Tugas ini disusun guna memenuhi persyaratan penilaian pada mata pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan (Pkn) tahun ajaran 2018/ 2019
Disusun oleh :
Nama : Deyya Fajar Putra Fernando
No. Absen : 15
Kelas : VIII C
A. BIOGRAFI
Jendral Besar Raden Soedirman (EYD: Sudirman; lahir 24
Januari 1916 meninggal 29 Januari 1950 pada umur 34 tahun) adalah seorang perwira
tinggi Indonesia pada masa Revolusi Nasional Indonesia. Menjadi panglima besar Tentara
Nasional Indonesiapertama, ia secara luas terus dihormati di Indonesia. Terlahir dari
pasangan rakyat biasa di Purbalingga, Hindia Belanda, Soedirman diadopsi oleh pamannya
yang seorang priyayi. Setelah keluarganya pindah ke Cilacap pada tahun 1916, Soedirman
tumbuh menjadi seorang siswa rajin; ia sangat aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler,
termasuk mengikuti program kepanduan yang dijalankan oleh organisasi
Islam Muhammadiyah. Saat di sekolah menengah, Soedirman mulai menunjukkan
kemampuannya dalam memimpin dan berorganisasi, dan dihormati oleh masyarakat karena
ketaatannya pada Islam. Setelah berhenti kuliah keguruan, pada 1936 ia mulai bekerja
sebagai seorang guru, dan kemudian menjadi kepala sekolah, di sekolah dasar
Muhammadiyah; ia juga aktif dalam kegiatan Muhammadiyah lainnya dan menjadi
pemimpin Kelompok Pemuda Muhammadiyah pada tahun 1937. Setelah Jepang menduduki
Hindia Belanda pada 1942, Soedirman tetap mengajar. Pada tahun 1944, ia bergabung
dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang disponsori Jepang, menjabat sebagai
komandan batalion di Banyumas. Selama menjabat, Soedirman bersama rekannya sesama
prajurit melakukan pemberontakan, namun kemudian diasingkan ke Bogor.
Pada tanggal 19 Desember 1948, beberapa hari setelah Soedirman keluar dari rumah
sakit, Belanda melancarkan Agresi Militer IIuntuk menduduki Yogyakarta. Di saat
pemimpin-pemimpin politik berlindung di kraton sultan, Soedirman, beserta sekelompok
kecil tentara dan dokter pribadinya, melakukan perjalanan ke arah selatan dan memulai
perlawanan gerilya selama tujuh bulan. Awalnya mereka diikuti oleh pasukan Belanda,
tetapi Soedirman dan pasukannya berhasil kabur dan mendirikan markas sementara di Sobo,
di dekat Gunung Lawu. Dari tempat ini, ia mampu mengomandoi kegiatan militer di Pulau
Jawa, termasuk Serangan Umum 1 Maret 1949di Yogyakarta, yang dipimpin oleh Letnan
Kolonel Soeharto. Ketika Belanda mulai menarik diri, Soedirman dipanggil kembali ke
Yogyakarta pada bulan Juli 1949. Meskipun ingin terus melanjutkan perlawanan terhadap
pasukan Belanda, ia dilarang oleh Presiden Soekarno. Penyakit TBC yang diidapnya
kambuh; ia pensiun dan pindah ke Magelang. Soedirman wafat kurang lebih satu bulan
setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
B. KEHIDUPAN AWAL
Soedirman lahir dari pasangan Karsid Kartawiraji dan Siyem saat pasangan ini tinggal
di rumah saudari Siyem yang bernama Tarsem di Rembang, Bodas
Karangjati, Purbalingga, Hindia Belanda. Tarsem sendiri bersuamikan seorang camat
bernama Raden Cokrosunaryo. Menurut catatan keluarga, Soedirman dinamai oleh
pamannya lahir pada Minggu pon di bulan Maulud dalam penanggalan Jawa; pemerintah
Indonesia kemudian menetapkan 24 Januari 1916 sebagai hari ulang tahun Soedirman.
