Oleh:
Besta Arum Bela, S. Ked.
H1AP13043
Pembimbing:
dr. Ferdi, Sp.An
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Operasi Sectio Caesaria adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan
melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat rahim
dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram. Tindakan invasif seperti bedah
sesar ini akan menjalani prosedur anastesi. Anastesi sendiri secara umum berati suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.
Peredaan nyeri pada persalinan merupakan permsalahan yang unik. Persalinan
terjadi sewaktu-waktu tanpa peringatan dan anastesi obstetrik dapat diperlukan segera
setelah pasien makan dalam jumlah besar. Muntah dengan aspirasi isi lambung
merupakan ancaman konstan yang memberikan morbiditas dan mortalitas ibu yang
mencemaskan. Dan lagi, penyakit-penyakit yang terjadi hanya pada kehamilan, seperti
preeklamsia, solutio palsenta, dan choriamnionitis, semunya mempengaruhi adaptasi
1
fisiologis padakehamilan, dan mempengaruhi secara langsung pilihan obat-obat
analgesia dan anastesi yang dipergunakan.
Hampir 80% bedah sesar dilakukan dengan bantuan anastesi regional yang
umumnya anastesia spinal, epidural, maupun keduanya. Pemilihan anastesi regional
dikarenakan tingkat mortilitas maternal yang lebih rendah daripada penggunaan
anastesia umum. Dengan anastesia regional, ibu tetap sadar dan dapat mempertahankan
refleks protektif dengan baik sehingga terhindar dari risiko kesulitan intubasi, ventilasi,
aspirasi pneumonia, serta efek samping terhadap janin yang lebih kecil.
Anastesia regional yang paling sering digunakan adalah anastesia spinal karena
mudah dilakukan, mula kerja cepat, durasi kerjanya mudah dilakukan, hambatan
neuroaksial yang dihasilkan lebih kuat dan jarang menimbulkan toksisitas karena dosis
obat anastesi lkal yang dipakai lebih kecil. Komplikasi yang ditimbulkan oleh hambatan
neuroaksial diantaranya adalah vasodilatasi yang dapat menimbulkan penurunan
tekanan darah.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
Riwayat Perkawinan
Kawin 1 kali, lamanya 5 tahun sebagai istri sah
Riwayat Reproduksi
Menarch : 12 tahun
Siklus haid : 28 hari, teratur
3
Lama haid : 5-7 hari
Hari pertama haid terakhir : Lupa
Taksiran persalinan :-
KB :-
Riwayat Kehamilan/Melahirkan
1. Hamil ini
Riwayat Anastesi
Anastesi Umum
Anamnesis Khusus
Keluhan utama : Hamil cukup bulan dengan keluar air-air
Riwayat perjalanan penyakit :
4
+ 2 jam SMRS Os mengalami mules dan terdapat flek (+) dengan riwayat
infertil 5 tahun dan operasi kista bartolini sekita 5 tahun yang lalu. R/ perut mules yang
menjalar ke pinggang hilang timbul makin lama makin sering dan kuat (+). R/ keluar
air-air (+). R/ keluar darah lendir (+). R/ darah tinggi sebelum hamil (-). R/ darah tinggi
dalam keluarga (-). R/ sakit kepala (-). R/ pandangan mata kabur (-). R/ mual, muntah (-
). R/ nyeri ulu hati (-). Os mengaku hamil cukup bulan dan gerakan anak masih
dirasakan. Pasien dilakukan induksi di ruang bersalin, tetapi gagal dengan pembukaan
serviks terakhir 3 cm.
Pemeriksaan Fisik
1. Status Present
a. Tanda Vital
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tipe badan : piknikus
Berat badan : 60 kg
Tinggi badan : 150 cm
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36,5°C
2. Status Generalis
Kepala : Normocephalic, rambut bewarna hitam dan tidak
mudah dicabut, konjungtiva palpebra anemis (-/-),
sklera ikterik (-/-), pupil isokhor.
Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-),
deviasi trakea (-), JVP (5-2) cmH2O
Toraks
Jantung
I : Iktus kordis tidak terlihat
P : Iktus kordis tidak teraba di linea midklavikula sinistra SIC V
5
P : Batas atas jantung dalam batas normal
A: Bunyi jantung I dan II (+) normal, murmur (-), gallop (-)
Paru-paru
I : Dinding dada statis dan dinamis simetris kiri dan kanan
P: Stem fremitus simetris kiri dan kanan
P: Sonor di semua lapang paru
A: Suara napas vesikuler normal, ronkhi (-) dan wheezing (-)
Abdomen
Tinggi fundus uteri 26 cm, letak janin memanjang, punggung di sebelah kiri,
bagian terbawah janin kepala, DJJ (+).
