Anda di halaman 1dari 36

Makassar, 10 April 2017

LAPORAN HASIL PBL


MODUL BENGKAK PADA KAKI
SISTEM KARDIOVASKULAR

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 10

Muhammad Rafsanjani 110 215 0040


Ade Apriani Ratnasari 110 215 0049
Aridayana 110 215 0063
Nurul Adelia Muchlis 110 215 0082
Muhammad Rizky Hidayat 110 215 0096
Asyaratun Qamila Rahman 110 215 0119
Nadiah An-Nur 110 215 0120
Sharifa Mutiara 110 215 0139
Muhammad Irsan Muflih M. 110 215 0145
Fadhilah Nur Azizah 110 215 0157

Tutor : dr. Arina F. Arifin

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2017
Skenario
Seorang perempuan usia 32 tahun datang dengan keluhan bengkak pada kaki
kanan yang dialami sejak 1 minggu yang lalu. Pasien mengatakan bengkak
kadang disertai nyeri dan gatal terutama malam hari. 2 hari terakhir timbur luka
pada daerah mata kaki. Dari pemeriksaan fisik didapatkan kemerahan pada kaki
kanan, disertai bengkak dan tampak pelebaran vena, tampak luka pada daerah
malleolus medialis kanan. Riwayat hipertensi dan dislipidemia. Pasien adalah
seorang business executive.

Kata Sulit
Dislipidemia : Dislipidemia merupakan suatu kondisi dimana terjadi
abnormalitas kadar lipid di dalam darah, diantaranya
peningkatan kadar kolesterol, LDL (Low Density Lipoprotein),
dan kadar trigliserida, serta penurunan kadar HDL (High
Density Lipoprotein)
Referensi : Dorland. Dorland’s Illustrated Medical Dictionary (29 ed).
Philadelphia: W.B. Saunders Company; 2002.

Kata/Kalimat Kunci
1. Perempuan 32 tahun
2. Bengkak kaki kanan sejak 1 minggu lalu
3. Bengkak kadang disertai nyeri dan gatal terutama pada malam hari
4. 2 hari terakhir, luka pada mata kaki
5. Riwayat hipertensi dan dislipidemia
6. Hasil pemfis:
- kemerahan dan bengkak pada kaki kanan
- pelebaran vena
- luka malleolus medialis kanan
7. seorang business executive
Pertanyaan
1. Jelaskan etiologi dan faktor resiko terjadinya edema!
2. Jelaskan patomekanisme edema!
3. Hubungan hipertensi dengan dislipidemia pada penyakit vaskular
4. Penyebab terjadinya luka pada malleolus medialis kanan
5. Jelaskan Mekanisme varises (pelebaran vena)?
6. Mengapa kaki bengkak disertai nyeri dan gatal pada malam hari?
7. Mengapa bengkak hanya terjadi pada satu tungkai?
8. Sebutkan dan jelaskan langkah-langkah diagnosis!
9. Sebutkan dan jelaskan diagnosis banding dari skenario!
10. Sebutkan dan jelaskan penatalaksanaan awal yang diberikan kepada
pasien?
11. Jelaskan perbedaan trombus pada arteri dan vena!

Jawaban Pertanyaan
1. Etiologi dan Faktor Resiko terjadinya edema
Etiologi penyebab edema dapat dikelompokan menjadi empat kategori umum:
A. Penurunan konsentrasi protein plasma menyebabkan penurunan tekanan
osmotic plasma. Penurunan ini menyebabkan filtrasi cairan yang keluar dari
pembuluh lebih tinggi, sementara jumlah cairan yang direabsorpsi kurang dari
normal. Dengan demikian terdapat cairan tambahan yang tertinggal diruang –
ruang interstisium. Edema yang disebabkan oleh penurunan konsentrasi
protein plasma dapat terjadi melalui beberapa cara :
 pengeluaran berlebihan protein plasma di urin akibat penyakit ginjal
 penurunan sintesis protein plasma
 akibat penyakit hati ( hati mensintesis hampir semua protein plasma
 makanan yang kurang mengandung protein
 atau pengeluaran protein akibat luka bakar yang luas .
B. Peningkatan permeabilitas dinding kapiler menyebabkan protein plasma yang
keluar dari kapiler ke cairan interstisium disekitarnya lebih banyak. Sebagai
contoh, melalui pelebaran pori- pori kapiler yang dicetuskan oleh histamin
pada cedera jaringan atau reaksi alergi. Terjadi penurunan tekanan osmotik
koloid plasma yang menurunkan ke arah dalam sementara peningkatan
tekanan osmotik koloid cairan interstisium yang diseabkan oleh kelebihan
protein di cairan interstisium meningkatkan tekanan ke arah luar.
ketidakseimbangan ini ikut berperan menimbulkan edema lokal yang
berkaitan dengan cedera (misalnya, lepuh ) dan respon alergi (misalnya ,
biduran) .
C. Peningkatan tekanan vena , misalnya darah terbendung di vena , akan disertai
peningkatan tekanan darah kapiler, karena kapiler mengalirkan isinya ke
dalam vena. Peningkatan tekanan ke arah dinding kapiler ini terutama
berperan pada edema yang terjadi pada gagal jantung kongestif. Edema
regional juga dapat terjadi karena restriksi lokal aliran balik vena. Salah satu
contoh adalah adalah pembengkakan di tungkai dan kaki yang sering terjadi
pada masa kehamilan. Uterus yang membesar menekan vena –vena besar
yang mengalirkan darah dari ekstremitas bawah pada saat vena-vena tersebut
masuk ke rongga abdomen. Pembendungan darah di vena ini menyebabkan
kaki yang mendorong terjadinya edema regional di ekstremitas bawah.
D. Penyumbatan pembuluh limfe menimbulkan edema, karena kelebihan cairan
yang difiltrasi keluar tertahan di cairan interstisium dan tidak dapat
dikembalikan ke darah melalui sistem limfe. Akumulasi protein di cairan
interstisium memperberat masalah melalui efek osmotiknya. Penyumbatan
limfe lokal dapat terjadi, misalnya di lengan wanita yang saluran-saluran
drainase limfenya dari lengan yang tersumbat akibat pengangkatan kelenjar
limfe selama pembedahan untuk kanker payudara. Penyumbatan limfe yang
lebih meluas terjadi pada filariasis, suatu penyakit parasitic yang ditularkan
melalui nyamuk yang terutama dijumpai di daerah-daerah tropis.
Apapun penyebab edema, konsenkuensi pentingnya adalah penurunan
pertukaran bahan-bahan antara darah dan sel. Sering dengan akumulasi cairan
interstisium, jarak antara sel dan darah yang harus ditempuh oleh nutrient,
O2, dan zat-zat sisa melebar sehingga kecepatan difusi berkurang. Dengan
demikian, sel-sel di dalam jaringan yang edematosa mungkin kurang
mendapat pasokan darah.
Faktor Resiko
Karena cairan yang dibutuhkan oleh janin dan plasenta, tubuh wanita
hamil mempertahankan lebih banyak natrium dan air dari biasanya, sehingga
dapat meningkatkan risiko edema. Risiko edema dapat meningkat jika Anda
mengonsumsi obat-obatan tertentu, seperti: Obat tekanan darah tinggi Obat
nonsteroidal anti-inflamasi Obat steroid Estrogen Obat diabetes tertentu yang
disebut thiazolidinediones Jika Anda memiliki penyakit kronis seperti gagal
jantung, hati atau penyakit ginjal, risiko edema juga akan meningkat. Operasi
kadang-kadang dapat menghambat kelenjar getah bening, yang menyebabkan
pembengkakan pada lengan atau kaki, biasanya hanya pada satu sisi. Komplikasi
Jika tidak diobati, edema dapat menyebabkan: Pembengkakan yang semakin
menyakitkan Sulit berjalan Kekakuan Kulit meregang, yang dapat menjadi gatal
dan tidak nyaman Peningkatan risiko infeksi pada daerah yang bengkak Jaringan
parut antara lapisan jaringan Sirkulasi darah menurun Penurunan elastisitas arteri,
vena,

Referensi
Repository.USU. Chpater I. Edema Tungkai.pdf
Kumar, Vinay (2004). Robbins & Cotran Pathologic Basis of Disease.
Elsevier. ISBN 978-0721601878

