PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Vitamin D merupakan nutrien dan hormon yang didapat dari asupan
makanan alamiah ataupun melalui proses fortifikasi dan juga dapat
dihasilkan secara endogen melalui mekanisme fotosintesis pada kulit jika
mengalami pajanan terhadap sinar matahari. Defisiensi vitamin D telah
dilaporkan pada berbagai populasi bahkan pada populasi yang tinggal di
daerah dengan pajanan sinar matahari yang berlimpah. 1
Defisiensi vitamin D merupakan masalah kesehatan yang penting
baik di negara maju maupun negara berkembang. Prevalensi defisiensi
vitamin D pada anak dan dewasa di seluruh dunia mencapai 30 – 80 %.2
Berdasarkan data dari National Health and Nutrition Examination Surveys
(NHANES) pada tahun 2001 – 2006 di Amerika Serikat, 67 % penduduk
berusia lebih dari 1 tahun memiliki kadar 25-hydroxyvitamin D dalam serum
yang tergolong kurang hingga rendah.3 Laporan yang serupa mengenai
kadar 25-hydroxyvitamin D yang rendah pada anak dan remaja didapatkan
juga dari berbagai negara lain, seperti India, Malaysia dan Thailand.4-6
Angka kejadian defisiensi vitamin D di Indonesia dari sebuah penelitian
potong lintang menunjukkan insufisiensi vitamin D sebanyak 75.8%. 7
Efek dan fungsi vitamin D sebagai hormon telah menjadi subjek
penelitian dalam berbagai topik pada dekade terakhir. Vitamin D
mempunyai efek pengaturan terhadap berbagai proses sistem imun
sehingga defisiensi vitamin D dihubungkan dengan gangguan pada
berbagai penyakit imunologis. Sensitifitas tubuh terhadap steroid dan
ekspresi genetik yang berperan dalam regulasi status inflamasi, produksi
sitokin juga dipengaruhi oleh vitamin D dan hal ini dapat berperan langsung
dalam reaktifitas jalan nafas. Reseptor vitamin D pada jalan nafas
menghambat sitokin pro inflamasi dengan mempengaruhi sel CD4+ T cells,
interleukin-2, interferon-gamma, dan makrofag. Kekurangan vitamin D
1
dapat menyebabkan ketidakmampuan tubuh untuk mengurangi respon
inflamasi yang terjadi akibat stress inhalasi sehingga kadar prostaglandin,
leukotrien, makrofag dan aktifitas sel T meningkat.8,9
Asma merupakan kelainan inflamasi kronis saluran nafas yang dapat
menyebabkan peningkatan respon dan aktifitas jalan nafas, ditandai
dengan episode mengi berulang, sesak nafas dan batuk yang disertai
obstruksi jalan nafas dalam derajat yang bervariasi.10 Asma juga
merupakan penyakit respiratorik kronis yang paling sering dijumpai pada
anak. Di Amerika Serikat, asma merupakan penyebab utama perawatan di
unit gawat darurat, rawat inap dan absen dari sekolah pada anak usia 5-17
tahun.11 Prevalensi asma meningkat dari waktu ke waktu baik di negara
maju maupun negara sedang berkembang. Peningkatan tersebut diduga
berkaitan dengan pola hidup yang berubah dan peran faktor lingkungan
terutama polusi baik di dalam maupun luar ruangan. Prevalensi asma pada
anak berkisar antara 2-30%. Di Indonesia prevalensi asma pada anak
sekitar 10% pada usia sekolah dasar, dan sekitar 6,5% pada usia sekolah
menengah pertama.12
Beberapa penelitian epidemiologis menunjukkan adanya hubungan
kekurangan vitamin D dengan berbagai penyakit paru seperti penyakit paru
obstruktif kronis, fibrosis kistik, infeksi pada saluran nafas seperti
Mycobacterium tuberculosis dan pada asma.13-15 Khusus pada asma,
beberapa penelitian menyatakan adanya hubungan antara rendahnya
asupan vitamin D pada wanita hamil dengan angka kejadian mengi pada
anak, defisiensi vitamin D dengan beratnya derajat asma dan peningkatan
penggunaan steroid, penurunan respon steroid pada anak dan dewasa
dengan asma.16-19
Camargo dkk16 melaporkan terdapat hubungan antara asupan
maternal vitamin D selama kehamilan dengan resiko mengi berulang pada
anak. Hal ini dapat diakibatkan karena vitamin D memiliki efek terhadap
perkembangan paru intrauterine atau mengurangi resiko infeksi paru yang
berhubungan dengan mengi.
2
Gupta dkk20 menyatakan bahwa pada anak dengan asma berat yang
resisten terhadap pengobatan, kadar vitamin D yang rendah berkaitan
dengan massa otot saluran nafas, derajat beratnya asma, frekuensi
eksaserbasi asma, menurunnya fungsi paru, peningkatan penggunaan
steroid inhalasi maupun oral, peningkatan kunjungan ke unit gawat darurat,
dan peningkatan rawat inap.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Vitamin D
Vitamin D merupakan prohormon yang berperan penting dalam
absorpsi normal kalsium dari saluran pencernaan. Vitamin D ( calciferol )
adalah suatu molekul larut lemak yang bersifat secoteroid ( mirip steroid)
dengan metabolit aktif yaitu 1,25-dihidroksi vitamin D [1,25(OH)2D3] atau
calcitriol yang memiliki aktivitas hormon. Reseptor vitamin D pada manusia
(VDR) ditemukan pada berbagai organ, seperti kulit, saluran pencernaan,
sel – sel yang berperan pada sistim imun, pankreas dan pembuluh darah.
