ANEMIA APLASTIK
Disusun Oleh:
Bhayu Baruna Bastari
H1AP19003
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................iv
KATA PENGANTAR.............................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................2
2.1 ANEMIA APLASTIK....................................................................................2
2.1.1 Definisi....................................................................................................2
2.1.2 Epidemiologi............................................................................................2
2.1.3 Klasifikasi Anemia Aplastik....................................................................3
2.1.4 Etiologi....................................................................................................4
2.1.4.1 Anemia Aplastik Didapat (Acquired Aplastic Anemia)....................4
2.1.4.2 Familial (Inherited) Anemia Aplastik...............................................7
2.1.5 Patofisiologi.............................................................................................7
2.1.6 Manifestasi Klinis dan Laboratorium Anemia Aplastik..........................9
2.1.7 Diagnosis...............................................................................................12
2.1.8 Diagnosis Laboratorium........................................................................14
2.1.9 Diagnosis Banding.................................................................................14
2.1.10 Tata Laksana........................................................................................15
2.1.10.1 Terapi Kausal................................................................................15
2.1.10.2 Tata Laksana Suportif...................................................................15
2.1.10.3 Tata Laksana Medikamentosa.......................................................16
2.1.10.4 Faktor-Faktor Pertumbuhan Hematopoetik (Growth Factors).....20
2.1.10.5 Terapi Obat Kombinasi.................................................................21
2.1.10.6 Transplantasi Sumsum Tulang (TST)...........................................21
2.1.11 Efek Jangka Panjang Pada Pengobatan Anemia Aplastik...................22
2.1.12 Prognosis dan Perjalanan Penyakit.............................................................23
BAB III KESIMPULAN........................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................28
ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.2 (a) mimisan/epikstasis, (b) petechiae, (c) ekimosis, (d) perdarahan
gusi, (e) faringitis dan petechiae oral.....................................................................10
Gambar 2.3 Spesimen sumsum tulang dengan biopsi dari anemia aplastik..........11
Gambar 2.4 Spesimen sumsum tulang dengan biopsi dari pasien normal.............12
iii
DAFTAR TABEL
iv
DAFTAR SINGKATAN
AA : Anemia Aplastik
DDT : Chlorophenothane
AIDS : Acquired Immunodeficeincy Syndrom
ALG : Antilimfosite Globuline
ATG : Antitymocyte Globuline
BFU-E : Burst Forming Unit-Eriethroid
CFU-GM : Colony Forming Unit-Granulocyte/Macrophage
CPA : Ciclofosfamid
CSA : Ciclosporin A
GVHD : Graft Versus Host Disease
HIV : Human Immunodeficeincy Virus
IAASG : International Agranolocytosis And Aplastik Anemia Study Group
IFN : Interferon
MDS : Myelodysplastic Syndrom
NMRI : Nuclear Magnetic Resonance Imaging
NO : Nitric Oxide
NOS : Nitric Oxide Synthase
PHN : Paroxymal Nocturnal Hemoglobinuria
TIBC : Total Iron Binding Capacity
TNF : Tumor Necrosis Factor
TNT : Trinitrotolune
TST : Transplantasi Sumsum Tulang
v
HALAMAN PENGESAHAN
NPM : H1AP19003
Fakultas : Kedokteran
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini.
Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi salah satu komponen penilaian
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. M. Yunus,
Fakultas Kedokteran Universitas Bengkulu, Bengkulu.
Pada kesempatan ini Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam referat ini, maka
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak. Penulis sangat
berharap agar referat/tinjauan pustaka ini dapat bermanfaat bagi semua.
Penulis
v
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Epidemiologi
Anemia aplastik merupakan penyakit yang jarang ditemukan di dunia.
Angka kejadian di Asia termasuk Cina, Jepang, Thailand dan India lebih tinggi
dibandingkan dengan Eropa dan Amenika Serikat. Insidens penyakit ini bervariasi
antara 2 sampai 6 kasus tiap 1 juta penduduk per tahun dengan variasi geografis.
