Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

MENINGITIS TUBERKULOSIS PADA ANAK

Disusun untuk Melaksanakan Tugas Kepaniteraan Klinik Lab/SMF


Ilmu Kesehatan Anak RSD dr. Soebandi Jember

Disusun oleh:
Hazbina Fauqi Ramadhan
NIM 142011101088

Dokter Pembimbing:
dr. H. Ahmad Nuri, Sp.A
dr. B. Gebyar Tri Baskara, Sp.A
dr. Saraswati, Sp.A
dr.Lukman Oktadianto, Sp.A
dr. Ali Shodikin, M.Kes, Sp.A

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER


SMF/LAB ILMU KESEHATAN ANAK
RSD DR. SOEBANDI JEMBER
2018
REFERAT
MENINGITIS TUBERKULOSIS PADA ANAK

HALAMAN JUDUL

Disusun untuk Melaksanakan Tugas Kepaniteraan Klinik Lab/SMF


Ilmu Kesehatan Anak RSD dr. Soebandi Jember

Oleh :
Hazbina Fauqi Ramadhan
142011101088

Pembimbing :
dr. H. Ahmad Nuri, Sp.A
dr. B. Gebyar Tri Baskara, Sp.A
dr. Saraswati, Sp.A
dr.Lukman Oktadianto, Sp.A
dr. Ali Shodikin, M.Kes, Sp.A

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER


SMF/LAB ILMU KESEHATAN ANAK
RSD DR. SOEBANDI JEMBER
2018

2
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL............................................................................................i
HALAMAN JUDUL..............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB 1. PENDAHULUAN.....................................................................................4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................6
2.1 Anatomi dan Fisiologi...............................................................................6
2.2 Definisi .....................................................................................................7
2.3 Etiologi .....................................................................................................8
2.4 Epidemiologi.............................................................................................8
2.5 Patofisiologi...............................................................................................9
2.6 Manifestasi Klinis....................................................................................13
2.7 Kriteria Diagnosis....................................................................................16
2.8 Pemeriksaan Penunjang...........................................................................19
2.9 Pengobatan .............................................................................................19
2.10 Komplikasi..............................................................................................22
2.11 Prognosis.................................................................................................22
BAB 3. KESIMPULAN.......................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................25

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Berbagai penyakit dapat menyerang sistem saraf pusat. Salah satunya
adalah Meningitis, meningitis merupakan suatu peradangan pada selaput otak.
Meningitis dapat menyerang berbagai usia dari bayi, anak-anak, dan dewasa muda
merupakan golongan usia yang mempunyai resiko tinggi terkena
meningitis.2Penyebab meningitis bisa terjadi oleh karena infeksi Bakteri,
Tuberkulosis, Virus, dan Fungus.
Salah satu penyebab meningitis adalah Tuberkulosis (TB). Tuberkulosis
merupakan penyebab kematian utama yang disebabkan oleh infeksi adalah
Tuberkulosis (TB). TB masih merupakan ancaman bagi penduduk Indonesia, pada
tahun 2004, sebanyak seperempat juta orang bertambah penderita baru dan sekitar
140.000 kematian setiap tahunnya. Sebagian besar penderita TB adalah penduduk
yang berusia produktif antara 15-55 tahun, dan penyakit ini merupakan penyebab
kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernafasan akut pada
seluruh kalangan usia.1
Pemerintah melalui Program Nasional Pengendalian TB telah melakukan
berbagai upaya untuk menanggulangi TB, yakni dengan strategi DOTS (Directly
Observed Treatment Shortcourse). World Health Organization (WHO)
merekomendasikan 5 komponen strategi DOTS yakni :
 Tanggung jawab politis dari para pengambil keputusan (termasuk
dukungan dana).
 Diagnosis TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.
 Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek
dengan pengawasan langsung Pengawas Menelan Obat (PMO).
 Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.
 Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan
dan evaluasi program penanggulangan TB.