1,21 Dua bentuk vitamin D adalah vitamin D3 atau cholecalciferol dan vitamin
D2 atau ergocalciferol. Bentuk yang pertama diproduksi di kulit dengan
pengaruh radiasi UVB (UVR), sedangkan bentuk yang kedua diproduksi
oleh UVR pada berbagai tanaman dan ragi. Perbedaan antara kedua
bentuk vitamin D ini terdapat pada perikatan keduanya pada protein dalam
darah, vitamin D binding protein dan metabolisme keduanya yang berbeda
karena adanya efek biokimiawi dari rantainya, sehingga dosis tunggal dari
vitamin D2 memiliki efek sirkulasi 25-OHD yang lebih rendah daripada dosis
tunggal vitamin D3.1,6,21,22
4
tachysterol yang tidak aktif secara biologis. Sintesa dari vitamin D3
dipengaruhi oleh musim, ketinggian daerah, peningkatan penggunaan krim
pelindung sinar matahari, densitas melanin pada kulit, penggunaan pakaian
yang sangat tertutup dan usia akan menurunkan fungsi kulit dalam proses
perubahan cholecalciferol.1,21,23-25
Vitamin D3 akan ditransport ke hati melalui ikatan dengan protein
plasma, yaitu vitamin D binding protein (VDBP), yang dikode oleh
kromosom 4q12. Bentuk ini kemudian mengalami hidroksilasi menjadi 25-
hidroksi vitamin D3 atau 25OHD3 atau disebut juga calcidiol oleh vitamin D3-
25 hidroksilase (P450c27), suatu asam amino 498 sitokrom P450
mitokondria kelas 1 yang dikode oleh CYP27. 25OHD3 memiliki waktu
paruh yang panjang dalam serum sehingga bentuk ini biasanya digunakan
untuk menilai kadar simpanan dalam tubuh.21,23,24
Calcidiol akan diikat oleh vitamin D binding globulin menuju sirkulasi
ke sel-sel pada proximal tubulus ginjal. Proses hidroksilasi akan berlanjut
di ginjal oleh sitokrom P450-dependent mitochondrial monooxygenase
25OHD3-1α-hydroxylase dan dikonversi menjadi 24R,25-dihiroksivitamin D3
[24R,25(OH)2D3] yang merupakan bentuk pertama dari proses degradasi
dengan hasil akhir metabolit aktif berupa 1,25-dihidroksivitamin D3
1,25(OH)2D3. Bentuk terikat calcitriol ini pada vitamin D binding globulin
akan mengalami filtrasi pada membran glomerulus dan direabsorpsi oleh
sel pada tubulus proksimal ginjal oleh reseptor megalin (gp 330) yang
diekspresikan pada permukaan luminal/apikal, vakuola endositik dan
lisosom pada sel – sel di tubulus proksimal. Setelah pengambilan kembali
ini, kompleks protein-calcidiol akan memasuki lisosom kemudian terjadi
pelepasan calcidiol, memasuki sitosol dan metabolisme pada mitokondria
menjadi calcitriol. 21,23,24
Hormon paratiroid, parathyroid horomone related protein, calcitonin,
24R,25(OH)2D3, GH, insulin like growth factor-1 (IGF-1), prolaktin, siklus
AMP, protein kinase A, hipofosfatemia, dan hipokalsemia merupakan
keadaan yang akan mengganggu aktifitas 1-α-hidroksilase di proksimal
5
tubulus ginjal. Hiperkalsemia, hiperfosfatemia, dan peningkatan kadar
calcitriol akan mensupresi aktivitas dari 25OHD3-1α-hidroksilase. 1,21,23,25
6
Vitamin D receptor akan membantu stimulasi calcitriol untuk absorpsi
dan reabsorpsi dari kalsium pada usus, tulang dan ginjal. Pada duodenum
dan proksimal yeyunun, calcitriol akan meningkatkan pengambilan kalsium
oleh enterosit pada lumen usus, kemudian akan ditransfer ke sitoplasma
dan mengalami ekstrusi ke sirkulasi, dengan induksi dari calbindin- calcium
binding protein, alkalin fosfatase dan protein – protein lain. Absorpsi fosfat
pada yeyunum dan ileum akan meningkat dengan diperantarai calcitriol.
Sedangkan pada tulang, calcitriol akan menstimulasi diferensiasi stem sel
monositik menjadi osteoclast secara tidak langsung dengan sintesa
osteoblas oleh osteoclast activating factors.
Calcitriol akan menstimulasi osteoblas untuk memproduksi
osteocalcin, osteopontin dan alkalin fosfatase dan akan menurunkan
produksi osteoblas oleh kolagen tipe 1 dan ekspresi PHEX, yaitu gen yang
mengkode endopeptidase untuk homeostasis fosfat dan merupakan
penanda maturitas osteoblas. Calcitriol juga menyebabkan resorpsi tulang
melalui produksi osteopontin, yaitu protein non kolagen dari matriks tulang
yang merupakan tempat perlekatan osteoclast cell surface integrin
receptors, oleh osteoblas.21-23
7
vitamin D yang berada dalam sirkulasi dan memiliki waktu paruh sekitar 3
minggu, lebih panjang dibandingkan 1,25 (OH)2–D yang hanya memiliki
waktu paruh 4 jam. Dalam keadaan defisiensi vitamin D, maka hormone
paratiroid akan meningkat dan merangsang aktifitas 1-α hydroxylase yang
menyebabkan terjadinya peningkatan kadar 1,25(OH)2-D sehingga bentuk
aktif vitamin D ini tidak bisa digunakan sebagaai indicator status vitamin D
tubuh karena kadarnya justru normal atau meningkat pada keadaan
defisiensi vitamin D. Di samping itu, 25(OH)-D mudah diperiksa dan
memiliki kadar paling tinggi di antara metabolit vitamin D lain dan memiliki
korelasi yang kuat dengan gejala klinis. Namun akurasi pengukuran kadar
25(OH) D juga ditentukan oleh alat yang digunakan, selain itu kadarnya juga
dipengaruhi oleh cuaca, aktivitas di luar rumah dan paparan sinar matahari
di lokasi tempat tinggal.1,22,23,28
8
3. Kadar 25(OH)-D sangat rendah, hipokalsemia, hipofosfatemia,
peningkatan alkali fosfatase dan tanda demineralisasi tulaang
9
USA and Canada. Dietary
Reference Intake (DRI). Adequate
Intake (AI)
European Community. Population
Reference (PRI)
Australia. Recommended Dietary
Intake (RDI)
10
sebesar 15%. Angka ini masih lebih rendah dibandingkan Malaysia yang
mempunyai persentase 35,3% pada anak yang mengalami defisiensi
vitamin D.5
Penyebab defisiensi vitamin D secara garis besar dapat
dikelompokkan menjadi 2 yaitu defisiensi yang berhubungan dengan
papara UVB dan defisiensi yang berhubungan dengan kondisi medis fisik. 32
11
Defisiensi vitamin D yang berhubungan dengan kondisi medis fisik
antara lain :
o Malabsorpsi lemak. Penyerapan vitamin D memerlukan
lemak. Apabila terjadi gangguan penyerapan lemak, maka
penyerapan vitamin D juga terganggu. Hal ini terjadi pada
penyakit Crohn, fibrosis kistik, seliac dan pembedahan
gastrointestinal disertai dengan reseksi usus halus.
o Penggunaan obat-obatan. Penggunaan obat anti konvulsi
jangka panjang seperti fenobarbital, fenitoin dan
karbamazepin, obat lain seperti rifampisin, obat anti retroviral
dapat menyebabkan osteomalacia defisiensi vitamin D akibat
induksi 1,25(OH)2-D.
o Penyakit ginjal kronis. Ginjal adalah tempat transformasi
bentuk aktif vitamin D. Ginjal yang mengalami penyakit kronis,
apalagi memerlukan dialysis akan menghambat
transsformasi vitamin D. Oleh karena itu, penderita penyakit
ginjal kronis memerlukan suplementasi vitamin D untuk
mempertahankan keseimbangan kadar kalsium dan hormon
paratiroid.
o Obesitas. Anak dengan obesitas memiliki resiko defisiensi
vitamin D karena memiliki kadar 24(OH)-D lebih rendah
dibandingkan anak yang tidak obes. Hal ini berkaitan dengan
penumpukan lemak di bawah kulit yang meyimpan dan
menghambat pelepasan vitamin D3 yang sudah terbentuk di
kulit ke dalam sirkulasi darah
o Asupan vitamin D yang rendah.
o Status vitamin D maternal yang rendah. Vitamin D bisa
ditransfer ke dalam plasenta. Ibu hamil yang menderita
defisiensi vitamin D akan menyebabkan cadangan vitamin D
pada bayi yang rendah. Bayi lahir premature juga memiliki
cadangan vitamin D yang rendah, bayi dengan ASI eksklusif
12
tanpa paparan sinar matahari yang cukup atau tanpa
suplementasi vitamin D beresiko lebih tinggi kekurangan
vitamin D.
