Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar belakang
Vitamin D merupakan nutrien dan hormon yang didapat dari asupan
makanan alamiah ataupun melalui proses fortifikasi dan juga dapat
dihasilkan secara endogen melalui mekanisme fotosintesis pada kulit jika
mengalami pajanan terhadap sinar matahari. Defisiensi vitamin D telah
dilaporkan pada berbagai populasi bahkan pada populasi yang tinggal di
daerah dengan pajanan sinar matahari yang berlimpah. 1
Defisiensi vitamin D merupakan masalah kesehatan yang penting
baik di negara maju maupun negara berkembang. Prevalensi defisiensi
vitamin D pada anak dan dewasa di seluruh dunia mencapai 30 – 80 %.2
Berdasarkan data dari National Health and Nutrition Examination Surveys
(NHANES) pada tahun 2001 – 2006 di Amerika Serikat, 67 % penduduk
berusia lebih dari 1 tahun memiliki kadar 25-hydroxyvitamin D dalam serum
yang tergolong kurang hingga rendah.3 Laporan yang serupa mengenai
kadar 25-hydroxyvitamin D yang rendah pada anak dan remaja didapatkan
juga dari berbagai negara lain, seperti India, Malaysia dan Thailand.4-6
Angka kejadian defisiensi vitamin D di Indonesia dari sebuah penelitian
potong lintang menunjukkan insufisiensi vitamin D sebanyak 75.8%. 7
Efek dan fungsi vitamin D sebagai hormon telah menjadi subjek
penelitian dalam berbagai topik pada dekade terakhir. Vitamin D
mempunyai efek pengaturan terhadap berbagai proses sistem imun
sehingga defisiensi vitamin D dihubungkan dengan gangguan pada
berbagai penyakit imunologis. Sensitifitas tubuh terhadap steroid dan
ekspresi genetik yang berperan dalam regulasi status inflamasi, produksi
sitokin juga dipengaruhi oleh vitamin D dan hal ini dapat berperan langsung
dalam reaktifitas jalan nafas. Reseptor vitamin D pada jalan nafas
menghambat sitokin pro inflamasi dengan mempengaruhi sel CD4+ T cells,
interleukin-2, interferon-gamma, dan makrofag. Kekurangan vitamin D

1
dapat menyebabkan ketidakmampuan tubuh untuk mengurangi respon
inflamasi yang terjadi akibat stress inhalasi sehingga kadar prostaglandin,
leukotrien, makrofag dan aktifitas sel T meningkat.8,9
Asma merupakan kelainan inflamasi kronis saluran nafas yang dapat
menyebabkan peningkatan respon dan aktifitas jalan nafas, ditandai
dengan episode mengi berulang, sesak nafas dan batuk yang disertai
obstruksi jalan nafas dalam derajat yang bervariasi.10 Asma juga
merupakan penyakit respiratorik kronis yang paling sering dijumpai pada
anak. Di Amerika Serikat, asma merupakan penyebab utama perawatan di
unit gawat darurat, rawat inap dan absen dari sekolah pada anak usia 5-17
tahun.11 Prevalensi asma meningkat dari waktu ke waktu baik di negara
maju maupun negara sedang berkembang. Peningkatan tersebut diduga
berkaitan dengan pola hidup yang berubah dan peran faktor lingkungan
terutama polusi baik di dalam maupun luar ruangan. Prevalensi asma pada
anak berkisar antara 2-30%. Di Indonesia prevalensi asma pada anak
sekitar 10% pada usia sekolah dasar, dan sekitar 6,5% pada usia sekolah
menengah pertama.12
Beberapa penelitian epidemiologis menunjukkan adanya hubungan
kekurangan vitamin D dengan berbagai penyakit paru seperti penyakit paru
obstruktif kronis, fibrosis kistik, infeksi pada saluran nafas seperti
Mycobacterium tuberculosis dan pada asma.13-15 Khusus pada asma,
beberapa penelitian menyatakan adanya hubungan antara rendahnya
asupan vitamin D pada wanita hamil dengan angka kejadian mengi pada
anak, defisiensi vitamin D dengan beratnya derajat asma dan peningkatan
penggunaan steroid, penurunan respon steroid pada anak dan dewasa
dengan asma.16-19
Camargo dkk16 melaporkan terdapat hubungan antara asupan
maternal vitamin D selama kehamilan dengan resiko mengi berulang pada
anak. Hal ini dapat diakibatkan karena vitamin D memiliki efek terhadap
perkembangan paru intrauterine atau mengurangi resiko infeksi paru yang
berhubungan dengan mengi.

2
Gupta dkk20 menyatakan bahwa pada anak dengan asma berat yang
resisten terhadap pengobatan, kadar vitamin D yang rendah berkaitan
dengan massa otot saluran nafas, derajat beratnya asma, frekuensi
eksaserbasi asma, menurunnya fungsi paru, peningkatan penggunaan
steroid inhalasi maupun oral, peningkatan kunjungan ke unit gawat darurat,
dan peningkatan rawat inap.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Vitamin D
Vitamin D merupakan prohormon yang berperan penting dalam
absorpsi normal kalsium dari saluran pencernaan. Vitamin D ( calciferol )
adalah suatu molekul larut lemak yang bersifat secoteroid ( mirip steroid)
dengan metabolit aktif yaitu 1,25-dihidroksi vitamin D [1,25(OH)2D3] atau
calcitriol yang memiliki aktivitas hormon. Reseptor vitamin D pada manusia
(VDR) ditemukan pada berbagai organ, seperti kulit, saluran pencernaan,
sel – sel yang berperan pada sistim imun, pankreas dan pembuluh darah.
1,21 Dua bentuk vitamin D adalah vitamin D3 atau cholecalciferol dan vitamin
D2 atau ergocalciferol. Bentuk yang pertama diproduksi di kulit dengan
pengaruh radiasi UVB (UVR), sedangkan bentuk yang kedua diproduksi
oleh UVR pada berbagai tanaman dan ragi. Perbedaan antara kedua
bentuk vitamin D ini terdapat pada perikatan keduanya pada protein dalam
darah, vitamin D binding protein dan metabolisme keduanya yang berbeda
karena adanya efek biokimiawi dari rantainya, sehingga dosis tunggal dari
vitamin D2 memiliki efek sirkulasi 25-OHD yang lebih rendah daripada dosis
tunggal vitamin D3.1,6,21,22

2.1.1 Metabolisme Vitamin D


Cholecalciferol atau vitamin D3 disintesa pada kulit dari cholesterol
(7-dehidrokolesterol) dengan bantuan paparan sinar matahari, terutama
spektrum ultraviolet B (UVB) dengan panjang gelombang 290-315 nm pada
suhu 370C, sehingga 7-dehidrokolesterol akan diubah menjadi provitamin
D3, Perubahan 7-dehidrokolesterol melalui 2 tahap, dimana terjadi
pemecahan cincin B oleh bantuan sinar ultraviolet dan akan menyebabkan
pre-D3 dan mengalami isomerisasi menjadi vitamin D3 oleh proses yang
sensitif panas namun bukan proses katalisis. Paparan sinar ultraviolet yang
terus menerus akan menyebabkan konversi pre-D3 menjadi lumisterol dan

4
tachysterol yang tidak aktif secara biologis. Sintesa dari vitamin D3
dipengaruhi oleh musim, ketinggian daerah, peningkatan penggunaan krim
pelindung sinar matahari, densitas melanin pada kulit, penggunaan pakaian
yang sangat tertutup dan usia akan menurunkan fungsi kulit dalam proses
perubahan cholecalciferol.1,21,23-25
Vitamin D3 akan ditransport ke hati melalui ikatan dengan protein
plasma, yaitu vitamin D binding protein (VDBP), yang dikode oleh
kromosom 4q12. Bentuk ini kemudian mengalami hidroksilasi menjadi 25-
hidroksi vitamin D3 atau 25OHD3 atau disebut juga calcidiol oleh vitamin D3-
25 hidroksilase (P450c27), suatu asam amino 498 sitokrom P450
mitokondria kelas 1 yang dikode oleh CYP27. 25OHD3 memiliki waktu
paruh yang panjang dalam serum sehingga bentuk ini biasanya digunakan
untuk menilai kadar simpanan dalam tubuh.21,23,24
Calcidiol akan diikat oleh vitamin D binding globulin menuju sirkulasi
ke sel-sel pada proximal tubulus ginjal. Proses hidroksilasi akan berlanjut
di ginjal oleh sitokrom P450-dependent mitochondrial monooxygenase
25OHD3-1α-hydroxylase dan dikonversi menjadi 24R,25-dihiroksivitamin D3
[24R,25(OH)2D3] yang merupakan bentuk pertama dari proses degradasi
dengan hasil akhir metabolit aktif berupa 1,25-dihidroksivitamin D3
1,25(OH)2D3. Bentuk terikat calcitriol ini pada vitamin D binding globulin
akan mengalami filtrasi pada membran glomerulus dan direabsorpsi oleh
sel pada tubulus proksimal ginjal oleh reseptor megalin (gp 330) yang
diekspresikan pada permukaan luminal/apikal, vakuola endositik dan
lisosom pada sel – sel di tubulus proksimal. Setelah pengambilan kembali
ini, kompleks protein-calcidiol akan memasuki lisosom kemudian terjadi
pelepasan calcidiol, memasuki sitosol dan metabolisme pada mitokondria
menjadi calcitriol. 21,23,24
Hormon paratiroid, parathyroid horomone related protein, calcitonin,
24R,25(OH)2D3, GH, insulin like growth factor-1 (IGF-1), prolaktin, siklus
AMP, protein kinase A, hipofosfatemia, dan hipokalsemia merupakan
keadaan yang akan mengganggu aktifitas 1-α-hidroksilase di proksimal

5
tubulus ginjal. Hiperkalsemia, hiperfosfatemia, dan peningkatan kadar
calcitriol akan mensupresi aktivitas dari 25OHD3-1α-hidroksilase. 1,21,23,25

Gambar 1. Metabolisme dari vitamin D.1

2.1.2 Fungsi vitamin D


Secara klasik, vitamin D berfungsi dalam metabolisme kalsium dan
bone turnover.1,22,23 Beberapa dekade terakhir dengan banyaknya
penelitian mengenai Vitamin D Receptor dan penelitian dalam tingkat
genomic serta proteomic, telah dipublikasikan berbagai artikel mengenai
fungsi non klasik dari vitamin D, seperti fungsinya sehubungan dengan
asma, alergi, penyakit paru obstruktif, resiko infeksi paru 8,9,16-19 , kanker
kolon rectal dan kanker prostat 26, penyakit ginjal kronis, hiperparatiroid
sekunder, penyakit infeksi, miopati, inflammatory bowel disease, multiple
sclerosis, rheumatoid arthritis, hipertensi, penyakit jantung, dan diabetes
melitus tipe 1 dan 2.27