2. Jelaskan patomekanisme edema!


Vena mempunyai daun katup untuk mencegah darah mengalir mundur
(retrograde atau refluks aliran). Pompa vena otot tungkai mengembalikan darah ke
jantung (mekanisme pompa otot betis) melawan efek gravitasi. Jika pembuluh
darah menjadi varises, katup vena tidak berfungsi lagi (inkompetensi katup).
Patologi vena terjadi jika tekanan vena meningkat dan kembalinya darah
terganggu melalui beberapa mekanisme. Hal ini dapat terjadi akibat inkompetensi
katup vena dalam aksial atau superfisial, atau kombinasi keduanya. Faktor ini
dapat dieksaserbasi oleh disfungsi pompa otot pada ekstremitas bawah;
mekanisme ini dapat menyebabkan hipertensi vena khususnya saat berdiri atau
berjalan. Hipertensi vena yang berlanjut dapat menyebabkan perubahan pada kulit
seperti hiperpigmentasi, fibrosis jaringan subkutan (lipodermatosklerosis), dan
akhirnya dapat terjadi ulkus.
Kegagalan katup vena dalam dapat menyebabkan volume darah dipompa
keluar ekstremitas, dan di isi kembali oleh aliran darah arteri dan aliran vena
retrograde patologis. Tekanan vena segera setelah ambulasi dapat sedikit
meningkat atau bahkan normal, tetapi vena terisi kembali dengan cepat disertai
terjadinya peningkatan tekanan vena tanpa kontraksi otot. Disfungsi atau
inkompetensi katup sistem vena superfisial juga menyebabkanaliran retrograde
darah dan peningkatantekananhidrostatik.
Kegagalan katup dapat primer akibat kelemahan dinding pembuluh darah
atau daun katup yang sudah ada, sekunder terhadap cedera langsung, flebitis
superfisial, atau distensi vena berlebihan akibat efek hormonal atau tekanan yang
tinggi.
Kegagalan katup vena yang berlokasi di saphenofemoral junction dan
sapheno- popliteal junction, menyebabkan tekanan tinggi pada vena superfisial,
sehingga terjadi dilatasi vena dan varises yang menyebar dari proximal junction
keekstremitas bawah. Inkompetensi katup perforator juga dapat menyebabkan
darah mengalir dari vena dalam balik kebelakang ke system superfisial dan
bersama transmisi tekanan tinggi yang ditimbulkan oleh pompa otot betis,
menyebabkan dilatasi vena berlebihan dan kegagalan sekunder katup vena
superfisial.
Pompa otot dapat menyebabkan aliran vena dari ekstremitas distal menjadi
tidak efektif, seperti yang sering terjadi pada refluks atau obstruksi berat.
Disfungsi pompa otot tampaknya merupakan mekanisme utama terjadinya
inkompetensi vena superfisial dan komplikasinya, seperti ulkus vena.
Perubahan hemodinamik vena besar ekstremitas bawah dapat
ditransmisikan kedalam mikrosirkulasi dan menyebabkan terjadinya
mikroangiopati vena, meliputi pemanjangan, dilatasi, dan berkelak- keloknya
kapiler, penebalan membrane basalis dengan peningkatan serat kolagen dan
elastin, kerusakan endotel dengan pelebaran ruang interendotel, serta peningkatan
edema perikapiler dengan pembentukan “halo”. Kelainan kapiler dengan
peningkatan permeabilitas dan tekanan vena yang tinggi menyebabkan akumulasi
cairan, makromolekul, dan ekstravasasi sel darah merah ke ruang interstisial.
Selain itu, fragmentasi dan destruksi mikrolimfatik juga dapat mengganggu
drainase dari ekstremitas, dan disfungsi saraf local dapat menyebabkan perubahan
mekanisme regulasi.
Trombosis vena biasanya terdiri dari fibrin, sel darah merah, dan beberapa
komponen trombosit dan leukosit. Terdapat tiga hal yang berperandalam proses
terjadinya trombosis (Virchow’s Triad):
1. Stasis vena
Aliran darah vena cenderung lambat, bahkan dapat stasis terutama di
daerah yang mengalami imobilisasi cukup lama. Stasis vena merupakan
factor predis posisi terjadinya thrombosis lokal, karena dapat mengganggu
mekanisme pembersihan aktivitas factor pembekuan darah sehingga
memudahkan terbentuknya trombosis.
2. Kerusakan pembuluh darah
Kerusakan pembuluh darah dapat berperan dalam proses
pembentukan trombosis vena, melalui: Trauma langsung yang
mengakibatkan factor pembekuan, Aktivasi sel endotel oleh sitokin yang
dilepaskan sebagai akibat kerusakan jaringan dan proses peradangan.
3. Perubahan daya beku darah
Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan system pembekuan
darah dan system fibrinolisis. Kecenderungan thrombosis terjadi apabila
aktivitas pembekuan darah meningkat atau aktivitas fibrinolisis menurun.

Timbulnya edema dapat disebabkan oleh sumbatan vena proksimal dan


peradangan jaringan perivaskuler. Apabila ditimbulkan oleh sumbatan, maka
lokasi bengkak adalah di bawah sumbatan dan tidak nyeri, sedangkan
Apabila disebabkan oleh peradangan perivaskuler, bengkak timbul di
daerah trombosis dan biasanya disertai nyeri. Pembengkakan bertambah jika
berjalan dan akan berkurang jika istirahat dengan posisi kaki agak ditinggikan.

Referensi:
Kartika, Ronald Winardi. Bagian bedah jantung dan pembuluh darah rs. Husada
jakarta. CDK-224/ vol. 42 no. 1. 2015.
Jayanegara, andi putra. Rsud dr. doris sylvanus, palangkaraya, Kalimantan tengah,
indonesia. CDK-224/vol. 43 no.9 th.2016.

3. Hubungan hipertensi dengan dyslipidemia pada penyakit vascular?


Kasus dyslipidemia ini secara sederhana dapat menjadi factor resiko infark
miokard akut karena pada proses terganggunya profil lipid dalam darah terjadi
penimbunan lemak pada lapisan pembuluh darah yang akhirnya mengurangi
diameter lumen pembuluh darah akibatnya terjadi iskemia dengan manisfestasi
lanjutannya adalah infark.
Dyslipidemia merupakan factor resiko terjadinya infark miokard akut,
dimana dari 27.098 subjek penelitian yang dibedakan menurut jenis kelamin,
menggunakan Case control study terdapat 24,3% pada laki-laki dan 36,2% pada
wanita yang mengalami abnormalitas lipid mengalami infark miokard akut.
Terdapat hubungan yang bermakna antara dyslipidemia dengan penyakit jantung,
karena kelainan pada profit lipid merupakan factor terjadinya aterosklerosis.
Aterosklerosis adalah perubahan dinding arteri yang ditandai adanya akumulasi
lipid ekstrasel, menimbulkan penebalan dan kekakuan arteri. Penebalan arteri
disebabkan timbunan lemak akibat ekstrasel ini menyebabkan iskemia pada
jaringan sehingga terjadinya infark. Tinggi kadar lemak dalam darah akan
mempengaruhi siklus metabolism lemak, sehingga hal ini menyebabkan
terjadinya dyslipidemia yang menyebabkan aterosklerosis dalam arteri yang
menyebabkan arteri tersumbat.

Referensi : Repository.usu.ac.id/dislipidemia_penyakitvaskuler.pdf
o Anand, et al. Risk factor for myocardial infarction in women and men:
insights from the INTERHEART study. European Heart Journal.2008;
o Anwar, T.B. Dislipidemia sebagai factor resiko penyakit jantung coroner.
Medan: Universitas Sumatera Utara. 2004

4. Apakah penyebab terjadinya luka pada Malleolus Medialis kanan pada


tungkai pasien?
Vena mempunyai daun katup untuk men- cegah darah mengalir mundur
(retrograde atau refluks aliran). Pompa vena otot tungkai mengembalikan
darah ke jantung (mekanisme pompa otot betis) melawan efek gravitasi. Jika
pembuluh darah menjadi varises, katup vena tidak berfungsi lagi (inkompetensi
katup).
Patologi vena terjadi jika tekanan vena meningkat dan kembalinya
darah terganggu melalui beberapa mekanisme. Hal ini dapatterjadi akibat
inkompetensi katup vena dalam aksial atau superfisial, atau kombinasi
keduanya. Faktor ini dapat dieksaserbasi oleh disfungsi pompa otot pada
ekstremitas bawah; mekanisme ini dapat menyebabkan hipertensi vena
khususnya saat berdiri atau berjalan. Hipertensi vena yang berlanjut dapat
menyebabkan perubahan pada kulit seperti hiperpigmentasi, fibrosis jaringan
subkutan (lipodermatosklerosis), dan akhirnya dapat terjadi ulkus.
Obstruksi aliran vena tampaknya mempunyai peranan bermakna dalam
patogenesis CVI. Pompa otot dapat menyebabkan aliran vena dari ekstremitas
distal menjadi tidak efektif, seperti yang sering terjadi pada refluks atau obstruksi
berat. Disfungsi pompa otot tampaknya merupakan mekanisme utama terjadinya
inkompetensi vena superfisial dan komplikasinya, seperti ulkus vena.