13
mensintesis vitamin D yang memadai. Dengan tingginya prevalensi
hipovitaminosis D, maka diperlukan perhatian khusus untuk mengevaluasi
kembali kecukupan diet dan penggunaan suplementasi vitamin D. 24
Sumber diet vitamin D dapat didapatkan dari sumber alami, vitamin
D yang terkandung dalam ASI, bahan makanan fortifikasi yang
mengandung vitamin D, serta suplemen. Sumber bahan alami vitamin D
meliputi ikan, seperti salmon, makarel dan sarden, cod liver oil, hati dan
organ – organ lain. Namun metode pengolahan makanan juga menentukan
kadar vitamin D dapat diserap, sebagai contoh ikan yang digoreng akan
berkurang kadar aktif vitamin D sebanyak 50%.1
ASI, walaupun merupakan makanan terbaik bagi bayi, namun
mengandung kadar vitamin D yang lebih rendah dari angka kecukupan bayi.
ASI dari ibu yang mengalami kekurangan vitamin D hanya mengandung
22 IU/L, sedangkan pada ibu menyusui yang tidak terpapar sinar matahari
hanya dapat memenuhi kebutuhan vitamin D sebanyak 11 – 38 IU/ hari,
dan jumlah ini jauh dari angka kebutuhan minimal vitamin D pada bayi yang
direkomendasikan oleh AAP (American Academy of Pediatrics).1,2
Konsumsi makanan yang difortifikasi juga merupakan salah satu
cara untuk memenuhi kebutuhan vitamin D. Formula bayi di USA
mengandung 40 – 100 IU vitamin D per 100 kcal. Pada umumnya, margarin,
minyak sayur dan susu di Eropa telah difortifikasi dan USA telah
memperkaya bahan makanan seperti tepung, cornflakes, dan jus. Namun
fortifikasi makanan yang mengandung vitamin D juga memiliki persoalan
tersendiri, antara lain adanya variasi keberadaan vitamin D tergantung pada
cuaca dan iklim di berbagai negara, adanya fluktuasi bahan makanan yang
difortifikasi di pasaran, variasi dari prosedur pernyiapan dan penambahan
vitamin D yang dilakukan.1,2 Program fortifikasi vitamin D yang adekuat
hendaknya dapat mensuplai minimal 20 µg vitamin D (800IU) per hari untuk
orang usia lanjut. Namun fortifikasi akan mensuplai 14 – 18 µg vitamin
D/hari untuk anak usia 4 – 10 tahun, dan 10% dari kelompok ini akan
mendapat lebih dari 25 µg/hari vitamin D, dan dianggap tidak aman bagi
14
tubuh. Sehingga fortifikasi yang dianggap dapat mencukupi kebutuhan
vitamin D pada orang tua, memberikan efek yang beresiko pada anak –
anak.1
Penelitian menunjukkan rata – rata kadar vitamin D pada pria dan
wanita di Jepang, yang tidak memberlakukan fortifikasi vitamin D, dan
Norwegia,yang membatasi makanan dengan vitamin D fortifikasi, lebih
tinggi daripada pria dan wanita yang tinggal di Inggris yang melaksanakan
fortifikasi vitamin D pada makanan. Kontribusi konsumsi ikan pada kedua
negara ini diduga menyebabkan tercukupinya angka kebutuhan vitamin D.2
Persentasi distribusi berbagai makanan terhadap kadar harian kecukupan
vitamin D di berbagai negara dilukiskan dalam gambar 2.
15
2.2 Asma
16
Tabel 3. Prevalensi Asma di Indonesia.12
17
dengan manifestasi atopi melalui mekanisme IgE-dependent. Pada
populasi diperkirakan faktor atopi memberikan kontribusi pada 40%
penderita asma anak dan dewasa.10,12,34
18
kerusakan jaringan. Sel basofil mensekresi histamin, LTC4, PGD2.
Mediator tersebut dapat menimbulkan bronkospasme. Sel makrofag
mensekresi IL8, platelet activating factor (PAF), regulated upon activation
novel T cell expression and presumably secreted (RANTES) .Semua
mediator diatas merupakan mediator inflamasi yang meningkatkan proses
peradangan, mempertahankan proses inflamasi. Mediator inlamasi tersebut
akan membuat kepekaan bronkus berlebihan, sehingga bronkus mudah
konstriksi, kerusakan epitel, penebalan membrana basalis dan terjadi
peningkatan permeabilitas bila ada rangsangan spesifik maupun non
spesifik. Secara klinis, gejala asma menjadi menetap, penderita akan lebih
peka terhadap rangsangan. Kerusakan jaringan akan menjadi irreversibel
bila paparan berlangsung terus dan penatalaksanaan kurang adekuat.
Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivitasi limfosit T oleh
antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesori, yaitu suatu proses yang
melibatkan MCH/ Major Histocompatibility complex (MCH kelas II pada sel
T CD4 dan MCH kelas I pada T CD8). Sel dendritik merupakan antigen
presenting cells yang utama dalam saluran pernafasan. Sel dendritik
terbentuk dari prekusornya di dalam sumsum tulang, kemudian sel-sel
tersebut bermigrasi ke kumpulan sel limfoid dibawah pengaruh GM-CSF
yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktifitas sel epithel, fibroblast, sel T,
makrofag dan sel mast. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik berpindah
menuju daerah yang banyak mengandung limfosit. Disana dengan
pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel dendritik menjadi matang sebagai
antigen presenting cell (APC) yang efektif. Sel dendritik juga mendorong
polarisasi T naive –T0 menuju Th2 yang mengkordinasi sekresi sitokin.
10,34,35
19
Gambar 3. Patogenesis Asma.10
20
Pada tahap amplifikasi, aktivitas miofibroblas akan melepaskan growth
factors yang menyebabkan proliferasi miofibroblas dan Airway Smooth
Muscle (ASM) serta deposisi ECM dengan hasil akhir terjadi airway
remodeling. Aktifasi ini juga menyababkan terjadinya pelepasan sitokin
yang menyebakna inflamasi saluran respirasi. Pada setiap tahap
remodeling terjadi juga inflamasi yang diatur oleh TH2, sitokin yang
dihasilkan (terutama IL4 dan IL13) akan berinteraksi dengan ETMU dan
memperberat proses remodeling. 10,12,34,35
21
pasien yang tidak menunjukkan gejala, hal ini mencermnkan adanya
remodelling saluran pernafasan. Remodelling juga merupakan hal yang
penting pada pathogenesis hiperreaktivitas saluran repiratorik yang non
spesifik, terutama pada pasien yang sembuh dalam waktu yang lama atau
tidak sembuh sempuran setelah terapi steroid hirupan. 10,12,34,35
22
merupakan APC (antigen presenting cells) utama saluran
respiratorik dapat terganggu oleh perubahan dalam EMC sehingga
respon imun bertambah.