Walaupun di Indonesia telah banyak kemajuan yang diperoleh, yakni


pencapaian penemuan kasus baru 51,6 % dari target global 70 % dibandingkan
pencapaian 20 % pada tahun 2002 dan 37 % pada tahun 2003, juga penyediaan
obat-obat anti TB yang dijamin oleh pemerintah untuk sarana pelayanan

4
kesehatan pemerintah mencukupi kebutuhan prakiraan kasus di seluruh Indonesia,
TB tetap belum dapat diberantas, bahkan diperkirakan jumlah penderita TB terus
meningkat. Peningkatan jumlah penderita TB disebabkan oleh berbagai faktor,
yakni kurangnya tingkat kepatuhan penderita untuk berobat dan meminum obat,
harga obat yang mahal, timbulnya resistensi ganda, kurangnya daya tahan hospes
terhadap mikobakteria, berkurangnya daya bakterisid obat yang ada,
meningkatnya kasus HIV/AIDS dan krisis ekonomi. Meskipun berbagai upaya
dilakukan oleh pemerintah, namun tanpa peran serta masyarakat tentunya tidak
akan dicapai hasil yang optimal karena TB tidak hanya masalah kesehatan namun
juga merupakan masalah sosial. Keberhasilan penanggulangan TB sangat
bergantung pada tingkat kesadaran dan partisipasi masyarakat.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Meningen


Meningen adalah selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang
belakang, melindungi struktur halus yang membawa pembuluh darah dan cairan

5
sekresi (cairan serebrospinal), dan memperkecil benturan atau getaran. Meningen
terdiri dari 3 lapisan, yaitu durameter, arakhnoid, dan piameter. 2

Gambar 2.1. Anatomi Meningen 2


1. Durameter
Lapisan paling luar, menutup otak dan medula spinalis. Sifat dari
durameter yaitu tebal, tidak elastis, berupa serabut, dan berwarna abu-abu. Bagian
pemisah dura : falx serebri yang memisahkan kedua hemisfer dibagian
longitudinal dan tentorium yang merupakan lipatan dari dura yang membentuk
jaring- jaring membran yang kuat. Jaring ini mendukung hemisfer dan
memisahkan hemisfer dengan bagian bawah otak (fossa posterir). 2
2. Arakhnoid
Merupakan membran bagian tengah, yaitu membran yang bersifat tipis dan
lembut yang menyerupai sarang laba-laba, oleh karena itu disebut arakhnoid.
Membran ini berwarna putih karena tidak dialiri darah. Pada dinding arakhnoid
terdapat flexus khoroid yang bertanggung jawab memproduksi cairan
serebrospinal (CSS). Membran ini mempunyai bentuk seperti jari tangan yang
disebut arakhnoid vili, yang mengabsorbsi CSS. Pada usia dewasa normal CSS
diproduksi 500 cc dan diabsorbsi oleh vili 150 cc. 2
3. Piameter
Merupakan membran yang paling dalam, berupa dinding yang tipis,
transparan, yang menutupi otak dan meluas ke setiap lapisan daerah otak.
Piameter berhubungan dengan arakhnoid melalui struktur jaringan ikat yang
disebut trabekel. Piameter merupakn selaput tipis yang melekat pada permukaan

6
otak yang mengikuti setiap lekukan-lekukan pada sulkus-sulkus dan fisura- fisura,
juga melekat pada permukaan batang otak dan medula spinalis, terus ke kaudal
sampai ke ujung medula spinalis setinggi korpus vertebra. 2

2.2 Definisi Meningitis Tuberkulosis


Berbagai penyakit dapat menyerang susunan saraf pusat. Salah satunya
adalah peradangan pada selaput otak, yang sering disebut meningitis. Meningitis
merupakan penyakit susunan saraf pusat yang dapat menyerang semua orang.
Bayi, anak-anak, dan dewasa muda merupakan golongan usia yang mempunyai
resiko tinggi untuk terkena meningitis. 3
Pengetahuan yang benar mengenai meningitis tuberkulosis dapat
membantu untuk mengurangi angka kematian penderita akibat meningitis,
mengingat bahwa insiden kematian akibat meningitis masih cukup tinggi. 4
Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak
(meningen) yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Penyakit
ini merupakan salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit
tuberkulosis paru. Infeksi primer muncul di paru-paru dan dapat menyebar secara
limfogen dan hematogen ke berbagai daerah tubuh di luar paru-paru, seperti
perikardium, usus, kulit, tulang, sendi, dan selaput otak. 3

2.3 Etiologi Meningitis Tuberkulosis


Mycobacterium tuberkulosis merupakan bakteri berbentuk batang
pleomorfik gram positif, berukuran 0,4-3µm mempunyai sifat tahan asam, dapat
hidup selama berminggu-minggu dalam keadaan kering, serta lambat
bermultiplikasi (setiap 15 sampai 20 jam). Bakteri ini merupakan salah satu jenis
bakteri yang bersifat intracellular pathogen pada hewan dan manusia. Selain
Mycobacterium tuberkulosis, spesies lainnya yang juga dapat menimbulkan
tuberkulosis adalah Mycobacterium bovis, Mycobacterium africanum,
Mycobacterium microti. 4

