Anda di halaman 1dari 34

Referat

ANEMIA APLASTIK

Disusun Oleh:
Bhayu Baruna Bastari
H1AP19003

Pembimbing : dr. Rasmijon, Sp.PD, K-KV, FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD DR. M. YUNUS BENGKULU
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2021

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................ii
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................iv
KATA PENGANTAR.............................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................2
2.1 ANEMIA APLASTIK....................................................................................2
2.1.1 Definisi....................................................................................................2
2.1.2 Epidemiologi............................................................................................2
2.1.3 Klasifikasi Anemia Aplastik....................................................................3
2.1.4 Etiologi....................................................................................................4
2.1.4.1 Anemia Aplastik Didapat (Acquired Aplastic Anemia)....................4
2.1.4.2 Familial (Inherited) Anemia Aplastik...............................................7
2.1.5 Patofisiologi.............................................................................................7
2.1.6 Manifestasi Klinis dan Laboratorium Anemia Aplastik..........................9
2.1.7 Diagnosis...............................................................................................12
2.1.8 Diagnosis Laboratorium........................................................................14
2.1.9 Diagnosis Banding.................................................................................14
2.1.10 Tata Laksana........................................................................................15
2.1.10.1 Terapi Kausal................................................................................15
2.1.10.2 Tata Laksana Suportif...................................................................15
2.1.10.3 Tata Laksana Medikamentosa.......................................................16
2.1.10.4 Faktor-Faktor Pertumbuhan Hematopoetik (Growth Factors).....20
2.1.10.5 Terapi Obat Kombinasi.................................................................21
2.1.10.6 Transplantasi Sumsum Tulang (TST)...........................................21
2.1.11 Efek Jangka Panjang Pada Pengobatan Anemia Aplastik...................22
2.1.12 Prognosis dan Perjalanan Penyakit.............................................................23
BAB III KESIMPULAN........................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................28

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Destruksi imun pada sel hematopoetik................................................8

Gambar 2.2 (a) mimisan/epikstasis, (b) petechiae, (c) ekimosis, (d) perdarahan
gusi, (e) faringitis dan petechiae oral.....................................................................10

Gambar 2.3 Spesimen sumsum tulang dengan biopsi dari anemia aplastik..........11

Gambar 2.4 Spesimen sumsum tulang dengan biopsi dari pasien normal.............12

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Klasifikasi Anemia Aplastik......................................................................3


Tabel 2. Keluhan Pasien Anemia Aplastik (n=70)................................................13
Tabel 3. Pemeriksaan Fisik pada Pasien Anemia Aplastik (n=70)........................13
Tabel 4. Efek Jangka Panjang Pengobatan Anemia Aplastik................................23

iv
DAFTAR SINGKATAN

AA : Anemia Aplastik
DDT : Chlorophenothane
AIDS : Acquired Immunodeficeincy Syndrom
ALG : Antilimfosite Globuline
ATG : Antitymocyte Globuline
BFU-E : Burst Forming Unit-Eriethroid
CFU-GM : Colony Forming Unit-Granulocyte/Macrophage
CPA : Ciclofosfamid
CSA : Ciclosporin A
GVHD : Graft Versus Host Disease
HIV : Human Immunodeficeincy Virus
IAASG : International Agranolocytosis And Aplastik Anemia Study Group
IFN : Interferon
MDS : Myelodysplastic Syndrom
NMRI : Nuclear Magnetic Resonance Imaging
NO : Nitric Oxide
NOS : Nitric Oxide Synthase
PHN : Paroxymal Nocturnal Hemoglobinuria
TIBC : Total Iron Binding Capacity
TNF : Tumor Necrosis Factor
TNT : Trinitrotolune
TST : Transplantasi Sumsum Tulang

v
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Bhayu Baruna Bastari

NPM : H1AP19003

Fakultas : Kedokteran

Judul : Anemia Aplastik

Bagian : Ilmu Penyakit Dalam

Pembimbing : dr. Rasmijon, Sp.PD, K-KV, FINASIM

Bengkulu, Jumat 5 Februari 2021


Pembimbing

dr. Rasmijon, Sp.PD, K-KV, FINASIM

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini.
Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi salah satu komponen penilaian
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. M. Yunus,
Fakultas Kedokteran Universitas Bengkulu, Bengkulu.

Pada kesempatan ini Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. dr. Rasmijon, Sp.PD, K-KV, FINASIM sebagai


pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu dan telah memberikan
masukan-masukan, petunjuk serta bantuan dalam penyusunan tugas ini.
2. Teman–teman yang telah memberikan bantuan baik
material maupun spiritual kepada penulis dalam menyusun referat ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam referat ini, maka
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak. Penulis sangat
berharap agar referat/tinjauan pustaka ini dapat bermanfaat bagi semua.

Bengkulu, Jumat 5 februari 2021

Penulis

v
BAB I

PENDAHULUAN

Anemia aplastik (AA) adalah kelainan darah yang jarang terjadi,


mengancam jiwa dan memiliki erogenous. Ini menghasilkan sitopenia perifer
dengan aplasia sumsum tulang trilineage. Anemia, perdarahan, infeksi dan
beberapa gejala klinis lainnya biasanya merupakan gejala awal AA. Ini dapat
terjadi pada semua usia, namun individu muda (usia 10-25 tahun) dan manula (>
60 tahun) adalah yang paling rentan. Tidak ada perbedaan signifikan dalam jenis
kelamin yang telah dicatat (Bar C et al 2016).
Insiden AA di Amerika Serikat dan Eropa di bawah 2,5 / juta, sedangkan
insiden AA di Asia 2-3 kali lebih tinggi (Akram Z et al 2019). Namun, tingkat
kejadian AA di Asia berbeda di antara berbagai negara, dengan tingkat 7,4 / juta
di Cina, 3,7–5,0 / juta di tanah Thailand, dan 4,8 / juta di Malaysia. Faktor
lingkungan, seperti obat-obatan, racun dan bahan kimia dapat mempengaruhi
kejadian AA (Li ss 2019).
AA dapat dibagi menjadi bawaan dan didapat. Bentuk yang diwariskan
jarang terjadi dan terutama mencakup Fanconi Anemia, Congenital Keratosis,
Congenital Pure Red Cell Aplasia dan Shwachman-Diamond Syndrome.
Transplan sel induk hematopoietik dan terapi imunosupresif berbasis anti-timosit
globulin telah menjadi strategi pengobatan utama untuk AA. Namun, mekanisme
AA sangat rumit dan memiliki kecepatan relaps yang tinggi dengan penyakit
klonal sekunder.
Anemia aplastik (AA) adalah kelainan hematopoietik yang dimediasi oleh
sistem imun yang jarang dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang
signifikan. Pada pasien dengan dugaan AA, diagnosis yang cepat dan akurat serta
perawatan suportif secara bersamaan sangat penting. Secara historis, terapi
imunosupresif dan transplantasi sumsum tulang (Akram Z et al 2019).