6
Vitamin D receptor akan membantu stimulasi calcitriol untuk absorpsi
dan reabsorpsi dari kalsium pada usus, tulang dan ginjal. Pada duodenum
dan proksimal yeyunun, calcitriol akan meningkatkan pengambilan kalsium
oleh enterosit pada lumen usus, kemudian akan ditransfer ke sitoplasma
dan mengalami ekstrusi ke sirkulasi, dengan induksi dari calbindin- calcium
binding protein, alkalin fosfatase dan protein – protein lain. Absorpsi fosfat
pada yeyunum dan ileum akan meningkat dengan diperantarai calcitriol.
Sedangkan pada tulang, calcitriol akan menstimulasi diferensiasi stem sel
monositik menjadi osteoclast secara tidak langsung dengan sintesa
osteoblas oleh osteoclast activating factors.
Calcitriol akan menstimulasi osteoblas untuk memproduksi
osteocalcin, osteopontin dan alkalin fosfatase dan akan menurunkan
produksi osteoblas oleh kolagen tipe 1 dan ekspresi PHEX, yaitu gen yang
mengkode endopeptidase untuk homeostasis fosfat dan merupakan
penanda maturitas osteoblas. Calcitriol juga menyebabkan resorpsi tulang
melalui produksi osteopontin, yaitu protein non kolagen dari matriks tulang
yang merupakan tempat perlekatan osteoclast cell surface integrin
receptors, oleh osteoblas.21-23

2.1.3 Defisiensi vitamin D


AAP pada tahun 2008 telah mengganti rekomendasi kebutuhan
vitamin D pada bayi dan anak yang sebelumnya sebanyak 200 IU/hari
menjadi 400 IU/hari karena meningkatnya angka kejadian rakitis secara
global. Anjuran suplementasi vitamin D untuk memenuhi kebutuhan harian
ini diberikan sejak 2 bulan pertama hingga masa kanak-kanak dan remaja.1
Tabel 1 menunjukkan rekomendasi kecukupan vitamin D yang diberikan
oleh berbagai negara dan institusi.28
Status vitamin D di dalam tubuh ditentukan oleh kadar serum
25(OH)-D yang menggambarkan jumlah vitamin D yang diproduksi di kulit
dan yang diabsorpsi di usus. Metabolit ini merupakan parameter terbaik
penyimpanan kadar vitamin D dalam tubuh, karena tidak direstriksi oleh

7
vitamin D yang berada dalam sirkulasi dan memiliki waktu paruh sekitar 3
minggu, lebih panjang dibandingkan 1,25 (OH)2–D yang hanya memiliki
waktu paruh 4 jam. Dalam keadaan defisiensi vitamin D, maka hormone
paratiroid akan meningkat dan merangsang aktifitas 1-α hydroxylase yang
menyebabkan terjadinya peningkatan kadar 1,25(OH)2-D sehingga bentuk
aktif vitamin D ini tidak bisa digunakan sebagaai indicator status vitamin D
tubuh karena kadarnya justru normal atau meningkat pada keadaan
defisiensi vitamin D. Di samping itu, 25(OH)-D mudah diperiksa dan
memiliki kadar paling tinggi di antara metabolit vitamin D lain dan memiliki
korelasi yang kuat dengan gejala klinis. Namun akurasi pengukuran kadar
25(OH) D juga ditentukan oleh alat yang digunakan, selain itu kadarnya juga
dipengaruhi oleh cuaca, aktivitas di luar rumah dan paparan sinar matahari
di lokasi tempat tinggal.1,22,23,28

Tabel 1. Status vitamin D berdasarkan kadar 25(OH)-D.1


Status vitamin D Kadar 25(OH)-D nmol/L(ng/mL)
Defisiensi berat ≤ 12,5 (5)
Defisiensi ≤ 37,5 (15)
Insufisiensi 37,5-50 (15-20)
Normal >50-250 (20-100)
Kelebihan >250 (100)
Intoksikasi >375 (150)

Fase-fase defisiensi vitamin D sebagai berikut 29 :


1. Terjadinya penurunan kadar 25(OH)-D, hipokalsemia, eufosfatemia,
dan kadar 1,25(OH)2-D masih normal atau sedikit meningkat.
2. Terjadinya penurunan kadar 25(OH)-D, peningkatan kadar hormon
paratiroid, mobilisasi kalsium tulang, eukalsemia, hipofosfatemia,
peningkatan kadar alkali fosfatase.

8
3. Kadar 25(OH)-D sangat rendah, hipokalsemia, hipofosfatemia,
peningkatan alkali fosfatase dan tanda demineralisasi tulaang

Tabel 2. Rekomendasi intake vitamin D dari berbagai negara.28


Rekomendasi Tahun usia Intake
(µg/hari)
Nordic Nutrition 2004 2 minggu-2 10
Recommendations. Recommended tahun 7.5
Intake (RI) 2– 60 tahun 10+ (10)
2001 ≥ 61 tahun 5
FAO/WHO. Recommended 0– 50 tahun 10
Nutrient Intake (INR) 51 – 65 tahun 15
2001 >65 tahun 5
< 50 tahun 5/10-15
France. Apports Nutrionnels 2000 >50 tahun 10
Conseillés (ANC) 0 – 1 tahun 5
1 – 64 tahun 10
Germany, Switzerland, Austria 1998 ≥65 tahun 8.5
Referenzwerte 0 – 6 bulan 7
6 bulan – 3 0 + (10)
tahun 10
UK. Dietary Reference Values 1997 4 – 64 tahun 5
(DRV). ≥ 65 tahun 10
0 – 50 tahun 15
1993 50 -70 tahun 0-10
>70 tahun 0-10
Recommended Nutrient Intake 1991 < 50 tahun 0+ (10)
(RNI) >50 tahun 0+ (10)
< 50 tahun
>50 tahun

9
USA and Canada. Dietary
Reference Intake (DRI). Adequate
Intake (AI)
European Community. Population
Reference (PRI)
Australia. Recommended Dietary
Intake (RDI)

Defisiensi vitamin D merupakan masalah pandemi global yang


menimbulkan angka kejadian rakitis yang tinggi, serta memiliki
kecenderungan terjadinya berbagai penyakit kronis sehubungan dengan
defisiensi vitamin D di kemudian hari. Prevalensi defisiensi vitamin D pada
anak dan dewasa di seluruh dunia mencapai 30 – 80 %. 2 Berdasarkan data
dari National Health and Nutrition Examination Surveys (NHANES) pada
tahun 2001 – 2006 di Amerika Serikat, 67 % penduduk berusia lebih dari 1
tahun memiliki kadar 25-hydroxyvitamin D dalam serum yang tergolong
kurang hingga rendah.3
Mansbach dkk,30 pada penelitian nasional di AS menyatakan kadar
25 (OH) D rata –rata pada anak usia 1 – 11 tahun adalah 68 nmol/L yang
masih sub optimal, terutama pada ras kulit hitam non hispanik dan hispanik
bahkan memiliki kadar yang lebih rendah. Razzaghy Azar dkk,31
melakukan survey pada anak sehat di Tehran dengan hasil defisiensi
vitamin D berat ( < 12.5 nmol/L) didapatkan pada 25% anak, dan defisiensi
( <12.5 nmol/L ) didapatkan pada 27% anak, dan insufisiensi ( <25 nmol/L)
pada 26% anak.
Pulungan dkk,7 dalam penelitian mereka terhadap anak usia 7 – 12
tahun di Jakarta menyatakan 91 anak (75,8%) anak mengalami insufisiensi
vitamin D, 45% di antaranya adalah anak perempuan. Persentase ini
menunjukkan terjadinya insufisiensi vitamin D di Indonesia yang lebih tinggi
dibandingkan Malaysia (37,1%) ataupun yang terjadi di Afrika (30%).
Namun, defisiensi vitamin D hanya didapatkan pada 18 dari 120 anak yakni

10
sebesar 15%. Angka ini masih lebih rendah dibandingkan Malaysia yang
mempunyai persentase 35,3% pada anak yang mengalami defisiensi
vitamin D.5
Penyebab defisiensi vitamin D secara garis besar dapat
dikelompokkan menjadi 2 yaitu defisiensi yang berhubungan dengan
papara UVB dan defisiensi yang berhubungan dengan kondisi medis fisik. 32

 Penyebab defisiensi vitamin D yang berhubungan dengan paparan


UVB antara lain :
o Usia tua. Pada usia tua, kadar 7-dehydrocholesterol di kulit
menurun, mobilitas menurun sehingga paparan UVB
menurun, kemampuan ginjal memproduksi 1,25(OH)2-D
menurun dan asupan makanan yang difortifikasi dengan
vitamin D juga menurun
o Kulit gelap. Pada populasi yang berkulit gelap, kadar melanin
kulit sangat tinggi sehingga akan menghambat paparan UVB
untuk mensintesis vitamin D3. Populasi berkulit gelap
memerlukan paparan UVB 10-50 kali lebih lama dibandingkan
populasi berkulit putih untuk menghasilkan vitamin D3 yang
sama.
o Musim dan letak geografis. Pada musim dingin dan daerah
yang terletak pada lintang utara atau lintang selatan lapisan
ozon pada atmosfir relative lebih tebal sehingga paparan UVB
tidak cukup untuk memproduksi vitamin D.
o Penggunaan pelindung matahari. Pelindung matahari sangat
efektif menyerap UVB sehingga dapat menurunkan sintesis
vitamin D3 hampir 99%. Selain itu penggunaan pakaian yang
menutupi seluruh bagian tubuh juga menghambat sintesis
vitamin D.

11
 Defisiensi vitamin D yang berhubungan dengan kondisi medis fisik
antara lain :
o Malabsorpsi lemak. Penyerapan vitamin D memerlukan
lemak. Apabila terjadi gangguan penyerapan lemak, maka
penyerapan vitamin D juga terganggu. Hal ini terjadi pada
penyakit Crohn, fibrosis kistik, seliac dan pembedahan
gastrointestinal disertai dengan reseksi usus halus.
o Penggunaan obat-obatan. Penggunaan obat anti konvulsi
jangka panjang seperti fenobarbital, fenitoin dan
karbamazepin, obat lain seperti rifampisin, obat anti retroviral
dapat menyebabkan osteomalacia defisiensi vitamin D akibat
induksi 1,25(OH)2-D.
o Penyakit ginjal kronis. Ginjal adalah tempat transformasi
bentuk aktif vitamin D. Ginjal yang mengalami penyakit kronis,
apalagi memerlukan dialysis akan menghambat
transsformasi vitamin D. Oleh karena itu, penderita penyakit
ginjal kronis memerlukan suplementasi vitamin D untuk
mempertahankan keseimbangan kadar kalsium dan hormon
paratiroid.
o Obesitas. Anak dengan obesitas memiliki resiko defisiensi
vitamin D karena memiliki kadar 24(OH)-D lebih rendah
dibandingkan anak yang tidak obes. Hal ini berkaitan dengan
penumpukan lemak di bawah kulit yang meyimpan dan
menghambat pelepasan vitamin D3 yang sudah terbentuk di
kulit ke dalam sirkulasi darah
o Asupan vitamin D yang rendah.
o Status vitamin D maternal yang rendah. Vitamin D bisa
ditransfer ke dalam plasenta. Ibu hamil yang menderita
defisiensi vitamin D akan menyebabkan cadangan vitamin D
pada bayi yang rendah. Bayi lahir premature juga memiliki
cadangan vitamin D yang rendah, bayi dengan ASI eksklusif

12
tanpa paparan sinar matahari yang cukup atau tanpa
suplementasi vitamin D beresiko lebih tinggi kekurangan
vitamin D.