7
Gambar 2.2. Mycobacterium tuberculosis secara mikroskopis 4

2.4 Epidemiologi Meningitis Tuberkulosis


Tuberkulosis yang menyerang SSP (Sistem Saraf Pusat) ditemukan dalam
tiga bentuk, yakni meningitis, tuberkuloma, dan araknoiditis spinalis. Ketiganya
sering ditemukan di negara endemis TB, dengan kasus terbanyak berupa
meningitis tuberkulosis. Di Amerika Serikat yang bukan merupakan negara
endemis tuberkulosis, meningitis tuberkulosis meliputi 1% dari semua kasus
tuberkulosis. 5
Di Indonesia, meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan karena
morbiditas tuberkulosis pada anak masih tinggi. Penyakit ini dapat saja
menyerang semua usia, termasuk bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah
yang masih rendah. Angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak umur 6 bulan
sampai dengan 4 atau 6 tahun, jarang ditemukan pada umur dibawah 6 bulan,
hampir tidak pernah ditemukan pada umur dibawah 3 bulan. Meningitis
tuberkulosis menyerang 0,3% anak yang menderita tuberkulosis yang tidak
diobati. Angka kematian pada meningitis tuberkulosis berkisar antara 10-20%.
Sebagian besar memberikan gejala sisa, hanya 18% pasien yang akan kembali
normal secara neurologis dan intelektual. 6
2.5 Patofisiologi Meningitis Tuberkulosis
Meningitis tuberkulosis pada umumnya muncul sebagai penyebaran
tuberkulosis primer. Biasanya fokus infeksi primer ada di paru-paru, namun dapat
juga ditemukan di abdomen (22,8%), kelenjar limfe leher (2,1%) dan tidak
ditemukan adanya fokus primer (1,2%). Dari fokus primer, kuman masuk ke

8
sirkulasi darah melalui duktus torasikus dan kelenjar limfe regional, dan dapat
menimbulkan infeksi berat berupa tuberkulosis milier atau hanya menimbulkan
beberapa fokus metastase yang biasanya tenang. 7
Pendapat yang sekarang dapat diterima dikemukakan oleh Rich tahun
1951. Terjadinya meningitis tuberkulosis diawali olen pembentukan tuberkel di
otak, selaput otak atau medula spinalis, akibat penyebaran kuman secara
hematogen selama masa inkubasi infeksi primer atau selama perjalanan
tuberkulosis kronik walaupun jarang. 6 Bila penyebaran hematogen terjadi dalam
jumlah besar, maka akan langsung menyebabkan penyakit tuberkulosis primer
seperti TB milier dan meningitis tuberkulosis. Meningitis tuberkulosis juga dapat
merupakan reaktivasi dari fokus tuberkulosis (TB pasca primer). Salah satu
pencetus proses reaktivasi tersebut adalah trauma kepala. 6
Kuman kemudian langsung masuk ke ruang subarachnoid atau ventrikel.
Tumpahan protein kuman tuberkulosis ke ruang subarakhnoid akan merangsang
reaksi hipersensitivitas yang hebat dan selanjutnya akan menyebabkan reaksi
radang yang paling banyak terjadi di basal otak. Selanjutnya meningitis yang
menyeluruh akan berkembang.

Secara patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis


tuberkulosis:
1. Araknoiditis proliferatif
Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan
massa fibrotik yang melibatkan saraf kranialis dan kemudian menembus
pembuluh darah. Reaksi radang akut di leptomening ini ditandai dengan
adanya eksudat gelatin, berwarna kuning kehijauan di basis otak. Secara
mikroskopik, eksudat terdiri dari limfosit dan sel plasma dengan nekrosis
perkijuan.
Pada stadium lebih lanjut, eksudat akan mengalami organisasi dan
mungkin mengeras serta mengalami kalsifikasi. Adapun saraf kranialis
yang terkena akan mengalami paralisis. Saraf yang paling sering terkena
adalah saraf kranial VI, kemudian III dan IV, sehingga akan timbul gejala
diplopia dan strabismus. Bila mengenai saraf kranial II, maka kiasma

9
optikum menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan kabur bahkan bisa
buta bila terjadi atrofi papil saraf kranial II. Bila mengenai saraf kranial
VIII akan menyebabkan gangguan pendengaran yang sifatnya permanen.
6,7