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANEMIA APLASTIK


2.1.1 Definisi
Anemia aplastik adalah kegagalan sumsum tulang baik secara fisiologis
maupun anatomis. Penyakit ini ditandai oleh penurunan atau tidak ada faktor
pembentuk sel darah dalam sumsum tulang, pansitopenia darah perifer, tanpa
disertai hepatosplenomegali atau limfadenopati.
Anemia aplastik merupakan suatu kelainan dari sindrom klinik yang
diantaranya ditandai oleh defisiensi sel darah merah, neutrophils, monosit dan
platelet tanpa adanya bentuk kerusakan sumsum lainnya. Dalam pemeriksaan
sumsum dinyatakan hampir tidak ada hematopoetik sel perkusi dan digantikan
oleh jaringan lemak. Kerusakan ini bisa disebabkan oleh zat kimia beracun, virus
tertentu, atau bisa juga karena faktor keturunan. Anemia aplastik tergolong
penyakit yang jarang dengan insiden di negara maju 3-6 kasus/ 1 juta penduduk/
tahun.
Anemia aplastik juga merupakan anemia yang disertai oleh pansitopenia
pada darah tepi yang disebabkan oleh kelainan primer pada sumsum tulang dalam
bentuk aplasia atau hipoplasia. Karena sumsum tulang pada sebagian besar kasus
bersifat hipoplastik, bukan aplastik total, maka anemia ini disebut juga sebagai
anemia hipoplastik.2 Kelainan ini ditandai oleh sumsum hiposelular dan berbagai
variasi tingkat anemia, granulositopenia, dan trombositopenia.

2.1.2 Epidemiologi
Anemia aplastik merupakan penyakit yang jarang ditemukan di dunia.
Angka kejadian di Asia termasuk Cina, Jepang, Thailand dan India lebih tinggi
dibandingkan dengan Eropa dan Amenika Serikat. Insidens penyakit ini bervariasi
antara 2 sampai 6 kasus tiap 1 juta penduduk per tahun dengan variasi geografis.

2
Penelitian yang dilakukan The International Aplastic Anemia and
Agranulocytosis Study di Eropa dan Israel awal tahun 1980 mendapatkan 2 kasus
tiap 1 juta populasi. Penenlitian di Perancis menemukan angka insidensi sebesar
1,5 kasus per 1 juta penduduk per tahun. Di Cina, insidensi dilaporkan 0,74 kasus
per 100.000 penduduk per tahun.
Anemia aplastik didapat umumnya muncul pada usia 15 sampai 25 tahun;
puncak insidens kedua yang lebih kecil muncul setelah usia 60 tahun. Umur dan
jenis kelamin pun bervariasi secara geografis. Perbandingan insidens antara laki-
laki dan perempuan kira-kira 1:1, meskipun dari beberapa data menunjukkan laki-
laki sedikit lebih sering terkena anemia aplastik dan perjalanan penyakit pada pria
juga lebih berat daripada perempuan. Perbedaan insidens yang mungkin terjadi di
beberapa tempat mungkin karena perbedaan risiko okupasional, variasi geografis
dan pengaruh lingkungan. Perbedaan umur dan jenis kelamin disebabkan oleh
risiko dari pekerjaan.

2.1.3 Klasifikasi Anemia Aplastik


Berdasarkan derajat pansitopenia darah tepi, anemia aplastik didapat
diklasifikasikan menjadi tidak berat, berat atau sangat berat (Tabel 1). Risiko
morbiditas dan mortalitas lebih berkorelasi dengan derajat keparahan sitopenia
ketimbang selularitas sumsum tulang. Angka kematian setelah 2 tahun denga
perawatan suportif saja untuk pasien anemia aplastik berat atau sangat berat
mencapai 80%; infeksi jamur dan sepsis bakterial merupakan penyebab kematian
utama. Anemia aplastik tidak berat karang mengancam jiwa dan sebagian besar
tidak membutuhkan terapi.
Tabel 1. Klasifikasi Anemia Aplastik
No Klasifikasi Kriteria
1 Anemia aplastik berat
 Selularitas sumsum tulang  < 25%
 Sitopenia sedikitnya dua dari tiga  Hitung neutrofil < 500/μl
seri sel darah  Hitung trombosit < 20.000/μl
 Hitung retikulosit absolut <
60.000/μl
2 Anemia aplastik sangat berat Sama seperti diatas kecuali hitung
neutrofil < 200/μl
No Klasifikasi Kriteria

3
3 Anemia aplastik tidak berat Sumsum tulang hiposelular
namun sitopenia tidak memnuhi
kriteria berat.
2.1.4 Etiologi
Sejauh ini penyebab pasti seseorang menderita anemia aplastik belum
dapat ditegakkan dengan pasti. Namun terdapat beberapa sumber yang berpotensi
sebagai faktor yang menimbulkan anemia aplastik. Anemia aplastik dapat
diggolongkan menjadi tiga berdasarkan penyebabnya yaitu anemia aplastik
didapat (acquired aplastic anemia), familial (inherited) dan idiopathik (tidak
diketahui). Sumber lainnya membagi penyebabnya menjadi primer (kongenital
dan idiopatik) dan sekunder (radiasi, obat, dan penyebab lain). Berikut ini
merupakan penjelasan mengenai ketiga penyebab tersebut.

2.1.4.1 Anemia Aplastik Didapat (Acquired Aplastic Anemia)


1. Bahan Kimia.
Benzene merupakan bahan kimia yang paling berhubungan dengan anemia
aplastik. Meskipun diketahui sebagai penyebab dan sering digunakan dalam bahan
kimia pabrik, sebagai obat, pewarna pakaian, dan bahan yang mudah meledak.
Selain penyebab keracunan sumsum tulang, benzene juga menyebabkan
abnormalitas hematologi yang meliputi anemia hemolitik, hiperplasia sumsum,
metaplasia mieloid, dan akut mielogenous leukemia. Benzene dapat meracuni
tubuh dengan cara dihirup dan dengan cepat diserap oleh tubuh, namun terkadang
benzene juga dapat meresap melalui membran mukosa dan kulit dengan intensitas
yang kecil. Terdapat juga hubungan antara pengguanaan insektisida menggunakan
benzene dengan anemia aplastik. Chlorinated hydrocarbons dan organophospat
menambah banyaknya kasus anemia aplastik seperti yang dilaporkan 280 kasus
dalam literatur. Selain itu DDT (chlorophenothane), lindane, dan chlordane juga
sering digunakan dalam insektisida. Trinitrotolune (TNT), bahan peledak yang
digunakan pada perang dunia pertama dan kedua juga terbukti sebagai salah satu
faktor penyebab anemia aplastik fatal. Zat ini meracuni dengan cara dihirup dan
diserap melalui kulit.

4
2. Obat.
Beberapa jenis obat mempunyai asosiasi dengan anemia aplastik, baik itu
mempunyai pengaruh yang kecil hingga pengaruh berat pada penyakit anemia
aplastik, meskipun kasusnya masih jarang ditemukan. Hal ini dikarenakan
beberapa zat dalam obat dapat mempengaruhi fungsi sumsum tulang apabila
menggunakan obat dalam dosis tinggi serta tingkat keracunan tidak
mempengaruhi organ lain. Beberapa obat yang dikaitkan sebagai penyebab
anemia aplastik yaitu obat dose dependent (sitostatika, preparat emas), dan obat
dose independent (kloramfenikol, fenilbutason, antikonvulsan, sulfonamid).

