Anda di halaman 1dari 10

1.

PNEUMOTORAKS DAN HEMOTORAKS

Pneumotoraks dan hemotoraks dapat terjadi secara terpisah atau berhubungan satu sama

lain. Keduanya terjadi jika udara atau darah masuk kedalam ruang potensial antara pleura

viseral dan parietal serta biasanya disebabkan oleh laserasi paru atau cidera tulang belakang

toraks. Hemotoraks paling sering terjadi akibat laserasi paru atau laserasi arteri mamaria

internal atau interkostal sebagian besar hemotoraks dapat sembuh dengan sendirinya.

Ketika darah atau udara terakumulasi, terjadi tekanan pada paru yang membatasi ruang

ventilasi paru dan akhirnya menimbulkan kolaps paru.

Luka tembus pada dada menyebabkan dada “terbuka”. Trauma tumpul pada dada

dengan luka yang besar atau tusukan (terdorongnya objek ke dalam tubuh sehingga

menyebabkan luka tusuk yang dalam) yang masuk ke rongga dada juga dapat

menyebabkan luka dada terbuka. Dalam kasus pneumotoraks atau hemotoraks terbuka,

udara memasuki (“tersedot” ke dalam) ruang pleura yang disebabkan gradient tekanan

intratoraks terhadap tekanan atmosfer yang menyeimbangkan keduanya. Lubang di

dinding dada yang ukurannya dua pertiga ukuran trakea cukup besar untuk menyebabkan

luka dada yang cenderung.

Kedua situasi ini dapat dengan cepat menimbulkan tekanan pneumotoraks, yakni

organ-organ internal pada dada terdorong ke sisi dada yang sehat sehingga tidak hanya

menyebabkan kolaps paru tetapi juga disfungsi jantung (pergeseran mediastinum dengan

kompresi jantung). Aliran balik vena terganggu mengakibatkan hipotensi, penurunan curah

jantung, dan kolapsnya pembuluh darah. Tekanan pneumotoraks adalah situasi yang

membahayakan jiwa yang harus diidentifikasi dengan cepat. Hal tersebut harus diketahui

dengan pengkajian klinis, namun terkadang tidak terlihat sampai CXR dilakukan. Figur 7-
1 menunjukan tekanan pneumotoraks. Penyebab utama dari tekanan pneumotoraks adalah

ventilasi tekanan positif jika terjadi cedera viseral atau bahkan pneumotoraks kecil.

Pneumotoraks lebih banyak terlihat pada CT heliks yang sensitif. Banyak di

antaranya yang sangat kecil dan mungkin terlihat lebih jelas pada CXR. Dalam beberapa

kasus dokter dapat memilih untuk memantaunya tanpa pemasangan slang torakstomi

langsung (kortbeek dkk, 2008). Pneumotoraks dan hemotoraks juga dapat tidak bergejala

karena ukurannya yang kecil. Pneumotoraks yang terlihat pada CT pasien yang akan masuk

ke kamar operasi atau yang mengalami ventilasi tekanan positif membutuhkan pengobatan

untuk mencagah terjadinya tekanan pneumotoraks.

a. Tanda dan Gejala

Pneumotoraks-pneumotoraks terbuka :

1. Hipoksia

2. Pernapasan berat, dispnea, takipnea

3. Bunyi napas berkurang atau tidak ada pada sisi cedera

4. Ekspansi dada asimetris

5. Hiperesonansi pada perkusi

6. Gelisah, takikardi, nyeri, tidak nyaman

7. Pneumotoraks terbuka-luka dada “cekung” jelas terlihat

8. Emfisema subkutan (krepitus)

9. Sianosis (tanda akhir)

Hematoraks :

1. Hipoksia, sianosis

2. Pernapasan berat, dispnea, takipnea


3. Bunyi napas berkurang atau tidak ada pada sisi cedera

4. Ekspansi dada asimetris

5. Bunyi tumpul pada perkusi

6. Dapat memerlukan 200-300 ml darah sebelum terlihat jelas pada CXR

b. Management

Management pneumotoraks dan hemotoraks dilakukan selama survei utama resusitasi.

Keduanya muncul belakangan. Peningkatan kewaspadaan hal ini harus dilakukan

selama perawatan awal pasien. Selain itu, pneumotoraks dapat berkembang menjadi

tekanan pneumotoraks, terutama dengan ketinggian dan ventilasi tekanan positif.

Transfortasi pasien melalui udara dapat mengakibatkan komplikasi sekalipun jika slang

dada sudah dipasang. Penyedia layanan tidak boleh terlena hanya karena slang dada

telah dipasang. Bahkan dengan komfirmasi CXR penempatan, slang dada dapat

bergeser atau tersumbat. Ketekunan merupakan hal yang penting.

