Anda di halaman 1dari 52

INVESTIGASI OUTBREAK

DEFINISI

Outbreak adalah peningkatan insidensi kasus yang melebihi ekspektasi


normal secara mendadak pada suatu komunitas, di suatu tempat terbatas,
misalnya desa, kecamatan, kota, atau institusi yang tertutup (misalnya sekolah,
tempat kerja, atau pesantren) pada suatu periode waktu tertentu (Gerst- man,
1998; Last, 2001; Barreto et al., 2006). Hakikatnya outbreak sama dengan
epidemi (wabah). Hanya saja terma kata outbreak biasanya digunakan untuk
suatu keadaan epidemik yang terjadi pada populasi dan area geografis yang
relatif terbatas. Area terbatas yang merupakan tempat terjadinya outbreak
disebut fokus epidemik. Alasan lain penggunaan terma outbreak sebagai
pengganti epidemi karena kata epidemi atau wabah berkonotasi gawat
sehingga dapat menimbulkan kepanikan pada masyarakat (Tomes, 2000). Kata
epidemi tidak disukai oleh para pejabat sebab kejadian epidemi di suatu wilayah
dapat menampar muka pejabat yang bertanggung- jawab di wilayah tersebut.
Karena itu biasanya terma epidemi atau wabah diganti dengan terma yang
lebih halus, yaitu “outbreak” atau “kejadian luar biasa” (extra-ordinary events),
disingkat KLB. Bahkan dalam bahasa Inggris juga dikenal kata yang lebih
eufemistik (halus) daripada outbreak, yaitu “upsurge” yang berarti peningkatan
suatu kejadian peristiwa secara tiba-tiba.
Gambar 6.1 menyajikan outbreak (epidemi) penyakit sebagai suatu
fungsi dari waktu. Untuk penyakit infeksi akut, misalnya kolera, epidemi bisa
terjadi dalam tempo beberapa hari. Tetapi untuk penyakit kronis, misalnya
kanker paru, epidemi bisa terjadi dalam tempo beberapa tahun atau dekade
(Greenberg et al., 2005). Jika jumlah agen infeksi (misalnya, parasit) menurun
drastis pasca epidemi, sehingga jumlah kasus menurun, keadaan itu disebut
epidemic fadeout.

2
Gambar 6.1 Timbulnya epidemi penyakit
dengan berlangsungnya waktu
(Sumber: Greenberg et al., 2005)

Dalam menentukan outbreak/ epidemi perlu batasan yang jelas tentang


komunitas, daerah, dan waktu terjadinya peningkatan kasus. Untuk dapat
dikatakan outbreak/ epidemi, jumlah kasus tidak harus luar biasa banyak
dalam arti absolut, melainkan luar biasa banyak dalam arti relatif, ketika
dibandingkan dengan insidensi biasa pada masa yang lalu, disebut tingkat
endemis (Greenberg et al., 2005). Segelintir kasus bisa merupakan epidemi
jika muncul pada kelompok, tempat, dan waktu yang tidak biasa.
Ditemukannya dua kasus penyakit yang telah lama absen (misalnya, variola),
atau pertama kali invasi di suatu populasi dan wilayah (misalnya, HIV/
AIDS), dapat dikatakan epidemi, dan otoritas kesehatan dapat mulai melakukan
penyelidikan dan pengendalian terhadap epidemi itu (Last, 2001).
Konsep epidemi berlaku untuk penyakit infeksi, penyakit non-infeksi,
perilaku kesehatan, maupun peristiwa kesehatan lainnya, misalnya epidemi
kolera, epidemi SARS, epidemi gizi buruk anak balita, epidemi merokok,
epidemi stroke, epidemi Ca paru, dan sebagainya (Gerstman, 1998; Last, 2001;
Greenberg et al., 2005; Barreto et al., 2006). Contoh, tahun 1981 di Los

3
Angeles ditemukan di kalangan pria homoseksual sejumlah kasus (disebut
“cluster”) radang paru langka, yaitu “pneumonia pneumocystis carinii” (kini
pneumocystis jiroveci pneumonia). Meski hanya menyang- kut segelintir
kasus (rare events), peristiwa itu merupakan peristiwa luar biasa (extra-
ordinary events) yang dapat disebut epidemi, karena belum pernah dijumpai
sebelumnya. Penyakit itu lalu dikenal sebagai AIDS (Acquired Immuno-
Deficiency Syndrome). Outbreak terjadi jika terdapat ketidakseimbangan antara
penjamu, agen, dan lingkungan:
(1) Keberadaan patogen (agen yang menimbulkan penyakit) dalam
jumlah cukup untuk menjangkiti sejumlah individu
(2) Terdapat modus transmisi patogen yang cocok kepada individu-
individu rentan
(3) Terdapat jumlah yang cukup individu-individu rentan yang terpapar
oleh patogen (Greenberg et al., 2005).

ALASAN MELAKUKAN INVESTIGASI OUTBREAK

Jika terjadi outbreak maka pihak berwewenang melakukan investigasi outbreak


secara retrospektif dan/ atau prospektif (apabila outbreak masih berlangsung)
dengan alasan: (1) Mencegah bertam- bahnya kasus dari outbreak sekarang; (2)
Mencegah outbreak di masa mendatang, dengan cara memperbaiki program
kesehatan, sistem surveilans, dan sistem kesehatan; (3) Menerapkan sistem
surveilans (investigasi outbreak merupakan bagian dari sistem surveilans); (4)
Mempelajari penyakit baru; (5) Mempelajari aspek baru dari penyakit lama; (6)
Memberi keyakinan kepada publik bahwa telah diambil langkah-langkah yang
diperlukan untuk mengatasi outbreak, agar tidak terjadi situasi panik; (7)
Minimalisasi disrupsi ekonomi dan sosial akibat outbreak; (8) Mengajarkan apa
dan bagai- mana epidemiologi (karena sesungguhnya investigasi outbreak
merupakan “prototipe” epidemiologi, mencakup epidemiologi deskriptif,
epidemiologi analitik, dan penerapan hasil studi untuk mengen- dalikan dan

4
mencegah penyakit).

TUJUAN INVESTIGASI OUTBREAK

Intinya, investigasi outbreak dilakukan untuk dua tujuan: (1) Mengetahui


penyebab outbreak; (2) Menyetop outbreak sekarang dan mencegah outbreak di
masa mendatang (Greenberg et al., 2005). Tujuan khusus investigasi outbreak
adalah mengidentifikasi: (1) Agen kausa outbreak; (2) Cara transmisi; (3)
Sumber outbreak; (4) Carrier; (5) Populasi berisiko; (6) Paparan yang
menyebabkan penyakit (faktor risiko).

LANGKAH-LANGKAH
INVESTIGASI
OUTBREAK

Tabel 6.1 menyajikan 7 langkah investigasi outbreak. Perhatikan, jumlah


langkah dan sekuensi investigasi outbreak bisa bervariasi, tetapi intinya
mencakup prinsip seperti disajikan Tabel 6.1.

