan trombosit <100.000 jumlah pemberian
cairan tetap seperti rumus diatas tetapi pemantauan Hb, Ht dan trombosit
dilakukan tiap 12 jam.
 Bila Hb, Ht meningkat > 20% dan trombosit < 100.000 maka pemberian
cairan sesuai dengan protokol penatalaksanaan DBD
dengan peningkatan Ht > 20%

29
Gambar 6. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa diruang rawat

Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Ht > 20%


Meningkatnya Ht >20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit
sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan
memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6-7ml/kgBB/jam. Pasien kemudian
dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai
dengan tanda-tanda Ht menurun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil,
produksi urin meningkat maka jumlah cairan harus dikurangi menjadi
5ml/kgBB/JAM. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan keadaan tetap membaik
maka pemberian cairan dapat dihentikan 24-48 jam kemudian.1
Apabila pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kgBB/jam tadi, keadaan tetap
tidak membaik, yang ditandai dengan Ht dan nadi meningkat, tekanan nadi
menurun < 20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan jumlah
cairan infus menjadi 10ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan
kembali dan bila keadaan menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan dikurangi
menjadi 5 ml/kgBB/jam tetapi bila keadaan tidak menunjukkan perbaikan maka
jumlah cairan infus dinaikkan 15ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya
kondisi menjadi memburuk dan didapatkan tanda-tanda syok dengue maka pasien

30
ditangani sesuai dengan protokol tatalaksana sindrome syok dengue pada dewasa.
Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi cairan
awal.1

Gambar 7. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Hematokrit > 20%

Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan spontan pada DBD dewasa


Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah
perdarah hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon
hidung, perdarah saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematokesia),
perdarahan saluran kencing (hematuria), perdarahan otak atau perdarahan
tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5cc/kgBB/jam. Pada keadaan
ini jumlah kecepatan cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok lainnya.
Pemeriksaan tekan darah, nadi, pernapasan dan jumlah urin dilakukan sesering
mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht dan trombosit serta hemostase harus segera

31
dilakukan dan pemeriksaan Hb,Ht dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6
jam.1
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris
didapatkan tanda-tanda KID. Transfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi.
FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan APTT
yang memanjang). PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10%. Transfusi
trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan
masif dengan jumlah trombosit <100.000/ul disertai atau tanpa KID.1

Gambar 8. Penatalaksanaan Perdarahan spontan pada DBD dewasa

Protokol 5. Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada dewasa


Angka kematian sindrom syok dengue sepuluh kali lipat dibandingkan
dengan penderita DBD tanpa renjatan, dan renjatan dapat terjadi karena
keterlambatan penderita DBD mendapatkan pertolongan/pengobatan,
penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap
tanda-tanda renjatan dini, dan penatalaksanaann renjatan yang tidak adekuat.
Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan.
Selain resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit.
Pemeriksaan-pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer
lengkap (DPL), hemostasis, AGD, kadar natrium, kalium dan klorida serta ureum
dan kreatinin.1

32
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan
dievaluasi setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan TD
sistolik 100mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang
dari 100 kali per menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit
tidak pucat serta diuresis 0,5-1cc/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi
7ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit keadaan tetap stabil pemberian
cairan menjadi 3ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam setelah renjatan teratasi tanda-
tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka pemberian cairan
perinfus harus dihentikan (karena jika reabsorbsi cairan plasma yang mengalami
ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus terus
diberikan maka keadaan hipovolemi edema paru atau gagal jantung dapat terjadi).
Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus dilakukan
terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadi renjatan (karena selain proses
patogenesis penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar
20% saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian).
Oleh karena untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik,
diperlukan pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah,
frekuensi nadi, frekuensi jantung dan napas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah
hipokondrium kanan dan epigastrium serta jumlah diuresis. Diuresisi diusahakan
2ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar hemoglobin, hematokrit dan jumlah trombosit
dapat digunakan untuk pemantauan pejalanan penyakit.1
Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi,
maka pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB/jam
dan kemudian dievaluasi setelah 20-30 menit. Bila nilai hematokrit meningkat
berarti perembesan plasma masih berlangsung maka pemberian cairan koloid
merupakan pilihan, tetapi bila hematokrit menurun, berarti terjaddi perdarahan
(internal bleeding) maka pada penderita diberikan transfusi darah segar
10ml/kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan.
Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui
sifat-sifat cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan
tetesan cepat 10-20ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan

33
tetap belum teratasi maka untuk memantau kecukupan caairan dilakukan
pemasangan kateter vena sentral dan pemberian koloid dapat ditambah hingga
jumlah maksimum 30ml/kgBB (maksimal 1-1,5ml/hari) dengan sasaran tekanan
vena sentral 15-18 mmH2O. Bila keadaan belum teratasi harus diperhatikan dan
dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia,
KID, infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan
target tetapi renjatan belum teratasi maka dapat diberikan obat
inotropik/vasopresor.1