2.1.4 Sumber vitamin D


Sebagian besar sirkulasi vitamin D disintesa dari paparan kulit
terhadap ultraviolet B. 7-dehidrokolesterol memiliki struktur yang relatif
rigid, dengan 4 cincin yang dilapisi lemak dari membran plasma epidermal
keratinocytes dan dermal fibroblas. Konsentrasi tertinggi 7-
dehidrokolesterol ditemukan di stratum basal dan stratum spinosum dari
epidermis, pada lapisan ini terdapat kapasitas sintesis previtamin D
terbesar. Lokasi tempat tinggal menentukan kadar vitamin D, karena
sintesis endogen oleh UVR lebih banyak terjadi pada daerah antara 40 0
lintang utara dan 400 lintang selatan. Paparan UVR pada kulit dihitung
dengan satuan MED (minimum erythema dose) atau jumlah paparan UVR
yang dapat menyebabkan eritema minimal pada kulit. Paparan UVR di
seluruh tubuh setara 1 MED akan menghasilkan 10.000 hingga 20.000 IU
vitamin D ke dalam sirkulasi selama 24 jam.1 Paparan kurang lebih 40%
bagian tubuh terhadap UVR akan menghasilkan hingga 1000 IU vitamin D
per hari, merupakan kadar minimal sintesa vitamin D yang dibutuhkan untuk
menjaga konsentrasi vitamin D dalam darah tetap tercukupi. 1,33 Anak –
anak dan bayi akan membutuhkan paparan sinar matahari yang lebih
sedikit untuk mencukupi kebutuhan vitamin D yang diperlukan, hal ini
berhubungan dengan luas area tubuh yang lebih kecil dan kapasitas
produksi vitamin D yang lebih besar daripada orang dewasa. 1 Beberapa
penulis menganjurkan sensible sun exposure untuk menjaga konsentrasi
vitamin D yang memadai yaitu paparan pada kedua tangan dan kaki
terhadap sinar matahari selama 5-30 menit ( tergantung waktu, musim,
garis lintang dan pigmentasi kulit ) antara pukul 10 pagi dan 4 sore,
sebanyak 2 kali sehari.25 Belum ada penelitian pada anak yang menentukan
seberapa tingkat paparan sinar matahari yang dibutuhkan untuk

13
mensintesis vitamin D yang memadai. Dengan tingginya prevalensi
hipovitaminosis D, maka diperlukan perhatian khusus untuk mengevaluasi
kembali kecukupan diet dan penggunaan suplementasi vitamin D. 24
Sumber diet vitamin D dapat didapatkan dari sumber alami, vitamin
D yang terkandung dalam ASI, bahan makanan fortifikasi yang
mengandung vitamin D, serta suplemen. Sumber bahan alami vitamin D
meliputi ikan, seperti salmon, makarel dan sarden, cod liver oil, hati dan
organ – organ lain. Namun metode pengolahan makanan juga menentukan
kadar vitamin D dapat diserap, sebagai contoh ikan yang digoreng akan
berkurang kadar aktif vitamin D sebanyak 50%.1
ASI, walaupun merupakan makanan terbaik bagi bayi, namun
mengandung kadar vitamin D yang lebih rendah dari angka kecukupan bayi.
ASI dari ibu yang mengalami kekurangan vitamin D hanya mengandung
22 IU/L, sedangkan pada ibu menyusui yang tidak terpapar sinar matahari
hanya dapat memenuhi kebutuhan vitamin D sebanyak 11 – 38 IU/ hari,
dan jumlah ini jauh dari angka kebutuhan minimal vitamin D pada bayi yang
direkomendasikan oleh AAP (American Academy of Pediatrics).1,2
Konsumsi makanan yang difortifikasi juga merupakan salah satu
cara untuk memenuhi kebutuhan vitamin D. Formula bayi di USA
mengandung 40 – 100 IU vitamin D per 100 kcal. Pada umumnya, margarin,
minyak sayur dan susu di Eropa telah difortifikasi dan USA telah
memperkaya bahan makanan seperti tepung, cornflakes, dan jus. Namun
fortifikasi makanan yang mengandung vitamin D juga memiliki persoalan
tersendiri, antara lain adanya variasi keberadaan vitamin D tergantung pada
cuaca dan iklim di berbagai negara, adanya fluktuasi bahan makanan yang
difortifikasi di pasaran, variasi dari prosedur pernyiapan dan penambahan
vitamin D yang dilakukan.1,2 Program fortifikasi vitamin D yang adekuat
hendaknya dapat mensuplai minimal 20 µg vitamin D (800IU) per hari untuk
orang usia lanjut. Namun fortifikasi akan mensuplai 14 – 18 µg vitamin
D/hari untuk anak usia 4 – 10 tahun, dan 10% dari kelompok ini akan
mendapat lebih dari 25 µg/hari vitamin D, dan dianggap tidak aman bagi

14
tubuh. Sehingga fortifikasi yang dianggap dapat mencukupi kebutuhan
vitamin D pada orang tua, memberikan efek yang beresiko pada anak –
anak.1
Penelitian menunjukkan rata – rata kadar vitamin D pada pria dan
wanita di Jepang, yang tidak memberlakukan fortifikasi vitamin D, dan
Norwegia,yang membatasi makanan dengan vitamin D fortifikasi, lebih
tinggi daripada pria dan wanita yang tinggal di Inggris yang melaksanakan
fortifikasi vitamin D pada makanan. Kontribusi konsumsi ikan pada kedua
negara ini diduga menyebabkan tercukupinya angka kebutuhan vitamin D.2
Persentasi distribusi berbagai makanan terhadap kadar harian kecukupan
vitamin D di berbagai negara dilukiskan dalam gambar 2.

Gambar 2. Persentase berbagai makanan yang dikonsumsi di beberapa


negara dalam mencukupi kebutuhan harian vitamin D 2

15
2.2 Asma

Definisi asma yang lengkap yang menggambarkan konsep inflamasi


sebagai dasar mekanisme terjadinya asma dikeluarkan oleh GINA. Asma
didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran respiratorik
dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil dan
Limfosit-T. Gejala yang timbul biasanya berhubungan dengan penyempitan
saluran respiratorik yang luas namun bervariasi, yang paling tidak bersifat
reversible baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini
juga berhubungan dengan hiperreaktivitas saluran respiratorik terhadap
berbagai rangsangan.10

Pedoman Nasional Asma Anak menggunakan definisi yang praktis


dalam bentuk definisi operasional yaitu wheezing dan atau batuk dengan
karakteristik sebagai berikut timbul secara episodik dan atau kronik,
cenderung pada malam hari atau nocturnal, musiman dan adanya faktor
pencetus, bersifat reversible baik spontan atau pun dengan pengobatan
serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien, sedangkan sebab
sebab lain telah disingkirkan.12

2.2.1 Epidemiologi asma

Beberapa faktor mempengaruhi tinggi rendahnya prevalensi asma di


suatu tempat, anatara lain umur, gender, ras, sosio-ekonomi dan faktor
lingkungan. Faktor faktor tersebut mempengaruhi prevalensi asma,
terjadinya serangan asma, berat ringannya serangan, derajat asma dan
kematian karena asma. Survei mengenai prevalensi asma di Eropa telah
dilakukan di 7 negara (Asthma Insights dan reality in Europe= AIRE)
meliputi 73.880 rumah tangga, yang berjumlah 213.158 orang. Hasil survey
mendapatkan prevalensi populasi current asthma sebesar 2,7%. Di dunia
diperkirakan prevalensi asma pada anak sebesar 10 %.10,11 Penelitian
mengenai prevalensi asma di Indonesia telah dilakukan di beberapa pusat
pendidikan, namun belum semuanya menggunakan kuesioner standar.

16
Tabel 3. Prevalensi Asma di Indonesia.12

Peneliti (Kota) Tahun Jumlah Umur Prevalensi


sampel (Tahun) (%)
Djajanto B (Jakarta) 1991 1200 6-12 16,4
Rosmayudi O (Bandung) 1993 4865 6-12 6,6
Dahlan (Jakarta) 1996 - 6-12 17,4
Arifin (Palembang) 1996 1296 13-15 5,7
Rosalina (Bandung) 1997 3118 13-15 2,6
Yunus F (Jakarta) 2001 2234 13-14 11,5
Kartasasmita (Bandung) 2002 2678 6-7 3,0
2836 13-14 5,2
Rahajoe NN (Jakarta) 2002 1296 13-14 6,7
Sundaru (Jakarta) 2005 3840 13-14 12,5
(Subang) 3019 13-14 24,4
Tanjung dkk (Palembang) 2008 1026 6-7 8,0
Afdal dkk (Padang) 2009 879 6-7 8,0
Rosamarlina dkk (Jakarta) 2010 2023 13-14 13,4
Barnita dkk (Jakarta) 2011 562 13-14 9,4
Fitriani dkk (Jakarta) 2011 2003 13-14 6,4
Kartasasmita (Bandung) 2012 332 7-14 9,6

2.2.2 Patogenesis asma

Konsep terkini yaitu merupakan suatu proses inflamasi kronik yang


khas, melibatkan dinding saluran repiratorik menyebabkan terbatasnya
aliran udara dan peningkatan reaktivitas saluran nafas. Gambaran khas
adalah adanya inflamasi saluran respiratorik adalah aktivasi eosinofil, sel
mast, makrofag, dan sel limfosit T pada mukosa dan lumen saluran
respiratorik. Proses inflamasi ini terjadi meskipun asmanya ringan atau
tanpa gejala. Pada banyak kasus terutama pada anak, asma dihubungkan

17
dengan manifestasi atopi melalui mekanisme IgE-dependent. Pada
populasi diperkirakan faktor atopi memberikan kontribusi pada 40%
penderita asma anak dan dewasa.10,12,34

Reaksi imunologik yang timbul akibat paparan dengan alergen pada


awalnya menimbulkan fase sensitisasi. Akibatnya terbentuk Ig E spesifik
oleh sel plasma. Ig E melekat pada Fc reseptor pada membran sel mast
dan basofil. Bila ada rangsangan berikutnya dari alergen serupa, akan
timbul reaksi asma cepat ( immediate asthma reaction). Terjadi degranulasi
sel mast, dilepaskan mediator-mediator : histamin, leukotrien C4(LTC4),
prostaglandin D2(PGD2), tromboksan A2, tryptase. Mediator-mediator
tersebut menimbulkan spasme otot bronkus, hipersekresi kelenjar,
oedema, peningkatan permeabilitas kapiler, disusul dengan akumulasi sel
eosinofil. Gambaran klinis yang timbul adalah serangan asma akut.
Keadaan ini akan segera pulih kembali (serangan asma hilang) dengan
pengobatan.10,34,35
Setelah 6- 8 jam maka terjadi proses selanjutnya , disebut reaksi
asma lambat (late asthma reaction). Akibat pengaruh sitokin IL3, IL4, GM-
CSF yang diproduksi oleh sel mast dan sel limfosit T yang teraktivasi, akan
mengaktifkan sel-sel radang : eosinofil, basofil, monosit dan limfosit.
+
Sedikitnya ada dua jenis T-helper (Th), limfosit subtipe CD4 telah dikenal
profilnya dalam produksi sitokin. Meskipun kedua jenis limfosit T
mensekresi IL – 3 dan granulocyte – macrophage colony – stimulating factor
(GM – CSF), Thl terutama memproduksi IL – 2, IF gamma dan TNF beta
sedangkan Th2 terutama memproduksi sitokin yang terlibat dalam asma,
yaitu IL – 4, IL – 5, IL – 9, IL – 13, dan IL – 16. Sitokin yang dihasilkan oleh
Th2 bertanggungjawab atas terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lambat .
Masing –masing sel radang berkemampuan mengeluarkan mediator
inflamasi. Eosinofil memproduksi LTC4, Eosinophil Peroxidase (EPX),
Eosinophil Cathion Protein (ECP) dan Major Basic Protein (MBP). Mediator-
mediator tersebut merupakan mediator inflamasi yang menimbulkan