Tabel 5.1 Langkah-langkah investigasi outbreak


1 Identifikasi outbreak
2 Investigasi kasus
3 Investigasi kausa
4 Langkah pencegahan dan pengendalian
5 Studi analitik (jika perlu)
6 Komunikasikan temuan
7 Evaluasi dan teruskan surveilans

Langkah pencegahan kasus dan pengendalian outbreak dapat dimulai sedini


mungkin (do early) setelah tersedia informasi yang memadai. Bila investigasi

5
outbreak telah memberikan fakta yang jelas mendukung hipotesis tentang kausa
outbreak, sumber agen infeksi, dan cara transmisi yang menyebabkan outbreak,
maka upaya pengendalian dapat segera dimulai tanpa perlu menunggu
pengujian hipotesis oleh studi analitik yang lebih formal.

6
1. Identifikasi outbreak

Outbreak adalah peningkatan kejadian kasus penyakit yang lebih banyak


daripada ekspektasi normal di di suatu area atau pada suatu kelompok tertentu,
selama suatu periode waktu tertentu. Informasi tentang potensi outbreak
biasanya datang dari sumber-sumber masyarakat, yaitu laporan pasien (kasus
indeks), keluarga pasien, kader kesehatan, atau warga masyarakat. Tetapi
informasi tentang potensi outbreak bisa juga berasal dari petugas kesehatan,
hasil analisis data surveilans, laporan kematian, laporan hasil pemeriksaan
laboratorium, atau media lokal (suratkabar dan televisi).
Hakikatnya outbreak merupakan deviasi (penyimpangan) dari keadaan
rata-rata insidensi yang konstan dan melebihi ekspektasi normal Karena itu
outbreak ditentukan dengan cara membandingkan jumlah kasus sekarang dengan
rata-rata jumlah kasus dan variasinya di masa lalu (minggu, bulan, kuartal,
tahun). Besar deviasi yang masih berada dalam “ekspektasi normal” bersifat
arbitrer, tergantung dari tingkat keseriusan dampak yang diakibatkan bagi
kesehatan masyarakat di masa yang lalu. Sebagai ancar-ancar kuantitatif,
pembuat kebijakan dapat menggunakan mean+3SD sebagai batas untuk
menentukan keadaan outbreak. Batas mean+/- 3SD lazim digunakan dalam
biostatistik untuk menentukan observasi ekstrim yang disebut “outlier” (Duffy
dan Jacobsen, 2001), jadi suatu kondisi yang sesuai dengan definisi epidemi/
outbreak.
Sumber data kasus untuk menenetukan terjadinya outbreak: (1) Catatan
surveilans dinas kesehatan; (2) Catatan morbiditas dan mortalitas di rumah sakit;
(3) Catatan morbiditas dan mortalitas di puskesmas; (4) Catatan praktik dokter,
bidan, perawat; (5) Catatan morbiditas upaya kesehatan sekolah (UKS).
Contoh 1, salah satu bakteria yang paling sering menyebabkan klaster
penyakit adalah Escherechia coli O157:H7. Andaikan Juni 2007 terdapat 52
kasus Escherichia coli. Data jumlah kasus per bulan dalam setahun terakhir
disajikan Gambar 6.2. Apakah terjadi outbreak? Jawab: Dari data dapat dihitung
Mean= 14.3. SD= 5.7. Mean+3SD= 14.3* 3(5.7)= 31.4. Pada Juni 2007 terdapat
52 kasus, lebih banyak daripada ekspektasi normal= 31.4 kasus. Jadi Juni 2007

7
terjadi outbreak E. coli.

60

50

40
Jumlah kasus

30

20

10

0
J J A S O N D J F M A M J
2006 2007
Bulan dan tahun
Gambar 6.2 Outbreak kasus Escherichia coli O157:H7

Contoh 2, Juni 2006 di Tangerang (Indonesia) dilaporkan kasus flu yang


menjangkiti sebuah keluarga. Dalam tempo dua minggu 8 anggota keluarga
menunjukkan gejala klinis infeksi flu burung, mencakup demam, batuk, sakit
tenggorok, nyeri otot. Beberapa di antaranya menunjukkan gejala lebih berat,
yaitu infeksi mata, pneumonia, distres pernapasan akut. Hapusan mukosa hidung
dan tenggorok diambil oleh petugas DepKes beberapa hari setelah timbul gejala
klinis dan dikirim ke laboratorium untuk pemeriksaan kultur. Hasilnya
menunjukkan terdapat virus H5N1. Apakah telah terjadi outbreak? Ya.
Kenaikan sebesar 8 kasus flu burung dalam contoh di atas menunjukkan tengah
terjadi outbreak. Kenaikan lebih dari dua kasus baru penyakit pada populasi di
suatu tempat yang sebelumnya tidak pernah ada kasus dapat dikatakan outbreak

8
(Last, 2001).

9
Perhatian, kenaikan jumlah kasus saja belum tentu mengisyaratkan
outbreak. Terdapat sejumlah faktor yang bisa menyebabkan jumlah kasus
“tampak” meningkat: (1) Variasi musim (misalnya, diare meningkat pada musim
kemarau ketika air bersih langka) (2) Perubahan dalam pelaporan kasus; (3)
Perubahan definisi kasus (makin inklusif, makin banyak jumlah kasus); (4)
Perba- ikan dalam prosedur diagnostik (makin sensitif, makin banyak jumlah
kasus); (5) Kesalahan diagnosis (misalnya, kesalahan hasil pemeriksaan
laboratorium); (6) Peningkatan kesadaran petugas kesehatan (meningkatkan
intensitas pelaporan); (7) Media yang memberikan informasi bias dari sumber
yang tidak benar (menimbulkan “false alert”).
Terjadinya outbreak dan teridentifikasinya sumber dan kausa
outbreak perlu ditanggapi dengan tepat. Jika terjadi kenaikan signifikan jumlah
kasus sehingga disebut outbreak, maka pihak dinas kesehatan yang
berwewenang harus membuat keputusan apakah akan melakukan investigasi
outbreak. Sejumlah faktor mempengaruhi dilakukan atau tidaknya
investigasi outbreak: (1) Keparahan penyakit; (2) Potensi untuk menyebar;
(3) Pertimbangan politis; (4) Perhatian dan tekanan dari masyarakat; (5)
Ketersediaan sumber daya. Beberapa penyakit menimbulkan manifes- tasi klinis
ringan dan akan berhenti dengan sendirinya (self-limiting diseases), misalnya flu
biasa. Implikasinya, tidak perlu dilakukan investigasi outbreak maupun
tindakan spesifik terhadap outbreak, kecuali kewaspadaan. Tetapi outbreak
lainnya akan terus berlangsung jika tidak ditanggapi dengan langkah
pengendalian yang tepat. Sejumlah penyakit lain menunjukkan virulensi tinggi,
mengakibatkan manifestasi klinis berat dan fatal, misalnya flu burung.
Implikasinya, sistem kesehatan perlu melakukan investigasi outbreak dan
mengambil langkah-langkah segera dan tepat untuk mencegah penyebaran lebih
lanjut penyakit itu.