3. Radiasi.
Penyinaran yang bersifat kronis untuk radiasi dosis rendah atau radiasi
lokal dikaitkan meningkat namun lambat dalam perkembangan anemia aplastik
dan akut leukemia. Pasien yang diberikan thorium dioxide melalui kontras
intravena akan menderita sejumlah komplikasi seperti tumor hati, leukemia akut,
dan anemia aplastik kronik. Penyinaran dengan radiasi dosis besar berasosiasi
dengan perkembangan aplasia sumsum tulang dan sindrom pencernaan.
Makromolekul besar, khususnya DNA, dapat dirusak baik secara langsung oleh
sejumlah besar energi sinar yang dapat memutuskan ikatan kovalen atau secara
tidak langsung melalui interaksi dengan serangan tingkat tinggi dan molekul kecil
reaktif yang dihasilkan dari ionisasi atau radikal bebas yang terjadi pada larutan.
Secara mitosis jaringan hematopoesis aktif sangat sensitif dengan hampir segala
bentuk radiasi. Sel pada sumsum tulang kemungkinan sangat dipengaruhi oleh
energi tingkat tinggi sinar γ, yang dimana dapat menembus rongga perut. Kedua,
dengan menyerap partikel α dan β (tingkat energi β yang rendah membakar tetapi
tidak menembus kulit). Pemaparan secara berulang mungkin dapat merusak
sumsum tulang yang dapat menimbulkan anemia aplastik.

4. Virus.

5
Beberapa spesies virus dari famili yang berbeda dapat menginfeksi
sumsum tulang manusia dan menyebabkan kerusakan. Beberapa virus seperti
virus Epstein-Barr, Influenza A, Virus dengeu, Sitomegalovirus, HIV, Parvovirus,
dan Hepatitis Virus dikaitkan dengan potensi sebagai penyebab anemia aplastik.
Sitomegalovirus dapat menekan produksi sel sumsum tulang, melalui gangguan
pada sel-sel stroma sumsum tulang. Infeksi oleh human immunodeficeincy virus
(HIV) yang berkembang menjadi acquired immunodeficiency syndrom (AIDS)
dapat menimbulkan pansitopenia. Infeksi kronik oleh parvovirus pada pasien
dengan defisiensi imun juga dapat menimbulkan pansitopenia. Pasien yang
mengalami infeksi virus hepatitis dapat juga mengalami anemia aplastik. Virus
hepatitis selama ini dicurigai merupakan salah satu penyebab anemia aplastik,
biasanya terjadi pada umur lebih muda (2-20 tahun) yang pada pasien ini berumur
13 tahun, gejala anemia muncul 24-30 minggu setelah infeksi hepatitis, beratnya
infeksi hepatitis sendiri tidak berhubungan dngan beratnya anemia, gejala ini
paling banyak ditemukan pada penduduk Asia terutama pada golongan sosial
ekonomi yang rendah, prognosis pada pasien lebih buruk. Sebagian besar infeksi
yang menyebabkan anemia aplastik disebabkan oleh virus hepatitis C, sedangkan
virus hepatitis B lebih jarang terlihat. Patogenesis anemia aplastik yang
diakibatkan oleh virus hepatitis belum diketahui pasti, tapi kemungkinan hal ini
disebabkan oleh virus mengeluarkan toksik yang langsung pada sel induk
hemopoetik atau sel stoma (stem cell), ataupun bisa terjadi melalui proses
gangguan imunologik.

5. Penyebab Lain.
Rheumatoid arthritis tidak memiliki asosiasi yang biasa dengan anemia
aplastik berat, namun sebuah studi epidemiologi di Perancis menyatakan bahwa
anemia aplastik terjadi tujuh kali lipat pada pasien dengan rheumatoid arthritis.
Terkadang anemia aplastik juga dijumpai pada pasien dengan penyakit sistemik
lupus erythematosus. Penyakit-penyakit autoimun sering juga menyebabkan
anemia aplastik. Hal ini dikarenakan adaya perubahan imunitas menyebabkan
destruksi, khusunya kematian sel CD34 yang diperantarai ligan Fas, dan aktivasi

6
alur intraselular yang menyebabkan penghentian sklus sel (cell-cycle arrest). Sel-
sel T dari pasien membunuh sel-sel asal hemopoetik dengan perilaku yang HLA-
DR –restricted melalui ligan Fas. Hal ini menjadi adanya serangan autoimun pada
sel-sel hematopoetik yang dapat menyebabkan anemia aplastik. Selain itu terdapat
juga sejumlah laporan yang menyatakan kehamilan berkaitan dengan anemia
aplastik. Hal ini disebabkan oleh esterogen pada seseorang dengan predisposisi
genetik, adanya zat penghambat dalam darah atau tidak ada perangsang
hematopoeisis. Anemia aplastik sering sembuh setelah kehamilan, dapat terjadi
lagi pada kehamilan berikutnya.

2.1.4.2 Familial (Inherited) Anemia Aplastik


Beberapa faktor familial atau keturunan dapat menyebabkan anemia
aplastik antara lain pansitopenia konstitusional Fanconi, defisiensi pancreas pada
anak-anak, dan gangguan herediter pemasukan asam folat ke dalam sel.

2.1.5 Patofisiologi
Penyebab anemia aplastik sulit ditentukan, terutama karena banyak
kemungkinan yang harus disingkirkan. Jika tidak ditemukan penyebab yang pasti
maka digolongkan ke dalam penyebab idiopatik. Pendapat lain menyatakan bahwa
penyebab terbanyak dari kegagalan sumsum tulang adalah iatrogenik karena
kemoterapi sitostatik atau terapi radiasi. Kerusakan yang terjadi pada anemia
aplastik terdapat pada sel induk dan ketidakmampuan jaringan sumsum tulang
untuk memberi kesempatan sel induk untuk tumbuh dan berkembang dengan baik.
Hal ini berkaitan erat dengan mekanisme yang terjadi seperti toksisitas langsung
atau defisiensi sel-sel stromal. Penyimpangan proses imunologis yang terjadi pada
anemia aplastik berhubungan dengan infeksi virus atau obat-obatan yang
digunakan, atau zat-zat kimia. Hematopoesis normal yang terjadi di dalam
sumsum tulang, merupakan interaksi antara progenitor hematopoetik stem cell
dengan lingkungan mikro (microenvironment) pada sumsum tulang. Lingkungan
mikro tersebut mengatur hematopoesis melalui reaksi stimulasi oleh faktor
pertumbuhan hematopoetik. Sel-sel hematologik imatur dapat terlihat dengan

7
pemeriksaan flouresent activate flow citometry, yang dapat mendeteksi sel antigen
CD34+ dan adhsesi protein kurang dari 1% pada sumsum tulang normal. Anemia
aplastik dapat terjadi secara heterogen melalui beberapa mekanisme yaitu
kerusakan pada lingkungan mikro, gangguan produksi atau fungsi dan faktor-
faktor pertumbuhan hematopoetik, dan kerusakan sumsum tulang melalui
mekanisme imunologis. Limfosit T sitotoksik aktif, memegang peran yang besar
dalam kerusakan jaringan sumsum tulang melalui pelepasan limfokin seperti
interferon (IFN) dan tumor necrosis factor (TNF). Peningkatan produksi
interleukin-2 mengawali terjadinya ekspansi poliklonal sel T. Aktivasi reseptor
Fas melalui fas-ligand menyebabkan terjadinya apoptosis sel target. Efek IFN
melalui interferon regulatory factor 1 (IRF-1), adalah menghambat transkripsi gen
dan masuk ke dalam siklus sel. IFN-γ juga menginduksi pembentukan nitric oxide
synthase (NOS), dan produksi gas toksik nitric oxide (NO) yang mungkin
menyebabkan efek toksiknya menyebar.