18
kerusakan jaringan. Sel basofil mensekresi histamin, LTC4, PGD2.
Mediator tersebut dapat menimbulkan bronkospasme. Sel makrofag
mensekresi IL8, platelet activating factor (PAF), regulated upon activation
novel T cell expression and presumably secreted (RANTES) .Semua
mediator diatas merupakan mediator inflamasi yang meningkatkan proses
peradangan, mempertahankan proses inflamasi. Mediator inlamasi tersebut
akan membuat kepekaan bronkus berlebihan, sehingga bronkus mudah
konstriksi, kerusakan epitel, penebalan membrana basalis dan terjadi
peningkatan permeabilitas bila ada rangsangan spesifik maupun non
spesifik. Secara klinis, gejala asma menjadi menetap, penderita akan lebih
peka terhadap rangsangan. Kerusakan jaringan akan menjadi irreversibel
bila paparan berlangsung terus dan penatalaksanaan kurang adekuat.
Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivitasi limfosit T oleh
antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesori, yaitu suatu proses yang
melibatkan MCH/ Major Histocompatibility complex (MCH kelas II pada sel
T CD4 dan MCH kelas I pada T CD8). Sel dendritik merupakan antigen
presenting cells yang utama dalam saluran pernafasan. Sel dendritik
terbentuk dari prekusornya di dalam sumsum tulang, kemudian sel-sel
tersebut bermigrasi ke kumpulan sel limfoid dibawah pengaruh GM-CSF
yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktifitas sel epithel, fibroblast, sel T,
makrofag dan sel mast. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik berpindah
menuju daerah yang banyak mengandung limfosit. Disana dengan
pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel dendritik menjadi matang sebagai
antigen presenting cell (APC) yang efektif. Sel dendritik juga mendorong
polarisasi T naive –T0 menuju Th2 yang mengkordinasi sekresi sitokin.
10,34,35

19
Gambar 3. Patogenesis Asma.10

2.2.3 Remodeling Saluran Respiratorik

Konsep Epithelial Mesenchymal trophic unit (EMTU) diperkenalkan


oleh Holgate, yaitu epitel saluran respiratorik dan jaringan mesenkim di
bawahnya yang bertindak sebagai trophic units yang saling berkomunikasi,
selama embryogenesis EMTU berperan dalam remodeling fisiologis
saluran respiratorik untuk meregulasi pertumbuhan dengan mengatur
kesimbangan epithelial growth factor, fibroblast growth factor, dan
transforming growth factors. Pada pasien asma EMTU teraktivasi
menyebabkan remodeling patologis. Komunikasi anatar sel dalam ETMU
dan interaksi dengan Th2 sitokin proinflamasi dalam patogenesis asma
terjadi dalam tiga tahap, dengan hasil akhirnya adalah inflamasi. Tahap
pertama (inisiasi) dimulai dengan adanya kepekaan epitel bronkus, epitel
yang cedera mengalami penurunan PGE2, hal ini mengakibatkan aktifitas
fibroblast dan miofibroblas di bawah lapisan epitel. Aktivasi tersebut diatur
oleh faktor-faktor pertumbuhan yang dilepas oleh epitel( tahap propagasi).

20
Pada tahap amplifikasi, aktivitas miofibroblas akan melepaskan growth
factors yang menyebabkan proliferasi miofibroblas dan Airway Smooth
Muscle (ASM) serta deposisi ECM dengan hasil akhir terjadi airway
remodeling. Aktifasi ini juga menyababkan terjadinya pelepasan sitokin
yang menyebakna inflamasi saluran respirasi. Pada setiap tahap
remodeling terjadi juga inflamasi yang diatur oleh TH2, sitokin yang
dihasilkan (terutama IL4 dan IL13) akan berinteraksi dengan ETMU dan
memperberat proses remodeling. 10,12,34,35

Remodeling merupakan serangkaian proses yang menyebabkan


deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran repiratorik
melalui proses dediferensiasi, migrasi, differensiasi dan maturasi struktur
sel. Kombinasi kerusakan sel epithel, perbaikan epithel yang berlanjut,
produksi berlebih faktor pertumbuhan profibrotik/ Transforming Growth
Factors (TGF-b) dan proliferasi serta diferensiasi fibroblast menjadi
miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi faktor faktor pertumbuhan,
kemokin dan sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos
saluran repiratorik dan meningkatkan permeabilitas mikrovaskular,
menambah vaskularisai, neovaskularisasi dan jaringan saraf.34

Peningkatan deposisi matriks molekul termasuk proteoglikan


kompleks pada dinding saluran respiratorik dapat diamati pada pasien yang
meninggal karena asma dan hal ini secara langsung berhubungan dengan
lamanya penyakit. Hipertrofi dan hiperplasi otot polos saluran pernafasan,
sel goblet kelenjar submukosa timbul pada bronkus pasien asma terutama
pada yang kronik dan berat. Secara keseluruhan saluran respiratorik pada
asma memperlihatkan perubahan struktur saluran respiratorik yang
bervariasi yang dapat menyebabkan penebalan dinding saluran respiratorik
yang bersifat reversible. Pada sebagian besar pasien reversibilitas yang
menyeluruh dapat diamati pada pengukuran dengan spirometri setelah
diterapi dengan inhalasi kortikosteriod. Beberapa penderita asma
mengalami obstruksi saluran respiratorik residual yang dapat terjadi pada

21
pasien yang tidak menunjukkan gejala, hal ini mencermnkan adanya
remodelling saluran pernafasan. Remodelling juga merupakan hal yang
penting pada pathogenesis hiperreaktivitas saluran repiratorik yang non
spesifik, terutama pada pasien yang sembuh dalam waktu yang lama atau
tidak sembuh sempuran setelah terapi steroid hirupan. 10,12,34,35

Gambar 4. Inflamasi dan remodelling pada asma.10

Konsekuensi klinis remodeling terhadap saluran respiratori 35 :

1. Efek terhadap inflamasi saluran respiratori

Remodeling saluran respiratori dianggap sebagai proses tersendiri


yang terpisah dari proses inflamasi. Proses tersebut juga dapat
berperan dalam perkembagan dan persistensi inflamasi saluran
respiratorik komponen extracellular matrix (ECM) seperti fibronektin
dapat berinteraksi dengan sel inflamasi , mempengaruhi aktifitas sel
pelepasan mediator dan kemokin. Pergerakan sel dendritik, yang

22
merupakan APC (antigen presenting cells) utama saluran
respiratorik dapat terganggu oleh perubahan dalam EMC sehingga
respon imun bertambah.

2. Efek terhadap obstruksi saluran respiratori

Obstruksi saluran respiratorik dulu dianggap bersifat reversible, tapi


penelitian membuktikan bahwa banyak pasien asma yang
simtomatik maupun yang asimptomatik memilik obstruksi saluran
respiratori yang irreversible. Irreversibilitas dan penurunan fungsi
paru tersebut diduga disebabkan perubahan structural saluran
respiratori akibat remodeling, Airway modeling sangat erat kaitannya
dengan derajat asma dan penurunan FEV1 (forced expiratory
volume in 1 second).

3. Efek terhadap hiperreaktivitas bronkus

Hiperreaktivitas bronkus merupakan abnormalitas fungsional utama


pada asma. Penebalan dinding saluran respiratorik, otot polos, dan
ECM telah dibuktikan berkaitan dengan bronchial
hyperresponsiveness (BHR). Deposisi kolagen subepithel akan
meningkatkan kekakuan lapisan dalam dinding saluran respiratori,
sehingga mengakibatkan jumlah lipatan mukosa berkurang saat
airway smooth muscle (ASM) berkontraksi. Hal ini menyebabkan
penyempitan lumen.

2.2.4 Patofisiologi asma

Inflamasi saluran respiratorik yang ditemukan pada pasien asma


diyakini merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi: obstruksi
saluran respiratorik menyebabkan keterbatasan aliran udara yang dapat
kembali secara spontan atau setelah pengobatan. Perubahan fungsional
yang dihubungkan dengan dengan gejala khas pada asma yaitu batuk,

23
sesak, wheezing dan disertai hipereaktifitas saluran respiratorik terhadap
berbagai rangsangan. Batuk sangat mungkin disebabkan oleh stimulasi
saraf sensoris pada saluran respiratorik oleh mediator inflamasi dan
terutama pada anak, batuk berulang bisa jadi merupakan satu-satunya
gejala asma yang ditemukan. Penyempitan saluran respiratorik pada asma
dipengaruhi oleh banyak faktor. Penyebab utama penyempitan saluran
espiratorik adalah kontraksi otot polos bronkus yang diprovokasi oleh
pelepasan agonis dari sel sel inflamasi. Yang termasuk agonis adalah
histamine, triptase, prostaglandin D2 dan leukotrien C4 dari sel mast,
neuropeptide dari saraf aferen setempat dan asetilkolin dari saraf eferen
postganglionic. Kontraksi otot polos saluran respiratorik diperkuat oleh
penebalan dinding saluran nafas akibat oedem akut, infiltrasi sel-sel
inflamasi dan remodeling, hiperplasia dan hipertrofi kronis otot polos,
vaskuler dan sel-sel sekretori serta deposisi matriks pada dinding saluran
respiratorik. Selain itu hambatan saluran respiratorik juga bertambah akibat
produksi sekret yang banyak, kental, dan lengket oleh sel goblet dan
kelenjar submukosa, protein plasma yang keluar melalui mikrovaskular
bronkus dan debris selular.35

2.2.5 Diagnosis asma.

Wheezing dan batuk yang kronik dan berulang merupakan titik awal untuk
menegakkan diagnosis. Sehubung dengan kesulitan mendiagnosis asma
pada anak kecil, khususnya anak dibawah 3 tahun, respon yang baik
terhadap obat bronkodilator dan steroid sistemik dan dengan penyingkiran
penyakit lain diagnosis asma menjadi lebih definitif. Untuk anak yang sudah
besar lebih dari 6 tahun pemeriksaan faal paru sebaiknya dilakukan. Uji
fungsi paru yang sederhana dengan peak flow meter, atau lebih lengkap
dengan spirometer . Uji provokasi bronkus dengan histamin, metakolin,
latihan, udara kering atau dengan Nacl hipertonis sangat menunjang
diagnosis.35

24
Pemeriksaan ini berguna untuk mendukung diagnosis asma anak
melalui 3 cara yaitu didapatkannya :
1. Variabilitas pada PFR (peak flow rate) atau FEV1 (forced expiratory
volume in 1 second) >15 %
Adalah perbedaan nilai (peningkatan/penurunan) hasil PFR (peak
flow rate) dalam satu hari penilaian yang baik dapat dilakukan
dengan variabilitas mingguan yang pemeriksaannya berlangsung >
2 minggu
2. Reversibilitas pada PFR (peak flow rate) atau FEV1 (forced
expiratory volume in 1 second ) >15%
Perbedaan nilai PFR (peak flow rate) atau FEV1 (forced expiratory
volume) setelah pemberian inhalasi bronkodilator
3. Penurunan >20% pada FEV1 (forced expiratory volume in 1 second)
setelah provokasi bronkus dengan metakolin atau histamine
Penggunaan peak flow meter merupakan hal yang penting dan perlu
diupayakan, karena selain untuk mendukung diagnosis juga untuk
mengetahui keberhasilan tatalaksana asma. Berhubung alat tersebut tidak
selalu ada, maka Lembar Catatan Harian dapat digunakan sebagai
alternatif karena mempunyai korelasi yang baik dengan faal paru. Lembar
Catatan Harian dapat digunakan dengan atau tanpa pemeriksaan PFR
(peak flow rate).