Ekstremitas
Akral hangat, CRT <2 detik, edema +/+ pretibial, refleks fisiologis +/+,
refleks patologis -/-
Genitalia eksterna
Tidak ada edema vulva.
6
mengaku hamil cukup bulan dan gerakan anak masih dirasakan. Pasien
dilakukan induksi di ruang bersalin, tetapi gagal dengan pembukaan serviks
terakhir 3 cm.
7
2.4 Laporan Anestesi Pre-Operatif
Assessment: ASA 1, tidak sulit ventilasi
Diagnosa : G1p0 A0 Hamil Aterm Inpartu Kala 1 Fase Laten Dengan Kpsw+Gagal
Induksi JTH Presentasi Kepala + Riwayat Infertil Primer 5 Tahun +
Riwayat Operasi Kista Bartolini 5 Tahun yg lalu.
Keadaan prabedah:
o BB: 60 kg, TB: 150 cm
o N: 88x/menit, RR: 20 x/m, TD: 110/70 mmHg, T: 36,5 oC
o Hb: 12,0 g/dl, leukosit: 15.600 mm3
o Terakhir makan nasi dan minum tanggal 20 Juni 2018 pukul 00.00
o IV line : 1 (tangan kanan kristaloid)
o Jenis tindakan : SC Emergency
8
Metergin
Oxitosin 2 ampul
- Peralatan monitor: tekanan darah, nadi, oksimetri berdenyut, dan EKG.
- Peralatan resusitasi dan obat-obatan emergensi: sulfas atropin, lidokain,
adrenalin, efedrin.
Prosedur Anestesi
Anestesi regional dengan teknik spinal anestesi,
Setelah dipasang IV line, monitor (tekanan darah, nadi, saturasi
oksigen) dan oksigen kanul 3 liter/menit
Pasien dengan posisi duduk, tandai dimana akan dilakukan
tusukan, dengan teknik aseptik-antiseptik, dilakukan tusukan
pada lokasi Lumbal 3-4.
Anestesi lokal bupivacain konsentrasi 0,5% hyperbaric, jumlah 3
cc (15 mg). Anestesi dimulai jam 13.45 WIB, operasi dimulai
jam 13.50 WIB. Operasi berlangsung selama 55 menit.
9
kecil = 4, sedang = 6, berat = 8
6 x 60 kg = 360 cc
• EBV 70 x 60 kg = 4.200 cc
Perdarahan:
• Tabung Suction : 800 cc
Cara Pemberian:
• Jam I : (50% x pengganti puasa) + maintenace + stress operasi
10% kedua dari EBV (420 ml) : koloid 1:1ml 420 ml koloid
10
- Ketoprofen 200mg supp.
- Aldrete score : 9 (ditransport ke ruang melati)
- Saturasi : 99% (2)
- Motorik : gerak 2 anggota tubuh (1)
- Pernapasan : bernapas dalam dan batuk dengan kuat (2)
- Tekanan darah: berbeda 20% dari pre op (2)
- Kesadaran : sadar sepenuhnya (2)
- Tekanan darah : 120/80 mmHg
- Nadi : 88 x/menit
- Suhu : 36,6o C
- Pupil : isokhor
- Pasien tidak dipuasakan dan kepala ditinggikan 30-40
11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
12
4. Riwayat Sosial dan Ekonomi
Sebelum melakukan anamnesis lebih lanjut, pertama yang harus ditanyakan adalah identitas pasien,
yaitu umur, jenis kelamin, ras, status pernikahan, agama dan pekerjaan.
13
Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelum nya untuk eliminasi nikotin yang
mempengaruhi sistem kardiosirkulasi, dihentikan beberapa hari untuk mengaktfkan kerja silia jalan
pernapasan dan 1-2 minggu untuk mengurangi produksi sputum. Kebiasaan minum alkohol juga harus
dicurigai akan adanya penyakit hepar.
5) Riwayat Anestesia
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya sangatlah penting
untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian khusus, misalnya
alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga kita dapat merancang
anestesia berikutnya dengan lebih baik.
