Anda di halaman 1dari 4

Antituberculosis Drug-induced Liver Injury in Children

Incidence and Risk Factors During the Two-month Intensive Phase of Therapy

Latar belakang: Sebagai salah satu efek samping yang merugikan yang paling sering dan

serius selama pengobatan TB, ialah cedera hati yang diinduksi obat antituberkulosis (ATLI)

pada anak-anak telah dipelajari secara kurang memadai dibandingkan dengan orang dewasa.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan insiden dan faktor risiko ATLI pada anak-anak

selama 2 bulan pertama terapi TB.

Metode: Sebanyak 41 anak dengan TB dan diobati dengan OAT lini pertama, untuk

memantau perkembangan ATLI secara prospektif. Tes fungsi hati dilakukan pada awal dan

setelah 2 minggu terapi. Tes selanjutnya dilakukan pada minggu ke 4, 6 dan 8 jika

pengukuran 2 minggu awal tidak normal atau jika terdapat gejala hepatotoksisitas.

Hasil: ATLI ditemukan pada 11 (27%) pasien dalam 14 hingga 42 hari sejak dimulainya

terapi, dengan sebagian besar (54%) terjadi setelah 2 minggu. TBpengobatan dihentikan

segera pada 6 dari 11 pasien yang mengembangkan ATLI,dan tidak ada hepatotoksisitas

berulang setelah reintroduksi obat pada pasien ini.Analisis univariat menunjukkan bahwa

ATLI secara bermakna dikaitkan dengan TBmeningitis (P <0,01), hipoalbuminemia (P

<0,05) dan komedikasi hepatotoksik (P <0,01). Usia, jenis kelamin, status gizi, status dan

garis dasar HIV kelainan fungsi hati tidak terkait dengan ATLI. Multivariananalisis

diidentifikasi hipoalbuminemia dan komedikasi hepatotoksik (keduanyaP <0,1) cenderung

Kesimpulan: Anak-anak dengan hipoalbuminemia dan penggunaan hepatotoksikkomedikasi

disarankan untuk dimonitor secara ketat untuk pengembangandari ATLI.

Resume :
Pada jurnal ini dibahas mengenai prevalensi dan manifestasi klinis dari keluhan

wheezing berulang dalam 6 tahun pertama kehidupan pada anak – anak yang dirawat dengan

bronkiolitis akut saat bayi. Hasil utama dari jurnal ini adalah prevalensi wheezing berulang

dalam 3 tahun pertama kehidupan, serta saat berumur 6 tahun.

Penelitian membandingkan dua kelompok anak berumur 6 tahun dengan umur dan

jenis kelamin yang disesuaikan, dimana kelompok pertama yaitu kelompok kasus terdiri dari

150 anak dengan riwayat rawat inap akibat akut bronkiolitis pada umur kurang dari 6 bulan

dan kelompok kedua, kelompok kontrol terdiri dari 66 anak yang tidak memiliki riwayat

rawat inap.

Penelitian ini dilakukan di 3 departemen pediatrik di Israel utara antara Desember

2005 hingga Maret 2006. Spesimen sputum semua pasien kelompok kasus diperiksa selama

dalam rawatan untuk kemungkinan 11 patogen penyebab. Kemudian,pasien dipantau oleh

dokter anak yang kemudian juga mendokumentasikan data mengenai keparahan penyakit,

tatalaksana selama kunjungan. Selama periode waktu tersebut, dokter anak juga

mendokumentasikan kunjungan kelompok kontrol yang terjadi di klinik yang sama dalam

interval waktu yang serupa.

Data yang dikumpulkan yaitu rekam medik pasien, meliputi riwayat keluhan

wheezing berulang (yang didefinisikan sebagai 2 atau lebih episode wheezing antara umur 6

bulan hingga 3 tahun), riwayat keluhan wheezing berulang yang persisten pada umur 6

tahun, usia saat onset, jumlah episode dan jumlah tatalaksana dengan menggunakan

bronkodilator dan steroid sistemik dalam 3 tahun awal kehidupan.