2
Penelitian yang dilakukan The International Aplastic Anemia and
Agranulocytosis Study di Eropa dan Israel awal tahun 1980 mendapatkan 2 kasus
tiap 1 juta populasi. Penenlitian di Perancis menemukan angka insidensi sebesar
1,5 kasus per 1 juta penduduk per tahun. Di Cina, insidensi dilaporkan 0,74 kasus
per 100.000 penduduk per tahun.
Anemia aplastik didapat umumnya muncul pada usia 15 sampai 25 tahun;
puncak insidens kedua yang lebih kecil muncul setelah usia 60 tahun. Umur dan
jenis kelamin pun bervariasi secara geografis. Perbandingan insidens antara laki-
laki dan perempuan kira-kira 1:1, meskipun dari beberapa data menunjukkan laki-
laki sedikit lebih sering terkena anemia aplastik dan perjalanan penyakit pada pria
juga lebih berat daripada perempuan. Perbedaan insidens yang mungkin terjadi di
beberapa tempat mungkin karena perbedaan risiko okupasional, variasi geografis
dan pengaruh lingkungan. Perbedaan umur dan jenis kelamin disebabkan oleh
risiko dari pekerjaan.
3
3 Anemia aplastik tidak berat Sumsum tulang hiposelular
namun sitopenia tidak memnuhi
kriteria berat.
2.1.4 Etiologi
Sejauh ini penyebab pasti seseorang menderita anemia aplastik belum
dapat ditegakkan dengan pasti. Namun terdapat beberapa sumber yang berpotensi
sebagai faktor yang menimbulkan anemia aplastik. Anemia aplastik dapat
diggolongkan menjadi tiga berdasarkan penyebabnya yaitu anemia aplastik
didapat (acquired aplastic anemia), familial (inherited) dan idiopathik (tidak
diketahui). Sumber lainnya membagi penyebabnya menjadi primer (kongenital
dan idiopatik) dan sekunder (radiasi, obat, dan penyebab lain). Berikut ini
merupakan penjelasan mengenai ketiga penyebab tersebut.
4
2. Obat.
Beberapa jenis obat mempunyai asosiasi dengan anemia aplastik, baik itu
mempunyai pengaruh yang kecil hingga pengaruh berat pada penyakit anemia
aplastik, meskipun kasusnya masih jarang ditemukan. Hal ini dikarenakan
beberapa zat dalam obat dapat mempengaruhi fungsi sumsum tulang apabila
menggunakan obat dalam dosis tinggi serta tingkat keracunan tidak
mempengaruhi organ lain. Beberapa obat yang dikaitkan sebagai penyebab
anemia aplastik yaitu obat dose dependent (sitostatika, preparat emas), dan obat
dose independent (kloramfenikol, fenilbutason, antikonvulsan, sulfonamid).
3. Radiasi.
Penyinaran yang bersifat kronis untuk radiasi dosis rendah atau radiasi
lokal dikaitkan meningkat namun lambat dalam perkembangan anemia aplastik
dan akut leukemia. Pasien yang diberikan thorium dioxide melalui kontras
intravena akan menderita sejumlah komplikasi seperti tumor hati, leukemia akut,
dan anemia aplastik kronik. Penyinaran dengan radiasi dosis besar berasosiasi
dengan perkembangan aplasia sumsum tulang dan sindrom pencernaan.
Makromolekul besar, khususnya DNA, dapat dirusak baik secara langsung oleh
sejumlah besar energi sinar yang dapat memutuskan ikatan kovalen atau secara
tidak langsung melalui interaksi dengan serangan tingkat tinggi dan molekul kecil
reaktif yang dihasilkan dari ionisasi atau radikal bebas yang terjadi pada larutan.
Secara mitosis jaringan hematopoesis aktif sangat sensitif dengan hampir segala
bentuk radiasi. Sel pada sumsum tulang kemungkinan sangat dipengaruhi oleh
energi tingkat tinggi sinar γ, yang dimana dapat menembus rongga perut. Kedua,
dengan menyerap partikel α dan β (tingkat energi β yang rendah membakar tetapi
tidak menembus kulit). Pemaparan secara berulang mungkin dapat merusak
sumsum tulang yang dapat menimbulkan anemia aplastik.