14
e. Kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya
anestesia seperti :
- Merokok: perokok berat (di atas 20 batang/hari dapat mempersulit induksi
anestesia karena merangsang batuk-batuk, sekresi ialah nafas yang banyak
atau memicu atelektasis dan pneumonia pasca bedah. Rokok sebaiknya
dihentikan minimal 24 jam sebelumnya untuk menghindari adanya CO
dalam darah.
- Alkohol: pecandu alkohol umumnya resisten terhadap obat-obat anestesia
khususnya golongan barbiturat. Peminum alkohol dapat menderita sirosis
hepatik.
- Meminum obat-obat penenang atau narkotik.
15
- Hidung : obstruksi jalan nafas oleh polip, tonsil dan adenois
hipertrofi, perdarahan dan deviasi septum.
- Leher : pendek/panjang struma, cikatrik, mobilitas dari sendi-sendi
servikal.
- Kulit : perabaan hangat, dingin, berkeringatan, tanda-tanda infeksi
di regio vertebrae lumbalis atau sakralis.
- Sistem persyarafan: hemiparasis atau paralisis, distrofi otot, neuropati tepi,
besar hidrosefalus.
f. Pemeriksaan laboratorium dan uji lain:
Pemeriksaan laboratorium ada 2 yaitu pemeriksaan rutin dan khusus.
Pemeriksaan laboratorium rutin :
- Darah : Hb, Leukosit, hitung jenis lekosit, golongan darah, masa
pembekuan, masa perdarahan.
- Urine : protein, reduksi, sedimen.
- Keto toraks : terutama untuk bedah mayor.
- EKG : terutama untuk pasien-pasien berumur di atas 40 tahun,
karena ditakutkan adanya iskemia miokard.
16
stroke, serangan penyakit)
d. Sistem hepatik (penyakit kuning, hepatitis)
e. Sistem renal.
f. Gastrointestinal system (mual, muntah-muntah, reflekx, diare,
perubahan berat badan)
g. Sistem endokrin (diabetes melitus, gangguan tiroid,
pheochromocytoma)
h. Sistem hematologis (pendarahan berlebihan, anemia)
i. Sistem muskuloskeletal (sakit punggung atau persendian, artritis)
j. Sistem dental (gigi tanggal, tambalan)
k. Sistem reproduksi (riwayat menstruasi)
l. Obesitas.
3. Kebugaran Anestesia
Setelah pemeriksaan fisik dilakukan dan memperoleh gambaran tentang keadaan
mental pasien beserta masalah-masalah yang ada, selanjutnya dibuat rencana mengenai
obat dan teknik anestesia yang akan digunakan. Misalnya pada diabetes melitus, induksi
tidak menggunakan ketamin yang dapat menimbulkan hiperglikemia. Atau premedikasi
untuk pasien dengan riwayat tirotiksikosis tidak memakai atropin.
Pada penyakit paru kronik, mungkin operasi lebih baik dilakukan dengan teknik
analgesia regional daripada anestesia umum mengingat kemungkinan komplikasi paru
pasca bedah. Dengan perencanaan anestesia yang tepat, kemungkinan terjadinya
komplikasi sewaktu pembedahan dan pasca bedah dapat dihindari.
17
- Kelas II : pasien memiliki penyakit sistemik ringan hingga sedang.
- Kelas III : Pasien memiliki penyakit sistemik berat yang dsertai dengan
adanya keterbatasan aktivitas fisik
- Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat, tidak mampu melakukan
aktivitas fisik rutin, dan penyakit tersebut mengancam kehidupannya
- Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
- Kelas E : Pasien dengan keadaan emergency atau cyto.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan
tanda darurat (E – emergency), misalnya ASA I E atau III E.
5. Masukan Oral
Pengosongan lambung sebelum anestesia penting untuk mencegah aspirasi isi
lambung karena regurgitasi dan muntah. Pada pembedahan elektif, pengosongan
lambung dilakukan dengan puasa: pasien dewasa 6 - 8 jam, bayi/anak 3 - 5 jam.
Pemberian obat premedikasi secara intra muskular atau oral dapat diberikan ½ - 1 jam
sebelum dilakukan induksi anestesia atau beberapa menit bila diberikan secara intra
vena.