Referensi : Eberhardt RT, Raffetto JD. Chronic venous insufficiency. Circulation


2005;111:2398-409.
5. Jelaskan Petomekanisme varises (pelebaran vena)!
Penyebab varices primer adalah kelemahan struktural pada dinding pembuluh
darah yang diturunkan. Dilatasi dapat disertai gangguan katup vena, karena daun
katup tidak mampu menutup dan menahan aliran refluks. Varices primer
cenderung terjadi pada vena-vena permukaan karena kurangnya dukungan dari
luar atau kurangnya resistensi jaringan subkutan.
Varices sekunder disebabkan oleh gangguan patologi sistem vena dalam,
yang timbul kongenital atau didapat sejak lahir. Hal ini menyebabkan dilatasi
vena-vena permukaan, penghubung, atau kolateral. Misalnya, kerusakan katup
vena pada sistem vena dalam akan mengganggu aliran darah menuju jantung,
resultan statis, dan penimbunan darah menyebabkan hipertensi vena dalam. Jika
katup vena penghubung (penyambung) tidak berfungsi dengan baik, maka
peningkatan tekanan sirkuit vena dalam akan menyebabkan aliran balik darah ke
dalam vena penghubung. Darah vena akan dialirkan ke vena permukaan dari vena
dalam. Hal ini merupakan faktor predisposisi timbulnya varices sekunder pada
vena-vena permukaan. Pada keadaan ini, vena permukaan berfungsi sebagai
pembuluh kolateral untuk sistem vena dalam, memirau darah dari daerah yang
mati
Keterangan : biasanya kerusakan diakibatkan karena adanya suatu hambatan
aliran darah dan tekanan hidrostatik yang terlalu besar.
Referensi : Repository.USU.Chapter II. Varises.pdf

6. Mengapa kaki bengkak disertai nyeri dan gatal pada malam hari?
NYERI:
Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan
jaringan. Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksius
yang diperantarai oleh system sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari
perifer melalui medulla spinalis, batang otak, thalamus dan korteks serebri.
Apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka system nosiseptif akan bergeser
fungsinya dari fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan
yang rusak.
Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat
perbaikan kerusakan jaringan. Sensitifitas akan meningkat, sehingga stimulus non
noksius atau noksius ringan yang mengenai bagian yang meradang akan
menyebabkan nyeri. Nyeri inflamasi akan menurunkan derajat kerusakan dan
menghilangkan respon inflamasi .
A. Sensitisasi Perifer
Cidera atau inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya perubahan
lingkungan kimiawi pada akhir nosiseptor. Sel yang rusak akan melepaskan
komponen intraselulernya seperti adenosine trifosfat, ion K+ , pH menurun,
sel inflamasi akan menghasilkan sitokin, chemokine dan growth factor.
Beberapa komponen diatas akan langsung merangsang nosiseptor (nociceptor
activators) dan komponen lainnya akan menyebabkan nosiseptor menjadi
lebih hipersensitif terhadap rangsangan berikutnya (nociceptor sensitizers).
Kerusakan jaringan menyebabkan terlepasnya substansi kimiawi endogen
yaitu bradikinin, substansi P, serotonin, histamine, ion H, ion K,
prostaglandin. Zat kimia ini terlepas kedalam cairan ekstraseluler yang
melingkupi nosiseptor. Kerusakan membrane sel akan melepaskan senyawa
phospholipid yang mengandung asam arakidonat dan terjadi aktivasi ujung
aferen nosiseptif. Asam arakidonat atas pengaruh prostaglandin (PE)
endoperoxide synthetase akan membentuk mediator inflamasi sekaligus
mediator nyeri tromboxan (TXA2), prostaglandin (PGE2, PG2α)
danprostasiklin (PGI2). Terbentuk pula leukotriene (LT) atas pengaruh 5-
lipooksigenase, dan dari sel mast dilepaskan histamine. Kombinasi senyawa
ini menimbulkan vasodilatasi local dan peningkatan permeabilitas vaskuler
local sehingga terjadi gerakan cairan ekstravasasi kedalam ruang interstisial
jaringan rusak.
Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E2 akan mereduksi ambang
aktivasi nosiseptor dan meningkatkan kepekaan ujung saraf dengan cara
berikatan pada reseptor spesifik di nosiseptor. Berbagai komponen yang
menyebabkan sensitisasi akan muncul secara bersamaan, penghambatan
hanya pada salah satu substansi kimia tersebut tidak akan menghilangkan
sensitisasi perifer. Sensitisasi perifer akan menurunkan ambang rangsang dan
berperan dalam meningkatkan sensitifitas nyeri di tempat cedera atau
inflamasi.
Pada inflamasi, system imun akan melepaskan sitokin proinflamas iyaitu:
interleukin (IL)-1β, IL-6, Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α), Inteferon(INF).
Sitokin ini dengan cepat akan berinteraksi dengan saraf perifer melalui
mediator. IL-1β berinteraksi dengan neuron sensoris, mengaktifkan
eicosanoid dalam sel mast juga melepas serotonin yang langsung
mengaktifkan atau mensensitisasi nosiseptor dan menimbulkan hiperalgesia.

B. Sensitisasi Sentral
Sama halnya dengan system nosiseptor perifer, maka transmisi nosiseptor
di sentral juga dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi sentral dan perifer
bertanggung jawab terhadap munculnya hipersensitivitas nyeri setelah cidera.
Sensitisasi sentral memfasilitasi dan memperkuat transfer sipnatik dari
nosiseptor ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses ini dipacu oleh
input nosiseptor ke medulla spinalis (activity dependent), kemudian terjadi
perubahan molekuler neuron (transcription dependent).
Sensitisasi sentral dan perifer merupakan contoh plastisitas system saraf,
dimana terjadi perubahan fungsi sebagai respon perubahan input (kerusakan
jaringan). Dalam beberapa detik setelah kerusakan jaringan yang hebat akan
terjadi aliran sensoris yang massif ke dalam medulla spinalis, ini akan
menyebabkan jaringan saraf di dalam medulla spinalis menjadi hiper
responsif. Reaksi ini akan menyebabkan munculnya rangsangan nyeri akibat
stimulus non noksius dan pada daerah yang jauh dari jaringan cedera juga
akan menjadi lebih sensitive terhadap rangsangan nyeri.

GATAL:
A. Mediator dan reseptor yang berperan dalam proses rasa gatal dan nyeri:
Reseptor yang berperan pada induksi rasa gatal antara lain reseptor
histamine dan proteinase activated receptor 2, sedangkan mediator untuk rasa
gatal antara lain adalah histamin, triptase, endotelin dan interleukin (IL-2, IL-
4,IL-6 dan IL-31). Pada proses penghantaran nyeri, mediator dan reseptor
yang berperan antara lain asetilkolin, reseptor muskarinik M 1-5 dan ATP
atau adenosin. Meskipun demikian sebagian besar mediator dan reseptor
menginduksi keduanya, baik nyeri maupun rasa gatal, misalnya substansi P
dan reseptor-reseptor nya (reseptor neurokinin 1-3).
Pada hiperalgesia, suatu rangsang nyeri berupa tusukan ringan (pinprick)
dipersepsi sebagai nyeri yang lebih hebat di sekitar daerah inflamasi,
sedangkan hiper knesis punctat merupakan peningkatan sensitivitas pada rasa
gatal dimana suatu rangsang berupa tusukan ringan yang menginduksi rasa
gatal dipersepsi sebagai rasa gatal yang lebih hebat di daerah sekitar lesi kulit.
Hiperalgesia dapat menetap berjam-jam setelah trauma.

Lalu mengapa gatalnya muncul di malam hari?


Seperti yang kita ketahui bahwa ketika pagi sampai sore hari, semua orang
beraktivitas. Ketika beraktivitas itulah sensasi nyeri paling kuat dirasakan pasien
sehingga sensasi gatal yang ditimbulkan inflamasi tidak terasa. Ketika malam
hari, semua orang dalam posisi istirahat. Orang yang mengalami edema akan
merasakan keringanan pada sakitnya ketikap osisi baring karena terjadi perubahan
posisi yang membuat aliran vena ke jantung lancarsehingga edema pada kakinya
menjadi berkurang. Tetapi ini juga memperkuat reaksi gatal akibat mediator
inflamasi tadi. Itulah mengapa pasien merasakan sensasi gatal pada malam hari.