Pada anak dengan gejala dan tanda asma yang jelas, serta respons
terhadap pemberian obat bronkodilator baik sekali, maka tidak perlu
pemeriksaan diagnostik lebih lanjut. Bila respons terhadap obat asma tidak
baik, sebelum memikirkan diagnosis lain, maka perlu dinilai dahulu
beberapa hal. Hal yang perlu dievaluasi adalah apakah penghindaran
terhadap pencetus sudah dilakukan, apakah dosis obat sudah adekuat,
cara dan waktu pemberiannya sudah benar, serta ketaatan pasien baik. Bila
semua aspek tersebut sudah dilakukan dengan baik dan benar. Maka perlu
dipikirkan kemungkinan diagnosis bukan asma.10,12,35

25
Tabel 4. Kriteria diagnosis asma12

Gejala Karakteristik
Wheezing, batuk, sesak napas,  Biasanya lebih dari satu gejala
dada tertekan, produksi sputum respiratori
 Gejala berfluktuasi intensitasnya
seiring waktu
 Gejala memberat pada malam
atau dini hari
 Gejala timbul bila ada pencetus
Konfirmasi adanya limitasi aliran udara ekspirasi
Gambaran obstruksi saluran FEV1 rendah (<80% nilai prediksi)
respiratori FEV1/FVC < 90%
Uji reversibilitas Peningkatan FEV1>12%
(pascabronkodilator)
Variabilitas Perbedaan PEFR harian > 13%
Uji provokasi Penurunan FEV1>20% atau
PEFR > 15%

2.2.6 Klasifikasi berdasarkan PNAA.12

Asma merupakan penyakit yang sangat heterogen dengan variasi yang


sangat luas. Atas dasar itu, ada berbagai cara mengelompokkan asma.

Berdasarkan umur
 Asma bayi baduta ( bawah dua tahun )
 Asma balita ( bawah lima tahun )
 Asma usia sekolah ( 5-11 tahun )
 Asma remaja ( 12-17 tahun )

Berdasarkan fenotip
Fenotip asma adalah pengelompokan asma berdasarkan penampakan
yang serupa dalam aspek klinis, patofisiologis, atau demografis.
 Asma tercetus infeksi
 Asma tercetus aktivitas (exercise induce asthma)
 Asma tercetus allergen

26
 Asma terkait obesitas
 Asma dengan banyak pencetus (multiple triggered asthma)

Berdasarkan kekerapan timbulnya gejala


 Asma intermiten
 Asma persisten ringan
 Asma persisten sedang
 Asma persisten berat

Berdasarkan derajat beratnya serangan


Asma merupakan penyakit kronik yang dapat mengalami episode
gejala akut yang memberat dengan progresif yang disebut sebagai
serangan asma
 Asma serangan ringan – sedang
 Asma serangan berat
 Serangan asma dengan ancaman henti napas

Berdasarkan derajat kendali


Tujuan utama tatalaksana asma adalah terkendalinya penyakit
asma. Asma terkendali adalah asma yang tidak bergejala, dengan atau
tanpa obat pengendali dan kualitas hidup pasien baik.
 Asma terkendali penuh (well controlled)
 Asma terkendali sebagian (partly contolled)
 Asma tidak terkendali (uncontrolled)

Tabel 5. Kriteria penentuan derajat asma12


Derajat asma Uraian kekerapan gejala asma
Intermiten Episode gejala asma <6x/tahun atau jarak antar gejala ≥6
minggu
Persisten Episode gejala asma >1x/bulan, <1x/minggu
ringan

27
Persisten Episode gejala asma >1x/minggu, namun tidak setiap hari
sedang
Persisten Episode gejala asma terjadi hamper tiap hari
berat

Tabel 6. Kesetaraan klasifikasi PNAA 2004 dengan PNAA 2015 12


PNAA 2004 PNAA 2015
Episodik jarang Intermiten
Episodik sering Persisten ringan
Persisten Persisten sedang
Persisten berat

Tahapan penegakan diagnose asma


1. Diagnosis kerja asma
Dibuat sesuai alur diagnosis asma anak, kemudian diberi
tatalaksana umum yaitu penghindaran pencetus, pereda, dan
tatalaksana penyakit penyulit.
2. Diagnosis klasifikasi kekerapan
Dibuat dalam waktu 6 minggu, dapat kurang dari 6 minggu bila
informasi klinis sudah adekuat
3. Diagnosis derajat kendali
Dibuat setelah 6 minggu menjalani tatalaksana jangka panjang awal
sesuai kasifikasi kekerapan.

2.2.7 Klasifikasi asma menurut GINA (Global initiative for Asthma).10


GINA membagi derajat asma menjadi 4 yaitu Asma intermitten, Asma
Persisten Ringan, Asma Persisten sedang, Asma persisten berat. Dasar
pembagian adalah gambaran klinis, faal paru dan obat yang dibutuhkan
untuk mengendalikan penyakit.5

28
1. Intermitten
Gejala kurang dari 1 kali/minggu, serangan singkat, gejala nocturnal tidak
lebih dari 2 kali per bulan ( < 2 kali) FEV1 > 80% predicted atau PEF > 80%
nilai terbaik individu, variabilitas PEF atau FEV1 < 20%.
2. Persisten ringan
Gejala lebih dari 1 kali/minggu tapi kurang dari1 kali/hari, serangan dapat
menganggu aktifitas dan tidur. Gejala nocturnal > 2 kali/bulan. FEV1 > 80 %
nilai terbaik individu, variabilitas PEF atau FEV1 20-30%
3. Persisten sedang
Gejala terjadi setiap hari, serangan dapat menganggu aktifitas dan tidur,
gejal nocturnal > 1 kali dalam seminggu, menggunakan beta-agonis kerja
pendek setiap hari. FEV1 60-80% predicted atau nilai PEF 60-80% nilai
terbaik individu, variabilitas PEF atau FEV1 >30 %
4. Persisten berat
Gejala terjadi setiap hari, serangan sering terjadi, gejala asma nocturnal
sering terjadi . FEV-1 < 60% predicted atau PEF < 60% nilai terbaik individu,
Variabilitas PEF atau FEV1 > 30%

GINA (Global initiative for Asthma) tahun 2011 membagi Asma berdasarkan
tingkat terkontrol.

Tabel 7. Pembagian Asma berdasarkan tingkat terkontrol10


A. Evaluasi gejala klinis (dalam jangka 4 minggu)
Karakteristik Terkontrol Terkontrol Tidak Terkontrol
(Controlled) Sebagian (Uncontrolled)
(Partly
Controlled)
Gejala di Pagi Tidak ada >2 kali/minggu 3 atau lebih gejala dari
hari Partly controlled +

29
Limitasi Tidak ada Ada
aktifitas
Gejala malam Tidak ada Ada
Keperluan Tidak ada Lebih dari
untuk 2x/minggu
menggunakan
pelega
Fungsi Paru ɤ Normal < 80% predicted
atau nilai terbaik
individu
B. Evaluasi untuk resiko kedepan( resiko exaserbasi, instabilitas, penurunan
fungsi paru, efek samping)
Gejala yang berhubungan dengan resiko serangan dikemudian hari
Gejala klinis yang tidak terkontrol, serangan akut pada tahun sebelumnya,
pernah dirawat di ICU, FEV1 yang rendah, paparan terhadap rokok, terapi
dosis tinggi
Catatan: +: Serangan akut menunjukkan bahwa itu asma uncontrolled
ɤ: tanpa penggunaan bronkodilator uji fungsi paru tidak dapat
dipercaya untuk anak dibawah 5 tahun

30
2.3 Hubungan Vitamin D Dan Asma

Mekanisme potensial tentang bagaimana vitamin D dapat


mempengaruhi resiko perkembangkan asma dan alergi telah ditinjau baru-
baru ini.36

Gambar 5. Mekanisme vitamin D pada asma dan perkembangan


terjadinya alergi.36

2.3.1 Vitamin D dan sistim kekebalan tubuh


Vitamin D mempunyai peran yang kompleks dan signifikan dalam
kekebalan innate dan adaptif. Efek imuno modulator vitamin D diperantarai
oleh VDR dan hidroksilasi 25(OH)-D pada sel yang relevan seperti
makrofrag dan sel dendritik. Pada studi eksperimental, vitamin D
menghambat proliferasi sel CD41 dan menurunkan produksi sitokin Th1, IL-
17. Vitamin D mempengaruhi pathogenesis terjadinya asma melalui

31
modulasi dari sel T regulator. Vitamin D bersama dengan glukokortikoid
menginduksi diferensiasi sel T awal menjadi sel T yang mensekresi IL-10.37