23
sesak, wheezing dan disertai hipereaktifitas saluran respiratorik terhadap
berbagai rangsangan. Batuk sangat mungkin disebabkan oleh stimulasi
saraf sensoris pada saluran respiratorik oleh mediator inflamasi dan
terutama pada anak, batuk berulang bisa jadi merupakan satu-satunya
gejala asma yang ditemukan. Penyempitan saluran respiratorik pada asma
dipengaruhi oleh banyak faktor. Penyebab utama penyempitan saluran
espiratorik adalah kontraksi otot polos bronkus yang diprovokasi oleh
pelepasan agonis dari sel sel inflamasi. Yang termasuk agonis adalah
histamine, triptase, prostaglandin D2 dan leukotrien C4 dari sel mast,
neuropeptide dari saraf aferen setempat dan asetilkolin dari saraf eferen
postganglionic. Kontraksi otot polos saluran respiratorik diperkuat oleh
penebalan dinding saluran nafas akibat oedem akut, infiltrasi sel-sel
inflamasi dan remodeling, hiperplasia dan hipertrofi kronis otot polos,
vaskuler dan sel-sel sekretori serta deposisi matriks pada dinding saluran
respiratorik. Selain itu hambatan saluran respiratorik juga bertambah akibat
produksi sekret yang banyak, kental, dan lengket oleh sel goblet dan
kelenjar submukosa, protein plasma yang keluar melalui mikrovaskular
bronkus dan debris selular.35
Wheezing dan batuk yang kronik dan berulang merupakan titik awal untuk
menegakkan diagnosis. Sehubung dengan kesulitan mendiagnosis asma
pada anak kecil, khususnya anak dibawah 3 tahun, respon yang baik
terhadap obat bronkodilator dan steroid sistemik dan dengan penyingkiran
penyakit lain diagnosis asma menjadi lebih definitif. Untuk anak yang sudah
besar lebih dari 6 tahun pemeriksaan faal paru sebaiknya dilakukan. Uji
fungsi paru yang sederhana dengan peak flow meter, atau lebih lengkap
dengan spirometer . Uji provokasi bronkus dengan histamin, metakolin,
latihan, udara kering atau dengan Nacl hipertonis sangat menunjang
diagnosis.35
24
Pemeriksaan ini berguna untuk mendukung diagnosis asma anak
melalui 3 cara yaitu didapatkannya :
1. Variabilitas pada PFR (peak flow rate) atau FEV1 (forced expiratory
volume in 1 second) >15 %
Adalah perbedaan nilai (peningkatan/penurunan) hasil PFR (peak
flow rate) dalam satu hari penilaian yang baik dapat dilakukan
dengan variabilitas mingguan yang pemeriksaannya berlangsung >
2 minggu
2. Reversibilitas pada PFR (peak flow rate) atau FEV1 (forced
expiratory volume in 1 second ) >15%
Perbedaan nilai PFR (peak flow rate) atau FEV1 (forced expiratory
volume) setelah pemberian inhalasi bronkodilator
3. Penurunan >20% pada FEV1 (forced expiratory volume in 1 second)
setelah provokasi bronkus dengan metakolin atau histamine
Penggunaan peak flow meter merupakan hal yang penting dan perlu
diupayakan, karena selain untuk mendukung diagnosis juga untuk
mengetahui keberhasilan tatalaksana asma. Berhubung alat tersebut tidak
selalu ada, maka Lembar Catatan Harian dapat digunakan sebagai
alternatif karena mempunyai korelasi yang baik dengan faal paru. Lembar
Catatan Harian dapat digunakan dengan atau tanpa pemeriksaan PFR
(peak flow rate).
Pada anak dengan gejala dan tanda asma yang jelas, serta respons
terhadap pemberian obat bronkodilator baik sekali, maka tidak perlu
pemeriksaan diagnostik lebih lanjut. Bila respons terhadap obat asma tidak
baik, sebelum memikirkan diagnosis lain, maka perlu dinilai dahulu
beberapa hal. Hal yang perlu dievaluasi adalah apakah penghindaran
terhadap pencetus sudah dilakukan, apakah dosis obat sudah adekuat,
cara dan waktu pemberiannya sudah benar, serta ketaatan pasien baik. Bila
semua aspek tersebut sudah dilakukan dengan baik dan benar. Maka perlu
dipikirkan kemungkinan diagnosis bukan asma.10,12,35
25
Tabel 4. Kriteria diagnosis asma12
Gejala Karakteristik
Wheezing, batuk, sesak napas, Biasanya lebih dari satu gejala
dada tertekan, produksi sputum respiratori
Gejala berfluktuasi intensitasnya
seiring waktu
Gejala memberat pada malam
atau dini hari
Gejala timbul bila ada pencetus
Konfirmasi adanya limitasi aliran udara ekspirasi
Gambaran obstruksi saluran FEV1 rendah (<80% nilai prediksi)
respiratori FEV1/FVC < 90%
Uji reversibilitas Peningkatan FEV1>12%
(pascabronkodilator)
Variabilitas Perbedaan PEFR harian > 13%
Uji provokasi Penurunan FEV1>20% atau
PEFR > 15%
Berdasarkan umur
Asma bayi baduta ( bawah dua tahun )
Asma balita ( bawah lima tahun )
Asma usia sekolah ( 5-11 tahun )
Asma remaja ( 12-17 tahun )
Berdasarkan fenotip
Fenotip asma adalah pengelompokan asma berdasarkan penampakan
yang serupa dalam aspek klinis, patofisiologis, atau demografis.
Asma tercetus infeksi
Asma tercetus aktivitas (exercise induce asthma)
Asma tercetus allergen
26
Asma terkait obesitas
Asma dengan banyak pencetus (multiple triggered asthma)
27
Persisten Episode gejala asma >1x/minggu, namun tidak setiap hari
sedang
Persisten Episode gejala asma terjadi hamper tiap hari
berat
28
1. Intermitten
Gejala kurang dari 1 kali/minggu, serangan singkat, gejala nocturnal tidak
lebih dari 2 kali per bulan ( < 2 kali) FEV1 > 80% predicted atau PEF > 80%
nilai terbaik individu, variabilitas PEF atau FEV1 < 20%.
2. Persisten ringan
Gejala lebih dari 1 kali/minggu tapi kurang dari1 kali/hari, serangan dapat
menganggu aktifitas dan tidur. Gejala nocturnal > 2 kali/bulan. FEV1 > 80 %
nilai terbaik individu, variabilitas PEF atau FEV1 20-30%
3. Persisten sedang
Gejala terjadi setiap hari, serangan dapat menganggu aktifitas dan tidur,
gejal nocturnal > 1 kali dalam seminggu, menggunakan beta-agonis kerja
pendek setiap hari. FEV1 60-80% predicted atau nilai PEF 60-80% nilai
terbaik individu, variabilitas PEF atau FEV1 >30 %
4. Persisten berat
Gejala terjadi setiap hari, serangan sering terjadi, gejala asma nocturnal
sering terjadi . FEV-1 < 60% predicted atau PEF < 60% nilai terbaik individu,
Variabilitas PEF atau FEV1 > 30%
GINA (Global initiative for Asthma) tahun 2011 membagi Asma berdasarkan
tingkat terkontrol.