2. Investigasi kasus

DEFINISI KASUS Peneliti melakukan verifikasi apakah kasus-kasus yang


dilaporkan telah didiagnosis dengan benar (valid). Peneliti outbreak

10
mendefinisikan kasus dengan menggunakan seperangkat kriteria sebagai
berikut: (1) Kriteria klinis (gejala, tanda, onset); (2) Kriteria epidemiologis
(karakteris- tik orang yang terkena, tempat dan waktu terjadinya outbreak);
(3) Kriteria laboratorium (hasil kultur dan waktu pemeriksaan) (Bres, 1986).
Definisi kasus harus valid (benar), baku, dan sebaiknya seragam.
Definisi kasus yang baku dan seragam penting untuk memastikan bahwa setiap
kasus didiagnosis dengan cara yang sama, konsisten, tidak tergantung pada
siapa yang mengidentifikasi kasus, maupun di mana dan kapan kasus tersebut
terjadi. Definisi kasus yang baku memungkinkan dilakukannya perbandingan
jumlah kasus penyakit yang terjadi di suatu waktu atau tempat dengan jumlah
kasus yang terjadi di waktu atau tempat lainnya. Sebagai contoh, dengan definsi
kasus baku dapat dibandingkan jumlah kasus Demam Berdarah Dengue (DBD)
yang terjadi pada Januari 2010 di Surakarta dengan jumlah kasus pada Februari
2010 di kota itu. Demikian pula dapat dibandingkan jumlah kasus DBD yang
terjadi pada Januari 2010 di Surakarta dengan jumlah kasus pada Januari 2010 di
Jakarta. Dengan definisi kasus standar, maka jika ditemukan perbedaan jumlah
kasus maka merupakan perbedaan yang sesungguhnya, bukan karena
perbedaan dalam mendiagnosis (CDC, 2010a). Penggunaan definisi kasus
seperti yang direkomendasikan Standar Surveilans WHO memungkinkan
pertukaran informasi tentang kejadian penyakit-penyakit secara internasional.
Dengan menggunakan definisi kasus, maka individu yang diduga
mengalami penyakit akan dimasukkan dalam salah satu klasifikasi kasus.
Berdasarkan tingkat ketidakpastian diagnosis, kasus dapat diklasifikasikan
menjadi: (1) kasus suspek (suspected case, syndromic case), (2) kasus mungkin
(probable case, presumptive case), dan (3) kasus pasti (confirmed case, definite
case). Tabel 6.2 menyajikan klasifikasi kasus menurut kriteria pemeriksaan
klinis, epidemiologis, dan laboratoris.

11
Tabel 6.2 Klasifikasi kasus menurut kriteria pemeriksaan
klinis, epidemiologis, dan laboratoris
Klasifikasi kasus Kriteria
Kasus suspek Tanda dan gejala klinis cocok dengan
(suspected case, penyakit, terdapat bukti epidemiologi, tetapi
syndromis case) tidak terdapat bukti laboratorium yang
menunjukkan tengah atau telah terjadi infeksi
Kasus mungkin (bukti laboratorium negatif, tidak ada, atau
(probable case, belum ada)
presumptive case) Tanda dan gejala klinis cocok dengan penyakit,
terdapat bukti epidemiologis, terdapat bukti
Kasus pasti laboratorium yang mengarah tetapi belum pasti,
(confirmed case, yang menunjukkan tengah atau telah terjadi
definite case) infeksi (misalnya, bukti dari sebuah tes serologis
tunggal) Terdapat bukti pasti laboratorium
(serologis, biokimia, bakteriologis, virologis,
parasitologis) bahwa tengah atau telah terjadi
infeksi, dengan atau tanpa kehadiran tanda, gejala
klinis, atau bukti epidemiologis
Sumber: Bres (1986)

Klasifikasi kasus bersifat dinamis, bisa berubah dan direvisi selama investigasi
seiring dengan adanya tambahan informasi baru tentang sumber, modus transmisi, agen
etiologi. Tabel 6.3 menyajikan contoh definisi kasus kolera menurut WHO.

Tabel 6.3 Definisi kasus kolera menurut WHO

KOLERA
Deskripsi kasus klinis
Pada area tidak terdapat penyakit kolera:
Dehidrasi berat atau kematian karena diare cair akut pada seorang pasien berusia 5
tahun atau lebih

12
Pada area endemis kolera:
Diare cair akut, dengan atau tanpa muntah pada seorang pasien berusia 5 tahun atau
lebih
Pada area epidemi kolera:
Diare cair akut, dengan atau tanpa muntah, pada pasien
Kriteria laboratorium untuk diagnosis:
Isolasi Vibrio cholera O1 atau O139 dari tinja pada pasien dengan diare.
Klasifikasi kasus
Kasus suspek (suspect case): Kasus yang memenuhi definisi kasus klinis
Kasus mungkin (probable case): Tidak berlaku
Kasus pasti (confirmed case): Kasus suspek yang dikonfirmasi dengan hasil tes
laboratorium
Catatan:
Kolera tidak terjadi pada anak balita. Memasukkan semua kasus diare cair akut pada
kelompok usia 2-4 tahun
ke dalam pelaporan akan menurunkan spesifisitas pelaporan (banyak positif palsu).
Untk keperluan manajemen kasus diare cair akut di area epidemi kolera, semua
pasien dengan diare cair akut hendaknya diklasifikasikan sebagai kasus suspek.
Hanya kasus pasti yang harus dilaporkan kepada WHO.
Sumber: WHO, 1999

Klasifikasi kasus (yang berbeda tingkat kepastiannya tersebut) memungkinkan


dilakukannya upaya untuk meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas pelaporan. Kasus
suspek bersifat sensitif tetapi kurang spesifik, dengan tujuan mengurangi negatif palsu.
Kasus mungkin dan kasus pasti bersifat lebih sensitif dan lebih spesifik daripada kasus
suspek, dengan tujuan mengurangi positif palsu. Petugas kesehatan di tingkat pelayanan
primer minimal harus mampu mendiagnosis kasus suspek. Tergantung fasilitas
laboratorium dan jenis penyakit, petugas kesehatan di tingkat pelayanan primer pada
umumnya hanya mampu mendiagnosis kasus suspek atau kasus mungkin. Tetapi untuk
penyakit tertentu, sebagian puskesmas dapat mendiagnosis kasus pasti, misalnya malaria
dan tuberkulosis paru. Demikian pula pada umumnya fasilitas pelayanan kesehatan
sekunder (RS) yang

13
memiliki fasilitas laboratorium mampu mendiagnosis kasus pasti. Tetapi untuk
penyakit tertentu, misalnya kasus infeksi H5N1, hanya rumah sakit tertentu
mampu mendiagnosis kasus pasti..

