Anda di halaman 1dari 23

ANEMIA

DEFENISI ANEMIA

Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah SDM,


kuantitas hemoglobin dan volume packed red blood cells (hematokrit) per 100 ml
darah. Dengan demikian, anemia bukan suatu diagnosis melainkan suatu cerminan
perubahan patofisiologik yang mendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang
seksama, pemeriksaa fisik, dan konfirmasi laboratorium.

Karena semua sistem organ dapat terkena, maka pada anemia dapat
menimbulkan manifestasi klinis yang luas, bergantung pada:

(1) kecepatan timbulnya anemia,


(2) usia individu,
(3) mekanisme kompensasi,
(4) tingkat aktivitasnya,
(5) keadaan penyakit yang mendasarinya, dan
(6) beratnya anemia.

Karena jumlah efektif SDM berkurang, maka pengiriman O2 ke jaringan


menurun. Kehilangan darah mendadak (30% atau lebih), seperti pada perdarahan,
mengakibatkan gejala-gejala hipovolemia dan hipoksemia, termasuk kegelisahan,
diaforesis (keringat dingin), takikardia, napas pendek, dan berkembang cepat jadi
kolaps sirkulasi atau syok. Namun berkurangnya massa SDM dalam waktu beberapa
bulan (bahkan pengurangan sebanyak 50%) memungkinkan mekanisme kompensasi
tubuh untuk beradaptasi, dan pasien biasanya asimtomatik, pada kerja fisik berat.
Tubuh beradaptasi dengan;

(1) meningkatkan curah jantung dan pernapasan, oleh karena itu meningkatkan
pengiriman O2 ke jaringan- jaringan oleh SDM,
(2) meningkatkan pelepasan O2 oleh hemoglobin,
(3) mengembangkan volume plasma dengan menarik cairan dari sela- sela
jaringan, dan
(4) redistribusi aliran darah ke organ-organ vital Guyton, 2001).
Salah satu tanda yang paling sering di kaitkan adalah pucat. Keadaan ini
umumnya diakibatkan dari berkurangnya volume darah, berkurangnya hemoglobin,
dan vasokontriksi untuk memaksimalkan pengiriman O2 ke organ-organ vital. Warna
kulit bukan merupakan indeks yang dapat dipercaya untuk pucat karena di pengaruhi
pigmentasi, kulit, suhu, dan kedalaman serta distribusi bantalan kapiler. Bantalan
kuku, telapak tangan, dan membran mukosamulut serta konjungtiva merupakan
indikator yang lebih baik untuk menilai pucat. Jika lipatan tangan tidak lagi berwarna
merah muda, hemoglobin biasanya kurang dari 8 gram.

Takikardia dan bising jantung mencerminkan beban kerja dan curah jantung
yang meningkat. Angina (nyeri dada), khususnya pada orang tua dengan stenosis
koroner, dapat disebabkan oleh iskemia miokardium. Pada anemia berat, gagal
jantung kongestif dapat terjadi karena otot jantung yang anoksis tidak dapat
beradaptasi terhadap beban kerja jantung yang meningkat. Dispnea (kesulitan
bernapas), napas pendek, dan cepat lelah waktu melakukan aktivitas
jasmanimerupakan manifestasi berkurangnya pengiriman O2. Sakit kepala, pusing,
pingsan dan tinitus(telinga berdengung) dapat mencerminkan berkurangnya oksigen
pada sistem saraf pusat. Pada anemia yang berat dapat juga timbul gejala-gejala
saluran cerna seperti anoreksia, mual, konstipasi atau diare, dan stomatitis (nyeri
pada lidah dan membran mukosa mulut); gejala umumnya disebabkan oleh keadaan
defisiensi zat besi.

ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI ANEMIA

Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan :


I. Etiopatogenesis
A. Gangguan pembentukan eritrosit di sumsum tulang
1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
a) Anemia defisiensi besi
b) Anemia defisiensi asam folat
c) Anemia defisiensi vitamin B12
2. Gangguan penggunaan besi
a) Anemia akibat penyakit kronik
b) Anemia sideroblastik
3. Kerusakan sumsum tulang
a) Anemia aplastik
b) Anemia mieloplastik
c) Anemia pada keganasan hematologi
d) Anemia diseritropoietik
e) Anemia pada sindrom mielodisplastik
4. Anemia akibat kekurangan eritropoietin
B. Anemia hemoragik
1. Anemia pasca perdarahan akut
2. Anemia akibat perdarahan kronik
C. Anemia hemolitik
1. Anemia hemolitik intrakorpuskular
a) Gangguan membran eritrosit (membranopati)
b) Gangguan enzim eritrosit (enzimopati)
 Anemia akibat defisiensi G6PD
c) Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
 Thalassemia
 Hemoglobinopati struktural : HbS, HbE, dll
2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskular
a) Anemia hemolitik autoimun
b) Anemia hemolitik mikroangiopati
c) Lainnya
D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan pathogenesis yang
kompleks

II. Gambaran morfologik (melalui indeks eritrosit atau hapusan darah tepi)
A. Anemia hipokromik mikrositik
Mikrositik berarti sel kecil, dan hipokromik berarti perwarnaan yang
berkurang. Karena warna berasal dari hemoglobin, sel-sel ini
mengandung hemoglobin dalam jumlah yang kurang dari normal
(penurunan MCV; penurunan MCHC). Keadaan ini umumnya
mencerminkan insufisiensi sintetis heme atau kekurangan zat besi,
keadaan sideroblastik, dan kehilangan darah kronis, atau gangguan
sintetis globin, seperti pada thalasemia. Thalasemia menyangkut
ketidaksesuaian jumlah rantai alfa dan beta yang disintetis, dengan
demikian tidak dapat terbentuk molekul hemogloin tetramer normal. bila
MCV<80fl dan MCH <27pg
B. Anemia normokromik normositik