Gambar 2.1 Destruksi imun pada sel hematopoetik

Pansitopenia dalam anemia aplastik menggambarkan kegagalan proses


hematopoetik yang ditunjukkan dengan penurunan drastis jumlah sel primitif
hematopoetik. Dua mekanisme dijelaskan pada kegagalan sumsum tulang.
Mekanisme pertama adalah cedera hematopoetik langsung karena bahan kimia

8
seperti benzene, obat, atau radiasi untuk proses proliferasi dan sel hematopoetik
yang tidak bergerak. Mekanisme kedua, didukung oleh observasi klinik dan studi
laboratorium, yaitu imun sebagai penekan sel sumsum tulang, sebagai contoh dari
mekanisme ini yaitu kegagalan sumsum tulang setelah graft versus host disease,
eosinophilic fascitis, dan hepatitis. Mekanisme idiopatik, asosiasi dengan
kehamilan, dan beberapa kasus obat yang berasosiasi dengan anemia aplastik
masih belum jelas tetapi dengan terperinci melibatkan proses imunologi. Sel
sitotoksik T diperkirakan dapat bertindak sebagai faktor penghambat dalam sel
hematopoetik dalam menyelesaikan produksi hematopoesis inhibiting cytokinesis
seperti interferon γ dan tumor nekrosis faktor α. Efek dari imun sebagai media
penghambat dalam hematopoesis mungkin dapat menjelaskan mengapa hampir
sebagian besar pasien dengan anemia aplastik didapat memiliki respon terhadap
terapi imunosupresif.
Pasien dengan anemia aplastik biasanya tidak memiliki lebih dari 10%
jumlah sel batang normal. Bagaimanapun, studi laboratorium menunjukkan bahwa
sel stromal dari pasien anemia aplastik dapat mendukung pertumbuhan dan
perkembangan dari sel induk hematopoetik dan dapat juga menghasilkan kuantitas
faktor pertumbuhan hematopoetik dengan jumlah normal atau meningkat.
Berdasarkan patofisiologi dari anemia aplastik, oleh karena itu disarankan dua
pendekatan utama untuk pengobatannya yaitu penggantian sel induk yang tidak
sempurna dengan cara transplantasi sumsum tulang dan penekanan proses
imunologi yang bersifat merusak.

2.1.6 Manifestasi Klinis dan Laboratorium Anemia Aplastik


Permulaan dari suatu anemia aplastik sangat tersembunyi dan berbahaya,
yang disertai dengan penurunan sel darah merah secara berangsur sehingga
menimbulkan kepucatan, rasa lemah dan letih, atau dapat lebih hebat dengan
disertai panas badan namun pasien merasa kedinginan, dan faringitis atau infeksi
lain yang ditimbulkan dari neutropenia. Selain itu pasien sering melaporkan
terdapat memar (eccymoses), bintik merah (petechiae) yang biasanya muncul pada
daerah superficial tertentu, pendarahan pada gusi dengan bengkak pada gigi, dan

9
pendarahan pada hidung (epitaxis). Menstruasi berat atau menorrhagia sering
terjadi pada perempuan usia subur. Pendarahan organ dalam jarang dijumpai,
tetapi pendarahan dapat bersifat fatal. Pemeriksaan fisik secara umum tidak ada
penampakan kecuali tanda infeksi atau pendarahan. Jejas purpuric pada mulut
(purpura basah) menandakan jumlah platelet kurang dari 10.000/μl (10 x 10 9/liter)
yang menandakan risiko yang lebih besar untuk pendarahan otak. Pendarahan
retina mungkin dapat dilihat pada anemia berat atau trombositopenia.
Limfadenopati atau splenomegali tidak selalu ditemukan pada anemia aplastik,
biasanya ditemukan pada infeksi yang baru terjadi atau diagnosis alternatif seperti
leukemia atau limpoma.

(a) (b)

(c) (d)

(e)
Gambar 2.2 (a) mimisan/epikstasis, (b) petechiae, (c) ekimosis, (d) perdarahan
gusi, (e) faringitis dan petechiae oral

10
a. Penemuan pada Darah.
Pasien dengan anemia aplastik memiliki tingkat pansitopenia yang
beragam. Anemia diasosiasikan dengan indeks retikulosit yang rendah. Jumlah
retikulosit biasanya kurang dari satu persen atau bahkan mungkin nol.
Makrositosis mungkin dihasilkan dari tingkat eritropoietin yang tinggi,
merangsang sedikit sisa sel eritroblas untuk berkembang dengan cepat, atau dari
klon sel eritroid yang tidak normal. Jumlah total leukosit dinyatakan rendah,
jumlah sel berbeda menyatakan sebuah tanda pengurangan dalam neutropil.
Platelet juga mengalami pengurangan, tetapi fungsinya masih normal. Pada
anemia ini juga dijumpai kadar Hb <7 g/dl. Penemuan lainnya yaitu besi serum
normal atau meningkat, Total Iron Binding Capacity (TIBC) normal dan HbF
meningkat.

b. Penemuan pada Sumsum Tulang.


Sumsum tulang biasanya mempunyai tipikal mengandung spicule dengan
ruang lemak kosong, dan sedikit sel hematopoetik. Limfosit, plasma sel,
makrofag, dan sel induk mungkin mencolok, tetapi ini mungkin merupakan
refleksi dari kekurangan sel hematologi lainnya. Anemia aplastik berat sudah
didefinisikan oleh International Aplastic Anemia Study Group sebagai sumsum
tulang kurang dari 25 persen sel, atau kurang dari 50 persen sel dengan kurang
dari 30 persen sel hematopoetik, dengan paling sedikit jumlah neutropil kurang
dari 500/μl (0.5 x109/liter), jumlah platelet kurang dari 20.000/μl (20x10 9/liter),
dan anemia dengan indeks koreksi retikulosit kurang dari 1 persen.
Pengembangan in vitro menunjukkan, kumpulan granulosit monosit atau Colony
Forming Unit-Granulocyte/Macrophage (CFU-GM) dan eritroid atau Burst
Forming Unit-Erythroid (BFU-E) dengan pengujian kadar logam menyatakan
tanda pengurangan dalam sel primitif.

11
Gambar 2.3. Spesimen sumsum tulang dengan biopsi dari pasien
anemia aplastik.

Gambar 2.4. Spesimen sumsum tulang dengan biopsi dari pasien normal

c. Penemuan Radiologi.
Pada Nuclear Magnetic Resonance Imaging (NMRI) dapat digunakan
untuk membedakan antara lemak sumsum dan sel hemapoetik. Pemeriksaan ini
dapat memberikan perkiraan yang lebih baik untuk aplasia sumsum tulang dari
pada teknik morpologi dan mungkin membedakan sindrom hipoplastik
mielodiplastik dari anemia aplastik.

d. Penemuan pada Plasma dan Urin.

12
Serum memiliki tingkat faktor pertumbuhan hemapoetik yang tinggi, yang
meliputi erythropoietin, thrombopoietin, dan faktor myeloid colony stimulating.
Serum besi juga memiiki nilai yang tinggi, dan jarak ruang Fe diperpanjang,
dengan dikuranginya penggabungan dalam peredaran sel darah merah.