2. Vaskulitis
Vaskulitis yang terjadi disertai dengan dengan trombosis dan infark
pembuluh darah kortikomeningeal yang melintasi membran basalis atau
berada di dalam parenkim otak. Hal ini menyebabkan timbulnya radang
obstruksi dan selanjutnya infark serebri. Kelainan inilah yang
meninggalkan sekuele neurologis bila pasien selamat. Apabila infark
terjadi di daerah sekitar arteri cerebri media atau arteri karotis interna,
maka akan timbul hemiparesis dan apabila infarknya bilateral akan terjadi
quadriparesis.
Pada pemeriksaan histologis arteri yang terkena, ditemukan adanya
perdarahan, proliferasi, dan degenerasi. Pada tunika adventisia ditemukan
adanya infiltrasi sel dengan atau tanpa pembentukan tuberkel dan nekrosis
perkijuan. Pada tunika media tidak tampak kelainan, hanya infiltrasi sel
yang ringan dan kadang perubahan fibrinoid. Kelainan pada tunika intima
berupa infiltrasi subendotel, proliferasi tunika intima, degenerasi, dan
perkijuan. Yang sering terkena adalah arteri cerebri media dan anterior
serta cabang-cabangnya, dan arteri karotis interna. Vena selaput otak dapat
mengalami flebitis dengan derajat yang bervariasi dan menyebabkan
trombosis serta oklusi sebagian atau total. Mekanisme terjadinya flebitis
tidak jelas, diduga hipersensitivitas tipe lambat menyebabkan infiltrasi sel
mononuklear dan perubahan fibrin. 6,7
3. Hidrosefalus Komunikans
Hidrosefalus komunikans terjadi akibat perluasan inflamasi ke
sisterna basalis yang akan mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan
serebrospinalis. 6,7
Adapun perlengketan yang terjadi dalam kanalis sentralis medulla spinalis
akan menyebabkan spinal block dan paraplegia. 4 Gambaran patologi yang terjadi
pada meningitis tuberkulosis ada 4 tipe, yaitu:
1. Disseminated milliary tubercles, seperti pada tuberkulosis milier.

10
2. Focal caseous plaques, contohnya tuberkuloma yang sering menyebabkan
meningitis yang difus.
3. Acute inflammatory caseous meningitis.
 Terlokalisasi, disertai perkijuan dari tuberkel, biasanya di korteks.
 Difus, dengan eksudat gelatinosa di ruang subarakhnoid.
4. Meningitis proliferatif.
 Terlokalisasi, pada selaput otak.
 Difus dengan gambaran tidak jelas.
Gambaran patologi ini tidak terpisah-pisah dan mungkin terjadi bersamaan
pada setiap pasien. Gambaran patologi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu umur, berat dan lamanya sakit, respon imun pasien, lama dan respon
pengobatan yang diberikan, virulensi dan jumlah kuman juga merupakan faktor
yang mempengaruhi. 6,7
Patogenesis terjadinya meningitis tuberkulosis secara skematis, dapat
diamati sebagai berikut:
BTA masuk tubuh

Tersering melalui inhalasi
Jarang pada kulit, saluran cerna

Multiplikasi

Infeksi paru / fokus infeksi lain

Penyebaran hematogen

Meningens

Membentuk tuberkel

BTA tidak aktif / dormain

Bila daya tahan tubuh menurun

Rupture tuberkel meningen

Pelepasan BTA ke ruang subarachnoid

MENINGITIS TUBERKULOSA

11
2.6 Manifestasi Klinis Meningitis Tuberkulosis
Menurut Lincoln, manifestasi klinis dari meningitis tuberkulosis dapat
dikelompokkan dalam tiga stadium, yaitu:
1. Stadium I (stadium inisial / stadium non spesifik / fase prodromal)
 Prodromal berlangsung 1 - 3 minggu.
 Biasanya gejalanya tidak khas.
 Timbul perlahan-lahan.
 Tanpa kelainan neurologis.
 Gejala yang biasa muncul:
o Demam (tidak terlalu tinggi).
o Rasa lemah.
o Nafsu makan menurun (anorexia).
o Nyeri perut.
o Sakit kepala.
o Tidur terganggu.
o Mual.
o Muntah.
o Konstipasi.
o Apatis.
o Irritable.
Pada bayi, irritable dan ubun-ubun menonjol merupakan manifestasi yang
sering ditemukan, sedangkan pada anak yang lebih tua memperlihatkan perubahan
suasana hati yang mendadak, prestasi sekolah menurun, letargi, apatis, mungkin
saja tanpa disertai demam dan timbul kejang intermiten. Kejang bersifat umum
dan didapatkan sekitar 10-15%.
Jika sebuah tuberkel pecah ke dalam ruang sub arachnoid maka stadium I
akan berlangsung singkat sehingga sering terabaikan dan akan langsung masuk ke
stadium III.
2. Stadium II (stadium transisional / fase meningitik)
Pada fase ini terjadi rangsangan pada selaput otak / meningen. Ditandai
oleh adanya kelainan neurologik, akibat eksudat yang terbentuk diatas lengkung
serebri. Pemeriksaan kaku kuduk (+), refleks Kernig dan Brudzinski (+) kecuali
pada bayi.