18
Gambar 1. Penampakan Faring Pada Tes Mallampati
7. Premedikasi
Tujuan utama pemberian premedikasi tidak hanya untuk mempermudah
induksi dan mengurangi jumlah obat-obat yang digunakan, akan tetapi terutama
untuk menenangkan pasien sebagai persiapan anestesia.Kini obat premedikasi
ringan banyak digunakan, agar masa pulih setelah pembedahan singkat. Selain
itu ditekankan agar obat-obat yang digunakan sesuai dengan kebutuhan masing-
masing pasien oleh karena kebutuhan tiap-tiap pasien berbeda.
Tujuan dari premedikasi adalah memberikan kenyamanan kepada
pasien dengan:
a. Memberikan analgesia.
b. Menghilangkan ansietas baik dengan psikologis maupun dengan medikasi
c. Memberikan sedasi untuk mempermudah konduksi anestesi
d. Untuk menekan sekresi, khususnya sebelum menggunakan ketamin
e. Untuk mengurangi resiko respirasi isi lambung.
Serta mengatasi problem anestesi yang akan timbul seperti:
a. Mengurangi salivasi,
b. Mengurangi sekresi bronkial,
c. Meminimalkan timbulnya reflek vagal,
d. Mengontrol hipertensi dan takikardi,
e. Mencegah mual dan muntah,
19
f. Mencegah aspirasi lambung,
g. Mencegah infeksi, serta melanjutkan penatalaksanaan pengobatan penyakit
yang telah ada.
Obat-obatan premedikasi, dosisnya disesuaikan dengan berat badan dan keadaan
umum pasien. Biasanya premedikasi diberikan IM 1 jam sebelumnya atau peroral 2 jam
sebelum anestesi.
Analgesik opium: Morfin 0,15 mg/Kgbb, intramuskular
Petidin 1,0 mg/Kgbb, intramuskular
Sedatif pada dewasa: Diazepam 0,15mg/Kgbb,oral/intramuskular
Pentobarbital 3 mg/Kgbb per oral
atau 1,5 mg/Kgbb intramuskular
Sedatif pada anak: Prometazin 0,5 mg/Kgbb per oral
Kloral hidrat sirup 30mg/Kgbb
Vagolitik antisialogog: Atropin 0,02 mg/Kgbb, intramuskular atau
intravena pada saat induksi, maksimal 0,5mg
Antasida: Natrium sitrat 0,3 mol/liter, 10-20 ml
Suspensi aluminium hidroksida, 10-20 ml
20
9. Ondanstron 0,05 – 0,15 mg/kg BB (IV)
10. Cimetidine 3 – 4 mg/kg BB H2 blocker
11. Ranitidine 2 – 3 mg/kg BB
21
3.2.1 Anestesi Spinal
Anestesi spinal ialah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang
subarackhnoid. Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal ke
dalam ruang subarachnoid.
Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan menembus kutis
subkutis lig. Supraspinosum lig. Interspinosum lig. Flavum ruang
epidural durameter ruang subarachnoid.
22
5. Tekanan intracranial yang meninggi
6. Hipotensi, blok simpatik menghilangkan mekanisme kompensasi
7. Fasilitas resusitasi minimal atau tidak memadai
Persiapan anestesi spinal seperti persiapan pada anestesi umum. Daerah disekitar
tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan
anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tidak teraba tonjolan
prosesus spinosus.
Hal-hal yang perlu dilakukan:
1. Informed consent
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran
Teknik anestesia spinal dengan posisi duduk atau posisi tidur lateral decubitus
dengan tusukan pada garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya
dikerjakan diatas meja operasi tanpa dipindahkan lagi dan hanya diperlukan sedikit
perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan
menyebabkan menyebarnya obat.
23
a. Setelah dimonitor, tidurkan pasien dalam posisi dekubitus lateral atau duduk dan
buat pasien membungkuk maksimal agar procesus spinosus mudah teraba.
b. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka dengan tulang
punggung ialah L4 atau L4-L5, tentukan tempat tusukan misalnya L2-L3, L3-L4
atau L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau atasnya berisiko trauma terhadap medulla
spinalis.
c. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine dan alcohol
d. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan misalnya lidokain 1% 2-3ml.
e. Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,
23G, atau 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk jarum kecil 27G atau
29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer), yaitu jarum suntik
biasa semprit 10cc. Jarum akan menembus kutis, subkutis, ligamentum
supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, ruang epidural,
duramater dan ruang subarachnoid. Setelah mandrin jarum spinal dicabutcairan
serebrospinal akan menetes keluar. Selanjutnya disuntikkan larutan obat analgetik
lokal kedalam ruang subarachnoid tersebut.