4. Virus.
5
Beberapa spesies virus dari famili yang berbeda dapat menginfeksi
sumsum tulang manusia dan menyebabkan kerusakan. Beberapa virus seperti
virus Epstein-Barr, Influenza A, Virus dengeu, Sitomegalovirus, HIV, Parvovirus,
dan Hepatitis Virus dikaitkan dengan potensi sebagai penyebab anemia aplastik.
Sitomegalovirus dapat menekan produksi sel sumsum tulang, melalui gangguan
pada sel-sel stroma sumsum tulang. Infeksi oleh human immunodeficeincy virus
(HIV) yang berkembang menjadi acquired immunodeficiency syndrom (AIDS)
dapat menimbulkan pansitopenia. Infeksi kronik oleh parvovirus pada pasien
dengan defisiensi imun juga dapat menimbulkan pansitopenia. Pasien yang
mengalami infeksi virus hepatitis dapat juga mengalami anemia aplastik. Virus
hepatitis selama ini dicurigai merupakan salah satu penyebab anemia aplastik,
biasanya terjadi pada umur lebih muda (2-20 tahun) yang pada pasien ini berumur
13 tahun, gejala anemia muncul 24-30 minggu setelah infeksi hepatitis, beratnya
infeksi hepatitis sendiri tidak berhubungan dngan beratnya anemia, gejala ini
paling banyak ditemukan pada penduduk Asia terutama pada golongan sosial
ekonomi yang rendah, prognosis pada pasien lebih buruk. Sebagian besar infeksi
yang menyebabkan anemia aplastik disebabkan oleh virus hepatitis C, sedangkan
virus hepatitis B lebih jarang terlihat. Patogenesis anemia aplastik yang
diakibatkan oleh virus hepatitis belum diketahui pasti, tapi kemungkinan hal ini
disebabkan oleh virus mengeluarkan toksik yang langsung pada sel induk
hemopoetik atau sel stoma (stem cell), ataupun bisa terjadi melalui proses
gangguan imunologik.
5. Penyebab Lain.
Rheumatoid arthritis tidak memiliki asosiasi yang biasa dengan anemia
aplastik berat, namun sebuah studi epidemiologi di Perancis menyatakan bahwa
anemia aplastik terjadi tujuh kali lipat pada pasien dengan rheumatoid arthritis.
Terkadang anemia aplastik juga dijumpai pada pasien dengan penyakit sistemik
lupus erythematosus. Penyakit-penyakit autoimun sering juga menyebabkan
anemia aplastik. Hal ini dikarenakan adaya perubahan imunitas menyebabkan
destruksi, khusunya kematian sel CD34 yang diperantarai ligan Fas, dan aktivasi
6
alur intraselular yang menyebabkan penghentian sklus sel (cell-cycle arrest). Sel-
sel T dari pasien membunuh sel-sel asal hemopoetik dengan perilaku yang HLA-
DR –restricted melalui ligan Fas. Hal ini menjadi adanya serangan autoimun pada
sel-sel hematopoetik yang dapat menyebabkan anemia aplastik. Selain itu terdapat
juga sejumlah laporan yang menyatakan kehamilan berkaitan dengan anemia
aplastik. Hal ini disebabkan oleh esterogen pada seseorang dengan predisposisi
genetik, adanya zat penghambat dalam darah atau tidak ada perangsang
hematopoeisis. Anemia aplastik sering sembuh setelah kehamilan, dapat terjadi
lagi pada kehamilan berikutnya.
2.1.5 Patofisiologi
Penyebab anemia aplastik sulit ditentukan, terutama karena banyak
kemungkinan yang harus disingkirkan. Jika tidak ditemukan penyebab yang pasti
maka digolongkan ke dalam penyebab idiopatik. Pendapat lain menyatakan bahwa
penyebab terbanyak dari kegagalan sumsum tulang adalah iatrogenik karena
kemoterapi sitostatik atau terapi radiasi. Kerusakan yang terjadi pada anemia
aplastik terdapat pada sel induk dan ketidakmampuan jaringan sumsum tulang
untuk memberi kesempatan sel induk untuk tumbuh dan berkembang dengan baik.