PENEMUAN KASUS Kasus pertama yang dilaporkan (kasus indeks) belum


tentu sama dengan kasus primer, yaitu kasus pertama dalam komunitas. Kasus
pertama yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan biasanya hanya
merupakan sebagian kecil dari seluruh jumlah kasus yang ada (“tip of the
iceberg”, puncak gunung es). Karena itu, setelah mendefinisikan kasus,
langkah investigasi selanjutnya adalah mencari kasus (case finding). Tujuan
penemuan kasus: (1) Mengetahui luas outbreak; (2) Mengetahui populasi
berisiko; (3) Mengidentifikasi kasus sekunder (kemungkinan penyebaran dari
orang ke orang); (4) Mengidentifikasi sumber-sumber infeksi; (5)
Mengidentifikasi kontak dengan kasus terinfeksi.
Untuk menemukan kasus-kasus lainnya, peneliti outbreak dianjurkan
untuk menggunakan sebanyak mungkin sumber informasi: (1) Surveilans aktif
dan survei khusus (para peneliti dikirimkan ke daerah yang terkena outbreak
untuk mengumpulkan berbagai informasi tentang kondisi-kondisi spesifik
tertentu dari pelapor potensial, dokter, rumah sakit, sekolah, dan lain-lain); (2)
Surveilans pasif (mengandalkan laporan rutin oleh petugas kesehatan tentang
penyakit-penyakit yang harus dilaporkan); (3) Pengembangan informasi kasus
yang diperoleh dari media (berita yang dilansir media ditanggapi dengan
mengecek kasus di lapangan).

3.
Invest
igasi
kausa

WAWANCARA DENGAN KASUS Intinya, tujuan wawancara dengan kasus


dan nara sumber terkait kasus adalah untuk menemukan kausa outbreak.
Dengan menggunakan kuesioner dan formulir baku, peneliti mengunjungi

14
pasien (kasus), dokter, laboratorium, melakukan wawancara dan doku- mentasi
untuk memperoleh informasi berikut: (1) Identitas diri (nama, alamat, nomer
telepon jika ada); (2) Demografis (umur, seks, ras, pekerjaan); (3) Kemungkinan
sumber, paparan, dan kausa; (4) Faktor-faktor risiko; (5) Gejala klinis (verifikasi
berdasarkan definisi kasus, catat tanggal onset gejala untuk membuat kurva
epidemi, catat komplikasi dan kematian akibat penyakit); (6) Pelapor
(berguna untuk mencari informasi tambahan dan laporan balik hasil
investigasi). Pemeriksaan klinis ulang perlu dilakukan terhadap kasus yang
meragukan atau tidak didiagnosis dengan benar (misalnya, karena kesalahan
pemeriksaan laboratorium).
Informasi tentang masing-masing kasus yang diwawancara/ ditemui
dimasukkan dalam “tabel outbreak” (=line listing). Dalam tabel outbreak,
variabel-variabel tentang informasi kasus diletakkan pada kolom, sedang
urutan kasus diletakkan pada baris. Ikhtisar informasi tentang kasus yang dicatat
dalam tabel outbreak berguna untuk merumuskan teori/ hipotesis tentang
sumber, kausa, dan cara penyebaran penyakit.

EPIDEMIOLOGI DESKRIPTIF. Tujuan epidemiologi deskriptif adalah


mendeskripsikan frekuensi dan pola penyakit pada populasi menurut
karakteristik orang, tempat, dan waktu. Dengan menghitung jumlah kasus,
menganalisis waktu, incidence rate, dan risiko, peneliti outbreak
mendeskripsikan distribusi kasus menurut orang, tempat, dan waktu,
menggambar kurva epidemi, mendeskripsikan kecenderungan (trends) kasus
sepanjang waktu, luasnya daerah outbreak, dan populasi yang terkena
outbreak. Dengan epidemiologi deskriptif peneliti outbreak bisa mendapatkan
menduga kausa dan sumber outbreak.

Tabulasi. Langkah pertama, peneliti mendeskripsikan data epidemi menurut


karakteristik orang (kasus). Peneliti mempelajari perbedaan risiko kelompok-
kelompok populasi yang terkena outbreak berdasarkan karakteristik umur,
gender, ras, pekerjaan, kelas sosial, status kesehatan, dan sebagai- nya.
Distribusi risiko (dengan kata lain, Attack Rate) berbagai kelompok ditampilkan

15
dalam tabel.

16
Kurva epidemi. Langkah kedua, peneliti mendeskripsikan data outbreak
menurut waktu, dengan membuat kurva epidemi. Kurva epidemi adalah
grafik yang menghubungkan tanggal onset atau masa inkubasi penyakit pada
sumbu X dan jumlah kasus penyakit pada sumbu Y. Manfaat kurva epidemi: (1)
Memberikan petunjuk tentang agen infeksi dan masa inkubasi; (2)
Mengisyaratkan besarnya masalah dan perjalanan waktu outbreak; (3)
Menunjukkan pola penyebaran (yakni, sumber bersama, kontinu, atau
propagasi); (4) Menunjukkan posisi populasi berisiko dalam perjalanan waktu
epidemi; (5) Dapat dilakukan stratifikasi menurut tempat (tempat tinggal,
tempat kerja, sekolah), atau karakteristik individu (umur, gender, ras, dan
sebagainya), sehingga memungkinkan peneliti untuk mempelajari variasi onset
menurut tempat dan karakteristik orang; (6) Membantu peneliti dalam
melakukan monitoring dan evaluasi; (7) Memberikan petunjuk tambahan
(misalnya, adanya outlier).
Dalam menganalisis sebuah kurva epidemi, faktor-faktor berikut perlu
diperhatikan untuk membantu menafsirkan outbreak: (1) pola keseluruhan
epidemi; (2) periode waktu orang terpapar; (3) keberadaan outlier.
Dengan menggunakan kurva epidemi dapat dilihat pola penyebaran
patogen, sehingga dapat dibedakan 3 jenis utama outbreak: (1) Common-source
outbreak (point-source outbreak), (2) Conti- nual-source outbreak, dan (3)
Propagated (person-to-person, progressive) outbreak. Gambar 6.3 menyajikan
kurva epidemi sebuah common-source outbreak, ditandai oleh peningkatan
jumlah kasus dengan tajam, lalu menurun perlahan-lahan.
Jumlah kasus

17
Gambar 6.3 Common-
source outbreak

Common source outbreak terjadi jika agen penyebab ditularkan kepada


orang-orang yang terjangkit dari sumber yang sama pada saat yang sama,
selama periode waktu yang terbatas (pendek), biasanya selama satu masa
inkubasi, biasanya terjadi pada satu tempat. Bentuk kurva ini umumnya
meningkat dengan tajam dan memiliki puncak yang tegas, disusul dengan
penurunan secara gradual. Kadang-kadang, sejumlah kasus tampak seperti
gelombang yang menyusul sumber titik selama satu masa inkubasi atau
interval waktu. Penularan ini disebut point source with secondary
transmission – sumber titik dengan penularan sekunder .
Contoh: sekelompok tamu yang menghadiri kenduri di suatu desa dan
dengan waktu bersamaan menyantap makanan yang terkontaminasi patogen
(misalnya, tempe bongkrek yang mengandung aflatoksin), lalu jatuh sakit,
maka dapat terjadi common-source outbreak. Pada umum- nya outbreak karena
makanan (foodborne disease outbreak) merupakan point-source outbreak, sebab
paparan patogen terjadi pada waktu yang sama dan berlangsung selama periode
waktu yang terbatas (singkat). Gambar 6.4 menunjukkan outbreak penyakit
gastro-intestinal akibat kontaminasi makanan dari sebuah paparan tunggal.
Meskipun ada dua buah outlier pada data, tetapi kurva epidemi dengan jelas
menunjukkan sebuah outbreak selama periode waktu yang terbatas, dan
bentuk kurva yang mencerminkan karakteristik paparan dari sebuah sumber
tunggal.