Referensi:

a. Repository.usu.ac.id
b. Eprints.udip.ac.id
c. AyuElvina, Putu. Hubungan Rasa Gatal dan Nyeri. RSUD Wangaya,
Denpasar, Bali, Indonesia. CDK 185/Vol.38 no.4/Mei-Juni 2011

7. Mengapa bengkak hanya terjadi pada satu tungkai?


Air tubuh total dibagi antara intraseluler dan ruang ekstraseluler. Ruang
ekstraseluler, yang terdiri darisekitar sepertiga dari air tubuh total, terdiri dari
yang intravaskular volume plasma (25%) dan ekstravaskuler yang ruang
interstitial (75%) (1). Starling mendefinisikanPasukan fisiologis yang terlibat
dalam menjaga keseimbanganair antara dua kompartemen ini (2,3), yang
meliputigradien antara intravaskular dan ekstravaskulartekanan hidrostatik,
perbedaan tekanan onkotikdalam ruang interstitial dan plasma, dan
hidrolikpermeabilitas dinding pembuluh darah (4). LimfatikSistem
mengumpulkan protein cairan dan disaring dari interstitialruang dan
mengembalikan mereka ke kompartemen vaskular (Angka). Gangguan utama
dalam homeostasis halus yang nikmat filtrasi bersih dari pembuluh darah yang
ruang, atau gangguan kembalinya cairan oleh limfatik dari ruang interstitial, akan
menghasilkan edema.
Pasukan Starling tekanan vena meningkat karena vena pusat atau daerah
obstruksi atau untuk ekspansi volume plasma ditransmisikan ke tempat tidur
kapiler, sehingga meningkatkan tekanan hidrostatik dan predisposisi untuk edema.
Sebaliknya, autoregulasi lokal dengan otot polossfingter pada prekapiler (atau
arteri) sisi melindungi kapiler tidur dari peningkatan tekanan arteri sistemik,yang
menjelaskan mengapa pasien hipertensi tidak memiliki edema meskipun tekanan
darah tinggi (5,6 )Kontributor utama tekanan onkotik interstitial adalah
mucopolysaccharides, protein disaring seperti albumin, kapiler permeabilitas
protein dinding, dan tingkatpembersihan limfatik (5,6). Perubahan dinding kapiler
permeabilitasdimediasi oleh sitokin seperti tumor necrosisfaktor, interleukin 1,
dan interleukin 10, serta olehberedar prostaglandin vasodilator dan oksida
nitrat(7). Peningkatan permeabilitas vaskuler merupakan pusat edema yang
dihasilkan dari peradangan lokal (misalnya, gigitan serangga), alergi
reaksi, dan luka bakar.
Referensi : From the Division of Cardiovascular Medicine, Department of Internal
Medicine, Stanford University Medical Center, and Veterans Affairs Palo Alto
Health Care System, Palo Alto, California. Requests for reprints should be
addressed to J. Edwin Atwood, MD, Department of Cardiology, Building 2,
Walter Reed Army Center, 6900 Georgia NW, Washington, D.C. 20307.
Manuscript submitted March 13, 2002, and accepted in revised form August 5,
2002.

8. Sebutkan dan jelaskan langkah-langkah diagnosis!

Anamnesis
1. Riwayat Kesehatan
2. Keluhan utama:
 Nyeri dada
 Sesak nafas
 Edema
Keluhan utama digunakan untuk mengumpulkan data tentang kebiasaan yang
mencerminkan refleksi perubahan dan sirkulasi oksigen.

Pemeriksaan Fisik

1. Pemeriksaan Jantung

Pemeruksaan fisik meliputi pemeriksaan fisik umum dan khusus pada jantung.
Sebelum melakukan pemeriksaan fisik khusus pada jantung, maka penting
terlebih dahulu melihat pasien secara keseluruhan atau keadaan umum termasuk
mengukur tekanan darah, denyut nadi, suhu badan dan frekuensi pernafasan.
Keadaan umum secara keseluruhan yang perlu dilihat adalah :

 Bentuk tubuh gemuk/ kurus


 Anemis
 Sianosis
 Sesak nafas
 Keringat dingin
 Muka sembab
 Edema kelopak mata
 Asites
 Bengkak tungkai atau pergelangan kaki
 Clubbing ujung jari-jari tangan

Pada pasien khusus penyakit jantung amat penting melakukan pemerriksaan nadi
adalah :

 Kecepatan/ menit
 Kuat/ lemah (besar/kecil)
 Teratur atau tidak
 Isi setiap denyut sama kuat atau tidak

Pemeriksaan fisik jantung dapat meliputi pemeriksaan secara inspeksi, palsasi,


auskultasi dan perkusi :

Inspeksi

 Lihat dan perhatikan impuls dari iktus kordis

Mudah terlihat pada pasien yang kurus dan tidak terlihat pada pasien yang gemuk
atau emfisema pulmonum. Yang perlu diperhatikan adalah titik impuls maksimum
(Point of maximum Impulse). Normalnya berada pada ruang intercostals V pada
garis midklavikula kiri. Apabila impuls maksimum ini bergeser ke kiri berarti ada
pembesaran jantung kiri atau jantung terdorong atau tertarik ke kiri.

 Toraks/ dada

Pasien berbaring dengan dasar yang rata. Pada bentuk dada “veussure cardiac”
dinding toraks di bagian jantung menonjol menandakan penyakit jantung
congenital. Benjolan ini dapat dipastikan dengan perabaan vena jungularis
eksterna (dileher kiri dan kanan) dengan teknik sebagai berikut :

 Posisi pasien setengah duduk dengan kemiringan + 45 dderajat


 Leher diluruskan dan kepala menoleh sedikit ke kiri pemeriksa di kanan
pasien
 Perhatikan vena jungularis eksterna yang terletak dileher; apakah terisi penuh/
sebagian, dimana batas atasnya bergerak naik turun
 Dalam keadaan normal vena jungularis eksterna tersebut kosong/ kolap
 Vena jungularis yang terisi dapat disebabkan oleh:
 Payah jantung kanan (dengan atau tanpa jantung kiri)
 Tekanan intra toraks yang meninggi
 Tamponade jantung
 Tumor mediastinum yang menekan venacava superior
Palpasi
Palpasi dapat mengetahui dengan mengenal ukuran jantung dan denyut
jantung. Point of Maximum Impulse dipalpasi untuk mengetahui getaran yang
terjadi ketika darah mengalir melalui katup yang menyempitkan atau mengalami
gangguan.
Dengan posisi pasien tetap terlentang kita raba iktus kordis yang kita amati pada
inspeksi. Peradaban dilakukan dengan 2 jari (telunjuk dan jari tengah) atau dengan
telapak tangan. Yang perlu dinilai adalah:
 Lebarr impuls iktur kordis
 Kekuatan angkatnya
Normal lebar iktus kordis tidak melebihi 2 jari. Selain itu perlu pula dirasakan
(dengan telapak tangan) :

 Bising jantung yang keras (thrill)


 Apakah bising sistolik atau diastolic
 Bunyi murmur
 Friction rub (gesekan pericardium dengan pleura)
Iktus kordis yang kuat dan melebar tanda dari pembesaran/ hipertrofi otot jantung
akibat latihan/ atlit, hipertensi, hipertiroid atau kelainan katup jantung.

Perkusi

Dengan posisi pasien tetap berbaring atau terlentang kita lakukan pemeriksaan
perkusi. Tujuannya adalah untuk menentukan batas jantung (batas atas kanan
kiri). Teknik perkusi menuntut penguasaan teknik dan pengalaman, diperlukan
keterampilan khusus. Pemeriksaan harus mengetahui tentang apa yang disebut
sonor, redup dan timpani.

Kita melakukan perkusi untuk menetapkan batas-batas jantung.

1. Batas kiri jantung Kita melakukan perkusi dari arah lateral ke medial.
Perubahan antara bunyi sonor dari paru-paru ke redup relatif kita tetapkan sebagai
batas jantung kiri. Dengan cara tersebut kita akan dapatkan tempat iktus, yaitu
normal pada ruang interkostale V kiri agak ke medial dari linea midklavikularis
sinistra, dan agak di atas batas paru-hepar. Ini merupakan batas kiri bawah dari
jantung. Batas jantung sebelah kiri yang terletak di sebelah cranial iktus,pada
ruang interkostal II letaknya lebih dekat ke sternum daripada letak iktus cordis ke
sternum, kurang lebih di linea parasternalis kiri. Tempat ini sering disebut dengan
pinggang jantung. Sedangkan batas kiri atas dari jantung adalah ruang interkostal
II kiri di linea parasternalis kiri.