Hal ini berkaitan erat dengan mekanisme yang terjadi seperti toksisitas langsung
atau defisiensi sel-sel stromal. Penyimpangan proses imunologis yang terjadi pada
anemia aplastik berhubungan dengan infeksi virus atau obat-obatan yang
digunakan, atau zat-zat kimia. Hematopoesis normal yang terjadi di dalam
sumsum tulang, merupakan interaksi antara progenitor hematopoetik stem cell
dengan lingkungan mikro (microenvironment) pada sumsum tulang. Lingkungan
mikro tersebut mengatur hematopoesis melalui reaksi stimulasi oleh faktor
pertumbuhan hematopoetik. Sel-sel hematologik imatur dapat terlihat dengan
7
pemeriksaan flouresent activate flow citometry, yang dapat mendeteksi sel antigen
CD34+ dan adhsesi protein kurang dari 1% pada sumsum tulang normal. Anemia
aplastik dapat terjadi secara heterogen melalui beberapa mekanisme yaitu
kerusakan pada lingkungan mikro, gangguan produksi atau fungsi dan faktor-
faktor pertumbuhan hematopoetik, dan kerusakan sumsum tulang melalui
mekanisme imunologis. Limfosit T sitotoksik aktif, memegang peran yang besar
dalam kerusakan jaringan sumsum tulang melalui pelepasan limfokin seperti
interferon (IFN) dan tumor necrosis factor (TNF). Peningkatan produksi
interleukin-2 mengawali terjadinya ekspansi poliklonal sel T. Aktivasi reseptor
Fas melalui fas-ligand menyebabkan terjadinya apoptosis sel target. Efek IFN
melalui interferon regulatory factor 1 (IRF-1), adalah menghambat transkripsi gen
dan masuk ke dalam siklus sel. IFN-γ juga menginduksi pembentukan nitric oxide
synthase (NOS), dan produksi gas toksik nitric oxide (NO) yang mungkin
menyebabkan efek toksiknya menyebar.
8
seperti benzene, obat, atau radiasi untuk proses proliferasi dan sel hematopoetik
yang tidak bergerak. Mekanisme kedua, didukung oleh observasi klinik dan studi
laboratorium, yaitu imun sebagai penekan sel sumsum tulang, sebagai contoh dari
mekanisme ini yaitu kegagalan sumsum tulang setelah graft versus host disease,
eosinophilic fascitis, dan hepatitis. Mekanisme idiopatik, asosiasi dengan
kehamilan, dan beberapa kasus obat yang berasosiasi dengan anemia aplastik
masih belum jelas tetapi dengan terperinci melibatkan proses imunologi. Sel
sitotoksik T diperkirakan dapat bertindak sebagai faktor penghambat dalam sel
hematopoetik dalam menyelesaikan produksi hematopoesis inhibiting cytokinesis
seperti interferon γ dan tumor nekrosis faktor α. Efek dari imun sebagai media
penghambat dalam hematopoesis mungkin dapat menjelaskan mengapa hampir
sebagian besar pasien dengan anemia aplastik didapat memiliki respon terhadap
terapi imunosupresif.
Pasien dengan anemia aplastik biasanya tidak memiliki lebih dari 10%
jumlah sel batang normal. Bagaimanapun, studi laboratorium menunjukkan bahwa
sel stromal dari pasien anemia aplastik dapat mendukung pertumbuhan dan
perkembangan dari sel induk hematopoetik dan dapat juga menghasilkan kuantitas
faktor pertumbuhan hematopoetik dengan jumlah normal atau meningkat.
Berdasarkan patofisiologi dari anemia aplastik, oleh karena itu disarankan dua
pendekatan utama untuk pengobatannya yaitu penggantian sel induk yang tidak
sempurna dengan cara transplantasi sumsum tulang dan penekanan proses
imunologi yang bersifat merusak.
