Investigasi Outbreak
Investigasi Outbreak
DEFINISI
2
Gambar 6.1 Timbulnya epidemi penyakit
dengan berlangsungnya waktu
(Sumber: Greenberg et al., 2005)
3
Angeles ditemukan di kalangan pria homoseksual sejumlah kasus (disebut
“cluster”) radang paru langka, yaitu “pneumonia pneumocystis carinii” (kini
pneumocystis jiroveci pneumonia). Meski hanya menyang- kut segelintir
kasus (rare events), peristiwa itu merupakan peristiwa luar biasa (extra-
ordinary events) yang dapat disebut epidemi, karena belum pernah dijumpai
sebelumnya. Penyakit itu lalu dikenal sebagai AIDS (Acquired Immuno-
Deficiency Syndrome). Outbreak terjadi jika terdapat ketidakseimbangan antara
penjamu, agen, dan lingkungan:
(1) Keberadaan patogen (agen yang menimbulkan penyakit) dalam
jumlah cukup untuk menjangkiti sejumlah individu
(2) Terdapat modus transmisi patogen yang cocok kepada individu-
individu rentan
(3) Terdapat jumlah yang cukup individu-individu rentan yang terpapar
oleh patogen (Greenberg et al., 2005).
4
mencegah penyakit).
LANGKAH-LANGKAH
INVESTIGASI
OUTBREAK
5
outbreak telah memberikan fakta yang jelas mendukung hipotesis tentang kausa
outbreak, sumber agen infeksi, dan cara transmisi yang menyebabkan outbreak,
maka upaya pengendalian dapat segera dimulai tanpa perlu menunggu
pengujian hipotesis oleh studi analitik yang lebih formal.
6
1. Identifikasi outbreak
7
terjadi outbreak E. coli.
60
50
40
Jumlah kasus
30
20
10
0
J J A S O N D J F M A M J
2006 2007
Bulan dan tahun
Gambar 6.2 Outbreak kasus Escherichia coli O157:H7
8
(Last, 2001).
9
Perhatian, kenaikan jumlah kasus saja belum tentu mengisyaratkan
outbreak. Terdapat sejumlah faktor yang bisa menyebabkan jumlah kasus
“tampak” meningkat: (1) Variasi musim (misalnya, diare meningkat pada musim
kemarau ketika air bersih langka) (2) Perubahan dalam pelaporan kasus; (3)
Perubahan definisi kasus (makin inklusif, makin banyak jumlah kasus); (4)
Perba- ikan dalam prosedur diagnostik (makin sensitif, makin banyak jumlah
kasus); (5) Kesalahan diagnosis (misalnya, kesalahan hasil pemeriksaan
laboratorium); (6) Peningkatan kesadaran petugas kesehatan (meningkatkan
intensitas pelaporan); (7) Media yang memberikan informasi bias dari sumber
yang tidak benar (menimbulkan “false alert”).
Terjadinya outbreak dan teridentifikasinya sumber dan kausa
outbreak perlu ditanggapi dengan tepat. Jika terjadi kenaikan signifikan jumlah
kasus sehingga disebut outbreak, maka pihak dinas kesehatan yang
berwewenang harus membuat keputusan apakah akan melakukan investigasi
outbreak. Sejumlah faktor mempengaruhi dilakukan atau tidaknya
investigasi outbreak: (1) Keparahan penyakit; (2) Potensi untuk menyebar;
(3) Pertimbangan politis; (4) Perhatian dan tekanan dari masyarakat; (5)
Ketersediaan sumber daya. Beberapa penyakit menimbulkan manifes- tasi klinis
ringan dan akan berhenti dengan sendirinya (self-limiting diseases), misalnya flu
biasa. Implikasinya, tidak perlu dilakukan investigasi outbreak maupun
tindakan spesifik terhadap outbreak, kecuali kewaspadaan. Tetapi outbreak
lainnya akan terus berlangsung jika tidak ditanggapi dengan langkah
pengendalian yang tepat. Sejumlah penyakit lain menunjukkan virulensi tinggi,
mengakibatkan manifestasi klinis berat dan fatal, misalnya flu burung.
Implikasinya, sistem kesehatan perlu melakukan investigasi outbreak dan
mengambil langkah-langkah segera dan tepat untuk mencegah penyebaran lebih
lanjut penyakit itu.
2. Investigasi kasus
10
mendefinisikan kasus dengan menggunakan seperangkat kriteria sebagai
berikut: (1) Kriteria klinis (gejala, tanda, onset); (2) Kriteria epidemiologis
(karakteris- tik orang yang terkena, tempat dan waktu terjadinya outbreak);
(3) Kriteria laboratorium (hasil kultur dan waktu pemeriksaan) (Bres, 1986).
Definisi kasus harus valid (benar), baku, dan sebaiknya seragam.