12
Gambar 2.3. Kaku kuduk pada penderita meningitis

Dengan berjalannya waktu, terbentuk infiltrat (massa jelly berwarna abu)


di dasar otak menyebabkan gangguan otak / batang otak. Pada fase ini, eksudat
yang mengalami organisasi akan mengakibatkan kelumpuhan saraf kranial dan
hidrosefalus, gangguan kesadaran, papiledema ringan serta adanya tuberkel di
koroid. Vaskulitis menyebabkan gangguan fokal, saraf kranial dan kadang medulla
spinalis. Hemiparesis yang timbul disebabkan karena infark/ iskemia,
quadriparesis dapat terjadi akibat infark bilateral atau edema otak yang berat.
Pada anak berusia di bawah 3 tahun, iritabel dan muntah adalah gejala
utamanya, sedangkan sakit kepala jarang dikeluhkan. Sedangkan pada anak yang
lebih besar, sakit kepala adalah keluhan utamanya, dan kesadarannya makin
menurun.
Gejala yang dapat muncul, yaitu antara lain:
 Akibat rangsang meningen  sakit kepala berat dan muntah (keluhan
utama).
 Akibat peradangan / penyempitan arteri di otak, antara lain:
o disorientasi
o bingung
o kejang
o tremor
o hemibalismus / hemikorea
o hemiparesis / quadriparesis
o penurunan kesadaran
o Gangguan otak / batang otak / gangguan saraf kranial: saraf kranial
yang sering terkena adalah saraf otak III, IV, VI, dan VII

13
- strabismus
- diplopia
- ptosis
- reaksi pupil lambat
- gangguan penglihatan kabur
3. Stadium III (koma / fase paralitik)
Terjadi percepatan penyakit, berlangsung selama ± 2-3 minggu. Pada
stadium ini gangguan fungsi otak semakin tampak jelas. Hal ini terjadi akibat
infark batang otak akibat lesi pembuluh darah atau strangulasi oleh eksudat yang
mengalami organisasi. Gejala-gejala yang dapat timbul, antara lain:
 pernapasan irregular
 demam tinggi
 edema papil
 hiperglikemia
 kesadaran makin menurun
 irritable dan apatik
 mengantuk
 stupor
 koma
 otot ekstensor menjadi kaku dan spasme
 opistotonus
 pupil melebar dan tidak bereaksi sama sekali
 nadi dan pernafasan menjadi tidak teratur
 hiperpireksia
Tiga stadium tersebut di atas biasanya tidak jelas batasnya antara satu
dengan yang lain, tetapi bila tidak diobati biasanya berlangsung 3 minggu
sebelum pasien meninggal. Dikatakan akut bila 3 stadium tersebut berlangsung
selama 1 minggu.
Hidrosefalus dapat terjadi pada kira-kira 2/3 pasien, terutama yang
penyakitnya telah berlangsung lebih dari 3 minggu. Hal ini terjadi apabila
pengobatan terlambat atau tidak adekuat. 6,7,8

2.7 Kriteria Diagnosis Meningitis Tuberkulosis


Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat kejang atau penurunan
kesadaran (tergantung stadium penyakit), adanya riwayat kontak dengan pasien
tuberkulosis (baik yang menunjukkan gejala, maupun yang asimptomatik), adanya
gambaran klinis yang ditemukan pada penderita (sesuai dengan stadium
meningitis tuberkulosis). Pada neonatus, gejalanya mungkin minimalis dan dapat
menyerupai sepsis, berupa bayi malas minum, letargi, distress pernafasan, ikterus,