Karena kondisi keuangan Cokrosunaryo yang lebih baik, ia mengadopsi Soedirman dan
memberinya gelar Raden, gelar kebangsawanan pada suku Jawa. Soedirman tidak
diberitahu bahwa Cokrosunaryo bukanlah ayah kandungnya sampai ia berusia 18
tahun. Setelah Cokrosunaryo pensiun sebagai camat pada akhir 1916, Soedirman ikut
dengan keluarganya ke Manggisan, Cilacap. Di tempat inilah ia tumbuh besar. Di Cilacap,
Karsid dan Siyem memiliki seorang putra lain bernama Muhammad Samingan. Karsid
meninggal dunia saat Soedirman berusia enam tahun, dan Siyem menitipkan kedua putranya
pada saudara iparnya dan kembali ke kampung halamannya di Parakan Onje, Ajibarang.
Saat bersekolah di Wirotomo, Soedirman adalah anggota Perkumpulan Siswa
Wirotomo, klub drama, dan kelompok musik. Ia membantu mendirikan cabang Hizboel
Wathan, sebuah organisasi Kepanduan Putra milik Muhammadiyah. Soedirman menjadi
pemimpin Hizboel Wathan cabang Cilacap setelah lulus dari Wirotomo; tugasnya adalah
menentukan dan merencanakan kegiatan kelompoknya. Soedirman menekankan perlunya
pendidikan agama, bersikeras bahwa kontingen dari Cilacap harus menghadiri konferensi
Muhammadiyah di seluruh Jawa. Ia mengajari para anggota muda Hizboel Wathan tentang
sejarah Islam dan pentingnya moralitas, sedangkan pada anggota yang lebih tua ia
berlakukan disiplin militer.
Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan Jenderal Hein ter
Poorten dibawa ke sebuah kamp penahanan, keduanya menyerah setelah tentara Jepang
menyerang pada tanggal 9 Maret 1942, yang berlanjut ke pendudukan selama tiga setengah
tahun.
Ketika Perang Dunia II pecah di Eropa, diperkirakan bahwa Jepang, yang telah
bergerak mendekati Cina daratan, akan berupaya menginvasi Hindia. Sebagai tanggapan,
pemerintah kolonial Belanda yang sebelumnya membatasi pelatihan militer bagi
pribumi mulai mengajari rakyat cara-cara menghadapi serangan udara. Menindaklanjuti hal
ini, Belanda kemudian membentuk tim Persiapan Serangan Udara. Soedirman, yang
disegani oleh masyarakat, diminta untuk memimpin tim di Cilacap. Selain mengajari warga
setempat mengenai prosedur keselamatan untuk menghadapi serangan udara, Soedirman
juga mendirikan pos pemantau di seluruh daerah. Ia dan Belanda juga menangani pesawat
udara yang menjatuhkan material untuk mensimulasikan pengeboman; hal ini bertujuan
untuk mempertinggi tingkat respon.
Jepang mulai menduduki Hindia pada awal 1942 setelah memenangkan beberapa
pertempuran melawan pasukan Belanda dan tentara Koninklijk Nederlands-Indische
Leger (KNIL) yang dilatih oleh Belanda. Pada 9 Maret 1942, Gubernur Jenderal Tjarda van
Starkenborgh Stachouwer dan Jenderal KNIL Hein ter Poorten menyerah. Peristiwa ini
menimbulkan perubahan drastis dalam pemerintahan nusantara dan dan semakin
memperburuk kualitas hidup warga non-Jepang di Hindia, banyak masyarakat pribumi yang
menderita dan mengalami pelanggaran hak asasi manusia di tangan Jepang. Di Cilacap,
sekolah tempat Soedirman mengajar ditutup dan dialih fungsikan menjadi pos militer; ini
adalah bagian dari upaya pemerintah untuk menutup sekolah-sekolah swasta. Setelah
Soedirman berhasil meyakinkan Jepang untuk membuka kembali sekolah, ia dan guru
lainnya terpaksa menggunakan perlengkapan standar. Selama periode ini, Soedirman juga
terlibat dalam beberapa organisasi sosial dan kemanusiaan, termasuk sebagai ketua
Koperasi Bangsa Indonesia. Hal ini membuatnya semakin dihormati di kalangan masyarakat
Cilacap.