Definisi kasus yang baku dan seragam penting untuk memastikan bahwa setiap
kasus didiagnosis dengan cara yang sama, konsisten, tidak tergantung pada
siapa yang mengidentifikasi kasus, maupun di mana dan kapan kasus tersebut
terjadi. Definisi kasus yang baku memungkinkan dilakukannya perbandingan
jumlah kasus penyakit yang terjadi di suatu waktu atau tempat dengan jumlah
kasus yang terjadi di waktu atau tempat lainnya. Sebagai contoh, dengan definsi
kasus baku dapat dibandingkan jumlah kasus Demam Berdarah Dengue (DBD)
yang terjadi pada Januari 2010 di Surakarta dengan jumlah kasus pada Februari
2010 di kota itu. Demikian pula dapat dibandingkan jumlah kasus DBD yang
terjadi pada Januari 2010 di Surakarta dengan jumlah kasus pada Januari 2010 di
Jakarta. Dengan definisi kasus standar, maka jika ditemukan perbedaan jumlah
kasus maka merupakan perbedaan yang sesungguhnya, bukan karena
perbedaan dalam mendiagnosis (CDC, 2010a). Penggunaan definisi kasus
seperti yang direkomendasikan Standar Surveilans WHO memungkinkan
pertukaran informasi tentang kejadian penyakit-penyakit secara internasional.
Dengan menggunakan definisi kasus, maka individu yang diduga
mengalami penyakit akan dimasukkan dalam salah satu klasifikasi kasus.
Berdasarkan tingkat ketidakpastian diagnosis, kasus dapat diklasifikasikan
menjadi: (1) kasus suspek (suspected case, syndromic case), (2) kasus mungkin
(probable case, presumptive case), dan (3) kasus pasti (confirmed case, definite
case). Tabel 6.2 menyajikan klasifikasi kasus menurut kriteria pemeriksaan
klinis, epidemiologis, dan laboratoris.
11
Tabel 6.2 Klasifikasi kasus menurut kriteria pemeriksaan
klinis, epidemiologis, dan laboratoris
Klasifikasi kasus Kriteria
Kasus suspek Tanda dan gejala klinis cocok dengan
(suspected case, penyakit, terdapat bukti epidemiologi, tetapi
syndromis case) tidak terdapat bukti laboratorium yang
menunjukkan tengah atau telah terjadi infeksi
Kasus mungkin (bukti laboratorium negatif, tidak ada, atau
(probable case, belum ada)
presumptive case) Tanda dan gejala klinis cocok dengan penyakit,
terdapat bukti epidemiologis, terdapat bukti
Kasus pasti laboratorium yang mengarah tetapi belum pasti,
(confirmed case, yang menunjukkan tengah atau telah terjadi
definite case) infeksi (misalnya, bukti dari sebuah tes serologis
tunggal) Terdapat bukti pasti laboratorium
(serologis, biokimia, bakteriologis, virologis,
parasitologis) bahwa tengah atau telah terjadi
infeksi, dengan atau tanpa kehadiran tanda, gejala
klinis, atau bukti epidemiologis
Sumber: Bres (1986)
Klasifikasi kasus bersifat dinamis, bisa berubah dan direvisi selama investigasi
seiring dengan adanya tambahan informasi baru tentang sumber, modus transmisi, agen
etiologi. Tabel 6.3 menyajikan contoh definisi kasus kolera menurut WHO.
KOLERA
Deskripsi kasus klinis
Pada area tidak terdapat penyakit kolera:
Dehidrasi berat atau kematian karena diare cair akut pada seorang pasien berusia 5
tahun atau lebih
12
Pada area endemis kolera:
Diare cair akut, dengan atau tanpa muntah pada seorang pasien berusia 5 tahun atau
lebih
Pada area epidemi kolera:
Diare cair akut, dengan atau tanpa muntah, pada pasien
Kriteria laboratorium untuk diagnosis:
Isolasi Vibrio cholera O1 atau O139 dari tinja pada pasien dengan diare.
Klasifikasi kasus
Kasus suspek (suspect case): Kasus yang memenuhi definisi kasus klinis
Kasus mungkin (probable case): Tidak berlaku
Kasus pasti (confirmed case): Kasus suspek yang dikonfirmasi dengan hasil tes
laboratorium
Catatan:
Kolera tidak terjadi pada anak balita. Memasukkan semua kasus diare cair akut pada
kelompok usia 2-4 tahun
ke dalam pelaporan akan menurunkan spesifisitas pelaporan (banyak positif palsu).
Untk keperluan manajemen kasus diare cair akut di area epidemi kolera, semua
pasien dengan diare cair akut hendaknya diklasifikasikan sebagai kasus suspek.
Hanya kasus pasti yang harus dilaporkan kepada WHO.
Sumber: WHO, 1999
13
memiliki fasilitas laboratorium mampu mendiagnosis kasus pasti. Tetapi untuk
penyakit tertentu, misalnya kasus infeksi H5N1, hanya rumah sakit tertentu
mampu mendiagnosis kasus pasti..