2.3.2 Vitamin D Dan Resiko Terjadinya Asma


Secara singkat, vitamin D memiliki baik pada periode gestasi dan
efek postnatal pada pengembangan paru-paru dan pengembangan dan
fungsi sistem kekebalan tubuh. Dalam periode intrauterin, vitamin D
tampaknya memainkan peran dalam pengembangan paru-paru janin, dan
temuan terbaru mendukung ini. Zosky dkk38 mempelajari efek dari
kekurangan vitamin D pada tikus percobaan di mana keturunan tikus yang
kekurangan vitamin D mengalami penurunan volume paru-paru
dibandingkan dengan keturunan tikus yang tidak, meskipun tidak ada
perbedaan dalam struktur paru secara histologis. Studi ini menambahkan
literatur yang menyatakan bahwa kekurangan vitamin D dalam rahim
mempengaruhi perkembangan paru-paru.
Vitamin D juga tampaknya mempengaruhi perkembangan sistem
kekebalan tubuh dalam rahim yang efeknya dimulai pada awal kehidupan.
Sebuah studi oleh Chi dkk39 meneliti efek dari kadar vitamin D dalam darah
tali pusat pada parameter fungsi kekebalan tubuh dengan menggunakan
data dari studi Lingkungan Perkotaan dan Anak Asma, menunjukkan bahwa
kadar vitamin D darah tali pusat berbanding terbalik dengan proporsi kadar
CD25+, CD25Bright, dan CD25+ FoxP3 T-regulatory cells.
Pada periode postnatal, vitamin D dapat mempengaruhi terjadinya
asma dan alergi melalui beberapa mekanisme.8,39 Status vitamin D yang
adekuat dapat meningkatkan penanganan infeksi pernapasan pada awal
kehidupan hingga-mengatur produksi protein antimikroba, seperti
cathelicidin dan defensin beta, meredam peradangan yang terkait dengan
infeksi virus pernapasan yang menyebabkan penurunan gejala sisa dari
infeksi virus ini. Selain itu, status vitamin D yang memadai pada periode
postnatal mungkin terus mempengaruhi perkembangan paru-paru dan
fungsi sistem kekebalan tubuh.15,40

32
Mengingat efek intrauterin vitamin D, resiko asma pada anak-anak
dapat dipengaruhi oleh status vitamin D ibu selama kehamilan. Sebuah
studi kohort dari 763 pasangan ibu-bayi Jepang menemukan bahwa resiko
mengi {rasio odds yang disesuaikan [OR] [interval kepercayaan 95% (CI)]
= 0,64 (0,43-0,97)} dan eksema [OR (95 % CI) = 0,63 (0,41-0,98)] secara
signifikan menurun pada anak-anak 16-24 bulan usia yang ibunya memiliki
asupan tinggi vitamin D selama kehamilan.41 Hasil penelitian ini konsisten
dengan studi sebelumnya yang menilai intake ibu vitamin D selama
kehamilan melalui kuesioner frekuensi makanan.16,36
Studi yang dilakukan selanjutnya telah mencoba untuk mengatasi
keterbatasan dari studi epidemiologi sebelumnya dengan mengukur
langsung status vitamin D. Studi ini mengukur 25-hydroxyvitamin D3
(25(OH)-D), metabolit yang beredar yang mendefinisikan status vitamin D.
Penelitian pertama membahas pengaruh tingkat 25(OH)-D ibu dalam
kehamilan dan resiko untuk infeksi saluran pernapasan bawah, mengi, dan
asma pada anak. Morales dkk42 meneliti 1724 anak dari kelompok berbasis
populasi dari empat daerah di Spanyol. Mereka menunjukkan bahwa tingkat
25(OH)-D ibu (median 73,75 nmol / l atau 29,5 ng / ml) yang berbanding
terbalik dikaitkan dengan infeksi pernapasan pada anak-anak di usia 1
tahun, tapi tidak dengan mengi pada 1 atau 4 tahun, atau asma antara 4
dan 6 tahun.
Camargo dkk16 mengukur kadar 25(OH)-D pada 922 bayi baru lahir
yang berpartisipasi dalam penelitian berbasis populasi pada New Zealand
Asthma and Alergy Cohort Study. Hasil penelitian menunjukkan kadar
25(OH)-D pada darah tali pusat (median 44 nmol / l atau 17,6 ng / ml)
berhubungan terbalik dengan kejadian mengi pada usia 5 tahun, tapi tidak
ada hubungan dengan kejadian asma pada usia 5 tahun. Temuan ini
konsisten dengan studi oleh Morales dkk42, dan analisa lebih lanjut
terhadap data penelitian ini menunjukkan kecenderungan menurunnya
resiko asma dengan kadar vitamin D yang lebih tinggi.

33
Penelitian lain telah meneliti hubungan antara vitamin D dan asma
dan alergi pada periode postpartum. Beberapa studi kasus-kontrol telah
dilakukan di beberapa negara,17,19,43,44 semua menunjukkan bahwa
prevalensi kekurangan vitamin D lebih besar pada penderita asma
dibandingkan kontrol. Dua penelitian telah menggunakan data dari National
Health dan Nutrition Examination Survey (NHANES). Dalam salah satu
analisis dari 3136 anak-anak dan remaja, sensitisasi alergi terhadap 11 dari
17 alergen adalah lebih umum pada mereka yang kekurangan vitamin D
(<37,5 nmol / l atau 15 ng / ml) setelah penyesuaian multivariabel.
Sensitisasi termasuk alergen makanan (kacang dan udang), alergen dalam
ruangan (anjing, kecoa, Alternaria sp.), dan serbuk sari.45
Dua penelitian kohort pada anak-anak telah melakukan analisis
longitudinal terhadap pengaruh vitamin D terhadap asma pada anak-anak.
Dalam penelitian kohort Prevention and Incidence of Asthma and Mite
Allergy (PIAMA)46 melibatkan lebih dari 300 anak-anak, didapatkan
konsentrasi serum vitamin D pada usia 4 tahun yang terbalik terkait dengan
kejadian asma pada usia 4-8 tahun. Hollams dkk47 dalam penelitian pada
lebih dari 600 anak-anak Australia, menunjukkan bahwa kadar vitamin D
yang lebih tinggi pada usia 6 tahun mempunyai efek protektif terhadap
terjadinya asma, rhinokonjunctivitis, dan atopi pada usia 14 tahun. Efek ini
tampaknya lebih kuat untuk anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.
Studi-studi ini menunjukkan bahwa kadar vitamin D setelah melahirkan dan
asupan dapat mempengaruhi resiko perkembangan terjadinya asma dan
alergi, dengan penelitian yang lebih besar menunjukkan bahwa status
vitamin D yang lebih tinggi pada anak-anak adalah protektif terhadap
kejadian asma dan alergi seiring dengan bertambahnya usia.

2.3.3 Vitamin D dan derajat beratnya asma


Selain peran potensial dalam pencegahan primer asma, beberapa
penelitian mencoba menilai peran vitamin D terhadap morbiditas asma.
Mekanisme potensial bagaimana vitamin D dapat menurunkan derajat

34
beratnya penyakit asma dan alergi telah ditinjau. Mekanisme ini termasuk
efek pada sel-sel kekebalan tubuh, meningkatkan penanganan atau
pencegahan infeksi, penurunan respon inflamasi, dan penurunan resistensi
steroid.36
Sel epitel saluran napas membutuhkan vitamin D dalam bentuk aktif
untuk
peningkatan diferensiasi dan rekrutmen makrofag, peningkatan produksi
cathelicidin dan CD14, dan potensiasi pertahanan tuan rumah
terhadap Mycobacterium tuberculosis dan bakteri lainnya, jamur,
dan virus.15,40
Sebuah penelitian yang bersifat potong lintang di Amerika Serikat
terhadap sekitar 19.000 subyek berusia 12 tahun atau lebih menunjukkan
bahwa berkurangnya kadar serum vitamin D dikaitkan dengan peningkatan
resiko infeksi saluran pernapasan atas yang dilaporkan sendiri, khususnya
pada subyek dengan penyakit paru obstruktif kronik atau asma.48
Sebuah uji coba baru-baru ini menunjukkan bahwa suplementasi
vitamin D3 (1.200 IU / hari) selama musim dingin mengurangi kejadian
influenza A (didiagnosis dengan pengujian antigen swab nasofaring) tetapi
tidak influenza B di 167 anak sekolah Jepang (resiko relatif [RR], 0.58;
interval kepercayaan 95% [IK], 0,34-0,99).49 Hal ini juga didukung
berdasarkan hasil sebuah studi observasional dari 284 bayi Finlandia yang
dirawat di rumah sakit dengan penyakit mengi, menyatakan tingkat vitamin
D berbanding terbalik dengan koinfeksi infeksi oleh Respiratory Syncytial
Virus atau Rhinovirus (OR, 0,92; 95% CI, 0,84-0,99).50
Vitamin D juga telah terbukti memiliki efek pada massa otot polos
saluran napas.36 Gupta dkk20 meneliti 86 anak dengan usia rata-rata 11,6
tahun, di antaranya 36 asma derajat berat resisten terhadap pengobatan,
26 asma derajat sedang, dan 24 kontrol bukan asma. Pada 19 anak pada
kelompok asma derajat berat resisten terhadap pengobatan, yang memiliki
spesimen biopsi endobronkial yang memadai, kadar vitamin D yang
ditemukan berbanding terbalik dengan massa otot polos saluran napas.

35
Temuan ini konsisten dengan temuan sebelumnya bahwa vitamin D dapat
mencegah proliferasi otot polos saluran napas, dan memiliki implikasi pada
remodeling saluran napas.
Beberapa studi telah meneliti hubungan antara kekurangan vitamin
D, eksaserbasi asma dan sebagai penanda derajat beratnya penyakit.
Penelitian di Kosta Rika pada 616 anak dengan asma menunjukkan bahwa
kadar vitamin D serum berbanding terbalik dengan IgE total, jumlah
eosinofil, rawat inap untuk asma, penggunaan obat anti-inflamasi, dan
hiperaktifitas saluran nafas.17 Brehm dkk51 dalam analisis data yang
dikumpulkan di 1.024 peserta dari Childhood Asthma Management
Program (CAMP), uji klinis acak terhadap inhalasi budesonide
dibandingkan dengan nedocromil dan plasebo, merupakan penelitian
pertama yang menunjukkan bahwa kekurangan vitamin D (<30 ng / ml)
dikaitkan dengan resiko peningkatan untuk eksaserbasi asma berat yang
mengarah ke meningkatnya kunjungan ke unit gawat darurat (ED) atau
rawat inap. Besarnya hubungan yang diamati lebih besar pada anak-anak
yang tidak menerima kortikosteroid inhalasi dan yang memiliki kekurangan
vitamin D dibandingkan pada anak-anak yang menerima kortikosteroid
inhalasi tetapi memiliki kekurangan vitamin D atau orang-orang yang tidak
menerima ICS tetapi memiliki tingkat kecukupan vitamin D. Temuan ini
menunjukkan bahwa vitamin D meningkatkan respon steroid. Penelitian lain
juga menemukan kadar vitamin D rendah dikaitkan dengan kontrol asma
yang buruk, fungsi paru-paru lebih rendah dan peningkatan
bronkokonstriksi yang diinduksi oleh aktifitas fisik pada anak-anak
penderita asma.17-19,52,53
Uji klinis yang membahas dampak dari suplementasi vitamin D pada
penyakit alergi melibatkan 48 anak yang baru didiagnosis asma kemudian
dikelompokkan secara menjadi yang mendapat kortikosteroid inhalasi
budesonide + 500 IU per hari cholecalciferol atau budesonide + plasebo
selama 6 bulan menemukan penurunan yang signifikan dalam jumlah anak
yang mengalami eksaserbasi asma pada kelompok dengan suplementasi

36
vitamin D, meskipun tidak ada perbedaan secara keseluruhan terhadap
skor asma yang dinilai melalui kuosioner dan tidak ada perbedaan yang
signifikan dalam kadar 25(OH)-D yang dicapai antara kedua kelompok
setelah 6 bulan. Percobaan yang lebih besar dengan durasi yang lebih
panjang diperlukan untuk menentukan apakah suplementasi vitamin D
dapat mempengaruhi derajat beratnya penyakit. Penelitian ini menunjukkan
peran vitamin D terhadap respon terapi steroid pada pasien dengan asma. 54
Protein pengikat Vitamin D (VDBP) adalah protein utama yang
berperan dalam transportasi metabolit vitamin D (termasuk 25(OH)-D),
meskipun protein lain, seperti albumin, juga sangat berperan. VDBP belum
pernah diteliti sebelumnya dalam hubungan dengan asma dan alergi,
meskipun diketahui bahwa VDBP memiliki peran dalam mengatur
kekebalan tubuh, yang berkaitan dengan aktivasi makrofag dan kemotaksis
neutrofil. Lee dkk55 menunjukkan bahwa konsentrasi VDBP dalam cairan
bronchoalveolar secara signifikan meningkat pada 67 pasien asma
dibandingkan dengan 22 kontrol.