29
Limitasi Tidak ada Ada
aktifitas
Gejala malam Tidak ada Ada
Keperluan Tidak ada Lebih dari
untuk 2x/minggu
menggunakan
pelega
Fungsi Paru ɤ Normal < 80% predicted
atau nilai terbaik
individu
B. Evaluasi untuk resiko kedepan( resiko exaserbasi, instabilitas, penurunan
fungsi paru, efek samping)
Gejala yang berhubungan dengan resiko serangan dikemudian hari
Gejala klinis yang tidak terkontrol, serangan akut pada tahun sebelumnya,
pernah dirawat di ICU, FEV1 yang rendah, paparan terhadap rokok, terapi
dosis tinggi
Catatan: +: Serangan akut menunjukkan bahwa itu asma uncontrolled
ɤ: tanpa penggunaan bronkodilator uji fungsi paru tidak dapat
dipercaya untuk anak dibawah 5 tahun
30
2.3 Hubungan Vitamin D Dan Asma
31
modulasi dari sel T regulator. Vitamin D bersama dengan glukokortikoid
menginduksi diferensiasi sel T awal menjadi sel T yang mensekresi IL-10.37
32
Mengingat efek intrauterin vitamin D, resiko asma pada anak-anak
dapat dipengaruhi oleh status vitamin D ibu selama kehamilan. Sebuah
studi kohort dari 763 pasangan ibu-bayi Jepang menemukan bahwa resiko
mengi {rasio odds yang disesuaikan [OR] [interval kepercayaan 95% (CI)]
= 0,64 (0,43-0,97)} dan eksema [OR (95 % CI) = 0,63 (0,41-0,98)] secara
signifikan menurun pada anak-anak 16-24 bulan usia yang ibunya memiliki
asupan tinggi vitamin D selama kehamilan.41 Hasil penelitian ini konsisten
dengan studi sebelumnya yang menilai intake ibu vitamin D selama
kehamilan melalui kuesioner frekuensi makanan.16,36
Studi yang dilakukan selanjutnya telah mencoba untuk mengatasi
keterbatasan dari studi epidemiologi sebelumnya dengan mengukur
langsung status vitamin D. Studi ini mengukur 25-hydroxyvitamin D3
(25(OH)-D), metabolit yang beredar yang mendefinisikan status vitamin D.
Penelitian pertama membahas pengaruh tingkat 25(OH)-D ibu dalam
kehamilan dan resiko untuk infeksi saluran pernapasan bawah, mengi, dan
asma pada anak. Morales dkk42 meneliti 1724 anak dari kelompok berbasis
populasi dari empat daerah di Spanyol. Mereka menunjukkan bahwa tingkat
25(OH)-D ibu (median 73,75 nmol / l atau 29,5 ng / ml) yang berbanding
terbalik dikaitkan dengan infeksi pernapasan pada anak-anak di usia 1
tahun, tapi tidak dengan mengi pada 1 atau 4 tahun, atau asma antara 4
dan 6 tahun.
Camargo dkk16 mengukur kadar 25(OH)-D pada 922 bayi baru lahir
yang berpartisipasi dalam penelitian berbasis populasi pada New Zealand
Asthma and Alergy Cohort Study. Hasil penelitian menunjukkan kadar
25(OH)-D pada darah tali pusat (median 44 nmol / l atau 17,6 ng / ml)
berhubungan terbalik dengan kejadian mengi pada usia 5 tahun, tapi tidak
ada hubungan dengan kejadian asma pada usia 5 tahun. Temuan ini
konsisten dengan studi oleh Morales dkk42, dan analisa lebih lanjut
terhadap data penelitian ini menunjukkan kecenderungan menurunnya
resiko asma dengan kadar vitamin D yang lebih tinggi.
33
Penelitian lain telah meneliti hubungan antara vitamin D dan asma
dan alergi pada periode postpartum. Beberapa studi kasus-kontrol telah
dilakukan di beberapa negara,17,19,43,44 semua menunjukkan bahwa
prevalensi kekurangan vitamin D lebih besar pada penderita asma
dibandingkan kontrol. Dua penelitian telah menggunakan data dari National
Health dan Nutrition Examination Survey (NHANES). Dalam salah satu
analisis dari 3136 anak-anak dan remaja, sensitisasi alergi terhadap 11 dari
17 alergen adalah lebih umum pada mereka yang kekurangan vitamin D
(<37,5 nmol / l atau 15 ng / ml) setelah penyesuaian multivariabel.
Sensitisasi termasuk alergen makanan (kacang dan udang), alergen dalam
ruangan (anjing, kecoa, Alternaria sp.), dan serbuk sari.45
Dua penelitian kohort pada anak-anak telah melakukan analisis
longitudinal terhadap pengaruh vitamin D terhadap asma pada anak-anak.
Dalam penelitian kohort Prevention and Incidence of Asthma and Mite
Allergy (PIAMA)46 melibatkan lebih dari 300 anak-anak, didapatkan
konsentrasi serum vitamin D pada usia 4 tahun yang terbalik terkait dengan
kejadian asma pada usia 4-8 tahun. Hollams dkk47 dalam penelitian pada
lebih dari 600 anak-anak Australia, menunjukkan bahwa kadar vitamin D
yang lebih tinggi pada usia 6 tahun mempunyai efek protektif terhadap
terjadinya asma, rhinokonjunctivitis, dan atopi pada usia 14 tahun. Efek ini
tampaknya lebih kuat untuk anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.
Studi-studi ini menunjukkan bahwa kadar vitamin D setelah melahirkan dan
asupan dapat mempengaruhi resiko perkembangan terjadinya asma dan
alergi, dengan penelitian yang lebih besar menunjukkan bahwa status
vitamin D yang lebih tinggi pada anak-anak adalah protektif terhadap
kejadian asma dan alergi seiring dengan bertambahnya usia.
34
beratnya penyakit asma dan alergi telah ditinjau. Mekanisme ini termasuk
efek pada sel-sel kekebalan tubuh, meningkatkan penanganan atau
pencegahan infeksi, penurunan respon inflamasi, dan penurunan resistensi
steroid.36
Sel epitel saluran napas membutuhkan vitamin D dalam bentuk aktif
untuk
peningkatan diferensiasi dan rekrutmen makrofag, peningkatan produksi
cathelicidin dan CD14, dan potensiasi pertahanan tuan rumah
terhadap Mycobacterium tuberculosis dan bakteri lainnya, jamur,
dan virus.15,40
Sebuah penelitian yang bersifat potong lintang di Amerika Serikat
terhadap sekitar 19.000 subyek berusia 12 tahun atau lebih menunjukkan
bahwa berkurangnya kadar serum vitamin D dikaitkan dengan peningkatan
resiko infeksi saluran pernapasan atas yang dilaporkan sendiri, khususnya
pada subyek dengan penyakit paru obstruktif kronik atau asma.48
Sebuah uji coba baru-baru ini menunjukkan bahwa suplementasi
vitamin D3 (1.200 IU / hari) selama musim dingin mengurangi kejadian
influenza A (didiagnosis dengan pengujian antigen swab nasofaring) tetapi
tidak influenza B di 167 anak sekolah Jepang (resiko relatif [RR], 0.58;
interval kepercayaan 95% [IK], 0,34-0,99).49 Hal ini juga didukung
berdasarkan hasil sebuah studi observasional dari 284 bayi Finlandia yang
dirawat di rumah sakit dengan penyakit mengi, menyatakan tingkat vitamin
D berbanding terbalik dengan koinfeksi infeksi oleh Respiratory Syncytial
Virus atau Rhinovirus (OR, 0,92; 95% CI, 0,84-0,99).50
Vitamin D juga telah terbukti memiliki efek pada massa otot polos
saluran napas.36 Gupta dkk20 meneliti 86 anak dengan usia rata-rata 11,6
tahun, di antaranya 36 asma derajat berat resisten terhadap pengobatan,
26 asma derajat sedang, dan 24 kontrol bukan asma. Pada 19 anak pada
kelompok asma derajat berat resisten terhadap pengobatan, yang memiliki
spesimen biopsi endobronkial yang memadai, kadar vitamin D yang
ditemukan berbanding terbalik dengan massa otot polos saluran napas.