3.
Invest
igasi
kausa
14
pasien (kasus), dokter, laboratorium, melakukan wawancara dan doku- mentasi
untuk memperoleh informasi berikut: (1) Identitas diri (nama, alamat, nomer
telepon jika ada); (2) Demografis (umur, seks, ras, pekerjaan); (3) Kemungkinan
sumber, paparan, dan kausa; (4) Faktor-faktor risiko; (5) Gejala klinis (verifikasi
berdasarkan definisi kasus, catat tanggal onset gejala untuk membuat kurva
epidemi, catat komplikasi dan kematian akibat penyakit); (6) Pelapor
(berguna untuk mencari informasi tambahan dan laporan balik hasil
investigasi). Pemeriksaan klinis ulang perlu dilakukan terhadap kasus yang
meragukan atau tidak didiagnosis dengan benar (misalnya, karena kesalahan
pemeriksaan laboratorium).
Informasi tentang masing-masing kasus yang diwawancara/ ditemui
dimasukkan dalam “tabel outbreak” (=line listing). Dalam tabel outbreak,
variabel-variabel tentang informasi kasus diletakkan pada kolom, sedang
urutan kasus diletakkan pada baris. Ikhtisar informasi tentang kasus yang dicatat
dalam tabel outbreak berguna untuk merumuskan teori/ hipotesis tentang
sumber, kausa, dan cara penyebaran penyakit.
15
dalam tabel.
16
Kurva epidemi. Langkah kedua, peneliti mendeskripsikan data outbreak
menurut waktu, dengan membuat kurva epidemi. Kurva epidemi adalah
grafik yang menghubungkan tanggal onset atau masa inkubasi penyakit pada
sumbu X dan jumlah kasus penyakit pada sumbu Y. Manfaat kurva epidemi: (1)
Memberikan petunjuk tentang agen infeksi dan masa inkubasi; (2)
Mengisyaratkan besarnya masalah dan perjalanan waktu outbreak; (3)
Menunjukkan pola penyebaran (yakni, sumber bersama, kontinu, atau
propagasi); (4) Menunjukkan posisi populasi berisiko dalam perjalanan waktu
epidemi; (5) Dapat dilakukan stratifikasi menurut tempat (tempat tinggal,
tempat kerja, sekolah), atau karakteristik individu (umur, gender, ras, dan
sebagainya), sehingga memungkinkan peneliti untuk mempelajari variasi onset
menurut tempat dan karakteristik orang; (6) Membantu peneliti dalam
melakukan monitoring dan evaluasi; (7) Memberikan petunjuk tambahan
(misalnya, adanya outlier).
Dalam menganalisis sebuah kurva epidemi, faktor-faktor berikut perlu
diperhatikan untuk membantu menafsirkan outbreak: (1) pola keseluruhan
epidemi; (2) periode waktu orang terpapar; (3) keberadaan outlier.
Dengan menggunakan kurva epidemi dapat dilihat pola penyebaran
patogen, sehingga dapat dibedakan 3 jenis utama outbreak: (1) Common-source
outbreak (point-source outbreak), (2) Conti- nual-source outbreak, dan (3)
Propagated (person-to-person, progressive) outbreak. Gambar 6.3 menyajikan
kurva epidemi sebuah common-source outbreak, ditandai oleh peningkatan
jumlah kasus dengan tajam, lalu menurun perlahan-lahan.
Jumlah kasus
17
Gambar 6.3 Common-
source outbreak
18
P
e Puncak
Kasus
n
i
n
g
k
a
t
a
n
t
a
j
a
m
Waktu
onset
19
Gambar 6.4 Kasus penyakit gastro-intestinal
karena makanan menurut waktu onset
(dimulainya gejala klinis)
Tanggal onset
Gambar 6.5 Continual-source outbreak
20
durasi outbreak terjadi selama lebih dari sebulan.
Sumber
outbreak
disingkirkan
tanggal
8
Kasus
Septem
ber
Oktober
Tanggal onset
21
Propagated (person-to-person, progressive) outbreak terjadi jika sebuah kasus
penyakit berperan sebagai sumber infeksi bagi kasus-kasus berikutnya, dan kasus-kasus
berikutnya berperan sebagai sumber infeksi bagi kasus berikutnya lagi, bisa terjadi pada
berbagai tempat. Gambar 6.7 menyajikan kurva epidemi person-to-person outbreak.
Bentuk kurva terdiri dari sejumlah puncak, dipisahkan oleh masa inkubasi,
mencerminkan jumlah kasus yang meningkat melalui kontak orang ke orang, hingga
tidak terdapat lagi orang yang rentan atau dimulainya upaya pengendalian.
.