37
Gambar 6. Mekanisme vitamin D dalam mengurangi resiko eksaserbasi
asma.36

Mekanisme lain yang mungkin terlibat dalam hubungan antara


vitamin D dengan asma adalah melalui faktor obesitas. Pada penderita
obesitas, kadar vitamin D serum berbanding terbalik dengan jumlah lemak
tubuh, yang disebabkan oleh peningkatan penyimpanan vitamin D dalam
jaringanadiposa.
Mengingat bahwa kelebihan berat badan atau obesitas telah
berhubungan dengan asma dan meningkatkan keparahan asma pada anak
dan dewasa sehingga wajar, meskipun sangat spekulatif menyimpulkan
bahwa suplementasi vitamin D mengurangi morbiditas asma melalui efek
menguntungkan pada pengendalian berat badan.56

Polimorfisme pada gen VDR telah dikaitkan dengan peningkatan


resistensi saluran nafas pada tikus. Vitamin D juga telah ditunjukkan untuk

38
merangsang differensiasi sel alveolar., Sintesis DNA sel pneumotosit II,
produksi surfaktan dan dapat mengatur proses pembentukan alveoli.
Dengan demikian, kekurangan vitamin D mungkin predisposisi asma atau
meningkatkan morbiditas asma dengan mengubah pengembangan paru-
paru pada awal kehidupan.57

Gambar 7. Pengaruh vitamin D terhadap morbiditas asma.57

Posupap dkk 58 dalam analisis data meta analisis mendukung penggunaan


vitamin D pada anak diatas usia 2 tahun dengan asma dan defisiensi
vitamin D ( 25 OHD< 50 mmol/L ). Penggunaan vitamin D dosis tinggi ( 500-
2000 IU/ hari ) mempunyai peran dalam kontrol dari asma, yaitu dalam hal
pencegahan eksaserbasi asma.

39
40
Tabel 6. Penelitian mengenai vitamin D dan asma
Peneliti Desain penelitian dan populasi Hasil penelitian Keterbatasan penelitian
Camargo dkk;2006 Penelitian kohort 2.128 anak di Tiap peningkatan asupan 100 IU Hampir 40% pasien hilang
Massachuseetts, di mana 1.194 selama kehamilan berhubungan dari follow up pada usia 3
di antaranya diteliti pada usia 3 dengan berkurangnya resiko tahun. Tidak dilakukan
tahun mengi berulang (OR 0,81; IK 95% pengukuran kadar vitamin D
0,74-0,89) pada ibu

Deveroux dkk;2007 Penelitian dari data kelahiran Asupan vitamin D berhubungan Sekitar 40% pasien hilang
2.000 pasang ibu dan anak. dengan pengurangan resiko dari follow up dan tidak
1.212 di antaranya dilakukan mengi (OR 0,33; IK 95% 0,11- dilakukan pengukuran kadar
follow up pada usia 5 tahun 0,98) vitamin D selama kehamilan

Brehm dkk;2009 Penelitian cross sectional 616 Kadar serum vitamin D Tidak dapat mengekslusikan
anak di Costa Rica dengan berhubungan negative dengan penyebab kekurangan
asma indikator morbiditas asma atau vitamin D dalam analisis
derajat beratnya asma termasuk terhadap beratnya serangan
kunjungan ke RS, penggunaan asma (obesitas, pajanan
obat inflamasi, hiperaktifitas jalan sinar matahari)
nafas (OR 0,18; IK 95% 0,05-0,67)

Sutherland dkk;2010 Penelitian cross sectional pada Kadar vitamin D berhubungan Jumlah sampel kecil, desain
54 pasien dewasa dengan dengan FEV1, respon terhadap cross sectional, tidak
asma di Denver, Colorado glukokortikoid dan hiperaktifitas dilakukan penyesuaian
jalan nafas kadar vitamin D terhadap
ras, BMI dan jenis kelamin

40
Brehm dkk;2010 Penelitian kohort 1.024 anak Kekurangan vitamin D Sulit ditentukan asupan
dengan asma persisten ringan berhubungan dengan eksaserbasi vitamin D pada subyek
sampai sedang di Amerika asma selama follow up 4 tahun penelitian, tidak disesuaikan
(OR 1,5; IK 95% 1,1-1,9) dengan ras, jenis kelamin.
Tidak dilakukan pengukuran
kadar vitamin D secara
berkala.

Searing dkk;2010 Penelitian cross sectional 100 Vitamin D berhubungan positif Faktor yang mempengaruhi
anak dengan asma di Denver, dengan fungsi paru, peningkatan derajat beratnya asma tidak
Colorado respon terhadap terapi steroid. dijelaskan pada penelitian
Berhubungan negative dengan ini.
kadar IgE, derajat atopi,
penggunaan kortikosteroid oral
ataupun inhalasi

Chi dkk;2011 Penelitian pada 568 bayi baru Kadar vitamin D pada intra uterin
lahir, 520 di antaranya dengan mempengaruhi respon imunologis
minimal 1 orang tua dengan pada awal kehidupan
atopi. Dilakukan pemeriksaan
kadar vit D pada darah umbilical
dan parameter imunologis

41
Chinellato dkk;2011 Penelitian cross sectional 75 Kadar vitamin D berhubungan Jumlah sampel kecil, desain
anak Italia dengan asma dengan kontrol as ma cross sectional
(r=0,28;p=0,01) dan lebih tinggi
pada asma yang terkontrol
dibandingkan dengan yang tidak.

Gupta dkk;2011 Penelitian terhadap 86 anak Pada anak dengan asma berat Biopsi otot saluran nafas
yang dibagi menjadi asma berat yang resisten terhadap dilakukan pada sebgain
resisten terhadap pengobatan, pengobatan, kadar vitamin D besar anak dengan asma
asma sedang dan kontrol yang rendah berkaitan dengan berat yang resisten terhadap
dengan subyek sehat. massa otot saluran nafas, derajat pengobatan tetapi tidak
Dilakukan pemeriksaan beratnya asma, frekuensi dapat membedakan kelainan
terhadap kadar vitamin D dan eksaserbasi asma, menurunnya yang terjadi akibat proses
parameter fungsi paru dan fungsi paru, peningkatan remodeling asma atau akibat
derajat inflamasi, remodeling penggunaan steroid inhalasi kekurangan vitamin D.
saluran nafas. maupun oral, peningkatan
kunjungan ke unit gawat darurat,
peningkatan rawat inap dan
peningkatan resiko alergi
terhadap aeroallergen. Meskipun
pada penelitian ini tidak
ditemukan adanya peningkatan
resiko alergi terhadap makanan.

Chinellato dkk;2011 Penelitian cross sectional 45 Kadar vitamin D lebih rendah pada Jumlah sampel kecil, desain
anak dengan asma intermiten anak yang mengalami cross sectional
ringan bronkokonstriksi akibat latihan
dibandingkan dengan tidak.

42
Alaysin dkk;2011 Penelitian cross sectional 50 Kadar vitamin D berhubungan Faktor yang mempengaruhi
anak dengan asma dan 50 anak secara signifikan dengan FEV1 penurunan kadar vitamin D
kontrol usia 6-18 tahun, (R2 =0.318; P=0.024) dan tidak dapat diekslusikan
dilakukan pengukuran kadar FEV1/FVC (R2 =0.315; P=0.026),
vitamin D, pengukuran fungsi
paru dan jumlah eosinofil

Morales dkk;2012 Penelitian dari data kelahiran Ditemukan hubungan antara kadar Diagnosis infeksi dan asma
1.724 bayi di mana pengukuran vitamin D ibu dengan penurunan sulit dipastikan karena
kadar vitamin D ibu dilakukan resiko infeksi (OR 0.67 ; IK 95%= berdasarkan laporan
pada trimester 1, dilakukan 0.50-0.90; test, P = 0.016). Tetapi keluarga dan catatan medis.
follow up pada anak usia 1 tidak berhubungan dengan Faktor lingkungan, sosio
tahun, 4-6 tahun untuk frekuensi kejadian asma maupun mengi ekonomi, kondisi medis dan
terjadinya infeksi, asma atau genetic sulit disingkirkan
mengi dalam analisis

43
BAB III
Ringkasan

 Data dari studi eksperimental maupun studi kohort pada


manusia menunjukkan adanya efek vitamin D terhadap
terjadinya asma dan morbiditas asma.
 Rekomendasi terhadap suplementasi vitamin D sebagai
terapi pencegahan atau adjuvant untuk asma tidak dapat
dibuat sampai uji klinis dalam skala besar dan jangka waktu
yang panjang dilakukan untuk memberikan dasar yang lebih
kuat untuk menilai cara pemberian optimal, dosis, dan
keamanan suplementasi vitamin D untuk mencegah dan
mengobati asma.
 Efek dari vitamin D pada morbiditas asma dengan
pencegahan infeksi virus dan peningkatan respon terhadap
terapi steroid
 Pengukuran kadar serum vitamin D serum dianjurkan pada
anak-anak dan orang dewasa dengan asma yang termasuk
kelompok beresiko tinggi kekurangan vitamin D
 Uji klinis lebih lanjut sebaiknya ditujukan untuk memperdalam
pemahaman peran suplementasi vitamin D dalam mencegah
terjadinya asma anak dan mengurangi morbiditas asma,
melindungi terhadap penyakit virus atau mencegah asma
anak jika diberikan pada masa bayi (dengan atau tanpa
suplementasi selama kehamilan), apakah vitamin D
mengurangi eksaserbasi asma berat atau meningkatkan
kontrol asma (sebagai adjuvant untuk kortikosteroid inhalasi )
pada anak-anak usia sekolah, dan peran ras dalam
suplementasi vitamin D.