2.1.7 Diagnosis
Diagnosis anemia aplastik ditegakkan berdasarkan keadaan pansitopenia
yang ditandai oleh anemia, leukopenia dan trombositopenia pada darah tepi.
Keadaan inilah yang menimbulkan keluhan pucat, perdarahan dan demam yang
disebabkan oleh infeksi. Pada pemeriksaan fisik, tidak ditemukan
hepatosplenomegali atau limfadenopati. Di samping keadaan pansitopenia, pada
hitung jenis juga menunjukan gambaran limfositosis relatif. Diagnosis pasti
anemia aplastik ditentukan berdasarkan pemeriksaan aspirasi sumsum tulang yang
menunjukkan gambaran sel yang sangat kurang, terdapat banyak jaringan ikat dan
jaringan lemak, dengan aplasi sistem eritropoetik, granulopoetik dan
trombopoetik.
Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan pada pemeriksaan
rutin. Keluhan yang dapat ditemukan sangat bervariasi seperti yang ditunjukkan
pada Tabel 2 dibawah ini.

Tabel 2. Keluhan Pasien Anemia Aplastik (n=70) (Salonder, 1983)


No Jenis Keluhan Persen (%)
1 Perdarahan 83
2 Badan lemah 30
3 Pusing 69
4 Jantung berdebar 36
5 Demam 33
6 Nafsu makan berkurang 29
7 Pucat 26
8 Sesak nafas 23
9 Penglihatan kabur 19
10 Telinga berdengung 13

13
Hasil pemeriksaan fisik pada pasien anemia aplastik sangat bervariasi.
Pada Tabel 3 dibawah ini menjelaskan beberapa hasil pemeriksaan fisik yang
sering ditemukan pada kasus anemia aplastik.

Tabel 3. Pemeriksaan Fisik pada Pasien Anemia Aplastik (n=70) (Salonder,


1983)
No Jenis Pemeriksaan Fisik Persen (%)
1 Pucat 100
2 Perdarahan 63
 Kulit 34
 Gusi 26
 Retina 20
 Hidung 7
 Saluran cerna 6
 Vagina 3
3 Demam 16
4 Hepatomegali 7
5 Splenomegali 0
2.1.8 Diagnosis Laboratorium
Berdasarkan diagnosis laboratorium menunjukkan seseorang menderita
anemia aplastik adalah pansitopenia dan hiposelular sumsum tulang, serta dengan
menyingkirkan adanya infiltrasi atau supresi pada sumsum tulang. Anemia
aplastik dapat digolongkan menjadi ringan, sedang, dan berat berdasarkan tingkat
keparahan pansitopenia. Menurut International Agranulocytosis and Aplastic
Anemia Study Group (IAASG) kriteria diagnosis anemia aplastik dapat
digolongkan sebagai satu dari tiga sebagai berikut: (a) hemoglobin kurang dari 10
g/dl, atau hematokrit kurang dari 30%; (b) trombosit kurang dari 50 x 10 9/L; dan
(c) leukosit kurang dari 3,5 x 109/L, atau neutrofil kurang dari 1,5x109/L dan
Retikulosit < 30 x 109/L (<1%).
Gambaran sumsum tulang (harus ada spesimen adekuat): (a) penurunan
selularitas dengan hilangnya atau menurunnya semua sel hemopoetik atau
selularitas normal oleh hyperplasia eritroid fokal dengan deplesi segi granulosit
dan megakarosit; dan (b) tidak adanya fibrosis yang bermakna atau infiltrasi
neoplastik.

14
Pansitopenia karena obat sitostatika atau radiasi terapeutik harus
dieksklusi. Setelah diagnosis ditegakkan maka perlu ditentukan derajat penyakit
anemia aplastik. Hal ini sangat penting dilakukan untuk keberhasilan terapi yang
akan diberikan.
Tergolong anemia aplastik berat (severe aplastic anemia) bila memenuhi
kriteria berikut: paling sedikit dua dari tiga: (a) granulosit < 0.5x109/L; (b)
trombosit < 20x109/L; (c) corrected retikulosit < 1%. Selularitas sumsum tulang
<25% atau selularitas < 50% dengan <30% sel-sel hematopoetik. Dan anemia
aplastik sangat berat bila neutrofil <0.2 x109/L. Anemia aplastik yang lebih ringan
dari anemia aplastik berat disebut anemia aplastik tidak berat (nonserve aplastic
anemia).

2.1.9 Diagnosis Banding


Pansitopenia merupakan ciri-ciri yang sering muncul dari kebanyakan
penyakit. Walaupun anamnesis, pemeriksaan fisik, dan studi laboratorium dasar
sering dapat mengeksklusi anemia aplastik dari diagnosis, perbedaan merupakan
hal yang lebih susah dalam penyakit hematologi tertentu, dan tes lanjutan sangat
diperlukan. Penyebab dari pansitopenia perlu dipertimbangkan dalam diagnosis
banding yang meliputi Fanconi’s anemia, paroxysmal nocturnal hemoglobinuria
(PHN), myelodysplastic syndrome (MDS), myelofibrosis, aleukemic leukemia,
agranulocytosis, dan pure red cell aplasia.

2.1.10 Tata Laksana


Anemia aplastik memiliki tingkat kematian yang lebih besar dari 70%
dengan perawatan suportif saja. Anemia aplastik termasuk darurat hematologi,
dan perawatan harus diputuskan segera. Secara garis besarnya terapi untuk anemia
apalstik dapat dibagi menjadi 4 yaitu terapi kausal, terapi suportif, dan terapi
untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang (terapi ini untuk merangsang
pertumbuhan sumsum tulang), serta terapi definitif yang terdiri atas pemakaian
anti-lymphocyte globuline, transplantasi sumsum tulang.

15
2.1.10.1 Terapi Kausal
Terapi kausal adalah usaha untuk menghilangkan agen penyebab.
Hindarkan pemaparan lebih lanjut terhadap agen penyebab yang diketahui, tetapi
sering hal ini sulit dilakukan karena etiologinya yang tidak jelas atau penyebabnya
tidak dapat dikoreksi.

2.1.10.2 Tata Laksana Suportif


Tata laksana suportif ditujukan pada gejala-gejala akibat keadaan
pansitopenia yang ditimbulkan. Untuk mengatasi keadaan anemia dapat diberikan
transfusi leukocyte-poor red cells yang bertujuan mengurangi sensitisasi terhadap
HLA (human leukocyte antigen), menurunkan kemungkinan transmisi infeksi
hepatitis, virus sitomegalo dan toksoplasmosis, pada beberapa kasus mencegah
graft- versus host disease (GVHD) (Isyanto et al 2016).
Transfusi ini dapat berlangsung berulang-ulang sehingga perlu
diperhatikan efek samping dan bahaya transfusi seperti reaksi transfusi, hemolitik
dan nonhemolitik, transmisi penyakit infeksi, dan penimbunan zat besi.
Perdarahan yang terjadi sering menyebabkan kematian. Untuk mencegah
perdarahan terutama pada organ vital dapat dilakukan dengan mempertahankan
jumlah trombosit diatas 20.000/uL. Hal ini dapat dilakukan dengan transfusi
suspensi trombosit (Isyanto et al 2016).
Pemberian suspensi trombosit dapat menyebabkan keadaan isoimunisasi
apabila dilakukan lebih dari 10 kali, dan keadaan ini dapat mempengaruhi
keberhasilan terapi. Isoimunisasi dapat dicegah dengan pemberian trombosit
dengan HLA yang kompatibel dengan pasien. Bila perdarahan tetap terjadi dapat
ditambahkan antifibrinolisis. Untuk mengatasi infeksi yang timbul karena keadaan
leukopenia, dapat diberikan pemberian antibiotik profilaksis dan perawatan
isolasi. Kebersihan kulit dan perawatan gigi yang baik sangat penting, karena
infeksi yang terjadi biasanya berat dan sering menjadi penyebab kematian
(Isyanto et al 2016).
Pada pasien anemia aplastik yang demam perlu dilakukan pemeriksaan
kultur darah, sputum, urin, feses, dan kalau perlu cairan serebrospinalis. Bila