SDM memiliki ukuran dan bentuk normal serta mengandung jumlah


hemoglobin normal (Mean Corpuscular Volume [MCV] dan Mean
CorpuscularHemoglobin Concentration [MCHC] normal atau normal
rendah). Penyebab-penyebab anemia jenis ini adalah kehilangan darah akut,
hemolisis, penyakit kronis yang meliputi infeksi, gangguan endokrin,
gangguan ginjal, kegagalan sumsum tulang, dan penyakit-penyakit infiltratif
metastatik pada sumsum tulang.
bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg

C. Anemia makrositik normokrom

SDM lebih besar dari normal tetapi normokromik karena konsentrasi


hemoglobin normal (MCV meningkat; MCHC normal). Keadaan ini
disebabkan oleh terganggunya atau terhentinya sintesis asam
deoksiribonukleat (DNA) seperti yang ditemukan pada defesiensi B12 atau
asam folat atau keduanya. Anemia normokromik dapat juga terjadi pada
kemoterapi kanker karena agen-agen mengganggu sintesis DNA.
bila MVC > 95 fl

Penggabungan penggunaan klasifikasi etiopatogenesis dan morfologi akan


sangat menolong dalam mengetahui penyebab anemia. Berikut ini klasifikasi anemia
berdasarkan morfologi dan etiologi :
I. Anemia hipokromik mikrositer
a. Anemia Defisiensi Besi
b. Thalasemia Mayor
c. Anemia akibat Penyakit Kronik
d. Anemia Sideroblastik

II. Anemia normokromik normositer


a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom mielodisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologik
III. Anemia makrositer
a) Bentuk megaloblastik
1. Anemia defisiensi asam folat
2. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
b) Bentuk non-megaloblastik
1. Anemia pada penyakit hati kronik
2. Anemia pada hipotiroidisme
3. Anemia pada sindrom mielodisplastik

PATOFISIOLOGI ANEMIA

I. Anemia Defisiensi Besi


Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan karena kekurangan
zat besi (Fe), yang disebabkan oleh beberapa hal berikut :
a. Kurangnya asupan Fe
 Diet tidak adekuat, misalnya karena rendahnya asupan besi total
dalam makanan atau bioavailabilitas besi yang dikonsumsi
kurang baik (makanan banyak serat, rendah daging, rendah
vitamin C)
 Gangguan absorpsi zat besi, misalnya pada gastrektomi, colitis
kronik, atau achlorhydria
b. Kehilangan Fe
 Perdarahan saluran cerna
 Perdarahan saluran kemih
 Hemoglobinuria
 Hemosiderosis pulmonari idiopatik
 Telangiektasia hemoragik herediter
 Gangguan hemostasis
 Infeksi cacing tambang
c. Meningkatnya kebutuhan Fe
 Bayi prematur
 Anak-anak dalam pertumbuhan
 Ibu hamil dan menyusui
 Laktasi

Defisiensi zat besi merupakan hasil akhir keseimbangan negatif zat besi
yang telah berlangsung lama. Terdapat tiga stadium defisiensi zat besi, yaitu :

1) Deplesi besi (iron depleted state)


Terjadi penurunan cadangan besi tubuh, tetapi penyediaan untuk
eritropoiesis belum terganggu. Pada fase ini terjadi penurunan serum
feritin, peningkatan absorpsi besi dari usus, dan pengecatan besi pada
apus sumsum tulang berkurang.
2) Iron deficient erythropoiesis
Cadangan Fe dalam tubuh kosong, tetap belum menyebabkan anemia
secara laboratorik karena untuk mencukupi kebutuhan terhadap besi,
sumsum tulang melakukan mekanisme mengurangi sitoplasmanya
sehingga normoblas yang terbentuk menjadi tercabik-cabik, bahkan
ditemukan normoblas yang tidak memiliki sitoplasma (naked nuclei).
Selain itu, kelainan pertama yang dapat dijumpai adalah peningkatan
kadar free protoporfirin dalam eritrosit, saturasi transferin menurun, total
iron binding capacity (TIBC) meningkat. Parameter lain yang sangat
spesifik adalah peningkatan reseptor transferin dalam serum.
3) Anemia defisiensi besi
Bila besi terus berkurang, eritropoiesis akan semakin terganggu, sehingga
kadar hemoglobin menurun diikuti penurunan jumlah eritrosit. Akibatnya
terjadi anemia hipokrom mikrositer. Pada saat ini, terjadi pula kekurangan
besi di epitel, kuku, dan beberapa enzim sehingga menimbulkan berbagai
gejala.

II. Anemia penyakit kronik


Merupakan anemia derajat ringan sampai sedang yang terjadi akibat
infeksi kronis, peradangan, trauma, atau penyakit neoplastik yang telah
berlangsung 1-2 bulan dan tidak disertai penyakit hati, ginjal, dan endokrin.
Jenis anemia ini ditandai dengan kelainan metabolisme besi, sehingga terjadi
hipoferemia dan penumpukan besi di makrofag. Anemia penyakit kronik
dapat disebabkan oleh beberapa penyakit atau kondisi, seperti infeksi kronik
(infeksi paru, endokarditis bakterial), inflamasi kronik (artritis reumatoid,
demam reumatik), penyakit hati alkoholik, gagal jantung kongestif, dan
idiopatik.
Secara garis besar, patogenensis anemia penyakit kronis dititik
beratkan pada 3 abnormalitas utama :
1) Ketahanan hidup eritrosit yang memendek akibat terjadinya lisis eritrosit
2) Adanya respon sumsum tulang akibat respon eritropoetin yang terganggu
atau menurun
3) Gangguan metabolisme berupa gangguan reutilisasi besi