35
Temuan ini konsisten dengan temuan sebelumnya bahwa vitamin D dapat
mencegah proliferasi otot polos saluran napas, dan memiliki implikasi pada
remodeling saluran napas.
Beberapa studi telah meneliti hubungan antara kekurangan vitamin
D, eksaserbasi asma dan sebagai penanda derajat beratnya penyakit.
Penelitian di Kosta Rika pada 616 anak dengan asma menunjukkan bahwa
kadar vitamin D serum berbanding terbalik dengan IgE total, jumlah
eosinofil, rawat inap untuk asma, penggunaan obat anti-inflamasi, dan
hiperaktifitas saluran nafas.17 Brehm dkk51 dalam analisis data yang
dikumpulkan di 1.024 peserta dari Childhood Asthma Management
Program (CAMP), uji klinis acak terhadap inhalasi budesonide
dibandingkan dengan nedocromil dan plasebo, merupakan penelitian
pertama yang menunjukkan bahwa kekurangan vitamin D (<30 ng / ml)
dikaitkan dengan resiko peningkatan untuk eksaserbasi asma berat yang
mengarah ke meningkatnya kunjungan ke unit gawat darurat (ED) atau
rawat inap. Besarnya hubungan yang diamati lebih besar pada anak-anak
yang tidak menerima kortikosteroid inhalasi dan yang memiliki kekurangan
vitamin D dibandingkan pada anak-anak yang menerima kortikosteroid
inhalasi tetapi memiliki kekurangan vitamin D atau orang-orang yang tidak
menerima ICS tetapi memiliki tingkat kecukupan vitamin D. Temuan ini
menunjukkan bahwa vitamin D meningkatkan respon steroid. Penelitian lain
juga menemukan kadar vitamin D rendah dikaitkan dengan kontrol asma
yang buruk, fungsi paru-paru lebih rendah dan peningkatan
bronkokonstriksi yang diinduksi oleh aktifitas fisik pada anak-anak
penderita asma.17-19,52,53
Uji klinis yang membahas dampak dari suplementasi vitamin D pada
penyakit alergi melibatkan 48 anak yang baru didiagnosis asma kemudian
dikelompokkan secara menjadi yang mendapat kortikosteroid inhalasi
budesonide + 500 IU per hari cholecalciferol atau budesonide + plasebo
selama 6 bulan menemukan penurunan yang signifikan dalam jumlah anak
yang mengalami eksaserbasi asma pada kelompok dengan suplementasi
36
vitamin D, meskipun tidak ada perbedaan secara keseluruhan terhadap
skor asma yang dinilai melalui kuosioner dan tidak ada perbedaan yang
signifikan dalam kadar 25(OH)-D yang dicapai antara kedua kelompok
setelah 6 bulan. Percobaan yang lebih besar dengan durasi yang lebih
panjang diperlukan untuk menentukan apakah suplementasi vitamin D
dapat mempengaruhi derajat beratnya penyakit. Penelitian ini menunjukkan
peran vitamin D terhadap respon terapi steroid pada pasien dengan asma. 54
Protein pengikat Vitamin D (VDBP) adalah protein utama yang
berperan dalam transportasi metabolit vitamin D (termasuk 25(OH)-D),
meskipun protein lain, seperti albumin, juga sangat berperan. VDBP belum
pernah diteliti sebelumnya dalam hubungan dengan asma dan alergi,
meskipun diketahui bahwa VDBP memiliki peran dalam mengatur
kekebalan tubuh, yang berkaitan dengan aktivasi makrofag dan kemotaksis
neutrofil. Lee dkk55 menunjukkan bahwa konsentrasi VDBP dalam cairan
bronchoalveolar secara signifikan meningkat pada 67 pasien asma
dibandingkan dengan 22 kontrol.
37
Gambar 6. Mekanisme vitamin D dalam mengurangi resiko eksaserbasi
asma.36
38
merangsang differensiasi sel alveolar., Sintesis DNA sel pneumotosit II,
produksi surfaktan dan dapat mengatur proses pembentukan alveoli.
Dengan demikian, kekurangan vitamin D mungkin predisposisi asma atau
meningkatkan morbiditas asma dengan mengubah pengembangan paru-
paru pada awal kehidupan.57
39
40
Tabel 6. Penelitian mengenai vitamin D dan asma
Peneliti Desain penelitian dan populasi Hasil penelitian Keterbatasan penelitian
Camargo dkk;2006 Penelitian kohort 2.128 anak di Tiap peningkatan asupan 100 IU Hampir 40% pasien hilang
Massachuseetts, di mana 1.194 selama kehamilan berhubungan dari follow up pada usia 3
di antaranya diteliti pada usia 3 dengan berkurangnya resiko tahun. Tidak dilakukan
tahun mengi berulang (OR 0,81; IK 95% pengukuran kadar vitamin D
0,74-0,89) pada ibu
Deveroux dkk;2007 Penelitian dari data kelahiran Asupan vitamin D berhubungan Sekitar 40% pasien hilang
2.000 pasang ibu dan anak. dengan pengurangan resiko dari follow up dan tidak
1.212 di antaranya dilakukan mengi (OR 0,33; IK 95% 0,11- dilakukan pengukuran kadar
follow up pada usia 5 tahun 0,98) vitamin D selama kehamilan
Brehm dkk;2009 Penelitian cross sectional 616 Kadar serum vitamin D Tidak dapat mengekslusikan
anak di Costa Rica dengan berhubungan negative dengan penyebab kekurangan
asma indikator morbiditas asma atau vitamin D dalam analisis
derajat beratnya asma termasuk terhadap beratnya serangan
kunjungan ke RS, penggunaan asma (obesitas, pajanan
obat inflamasi, hiperaktifitas jalan sinar matahari)
nafas (OR 0,18; IK 95% 0,05-0,67)
Sutherland dkk;2010 Penelitian cross sectional pada Kadar vitamin D berhubungan Jumlah sampel kecil, desain
54 pasien dewasa dengan dengan FEV1, respon terhadap cross sectional, tidak
asma di Denver, Colorado glukokortikoid dan hiperaktifitas dilakukan penyesuaian
jalan nafas kadar vitamin D terhadap
ras, BMI dan jenis kelamin
40
Brehm dkk;2010 Penelitian kohort 1.024 anak Kekurangan vitamin D Sulit ditentukan asupan
dengan asma persisten ringan berhubungan dengan eksaserbasi vitamin D pada subyek
sampai sedang di Amerika asma selama follow up 4 tahun penelitian, tidak disesuaikan
(OR 1,5; IK 95% 1,1-1,9) dengan ras, jenis kelamin.