16
dicurigai terdapat sepsis dapat diberikan antibiotik spektrum luas dengan dosis
tinggi secara intravena dan kalau penyebab demam dipastikan bakteni terapi
dilanjutkan sampai 10-14 hari atau sampai hasil kultur negatif. Bila demam
menetap hingga 48 jam setelah diberikan antibiotik secara empiris dapat diberikan
anti jamur. Pada tata laksana anemia aplastik, yang tidak kalah penting adalah
penghindaran dari bahan-bahan fisika maupun kimiawi, termasuk obat-obatan
yang mungkin menjadi penyebab. Bila zat-zat kimia atau fisika yang bersifat
toksik itu ditemukan dan masih terdapat dalam tubuh, harus diusahakan untuk
mengeluarkannya walaupun hal ini kadang tidak dapat dilakukan (Isyanto et al
2016).

2.1.10.3 Tata Laksana Medikamentosa


1. Obat-obatan
Tata laksana anemia aplastik dengan obat-obatan diberikan pada pasien
anemia aplastik derajat ringan, pasien yang tidak mendapatkan donor yang sesuai
untuk transplantasi, dan pasien yang mempunyai kontra-indikasi untuk dilakukan
transplantasi sumsum tulang. Tujuan pemberian obat-obatan untuk mengurangi
morbiditas, mencegah komplikasi, dan eradikasi keganasan (Isyanto et al 2016).

2. Androgen
Androgen digunakan sebagai terapi anemia aplastik sejak tahun 1960.
Efek androgen dalam tata laksana anemia aplastik untuk meningkatkan produksi
eritropoetin dan merangsang sel stem eritroid. Penggunaan androgen tunggal
sebagai terapi anemia aplastik ternyata tidak meningkatkan angka kesembuhan
pada pasien. Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, androgen sebagai
tambahan terapi antitymocyte globulin (ATG) juga tidak menunjukkan
keuntungan, sedangkan penelitian yang dilakukan di Eropa menunjukkan
androgen hanya meningkatkan respons hematologi tetapi tidak meningkatkan
angka kesembuhan. Terapi androgen pada pasien anemia aplastik yang gagal
dengan terapi imunosupresan mungkin berguna, meskipun berbahaya (Isyanto et
al 2016).

17
Preparat androgen yang sering digunakan adalah metil testosteron,
testosteron enantat, testosteron propionat, oksimetolon dan etiokolanolon. Dosis
yang digunakan adalah 2-5 mg/kg berat badan/minggu, secara intramuskular.
Dosis nandrolon dekanoat diberikan 5 mg/kg berat badan /minggu. Efek samping
yang dapat timbul dari pemberian preparat androgen ini seperti kolestasis,
hepatomegali, tumor hepar, maskulinisasi, kebotakan, dan pembesaran alat
kelamin. Pasien dengan terapi androgen sebaiknya dilakukan pemeriksaan fungsi
hati secara berkala, pemeriksaan ultrasonografi hati setiap tahun, dan pemeriksaan
usia tulang per tahun (Isyanto et al 2016).

3. Imunosupresan
 Metilprednisolon
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa metilprednisolon dosis rendah 2-
4 mg/kg berat badan /hari, dapat digunakan untuk mengurangi perdarahan dan
gejala serum sickness. Metilprednisolon dosis tinggi memberikan respons
pengobatan yang baik sampai 40%. Dosis metilprednisolon adalah 5mg/kg/ berat
badan secara intravena selama 8 hari kemudian dilakukan tappering dengan dosis
1mg/kg berat badan/hari selama 9-14 hari, lalu tappering selama 15-29 hari.
Pemakaian kortikosteroid dibatasi pada keadaan antilimfosit globulin tidak
tersedia atau terlalu mahal. Efek samping antara lain ulkus peptikum, edem,
hiperglikemia, dan osteonekrosis (Isyanto et al 2016).

 Antilimfosit globulin (ALG)


Antilimfosit globulin adalah sitolitik sel T yang bersama dengan
siklosponin berperan dalam menghambat fungsi sel T, khususnya dalam produksi
limfokin-limfokin supresif. Pemberian ALG secara cepat akan mengurangi
limfosit dalam sirkulasi sehingga berkurang 10%, dan ketika limfosit total
kembali normal berarti limfosit T aktif jumlahnya berkurang. Sediaan ALG
invitro merangsang proliferasi sel T dan mempromosikan sekresi beberapa faktor
pertumbuhan. Antilimfosit globulin dapat diberikan dengan dosis 40 mg/kg berat
badan /hari selama 12 jam dilanjutkan dengan infus yang dikombinasikan dengan

18
metilprednisolon 1mg/kg berat badan /hari intravena selama 4 hari. Dapat juga
diberikan dosis 20mg/kg berat badan /hari selama 4-6 jam dengan infus intravena
selama 8 hari berturutturut yang dikombinasikan dengan prednison 40mg/m2/hari
selama 5 hari dimulai pada hari terakhir pemberian ALG. ALG dapat
menyebabkan perasaan panas dingin, kemerahan, trombositopenia dan serum
sickness. Keberhasilan terapi menggunakan ALG tunggal sekitar 50% (Isyanto et
al 2016).

 Antitymocyt Globulin (ATG)


Antitymocyt Globulin menghambat mediasi respons imun dengan
mengubah fungsi sel T atau menghilangkan sel reaktif antigen. Dosis yang
diberikan 100- 200mg/kg berat badan intravena. Kontraindikasi ATG adalah
reaksi hipersensitivitas, keadaan leukopenia dan atau trombositopenia. Penelitian
yang membandingkan hasil akhir antara tata laksana anemia aplastik dengan ATG
dan transplantasi sumsum tulang (TST) dilaporkan bahwa pada 155 pasien anemia
aplastik dewasa yang diterapi dengan TST lebih baik dibandingkan dengan
penggunaan ATG tunggal sesuai protokol terbaru (Isyanto et al 2016).
The European blood and marrow transplant severe anemia aplastic
working party melakukan penelitian pada pasien anemia aplastik tidak berat, yang
diberikan terapi imunosupresan. Disimpulkan bahwa penggunaan kombinasi ATG
dan siklosporin A lebih baik daripada siklosporin A tunggal dalam kelompok
respons hematologi, kualitas respons dan kematian awal (Isyanto et al 2016).

 Siklosporin A (Cs A)
Merupakan cyclic polypeptide yang menghambat imunitas humoral,
sebagai inhibitor spesifik terhadap sel limfosit T, mencegah pembentukan
interleukin-2 dan interferon-y. Dan dapat menghambat reaksi imun seperti
penolakan jaringan transplan, GVHD, dan lain-lain. Dosis awal dapat diberikan 8
mg/kg berat badan /hari peroral selama 14 hari dilanjutkan dengan dosis 15 mg/kg
berat badan /hari pada anak-anak dan 12 mg/kg/hari pada dewasa. Dosis
kemudian dipertahankan pada kadar 200-500ug/L untuk menghindari efek toksik.