18
P
e Puncak
Kasus

n
i
n
g
k
a
t
a
n

t
a
j
a
m

Waktu
onset

19
Gambar 6.4 Kasus penyakit gastro-intestinal
karena makanan menurut waktu onset
(dimulainya gejala klinis)

Continual-source outbreak terjadi jika sumber outbreak terus terkontaminasi,


individu rentan terus terpapar sumber tersebut, sehingga penularan terus berlangsung.
Paparan terhadap sumber infeksi yang berkepanjangan bisa berlangsung lebih dari satu
masa inkubasi. Gambar 6.5 menyajikan kurva epidemi continual-source outbreak, dengan
karakteristik peningkatan kasus secara gradual lalu mendatar.
Jumlah kasus

Tanggal onset
Gambar 6.5 Continual-source outbreak

Gambar 6.6 menyajikan contoh terkenal outbreak kolera di London yang


diselidiki oleh
“Bapak Epidemiologi” John Snow. Kolera menyebar dari sumber air minum selama
periode waktu
yang panjang. Perhatikan bahwa umumnya masa inkubasi kolera adalah 1-3 hari. Tetapi
karena penduduk di kota itu terus-menerus menggunakan air yang terkontaminasi, maka

20
durasi outbreak terjadi selama lebih dari sebulan.

Sumber
outbreak
disingkirkan
tanggal
8
Kasus

Septem
ber

Oktober
Tanggal onset

Gambar 6.6 Kasus kolera menurut


tanggal onset

21
Propagated (person-to-person, progressive) outbreak terjadi jika sebuah kasus
penyakit berperan sebagai sumber infeksi bagi kasus-kasus berikutnya, dan kasus-kasus
berikutnya berperan sebagai sumber infeksi bagi kasus berikutnya lagi, bisa terjadi pada
berbagai tempat. Gambar 6.7 menyajikan kurva epidemi person-to-person outbreak.
Bentuk kurva terdiri dari sejumlah puncak, dipisahkan oleh masa inkubasi,
mencerminkan jumlah kasus yang meningkat melalui kontak orang ke orang, hingga
tidak terdapat lagi orang yang rentan atau dimulainya upaya pengendalian.
.
Jumlah kasus
Kasus

Tanggal onset
Gambar 6.7 Propagation (person-to-person)
outbreak
(Sumber: Giesecke,
Gambar 6.8 menyajikan contoh infeksi campak yang mengakibatkan propagated
2002)
outbreak dengan penularan dari anak ke anak. Gambar 8 menunjukkan sebuah kasus
indeks disusul sejumlah kasus yang meningkat secara eksponensial (deret ukur).
Campak terjadi karena kontak orang ke orang, dengan masa inkubasi rata-rata 10 hari (7-
18 hari).

Be
ber
apa
pun

22
cak

K
a
s
u
s
i
n
d
e
k
s

Maret Mei Juni

Tanggal
onset

Gambar 6.8 Kasus campak menurut tanggal onset

Mengapa perlu menggambar kurva epidemi? Kurva epidemi berguna untuk


memperkirakan tanggal paparan dan masa inkubasi dari penyakit yang diduga sebagai
kausa outbreak. Dalam epidemiologi penyakit infeksi, masa inkubasi adalah interval
waktu sejak patogen melakukan infeksi hingga onset gejala dan tanda klinis. Penyakit
yang berbeda mempunyai masa inkubasi yang berbe- da. Tetapi masa inkubasi sebuah
penyakit tidak persis, sehingga biasanya disajikan dalam rata-rata, serta kisaran minimum
dan maksimum.
Masa inkubasi dipengaruhi oleh sejumlah faktor: (1) Waktu yang diperlukan

23
patogen untuk melakukan replikasi dan mencapai “critical mass” klinis penyakit (“ciritcal
mass’ adalah koleksi patogen dalam jumlah yang cukup banyak untuk dapat menimbulkan
manifestasi klinis penyakit; makin pendek waktu menuju “critical mass”, makin pendek
masa inkubasi); (2) Tempat dalam tubuh bagi patogen untuk mereplikasi (patogen masuk
ke dalam tubuh melalui “portal of entry” dan masuk ke dalam sel melalui “cell entry”;
makin mudah mencari tempat replikasi, makin pendek masa inku- basi); (3) “Dosis”
patogen (agen infeksi) yang diterima saat infeksi (makin besar dosis patogen, makin
pendek masa inkubasi). Gambar 6.9 dengan jelas memberikan informasi tentang sumber
outbreak. Pertama, penyakit yang menyebabkan outbreak memiliki sumber yang
sama (common-source

24
outbreak). Masa inkubasi, yaitu saat pertama kali terpapar oleh patogen yang
berasal dari suatu sumber patogen hingga dimulai tanda dan gejala klinis,
berkisar antara 14 hingga 21 hari, dengan rata-rata 18 hari. Masa inkubasi
terpendek adalah 14 hari, yaitu waktu sejak pertama kali terpapar oleh sumber
patogen hingga terjadinya kasus primer. Masa inkubasi terpanjang adalah 21
hari, yaitu waktu sejak pertama kali terpapar oleh sumber patogen hingga
terjadinya kasus terakhir. Sedang waktu rata-rata adalah 18 hari, yaitu waktu
sejak pertama kali terpapar sumber patogen hingga puncak kasus.

Maksimum
inkubasi = 21 hari
Puncak

Rata-rata waktu
inkubasi = 18 hari
waktu paparan
Kemungkinan

10
9
8
7
6
Kasus

5
4
3

2
Minimum inkubasi = 14 hari
1
0
1 3 5 7 9 11 13 15
17 19 21 23 25 27 29

H
a

25
r
i

Gambar 6.9 Memperkirakan tanggal paparan dan masa inkubasi

Spot map. Langkah ketiga, peneliti mendeskripsikan karakteristik data epidemi menurut
karakteristik tempat, biasanya dalam bentuk peta lokasi, disebut spot map. Spot map
memberikan informasi tentang luas daerah geografis yang terkena, lokasi kasus, sumber
outbreak, tempat-tempat berisiko. Dengan spot map dapat dideskripsikan kedekatan
(klaster) kasus dengan sumber-sumber yang dapat tercemar oleh patogen/ agen infeksi,
seperti suplai air minum, restauran, dapur umum, tempat penampungan pengungsi, ruang
sekolah, tempat kerja, dan sebagainya.
.