Tidak dilakukan pengukuran
kadar vitamin D secara
berkala.
Searing dkk;2010 Penelitian cross sectional 100 Vitamin D berhubungan positif Faktor yang mempengaruhi
anak dengan asma di Denver, dengan fungsi paru, peningkatan derajat beratnya asma tidak
Colorado respon terhadap terapi steroid. dijelaskan pada penelitian
Berhubungan negative dengan ini.
kadar IgE, derajat atopi,
penggunaan kortikosteroid oral
ataupun inhalasi
Chi dkk;2011 Penelitian pada 568 bayi baru Kadar vitamin D pada intra uterin
lahir, 520 di antaranya dengan mempengaruhi respon imunologis
minimal 1 orang tua dengan pada awal kehidupan
atopi. Dilakukan pemeriksaan
kadar vit D pada darah umbilical
dan parameter imunologis
41
Chinellato dkk;2011 Penelitian cross sectional 75 Kadar vitamin D berhubungan Jumlah sampel kecil, desain
anak Italia dengan asma dengan kontrol as ma cross sectional
(r=0,28;p=0,01) dan lebih tinggi
pada asma yang terkontrol
dibandingkan dengan yang tidak.
Gupta dkk;2011 Penelitian terhadap 86 anak Pada anak dengan asma berat Biopsi otot saluran nafas
yang dibagi menjadi asma berat yang resisten terhadap dilakukan pada sebgain
resisten terhadap pengobatan, pengobatan, kadar vitamin D besar anak dengan asma
asma sedang dan kontrol yang rendah berkaitan dengan berat yang resisten terhadap
dengan subyek sehat. massa otot saluran nafas, derajat pengobatan tetapi tidak
Dilakukan pemeriksaan beratnya asma, frekuensi dapat membedakan kelainan
terhadap kadar vitamin D dan eksaserbasi asma, menurunnya yang terjadi akibat proses
parameter fungsi paru dan fungsi paru, peningkatan remodeling asma atau akibat
derajat inflamasi, remodeling penggunaan steroid inhalasi kekurangan vitamin D.
saluran nafas. maupun oral, peningkatan
kunjungan ke unit gawat darurat,
peningkatan rawat inap dan
peningkatan resiko alergi
terhadap aeroallergen. Meskipun
pada penelitian ini tidak
ditemukan adanya peningkatan
resiko alergi terhadap makanan.
Chinellato dkk;2011 Penelitian cross sectional 45 Kadar vitamin D lebih rendah pada Jumlah sampel kecil, desain
anak dengan asma intermiten anak yang mengalami cross sectional
ringan bronkokonstriksi akibat latihan
dibandingkan dengan tidak.
42
Alaysin dkk;2011 Penelitian cross sectional 50 Kadar vitamin D berhubungan Faktor yang mempengaruhi
anak dengan asma dan 50 anak secara signifikan dengan FEV1 penurunan kadar vitamin D
kontrol usia 6-18 tahun, (R2 =0.318; P=0.024) dan tidak dapat diekslusikan
dilakukan pengukuran kadar FEV1/FVC (R2 =0.315; P=0.026),
vitamin D, pengukuran fungsi
paru dan jumlah eosinofil
Morales dkk;2012 Penelitian dari data kelahiran Ditemukan hubungan antara kadar Diagnosis infeksi dan asma
1.724 bayi di mana pengukuran vitamin D ibu dengan penurunan sulit dipastikan karena
kadar vitamin D ibu dilakukan resiko infeksi (OR 0.67 ; IK 95%= berdasarkan laporan
pada trimester 1, dilakukan 0.50-0.90; test, P = 0.016). Tetapi keluarga dan catatan medis.
follow up pada anak usia 1 tidak berhubungan dengan Faktor lingkungan, sosio
tahun, 4-6 tahun untuk frekuensi kejadian asma maupun mengi ekonomi, kondisi medis dan
terjadinya infeksi, asma atau genetic sulit disingkirkan
mengi dalam analisis
43
BAB III
Ringkasan
44
Daftar pustaka
45
11. Epidemiology and Statistics Unit, Research and Program Services
Division. American Lung Association; 2009. Trends in asthma
morbidity and mortality.
12. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto D. Pedoman Nasional Asma
Anak edisi ke-2. UKK Respirologi PP IDAI 2015.
13. Stephenson A., Brotherwood, Robert. Cholecalciferol significantly
increases 25-hydroxyvitamin D concentrations with cystic fibrosis,
Am. J. Clin. Nutr.2007;85:1307–11.
14. M. Ferrari, K. Schenk, C. Papadopoulou. Serum 25- hydroxy vitamin
D and exercise capacity in COPD. Thorax. 2011;66:544-5.
15. A.A. Ginde, J.M. Mansbach, C.A. Camargo, Vitamin D, respiratory
infections, and asthma, Curr. Allergy Asthma Rep.2009;9:81–7.
16. Camargo CA, Rifas-Shiman SL, Litonjua AA, Rich-Edwards JW,
Weiss ST, Gold DR dkk. Prospective study of maternal intake of
vitamin D during pregnancy and risk of wheezing illnesses in children
at age 2 years. J Allergy Clin Immunol.2006;117:721–2.
17. Brehm JM, Celedon JC, Soto-Quiros ME, Avila L, Hunninghake GM,
Forno E dkk. Serum vitamin D levels and markers of severity of
childhood asthma in Costa Rica. Am J Respir Crit Care
Med.2009;179:765–71.
18. Searing DA, Zhang Y, Murphy JR, Hauk PJ, Goleva E, Leung DYM.
Decreased serum vitamin D levels in children with asthma are
associated with increased corticosteroid use. J Allergy Clin
Immunol.2010;125:995–1000.
19. Sutherland ER, Goleva E, Jackson LP, Stevens AD, Leung DYM.
Vitamin D levels, lung function, and steroid response in asthma. Am
J Respir Crit Care Med 2010;181:699–704.
20. Xystrakis E, Kusumakar S, Boswell S, Peek Gupta A, Sjoukes A,
Richards D, dkk. Relationship between serum vitamin D, disease
severity and airway remodeling in children with asthma. Am J Respir
Crit Care Med.2011;184:1342–9.
46
21. Mason RS. Vitamin D : a hormone for all
seasons.Climateric.2011;14:197-203.
22. Sidhiarta IGL. Defisiensi vitamin D dan kalsium dalam Sjarif DM,
Lestari EW, Mexitalia M, Nasar SS, penyunting. Buku ajar nutrisi
pediatrik dan penyakit metabolik. Edisi pertama.Jakarta: Badan
penerbit IDAI;2011.hal 182-9.
23. DeLuca HF. Overview of general physiologic features and functions
of vitamin D. Am J Clin Nutr.2004;80:1689–96.