14
muntah, diare, hipotermia, kejang (pada 40% kasus), dan ubun-ubun besar
menonjol (pada 33,3% kasus).9
Dari pemeriksaan fisik dilihat berdasarkan stadium penyakit. Tanda
rangsang meningen seperti kaku kuduk biasanya tidak ditemukan pada anak
berusia kurang dari 2 tahun. 9
Tabel 2.1. Sistem skoring gejala dan pemeriksaan TB

Uji tuberkulin positif. Pada 40% kasus, uji tuberkulin dapat negatif. Pada
anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan screening tuberkulosis yang paling
bermanfaat. Penelitian menunjukkan bahwa efektivitas uji tuberkulin pada anak
dapat mencapai 90%. Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, tetapi hingga
saat ini cara mantoux lebih sering dilakukan. Pada uji mantoux, dilakukan
penyuntikan PPD (Purified Protein Derivative) dari kuman Mycobacterium
tuberculosis. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian atas

15
lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian
uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari
pembengkakan (indurasi) yang terjadi. 9
Berikut ini adalah interpretasi hasil uji mantoux :
1. Pembengkakan (indurasi) : 0-4 mm  uji mantoux negatif.
Arti klinis : tidak ada infeksi Mycobacterium tuberculosa.
2. Pembengkakan (indurasi) : 3-9 mm  uji mantoux meragukan.
Arti klinis : hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan
Mycobacterium atypic atau setelah vaksinasi BCG.
3. Pembengkakan (indurasi) : ≥ 10 mm  uji mantoux positif.
Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosa.
Bila dalam penyuntikan vaksin BCG terjadi reaksi cepat (dalam 3-7 hari)
berupa kemerahan dan indurasi ≥ 5 mm, maka anak dicurigai telah terinfeksi
Mycobacterium tuberculosis.
Dari pemeriksaan laboratorium biasa disapatkan anemia ringan dan
peningkatan laju endap darah pada 80% kasus.
Pada pemeriksaan cairan otak dan tulang belakang / liquor cerebrospinalis
(dengan cara pungsi lumbal) didapatkan:
 Warna: jernih (khas), bila dibiarkan mengendap akan membentuk batang-
batang. Dapat juga berwarna xanhtochrom bila penyakitnya telah
berlangsung lama dan ada hambatan di medulla spinalis.
 Jumlah sel: 100 – 500 sel / μl. Mula-mula, sel polimorfonuklear dan
limfosit sama banyak jumlahnya, atau kadang-kadang sel
polimorfonuklear lebih banyak (pleositosis mononuklear). Kadang-
kadang, jumlah sel pada fase akut dapat mencapai 1000 / mm3.
 Kadar protein: meningkat (dapat lebih dari 200 mg / mm 3). Hal ini
menyebabkan liquor cerebrospinalis dapat berwarna xanthochrom dan
pada permukaan dapat tampak sarang laba-laba ataupun bekuan yang
menunjukkan tingginya kadar fibrinogen.
 Kadar glukosa: biasanya menurun (liquor cerebrospinalis dikenal sebagai
hipoglikorazia. Adapun kadar glukosa normal pada liquor cerebrospinalis
adalah ±60% dari kadar glukosa darah.
 Kadar klorida normal pada stadium awal, kemudian menurun.
 Pada pewarnaan Gram dan kultur liquor cerebrospinalis dapat ditemukan
kuman.

16
Untuk mendapatkan hasil positif, dianjurkan untuk melakukan pungsi
lumbal selama 3 hari berturut-turut. Terapi dapat langsung diberikan tanpa
menunggu hasil pemeriksaan pungsi lumbal kedua dan ketiga.
 Dari pemeriksaan radiologi:
 Foto toraks : dapat menunjukkan adanya gambaran tuberkulosis.
 Pemeriksaan EEG (electroencephalography) menunjukkan
kelainan kira-kira pada 80% kasus berupa kelainan difus atau fokal.
 CT-scan kepala : dapat menentukan adanya dan luasnya kelainan di
daerah basal, serta adanya dan luasnya hidrosefalus.
 Gambaran dari pemeriksaan CT-scan dan MRI (Magnetic
Resonance Imaging) kepala pada pasien meningitis tuberkulosis
adalah normal pada awal penyakit. Seiring berkembangnya
penyakit, gambaran yang sering ditemukan adalah enhancement di
daerah basal, tampak hidrosefalus komunikans yang disertai
dengan tanda-tanda edema otak atau iskemia fokal yang masih dini.
Selain itu, dapat juga ditemukan tuberkuloma yang silent, biasanya
di daerah korteks serebri atau talamus.