Data epidemiologi meliputi umur, jenis kelamin, tempat tinggal, riwayat asma dalam

keluarga tingkat pertama, serta status atopi kerabat meliputi Hay fever, rhinitis alergi,

konjungtivitis, dermatitis atopik dan alergi makanan. Data didasarkan pada grafik yang
menunjukkan penyakit kronis yang didiagnosis oleh dokter imunologis di klinik alergi dan

faktor lingkungan seperti merokok dalam keluarga dan ibu perokok saat kehamilan.

Keparahan dan patogen spesifik penyebab bronkiolitis akut dikumpulkan dari rekam

medik kelompok kasus selama rawatan. Dari patogen yang ditemukan, kelompok kasus

terbagi menjadi 4 sub grup. Grup pertama ditemukan RSV (Respiratory Synctial Virus)

dengan satu atau lebih patogen berjumlah 48 pasien, grup kedua ditemukan hanya RSV pada

80 pasien, grup ketiga patogen selain RSV 15 pasien dan grup keempat tidak ditemukan

patogen pada 7 pasien. Dari tingkat keparahan berdasarkan skor klinis selama rawatan,

didapatkan 60 anak sakit ringan, 54 anak sakit sedang dan 19 anak sakit berat. Lebih lanjut,

anak dibagi menjadi 3 subgrup berdasarkan umur bayi saat dirawat karena bronkiolitis akut

(dimana semua bayi berumur kurang dari 6 bulan) yaitu grup pertama, bayi kurang dari 2

bulan sebanyak 62 bayi, grup kedua berumur 2-4 bulan, 41 bayi dan grup ketiga, besar dari 4

bulan pada 26 bayi. Prevalensi keluhan wheezing berulang kemudian dibandingkan antara

subgrup 1-4 pertama dengan subgrup 1-3 kedua dan subgrup 1-3 yang ketiga.

Terakhir, anak – anak yang mendapat episode wheezing berulang saat berumur 3

tahun, dibagi menjadi 2 subgrup yaitu anak dengan wheezing berulang yang transien, dimana

wheezing mulai dalam 3 tahun pertama kehidupan namun hilang saat berumur lebih dari 3

tahun) dan subgrup kedua yaitu anak dengan wheezing berulang yang persisten dimana

wheezing berulang bertahan hingga umur diatas 6 tahun.

Semua subgrup data penelitian ini kemudian dianalisis dengan analisis multivariat

menggunakan t-test atau ANOVA, tergantung jumlah subgrup atau untuk data numerik serta

Chi- square atau Fisher’s exact test, tergantung jumlah subgrup, untuk data kategorik.

Semua analisis dilakukan menggunakan software statistik SPSS versi 20.


Menurut analisis multivariat, riwayat rawatan akibat bronkiolitis akut dalam 6 bulan

awal kehidupan dan riwayat asma pada keluarga tingkat pertama merupakan faktor risiko

signifikan untuk terjadinya wheezing berulang dalam 3 tahun awal kehidupan. Pada analisis

untuk wheezing berulang transien, faktor risiko yang signifikan hanya riwayat rawatan akibat

bronkiolitis akut dalam 6 bulan awal kehidupan.

Kekurangan dari penelitian ini adalah desain observasional dan jumlah pasien dalam

subgrup patogen bukan RSV yang relatif sedikit. Tambahannya, data mengenai riwayat atopi

hanya berdasarkan rekam medis tanpa menanyakan kepada pasien. Kekurangan kedua,

keparahan bronkiolitis akut dinilai oleh dokter yang berbeda sehingga adanya perbedaan

pada karakteristik grup. Akhirnya, keparahan wheezing berulang berdasarkan penggunaan

obat (bronkodilator dan steroid sistemik) dan jumlah rekurensi wheezing tanpa menelaah

jumlah episode yang memerlukan perawatan inap atau suplai oksigen.

Anda mungkin juga menyukai