Terdapatnya peradangan dapat mengacaukan interpretasi pemeriksaan


status besi. Proses terjadinya radang merupakan respon fisiologis tubuh
terhadap berbagai rangsangan termasuk infeksi dan trauma. Pada fase awal
proses inflamasi terjadi induksi fase akut oleh makrofag yang teraktivasi
berupa penglepasan sitokin radang seperti Tumor Necrotizing Factor (TNF)-
α, Interleukin (IL)-1, IL- 6 dan IL-8. Interleukin-1 menyebabkan absorbsi
besi berkurang akibat pengelepasan besi ke dalam sirkulasi terhambat,
produksi protein fase akut (PFA), lekositosis, dan demam. Hal itu dikaitkan
dengan IL-1 karena episode tersebut kadarnya meningkat dan berdampak
menekan eritropoesis. Bila eritropoesis tertekan, maka kebutuhan besi akan
berkurang, sehingga absorbsi besi di usus menjadi menurun. IL-1 bersifat
mengaktifasi sel monosit dan makrofag, menyebabkan ambilan besi serum
meningkat. TNF-α juga berasal dari makrofag dam berefek sama, yaitu
menekan eritropoesis melalui penghambatan eritropoetin. IL-6 menyebabkan
hipoferemia dengan menghambat pembebasan cadangan besi jaringan ke
dalam darah.
Pada respon fase akut sistemik diperlihatkan bahwa akibat induksi IL-
1, TNF-α, dan IL-6, maka hepatosit akan memproduksi secara berlebihan
beberapa PFA utama seperti C-reactive protein, serum amyloid A (SAA) dan
fibrinogen. Selain itu terjadi pula perangsangan hypothalamus yang berefek
menimbulkan demam serta perangsangan di sumbu hipothalmus-
kortikosteroid di bawah pengaruh adrenocorticotropic hormone (ACTH)
yang berefek sebagai akibat umpan balik negatif terhadap induksi PFA oleh
hepatosit. Selain CRP, SAA, dan fibrinogen, protein fase akut lain yang
berhubungan penting dengan metabolisme besi antara lain: apoferritin,
transferin, albumin dan prealbumin.
Pada proses infllamasi sintesis apoferritin oleh hepatosit dan
makrofag teraktivasi meningkat. Kadar fibrinogen meningkat 2–3 kali
normal, sedangkan transferin, albumin dan prealbumin merupakan protein
fase akut yang kadarnya justru menurun saat proses inflamasi.
Anemia penyakit kronis sering bersamaan dengan anemia defisiensi
besi dan keduanya memberikan gambaran penurunan besi serum. Oleh karena
itu penentuan parameter besi yang lain diperlukan untuk membedakannya.
Rendahnya besi di anemia penyakit kronis disebabkan aktifitas mobilisasi
besi sistem retikuloendotelial ke plasma menurun, sedangkan penurunan
saturasi transferin diakibatkan oleh degradasi transferin yang meningkat.
Kadar feritin pada keadaan ini juga meningkat melalui mekanisme yang
sama. Berbeda dengan anemia defisiensi, gangguan metabolisme besi
disebabkan karena kurangnya asupan besi atau tidak terpenuhinya kebutuhan
besi sebagai akibat meningkatnya kebutuhan besi atau perdarahan.

III. Anemia megaloblastik


Anemia megaloblastik adalah anemia yang disebabkan oleh abnormalitas
hematopoiesis dengan karakteristik dismaturasi nukleus dan sitoplasma sel
myeloid dan eritroid sebagai akibat gangguan sintesis DNA. Penyebab
anemia megaloblastik adalah :
1. Defisiensi asam folat
a. Asupan kurang
 Gangguan nutrisi : alkoholisme, bayi premature, orang
tua, hemodialisis, anoreksia nervosa.
 Malabsorpsi : alkoholisme, gastrektomi, reseksi usus
halus, Crohn’s disease, scleroderma, obat anti konvulsan,
hipotiroidisme.
b. Peningkatan kebutuhan, misalnya pada kehamilan, anemia
hemolitik, keganasan, hipertiroidisme, dermatitis eksfoliativa,
eritropoiesis yang tidak efektif.
c. Gangguan metabolisme asam folat, misalnya akibat obat-obatan
penghambat dihidrofolat reduktase (metotreksat, pirimetamin,
triamteren, pentamidin, trimetoprim), alkoholisme, dan defisiensi
enzim.
d. Penurunan cadangan asam folat di hati, misalnya pada
alkoholisme, sirosis non alkoholik, dan hepatoma.
e. Obat-obatan yang mengganggu metabolism DNA, seperti
antagonis purin, antagonis pirimidin, prokarbazin, hidroksiurea,
acyclovir, dan zidovudin.
f. Gangguan metabolic, misalnya pada asiduria urotik herediter dan
sindrom Lesch-Nyhan.
2. Defisiensi vitamin B12 (kobalamin)
a. Asupan kurang, misalnya pada vegetarian.
b. Malabsorpsi
 Dewasa : anemia pernisiosa, gastrektomi, gastritis
atrofikan, Crohn’s disease, parasit, scleroderma, obat-
obatan.
 Anak : anemia pernisiosa, gangguan sekresi faktor
intrinsic lambung, Imerslund-Grasbeck syndrome.
c. Gangguan metabolisme seluler, misalnya akibat defisiensi enzim,
abnormalitas protein pembawa kobalamin (transkobalamin II),
paparan NO yang berlangsung lama.