Jumlah kasus
Kasus
Tanggal onset
Gambar 6.7 Propagation (person-to-person)
outbreak
(Sumber: Giesecke,
Gambar 6.8 menyajikan contoh infeksi campak yang mengakibatkan propagated
2002)
outbreak dengan penularan dari anak ke anak. Gambar 8 menunjukkan sebuah kasus
indeks disusul sejumlah kasus yang meningkat secara eksponensial (deret ukur).
Campak terjadi karena kontak orang ke orang, dengan masa inkubasi rata-rata 10 hari (7-
18 hari).
Be
ber
apa
pun
22
cak
K
a
s
u
s
i
n
d
e
k
s
Tanggal
onset
23
patogen untuk melakukan replikasi dan mencapai “critical mass” klinis penyakit (“ciritcal
mass’ adalah koleksi patogen dalam jumlah yang cukup banyak untuk dapat menimbulkan
manifestasi klinis penyakit; makin pendek waktu menuju “critical mass”, makin pendek
masa inkubasi); (2) Tempat dalam tubuh bagi patogen untuk mereplikasi (patogen masuk
ke dalam tubuh melalui “portal of entry” dan masuk ke dalam sel melalui “cell entry”;
makin mudah mencari tempat replikasi, makin pendek masa inku- basi); (3) “Dosis”
patogen (agen infeksi) yang diterima saat infeksi (makin besar dosis patogen, makin
pendek masa inkubasi). Gambar 6.9 dengan jelas memberikan informasi tentang sumber
outbreak. Pertama, penyakit yang menyebabkan outbreak memiliki sumber yang
sama (common-source
24
outbreak). Masa inkubasi, yaitu saat pertama kali terpapar oleh patogen yang
berasal dari suatu sumber patogen hingga dimulai tanda dan gejala klinis,
berkisar antara 14 hingga 21 hari, dengan rata-rata 18 hari. Masa inkubasi
terpendek adalah 14 hari, yaitu waktu sejak pertama kali terpapar oleh sumber
patogen hingga terjadinya kasus primer. Masa inkubasi terpanjang adalah 21
hari, yaitu waktu sejak pertama kali terpapar oleh sumber patogen hingga
terjadinya kasus terakhir. Sedang waktu rata-rata adalah 18 hari, yaitu waktu
sejak pertama kali terpapar sumber patogen hingga puncak kasus.
Maksimum
inkubasi = 21 hari
Puncak
Rata-rata waktu
inkubasi = 18 hari
waktu paparan
Kemungkinan
10
9
8
7
6
Kasus
5
4
3
2
Minimum inkubasi = 14 hari
1
0
1 3 5 7 9 11 13 15
17 19 21 23 25 27 29
H
a
25
r
i
Spot map. Langkah ketiga, peneliti mendeskripsikan karakteristik data epidemi menurut
karakteristik tempat, biasanya dalam bentuk peta lokasi, disebut spot map. Spot map
memberikan informasi tentang luas daerah geografis yang terkena, lokasi kasus, sumber
outbreak, tempat-tempat berisiko. Dengan spot map dapat dideskripsikan kedekatan
(klaster) kasus dengan sumber-sumber yang dapat tercemar oleh patogen/ agen infeksi,
seperti suplai air minum, restauran, dapur umum, tempat penampungan pengungsi, ruang
sekolah, tempat kerja, dan sebagainya.
.
Sungai Kasus
Sapi pasti
Kasus
mungkin
Peternak
an sapi
Sumber
air
minum
S
u
n
g
26
a
i
M
e
r
a
w
u
27
Boyolali (Jawa Tengah). Spot map memeragakan letak klaster diare yang
berdekatan dengan sumber air minum dan kelompok peternakan sapi, sehingga
menimbulkan hipotesis bahwa limbah kotoran dari peternakan sapi telah
mencemari sumber air minum penduduk kecamatan tersebut
4. Melakukan pencegahan
dan pengendalian
Bila investigasi kasus dan kausa telah memberikan fakta di pelupuk mata tentang
kausa, sumber, dan cara transmisi, maka langkah pengendalian hendaknya
segera dilakukan, tidak perlu melakukan studi analitik yang lebih formal.
Prinsipnya, makin cepat respons pengendalian, makin besar peluang
keberhasilan pengendalian. Makin lambat repons pengendalian, makin sulit
upaya pengendalian, makin kecil peluang keberhasilan pengendalian, makin
sedikit kasus baru yang bisa dicegah.
Prinsip intervensi untuk menghentikan outbreak sebagai berikut: (1)
Mengeliminasi sumber patogen; (2) Memblokade proses transmisi; (3)
Mengeliminasi kerentanan (Greenberg et al., 2005; Aragon et al., 2007). Sedang
eliminasi sumber patogen mencakup: (1) Eliminasi atau inaktivasi pato- gen; (2)
Pengendalian dan pengurangan sumber infeksi (source reduction); (3)
Pengurangan kontak antara penjamu rentan dan orang atau binatang terinfeksi
(karantina kontak, isolasi kasus, dan seba- gainya); (4) Perubahan perilaku
28
penjamu dan/ atau sumber (higiene perorangan, memasak daging dengan benar,
dan sebagainya); (5) Pengobatan kasus.