2.8 Pemeriksaan Penunjang Meningitis Tuberkulosis


Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain:
 Darah lengkap
 Uji tuberculin
 Radiologi
 Pungsi cairan otak dan tulang belakang / liquor cerebrospinalis (dengan
cara pungsi lumbal)

2.9 Pengobatan Meningitis Tuberkulosis


Pengobatan meningitis tuberkulosis harus tepat dan adekuat, termasuk
kemoterapi yang sesuai, koreksi gangguan cairan dan elektrolit, dan penurunan
tekanan intrakranial. Terapi harus segera diberikan tanpa ditunda bila ada
6,7,8,9
kecurigaan klinis ke arah meningitis tuberkulosis. Terapi diberikan sesuai
dengan konsep baku tuberkulosis yakni:
Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis,
yakni isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol. Terapi
dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yakni isoniazid dan rifampisin hingga
12 bulan.

17
Terapi untuk meningitis terbagi menjadi terapi umum dan terapi khusus,
yaitu:
 Terapi Umum
 Istirahat mutlak, bila perlu diberikan perawatan intensif
 Pemberian gizi tinggi kalori tinggi protein
 Posisi penderita dijaga agar tidak terjadi dekubitus.
 Keseimbangan cairan tubuh
 Perawatan kandung kemih dan defekasi
 Mengatasi gejala demam, kejang.
 Terapi Khusus
a. Penatalaksanaan meningitis serosa meliputi:
 Rejimen terapi : 2RHZE - 7RH
Untuk 2 bulan pertama.
 INH : 1 x 400 mg/hari, oral
 Rifampisin : 1 x 600 mg/hari, oral
 Pirazinamid : 15-30 mg/kgBB/hari, oral
 Etambutol :15-20 mg/kgBB/hari, oral
Untuk 7-12 bulan selanjutnya.
 INH : 1 x 400 mg/hari, oral
 Rifampisin : 1 x 600 mg/hari, oral
Steroid, diberikan untuk :
 Menghambat reaksi inflamasi
 Mencegah komplikasi infeksi
 Menurunkan edem cerebri
 Mencegah perlengketan arachnoid dan otak
 Mencegah arteritis/ infark otak
Indikasi :
 Kesadaran menurun
 Defisit neurologi fokal
Dosis : Dosis Dexametason 10 mg bolus intravena, kemudian 4-5 mg
intravena selama 2-3 minggu, selanjutnya turunkan perlahan selama 1
bulan.
b. Penatalaksanaan meningitis Purulenta
Pemberian antibiotika harus cepat dan tepat sesuai dengan bakteri
penyebabnya dan dalam dosis yang cukup tinggi. Sambil menunggu hasil
biakan sebaiknya diberikan antibiotika dengan spektrum luas. Antibiotika
diberikan selama 10-14 hari atau sekurang-kurangnya 7 hari setelah bebas
demam.
 Penisilin G dosis 1-2 juta unit setiap 2 jam untuk infeksi Pneumococcus,
Streptococcus, Meningiococcus.

18
 Kloramphenicol dosis 4 x 1 g/hari atau ampisilin 4 x 3 g/hari untuk infeksi
Haemophilus.
 Gentamisin untuk infeksi E.coli. Klebsiella, Proteus, dan kuman-kuman
gram negatif.

2.10 Komplikasi Meningitis Tuberkulosis


Komplikasi yang paling menonjol dari meningitis tuberkulosis adalah
gejala sisa neurologis (sekuele). Sekuele terbanyak adalah paresis spastik, kejang,
paraplegia, dan gangguan sensori ekstremitas. Sekuele minor dapat berupa
kelainan saraf otak, nistagmus, ataksia, gangguan ringan pada koordinasi, dan
spastisitas. Komplikasi pada mata dapat berupa atrofi optik dan kebutaan.
Gangguan pendengaran dan keseimbangan disebabkan oleh obat streptomisin atau
oleh penyakitnya sendiri. Gangguan intelektual terjadi pada kira-kira 2/3 pasien
yang hidup. Pada pasien ini biasanya mempunyai kelainan EEG yang
berhubungan dengan kelainan neurologis menetap seperti kejang dan mental
subnormal. Kalsifikasi intrakranial terjadi pada kira-kira 1/3 pasien yang sembuh.
Seperlima pasien yang sembuh mempunyai kelainan kelenjar pituitari dan
hipotalamus, dan akan terjadi prekoks seksual, hiperprolaktinemia, dan defisiensi
ADH, hormon pertumbuhan, kortikotropin dan gonadotropin. 6