Defisiensi kobalamin menyebabkan defisiensi metionin intraseluler,


kemudian menghambat pembentukan folat tereduksi dalam sel. Folat intrasel
yang berkurang akan menurunkan prekurson tidimilat yang selanjutnya akan
mengganggu sintesis DNA. Model ini disebut sebagai methylfolate trap
hypothesis karena defisiensi kobalamin mengakibatkan penumpukan 5-metil
tetrahidrofolat.
Defisiensi kobalamin yang berlangsung lama mengganggu perubahan
propionate menjadi suksinil CoA yang mengakibatkan gangguan sintesis
myelin pada susunan saraf pusat. Proses demyelinisasi ini menyebabkan
kelainan medulla spinalis dan gangguan neurologis. Sebelum diabsorpsi,
asam folat harus diubah menjadi monoglutamat. Bentuk folat tereduksi
(tetrahidrofolat, FH4) merupakan koenzim aktif. Defisiensi folat
mengakibatkan penurunan FH4 intrasel yang akan mengganggu sintesis
tidimilat yang selanjutnya akan mengganggu sintesis DNA.
Ketidakmampuan sel untuk mensintesis DNA dalam jumlah yang
memadai akan memperlambat reproduksi sel, tetapi tidak menghalangi
kelebihan pembentukan RNA oleh DNA dalam sel-sel yang berhasil
diproduksi. Akibatnya, jumlah RNA dalam setiap sel akan melebihi normal,
menyebabkan produksi hemoglobin sitoplasmik dan bahan-bahan lainnya
berlebihan, dan membuat sel menjadi besar.

IV. Anemia hemolitik


Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan oleh peningkatan destruksi
eritrosit yang melebihi kemampuan kompensasi eritropoiesis sumsum tulang.
Pada prinsipnya anema hemolitik dapat terjadi akibat defek molekular
hemoglobinopati atau enzimopati, abnormalitas struktur dan fungsi membran,
dan faktor lingkungan seperti trauma mekanik atau autoantibodi. Klasifikasi
anemia hemolitik berdasarkan etiologinya :
1. Anemia hemolitik herediter
a. Enzimopati
b. Hemoglobinopati
c. Membranopati
2. Anemia hemolitik didapat
a. Anemia hemolitik imun
b. Mikroangiopati
c. Infeksi

Hemolisis dapat terjadi di ekstravaskular dan intravaskular. Sebagian


besar kondisi hemolitik terjadi di ekstravaskular, dimana eritrosit
disingkirkan oleh makrofag di sistem retikuloendotelial, terutama limpa. Pada
hemolisis intravaskular, sel darah merah akan terdestruksi dalam sirkulasi,
sehingga hemoglobin terlepas kemudian terikat pada haptoglobin plasma,
tetapi mengalami saturasi. Hb plasma bebas ini difiltrasi oleh glomerulus
ginjal dan masuk ke urin, meskipun sebagian kecil direabsorpsi oleh tubulus
renal. Dalam sel tubulus renal, Hb pecah dan terdeposit di sel sebagai
hemosiderin. Sebagian Hb plasma yang bebas dioksidasi menjadi
methemoglobin, yang terpecah lagi menjadi globin dan Heme-Fe.
Hemopexin plasma mengikat heme-Fe, namun jika kapasitas
pengikatannya berlebihan, maka heme-Fe bersatu dengan albumin
membentuk metheamalbumin. Hati berperan penting dalam mengeliminasi
Hb yang terikat dengan haptoglobin dan haemopexin dan sisa Hb bebas.
V. Anemia aplastik
Anemia aplastik merupakan anemia dengan karakteristik adanya pansitopenia
disertai hipoplasia / aplasia sumsum tulang tanpa adanya penyakit primer
yang mensupresi atau menginfiltrasi jaringan hematopoietik. Etiologi anemia
aplastik adalah sebagai berikut :

1. Didapat
 Zat kimia dan Fisika
o Zat yang selalu menyebabkan aplasia pada dosis tertentu :
radiasi, bensen, arsen, sulfur, nitrogen mustard, antimetabolit,
antimitotik : kolsisin, daunorubisin, adriamisin
o Zat yang kadang-kadang mnyebabkan hipoplasia: kloramfenicol,
kuinakrin, metilfenil, hidantoin, trimetadion, fenilbutazon,
senyawa emas
 Infeksi virus : hepatitis, Epstein Barr, HIV, Dengue
 Infeksi mikobakterium
 Idiopatik
2. Familial : Sindroma Fanconi
Kegagalan produksi eritrosit, leukosit, dan trombosit merupakan
kelainan dasar pada anemia aplastik, yang menurut penelitian disebabkan
oleh sel T sitotoksik yang teraktivasi. Sel T tersebut akan menghasilkan
interferon gamma (IFN-γ) dan tumor necrosis factor (TNF) yang bersifat
menginhibisi langsung sel-sel hematopoietik.
Supresi hematopoietik oleh IFN-γ dan TNF juga merangsang reseptor
Fas pada sel hematopoietik CD34 sehingga menghasilkan 3 proses :
1. Perangsangan reseptor Fas akan menginduksi terjadinya apoptosis.
2. Terjadi induksi produksi nitric oxide synthetase dan nitrit oksida
oleh sumsum tulang sehingga terjadi sitotoksisitas yang
diperantarai system imun.
3. Perangsang reseptor Fas akan mengaktivasi jalur intraseluler yang
menyebabkan penghentian siklus sel.
Sel T sitotoksik juga menghasilkan interleukin-2 (IL-2) yang berfungsi
mengaktifkan klon-klon sel T yang kemudian juga akan mengeluarkan TNF dan
IFN-γ dan menginhibisi hematopoietik.
MANIFESTASI KLINIS

Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia simstomatik) apbila kadar


hemoglobin telah turun dibawah 7 g/dL. Berat ringannya gejala umum anemia
tergantung pada : derajat penurunan hemoglobin, kecepartan penurunan hemoglobin,
usia, adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya. Gejala anemia dapat
digolongkan menjadi tiga jenis gejala, yaitu:
a) Gejala umum anemia
Disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia organ target
serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar
hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah
penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu ( HB<7). Sindrom anemia
terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus),
mata berkunang – kunang, kaki terasa dingin, sesak napas dan sispepsia.
Pada pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang mudah dilihat pada
konjunctiva, mukosa mulut, telapak tangn dan jaringan dibawah kuku.
Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh
penyakit di luar anemia dan tidak sensitif karena timbul setelah
penurunan hemoglobin yang berat (Hb <7 g/dL).
b) Gejala khas masing-masing anemia
Gejala ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia, sebagai contoh :
 Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis
angularis, dan kuku sendok (koilonychia).
 Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologik pada
defisiensi vitamin B12.
 Anemia hemolitik : ikterus, splenomegali dan hepatomegali.
 Anemia aplastik : perdarahan dan tanda-tanda infeksi.
c) Gejala penyakit dasar
Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia
sangat bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Contohnya,
pada anemia akibat infeksi cacing tambang dapat ditemukan keluhan sakit
perut, pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak tangan.
DIAGNOSIS ANEMIA

Penegakan diagnosis anemia dapat ditentukan melalui anamnesa,


pemeriksaan fisik, dan pemerikksaan penunjang. Dari anamnesa dan pemeriksaan
fisik dapat ditemukan tanda seperti yang tertera di bagian manifestasi klinis.
Sementara untuk pemeriksaan penunjang dapat dilakukan beberapa macam
pemeriksaan yang dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Sediaan apus darah tepi
 Ukuran sel
 Anisositosis
 Poikilositosis
 Polikromasia
Sediaan apusan darah tepi akan memberikan informasi yang penting apakah
ada gangguan atau defek pada produksi sel darah merah. Istilah anisositosis
menunjukkan ukuran eritrositnya bervariasi, sedangkan poikilositosis
menunjukkan adanya bentuk dari eritrosit yang beraneka ragam.
2. Hitung retikulosit
Pemeriksaan ini merupakan skrining awal untuk membedakan etiologi
anemia. Normalnya, retikulosit adalah sel darah merah yang baru dilepas dari
sumsum tulang. Retikulosit mengandung residual RNA yang akan
dimetabolisme dalam waktu 24 -36 jam (waktu hidup retikulosit dalam
sirkulasi). Kadar normal retijulosit 1 – 2% yang menunjukkan penggantian
harian sekitar 0,8 – 1% dari jumlah sel darah merah isirkulasi.
Indeks retikulosit merupakan perhitungan dari produksi sel darah merah.
Nilai retikulosit akan disesuaikan dengan kadar hemoglobin dan hematrokit
pasien berdasarkan usia, gender, serta koreksi lain bila ditemukan pelepasan
retikulosit prematur (polikromasia). Hal ini disebabkan karena waktu dari
retikulosit premature lebih panjang sehingga dapat menghasilkan nilai
retikulosit yang seolah olah tinggi. Faktor koreksi HT 35% : 1,5 HT 25%:2,0
HT 15% : 2,5.
3. Persediaan dan penyimpanan besi
 Kadar Fe serum (N: 9 -27 µmol/liter)
 Total iron binding capacity (N: 54 – 64 µmol/liter)
 Feritin serum (N: perempuan : 30 µmol/liter, laki –laki : 100
µmol/liter)
Saturasi transferin didapatkan dari pembagian kadar Fe serum dengan TIBC
dikali 100 ( N: 25 – 50%). Pada pengukuran kadar Fe plasma dan persen
saturasi transferin, terdapat suatu variasi diurnal dengan puncaknya pada
pukul 09.00 dan pukul 10.00.
Serum feritin digunakan untuk menilai cadangan total besi tubuh. Namun,
feritin jga merupakan suatu rekatan fase akut, dan pada keadaan inflamasi
baik akut maupun kronis, kadarnya dapat meningkat.
4. Pemeriksaan sumsung tulang
Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menilai apakah ada gangguan pada
sumsum tulang misalnya yelofibrosis, gangguan pematangan, atau penyakit
infiltratif. Peningkatan atau penurunan perbandingan dari suatu kelompok sel
(myeloid atau eritroid) dapat ditemukan dan dihitung jenis sel –sel berarti
pada sumsum tulang ( ratio eritroit dan granuloid).
Pemeriksaan sumsung tulang dibagi menjadi 2 cara:
Aspirasi : EG ratio, Morfologi sel, Pewarnaan Fe
Biopsi : Selularitas, Morfologi
5. Pemeriksaan complete blood count (CBC )
Selain dilihat dari kadar hemoglobin dan hematokrit, indeks eritrosit dapat
digunakan untuk menilai abnormalitas ukuran eritrosit dan defek sibtesa
hemoglobin. Bila MCV < 80, maka disebut mikrositosis dan bila >100 dapat
disebut sebagai makrositosis. Sedangkan MCH dan MCHC dapat menilai
adanya defek dalam sintesa hemoglobin (hipokromia).
Kriteria diagnosa anemia :
I. Anemia defisiensi besi menurut WHO
 Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia
 Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata 31% ( normal 32-35%)
 Kadar Fe serum < 50 µg/dL (normal 80 – 180 µg/dL)
 Saturasi transferin < 15% (normal 20 – 50%)
Kriteria ini harus dipenuhi, paling sedikit nomor 1,3, dan 4. Tes yang paling
efisien untuk mengukur cadangan besi tubuh yaitu feritin serum. Bila sarana
terbatas, diagnosa dapat ditegakkan berdasarkan: anemia tanpa perdarahan,
tanpa organomegali, gambaran darah tepi, mikrositik, hipokromik,
anisositosis, sel target, respons terhadap pemberian terapi besi.
II. Anemia penyakit kronik
Diagnosis untuk anemia akibat penyakit kronik dibuat bila:
 Dijumpai anemia ringan sampai sedang pada setting penyakit dasar
yang sesuai ( seperti disebutkan pada tabel 3-4 di depan)
 Anemia hipokromik mikrositer ringan atau normokromik normositer
 Besi serum menurun disertai dengan TIBC menurun dengan cadangan
besi sumsum tulang masih positif
 Dengan menyingkirkan adanya gagal ginjal kronik, penyakit hati kronik
dan hipotiroid