Blokade proses transmisi mencakup: (1) Penggunaan peralatan pelindung
perseorangan (masker, kacamata, jas, sarung tangan, respirator); (2) Disinfeksi/
sinar ultraviolet; (3) Pertukaran udara/ dilusi; (4) Penggunaan filter efektif
untuk menyaring partikulat udara; (5) Pengendalian vektor (penyemprotan
insektisida nyamuk Anopheles, pengasapan nyamuk Aedes aegypti, penggunaan
kelambu berinsektisida, larvasida, dan sebagainya).
Eliminasi kerentanan penjamu (host susceptibility) mencakup: (1)
Vaksinasi; (2) Pengobatan (profilaksis, presumtif); (3) Isolasi orang-orang atau
komunitas tak terpapar (“reverse isolation”); (4) Penjagaan jarak sosial
(meliburkan sekolah, membatasi kumpulan massa).
5. Melakukan studi
analitik (jika perlu)
29
besar kasus telah terjadi, maka peneliti melakukan studi kohor retrospektif untuk
menjawab perta- nyaan tersebut. Data yang dikumpulkan disajikan dalam Tabel
6.4.
30
Tabel 6.4 Mengidentifikasi kausa outbreak, dengan
menghitung Risiko Relatif (RR) hasil dari studi kohor
retrospektif
31
outbreak hendaknya menganalisis kemungkinan modifikasi efek. Sebagai
contoh, jika jenis makanan C berinteraksi dengan jenis makanan E, sehingga
memperkuat pengaruh E terhadap terjadinya gejala klinis penyakit, maka dalam
rangka pencegahan outbreak di masa mendatang, kombinasi kedua jenis
makanan tersebut perlu dihindari untuk mengurangi beratnya gejala klinis kasus.
6.
Mengkomunikas
ikan temuan
32
7. Mengevaluasi dan
meneruskan surveilans
Pada tahap akhir investigasi outbreak, Dinas Kesehatan Kota/ Kabupaten dan
peneliti outbreak perlu melakukan evaluasi kritis untuk mengidentifikasi
berbagai kelemahan program maupun defisiensi infrastruktur dalam sistem
kesehatan. Evaluasi tersebut memungkinkan dilakukannya perubahan-
perubahan yang lebih mendasar untuk memperkuat upaya program, sistem
kesehatan, termasuk surveilans itu sendiri. Investigasi outbreak memungkinkan
identifikasi populasi-populasi yang terabaikan atau terpinggirkan, kegagalan
strategi intervensi, mutasi agen infeksi, ataupun peristiwa- peristiwa yang terjadi
di luar kelaziman dalam program kesehatan. Evaluasi kritis terhadap kejadian
outbreak memberi kesempatan kepada penyelidik untuk mempelajari
kekurangan-kekurangan dalam investigasi outbreak yang telah dilakukan,
dan kelemahan-kelemahan dalam sistem kesehatan, untuk diperbaiki secara
sistematis di masa mendatang, sehingga dapat mencegah terulangnya outbreak.
B
a
b
3
KEDOKTERAN
KOMUNITAS
1
KLINIS
Disiplin sains kedokteran (medical science) bisa dibagi menjadi 3 kategori: (1)
Ilmu-ilmu Biomedis; (2) Kedokteran Klinis; dan (3) Kedokteran
Komunitas. Ilmu biomedis merupakan cabang sains kedokteran yang
menerapkan prinsip biologi dan fisiologi dalam praktik kedokteran klinis.
Termasuk dalam sains biomedis adalah anatomi, fisiologi, genetika, patologi,
kimia, biokimia, biologi, mikrobiologi, fisika medis, dan sebagainya. Ilmuwan
biomedis mempelajari dan mengembangkan teori kedokteran pada level
struktur, organ, jaringan, sel, gen, molekul, pada manusia. Ilmuwan biomedis
juga mempelajari substansi kimia, biologi (misalnya, mikroba), dan fisika
lainnya yang berasal dari agen penyakit dan lingkungan (Wikipedia, 2010a dan
b).
2
masalah kesehatan. Dalam praktik klinis, dokter melakukan penilaian pasien
dalam rangka untuk mendiagnosis, mengobati, dan mencegah penyakit,
dengan melakukan pertimbangan dan keputusan klinis (clinical judgment).
Hubungan dokter-pasien dimulai dengan interaksi dokter-pasien, melalukan
wawancara (anamnesis) untuk menemukan riwayat keluhan (symptoms) pasien,
melakukan pemeriksaan riwayat medis dalam rekam medis, dilanjutkan dengan
pemeriksaan fisik klasik kedokteran, meliputi inspeksi, palpasi, auskultasi,
perkusi.