Sungai Kasus
Sapi pasti
Kasus
mungkin
Peternak
an sapi
Sumber
air
minum

S
u
n
g

26
a
i
M
e
r
a
w
u

Gambar 6.10 Spot map tentang daerah


terkena, lokasi kasus, dan sumber
outbreak

Contoh, Gambar 6.10 menyajikan data hipotetis (perumpamaan) yang


dideskripsikan ke dalam sebuah spot map tentang outbreak diare Juni-Juli 2007 di
kecamatan Mojosongo, kabupaten

27
Boyolali (Jawa Tengah). Spot map memeragakan letak klaster diare yang
berdekatan dengan sumber air minum dan kelompok peternakan sapi, sehingga
menimbulkan hipotesis bahwa limbah kotoran dari peternakan sapi telah
mencemari sumber air minum penduduk kecamatan tersebut

Merumuskan hipotesis Pada tahap ini penyelidik outbreak dapat merumuskan


hipotesis tentang kausa dan sumber outbreak dengan lebih akurat daripada
hipotesis yang ada pada benak peneliti ketika memulai investigasi outbreak.
Hipotesis tersebut menyatakan patogen/ agen infeksi, sumber patogen/ agen
infeksi, modus transmisi, dan paparan yang berhubungan dengan penyakit.
Hipotesis dirumuskan sedemikian rupa sehingga dapat diuji. Tetapi tidak jarang
fakta yang ditemukan telah begitu mencolok mata mendukung hipotesis (hati-
hati!...mata jangan sampai tercolok), sehingga pengujian hipotesis dengan studi
epidemiologi analitik yang lebih formal tidak diperlukan.

4. Melakukan pencegahan
dan pengendalian

Bila investigasi kasus dan kausa telah memberikan fakta di pelupuk mata tentang
kausa, sumber, dan cara transmisi, maka langkah pengendalian hendaknya
segera dilakukan, tidak perlu melakukan studi analitik yang lebih formal.
Prinsipnya, makin cepat respons pengendalian, makin besar peluang
keberhasilan pengendalian. Makin lambat repons pengendalian, makin sulit
upaya pengendalian, makin kecil peluang keberhasilan pengendalian, makin
sedikit kasus baru yang bisa dicegah.
Prinsip intervensi untuk menghentikan outbreak sebagai berikut: (1)
Mengeliminasi sumber patogen; (2) Memblokade proses transmisi; (3)
Mengeliminasi kerentanan (Greenberg et al., 2005; Aragon et al., 2007). Sedang
eliminasi sumber patogen mencakup: (1) Eliminasi atau inaktivasi pato- gen; (2)
Pengendalian dan pengurangan sumber infeksi (source reduction); (3)
Pengurangan kontak antara penjamu rentan dan orang atau binatang terinfeksi
(karantina kontak, isolasi kasus, dan seba- gainya); (4) Perubahan perilaku

28
penjamu dan/ atau sumber (higiene perorangan, memasak daging dengan benar,
dan sebagainya); (5) Pengobatan kasus.
Blokade proses transmisi mencakup: (1) Penggunaan peralatan pelindung
perseorangan (masker, kacamata, jas, sarung tangan, respirator); (2) Disinfeksi/
sinar ultraviolet; (3) Pertukaran udara/ dilusi; (4) Penggunaan filter efektif
untuk menyaring partikulat udara; (5) Pengendalian vektor (penyemprotan
insektisida nyamuk Anopheles, pengasapan nyamuk Aedes aegypti, penggunaan
kelambu berinsektisida, larvasida, dan sebagainya).
Eliminasi kerentanan penjamu (host susceptibility) mencakup: (1)
Vaksinasi; (2) Pengobatan (profilaksis, presumtif); (3) Isolasi orang-orang atau
komunitas tak terpapar (“reverse isolation”); (4) Penjagaan jarak sosial
(meliburkan sekolah, membatasi kumpulan massa).

5. Melakukan studi
analitik (jika perlu)

Dalam investigasi outbreak, tidak jarang peneliti dihadapkan kepada teka-teki


menyangkut sejumlah kandidat agen penyebab. Fakta yang diperoleh dari
investigasi kasus dan investigasi kausa kadang belum memadai untuk
mengungkapkan sumber dan kausa outbreak. Jika situasi itu yang terjadi, maka
peneliti perlu melakukan studi analitik yang lebih formal. Desain yang
digunakan lazimnya adalah studi kasus kontrol atau studi kohor retrospektif.
Seperti desain studi epidemiologi analitik lainnya, studi analitik untuk
investigasi outbreak mencakup: (1) pertanyaan penelitian; (2) signi- fikansi
penelitian; (3) desain studi; (4) subjek; (5) variabel-variabel; (6) pendekatan
analisis data; (7) interpretasi dan kesimpulan.
Contoh, 75 orang menghadiri sebuah acara kenduri di sebuah desa.
Terdapat 5 jenis
makanan dihidangkan. Esok harinya mulai berjatuhan sejumlah kasus
penyakit, sehingga disimpul- kan terjadi outbreak karena makanan
terkontaminasi (foodborne disease). Makanan mana dari ke 4 jenis tersebut yang
mengandung agen kausal dan merupakan penyebab outbreak? Karena sebagian

29
besar kasus telah terjadi, maka peneliti melakukan studi kohor retrospektif untuk
menjawab perta- nyaan tersebut. Data yang dikumpulkan disajikan dalam Tabel
6.4.

30
Tabel 6.4 Mengidentifikasi kausa outbreak, dengan
menghitung Risiko Relatif (RR) hasil dari studi kohor
retrospektif

Makan Tidak makan


Jenis Sakit Sehat Total Attac Sakit Sehat Total Attac RR
maka k k
nan
A 29 17 46 Rate
63 17 12 29 Rate
59 1.07
B 26 17 43 60
(%) 20 12 32 62
(%) 0.97
C 16 7 23 70 30 22 52 58 1.21
D 2 2 4 50 44 27 71 62 0.81
E 43 11 54 80 3 18 21 14 5.71

Penyebab outbreak dapat dianalisis dengan tabulasi silang untuk


menghitung Risiko Relatif (RR dan CI95%) untuk studi kohor, dan Odds Ratio
(OR dan CI95%) untuk studi kasus kontrol. Dalam contoh kasus ini, peneliti
melakukan studi kohor retrospektif, sehingga analisis data dilakukan dengan
menghitung RR untuk masing-masing jenis makanan. Prinsipnya, jenis makanan
dengan RR (atau OR) tertinggi merupakan penyebab outbreak yang paling
mungkin.
Tabel 16.3 dengan jelas menunjukkan jenis makanan E memiliki RR
tertinggi (5.71). Artinya, makan jenis makanan E meningkatkan risiko penyakit
sebesar 5.7 kali daripada tidak makan jenis makanan itu. Dengan RR tertinggi,
maka dapat disimpulkan jenis makanan E adalah penyebab outbreak paling
mungkin. Perhatikan analisis tentang risiko relatif dilakukan untuk masing-
masing jenis makanan secara terpisah. Dengan kata lain, Tabel 16.3 tidak
menganalisis kemungkinan inter- aksi antar jenis makanan. Interaksi (modikasi
efek) adalah pengubahan efek paparan sebuah faktor terhadap penyakit menurut
tingkat paparan faktor lain yang disebut effect modifier (pengubah efek).
Modifikasi efek adalah efek bersama (joint effect) antara dua atau lebih
variabel terhadap suatu variabel dependen yang membuat efek masing-
masing variabel independen itu jika hadir bersama berbeda dengan efek
variabel independen itu jika hadir sendiri-sendiri. Jika memungkinkan, peneliti

31
outbreak hendaknya menganalisis kemungkinan modifikasi efek. Sebagai
contoh, jika jenis makanan C berinteraksi dengan jenis makanan E, sehingga
memperkuat pengaruh E terhadap terjadinya gejala klinis penyakit, maka dalam
rangka pencegahan outbreak di masa mendatang, kombinasi kedua jenis
makanan tersebut perlu dihindari untuk mengurangi beratnya gejala klinis kasus.