2.11 Prognosis Meningitis Tuberkulosis


Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien
didiagnosis dan diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk
prognosisnya. Apabila tidak diobati sama sekali, pasien meningitis tuberkulosis

19
dapat meninggal dunia. Prognosis juga tergantung pada umur pasien. Pasien yang
berumur kurang dari 3 tahun mempunyai prognosis yang lebih buruk daripada
pasien yang lebih tua usianya. 6

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak
(meningen) yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Penyakit
ini merupakan salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit
tuberkulosis paru. Tuberkulosis yang menyerang SSP (sistem saraf pusat)
ditemukan dalam tiga bentuk yaitu meningitis, tuberkuloma, dan araknoiditis
spinalis. Ketiganya sering ditemukan di negara endemis TB, dengan kasus
terbanyak adalah meningitis tuberkulosis.
Di Indonesia, meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan karena
morbiditas tuberkulosis pada anak masih tinggi. Penyakit ini dapat saja
menyerang semua usia, termasuk bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah
yang masih rendah. Angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak umur 6 bulan
sampai 4 atau 6 tahun, jarang ditemukan pada umur dibawah 6 bulan, dan hampir
tidak pernah ditemukan pada umur dibawah 3 bulan.
Meningitis TB terjadi akibat penyebaran infeksi secara hematogen ke
meningen. Dalam perjalanannya meningitis TB melalui 2 tahap. Mula-mula
terbentuk lesi di otak atau meningen akibat penyebaran basil secara hematogen
selama infeksi primer. Penyebaran secara hematogen dapat juga terjadi pada TB
kronik, tetapi keadaan ini jarang ditemukan. Selanjutnya meningitis terjadi akibat

20
terlepasnya basil dan antigen TB dari fokus kaseosa (lesi permulaan di otak)
akibat trauma atau proses imunologik, langsung masuk ke ruang subarakhnoid.
Pengobatan meningitis tuberkulosis harus tepat dan adekuat, termasuk
kemoterapi yang sesuai, koreksi gangguan cairan dan elektrolit, dan penurunan
tekanan intrakranial. Terapi harus segera diberikan tanpa ditunda bila ada
kecurigaan klinis ke arah meningitis tuberkulosis. Komplikasi yang paling
menonjol dari meningitis tuberkulosis adalah gejala sisa neurologis (sekuele).
Sekuele terbanyak adalah paresis spastik, kejang, paraplegia, dan gangguan
sensori ekstremitas. Sekuele minor dapat berupa kelainan saraf otak, nistagmus,
ataksia, gangguan ringan pada koordinasi, dan spastisitas.
Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien
didiagnosis dan diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk
prognosisnya. Apabila tidak diobati sama sekali, pasien meningitis tuberkulosis
dapat meninggal dunia. Prognosis juga tergantung pada umur pasien. Pasien yang
berumur kurang dari 3 tahun mempunyai prognosis yang lebih buruk daripada
pasien yang lebih tua usianya.

DAFTAR PUSTAKA

21
1. Rahajoe N, Basir D, Makmuri, Kartasasmita CB. 2005. Pedoman Nasional
Tuberkulosis Anak. Unit Kerja Pulmonologi PP IDAI. Jakarta. P. 54-56.

2. Koppel BS. 2009. Bacterial, Fungal, and Parasitic Infections of the


Nervous System in Current Diagnosis and Treatment Neurology. USA;
The McGraw-Hill Companies. p403-408, p421-423.

3. Azhali, MS., Garna, Herry., Chaerulfatah, Alex., Setiabudi, Djatnika.


2008. Infeksi Penyakit Tropik. Dalam : Garna, Herry., Nataprawira, Heda
Melinda. Pedoman Diagnosis Dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Bandung:
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD. p. 221-229.

4. Amin, Z., Bahar, A. 2007. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta : EGC.

5. Kemenkes RI. 2009. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB).


Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
364/Menkes/SK/V/2009.

6. Depkes RI. 2006. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB). Gerakan


Terpadu Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta : Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.

7. Depkes RI. 2009. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Tuberkulosis.


Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Direktorat Jenderal Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Jakarta : Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.

8. Scheld, M. 2009. Infection of the Central Nervous System third edition.


Lippincot William and Wilkins. p. 443.

9. Crofton, J., Horne, N., Miller, F et all. 2008. Clinical Tuberculosis 2th
edition. IUATLD. MacMillan Education Ltd. London. p. 160.

22

Anda mungkin juga menyukai