3
bukti-bukti ilmiah terbaik dan terbaru, (2) penggunaan keahlian klinis (clinical
expertise), dan (3) memperhatikan nilai-nilai dan ekspektasi pasien. Penerapan
kedokteran berbasis bukti dan bioetika akan meningkatkan kualitas pelayanan
dokter, meningkatkan manfaat bagi pasien, meminimalkan kerugian bagi pasien
(misalnya, malpraktik), dan meningkatkan keselamatan pasien. Gerakan
kedokteran berbasis bukti difasilitasi oleh perkembangan pesat sains dan
teknologi informasi, yang memungkinkan penyebaran (diseminasi) bukti-
bukti ilmiah terbaik untuk digunakan oleh para dokter.
APAK
AH
KOMU
NITAS
?
4
restoran, bioskop, jalan mobil, tempat pejalan kaki yang aman, telepon umum,
dan sebagainya.
5
dunia.
6
APAKAH
KEDOKTERAN
KOMUNITAS?
7
maupun komunitas, kedokteran komunitas mengakui kausa penyakit yang
terletak pada level populasi dan lingkungan. Artinya, dokter komunitas tidak
hanya memperhatikan faktor-faktor penyebab yang terletak pada level individu,
tetapi juga determinan lainnya pada level keluarga, komunitas dan
lingkungan di mana pasien tersebut tinggal, bekerja, ataupun bersekolah.
Perspektif populasi memusatkan perhatian kepada kausa-kausa kontekstual yang
melatari penyakit, yakni determinan lingkungan, sosial, kultural, ekonomi, dan
politik yang menyebabkan terjadinya perbedaan frekuensi penyakit antar
populasi (Gambar 3.2). Sebagai contoh, keberhasilan pelayanan kesehatan
ditentukan tidak hanya oleh efikasi klinis dari pelayanan kesehatan itu sendiri
tetapi juga oleh nilai-nilai sosial, budaya, dan ekonomi yang mempengaruhi
keputusan pasien untuk menggunakan atau tidak menggunakan pelayanan
kesehatan tersebut. Alat kontrasepsi IUD memiliki efikasi tinggi untuk
mencegah kehamilan, tetapi metode itu tidak efektif jika diterapkan pada
komunitas yang memiliki nilai-nilai sosial bahwa memasang alat pada organ
reproduksi wanita merupakan cara yang tidak pantas.
Lingkungan Sosial
Agen infeksi
Akibat Akibat
Gen biologis paparan
paparan terhadap
terhadap distribusi
Toksin terjadinya penyakit
penyakit pada pada
individu populasi
8
Kultural Politik
Ekonomi
9
KEDOKTERAN KOMUNITAS DAN
KEDOKTERAN KLINIS
Untuk bisa memahami dengan lebih jelas konsep kedokteran komunitas, perhatikan
perbedaan antara pendekatan kedokteran komunitas dan kedokteran klinis (Tabel 3.1).
Tabel 3.1 menunjukkan, kedokteran klinis memusatkan perhatian kepada pelayanan
kesehatan individu sakit, yaitu pasien. Kedokteran klinis mempelajari kesehatan dan
penyakit pada individu. Kedokteran klinis menggunakan perspektif biomedis
dalam memandang kausa penyakit. Kausa penyakit biasanya dilihat dengan model
kausasi tunggal dengan menggunakan Teori Kuman (Germ Theory), bahwa kausa
penyakit adalah kuman (misalnya, kausa tuberkulosis adalah Mycobacterium
tuberculosis; kausa sifilis adalah Treponema pallidum, dan sebagainya).
1
0
Tabel 3.1 Perbedaan pendekatan kedokteran komunitas dan
kedokteran klinis
1
1
Pelayanan kesehatan dapat dilakukan pada level individu (upaya kesehatan
perorangan/ UKP) maupun level populasi (upaya kesehatan masyarakat, UKM). Upaya
pencegahan primer mencakup promosi kesehatan (misalnya, pendidikan kesehatan,
pemberian makanan tambahan dan mikronutrien) dan perlindungan spesifik (misalnya,
imunisasi untuk mencegah berbagai penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi,
penggunaan helm dan kacamata pengaman oleh pekerja untuk mencegah cedera,
pengabutan untuk membunuh Aedes aegypti sebagai vektor Demam Berdarah Dengue).