9
pendarahan pada hidung (epitaxis). Menstruasi berat atau menorrhagia sering
terjadi pada perempuan usia subur. Pendarahan organ dalam jarang dijumpai,
tetapi pendarahan dapat bersifat fatal. Pemeriksaan fisik secara umum tidak ada
penampakan kecuali tanda infeksi atau pendarahan. Jejas purpuric pada mulut
(purpura basah) menandakan jumlah platelet kurang dari 10.000/μl (10 x 10 9/liter)
yang menandakan risiko yang lebih besar untuk pendarahan otak. Pendarahan
retina mungkin dapat dilihat pada anemia berat atau trombositopenia.
Limfadenopati atau splenomegali tidak selalu ditemukan pada anemia aplastik,
biasanya ditemukan pada infeksi yang baru terjadi atau diagnosis alternatif seperti
leukemia atau limpoma.
(a) (b)
(c) (d)
(e)
Gambar 2.2 (a) mimisan/epikstasis, (b) petechiae, (c) ekimosis, (d) perdarahan
gusi, (e) faringitis dan petechiae oral
10
a. Penemuan pada Darah.
Pasien dengan anemia aplastik memiliki tingkat pansitopenia yang
beragam. Anemia diasosiasikan dengan indeks retikulosit yang rendah. Jumlah
retikulosit biasanya kurang dari satu persen atau bahkan mungkin nol.
Makrositosis mungkin dihasilkan dari tingkat eritropoietin yang tinggi,
merangsang sedikit sisa sel eritroblas untuk berkembang dengan cepat, atau dari
klon sel eritroid yang tidak normal. Jumlah total leukosit dinyatakan rendah,
jumlah sel berbeda menyatakan sebuah tanda pengurangan dalam neutropil.
Platelet juga mengalami pengurangan, tetapi fungsinya masih normal. Pada
anemia ini juga dijumpai kadar Hb <7 g/dl. Penemuan lainnya yaitu besi serum
normal atau meningkat, Total Iron Binding Capacity (TIBC) normal dan HbF
meningkat.
11
Gambar 2.3. Spesimen sumsum tulang dengan biopsi dari pasien
anemia aplastik.
Gambar 2.4. Spesimen sumsum tulang dengan biopsi dari pasien normal
c. Penemuan Radiologi.
Pada Nuclear Magnetic Resonance Imaging (NMRI) dapat digunakan
untuk membedakan antara lemak sumsum dan sel hemapoetik. Pemeriksaan ini
dapat memberikan perkiraan yang lebih baik untuk aplasia sumsum tulang dari
pada teknik morpologi dan mungkin membedakan sindrom hipoplastik
mielodiplastik dari anemia aplastik.
12
Serum memiliki tingkat faktor pertumbuhan hemapoetik yang tinggi, yang
meliputi erythropoietin, thrombopoietin, dan faktor myeloid colony stimulating.
Serum besi juga memiiki nilai yang tinggi, dan jarak ruang Fe diperpanjang,
dengan dikuranginya penggabungan dalam peredaran sel darah merah.
2.1.7 Diagnosis
Diagnosis anemia aplastik ditegakkan berdasarkan keadaan pansitopenia
yang ditandai oleh anemia, leukopenia dan trombositopenia pada darah tepi.
Keadaan inilah yang menimbulkan keluhan pucat, perdarahan dan demam yang
disebabkan oleh infeksi. Pada pemeriksaan fisik, tidak ditemukan
hepatosplenomegali atau limfadenopati. Di samping keadaan pansitopenia, pada
hitung jenis juga menunjukan gambaran limfositosis relatif. Diagnosis pasti
anemia aplastik ditentukan berdasarkan pemeriksaan aspirasi sumsum tulang yang
menunjukkan gambaran sel yang sangat kurang, terdapat banyak jaringan ikat dan
jaringan lemak, dengan aplasi sistem eritropoetik, granulopoetik dan
trombopoetik.
Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan pada pemeriksaan
rutin. Keluhan yang dapat ditemukan sangat bervariasi seperti yang ditunjukkan
pada Tabel 2 dibawah ini.