2. Batas kanan jantung. Perkusi juga dilakukan dari arah lateral ke medial. Disini
agak sulit menentukan batas jantung karena letaknya agak jauh dari dinding depan
thorak. Batas bawah kanan jantung adalah di sekitar ruang interkostal IIIIV
kanan,di line parasternalis kanan. Sedangkan batas atasnya di ruang interkostal II
kanan linea parasternalis kanan. Perkusi jantung mempunyai arti pada dua macam
penyakit jantung yaitu efusi pericardium dan aneurisma aorta.Kita ketahui bahwa
pada emfisema daerah redup jantung mengecil, tapi pada aneurisma aorta daerah
redup jantung meluas sampai ke sebelah kanan sternum sekitar ruang interkostal
II. Suara perkusi pada sternumpun menjadi redup. Pada efusi pericardium daerah
redup jantung meluas terutama bagian bawahnya sehingga bentuknya menyerupai
bentuk jambu.

Auskultasi

 Pemeriksaan auskultasi untuk menentukan denyut jantung, irama jantung,


bunyi jantung, murmur dan gesekan (rub).
 Bunyi jantung perlu dinilai kualitas dan frekuensinya. Bunyi jantung
merupakan refleksi dari membuka dan menutupnya katup dan terdengar di
titik spesifik dari dinding dada.
 Bunyi jantung I (S1) dihasilkan oleh penutupan katup atrioventrikuler (mitral
dan trikuspidalis).
 Bunyi jantung II (S2) disebabkan oleh penutupan katup semilunar (aorta dan
pulmonal).
 Bunyi jantung III (S3) merupakan pantulan vibrasi ventrikuler dihasilkan oleh
pengisian ventrikel ketika diastole dan mengikuti S2.
 Bunyi jantung IV (S4) disebabkan oleh tahanan untuk mengisi ventrikel pada
diastole yang lambat karena meningkatnya tekanan diastole ventrikel atau
lemahnya penggelembungan ventrikel.
 Bunyi bising jantung disebabkan oleh pembukaan dan penutupan katup
jantung yang tidak sempurna. Yang perlu diperhatikan pada setiap bising
jantung adalah :
 Apakah bising sistolik atau diastolic atau kedua-duanya.
 Kenyaringan (keras-lemah) bising.
 Lokasi bising (yang maksimal).
 Penyebaran bising.

Adapun derajat kenyaringan bising jantung dipengaruhi oleh :

 Kecepatan aliran darah yang melalui katup.


 Derajat kelainan/gangguan katup.
 Tebal tipisnya dinding toraks.
 Ada tidaknya emfisema paru

Referensi: repository.usu.ac.id//diagnosis kardiovaskuler.pdf

9. Sebutkan dan jelaskan diagnosis banding dari skenario!


1) CVI
Definisi
Gangguan vena menahun atau Chronic Venous Insufficiency (CVI) adalah
gangguan aliran balik darah dari tungkai ke jantung yang bersifat menahun.CVI
merupakan kondisi mengenai sistem vena ekstremitas bawah yang dapat
menyebabkan berbagai patologi, meliputi nyeri, bengkak, perubahan kulit, dan
ulserasi. CVI terjadi jika katup vena tidak berfungsi dengan baik, dan terjadi
gangguan sirkulasi darah pada vena tungkai. CVI sering dikaitkan dengan varises,
yaitu kondisi vena tampak membesar, berliku-liku, dan kebiruan di bawah
permukaan kulit.
Epidemiologi
Chronic venous insufficiency lebih banyak terjadi pada negara-negara
barat atau negara industry, yang kemungkinan besar disebabkan oleh gaya hidup
danaktivitas penduduknya. Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria,
prevalensinyajuga akan meningkat seiring dengan pertambahan usia dengan
prevalensi: Pria muda sebanyak 10% berbanding wanita muda sebanyak 30%,
Pria berusia lebih dari 50 tahun sebanyak 20% berbanding wanita berusia lebih
dari 50 tahun sebanyak 50%.
Patofisiologi
Vena mempunyai daun katup untuk men-cegah darah mengalir mundur
(retrograde atau refl uks aliran). Pompa vena otot tungkai mengembalikan darah
ke jantung (mekanisme pompa otot betis) melawan efek gravitasi. Jika pembuluh
darah menjadivarises, katup vena tidak berfungsi lagi (inkompetensi katup).
Patologi vena terjadi jika tekanan vena meningkat dan kembalinya darah
terganggu melalui beberapa mekanisme. Hal ini dapat terjadi akibat
inkompetensikatup vena dalam aksial atau superfisial, atau kombinasi keduanya.
Faktor ini dapat dieksaserbasi oleh disfungsi pompa otot pada ekstremitas bawah;
mekanisme inidapat menyebabkan hipertensi vena khususnya saat berdiri atau
berjalan. Hipertensi vena yang berlanjut dapat menyebabkan perubahan pada kulit
hiperpigmentasi,fibrosis jaringan subkutan, dan akhirnya dapat terjadi ulkus.
Kegagalan katup vena dalam dapat menyebabkan volume darah dipompa
keluar ekstremitas, dan diisi kembali oleh aliran darah arteri dan aliran vena
retrogradepatologis. Tekanan vena segera setelah ambulasi dapat sedikit
meningkat atau normal, tetapi vena terisi kembali dengan cepat disertai terjadi
peningkatan tekanan vena tanpa kontraksi otot. Disfungsi atau inkompetensi katup
system vena superfisial juga menyebabkan aliran retrograde darah dan
peningkatan tekanan hidrostatik.
Kegagalan katup dapat primer akibat kelemahan dinding pembuluh darah
atau daun katup yang sudah ada, sekunder terhadap cedera langsung, flebitis
superfisial, atau distensi vena berlebihan akibat efek hormonal atau tekanan
yangtinggi.
Kegagalan katup vena yang berlokasi di saphenofemoral junction dan
saphenopopliteal junction, menyebabkan tekanan tinggi pada vena superfisial,
sehingga terjadi dilatasi vena dan varises yang menyebar dari proximal junction
ke ekstremitas bawah. Inkompetensi katup perforator juga dapat menyebabkan
darah mengalir dari vena dalam balik ke belakang ke sistem superfisial dan
bersama transmisi tekanan tinggi yang ditimbulkan oleh pompa otot betis,
menyebabkandilatasi vena berlebihan dan kegagalan sekunder katup vena
superfisial.
Obstruksi aliran vena tampaknya mempunyai peranan bermakna dalam
patogenesis CVI. Pompa otot dapat menyebabkan aliran vena dari ekstremitas
distal menjadi tidak efektif, seperti yang sering terjadi pada refluks atau obstruksi
berat.Disfungsi pompa otot tampaknya merupakan mekanisme utama terjadi
inkompetensivena superfisial dan komplikasinya, seperti ulkus vena.
Perubahan hemodinamik vena besar ekstremitas bawah dapat
ditransmisikanke dalam mikrosirkulasi dan menyebabkan terjadinya
mikroangiopati vena, meliputipemanjangan, dilatasi, dan berkelak- keloknya
kapiler, penebalan membran basalisdengan peningkatan serat kolagen dan elastin,
kerusakan endotel dengan pelebaran ruang interendotel, serta peningkatan edema
perikapiler dengan pembentukan “halo”. Kelainan kapiler dengan peningkatan
permeabilitas dan tekanan vena yang tinggi menyebabkan akumulasi cairan,
makromolekul,dan ekstravasasi sel darah merah ke ruang interstisial. Selain itu,
fragmentasi dan destruksi mikrolimfatik juga dapatmengganggu drainase dari
ekstremitas, dan disfungsi saraf lokal dapat menyebabkan perubahan mekanisme
regulasi.
Varises dibedakan dari vena retikuler (vena biru) dan telangiektasia (spider
veins) yang juga melibatkan insufisiensi katup, dari ukuran dan lokasi pembuluh
darah yang terkena.
Gejala Klinik
Gejala insufisiensi vena kronik dapat meliputi :
 Bengkak di kaki atau pergelangan kaki
 Kaki terasa berat atau pegal, panas dan gatal
 Nyeri saat berjalan yang berhenti saat istirahat
 Perubahan warna kulit
 Varises
 Ulkus kaki
Klasifikasi
Adapun stadium CVI secara klinis menurut klasifi kasi CEAP adalah:
• C0 : tidak ada tanda-tanda penyakit vena yang terlihat atau teraba
• C1 : telangiektasia atau vena retikuler
• C2 : varises (dibedakan dari vena reti-kuler dengan diameter > 3 mm)
• C3 : edema
• C4 : perubahan pada kulit sekunder terhadap penyakit vena kronik
- C4a : pigmentas
- C4b : lipodermatosklerosis atau atrophie blanche
• C5 : ulkus vena sembuh
• C6 : ulkus vena aktif
Etiologi
Etiologi dari insufisiensi vena kronis dapat dibagi 3 yaitu, kongenital, primer
dan sekunder.
 Penyebab insufisiensi vena kronis yang kongenital adalah pada kelainan
dimana katup yang seharusnya terbentuk di suatu segmen ternyata
tidakterbentuk sama sekali (aplasia, avalvulia), atau pembentukannya tidak
sempurna (displasia), berbagai malformasi vena, dan kelainan lainnyayang
baru diketahui setelah penderitanya berumur.
 Penyebab insufisiensi vena kronis yang primer adalah kelemahan intrinsic
dari dinding katup, yaitu terjadi lembaran atau daun katup yang
terlalupanjang (elongasi) atau daun katup menyebabkan dinding vena
menjaditerlalu lentur tanpa sebab-sebab yang diketahui. Keadaan daun
katup yangpanjang melambai (floppy, rebundant) sehingga penutupan
tidaksempurna (daun-daun katup tidak dapat terkatup sempurna)
yangmengakibatkan terjadinya katup tidak dapat menahan aliran
balik,sehingga aliran retrograd atau refluks. Keadaan tersebut dapat diatas
hanya dengan melakukan perbaikan katup (valve repair) dengan operasi
untuk mengembalikan katup menjadi berfungsi baik kembali.
 Penyebab insufisiensi vena kronis sekunder (insufisiensi vena
sekunder)disebabkan oleh keadaan patologik yang didapat (acquired), yaitu
akibatadanya penyumbatan trombosis vena dalam yang menimbulkan
gangguankronis pada katup vena dalam. Pada keadaan dimana terjadi
komplikasisumbatan trombus beberapa bulan atau tahun paska kejadian
thrombosis vena dalam, maka keadaan tersebut disebut sindroma post-
trombotic.Pada sindroma tersebut terjadi pembentukan jaringan parut
akibatinflamasi, trombosis kronis dan rekanalisasi yang akan menimbulkan
fibrosis, dan juga akan menimbulkan pemendekan daun katup(pengerutan
daun katup), perforasi kecil-kecil (perforasi mikro), danadhesi katup,
sehingga akhirnya akan menimbulkan penyempitan lumen.Kerusakan yang
terjadi pada daun katup telah sangat parah tidakmemungkinkan upaya
perbaikan. Kejadian insufisiensi vena kronis yang primer, dan yang
sekunder (akibat trombosis vena dalam, dan komplikasi post-trombotic),
dapa terjadi pada satu penderita yang sama.
Faktor Resiko
Faktor risiko terkait CVI meliputi usia (di atas 30 tahun), jenis kelamin
riwayat varises dalam keluarga, obesitas, kehamilan, menopause, flebitis, dan
riwayatcedera tungkai. Terdapat juga faktor lingkungan atau perilaku terkait
dengan CVI, seperti berdiri dan duduk ter- lalu lama. Gangguan vena menahun
tidak mungkin disebabkan karena menyilangkan tungkai atau pergelangan kaki,
meskipun hal inidapat memperburuk kondisi varises yang telah ada.
Penatalaksanaan
Pengobatan insufisiensi vena kronis pada tungkai pada prinsipnya adalah
usaha memperlancar aliran darah vena tungkai, yaitu dengan cara melakukan
elevasi tungkai sesering mungkin, terutama setelah kegiatan berjalan-jalan,
dimana elevasi dilakukan dalam posisi duduk atau berbaring dengan membuat
posisi kaki setinggi dengan jantung. Dengan posisi tersebut aliran darah vena akan
menjadi lancar dan dilatasi vena tungkai yang berkelok-kelok menjadi tampak
mengempis dan melengkuk, pada posisi tersebut secara subjektif penderita akan
merasa keluhannya berkurang dengan cepat. Beberapa penetalaksanaan lain yang
dapat dilakukan yaitu:
a. Kaus kaki kompresi membantu memperbaiki gejala dan keadaan
hemodinamik dengan varises vena dan mengilangkan edema. Kaus kaki
dengan tekanan 20-30 mmHg (grade II) memberikan hasil yang maksimal.
Pada penelitian didapatkan sekitar 37-47 % pasien yang menggunakan kaus
kaki kompresi selama 1 tahun setelah menderita DVT mencegah terjadi ulkus
pada kaki. Kekurangan penggunaan kaos kaki adalah harga yang relative
mahal, kurangnya pendidikan pasien, dan kosmetik yang kurang baik.
b. Medikamentosa, beberapa jenis obat dapat digunakan untuk mengobati
insufisiensi vena kronis. Diuretik dapat digunakan untuk mengurangi
pembengkakan. Pentoxifylline untuk meningkatkan aliran darah melalui
pembuluh darah, dapat dikombinasikan dengan terapi kompresi untuk
membantu menyembuhkan ulkus kaki. Terapi antikoagulan dapat
direkomendasikan untuk orang-orang yang memiliki masalah belulang dengan
pembuluh darah di kaki.
c. Sclerotherapy, digunakan pada pasien dengan usia lanjut, Caranya dengan
menginjeksi bahan kimia kedalam pembuluh darah sehingga tidak berfungsi
lagi. Darah kemudian kembali ke jantung melalui vena lain dan tubuh
menyerap pembuluh darah yang terluka
d. Operasi, pembedahan dapat digunakan untuk mengobati chronic venous
insufficiency meliputi :
 Ligasi
Vena yang rusak diikat sehingga darah tidak melewati vena tersebut. Jika
vena atau katu rusak berat, pembuluh darah akan diangkat (vein stripping).
 Surgical repair
Vena atau katup diperbaiki dengan operasi, melalui sayatan terbuka atau
dengan penggunaan kateter.
 Vein Transplant
Mengganti pembuluh darah yang rusak dengan pembuluh darah sehat dari
bagian tubuh yang lain.
 Subfascial endoscopic perforator surgery
Prosedur invasive minimal dilakukan dengan endoskopi. Vena perforator
dipotong dan diikat. Hal ini memungkinkan darah mengalir ke pembuluh
darah yang sehat dan meningkatkan penyembuhan ulku