D. PERANG GERILYA
Sebelum memulai gerilya, Soedirman pertama-tama pergi ke rumah dinasnya dan
mengumpulkan dokumen-dokumen penting, lalu membakarnya untuk mencegahnya jatuh
ke tangan Belanda. Soedirman, bersama sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya,
mulai bergerak ke arah selatan menuju Kretek, Parangtritis, Bantul. Setibanya di sana,
mereka disambut oleh bupati pada pukul 18.00. Selama di Kretek, Soedirman mengutus
tentaranya yang menyamar ke kota yang telah diduduki oleh Belanda untuk melakukan
pengintaian, dan meminta istrinya menjual perhiasannya untuk membantu mendanai
gerakan gerilya. Setelah beberapa hari di Kretek, ia dan kelompoknya melakukan perjalanan
ke timur di sepanjang pantai selatan menuju Wonogiri. Sebelum Belanda menyerang, sudah
diputuskan bahwa Soedirman akan mengontrol para gerilyawan dari Jawa Timur, yang
masih memiliki beberapa pangkalan militer.Sementara itu, Alfiah dan anak-anaknya
diperintahkan untuk tinggal di Kraton. Sadar bahwa Belanda sedang memburu mereka, pada
tanggal 23 Desember Soedirman memerintahkan pasukannya untuk melanjutkan perjalanan
ke Ponorogo. Di sana, mereka berhenti di rumah seorang ulama bernama Mahfuz; Mahfuz
memberi sang jenderal sebuah tongkat untuk membantunya berjalan, meskipun Soedirman
terus dibopong dengan menggunakan tandu di sepanjang perjalanan. Mereka kemudian
melanjutkan perjalanan ke timur.
Soedirman, dikelilingi oleh para gerilyawan selama perang gerilya.
Di dekat Trenggalek, Soedirman dan kelompoknya dihentikan oleh prajurit TNI dari
Batalion 102. Para tentara ini diberitahu bahwa Soedirman yang saat itu berpakaian sipil
dan dan tidak dikenali oleh tentara yang menghentikan mereka adalah tahanan dan menolak
untuk melepaskan Soedirman dan kelompoknya;mereka mencurigai konvoi Soedirman
yang membawa peta dan catatan militer Indonesia, benda yang mungkin dimiliki oleh mata-
mata. Ketika sang komandan, Mayor Zainal Fanani, datang untuk memeriksa keadaan, ia
menyadari bahwa orang itu adalah Soedirman dan segera meminta maaf. Fanani beralasan
bahwa tindakan anak buahnya sudah tepat karena menjaga wilayah dengan saksama. Ia juga
menyebutkan tentang sebuah pos di Kediri dan menyediakan mobil untuk mengangkut
Soedirman dan pasukannya. Setelah beberapa saat di Kediri, mereka melanjutkan perjalanan
lebih jauh ke timur; setelah mereka meninggalkan kota pada tanggal 24 Desember, Belanda
berencana untuk menyerang Kediri.
Soedirman memerintahkan Hutagalung untuk mulai merencanakan serangan besar-
besaran, dengan prajurit TNI berseragam akan menyerang Belanda dan mununjukkan
kekuatan mereka di depan wartawan asing dan tim investigasi PBB. Hutagalung, bersama
para prajurit dan komandannya, Kolonel Bambang Sugeng, serta pejabat pemerintahan di
bawah pimpinan Gubernur Wongsonegoro, menghabiskan waktu beberapa hari dengan
membahas cara-cara untuk memastikan agar serangan itu berhasil.Pertemuan ini
menghasilkan rencana Serangan Umum 1 Maret 1949; pasukan TNI akan menyerang pos-
pos Belanda di seluruh Jawa Tengah. Pasukan TNI di bawah komando Letnan
Kolonel Soeharto berhasil merebut kembali Yogyakarta dalam waktu enam belas jam,
menjadi unjuk kekuatan yang sukses dan menyebabkan Belanda kehilangan muka di mata
internasional; Belanda sebelumnya menyatakan bahwa TNI sudah diberantas.Namun, siapa
tepatnya yang memerintahkan serangan ini masih belum jelas: Soeharto
dan Hamengkubuwono IX sama-sama mengaku bertanggung jawab atas serangan ini,
sedangkan saudara Bambang Sugeng juga menyatakan bahwa dia lah yang telah
memerintahkan serangan tersebut.