13
Hasil pemeriksaan fisik pada pasien anemia aplastik sangat bervariasi.
Pada Tabel 3 dibawah ini menjelaskan beberapa hasil pemeriksaan fisik yang
sering ditemukan pada kasus anemia aplastik.
14
Pansitopenia karena obat sitostatika atau radiasi terapeutik harus
dieksklusi. Setelah diagnosis ditegakkan maka perlu ditentukan derajat penyakit
anemia aplastik. Hal ini sangat penting dilakukan untuk keberhasilan terapi yang
akan diberikan.
Tergolong anemia aplastik berat (severe aplastic anemia) bila memenuhi
kriteria berikut: paling sedikit dua dari tiga: (a) granulosit < 0.5x109/L; (b)
trombosit < 20x109/L; (c) corrected retikulosit < 1%. Selularitas sumsum tulang
<25% atau selularitas < 50% dengan <30% sel-sel hematopoetik. Dan anemia
aplastik sangat berat bila neutrofil <0.2 x109/L. Anemia aplastik yang lebih ringan
dari anemia aplastik berat disebut anemia aplastik tidak berat (nonserve aplastic
anemia).
15
2.1.10.1 Terapi Kausal
Terapi kausal adalah usaha untuk menghilangkan agen penyebab.
Hindarkan pemaparan lebih lanjut terhadap agen penyebab yang diketahui, tetapi
sering hal ini sulit dilakukan karena etiologinya yang tidak jelas atau penyebabnya
tidak dapat dikoreksi.
16
dicurigai terdapat sepsis dapat diberikan antibiotik spektrum luas dengan dosis
tinggi secara intravena dan kalau penyebab demam dipastikan bakteni terapi
dilanjutkan sampai 10-14 hari atau sampai hasil kultur negatif. Bila demam
menetap hingga 48 jam setelah diberikan antibiotik secara empiris dapat diberikan
anti jamur. Pada tata laksana anemia aplastik, yang tidak kalah penting adalah
penghindaran dari bahan-bahan fisika maupun kimiawi, termasuk obat-obatan
yang mungkin menjadi penyebab. Bila zat-zat kimia atau fisika yang bersifat
toksik itu ditemukan dan masih terdapat dalam tubuh, harus diusahakan untuk
mengeluarkannya walaupun hal ini kadang tidak dapat dilakukan (Isyanto et al
2016).
2. Androgen
Androgen digunakan sebagai terapi anemia aplastik sejak tahun 1960.
Efek androgen dalam tata laksana anemia aplastik untuk meningkatkan produksi
eritropoetin dan merangsang sel stem eritroid. Penggunaan androgen tunggal
sebagai terapi anemia aplastik ternyata tidak meningkatkan angka kesembuhan
pada pasien. Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, androgen sebagai
tambahan terapi antitymocyte globulin (ATG) juga tidak menunjukkan
keuntungan, sedangkan penelitian yang dilakukan di Eropa menunjukkan
androgen hanya meningkatkan respons hematologi tetapi tidak meningkatkan
angka kesembuhan. Terapi androgen pada pasien anemia aplastik yang gagal
dengan terapi imunosupresan mungkin berguna, meskipun berbahaya (Isyanto et
al 2016).
17
Preparat androgen yang sering digunakan adalah metil testosteron,
testosteron enantat, testosteron propionat, oksimetolon dan etiokolanolon. Dosis
yang digunakan adalah 2-5 mg/kg berat badan/minggu, secara intramuskular.
Dosis nandrolon dekanoat diberikan 5 mg/kg berat badan /minggu. Efek samping
yang dapat timbul dari pemberian preparat androgen ini seperti kolestasis,
hepatomegali, tumor hepar, maskulinisasi, kebotakan, dan pembesaran alat
kelamin. Pasien dengan terapi androgen sebaiknya dilakukan pemeriksaan fungsi
hati secara berkala, pemeriksaan ultrasonografi hati setiap tahun, dan pemeriksaan
usia tulang per tahun (Isyanto et al 2016).