Referensi
http://www.kalbemed.com/Portals/6/09_224Gangguan%20Vena%20Menahun.pdf
http://docshare01.docshare.tips/files/31513/315135220.pdf

2) DVT
Deep Vein Thrombosis (DVT)

I. Etiologi
Terdapa 3 faktor terbentuknya thrombo emboli, yaitu kelainan dinding
pembuluh darah, perubah analiran darah, dan perubahan daya beku darah.
Selain faktor stimuli, terdapat factor protektif, yaitu inhibitor factor koagulasi
yang telah aktif, eliminasi factor koagulasi aktif, dan kompleks polimer fibrin
oleh fagosit mononuclear dan hepar, serta enzim fibrinolysis.
II. Patofisiologi
Trombosis vena biasanya terdiri dari fibrin, sel darah merah, dan beberapa
komponen trombosit dan leukosit. Terdapat tiga hal yang berperan dalam
proses terjadinya thrombosis (Virchow’s Triad):
1. Statis Vena
Aliran darah vena cenderung lambat, bahkan dapat mengalami stasis
terutama di daerah yang mengalami imobilisasi cukup lama. Stasis vena
merupakan factor predisposisi terjadinya thrombosis local karena dapat
mengganggu mekanisme pembersihan aktivitas factor pembekuan darah
sehingga memudahkan terbentuknya trombosis.
2. Kerusakan pembuluh darah
Kerusakan pembuluh darah dapat berperan dalam proses pembentukan
thrombosis vena melalui : 1) trauma langsung yang mengakibatkan factor
pembekuan dan 2) aktivasi sel endotel oleh sitokin yang dilepaskan sebagai
akibat kerusakan jaringan dan proses peradangan
3. Perubahan daya beku darah
Dalam keadaan normal, terdapat keseimbangan system pembekuan darah
dan system fibrinolisis. Kecendrungan thrombosis terjadi apabila aktivitas
pembekuan darah meningkat atau aktivitas fibrinolisis menurun.
III. Manifestasi klinis

Manifestasi klinis DVT tidak selalu jelas dan sama seperti pada semua
orang. Keluhan utama pasien DVT adalah tungkai bengkak dan nyeri.
Intensitas nyeri tidak bergantung besar dan luas thrombosis. Trombosis vena
di daerah betis menimbulkan nyeri di daerah tersebut dan bias menjalar
kebagian medial dan anterior paha. Nyeri akan berkurang jika penderita
berbaring, terutama jika posisi tungkai ditinggikan.
Pembengkakan pada kaki disebabkan oleh sumbatan vena proksimal
dan peradangan jaringan perivaskuler. Apabila ditimbulkan oleh sumbatan,
maka lokasi bengkak adalah di bawah sumbatan dan tidak nyeri, sedangkan
apabila disebabkan oleh peradangan perivaskuler, bengkak timbul di daerah
thrombosis dan biasanya disertai nyeri. Pembengkakan bertambah jika
berjalan dan berkurang jika istirahat dengan posisi kaki agak ditinggikan.
IV. Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang sangat penting
dalam pendekatan pasien dengan dugaan trombosis. Riwayat penyakit
sebelumnya merupakan hal yang penting karena dapat diketahui factor risiko
dan riwayat thrombosis sebelumnya. Adanya riwayat thrombosis pada
keluarga juga merupakan hal penting. Diagnosis DVT tidak cukup hanya
berdasarkan gejala klinis karena tidak spesifik ataupun sensitif. Kombinasi
Well’s rule dengan hasil tesnon-invasif diharapkan dapat meningkatkan
ketepatan diagnosis, sehingga dapat mengurangi kebutuhan investigasi lebih
lanjut. Skor 0 atau kurang, menandakan kemungkinan DVT rendah, skor 1
atau 2 menandakan kemungkinan DVT sedang, danskor 3 atau lebih
menandakan kemungkinan DVT tinggi.
Gambar 1. Well’s Rule sebagai tes awal untuk diagnosis DVT