III. Anemia megaloblastik


Diagnosis anemia megaloblastik dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan klinik
dimana terjadi anemia, makrositer pada sarah tepi yang disertai sel
megaloblast dalam sumsum tulang. Pada defisiensi vitamin B 12 dijumpai
gejala neurologik, sedangkan pasa defisiensi asam folat tidak dijumpai gejala
neurologik.

IV. Anemia hemolitik


Penegakan anemia hemolitik dilakukan dalam dua tahap, yaitu menentukan
adanya anemia hemolitik bila terdapat anemia yang disertai dengan tanda-
tanda destruksi eritrosit, dan/atau tanda tanda peningkatan eritropoesis.
Sedangkan menurut wintrobe, memberikan petunjuk praktis anemia hemolitik
patut dicurigai bila didapatkan:
 Tanda tanda destruksi eritrosit berlebihan bersamaan dengan tanda-
tanda peningkatan eritropoiesis. Hal ini ditandai oleh anemia, retikulosis
dan peningkatan bilirubin indirek dalam darah. Apabila tidak dijumpai
tanda perdarahan ke dalam rongga tubuh atau jaringan maka didiagnosis
anemia hemolitik dapat ditegakkan.
 Anemia persisten disertai retikulositosis tanpa adanya tanda-tanda
perdarahan yang jelas. Jika perdarahan dan pemulihan anemia defisiensi
akibat terapi dapat disingkirkan, diagnosis anemia hemolitik dapat
ditegakkan.
 Apabila terdapat penurunan hemoglobin >1 g/dL dalam waktu satu
minggu serta perdarahan akut dan hemodelusi dapat disingkirkan maka
anemia hemolitik dapat ditegakkan.
 Aapabila dijumpai hemoglobinuria atau tanda hemolisis intravaskuler
lain.
Menentukan penyebab spesifik anemia hemolitik dimulai dari anamnesis
yang teliti, pemeriksaan apusan darah, dan tes Coombs. Pasien dapat
dikelompokkan menjadi lima kelompok :
a) Kasus dengan diagnosis yang sudah jelas karena adanya pemaparan
terhadap infeksi, bahan kimia, dan bahan fisik.
b) Kasus dengan tes Coombs direk positif ditetapkan sebagai anemia
imunohemolitik.
c) Kasus dengan anemia sferositik disertai tes Coombs negatif.
d) Kaasus dengan kelainan morfologi eritrosit lain seperti yang
menjurun pada thalasemia.
e) Kasus tanpa kelainan morfologi yang khas dan tes Coombs negatif
memerlukan suatu baterai tes penyaring seperti elektroforesis
hemoglobin.

V. Anemia aplastik
Diagnosa anemia aplastik dibuat berdasarkan adanya pansitopenia atau
bisitopenia di darah tepi dengan hipoplasia sumsum tulang, serta dengan
menyingkirkan adanya infiltrasi atay supresi pada sumsum tulang. Kriteria
diagnosis anemia aplastik menurut international agranulocytosis and aplastic
anemia study group (IAASG) adalah satu dari tiga sebagai berikut :
 Hemoglobin kurang dari 10 gd/dL atau hematokrit kurang dari 30%
 Trombosit kurang dari 50x109//L
 Leukosit kurang dari 3,5 x 109/L atau netrofil kurang dari 1,5 x 10
dengan retikulosit <30x109/l (<1%).
Dengan gambaran sumsum tulang (harus ada spesimen adekuat) : penurunan
selularitas dengan hilangnya atau menurunnya semua sel hematopoietik atau
selularitas normal oleh hiperplasia eritroid fokal dengan depleso seri
granulosit atau infiltrasi neoplastik. Tidak adanya fibrosis yang bermakna
atau infiltrasi neoplastik.
Pansitopeni karena obat sitostatika atau radiasi terapeutik harus diesklusi.
Setelah diagnosa ditegakkan, perlu dilakukan penentuan derajat penyakit dari
anemia apalstik yang berguna untuk menentukan strategi terapi. Kriteria yang
diapakai pada umumnya ialah kriteria Camitta et al. Yang tergolong anemia
apalstik berat (severe aplastic anemia) bial memenuhi kriteria paling sedikit
dua dari tiga :
 Granulosit < 0,5 x 109 /L
 Trombosit < 20 x 109 /L
 Corrected reticulocte <1%
Selularitas sumsum tulang tulang < 25% atau selularitas < 50% dengan <
30% sel sel hematopoietik. Tergolong anemia aplastik sangat berat bila
netrofil < 0,2 x 109 /L.