6.
Mengkomunikas
ikan temuan

Temuan dan kesimpulan investigasi outbreak dikomunikasikan kepada berbagai


pihak pemangku kepentingan kesehatan masyarakat. Dengan tingkat rincian
yang bervariasi, pihak-pihak yang perlu diberitahu tentang hasil penyelidikan
outbreak mencakup pejabat kesehatan masyarakat setempat, pejabat pembuat
kebijakan dan pengambil keputusan kesehatan, petugas fasilitas pelayanan
kesehatan, pemberi informasi peningkatan kasus, keluarga kasus, tokoh
masyarakat, dan media. Penyajian hasil investigasi dilakukan secara lisan
maupun tertulis (laporan awal dan laporan akhir). Pejabat dinas kesehatan yang
berwewenang hendaknya hadir pada penyajian hasil investigasi outbreak.
Temuan-temuan disampaikan dengan bahasa yang jelas, objektif dan ilmiah,
dengan kesimpulan dan rekomendasi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Peneliti outbreak memberikan laporan tertulis dengan format yang lazim,
terdiri dari: (1) introduksi, (2) latar belakang, (3) metode, (4) hasil-hasil, (5)
pembahasan, (6) kesimpulan, dan (7) rekomendasi. Laporan tersebut mencakup
langkah pencegahan dan pengendalian, catatan kinerja sistem kesehatan,
dokumen untuk tujuan hukum, dokumen berisi rujukan yang berguna jika terjadi
situasi serupa di masa mendatang.

32
7. Mengevaluasi dan
meneruskan surveilans

Pada tahap akhir investigasi outbreak, Dinas Kesehatan Kota/ Kabupaten dan
peneliti outbreak perlu melakukan evaluasi kritis untuk mengidentifikasi
berbagai kelemahan program maupun defisiensi infrastruktur dalam sistem
kesehatan. Evaluasi tersebut memungkinkan dilakukannya perubahan-
perubahan yang lebih mendasar untuk memperkuat upaya program, sistem
kesehatan, termasuk surveilans itu sendiri. Investigasi outbreak memungkinkan
identifikasi populasi-populasi yang terabaikan atau terpinggirkan, kegagalan
strategi intervensi, mutasi agen infeksi, ataupun peristiwa- peristiwa yang terjadi
di luar kelaziman dalam program kesehatan. Evaluasi kritis terhadap kejadian
outbreak memberi kesempatan kepada penyelidik untuk mempelajari
kekurangan-kekurangan dalam investigasi outbreak yang telah dilakukan,
dan kelemahan-kelemahan dalam sistem kesehatan, untuk diperbaiki secara
sistematis di masa mendatang, sehingga dapat mencegah terulangnya outbreak.

B
a
b

3
KEDOKTERAN
KOMUNITAS

SAINS BIOMEDIS DAN


KEDOKTERAN

1
KLINIS

Disiplin sains kedokteran (medical science) bisa dibagi menjadi 3 kategori: (1)
Ilmu-ilmu Biomedis; (2) Kedokteran Klinis; dan (3) Kedokteran
Komunitas. Ilmu biomedis merupakan cabang sains kedokteran yang
menerapkan prinsip biologi dan fisiologi dalam praktik kedokteran klinis.
Termasuk dalam sains biomedis adalah anatomi, fisiologi, genetika, patologi,
kimia, biokimia, biologi, mikrobiologi, fisika medis, dan sebagainya. Ilmuwan
biomedis mempelajari dan mengembangkan teori kedokteran pada level
struktur, organ, jaringan, sel, gen, molekul, pada manusia. Ilmuwan biomedis
juga mempelajari substansi kimia, biologi (misalnya, mikroba), dan fisika
lainnya yang berasal dari agen penyakit dan lingkungan (Wikipedia, 2010a dan
b).

Sebagai contoh, anatomi merupakan cabang kedokteran yang


mempelajari struktur manusia sebagai organisme. Anatomi dibagi dua bagian:
(1) gross anatomy; dan (2) microspcopic anatomy. Gross anatomy
mempelajari struktur anatomi yang dapat dilihat tanpa alat bantu
penglihatan. Microscopic anatomy mempelajari struktur anatomi mikro dengan
bantuan mikroskop, mencakup histologi (ilmu yang mempelajari organisasi
jaringan) dan sitologi (ilmu tentang sel). Riset biomedis merupakan riset dasar
yang bertujuan untuk menemukan kandidat yang bisa dikembangkan untuk
menemukan teknologi kedokteran (misalnya, tes diagnostik) dan pengobatan
baru (misalnya, antibiotika baru). Melalui riset dasar biomedis dapat ditemukan
terobosan baru yang dapat memberikaan kontribusi signifikan untuk
memecahkan masalah kesehatan pasien, keluarga, dan komunitas.

Kedokteran klinis merupakan cabang sains kedokteran yang


mempelajari dan mempraktikkan berbagai pelayanan kesehatan yang ditujukan
untuk memulihkan kesehatan dengan cara mencegah dan mengobati penyakit
pada individu pasien (Wikipedia, 2010c). Berbeda dengan ilmuwan biomedis,
klien seorang dokter/ klinisi adalah individu manusia yang sedang mengalami

2
masalah kesehatan. Dalam praktik klinis, dokter melakukan penilaian pasien
dalam rangka untuk mendiagnosis, mengobati, dan mencegah penyakit,
dengan melakukan pertimbangan dan keputusan klinis (clinical judgment).
Hubungan dokter-pasien dimulai dengan interaksi dokter-pasien, melalukan
wawancara (anamnesis) untuk menemukan riwayat keluhan (symptoms) pasien,
melakukan pemeriksaan riwayat medis dalam rekam medis, dilanjutkan dengan
pemeriksaan fisik klasik kedokteran, meliputi inspeksi, palpasi, auskultasi,
perkusi.

Dalam pemeriksaan fisik, dokter mencari tanda-tanda (sign) penyakit.