Pemeriksaan laboratorium mendapatkan peningkatan kadar D-dimer dan


penurunan antitrombin (AT). D-dimer adalah produk degradasi fibrin.
Pemeriksaan D-dimer dapat dilakukan dengan ELISA atau latexagglutination
assay. D-dimer <0,5 mg/mL dapat menyingkirkan diagnosis DVT.
Pemeriksaan ini sensitive tetapi tidak spesifik, sehingga hasil negative sangat
berguna untuk eksklusi DVT, sedangkan nilai positif tidak spesifik untuk
DVT, sehingga tidak dapat dipakai sebagai tes tunggal untuk diagnosis.
Pemeriksaan radiologis pentingu ntuk mendiagnosis DVT. Beberapa jenis
pemeriksaan radiologis yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis
DVT, yaitu:
1. Venografi.
Disebut juga sebagai plebografi, ascending contrast phlebography atau
contrast venography. Prinsip pemeriksaannya adalah menyuntikkan zat
kontras kedalam sistem vena, akan terlihat gambaran sistem vena di betis,
paha, inguinal sampai ke proksimal vena iliaca. Venografi dapat
mengidentifikasi lokasi, penyebaran, dan tingkat keparahan bekuan darah
serta menilai kondisi vena dalam. Venografi digunakan pada kecurigaan
kasus DVT yang gagal diidentifikasi menggunakan pemeriksaan non-invasif.
Venografi adalah pemeriksaan paling akurat untuk mendiagnosis DVT.
Sensitivitas dans pesifisitasnya mendekati 100%,sehingga menjadi gold
standard diagnosis DVT. Namun, jarang digunakan karena invasif,
menyakitkan, mahal, paparan radiasi, dan risiko berbagai komplikasi.
2. Flestimografi Impedans
Prinsip pemeriksaan ini adalah memantau perubahan volume darah
tungkai. Pemeriksaan ini lebih sensitive untuk trombosis vena femoralis dan
iliaca dibandingkan vena di daerah betis.
3. Ultrasonografi (USG) Doppler
Saat ini USG sering dipakai untuk mendiagnosis DVT karena non-invasif.
USG memiliki tingkat sensitivitas 97% dan spesifisitas 96% pada pasien yang
dicurigai menderita DVT simptomatis dan terletak di daerah proksimal.
V. Tatalaksana
1. Non-Farmakologis
Penatalaksanaan non-farmakologis terutama ditujukan untuk mengurangi
morbiditas pada serangan akut serta mengurangi insidens post thrombosis
syndrome yang biasanya ditandai dengan nyeri, kaku, edema, parestesi,
eritema, dan edema. Untuk mengurangi keluhan dan gejala trombosis vena
pasien dianjurkan untuk istirahat di tempat tidur (bedrest), meninggikan
posisi kaki, dan dipasang compression stocking dengan tekanan kira-kira 40
mmHg.
2. Farmakologis
a. Unfractioned Heparin
Terapi unfractionated heparin berdasarkan berat badan dan dosisnya
dititrasi berdasarkan nilai Activated Partial Thromboplastin Time (APTT).
Nilai APTT yang diinginkanadalah 1,5-2,5 kontrol. Mekanisme kerja utama
heparin adalah: 1). Meningkatkan kerja antitrombin III sebagai inhibitor
factor pembekuan, dan 2). melepaskan tissue factor pathway inhibitor
(TFPI) dari dinding pembuluh darah. Diberikan dengan cara bolus 80
IU/kgBB intravena dilanjutkan dengan infus 18 IU/kgBB/jam. APTT, masa
protrombin (protrombin time /PT) dan jumlah trombosit harus diperiksa
sebelum memulai terapi heparin, terutama pada pasien berusia lebih dari 65
tahun, riwayat operasi sebelumnya, kondisi-kondisi seperti peptic ulcer
disease, penyakit hepar, kanker, dan risiko tinggi perdarahan (bleeding
tendency).
b. Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
Low-Molecular-Weight Heparin (LMWH) Dibandingkan dengan
unfractionated heparin, LMWH lebih menguntungkan karena waktu paruh
biologis lebih panjang, dapat diberikan subkutan satu atau dua kali sehari,
dosisnya pasti dan tidak memerlukan pemantauan laboratorium. Pada pasien
DVT, heparin subkutan tidak kurang efektif dibandingkan unfractionated
heparin infus kontinyu. 3,10 Seperti halnya unfractionated heparin, LMWH
dikombinasi dengan warfarin selama empat sampai lima hari, dihentikan
jika kadar INR mencapai 2 atau lebih. Enoxaparin disetujui oleh FDA (U.S.
Food and Drug Administration) untuk pengobatan DVT dengandosis 1
mg/kg dua kali sehari atau 1,5 mg/kg sekali sehari. Dalteparin disetujui
hanya untuk pencegahan DVT. Pada penelitian klinis, dalteparin diberikan
dengan dosis 200 IU/kgBB/hari (dosis tunggal atau dosis terbagi dua kali
sehari). FDA telah menyetujui penggunaan tinzaparin dengan dosis 175
IU/kg/hari untuk terapi DVT. Pilihan lain adalah fondaparinux.
Fondaparinux adalah pentasakarida sintetik yang bekerja menghambat
factor Xa dan trombin. Diberikan subkutan, bioavailabilitasnya 100%,
dengan konsentrasi plasma puncak 1,7 jam setelah pemberian. Dapat
digunakan sebagai profilaksis dan terapi kondisi akut dengan dosis 5 mg
(BB <50 kg), 7,5 mg (BB 50-100kg), atau 10 mg (BB >100 kg) subkutan,
sekali sehari.
Efek samping trombositopeni dan osteoporosis LMWH lebih jarang
disbanding pada penggunaan UFH. Kontra indikasi terapi antikoagulan
antara lain kelainan darah, riwayat stroke perdarahan, metastasis ke central
nervous system (CNS), kehamilan, peripartum, operasi abdomen atau
ortopedi dalam tujuh hari dan perdarahan gastrointestinal. LMWH
diekskresikan melalui ginjal, pada penderita gangguan fungsi ginjal,
dosisnya harus disesuaikan atau digantikan oleh UFH.
c. Warfarin
Warfarin adalah obat pilihan untuk antikoagulasi akut. Pemberian
warfarin segera setelah diagnosis DVT ditegakkan, namun kerjanya
memerlukan satu minggu atau lebih. Oleh karena itu, LMWH diberikan
bersamaan sebagai terapi penghubung hingga warfarin mencapai dosis
terapeutiknya. Untuk pasien yang mempunyai kontra indikasi enoxaparin
(contohnya: gagal ginjal), heparin intravena dapat digunakan sebagai
tindakan pertama. Tindakan ini memerlukan perawatan di rumah sakit.
Dosis standar warfarin 5 mg/ hari, dosis disesuaikan setiap tiga
sampai tujuh hari untuk mendapatkan nilai INR antara 2,0-3,0. INR
diusahakan antara 1,5-2,0, meskipun masih menjadi pertentangan. Pada
sebuah penelitian, INR lebih dari 1,9 didapat rata-rata 1,4 hari setelah dosis
10 mg. Dosis warfarin dipantau dengan waktu protrombin atau INR. Untuk
DVT tanpa komplikasi, terapi warfarin direkomendasikan tiga sampai enam
bulan.
Kontra indikasi terapi warfarin, antara lain perdarahan di otak,
trauma, dan operasi yang dilakukan baru-baru ini. Pada pasien dengan factor
risiko molekuler diturunkan seperti defisiensi antitrombin III, protein C atau
S, activated protein C resistance, atau dengan lupus antikoagulan/antibody
antikardiolipin, antikoagulan oral dapat diberikan lebih lama, bahkan
seumur hidup. Pemberian antikoagulan seumur hidup juga diindikasikan
pada pasien yang mengalami lebih dari dua kali episode trombosis vena atau
satu kali thrombosis pada kanker aktif.