TATALAKSANA ANEMIA

I. Anemia defisiensi besi


Prinsip penatalaksanaan anemia defisiensi besi adalah mengetahui
faktor penyebab dan mengatasinya serta memberikan terapi penggantian
dengan preparat besi. Sekitar 80-85% penyebab anemia defisiensi besi dapat
diketahui sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan tepat. Pemberian
preparat Fe dapat secara peroral atau parenteral. Pemberian peroral lebih
aman, murah dan sama efektifnya dengan pemberian secara parenteral.
Pemberian parenteral dilakukan, pada pendeita yang tidak dapat memakan
obat peroral atau kebutuhan besinya tidak terpenuhi secara peroral karena ada
gangguan pencernaan. Cara pemberian preparat besi :
a) Preparat besi peroral :
Dosis besi elemntal yang dianjurkan :
 Bayi berat lahir normal dimulai sejak usia 6 bulan, dianjurkan 1
mg/KgBB/hari
 Bayi 1,5 – 2,0 Kg, 2mg/KgBB/hari, diberikan sejak usia 2 minggu
 Bayi 1,0 – 1,5 Kg, 3 mg/KgBB/hari diberikan sejak usia 2 minggu
 Bayi < 1 Kg, 4 mg/KgBB/hari, ddiberikan sejak usia 2 minggu
Untuk mendapatkan respon pengobatan dosis besi yang dipakai 4 -6
mg/KgBB/hari. Dosis obat dihitung berdasarkan kandungan besi yang ada
dalam garam ferous maupun feri. Garam ferous sulfat mengandung besi
sebanyak 20%. Dosis obat yang terlalu besar akan menimbulkan efek
samping pada saluran cerna dan tidak memberikan efek penyembuhan
yang lebih cepat. Obat diberikan 2 – 3 dosis sehari. Preparat besi ini harus
terus diberikan selama 2 bulan setelah anemia pada penderita teratai.
Respon terapi pemberian preparat besi dapat dilihat secara klinis dan dari
pemeriksaan laboratorium.
Preparat yang tersedia, yaitu: ferrous sulphat ( sulfat ferosus) :
preparat pilihan pertama ( murah dan efektif). Dosis 3 x 200 mg. Ferrous
gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, dan ferrous succinate, harga
lebih mahal, tetapi efektivas dan efek samping bhampir sama.
b) Preparat besi parenteral
Pemberian besi secara parenteral melalui dua cara yaitu secara
intramuskular dalam dan intravena pelan. Efek samping yang ditimbulkan
dapat berbahaya, yaitu reaksi anafilakksis, flebitis, sakit kepala, flushing,
mual, muntah, nyeri perut, dan sinkop. Indikasi pemberian parenteral:
intoleransi oral berat, kepatuhan berobat kurang, kolitis ulseratif, perlu
peningkatan Hb secara cepat (misal preoperasi, hamil trimester akhir).
Kemampuan menaikkan kadar Hb tidak lebih baik dibanding peroral.
Preparat yang sering digunakan adalah dekstran besi. Larutan ini
mengandung 50 mg besi/ml. Dosis berdasarkan :
Kebutuhan besi (mg) = (15-Hb sekarang) x BB(Kg) x 3
Preparat yang tersedia : iron dextran complex, iron sorbitol citric acid
complex.

II. Anemia Penyakit Kronik


Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam anemia penyakit kronik
berupa:
 Jika penyakit dasar dapat diobati dengan baik, anemia akan sembuh
dengan sendirinya.
 Anemia tidak memberi respons pada pemberian besi, asam folat, atau
vitamin B 12.
 Transfusi jarang diperlukan karena derajat annemia ringan.
 Sekarang pemberian eritropoetin terbukti dapat menaikkan
hemoglobin, tetapi harus diberikan terus menerus.
Jika anemia akibat penyakit kronik disertai defisiensi besi pemberian preparat
besi akan meningkatkan hemoglobin, tetapi kenaikan akan berhenti setelah
hemoglobin mencapai kadar 9 – 10 g/dL.

III. Anemia megaloblastik


Terapi subsitusi/supplement
 Penyebab anemia megaloblastik tersering pada anak adalah defisiensi
asam folat. Terapi dapat digunakan dengan pemberian asam folat.
 Asam folat, diberikan 5 mg/hari per oral selama 4 bulan atau
parenteral dan vitamin C 200 mg/hari.
 Vitamin B12 (bila pemberian terapi asam folat gagal) 15-30 µgi,
diberikan 3 -5 kali/minggu sampai Hb normal, ppada anak besar dapat
diberikan 100 µg. Bila perlu diteruskan pemberian vitamin B12 tiap
bulan.
 Pengobatan penyakit kausal/penyakit primer.
 Transfusi darah bila terdapat indikasi: gagal jantung yang
mengancam, menghadapi tindakan operatif  darah lengkap dosis
10-20 ml/KgBB/hari, PRC pada penderita tanpa perdarahan, whole
blood bila ada kehilangan volume darah, dosis disesuaikan banyaknya
darah yang hilang.
Respons terhadap terapi: retikulosit mulai naik hari 2 -3 dengan puncak pada
hari 7 – 8. Hb harus naik 2 – 3 g/dL tiap minggu.

IV. Anemia hemolitik


Tergantung etiologinya :
a) Anemia hemolitik autoimun :
 Glukokortikoid : prednison 40 mg/m2 luuas permukaan tubuh
(LPT)/hari.
 Splenektomi : pada kausa yang tidak berespon dengan pemberian
glukoortikoid.
 Imunosupresif : pada kasus gagal steroid dan tidak memungkinkan
splenektomi. Obat imunosupresif diberikan selama 6 bulan, kemudian
tappering off, biasanya dikombinasi dengan Prednison 40 mg/m2 .

dosis prednison diturunkan bertahap dalam waktu 3 bulan.