24
- Level anestesi lebih pasti
- Teknik lebih mudah
25
g. Dosis maksimal dewasa muda sehat adalah 1,6ml/ segmen bergantung kepada
dosis obat, pada manula dan neonatus dikurangi 50% dan pada ibu hamil
dikurangi 30%
h. Lakukan uji keberhasilan epidural dapat dilihat dari perubahan suhu, blok
sensorik dari uji tusukan jarum, dan dari blok motorik skala bromage dengan
kemapuan melipat lutut dan jari.
26
b. menggunakan jarum suntik biasa atau jarum dengan kateter vena ukuran 20-22
pada pasien dewasa.
c. Untuk dewasa biasa digunakan volume 12-15 ml (1-2 ml/segmen)
d. Temukan hiatus sakralis dengan menghubungkan kornu sakralis kanan dan kiri
dan spina iliaka superior posterior
e. Lakukan tindakan a dan antisepsis
f. Tusukkan jarum 90 derajat terhadap kuli, setelah jarum masuk ke kanalis
sakralis arah jaum diubah 45-60 deajat dan jarum didorong sedalam 1-2cm
g. Suntikkan NaCl sebanyak 5ml secara agak cepat sambil meraba ada atau
tidaknya pembengkakan kulit untuk menguji apakah cairan masuk dengan benar
ke kanalis kaudalis.
27
BAB IV
PEMBAHASAN
+ 2 jam SMRS Os mengalami mules dan terdapat flek (+) dengan riwayat infertil
5 tahun dan operasi kista bartolini sekita 5 tahun yang lalu. R/ perut mules yang
menjalar ke pinggang hilang timbul makin lama makin sering dan kuat (+). R/ keluar
air-air (+). R/ keluar darah lendir (+). R/ darah tinggi sebelum hamil (-). R/ darah tinggi
dalam keluarga (-). R/ sakit kepala (-). R/ pandangan mata kabur (-). R/ mual, muntah (-
). R/ nyeri ulu hati (-). Os mengaku hamil cukup bulan dan gerakan anak masih
dirasakan. Pasien dilakukan induksi di ruang bersalin, tetapi gagal dengan pembukaan
serviks terakhir 3 cm.
Setiap anestesi dimulai, dilakukan terlebih dahulu evaluasi praoperatif.
Pertemuan antara pasien dengan dokter dapat memberikan informasi, penilaian status
fisik, dan perencanaan anestesi. Pasien yang akan menjalani anestesia dan pembedahan
baik elektif maupun darurat harus dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan
anestesia dan pembedahan sangat dipengaruhi oleh persiapan pra anestesia. Kunjungan
pra anestesia pada pembedahan elektif umumnya dilakukan 1-2 hari sebelumnya,
sedangkan pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih singkat.
Pada anamnesis pra-operatif didapatkan pasien terdiri atas:
a. Identitas pasien, misal: nama, umur, alamat, dan pekerjaan dan lain-lain.
b. Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat
menjadi penyulit dalam anestesia, antara lain:
- Penyakit alergi;
- Diabetes melitus;
- Penyakit paru-paru kronik: asma bronkial, pneumonia, bronkitis;
- Penyakit jantung dan hipertensi: infark miokard, angina pektoris,
dekompensasi kordis;
- Penyakit hati;
- Penyakit ginjal.
28
c. Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin
menimbulkan interaksi (potensiasi, sinergis, antagonis dan lain-lain) dengan
obat-obat anestetik.
d. Riwayat operasi dan anestesia yang pernah dialami diwaktu yang lalu, berapa
kali dan selang waktunya. Apakah pasien mengalami komplikasi saat itu
seperti kesulitan pulih sadar, perawatan intensif pasca bedah.
e. Kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya
anestesia seperti :
- Merokok: perokok berat (di atas 20 batang/hari dapat mempersulit induksi
anestesia karena merangsang batuk-batuk, sekresi ialah nafas yang banyak
atau memicu atelektasis dan pneumonia pasca bedah. Rokok sebaiknya
dihentikan minimal 24 jam sebelumnya untuk menghindari adanya CO
dalam darah.
- Alkohol: pecandu alkohol umumnya resisten terhadap obat-obat anestesia
khususnya golongan barbiturat. Peminum alkohol dapat menderita sirosis
hepatik.