Jelas bahwa konsep kedokteran komunitas merupakan perluasan dari konsep kedokteran
klinis, karena fokusnya tetap pada pelayanan kesehatan primer, tetapi masalah
(concern) yang diperhatikan tidak hanya kesehatan pasien an sich, tetapi juga kesehatan
keluarga dan anggota komunitas lainnya. Di sisi lain, kedokteran komunitas perlu
dibedakan dengan ilmu kesehatan masyarakat. Upaya kesehatan masyarakat
(UKM) yang dilakukan dokter yang berorientasi kedokteran komunitas adalah
UKM yang dilakukan sesuai dengan peran dan kapasitasnya sebagai seorang dokter,
bukan sebagai ahli kesehatan masyaarakat (public health specialist) (Wikipedia,
2010d). Sebagai contoh, telah banyak bukti kuat dari studi epidemiologi, biomedis, dan
klinis, yang menunjukkan bahwa merokok aktif maupun pasif merupakan kausa berbagai
penyakit kronis utama, seperti hipertensi, penjakit jantung koroner, diabetes melitus, dan
stroke. Tetapi kedokteran komunitas tidak menuntut seorang dokter untuk memiliki
1
2
kompetensi membuat rancangan undang- undang maupun melakukan advokasi
terbentuknya undang-undang, peraturan, atau kebijakan yang melarang merokok di
tempat-tempat umum. Intervensi tersebut dapat dirancang dan diimplementasikan oleh
ahli kesehatan masyarakat.
KEDOKTERAN
KELUARGA
Terdapat beberapa nilai-nilai utama yang dianut dalam kedokteran keluarga (National
University of
Singapore, 2004, Wikipedia,
2010e):
1. Pelayanan berpusat pada pasien (patient-centered care) dan perhatian khsus
kepada hubungan dokter-asien
2. Pendekatan holistik kepada pasien dan masalahnya – masalah penyakit pasien
tidak hanya disebabkan oleh dimensi fisik tetapi juga sosial dan psikologi (model
bio-pskio-sosial penyakit)
1
3
dari pasien, keluarga, dan komunitasnya. Memberikan perhtaian kepada aspek sosial
dan psikologi pasien sering kali efektif dalam memecahkan masalah fisik pasien.
Pendekatan holistik pada pasien sangat penting pada zaman sekarang ketika teknologi
tinggi kedokteran telah menyebabkan dehumanisasi pasien dan fragmentasi pelayanan
kesehatan.
3. Kedokteran pencegahan – memberikan dampak kepada status kesehatan yang lebih
panjang daripada kedokteran kuratif
4. Semua usia – dokter keluarga melayani orang dari segala usia, sehingga dokter
keluarga disebut sebagai “specialist in breadth”, berbeda dengan spesialis di
rumah sakit yang “specialist in depth”.
5. Dokter keluarga bersedia memberikan pelayanan tidak hanya di ruang konsultasi
klinik tetapi juga di rumah dan setting pelayanan lainnya.
KEDOKTERAN
OKUPASI
1
4
Seaton, 2005).
REFE
RENC
E:
1
5
Singa
pore.
1
6
Segal L (1999). Issues in the economic evaluation of health promotion in the
workplace. Research
Report 3. Centre for Health Program Evaluation, Health Economics
Unit, Monash University.
The Free Dictionary (2010). Community medicine. medical-
dictionary.thefreedictionary.com/
community+medicine. Diakses 20 Agustus 2010.
Wikipedia (2010a). Biomedicine. en.wikipedia.org/wiki/Biomedicine. Diakses 24
Agustus 2010.
(2010b). Health sciences. en.wikipedia.org/wiki/Health_science
Diakses 24 Agustus 2010.
(2010c). Medicine. en.wikipedia.org/wiki/Medicine Diakses 24
Agustus 2010.
(2010d). Medicine. en.wikipedia.org/wiki/Public Health Diakses 24
Agustus 2010.
(2010e). Family medicine en.wikipedia.org › Health science ›
Medicine. Diakses 24 Agustus
2010.
R
E
F
E
R
E
N
S
I
1
7
Aragón T, Enanoria W, Reingold A (2007). Conducting an outbreak
investigation in 7 steps (or less).
Center for Infectious Disease Preparedness, UC Berkeley School
of Public Health.
http://www.idready.org. Diakses Juli 2007.
Bensimon CM, Upshur REG (2007). Evidence and effectiveness in
decisionmaking for quarantine. Am
J Public Health;97:S44-48.
Bres P (1986). Public health action in emergencies caused by epidemics: a
practical guide. Geneva: World Health Organization.
Calain P (2006). Exploring the international arena of global public health
surveillance. Health Policy and Planning 2007;22:2–12
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) (2002). Glossary of
epdemiologic terms. Centers
for Disease Control and Prevention, Atlanta, GA. www.cdc.gov/excite/
glossary. htm
(1996). Comprehensive plan for epidemiologic surveillance. Atlanta,
GA: Centers for Diseases
Control.
(1992). Principles of epidemiology: an introduction to applied
epidemiology and biostatistics.
2nd ed. Atlanta (GA):U.S. Dept. of Health and Human Services.
(1990). Guidelines for investigating clusters of health events.
MMWR, 39(RR-11): 1-15.