 Azatioprin : 80mg/m2/hari
 Siklofosfamid : 60 – 75 mg/m2/hari
 Obati penyakit dasar : SLE, infeksi, malaria, keganasan.
 Stop obat-obatan yang diduga menjadi penyebab
b) Kelainan kongenital, misalnya thalasemia :
 Transfusi berkala, pertahankan Hb 10 gr%
 Desferal untuk mencegah penumpukan besi. Diberikan bila serum
Feritin mencapai 1000 µg/dL biasanya setelah transfusi ke 12. Dosis
inisial 20 mg/KgBB, diberikan 8 – 12 jam infus SC di idnding anterior
abddomen, selama 5 hari/minggu. Diberkan bersamaan dengan
vitamin C oral 100 – 200 mg untuk meningkatkan ekskresi Fe. Pada
keadaan penumpukan Fe berat terutama disertai dengan komplikasi
jantung dan endokrin, deferoxamine diberikan 50 mg/KgBB secara
infuse kontinue IV.

V. Anemia aplastik
Secara garis besarnya terapi untuk anemia aplastik atas:
 Terapi kausal
 Terapi suportif, dengan menghindari kontak dengan penderita infeksi,
isolasi, menggunakan sabun antiseptik, sikat gigi lunak, obat peunak
buang ait besar, pencegahan menstruasi obat anovulator.
 Terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang : terapi untuk
merangsang pertumbuhan sumsum tulang, berupa :
 Anabolik steroid  dapat diberikan oksimetolon atau stanozol.
Oksimetolon diberikan dlam dosis 2 -3 mg/KgBB/hari. Efek terapi
tampak setelah 6 – 12 minggu.
 Rh GM-CSF (rekombinan Human Granulocyte-Macrophage Colony
Stimulating Factor) digunakan untuk meningkatkan jumlah neutrofil,
tetapi harus diberikan terus menerus. Eritropoietin juga dapat
diberikan untuk mengurangi kebutuhan transfusi sel darah merah.
 Kortikosteroid : prednison 1 -2 mg/KgBB/hari diberikan maksimum 3
bulan. Atau ada yang memberikan 60 – 100 mg/hari, namun jika
dalam 4 minggu tidak ada respons sebaiknya dihentikan karena
memberikan efek samping yang serius.
 Terapi definitif yang terdiri atas :
 ATG (anti Thymocyte Globulin)
Dosis 10 – 20 mg /KgBB/hari, diberikan selama 4 – 6 jam dalam
larutan NaCl dengan filter selama 8 – 14 hari. Untuk mencegah serum
sickness, diberikkan Prednison 40mg/m2/hari selama 2 minggu,
kemudian dilakukan tappering off.
 Cyclosporin A
Dosis 3 – 7 mg/KgBB/hari dalam 2 dosis, penyesuaian dosis
dilakukan setiap mingggu untuk mempertahankan kadar dalam darah
400-800 mg/ml. pengobatan diberikan miimal selama 3 bulan, bila
ada respon, diteruskan sampai respon maksimal, kemudian dosis
diturunkan dalam beberapa bulan.
 Kombinasi ATG dan Cyclosporin A
 Transplantasi sumsum tulang  terapi yang memberikan harapan
kesembuhan, tetapi biayanya sangat mahal, memerlukan peralatan
canggih, serta adanya kesulitan dalam mencari donor yang
kompatibel. Transplantasi sumsum tulang, yaitu: merupakan pilihan
untuk kasus berumur di bawah 40 tahun, diberikan siklosporin A
untuk mengatasi GvHD (graft versus host disease), memberikan
kesembuhan jangka panjang pada 60 – 70% kasus, dengan
kesembuhan komplit.
 Transfusi : diberikan PRC jika Hb < 7 g/dL atau ada tanda payah jantung
atau anemia yang sangat simtomatik. Koreksi sampai 9 – 10 g%, tidak
perlu sampai Hb normal, karena akan menekan eritropoesis internal.
 Trombosit  profilaksis untuk penderita dengan trombosit < 10.000–
20.000/mm3. Bila terdapat infeksi, perdarahan, atau demam, maka
diperlukan transfusi pada kadar trombosit yang lebih tinggi.
 Granulosit  tidak bermanfaat sebagai profilaksis. Dapat
dipertimbangkan pemberian 1 x 1010 neutrofil selama 4 – 7 hari pada
infeksi yang tidak berespon dengan pemberian antibiotik.
PROGNOSIS

Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya karena kekurangan besi saja
dan diketahui penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat.
Gejala anemia dan manifestasi klinis lainnya akan membaik dengan pemberian
preparat besi. Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan, perlu dipertimbangkan
beberapa kemungkinan sebagai berikut :
 Diagnosis salah
 Dosis obat tidak adekuat
 Preparat Fe yang tidak tepat dan kadaluarsa
 Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak
berlangsung menetap
 Penyakit yang mempengaruhi absorbsi dan pemakaian besi
Pada anemia aplastik, prognosis tergantung pada tingkatan hipoplasia, makin
berat prognosis semakin jelek, pada umumnya penderita meninggal karena infeksi,
perdaraham atau akibat dari komplikasi transfusi. Prognosa dari anemia aplastik akan
menjadi buruk bila ditemukan 2 dari 3 kriteria berupa jumlah neutrofil <500/µL,
jumlah platelet <20000/µL, andcorrected reticulocyte count <1% ( atau absolute
reticulocyte count < 60000/µL). Perjalanan penyakit bervariasi, 25% penderita
bertahan hidup selama 4 bulan, 25% selama 4 – 12 bulan, 35% selama lebih dari 1
tahun, 10-20% mengalami perbaikan spontan (parsial/komplit).
DAFTAR PUSTAKA

1. Sylvia A.P Patofiiologi, Sel Darah Merah. Edisi 4 EGC; 1994


2. Aru W. Sudoyo. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi kelima.
Jakarta. Interna Publishing
3. Bakta, IM. 2007. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta. Penerbit Buku
Kedokteran EGC
4. Mansjoer, Arif . et all. 2007. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi Ketiga.
Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC
5. Sherwood L, dkk. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, edisi 6. Jakarta :
EGC, 2011

Anda mungkin juga menyukai