10. Sebutkan dan jelaskan penatalaksanaan awal yang diberikan kepada


pasien?
Antikoagulan merupakan preparat terpilih utama untuk pencegahan dan
purgobatan DVT dan PE, dengan prinsip eliminasi trombus. Selain itu dapat juga
dilakukan evakuasi melalui pembedahan.
Preparat yang digunakan umumnya adalah heparin dan warfarin untuk
trombusnya dan masih lagi dikombinasikan dengan preparat yang mempengaruhi
dinding vena, berupa pelebaran dan pengaruh terhadap fungsi dan struktur kapiler
untuk perbaikan permeabilitas.

 HEPARIN
a. Unfractionated Heparin (IJH)
UH pertama kali diisolasi tahun 1922 dan sudah digunakan secara klinis
bertahun-tahun. Preparat ini memiliki struktur kimia glikosaminoglikan dengan
rantai residu D-glukosamin dan asam iduronat. Berat molekul berkisar antara
5000- 30.000 Da dengan rata-rata 2 000 Da.
UH diberikan secara intravena. Pada DVT apabila pemberian UH gagal
menghasilkan kadar terapeutik aPTT (activated Partial Thromboplastin Tine)
dalam 24 jam biasanya menyebabkan rekurensi sampai 2025%.
Keberhasilan terapi dapat dicapai apabila pemberian UH ini mengikuti
protokol standar pengobatan. Efek samping yang sering dijumpai berupa
perdarahan dan trombositopenia yang diinduksi oleh heparin (HIT). Literatur
terakhir juga menyebutkan timbulnya thrombosis akibat penggunaan heparin.
b. Low Molecular WeightHeparin (LMWH)
Preparat ini sudah digunakan di Amerika Serikat untuk tromboembolisme
vena dan sindrom coroner akut. Pembuatannya berasal dari heparin yang
dipecahm dengan metode kimiawi organic atau heparinase.
Berat molekulnya berkisar 4000- 6500Da denganefek samping perdarahandan
HIT yang lebih kecil dibandingkan UH. Pemberiannya melalui suntikan subkutan
1 atau2 kali sehari. Preparat yang digunakan antara lain : enoxaparin. Delteparin,
tinzaparrn, ardeparin, nadroparin, reviparin dan danaparoid.
Ada dua preparat yang beredar di Indonesia yaitu : enoxaparin dengan dosis
1mg/kg dua kali sehari dan nadroparin dosis dua kali sehari yang disesuaikan
dengan berat badan sebagai berikut:
 < 50 kg . 4.100 anti-XaU
 50-70 kg: 6.150 anti-XaU,
 70 kg: 9.200 anti_XaU
 ANTIKOAGULAN ORAL
Antikoagulan oral yang digunakan sekarang ini merupakan derivate dari 4
- OH coumarin termasuk di sini adalah sodium warfarir, phenprocoumon dan
acenocoumarol.
a. Sodium warfarin\
Obat ini diserap dengan cepat dan sempurna. Dosis yang dianjurkan 2- l0
mg. Efek samping yang muncul berupa perdarahan dan nekrosis kulit.
b. Anisindione
Umumnya digunakan pada pasien yang tidak dapat menoleransi
penggunaan warfarin. Dosis yang dianjurkan adalah 25- 25O mg/hari.
 BIOFLAVONOID
Bioflavonoid dulu juga dikenal dengan nama Vitamin P yang diduga
bekerja memperbaiki permeabilitas dinding pembuluh darah serta digunakan di
klinik untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi pelebaran pembuluh vena.
Bioflavonoid berasal dari jeruk lemon dan paprika. Bahan ini mulai
dipopulerkan oleh Scent-Gyorgyi pada tahun 1936 berupa substansi citrin, suatu
ekstrak lemon.
Pada awalnya obat ini banyak digunakan untuk banyak indikasi, antara
lain hemophilia, diabetic retinitis, hipertensi, varies vena dan hemoroid, tapi
akhir-akhir ini hanya digunakan untuk penyakit vaskuler perifer saja, termasuk
varises dan hemoroid.
a. Troxerutin
Dikenal juga dengan nama hidroksietilrutosid yang merupakan salah satu
derivate rutin. Obat ini duganakan secara oral dan menghasilkan kadar
puncak dalam dua jam setelah pemberian. Metabolisme di hati dengan jalur
ekskresi melalui urin.
Penelitian memperlihatkan adanya efek farmakodinamik pada dinding
vaskuler dan platelet dengan indikasi klinis untuk penatalaksanaan
insufisiensi vena kronis, ulcerasi tungkai akibat statis pembuluh darah dan
kegagalan fungsi vena pada pemakai kontrasepsi oral serta diabetic retinopati.
Dosis yang digunakan adalah 100- 3.000 mg tiga kali sehari.
b. Diosmin
Merupakan suatu resin buchu yang disebut juga dengan nama barosmin.
Bahan aktif ini berasal dari daun Barosma atau Diosma serratifolia yang
termasuk dalam familia rutaceae. Preparat ini bekerja secara spesisfik pada
system vena dan mikrosirkulasi. Perbaikan mikrosirkulasi ini dihasilkan dari
efeknya terhadap fungsi kapiler serta pengaruh hemoreologik. Preparat ini
terdapat dalam bentuk micronized dengan dosis penggunaanya 450 mg 2-3
kali sehari.
 NON FARMAKOLOGI

Penatalaksanaan nonfarmakologik DVT dan PE dapat dapat berupa


pemakaian stocking atau balutan elastis pada tungkai bawah. Penggunaan
compression bandage atau compression stocking ini bertujuan menyeimbangkan
tekanan intravaskular yang meninggi yang menyebabkan edema dan varises vena.
Pengobatan ini bukan termasuk pengobatan kausal, tapi simtomatik. Umumnya
standar kompresi berkisar antara 14-35 mmHg tergantung pada indikasi klinis.

Referensi : Farmakoterapi Penyakit Vaskuler Perifer. Hartadi, Charlie. H. Liman,


Harro. Hal. 10-11

11. Jelaskan perbedaan sumbatan pada arteri dan vena!


o Atrial thrombosis
Trombosis arteri adalah pembekuan darah di dalam pembuluh darah arteri
terutama sering terbentuk pada sekitar orifisium cabang arteri dan bifurkasio arteri
a. Ada 3 hal yang berpengaruh dalam pembentukan/ timbulnya trombus
ini (trias Virchow) :Kondisi dinding pembuluh darah (endotel)
b. Aliran darah yang melambat/ statis
c. Komponen yang terdapat dalam darah sendiri berupa peningkatan
koagulabilitas
Gejala klinis:
1. Gejala awal biasanya adalah nyeri pada daerah yang bersangkutan, bisa
nyeri hebat apabila daerah yang terkena cukup luas. Pada pasien muda
biasanya kejadiannya lebih akut, rasa nyeri lebi hebat, tetapi justru
prognosisnya lebih baik karena keadaan pembuluh darah relatif lebih baik.
Pada pasien yang lebih tua, dimana sudah terjadi kelainan kronis arteri,
bila timbul trombosis akut biasanya tidak begitu jelas gejalanya dan
nyerinya tidak begitu hebat, pada pasien seperti ini justru prognosisnya
lebih buruk.
2. Mati rasa
3. Kelemahan otot
4. Rasa seperti ditusuk-tusuk.
Bila gejalnya lengkap/ komplit, maka di temukan “5 P”, yaitu :
o - Pain
o - Paleness
o - Paresthesia
o - Paralysis
o - Pulsessness

Sebagai pegangan utama, bila ada pasien dengan keluhan nyeri hebat pada daerah
ekstremitas dan nadi tidak dapat diraba, maka diagnosis trombosis akut arteri ini
harus do tindak lanjuti

o Thrombosis vena
Trombosis vena adalah pembekuandarah di dalam pembuluh darah vena.

Gambran klinis
Thrombosis vena merupakan keadaan darurat yang harus secepat mungkin
didiagnosis dan diobati, karena sering menyebabkan terlepasnya thrombus ke paru
daan jantung. Tanda dan gejala klinisnya yang sering di temukan berupa:
1. Pembengkankan disertai rasa nyeri pada daerah yang bersangkutan,
biasanya pada ekstremitas bawah. Rasa nyeri ini bertambah bila dipakai
berjalan dan tidak berkurang dengan istirahat
2. Kadang nyeri dapat timbul ketika tungkai dikeataskan atau ditekuk
3. Daerah yang terkena berwarna kemerahan dan nyeri tekan
4. Dapat dijumpai demam dan takikardi walaupun tidak selalu

Referensi
Repository.USU.ac.id//trobosis vena dan arteri.pdf

Anda mungkin juga menyukai