DepKes (2004). Keputusan Menteri Kesehatan No. 1479/MenKes/SK/X/2003,
tentang pedoman penyelenggaraan sistem surveilans epidemiologi
penyakit menular dan penyakit tidak menular terpadu. Jakarta: DepKes RI.
DeSalle R (2007). The natural history of infectious disease. American Museum
of Natural History. www.amnh.org/exhibitions/epidemic/. Diakses Juni
2007.
Duffy ME, Jacobsen BS (2001). Univariate descriptive statistics. In: Barbara
Hazard Munro (ed.):
1
8
Statistical methods for health care research. Philadelphia, PA: Lippincott.
Folland S, Goodman AC, Stano S (2001). The economics of health and health
care. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, Inc.
Gerstman, BB (1998). Epidemiology kept simple: An introduction to
classic and modern epidemiology. New York: Wiley-Liss, Inc.
Giesecke J (2002). Modern infectious disease
epidemiology. London: Arnold. Gordis, L (2000).
Epidemiology. Philadelphia, PA: WB Saunders Co.
GreenbergRS, Daniels SR, Flanders WD, Eley JW, Boring JR (2005). Medical
epidemiology. New York: Lange Medical Books/ McGraw-Hill.
JHU (=Johns Hopkins University) (2006). Disaster epidemiology. Baltimore,
MD: The Johns Hopkins
and IFRC Public Health Guide for Emergencies.
Hornby AS (2003). Oxford advanced Learner’s Dictionary of current
English. New York: Oxford
University Press.
Langmuir AD (1976). William Farr: Founder of modern concepts of
surveillance. Int J Epidemiol, 5:
1
9
13-18
Last, JM (2001). A dictionary of epidemiology. New York: Oxford University
Press, Inc.
Mandl KD, Overhage M, Wagner MM, Lober WB, Sebastiani P, Mostahari F,
Pavlin JA, Gesteland PH, Treadwell T, Koski E, Hutwagner L,
Buckeridge DL , Aller RD, Grannis S (2004). Implementing syndromic
surveillance: A practical guide informed by the early experience. J Am
Med Inform Assoc., 11:141–150.
McNabb SJN, Chungong S, Ryan M, Wuhib T, Nsubuga P, Alemu W, Karande-
Kulis V, Rodier G (2002).
Conceptual framework of public health surveillance and action and its
application in health sector reform. BMC Public Health, 2:2
http://www.biomedcentral. Com
Monto AS (2005). The threat of an avian influenza pandemic. The New England
Journal of Medicine,
352 (4): 323-325
Morton RF, Hebel JR, McCarter RJ (1990). A study guide to epidemiology and
biostatistics. Rockville, MD: Aspen Publishers.
Murti B (2006). Desain dan ukuran sampel untuk penelitian kuantitatif dan
kualitatif di bidang kesehatan. Yogyakarta: UGM Press.
Pavlin JA (2003). Investigation of disease outbreaks detected by “syndromic”
surveillance systems.
Journal of Urban Health: Bulletin of the New York Academy of
Medicine, 80 (Suppl 1): i107- i114(1).
Rothman KJ (1990). A sobering start for the cluster buster’s conference. Am J
Epidemiol, 132 (Suppl.
No. 1): S6-S13.
Sloan PD, MacFarqubar JK, Sickbert-Bennett E, Mitchell CM, Akers R,
Weber DJ, Howard K (2006).
Syndromic surveillance for emerging infections in office practice using
billing data. Ann Fam
Med 2006;4:351-358.
2
0
Tapla-Conyer R, Kuri-Morales P, Gonzalez-Urban L, Sarti E (2001). Evolution
and reform of Mexican
National Epidemiological Surveillance System. Am J Public Health, 91
(11): 1758-1760.
Thacker SB, Choi K, Brachman PS (1983). The surveillance of infectious
diseases. JAMA, 249: 1181-85
Tollman SM, Zwi AB (2000). Health system reform and the role of field
sites based upon demographic and health surveillance. Bull World Health
Organization, 78(1): 125-134
Tomes N (2000). The making of a germ panic, then and now. Am J Public
Health;90:191–198.
WHO (2001). An integrated approach to communicable disease surveillance.
Weekly epidemiological record, 75: 1-8. http://www.who.int/wer
(2002). Surveillance: slides. http://www.who.int
(2007). WHO case definitions for human infections with
influenza A(H5N1)
virus.www.who.int/csr/disease/avian_influenza/.
Diakses Juli 2007. Wikipedia (2007). AIDS.
http://en.wikipedia.org/wiki/AIDS
Wuhib T, Chorba TL, Davidiants V, MacKenzie WR, McNabb SJN (2002).
Assessment of the infectious
diseases surveillance system of the Republic of Armenia: an example of
surveillance in The
Republics of the former Soviet Union. BMC Public Health, 2:3
http://www.biomedcentral.com.
2
1