3. Imunosupresan
Metilprednisolon
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa metilprednisolon dosis rendah 2-
4 mg/kg berat badan /hari, dapat digunakan untuk mengurangi perdarahan dan
gejala serum sickness. Metilprednisolon dosis tinggi memberikan respons
pengobatan yang baik sampai 40%. Dosis metilprednisolon adalah 5mg/kg/ berat
badan secara intravena selama 8 hari kemudian dilakukan tappering dengan dosis
1mg/kg berat badan/hari selama 9-14 hari, lalu tappering selama 15-29 hari.
Pemakaian kortikosteroid dibatasi pada keadaan antilimfosit globulin tidak
tersedia atau terlalu mahal. Efek samping antara lain ulkus peptikum, edem,
hiperglikemia, dan osteonekrosis (Isyanto et al 2016).
18
metilprednisolon 1mg/kg berat badan /hari intravena selama 4 hari. Dapat juga
diberikan dosis 20mg/kg berat badan /hari selama 4-6 jam dengan infus intravena
selama 8 hari berturutturut yang dikombinasikan dengan prednison 40mg/m2/hari
selama 5 hari dimulai pada hari terakhir pemberian ALG. ALG dapat
menyebabkan perasaan panas dingin, kemerahan, trombositopenia dan serum
sickness. Keberhasilan terapi menggunakan ALG tunggal sekitar 50% (Isyanto et
al 2016).
Siklosporin A (Cs A)
Merupakan cyclic polypeptide yang menghambat imunitas humoral,
sebagai inhibitor spesifik terhadap sel limfosit T, mencegah pembentukan
interleukin-2 dan interferon-y. Dan dapat menghambat reaksi imun seperti
penolakan jaringan transplan, GVHD, dan lain-lain. Dosis awal dapat diberikan 8
mg/kg berat badan /hari peroral selama 14 hari dilanjutkan dengan dosis 15 mg/kg
berat badan /hari pada anak-anak dan 12 mg/kg/hari pada dewasa. Dosis
kemudian dipertahankan pada kadar 200-500ug/L untuk menghindari efek toksik.
19
Bila ditemukan efek toksik, terapi dihentikan 1-4 hari untuk kemudian dilanjutkan
dengan dosis yang lebih rendah. Respons terapi dengan siklosporin tunggal hanya
sekitar 25%. Kombinasi siklosporin dengan ATG meningkatkan kecepatan remisi
sistem hematopoetik sekitar 70% (Isyanto et al 2016).
Siklofosfamid (CPA)
Penggunaan siklofosfamid sebagai terapi anemia aplastik, dimulai pada
saat penggunaan siklofospamid sebagai persiapan transplantasi sumsum tulang.
Siklofosfamid (CPA) adalah zat kimia yang berkaitan dengan nitrogen mustard.
Sebagai agen alkali CPA terlibat dalam cross-link DNA yang mungkin
berhubungan dengan pertumbuhan sel normal dan neoplasma. Sejumlah peneliti
menyatakan dosis terapi yang diberikan adalah 50mg/kg berat badan/hari selama 4
hari berturut-turut. Tetapi perlu diingat dosis tinggi yang diberikan akan
meningkatkan efek tosik yang serius dan efek terapi yang ditimbulkan tidak lebih
baik dibandingkan dengan terapi kombinasi. Penelitian yang dilakukan terhadap
10 pasien anemia aplastik berat dengan CPA 45mg/kg berat badan/hari selama 4
hari, memberikan hasil lebih efektifdibandingkan dengan imunosupresan
konvensional lainnya, dalam hal memperbaiki hematopoesis normal dan
pencegahan relaps atau kelainan-kelainan klonal sekunder, meskipun tanpa
dilakukan TST. Penelitian yang dilakukan terhadap 19 pasien yang diberikan CPA
dengan dosis 50 mg/kg berat badan /hari selama 4 hari didapatkan hasil terapi
CPA dosis tinggi tanpa TST membuat remisi bebas pada pasien anemia aplastik
berat. Penelitian ini dilakukan pada pasien yang tidak dapat dilakukan
transplantasi sumsum tulang (Isyanto et al 2016).