1) Luka dada cekung terbuka :

a) Stabilkan objek yang menusuk; jangan diangkat

b) Tutup segera dengan balut oklusif yang diplester di tiga sisi

c) Balutan tersebut bertindak sebagai katup yang memungkinkan udara keluar

selama ekshalasi namun udara tidak masuk selama inhalasi

d) Pasien membutuhkan pemasangan slang dada dengan segera

e) Defek pada dinding dada biasanya ditutup

f) Cedera tembus interior dan medial sehingga putting susu atau posterior dan

medical hingga scapula dapat melibatkan mediastinum dan memerlukan


evaluasi untuk adanya cedera pembuluh darah besar atau cedera trskeobronkial

selain menangani pneumotoraks dan hemotoraks

g) Cedera tembus pada dada bagian bawah dapat melibatkan abdomen dan

diafragma.

2) Torakostomi jarum

a) Jarum berdiameter besar 14 sampai 16-g di pasang pada garis midklavikula, di

atas iga ketiga ke dalam ruang interkostal kedua; kateter dipasang di tempat ini

b) Dapat digunakan perawatan sebelum rumah sakit untuk mengurangi tekanan

pneumotoraks

c) Penempatan jarum tersebut membutuhkan pemasangan slang dada karena

kateter sekarang dapat bertindak sebagai luka dada terbuka

d) Setelah pengurangan tekanan pneumotoraks :

 Tanda-tanda vital akan kembali normal jika penyebab lain dari tanda-tanda

vital yang abnormal juga telah di atasi

 Adanya hembusan udara mengonfirmasikan diagnosis tekanan

3) Torakostomi slang

a) Untuk mengurangi pneumotoraks dan hemotoraks,slang dada dipasang di ruang

interkostal keempat dan kelima tepat dibagian anterior garis midaksila

 Jika pasien mendapat ventilasi, jangan membiarkan ventilasi bertekanan

positif sampai slang dada terpasang untuk mencegah tekanan pneumotoraks

b) Slang dada harus berukuran 32 sampai 40 Fr untuk memungkinkan udara dan

darah keluar tanpa halangan


c) Hubungkan slang ke perangkat drainase yang menyediakan lingkungan kedap

udara untuk mencegah “asupan” udara ke dada

 Slang diplester memanjang agar tidak terpisah

 Biasanya kemudian dilekatkan pada suction 20 cm yang menempel

didinding untuk memberikan tekanan negatif dan menjaga paru-paru untuk

mengembang

 Pengisapan dapat dilepaskan selama transfortasi tetapi harus dipasang

kembali saat tiba untuk CT atau di tempat tujuan definitif

 Antibiotic peri-insersi belum terbukti menurunkan resiko empiema atau

pneumonia (Maxwell dkk, 2004; Luchette dkk, 2000)

d) Pengkajian setelah pemasangan

 CXR diperlukan untuk konfirmasi penempatan

 Kaji kembali bunyi napas pada saat inflasi, serta adanya gerakan dada

naik/turun yang simetris

 Periksa kembali tanda-tanda vital untuk stabilisasi

 Periksa fluktuasi dalam ruang, jenis keluaran, kebocoran udara

 Memantau volume keluaran-keluaran awal 1.500 ml padaa saat

pemasangan atau 200 ml/jam selama 2 sampai 4 jam kemungkinan akan

membutuhksn pembedahan untuk mengidentifikasi penyebabnya (ATLS,

2004)

 Hemotoraks juga dapat memerlukan terapi penggantian darah

e) Periksa tempat insersi untuk memastikan bahwa semua lubang berada di dalam

dada dan tidak terekspos


f) Bersihkan tempat insersi dan balutan dengan kasa Vaseline untuk ganti balutan

oklusif setiap hari

g) Untuk hemotoraks yang besar, perangkat autotransfusi mungkin perlu

dihubungkan dengan slang dada.

h) Slang dada tetap terpasang sampai paru-paru tetap mengembang ketika hanya

ditempatkan pada waterseal

 Evaluasi CXR pada waterseal

 Jangan pernah menjepit slang dada karena dapat mengakibatkan tekanan

pneumotoraks.

i) Pelepasan slang torakostomi

 Pasang balutan oklusif pada saat pelepasan slang dengan kasa Vaseline di

bagian tengah bekas pemasangan slang

 Evaluasi CXR setelah pelepasan slang

 Jika pneumotoraks kecil tetap terjadi, percobaan pemberian oksigen 100%

dapat membantu penyerapan kembali semua pneumotoraks kecil melalui

peningkatan gradient nitrogen

 Jika terdapat pneumotoraks besar setelah slang dilepas, ada kemungkinan

bahwa slang tersebut perlu dipasang kembali

4) Manajemen nonbedah

a) Untuk pneumotoraks yang ditangani dengan observasi, pemantauan bunyi paru

dan tanda-tanda vital secara sering merupakan hal yang sangat penting

b) Adanya tanda-tanda gangguan pernapasan membutuhkan dilakukannya hal

berikut :
 Pengkajian yang segera terhadap tanda-tanda vital bunyi napas

 CXR untuk mengidentifikasi apakah pneumotoraks telah meningkat

ukurannya

2. KONTUSIO PARU

Seperti organ atau bagian tubuh lainnya, paru-paru dapat memar setelah benturan. Kontusio