24. Holick MF, Binkley NC, Bischoff-Ferrari HA, Gordon CM, Hanley DA,
Heaney RP, dkk. Evaluation, treatment, and prevention of vitamin D
deficiency: an endocrine society clinical practice guideline. J Clin
Endocrinol Metab.2011;96:1911–30.
25. Hollick MF. Vitamin D deficiency. N Engl J Med.2007;357:266-81.
26. Yin L, Grandi N, Raum E, Haug U, Arndt V, Brenner H. Meta analysis:
longitudinal studies of serum vitamin D and colorectal cancer risk. .
Aliment Pharmacol Ther. 2009;30:113-25.
27. Boucher BJ. Vitamin D insufficiency and diabetes risks. Curr Drug
Targets.2011;12:61-87.
28. Mosekilde L. Vitamin D requirement and setting recommendation
levels : long-term perspectives.Nutrition Reviews.2008;66:170-7.
29. Wagner Cl, Greer FR. Prevention of Rickets and vitamin D
deficiency : New guidelines for vitamin D intake.
Pediatrics.2003;111;1098-10.
30. Mansbach JM, Ginde AA, Jr CAC. Serum 25-Hydroxyvitamin D
Levels Among US Children Aged 1 to 11 Years: Do Children Need
More Vitamin D? Pediatrics. 2009;124:1404-10.
31. Razzaghy AM, Shakiba M. Assessment of vitamin D status in healthy
children and adolescents living in Tehran and its relation to iPTH,
gender, weight and height. Annals of Human Biology.2010;37:692-
701.
47
32. Zhang R, Naughton DP. Vitamin D in health and disease : Current
perspective. Nutrition Journal.2010;9:1-37.
33. Farrar MD, Kift R, Felton SJ, Berry JL, Durkin MT, Allan D, dkk.
Recommended summer sunlight exposure amounts fail to produce
sufficient vitamin D status in UK of South Asian origin. Am J Clin Nutr.
2011;94:1219-24.
34. Kartasasmita CB. Asma dalam Rahajoe B, Supriyatno B, Setyanto
D, penyunting. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama.Jakarta:
Badan penerbit IDAI;2010.hal.98-105.
35. Asher I, Grant C.Asthma. Dalam: Chernick V, Boat F, Wilmott W,
Bush A, penyunting. Disorder of respiratory tract in children.Edisi 7.
Philadelphia:Saunders Elsevier; 2006.hal.763-839.
36. Litonjua AA. Childhood asthma may be a consequence of vitamin D
deficiency. Curr Opin Allergy Clin Immunol. 2009; 9:202–7.
37. Hawrylowicz CM, O’Garra A. Potential role of interleukin-10-
secreting regulatoryTcells in allergy and asthma.Nat Rev
Immunol.2005;5:271–83.
38. Zosky GR, Berry LJ, Elliot JG. Vitamin D deficiency causes deficits
in lung function and alters lung structure. Am J Resp Crit Care
Med.2011;183:1336–43.
39. Chi A, Wildfire J, McLoughlin R. Umbilical cord plasma 25-
hydroxyvitamin D concentration and immune function at birth: the
Urban Environment and Childhood Asthma study. Clin Exp
Allergy.2011; 41:842–50.
40. Beard JA, Bearden A, Striker R. Vitamin D and the antiviral state. J
Clin Virol.2011;50:194–200.
41. Miyake Y, Sasaki S, Tanaka K, Hirota Y. Dairy food, calcium and
vitamin D intake in pregnancy, and wheeze and eczema in infants.
Eur Respir J.2010;35:1228–34.
48
42. Morales E, Romieu I, Guerra S. Maternal vitamin D status in
pregnancy and risk of lower respiratory tract infections, wheezing,
and asthma in offspring. Epidemiology.2012;23:64-71
43. Alyasin S, Momen T, Kashef S. The relationship between serum 25
hydroxy vitamin d levels and asthma in children. Allergy Asthma
Immunol Res.2011;3:251–5.
44. Bener A, Ehlayel MS, Tulic MK, Hamid Q. Vitamin D deficiency as a
strong predictor of asthma in children. Int Arch Allergy
Immunol.2012; 157:168–75.
45. Sharief S, Jariwala S, Kumar J. Vitamin D levels and food and
environmental allergies in the United States: results from the
National Health and Nutrition Examination Survey 2005–2006. J
Allergy Clin Immunol.2011;127:1195–202.
46. Van Oeffelen AA, Bekkers MB, Smit HA. Serum micronutrient
concentrations and childhood asthma: the PIAMA birth cohort study.
Pediatr Allergy Immunol.2011;22:784–93.
47. Hollams EM, Hart PH, Holt BJ. Vitamin D and atopy and asthma
phenotypes in children: a longitudinal cohort study. Eur Respir J
2011;38:1320–7.
48. Ginde AA, Mansbach JM, Camargo CA Jr. Association between
serum 25-hydroxyvitamin D level and upper respiratory tract infection
in the Third National Health and Nutrition Examination Survey. Arch
Intern Med.2009;169:384–90.
49. Urashima M, Segawa T, Okazaki M, Kurihara M, Wada Y, Ida H.
Randomized trial of vitamin D supplementation to prevent seasonal
influenza A in school children. Am J Clin Nutr.2010;91:1255–60.
50. Jartti T, Ruuskanen O, Mansbach JM, Vuorinen T, Camargo CA Jr.
Low serum 25-hydroxyvitamin D levels are associated with increased
risk of viral coinfections in wheezing children. J Allergy Clin
Immunol.2010;126:1074–6.
49
51. Brehm JM, Schuemann B, Fuhlbrigge AL. Serum vitamin D levels
and severe asthma exacerbations in the Childhood Asthma
Management Program study. J Allergy Clin Immunol.2010;126:52–
8.
52. Chinellato I, Piazza M, Sandri M. Vitamin D serum levels and
markers of asthma control in Italian children. J
Pediatrics.2011;158:437–41.
53. Chinellato I, Piazza M, Sandri M. Serum vitamin D levels and
exercise-induced bronchoconstriction in children with asthma. Eur
Respir J.2011; 37:1366–70.
54. Majak P, Olszowiec-Chlebna M, Smejda K, Stelmach I. Vitamin D
supplementation in children may prevent asthma exacerbation
triggered by acute respiratory infection. J Allergy Clin
Immunol.2011;127:1294–6.
55. Lee SH, Kim KH, Kim JM. Relationship between group-specific
component protein and the development of asthma. Am J Resp Crit
Care Med.2011;184:528–36.
56. Dixon AE, Holguin F, Sood A, Salome CM, Pratley RE, Beuther DA,
dkk. An official American Thoracic Society Workshop report: obesity
and asthma. Proc Am Thorac Soc 2010;7:325-35.
57. Paul G, Brehm JM, Alcorn JF, Holguin F, Aujla S, Celedon JC.
Vitamin D and asthma,pulmonary perspective. Am J Respir Crit Care
Med.2012;185:124-32.
58. Pojsupap S, Ilriani K, Sampaio T, Kin K, Kovesi T, Menon K, McNally
J. efficacy of high dose vitamin D in pediatric asthma: a systematic
review and meta-analysis. J of asthma.2015;52:382-90.
50
51