34
Gambar 9. Penatalaksanaan Sindrom Syok Dengue pada dewasa

35
I. KOMPLIKASI
Komplikasi yang terjadi pada penderita dengue terutama terjadi pada
waktu dilakukan tindakan pengobatan terhadap Demam Berdarah Dengue dan
dengue shock syndrome.4
1. Komplikasi susunan saraf pusat. Komplikai pada SSP dapat berbentuk
konvulsi, kaku kuduk, perubahan kesadaran dan paresis. Kejang-kejang
kadang-kadang terlihat pada waktu fase demam pada bayi. Keadaan ini
mungkin akibat tingginya demam, karena pada pemeriksaan cairan
serebrospinal tidak terjadi kelainan.
2. Ensefalopati. Komplikasi neurologik ini terjadi akibat pemberian cairan
hipotonik yang berlebihan pada waktu dilakukan pengobatan terhadap
Demam Berdarah Dengue atau dengue shock syndrome, penderita
mengalami hiponatremia. Selain itu ensefalopati juga dapat disebabkan
oleh terjadinya koagulasi intravaskuler. Kematian akibat komplikasi
neurologik ini dilaporkan dari India, Indonesia, Malaysia, Myanmar ,
Thailand dan Puerto Rico.
3. Infeksi. Pneumonia, sepsis atau flebitis akibat pencemaran bakteri Gram-
negatif pada alat-alat yang digunakan pada waktu pengobatan, misalnya
pada waktu tranfusi atau pemberian infus cairan.
4. Overhidrasi. Pemberian cairan yang berlebihan dapat menyebabkan
terjadinya gagal pernapasan (respiratory failure) atau gagal jantung (heart
failure).
5. Gagal hati. Komplikasi yang terjadi pada DBD/DSS dilaporkan dari
Indoesia dan Thailand pada waktu terjadi epidemi oleh DEN-1, DEN-2
dan DEN-3. Biasanya gagal hati dijumpai bersama terjadinya ensefalopati.
6. Gagal ginjal. Gagal ginjal akut dan sindrom uremia hemolitik dapat
terjadi pada penderita yang sebelumnya telah menderita defisiensi glucose-
6-phosphate dehydrogenase (G6PD) dan hemoglobinopati.

36
J. INDIKASI UNTUK PULANG
Pasien dapat dipulangkan apabila telah terjadi perbaikan klinis sebagai berikut.11
1. Bebas demam minimal 24 jam tanpa menggunakan antipiretik.
2. Nafsu makan telah kembali.
3. Perbaikan klinis, tidak ada demam, tidak ada distres pernafasan, dan
nadi teratur.
4. Diuresis baik.
5. Minimum 2-3 hari setelah sembuh dari syok.
6. Tidak ada kegawatan napas karena efusi pleura, tidak ada asites.
7. Trombosit >50.000 /mm3. Pada kasus DBD tanpa komplikasi, pada
umumnya jumlah trombosit akan meningkat ke nilai normal dalam 3-5
hari.

K. PENCEGAHAN
Vaksin untuk pencegahan terhadap infeksi virus dan obat untuk penyakit
DB/DBD belum ada dan masih dalam proses penelitian, sehingga
pengendaliannya terutama ditujukan untuk memutus rantai penularan, yaitu
dengan pengendalian vektornya. Pengendalian vektor DBD di hampir di semua
negara dan daerah endemis tidak tepat sasaran, tidak berkesinambungan dan
belum mampu memutus rantai penularan. Hal ini disebabkan metode yang
diterapkan belum mengacu kepada data/informasi tentang vektor, disamping itu
masih mengandalkan kepada penggunaan insektisida dengan cara penyemprotan
dan larvasidasi.14

37
L. INFORMASI KHUSUS DBD
Disfungsi hepar adalah salah satu akibat dari infeksi dengue yang sering
muncul dalam bentuk hepatomegali dan peningkatan ringan-sedang kadar enzim
aminotransferase (SGOT dan SGPT). peningktan SGOT,SGPT pada pasien DHF
merupakan akibat dari cedera sel hepar dimana virus dengue menyerang sistem
retikuloendotelial dari penjamu.15

Pemberian kortikosteroid bertujuan untuk mencapai efek Kapsul


Imunomodulator upresif namun pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa
pemberian kortikosteroid pada pasien DBD tidak memiliki perbedaan
bermakna baik dari segi peningkatan trombosit, terjadinya syok dan
penyembuhan cepat dengan pasien yang tidak diberikan kortikosteroid. Salah
satu penelitian yang menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna adalah
penelitian yang dilakukan oleh fakultas kedokteran Oxford bekerja sama
dengan fakultas kedokteran Ho Chi Min Vietnam.16