Karena semakin meningkatnya tekanan dari PBB, pada 7 Mei 1949 Indonesia dan
Belanda menggelar perundingan, yang menghasilkan Perjanjian Roem-Royen. Perjanjian
ini menyatakan bahwa Belanda harus menarik pasukannya dari Yogyakarta, beserta poin-
poin lainnya; Belanda mulai menarik pasukannya pada akhir Juni, dan para pemimpin
Indonesia di pengasingan kembali ke Yogyakarta pada awal Juli. Soekarno lalu
memerintahkan Soedirman untuk kembali ke Yogyakarta, tetapi Soedirman menolak untuk
membiarkan Belanda menarik diri tanpa perlawanan; ia menganggap pasukan TNI pada saat
itu sudah cukup kuat untuk mengalahkan pasukan Belanda. Meskipun ia dijanjikan akan
diberi obat-obatan dan dukungan di Yogyakarta, Soedirman menolak untuk kembali ke
kalangan politisi, yang menurutnya telah sepaham dengan Belanda. Soedirman baru setuju
untuk kembali ke Yogyakarta setelah menerima sebuah surat, yang pengirimnya masih
diperdebatkanPada tanggal 10 Juli, Soedirman dan kelompoknya kembali ke Yogyakarta,
mereka disambut oleh ribuan warga sipil dan diterima dengan hangat oleh para elit politik
di sana. Wartawan Rosihan Anwar, yang hadir pada saat itu, menulis pada 1973 bahwa
"Soedirman harus kembali ke Yogyakarta untuk menghindari anggapan adanya keretakan
antar pemimpin tertinggi republik".
Pangeran Diponegoro
A. BIOGRAFI
Bendara Pangeran Harya Dipanegara (lebih dikenal dengan nama Diponegoro, lahir
di Ngayogyakarta Hadiningrat, 11 November1785 meninggal di Makassar, Hindia
Belanda, 8 Januari 1855 pada umur 69 tahun) adalah salah seorang pahlawan
nasionalRepublik Indonesia. Pangeran Diponegoro terkenal karena memimpin Perang
Diponegoro/Perang Jawa (1825-1830) melawan pemerintah Hindia Belanda. Perang
tersebut tercatat sebagai perang dengan korban paling besar dalam sejarah Indonesia.
Pangeran Diponegoro adalah putra sulung dari Sultan Hamengkubuwana III, raja ketiga
di Kesultanan Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dengan
nama Mustahar dari seorang selir bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa
ampeyan (istri selir) yang berasal dari Pacitan. Semasa kecilnya, Pangeran Diponegoro
bernama Bendara Raden Mas Antawirya.
Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan
ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III, untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak
mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Diponegoro setidaknya menikah dengan 9 wanita
dalam hidupnya, yaitu:
B.R.A. Retna Madubrangta puteri kedua Kyai Gedhe Dhadhapan;
R.A. Supadmi yang kemudian diberi nama R.A. Retnakusuma, putri Raden Tumenggung
Natawijaya III, Bupati Panolan, Jipang;
R.A. Retnadewati seorang putri Kyai di wilayah Selatan Jogjakarta;
R.Ay. Citrawati, puteri Raden Tumenggung Rangga Parwirasentika dengan salah satu
isteri selir;
R.A. Maduretno, putri Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretna (putri HB
II), jadi R.A Maduretna saudara seayah dengan Sentot Prawiradirdja, tetapi lain ibu;
R.Ay. Ratnaningsih putri Raden Tumenggung Sumaprawira, bupati Jipang
Kepadhangan;
R.A. Retnakumala putri Kyahi Guru Kasongan;
R.Ay. Ratnaningrum putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II.
Syarifah Fathimah Wajo putri Datuk Husain (Wanita dari Wajo, Makassar)
Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih
suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari Sultan
Hamengkubuwana I, Gusti Kangjeng Ratu Tegalrejo, daripada di keraton.
Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan
Sultan Hamengkubuwana V (1822). Ketika itu, Diponegoro menjadi salah satu anggota
perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan
pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danureja bersama Residen Belanda. Cara
perwalian seperti itu tidak disetujuinya.
B. PERANG DIPONEGORO
Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik
Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, ia memang sudah muak dengan kelakuan Belanda
yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan
pembebanan pajak.
Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan
dukungan rakyat. Atas saran GPH Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari
Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah gua yang bernama Gua Selarong. Saat itu,
Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan
menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa
pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama
di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Gua Selarong. Kyai
Mojo yang lahir di Desa Mojo di wilayah Pajang, dekat Kota Surakarta tertarik berjuang
bersama Pangeran Diponegoro karena Pangeran Diponegoro ingin mendirikan kerajaan
yang berlandaskan Islam. Kyai Mojo dikenal sebagai ulama besar yang sebenarnya masih
memiliki hubungan kekerabatan dengan Diponegoro. Ibu Kyai Mojo, R.A. Mursilah, adalah
saudara perempuan dari Sultan Hamengkubuwana III. Akan tetapi, Kyai Mojo yang aslinya
bernama Muslim Mochamad Khalifah semenjak lahir tidak mencicipi kemewahan gaya
hidup keluarga istana. Jalinan persaudaraan Diponegoro dan Kyai Mojo kian erat setelah
Kyai Mojo menikah dengan janda Pangeran Mangkubumi yang merupakan paman dari
Diponegoro. Tak heran, Diponegoro memanggil Kyai Mojo dengan sebutan "paman" meski
relasi keduanya adalah saudara sepupu.
Selain Kyai Mojo, perjuangan Diponegoro juga didukung oleh Sunan Pakubuwono
VI dan Raden Tumenggung Prawiradigdaya Bupati Gagatan. Meski demikian, pengaruh
dukungan Kyai Mojo terhadap perjuangan Diponegoro begitu kuat karena ia memiliki
banyak pengikut dari berbagai lapisan masyarakat. Kyai Mojo yang dikenal sebagai ulama
penegak ajaran Islam ini bercita-cita, tanah Jawa dipimpin oleh pemimpin yang
mendasarkan hukumnya pada syariat Islam. Semangat memerangi Belanda yang merupakan
musuh Islam dijadikan taktik Perang Suci. Oleh sebab itu, kekuatan Dipenogoro kian
mendapat dukungan terutama dari tokoh-tokoh agama yang berafiliasi dengan Kyai
Mojo. Menurut Peter Carey (2016) dalam Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-
1855 disebutkan bahwa sebanyak 112 kyai, 31 haji, serta 15 syekh dan puluhan penghulu
berhasil diajak bergabung.
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20
juta gulden.
Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu;
suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu, ketika suatu wilayah yang tidak terlalu luas
seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut
kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam
sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (open warfare), maupun metode
perang gerilya (guerilla warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run dan
penghadangan. Ini bukan sebuah perang suku, melainkan suatu perang modern yang
memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktikkan. Perang ini juga
dilengkapi dengan taktik perang urat saraf (psy-war) melalui insinuasi dan tekanan-tekanan
serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam
pertempuran; dan kegiatan telik sandi (spionase) dengan kedua belah pihak saling memata-
matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.
Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan
menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai
Maja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran
Mangkubumi dan panglima utamanya Sentot Alibasya menyerah kepada Belanda.
Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan
Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia
menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran
Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan
ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.
Perang melawan penjajah lalu dilanjutkan oleh para putra Pangeran Diponegoro: Ki
Sodewa atau Bagus Singlon, Dipaningrat, Dipanegara Anom, Pangeran Joned yang terus-
menerus melakukan perlawanan walaupun harus berakhir tragis. Empat putra Pangeran
Diponegoro dibuang ke Ambon, sementara Pangeran Joned terbunuh dalam peperangan,
begitu juga Ki Sodewa.
Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang
Jawa ini banyak memakan korban di pihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu
berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini
jumlah penduduk Ngayogyakarta menyusut separuhnya. Mengingat bagi sebagian kalangan
dalam Kraton Ngayogyakarta, Pangeran Diponegoro dianggap pemberontak, sehingga
konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton, sampai kemudian Sri
Sultan Hamengkubuwana IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro, dengan
mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak
cucu Diponegoro dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus silsilah bagi mereka,
tanpa rasa takut akan diusir.
C. PERIODE-PERIODE PENTING
20 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo
Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah Kabupaten Purworejo). Cleerens
mengusulkan agar Kangjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu
di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de
Kock dari Batavia, Hindia Belanda.
28 Maret 1830 Pangeran Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang. De
Kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Dipanegara agar
menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Dipanegara. Tetapi Belanda telah
menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Dipanegara ditangkap dan
diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan
langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April.
11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum
Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den
Bosch.
30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Dipanegara, Raden Ayu Retnaningsih,
Tumenggung Dipasana dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertaleksana,
Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruna akan dibuang ke Manado.
3 Mei 1830 Dipanegara dan rombongan diberangkatkan dengan
kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam.
1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan.
8 Januari 1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di Makassar, tepatnya di Jalan
Diponegoro, Kelurahan Melayu, Kecamatan Wajo, sekitar empat kilometer sebelah
utara pusat Kota Makassar.