19
Bila ditemukan efek toksik, terapi dihentikan 1-4 hari untuk kemudian dilanjutkan
dengan dosis yang lebih rendah. Respons terapi dengan siklosporin tunggal hanya
sekitar 25%. Kombinasi siklosporin dengan ATG meningkatkan kecepatan remisi
sistem hematopoetik sekitar 70% (Isyanto et al 2016).
 Siklofosfamid (CPA)
Penggunaan siklofosfamid sebagai terapi anemia aplastik, dimulai pada
saat penggunaan siklofospamid sebagai persiapan transplantasi sumsum tulang.
Siklofosfamid (CPA) adalah zat kimia yang berkaitan dengan nitrogen mustard.
Sebagai agen alkali CPA terlibat dalam cross-link DNA yang mungkin
berhubungan dengan pertumbuhan sel normal dan neoplasma. Sejumlah peneliti
menyatakan dosis terapi yang diberikan adalah 50mg/kg berat badan/hari selama 4
hari berturut-turut. Tetapi perlu diingat dosis tinggi yang diberikan akan
meningkatkan efek tosik yang serius dan efek terapi yang ditimbulkan tidak lebih
baik dibandingkan dengan terapi kombinasi. Penelitian yang dilakukan terhadap
10 pasien anemia aplastik berat dengan CPA 45mg/kg berat badan/hari selama 4
hari, memberikan hasil lebih efektifdibandingkan dengan imunosupresan
konvensional lainnya, dalam hal memperbaiki hematopoesis normal dan
pencegahan relaps atau kelainan-kelainan klonal sekunder, meskipun tanpa
dilakukan TST. Penelitian yang dilakukan terhadap 19 pasien yang diberikan CPA
dengan dosis 50 mg/kg berat badan /hari selama 4 hari didapatkan hasil terapi
CPA dosis tinggi tanpa TST membuat remisi bebas pada pasien anemia aplastik
berat. Penelitian ini dilakukan pada pasien yang tidak dapat dilakukan
transplantasi sumsum tulang (Isyanto et al 2016).

2.1.10.4 Faktor-Faktor Pertumbuhan Hematopoetik (Growth Factors)


Dari beberapa penelitian, pemberian cytokines dapat menyebabkan
perbaikan jumlah neutrofil dan juga meningkatkan angka kesembuhan, meskipun
jika digunakan berkepanjangan dapat meningkatkan risiko penyakit klonal. Dari
penelitian, penggunaan recombinant human granulocyte-macrophage stimulating
factor (GM-CSF) dengan dosis 8-32 ug/kg/hari intravena yang dikombinasikan
dengan siklosponin A dan ALG dapat meningkatkan jumlah sel-sel darah di

20
perifer maupun di sumsum tulang. Keadaan ini bersifat sementara atau menetap
yang ditandai dengan respon klinis terhadap infeksi. Pasien dengan jumlah
granulosit awal lebih banyak memberikan respon terapi yang lebih baik, diduga
karena meningkatnya cadangan sel prekursor mieloid di sumsum tulang. Jangan
diberikan setelah 24 jam pemberian sitostatik karena dapat meningkatkan
sensitivitas (Isyanto et al 2016).
Dapat juga diberikan recombinat human granulocyte colony stimulating
factor (G-CSF) yang dapat mengaktifkan dan menstimulasi produksi, stimulasi,
migrasi dan sitotoksisitas dan neutrofil. Dosis yang dapat diberikan 5ug/kg berat
badan /hari subkutan. Efek samping yang dapat terjadi, risiko untuk berkembang
menjadi sindrom mielodisplastik atau leukemia mieloid akut. Human IL-3 dengan
dosis sampai 1000 ug/kgbb/hari juga dapat merangsang aktivitas sistem
hematopoetik bila diberikan bersama faktor pertumbuhan yang lain. Faktor
pertumbuhan ini merupakan terapi tambahan pada anemia aplastik yang dengan
infeksi, dan berguna pada pasien anemia aplastik berat karena stem cell pada
sumsum tulang yang sangat kurang. Penelitian yang mempelajari efek GMCSF,
IL-3, IL-6, dan G-CSF didapatkan G-CSF mempunyai efek yang paling baik
dalam memperbaiki respons hematopoesis (Isyanto et al 2016).

2.1.10.5 Terapi Obat Kombinasi


Kombinasi obat-obat imunosupresan pada terapi pasien anemia aplastik
hasilnya Iebih memuaskan dibandingkan dengan imunosupresan tunggal.
Kombinasi ALG, metilprednisolon dan siklosporin A menghasilkan remisi parsial
atau total sebesar 65%. Kombinasi lain antara ATG, siklosporin A dan G-CSF
dilaporkan memberikan respon hematopoetik yang memuaskan dengan penurunan
angka kematian. Penelitian yang dilakukan Rosenfeld pada tahun 2003 dengan
metode kohort pada 122 pasien yang diberikan 40 mg/kg berat badan /hari dengan
ATG selama 4 hari dan 10-12 mg/kg berat badan /hari, siklosporin A selama 6
bulan dan pemberian jangka pendek kortikosteroid didapatkan kurang lebih
setengah dan pasien anemia aplastik berat mempunyai waktu penyembuhan yang
lebih baik dengan hasil jangka panjang yang memuaskan (Isyanto et al 2016).

21
Penelitian terbaru yang mengkombinasikan ATG dengan siklosporin pada
pasien anemia aplastik berat didapatkan hasil peningkatan angka kesembuhan 7
tahun yang memuaskan pada 55% kasus. Kombinasi ATG dan CsA merupakan
terapi imunosupresan lini pertama untuk pasien dengan anemia aplastik berat
(Isyanto et al 2016).

2.1.10.6 Transplantasi Sumsum Tulang (TST)


Transplantasi sumsum tulang pada kasus anemia aplastik berat pertama
kali dilakukan pada tahun 1970, meskipun hanya 25-30% pasien yang
mendapatkan donor yang diharapkan. Pengobatan anemia aplastik dengan
transplantasi sumsum tulang meningkatkan angka kesembuhan sekitar 60-70%.
Pasien berusia muda tanpa transfusi berulang mempunyai respon yang lebih baik
lagi sekitar 85-95% karena limfosit pasien tersebut belum tersensitisasi oleh
paparan antigen sebelumnya. Dari sebuah penelitian yang dilakukan pada 1.305
pasien didapatkan angka kesembuhan 5 tahun meningkat dan 48% ±7% pada
tahun 1976-1980 menjadi 66%±6% pada tahun 1988-1992 (p<0,0001) (Isyanto et
al 2016).
Risiko terjadinya graft-versus-host-disease (GVHD) dan pneumonia
interstisial menurun tetapi risiko terjadinya penolakan jaringan transplan tidak.
Penelitian lain yang dilakukan terhadap 212 pasien anemia aplastik didapatkan
bahwa TST menyebabkan hematopoesis menjadi normal dengan penyebab
morbiditas dan mortalitas yang utama akibat GVHD kronik. Penelitian yang
dilakukan terhadap 6.691 pasien yang dilakukan TST alogenik temyata
kemungkinan dapat sembuh lebih besar, meskipun beberapa tahun setelah TST
mortalitasnya lebih tinggi dibandingkan populasi normal (Isyanto et al 2016).
Sulitnya mencari donor yang sesuai dengan pasien, dapat diatasi dengan
TST yang berasal dan cord blood; dan penelitian yang dilakukan terhadap 78
pasien yang mendapat TST cord blood dan donor yang related, dan 65 pasien
yang dilakukan TST dengan donor unrelated, disimpulkan bahwa cord blood
adalah altematif yang mungkin sebagai sumber sel induk untuk TST pada anak-
anak dan dewasa dengan kelainan hematologis mayor, terutama jika donor dan

22
recipient related. Komplikasi TST yang paling sering terjadi adalah GVHD, graft
failure dan infeksi. Penelitian retrospektif yang dilakukan Min CK, dan kawan-
kawan terhadap 40 pasien anemia aplastik yang dilakukan TST alogenik
didapatkan insidens graft failure, GVHD akut, GVHD kronis masing-masing
22,5%, 12,8% and 23,1%. Sedangkan 5% pasien mengalami pneumonia
interstisial dan 2,5% pneumonia (Isyanto et al 2016).