38
BAB III
KESIMPULAN
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang banyak
ditemukan di sebagian besar wilayah tropis dan subtropis, terutama Asia
tenggara, Amerika tengah, Amerika dan Karibia. Host alami DBD adalah
manusia, agentnya adalah virus dengue yang termasuk ke dalam famili Flaviridae
dan genus Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4,
ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi, khususnya
nyamuk Aedes aegypti dan Ae. Albopictus yang terdapat hampir di seluruh
pelosok Indonesia. Masa inkubasi virus dengue dalam manusia (inkubasi
intrinsik) berkisar antara sampai 14 hari sebelum gejala muncul, gejala klinis
rata-rata muncul pada hari keempat sampai hari ketujuh, sedangkan masa
inkubasi ekstrinsik (di dalam tubuh nyamuk) berlangsung sekitar 8-10 hari.
Manifestasi klinis mulai dari infeksi tanpa gejala demam, demam dengue (DD)
dan DBD, ditandai dengan demam tinggi terus menerus selama 2-7 hari;
pendarahan diatesis seperti uji tourniquet positif, trombositopenia dengan jumlah
trombosit ≤ 100 x 109/L dan kebocoran plasma akibat peningkatan permeabilitas
pembuluh darah.
Infeksi dengue dapat terjadi asimtomatik dan simtomatik. Infeksi dengue
simtomatik terbagi menjadi undifferentiated fever (sindrom infeksi virus) dan
demam dengue (DD) sebagai infeksi dengue ringan; sedangkan infeksi dengue
berat terdiri dari demam berdarah dengue (DBD) dan expanded dengue syndrome
atau isolated organopathy. Penegakan diagnosis diperoleh dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pmeriksaan penunjang. Penatalaksanaan yang tepat dapat
memebrikan prognosis yan baik.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Suhendro. Demam Berdarah Dengue. In: Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. VI. Jakarta: Interna Publishing; 2014. p. 539–48.
2. Kasper D, Faucl A, Hauser S, Longo D, Jameson J, Harisson’s principles of
internal medicine, 19e2015.
3. World Health Organization. Comprehensive guidelines for prevention and
control of dengue and dengue haemorrhagic fever. Revised and expanded
edition. New Delhi: Regional office for South-East Asia; 2011.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam. Panduan Praktis Klinis.
Tropik Infeksu Demam Berdarah Dengue: Jakarta; 877
5. Aryu Candra . Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan
Faktor Risiko Penularan. Aspirator Vol. 2 No. 2 Tahun 2010 : 110 –119
6. World Health Organization. Dengue, guidelines for diagnosis, treatment,
prevention, and control. New edition, 2009. World Health Organization
(WHO) and Special Program for Research and Training in Tropical Diseases
(TDR). France: WHO; 2009.
7. World Health Organization. Dengue, guidelines for diagnosis, treatment,
prevention, and control. Geneva: World Health Organization; 1997.
8. Frans, Evisina Hanafiati. Patogenesis Infeksi Virus Dengue. Fakultas
Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma. Surabaya
9. Rezeki H, Sri. Hadinegoro, dkk. Departemen Kesehatan Direktorat Jendral
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. Tatalaksana
Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Edisi 3. Jakarta: Depkes RI; 2004
10. Sedjana. dr. Primal. Diagnosis Dini Penderita Demam Berdarah Dengue
Dewasa. Bul Jendele Epidemiol. 2010;2:22–23
11. Karyanti MR. Diagnosa dan Tatalaksana Terkini Dengue. Jakarta; 2011.
12. Osorio L, Ramirez M, Bonelo a, Villar LA, Parra B. Comparison of the
Diagnostic Accuracy of Commercial NS1- Based Diagnostic Test for Early
Dengue Infection. Virology Journal. 2010;7:1-10.

40
13. Taufik A, Yudhanto D, Wajdi F, Rohadi. Peranan Kadar Hematokrit, Jumlah
Trombosit dan Serologi IgG-IgM antiDHF dalam Memprediksi Terjadinya
Syok pada Pasien Demam Berdarah Dengue (DBD) di Rumah Sakit Islam
Siti Hajar Mataram. J Penyakit Dalam. 2007;8:105-111.
14. Sukowati, Prof. Supratman P. Masalah Vektor Demam Berdarah Dengue
(DBD) dan Pengendaliannya di Indonesia. Bul Jendele Epidemiol.
2010;2:26–30.
15. Souza LJ, Nogueira RMR, dkk. The Impact of dengue on liver function as
evaluated by aminotransferase levels. Brazilian Journal of infectious
Diseases. 2007;11(4);407-10.
16. Dong T. H. Tam, et al. Effect of shost course oral Corticosteroid Therapy in
Early Dengue Infection in Vietnamese Patient: A Randomized, Placebo-
Controlled Trial. Oxford University Press of behalf of the infectious diseases
society of America 2012.

41

Anda mungkin juga menyukai