44
Daftar pustaka

1. Misra M, Pacaud D, Petryk A, Collett-Solberg PF, Kappy M. Vitamin


D deficiency in children and its management: review of current
knowledge and recommendations. Pediatrics.2008;122:398-417.
2. Calvo MS, Whiting SJ, Barton CN. Vitamin D intake: a global
perspective of current status. J Nutr. 2005;135:310-6.
3. Looker. AC, Johnson CL, Lacher DA, Pfeiffer CM, Schleicher RL,
Sempos CT. Vitamin D status : 2001 - 2006. . March 2011 [serial on
the Internet]. 2011 [cited 2011 29 May 2012]; 59: Available from:
http://www.cdc.gov/nchs/data/databriefs/db59.pdf.
4. Bener A, Al-Ali M, Hoffmann GF. High prevalence of vitamin D
deficiency in young children in a highly sunny humid country: a global
health problem. Minerva Pediatr.2009;61:15-22.
5. Fraser DR. Vitamin D-deficiency in Asia. J Steroid Biochem Mol Biol.
2004;89-90:491-5.
6. Goswami R, Mishra SK, Kochupillai N. Prevalence & potential
significance of vitamin D deficiency in Asian Indians. Indian J Med
Res.2008;127:229-38.
7. Yuliastanti A. 75% Anak Indonesia Kekurangan Vitamin D. Farmacia.
2011.
8. A.A. Litonjua, S.T. Weiss, Is vitamin D deficiency to blame for the
asthma epidemic?, J Allergy Clin. Immunol. 2007; 120:1031–5.
9. E.R. Sutherland, E. Goleva, M. Strandetal, Body mass and
glucocorticoid response in asthma, Am. J. Respir. Crit. Care Med.
2008;178:682–7.
10. Bateman E, Boulet L. Global Initiative for Asthma. A pocket guide for
asthma management and prevention for children older than 5 years
update 2011.

45
11. Epidemiology and Statistics Unit, Research and Program Services
Division. American Lung Association; 2009. Trends in asthma
morbidity and mortality.
12. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto D. Pedoman Nasional Asma
Anak edisi ke-2. UKK Respirologi PP IDAI 2015.
13. Stephenson A., Brotherwood, Robert. Cholecalciferol significantly
increases 25-hydroxyvitamin D concentrations with cystic fibrosis,
Am. J. Clin. Nutr.2007;85:1307–11.
14. M. Ferrari, K. Schenk, C. Papadopoulou. Serum 25- hydroxy vitamin
D and exercise capacity in COPD. Thorax. 2011;66:544-5.
15. A.A. Ginde, J.M. Mansbach, C.A. Camargo, Vitamin D, respiratory
infections, and asthma, Curr. Allergy Asthma Rep.2009;9:81–7.
16. Camargo CA, Rifas-Shiman SL, Litonjua AA, Rich-Edwards JW,
Weiss ST, Gold DR dkk. Prospective study of maternal intake of
vitamin D during pregnancy and risk of wheezing illnesses in children
at age 2 years. J Allergy Clin Immunol.2006;117:721–2.
17. Brehm JM, Celedon JC, Soto-Quiros ME, Avila L, Hunninghake GM,
Forno E dkk. Serum vitamin D levels and markers of severity of
childhood asthma in Costa Rica. Am J Respir Crit Care
Med.2009;179:765–71.
18. Searing DA, Zhang Y, Murphy JR, Hauk PJ, Goleva E, Leung DYM.
Decreased serum vitamin D levels in children with asthma are
associated with increased corticosteroid use. J Allergy Clin
Immunol.2010;125:995–1000.
19. Sutherland ER, Goleva E, Jackson LP, Stevens AD, Leung DYM.
Vitamin D levels, lung function, and steroid response in asthma. Am
J Respir Crit Care Med 2010;181:699–704.
20. Xystrakis E, Kusumakar S, Boswell S, Peek Gupta A, Sjoukes A,
Richards D, dkk. Relationship between serum vitamin D, disease
severity and airway remodeling in children with asthma. Am J Respir
Crit Care Med.2011;184:1342–9.

46
21. Mason RS. Vitamin D : a hormone for all
seasons.Climateric.2011;14:197-203.
22. Sidhiarta IGL. Defisiensi vitamin D dan kalsium dalam Sjarif DM,
Lestari EW, Mexitalia M, Nasar SS, penyunting. Buku ajar nutrisi
pediatrik dan penyakit metabolik. Edisi pertama.Jakarta: Badan
penerbit IDAI;2011.hal 182-9.
23. DeLuca HF. Overview of general physiologic features and functions
of vitamin D. Am J Clin Nutr.2004;80:1689–96.
24. Holick MF, Binkley NC, Bischoff-Ferrari HA, Gordon CM, Hanley DA,
Heaney RP, dkk. Evaluation, treatment, and prevention of vitamin D
deficiency: an endocrine society clinical practice guideline. J Clin
Endocrinol Metab.2011;96:1911–30.
25. Hollick MF. Vitamin D deficiency. N Engl J Med.2007;357:266-81.
26. Yin L, Grandi N, Raum E, Haug U, Arndt V, Brenner H. Meta analysis:
longitudinal studies of serum vitamin D and colorectal cancer risk. .
Aliment Pharmacol Ther. 2009;30:113-25.
27. Boucher BJ. Vitamin D insufficiency and diabetes risks. Curr Drug
Targets.2011;12:61-87.
28. Mosekilde L. Vitamin D requirement and setting recommendation
levels : long-term perspectives.Nutrition Reviews.2008;66:170-7.
29. Wagner Cl, Greer FR. Prevention of Rickets and vitamin D
deficiency : New guidelines for vitamin D intake.
Pediatrics.2003;111;1098-10.
30. Mansbach JM, Ginde AA, Jr CAC. Serum 25-Hydroxyvitamin D
Levels Among US Children Aged 1 to 11 Years: Do Children Need
More Vitamin D? Pediatrics. 2009;124:1404-10.
31. Razzaghy AM, Shakiba M. Assessment of vitamin D status in healthy
children and adolescents living in Tehran and its relation to iPTH,
gender, weight and height. Annals of Human Biology.2010;37:692-
701.

47
32. Zhang R, Naughton DP. Vitamin D in health and disease : Current
perspective. Nutrition Journal.2010;9:1-37.
33. Farrar MD, Kift R, Felton SJ, Berry JL, Durkin MT, Allan D, dkk.
Recommended summer sunlight exposure amounts fail to produce
sufficient vitamin D status in UK of South Asian origin. Am J Clin Nutr.
2011;94:1219-24.
34. Kartasasmita CB. Asma dalam Rahajoe B, Supriyatno B, Setyanto
D, penyunting. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama.Jakarta:
Badan penerbit IDAI;2010.hal.98-105.
35. Asher I, Grant C.Asthma. Dalam: Chernick V, Boat F, Wilmott W,
Bush A, penyunting. Disorder of respiratory tract in children.Edisi 7.
Philadelphia:Saunders Elsevier; 2006.hal.763-839.
36. Litonjua AA. Childhood asthma may be a consequence of vitamin D
deficiency. Curr Opin Allergy Clin Immunol. 2009; 9:202–7.
37. Hawrylowicz CM, O’Garra A. Potential role of interleukin-10-
secreting regulatoryTcells in allergy and asthma.Nat Rev
Immunol.2005;5:271–83.
38. Zosky GR, Berry LJ, Elliot JG. Vitamin D deficiency causes deficits
in lung function and alters lung structure. Am J Resp Crit Care
Med.2011;183:1336–43.
39. Chi A, Wildfire J, McLoughlin R. Umbilical cord plasma 25-
hydroxyvitamin D concentration and immune function at birth: the
Urban Environment and Childhood Asthma study. Clin Exp
Allergy.2011; 41:842–50.
40. Beard JA, Bearden A, Striker R. Vitamin D and the antiviral state. J
Clin Virol.2011;50:194–200.
41. Miyake Y, Sasaki S, Tanaka K, Hirota Y. Dairy food, calcium and
vitamin D intake in pregnancy, and wheeze and eczema in infants.
Eur Respir J.2010;35:1228–34.

48
42. Morales E, Romieu I, Guerra S. Maternal vitamin D status in
pregnancy and risk of lower respiratory tract infections, wheezing,
and asthma in offspring. Epidemiology.2012;23:64-71
43. Alyasin S, Momen T, Kashef S. The relationship between serum 25
hydroxy vitamin d levels and asthma in children. Allergy Asthma
Immunol Res.2011;3:251–5.
44. Bener A, Ehlayel MS, Tulic MK, Hamid Q. Vitamin D deficiency as a
strong predictor of asthma in children. Int Arch Allergy
Immunol.2012; 157:168–75.
45. Sharief S, Jariwala S, Kumar J. Vitamin D levels and food and
environmental allergies in the United States: results from the
National Health and Nutrition Examination Survey 2005–2006. J
Allergy Clin Immunol.2011;127:1195–202.
46. Van Oeffelen AA, Bekkers MB, Smit HA. Serum micronutrient
concentrations and childhood asthma: the PIAMA birth cohort study.
Pediatr Allergy Immunol.2011;22:784–93.
47. Hollams EM, Hart PH, Holt BJ. Vitamin D and atopy and asthma
phenotypes in children: a longitudinal cohort study. Eur Respir J
2011;38:1320–7.
48. Ginde AA, Mansbach JM, Camargo CA Jr. Association between
serum 25-hydroxyvitamin D level and upper respiratory tract infection
in the Third National Health and Nutrition Examination Survey. Arch
Intern Med.2009;169:384–90.
49. Urashima M, Segawa T, Okazaki M, Kurihara M, Wada Y, Ida H.
Randomized trial of vitamin D supplementation to prevent seasonal
influenza A in school children. Am J Clin Nutr.2010;91:1255–60.
50. Jartti T, Ruuskanen O, Mansbach JM, Vuorinen T, Camargo CA Jr.
Low serum 25-hydroxyvitamin D levels are associated with increased
risk of viral coinfections in wheezing children. J Allergy Clin
Immunol.2010;126:1074–6.

49
51. Brehm JM, Schuemann B, Fuhlbrigge AL. Serum vitamin D levels
and severe asthma exacerbations in the Childhood Asthma
Management Program study. J Allergy Clin Immunol.2010;126:52–
8.
52. Chinellato I, Piazza M, Sandri M. Vitamin D serum levels and
markers of asthma control in Italian children. J
Pediatrics.2011;158:437–41.
53. Chinellato I, Piazza M, Sandri M. Serum vitamin D levels and
exercise-induced bronchoconstriction in children with asthma. Eur
Respir J.2011; 37:1366–70.
54. Majak P, Olszowiec-Chlebna M, Smejda K, Stelmach I. Vitamin D
supplementation in children may prevent asthma exacerbation
triggered by acute respiratory infection. J Allergy Clin
Immunol.2011;127:1294–6.
55. Lee SH, Kim KH, Kim JM. Relationship between group-specific
component protein and the development of asthma. Am J Resp Crit
Care Med.2011;184:528–36.
56. Dixon AE, Holguin F, Sood A, Salome CM, Pratley RE, Beuther DA,
dkk. An official American Thoracic Society Workshop report: obesity
and asthma. Proc Am Thorac Soc 2010;7:325-35.
57. Paul G, Brehm JM, Alcorn JF, Holguin F, Aujla S, Celedon JC.
Vitamin D and asthma,pulmonary perspective. Am J Respir Crit Care
Med.2012;185:124-32.
58. Pojsupap S, Ilriani K, Sampaio T, Kin K, Kovesi T, Menon K, McNally
J. efficacy of high dose vitamin D in pediatric asthma: a systematic
review and meta-analysis. J of asthma.2015;52:382-90.

50
51

Anda mungkin juga menyukai