20
perifer maupun di sumsum tulang. Keadaan ini bersifat sementara atau menetap
yang ditandai dengan respon klinis terhadap infeksi. Pasien dengan jumlah
granulosit awal lebih banyak memberikan respon terapi yang lebih baik, diduga
karena meningkatnya cadangan sel prekursor mieloid di sumsum tulang. Jangan
diberikan setelah 24 jam pemberian sitostatik karena dapat meningkatkan
sensitivitas (Isyanto et al 2016).
Dapat juga diberikan recombinat human granulocyte colony stimulating
factor (G-CSF) yang dapat mengaktifkan dan menstimulasi produksi, stimulasi,
migrasi dan sitotoksisitas dan neutrofil. Dosis yang dapat diberikan 5ug/kg berat
badan /hari subkutan. Efek samping yang dapat terjadi, risiko untuk berkembang
menjadi sindrom mielodisplastik atau leukemia mieloid akut. Human IL-3 dengan
dosis sampai 1000 ug/kgbb/hari juga dapat merangsang aktivitas sistem
hematopoetik bila diberikan bersama faktor pertumbuhan yang lain. Faktor
pertumbuhan ini merupakan terapi tambahan pada anemia aplastik yang dengan
infeksi, dan berguna pada pasien anemia aplastik berat karena stem cell pada
sumsum tulang yang sangat kurang. Penelitian yang mempelajari efek GMCSF,
IL-3, IL-6, dan G-CSF didapatkan G-CSF mempunyai efek yang paling baik
dalam memperbaiki respons hematopoesis (Isyanto et al 2016).
21
Penelitian terbaru yang mengkombinasikan ATG dengan siklosporin pada
pasien anemia aplastik berat didapatkan hasil peningkatan angka kesembuhan 7
tahun yang memuaskan pada 55% kasus. Kombinasi ATG dan CsA merupakan
terapi imunosupresan lini pertama untuk pasien dengan anemia aplastik berat
(Isyanto et al 2016).
22
recipient related. Komplikasi TST yang paling sering terjadi adalah GVHD, graft
failure dan infeksi. Penelitian retrospektif yang dilakukan Min CK, dan kawan-
kawan terhadap 40 pasien anemia aplastik yang dilakukan TST alogenik
didapatkan insidens graft failure, GVHD akut, GVHD kronis masing-masing
22,5%, 12,8% and 23,1%. Sedangkan 5% pasien mengalami pneumonia
interstisial dan 2,5% pneumonia (Isyanto et al 2016).
23
sempurna atau parsial, hanya merupakan bagian kecil penderita (Isyanto et al
2016).
24
BAB III
KESIMPULAN
27
Secara garis besarnya terapi untuk anemia apalstik dapat dibagi menjadi 4
yaitu terapi kausal, terapi suportif, dan terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum
tulang (terapi ini untuk merangsang pertumbuhan sumsum tulang), serta terapi
definitif yang terdiri atas pemakaian anti-lymphocyte globuline, transplantasi
sumsum tulang.
28
DAFTAR PUSTAKA
Bakta IM, 2012. Anemia Karena Kegagalan Sumsum Tulang. In: Hematologi
Klinik Ringkas. Cetakan I. Jakarta: EGC. pp. 97-112.
Bär C, Povedano JM, Serrano R, et al. Telomerase gene therapy rescues telomere
length, bone marrow aplasia, and survival in mice with aplastic anemia.
Blood. 2016;127:1770–1779.
Isyanto, Isyanto & Abdulsalam, Maria. (2016). Masalah pada Tata Laksana
Anemia Aplastik Didapat. Sari Pediatri. 7. 26. 10.14238/sp7
Li SS, Hsu YT, Chang C, et al. Incidence and treatment outcome of aplastic
anemia in Taiwan-real-world data from single-institute experience and a
nationwide population-based database. Ann Hematol. 2019;98:29– 39.
Shadduck RK, 2012. Aplastic Anemia. In: Beuttler E, Coller BS, Lichtman M,
Kipps TJ. Williams Hematology. 6th ed. USA: McGraw-Hill. pp. 504-523.
28