paru dapat berkisar dari ringan sampai parah yang melibatkan satu atau kedua paru-paru,

satu atau lebih lobus paru-paru. Seperti halnya dengan kontusio lain di dalam tubuh, pada

kontusio paru juga terjadi akumulasi edema di sekitar wilayah memar dalam jaringan

interstisial dan alveoli. Cedera yang paling sering berkaitan dengan kontusio paru adalah

gerakan paradoksal dinding dada. Transfer energi yang menyebabkan bagian rusak dengan

gerakan paradoksal tersebut bersifat signifikan, sehingga mencederai iga dan paru-paru.

Cedera ledakan juga menyebabkan kontusio paru dapat berbahaya.

a. Tanda dan Gejala Kontusio paru

1. Dispnea

2. Batuk tidak efektif, hemoptysis

3. Hipoksia, PO2 < 65 mmHg, saturasi < 90% pada udara ruangan

4. Memar pada dada

5. Nyeri

6. Peningkatan resistensi vascular paru (pulmonary vascular resistance [PVRI]),

penurunan komplians

7. Konsolidasi dengan CXR dalam waktu 24 hingga 48 jam setelah cedera.


b. Manajemen

Kontusio paru membutuhkan pemeriksaan dan kemudian identifikasi dampak dari

kontusio tersebut. Beberapa kontusio bersifat ringan dan tidak memerlukan manajemen

apapun selain kebersihan. Beberapa kontusio paru yang ringan akan sembuh dalam

waktu 48 sampai 72 jam (McQuillan dkk., 2009). Tujuannya adalah perfusi jaringan

yang adekuat. Kontusio paru yang parah dapat menyebabkan kegagalan pernapasan

dan sindrom distress pernapasan akut (acute respiratory distress syndrome [ARDS]).

1) Keberhasilan pulmonal

a) Spirometri insentif (SI)

b) Fisioterapi dada (FT dada)

c) Pemberian posisi dan ambulasi dini

d) Tujuannya adalah untuk menghindari kegagalan pernapasan dan intubasi jika

mungkin (Simon dkk., 2006)

e) Terapi kinetic dengan rotasi yang terus menerus terutama jika perubahan posisi

sulit dilakukan karena cedera lainnya

f) Jika memungkinkan, posisi telungkup efektif dalam pemulihan paru-paru

2) Oksigenasi dan ventilasi

a) Oksigen tambahan

b) Gunakan ventilasi tekanan jalan napas positif yang kontinu (continuous positive

airway pressure [CPAP]) sebagai alternative intubasi jika ditoleransi oleh

pasien
c) Intubasi dengan ventilasi mekanis jika jalan napas tidak dapat dipertahankan,

ancaman hipoksia (seperti diatas), perubahan tingkat kesadaran, imobilisasi

karena cedera lain

d) Gunakan tekanan ekspirasi akhir positif (positive end exspiratory preassure

[PEEP]) dan sapih sedini mungkin

e) Ventilasi paru mandiri mungkin berguna jika terdapat kontusio paru unilateral

yang parah apabila ventilasi konvensional tidak mengembalikan shunt (Simon

dkk., 2006)

f) Pada kontusio paru yang parah, ventilasi frekuensi tinggi osilasi adalah

pelindungan paru dengan memberikan volume tidal yang lebih rendah (Funk

dkk., 2008). Gunakan jika terjadi hal berikut :

 Tekanan jalan napas rata-rata > 30 cm H2O

 FiO2 > 60%

g) Alat ventilator lainnya yang berguna dalam menangani kontusio paru meliputi

ventilasi control tekanan dengan rasio inspirasi : (i : e) terbalik

h) Hindari penghambatan neuromaskular jika mungkin selama ventilasi karena

adanya kelemahan pascaparalitik jangka panjang yang terjadi ketika obat

tersebut dihentikan. Pasien akan membutuhkan kekuatan untuk menjaga

kebersihan pulmonal setelak ekstubasi

3) Berikan resusitasi awal yang diperlukan tetapi hindari pemberian cairan yang tidak

perlu

a) Kateter arteri-pulmonal (swan-Ganz) dapat berguna dalam menentukan status

cairan
b) Hindari edema paru dan pertahankan euvolemia

c) Diuretik dapat digunakan jika terjadi peningkatan tekanan baji kapiler pulmonal

(pulmonary capillary wedge pressure [PCWP]) dengan stabilitas hemodinamik

atau gagal jantung kongestif (GJK)

d) Jangan berikan steroid; manfaatnya hanya bersifat anekdot

4) Analgesik

a) Atasi nyeri yang berhubungan dengan segmen dengan gerakan paradoksal

dinding dada

b) Hindari sedasi berlebihan

 Hindari intubasi jika mungkin

 Ekstubasi dini

Anda mungkin juga menyukai