2.1.11 Efek Jangka Panjang Pada Pengobatan Anemia Aplastik


Pengobatan anemia aplastik baik dengan TST maupun dengan penggunaan
imunosupresan menimbulkan efek jangka panjang pada pasien. Pasien yang
mampu bertahan hidup akan berisiko terkena keganasan. Angka kejadian sindrom
mielodisplasia dan leukemia akut lebih tinggi dibandingkan dengan TST (Tabel
4). Dari laporan penelitian-penelitian yang telah dilakukan, dampak jangka
panjang terapi anemia aplastik mempunyai risiko yang tinggi untuk terjadi tumor
padat, sindrom mielodisplastik dan leukemia akut setelah terapi TST dan
imunosupresan (Isyanto et al 2016).

Tabel 4. Efek Jangka Panjang Pengobatan Anemia Aplastik


Dampak jangka panjang Terapi Transplantasi sumsum
(kumulatif dalam 10 tahun) imunosupresan (%) tulang (%)
Jumlah pasien kanker 18,8 3,1
Sindrom mielodiplasia 9,6 0,0
Leukemia akut 6,6 0,25
Tumor padat 2,2 2,9
(dilaporkan oleh European Bone Marrow Transplantation-Severe Aplastik Anemia)

2.1.12 Prognosis dan Perjalanan Penyakit


Prognosis atau perjalanan penyakit anemia aplastik sangat bervariasi,
tetapi tanpa pengobatan pada umumnya memberikan prognosis yang buruk.
Prognosis dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: (a) kasus berat dan progresif, rata-rata
meninggal dalam 3 bulan (merupakan 10%-15% kasus); (b) penderita dengan
perjalanan penyakit kronik dengan remisi dan kambuh rata-rata meninggal dalam
1 tahun, merupakan 50% kasus; dan (c) penderita yang mengalami remisi

23
sempurna atau parsial, hanya merupakan bagian kecil penderita (Isyanto et al
2016).

24
BAB III

KESIMPULAN

Anemia aplastik merupakan suatu kelainan dari sindrom klinik yang


diantaranya ditandai oleh defisiensi sel darah merah, neutrophils, monosit dan
platelet tanpa adanya bentuk kerusakan sumsum lainnya.
Berdasarkan derajat pansitopenia darah tepi, anemia aplastik didapat
diklasifikasikan menjadi tidak berat, berat atau sangat berat yang dihitung
berdasarkan selularitas sumsum tulang dan sitopenia sedikitnya 2 dari 3 seri sel
darah.
Anemia aplastik dapat diggolongkan menjadi tiga berdasarkan
penyebabnya yaitu anemia aplastik didapat (acquired aplastic anemia), familial
(inherited) dan idiopathik (tidak diketahui).
Kerusakan yang terjadi pada anemia aplastik terdapat pada sel induk dan
ketidakmampuan jaringan sumsum tulang untuk memberi kesempatan sel induk
untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. . Penyimpangan proses imunologis
yang terjadi pada anemia aplastik berhubungan dengan infeksi virus atau obat-
obatan yang digunakan, atau zat-zat kimia.
Dalam pemeriksaan sumsum dinyatakan hampir tidak ada hematopoetik
sel perkusi dan digantikan oleh jaringan lemak. Permulaan dari suatu anemia
aplastik sulit terdeteksi dan progresif, yang disertai dengan penurunan sel darah
merah secara berangsur sehingga menimbulkan kepucatan, rasa lemah dan letih,
atau dapat lebih hebat dengan disertai panas badan namun pasien merasa
kedinginan, dan faringitis atau infeksi lain yang ditimbulkan dari neutropenia.
Penemuan laboratorium juga dapat mempertegas diagnosis anemia
aplastik antara lain penemuan pada darah (hapusan darah tepi dan darah lengkap),
sumsum tulang, radiologi urin dan plasma darah. Terdapat beberapa terapi untuk
mengatasi anemia aplastik. Secara garis besarnya terapi untuk anemia apalstik
dapat dibagi menjadi 4 yaitu: terapi kausal; terapi suportif; terapi medikamentosa,
serta terapi definitif, yaitu transplantasi sumsum tulang.

27
Secara garis besarnya terapi untuk anemia apalstik dapat dibagi menjadi 4
yaitu terapi kausal, terapi suportif, dan terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum
tulang (terapi ini untuk merangsang pertumbuhan sumsum tulang), serta terapi
definitif yang terdiri atas pemakaian anti-lymphocyte globuline, transplantasi
sumsum tulang.

28
DAFTAR PUSTAKA

Akram Z, Ahmed P, Kajigaya S, et al. Epidemiological, clinical and genetic


characterization of aplastic anemia patients in Pakistan. Ann Hematol.
2019;98:301–312.

Alkhouri N, Ericson SG, 2008. Aplastic Anemia: Review of Etiology and


Treatment. Blood Journal Hematology, 70: pp. 46-52. Avaiable from:
http://bloodjournal.hematologylibrary.org/.

Bakhshi S, 2012. Aplastic Anemia. Avaiable from:


http://emedicine.medscape.com/.

Bakta IM, 2012. Anemia Karena Kegagalan Sumsum Tulang. In: Hematologi
Klinik Ringkas. Cetakan I. Jakarta: EGC. pp. 97-112.

Bär C, Povedano JM, Serrano R, et al. Telomerase gene therapy rescues telomere
length, bone marrow aplasia, and survival in mice with aplastic anemia.
Blood. 2016;127:1770–1779.

Isyanto, Isyanto & Abdulsalam, Maria. (2016). Masalah pada Tata Laksana
Anemia Aplastik Didapat. Sari Pediatri. 7. 26. 10.14238/sp7

Li SS, Hsu YT, Chang C, et al. Incidence and treatment outcome of aplastic
anemia in Taiwan-real-world data from single-institute experience and a
nationwide population-based database. Ann Hematol. 2019;98:29– 39.

Scheinberg P, Young NS. Bagaimana saya mengobati anemia aplastik didapat.


Darah. 2012; 120 (6): 1185 – 96

Shadduck RK, 2012. Aplastic Anemia. In: Beuttler E, Coller BS, Lichtman M,
Kipps TJ. Williams Hematology. 6th ed. USA: McGraw-Hill. pp. 504-523.

28

Anda mungkin juga menyukai