- Meminum obat-obat penenang atau narkotik.
Pada pasien ini mempunyai riwayat penyakit kista bartolini dan dilakukan
tindakan operasi pengangkatan kista pada Juli 2013 dengan tindakan anastesi secara
General Anastesi, sehingga perlu diperhatikan secara khusus bahwa apakah adanya
komplikasi dari tindakan anastesi tersebut seperti kesulitan pulih atau harus dirawat di
perawatan intensif seperti ICU. Jarak antara operasi sebelumnya dengan operasi yang
sekarang sekitar 5 tahun dan tidak adanya komplikasi yang terjadi atas tindakan anastesi
pada operasi sebelumnya tersebut.
Pasien telah dipuasakan selama lebih dari 6 jam sebelum operasi (10 jam), dan
operasi berlangsung selama ±1 jam, sehingga mendapatkan penggantian puasa sebelum
operasi 1200 cc. Pasien menjalani operasi sedang sehingga kebutuhan cairan akibat
stress operasi yakni 6cc/kgBB/jam, adalah 360 cc. EBV pasien berkisar sekitar 4200 cc,
perdarahan sekitar 1100cc, sehingga harus diganti dengan cairan kristaloid sebanyak
840 cc kristaloid, 420 cc koloid dan didapatkan perhitungan balance cairan +802 cc.
Untuk rumatan post operasi, pasien diberikan cairan kristaloid berupa ringer laktat
dengan drip santagesik (metamizole sodium 500mg) dalam 500cc RL 20 tetes permenit.
29
Setelah dilakukan operasi, Aldrete score pada pasien ini yaitu 9 (layak dibawa
keruang perawatan).
Warna kulit : Normal (2)
Motorik : Gerak 2 anggota tubuh (1)
Pernapasan : Spontan (2)
Tekanan darah : ± 20 mmHg dari pre op (2)
Kesadaran : Sadar penuh (2)
30
BAB IV
KESIMPULAN
1. Pasien dengan diagnosis G1P0 A0 Hamil Aterm Inpartu Kala 1 Fase Laten Dengan
Kpsw+Gagal Induksi JTH Presentasi Kepala + Riwayat Infertil Primer 5 Tahun+
Riwayat Operasi Kista Bartolini 5 Tahun yang lalu menjalani operasi SC emergency
dengan regional anastesi dengan analgesia spinal.
2. Pada penilaian preoperative, pasien tidak memiliki riwayat alergi obat, asma,
hipertensi, diabetes mellitus, tetapi mempunyai riwayat operasi sebelumnya yaitu
operasi kista bartolini sekitar 5 tahun yang lalu dan riwayat infertil selama 5 tahun.
3. Selama monitoring durante operatif status neurologis, kardiopulmonar,
hemodinamik, dan urologis pasien cukup stabil.
4. Post operatif menggunakan metamizole 1 ampul bolus iv dan ketoprofen
suppositoria. Pada penilaian post operatif, aldrete score pasien berjumlah 9 dan
dapat dipindahkan ke ruang perawatan biasa (melati Bhayangkara).
31
DAFTAR PUSTAKA
Butterworth, John F. Mackey, David C. Wasnick, John D. 2013. Morgan and Mikhail’s
Clinical Anesthesiology. 5th Edition. United States: McGraw-Hill.
Dobson M.B . 1994. Penuntun Praktis Anastesi. Jakarta Penerbit Buku Kedokteran
Gwinnutt, Carl L (2011). Catatan Kuliah Anestesi Klinis ed.3. Jakarta: EGC.
Latief Said, Suryadi A. Kartini, Dachlan M R. 2001 Petunuk Praktis Anastesiologi edisi
ke 2. Jakarta . Bagian Anastesiologi Dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Mansjoer A, Suprohaita, et al (2002). Ilmu Anestesi. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran
FKUI. Jilid 2. Edisi 3. Jakarta : Media Aesculapius.
Morgan GE, Maged J, Mikhail S, Murray, Michael J (2013). Clinical Anesthesiology,
5th Edition. United States of America: Appleton & Lange.
Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S, Dahlan R (2001). Anestesiologi. Jakarta: Bagian
Anestesiologi dan terapi Intensif FKUI.
Wirdjoatmodjo, K (2000). Anestesiologi dan Reaminasi Modul Dasar untuk Pendidikan
S1 Kedokteran. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.
32