Dengan berbagai pemeriksaan klinis tersebut dokter bisa membuat diagnosis
banding (differential diagnosis), yaitu sejumlah kecil diagnosis masalah pasien
yang paling mungkin. Untuk menentukan diagnosis yang paling benar, seorang
dokter mungkin perlu meminta pemeriksaan diagnostik tambahan, misalnya
tes darah atau prosedur diaagnostik penunjang lainnya yang memang benar-
benar perlu. Akhirnya dokter dapat menentukan diagnosis dan memberikan
terapi yang tepat, sesuai dengan diagnosis masalah pasien. Selama interaksi,
dokter memberikan informasi kepada pasien tentang semua fakta yang relevan
yang ditemukan dari pemeriksaan. Pemberian informasi kepada pasien penting,
untuk memelihara hubungan baik dokter-pasien dan membangun kepercayaan
(trust) di antara mereka. Dalam hubungan dokter-pasien dan pengambilan
keputusan klinis, para dokter dituntut untuk senantiasa menggunakan prinsip-
prinsip bioetika (Wikipedia, 2010c).

Kedokteran berbasis bukti (evidence-based medicine) merupakan


gerakan kontemporer dalam praktik kedokteran yang bertujuan untuk
memperbaiki kualitas pelayanan dokter, sehingga setiap keputusan klinis yang
diambil dapat memaksimalkan manfaat dan meminimalkan kerugian bagi
pasien. Tiga pilar utama kedokteran berbasis bukti mencakup: (1)
penggunaan secara sadar

3
bukti-bukti ilmiah terbaik dan terbaru, (2) penggunaan keahlian klinis (clinical
expertise), dan (3) memperhatikan nilai-nilai dan ekspektasi pasien. Penerapan
kedokteran berbasis bukti dan bioetika akan meningkatkan kualitas pelayanan
dokter, meningkatkan manfaat bagi pasien, meminimalkan kerugian bagi pasien
(misalnya, malpraktik), dan meningkatkan keselamatan pasien. Gerakan
kedokteran berbasis bukti difasilitasi oleh perkembangan pesat sains dan
teknologi informasi, yang memungkinkan penyebaran (diseminasi) bukti-
bukti ilmiah terbaik untuk digunakan oleh para dokter.

APAK
AH
KOMU
NITAS
?

Komunitas berasal dari kata Inggris “community” yang artinya “A group


of people living in a particular local area” – sekelompok orang yang
tinggal di suatu area lokal tertentu. Komunitas (community) merupakan
bagian dari masyarakat (society) yang memiliki persamaan karakteristik tertentu
dan biasanya bertempat tinggal di suatu area geografis yang bisa didefinisikan
dengan jelas. Sebagai contoh, pusat kesehatan masyarakat dalam bahasa Inggris
disebut community health center, bukan societal health center atau public
health center, karena memang didirikan dengan tujuan untuk melindungi dan
meningkatkan kesehatan komunitas tertentu, yaitu masyarakat yang tinggal di
suatu wilayah kecamatan. Para pekerja di suatu pertambangan minyak lepas
pantai juga merupakan contoh komunitas lainnya, yaitu komunitas pekerja yang
memiliki sejumlah persamaan karakteristik, yakni jenis pekerjaan, tempat
bekerja, dan tempat tinggal (meskipun sementara). Sivitas akademika yang
terdiri atas mahasiswa, dosen, dan karyawan administrasi, membentuk suatu
komunitas akademik di suatu area yang disebut kampus. Gambar 3.1 menyajikan
prototipe sebuah komunitas yang tinggal di area geografis yang terbatas, yang
dilayani dengan sejumlah fasilitas pelayanan publik, misalnya puskesmas, pasar,

4
restoran, bioskop, jalan mobil, tempat pejalan kaki yang aman, telepon umum,
dan sebagainya.

Gambar 3.1 Komunitas

Perlu dibedakan pengertian komunitas dan masyarakat. Masyarakat,


dalam bahasa Inggris disebut “society” atau “human society” adalah “A group
of people related to each other through persistent relations such as social
status, roles and social networks. By extension, society denotes the people of
a region or country, sometimes even the world, taken as a whole” –
Masyarakat adalah kelompok orang yang terhubungkan satu dengan
lainnya melalui relasi terus-menerus seperti status sosial, peran, dan jejaring
sosial. Perluasan pengertian masyarakat adalah kumpulan orang-orang di suatu
wilayah atau negara, bahkan kadang-kadang secara keseluruhan di seluruh

5
dunia.

6
APAKAH
KEDOKTERAN
KOMUNITAS?

Kedokteran komunitas (community medicine) adalah cabang kedokteran


yang memusatkan perhatian kepada kesehatan anggota-anggota komunitas,
dengan menekankan diagnosis dini penyakit, memperhatikan faktor-faktor yang
membahayakan (hazard) kesehatan yang berasal dari lingkungan dan pekerjaan,
serta pencegahan penyakit pada komunitas (The Free Dictionary, 2010).
Kedokteran komunitas memberikan perhatian tidak hanya kepada anggota
komunitas yang sakit tetapi juga anggota komunitas yang sehat. Sebab tujuan
utama kedokteran komunitas adalah mencegah penyakit dan meningkatkan
kesehatan anggota-anggota komunitas. Karena menekankan upaya pencegahan
penyakit, maka kedokteran komunitas kadang-kadang disebut juga kedokteran
pencegahan (preventive medicine). Kedokteran komunitas memberikan
pelayanan komprehensif dari preventif, promotif, kuratif hingga rehabilitatif.

Fokus perhatian kedokteran komunitas adalah masalah kesehatan dan


penyakit yang terjadi pada komunitas di mana individu tersebut tinggal,
bekerja, atau bersekolah. Implikasinya, kedokteran komunitas memberikan
prioritas perhatian kepada penyakit-penyakit yang menunjukkan angka
kejadian yang tinggi pada populasi, yang disebut “public health importance”.
Untuk itu seorang dokter yang berorientasi kedokteran komunitas diharapkan
memiliki kemampuan untuk menghitung frekuensi penyakit dan angka kejadian
penyakit pada populasi, mendiagnosis masalah penyakit pada populasi
(community diagnosis), membandingkan distribusi penyakit pada populasi-
populasi, lalu menarik kesimpulan tentang penyebab perbedaan distribusi
penyakit pada populasi, dan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk
mencegah penyakit, melindungi, memulihkan, dan meningkatkan kesehatan
populasi.

Selanjutnya, dalam memandang kausa masalah kesehatan pada pasien

7
maupun komunitas, kedokteran komunitas mengakui kausa penyakit yang
terletak pada level populasi dan lingkungan. Artinya, dokter komunitas tidak
hanya memperhatikan faktor-faktor penyebab yang terletak pada level individu,
tetapi juga determinan lainnya pada level keluarga, komunitas dan
lingkungan di mana pasien tersebut tinggal, bekerja, ataupun bersekolah.
Perspektif populasi memusatkan perhatian kepada kausa-kausa kontekstual yang
melatari penyakit, yakni determinan lingkungan, sosial, kultural, ekonomi, dan
politik yang menyebabkan terjadinya perbedaan frekuensi penyakit antar
populasi (Gambar 3.2). Sebagai contoh, keberhasilan pelayanan kesehatan
ditentukan tidak hanya oleh efikasi klinis dari pelayanan kesehatan itu sendiri
tetapi juga oleh nilai-nilai sosial, budaya, dan ekonomi yang mempengaruhi
keputusan pasien untuk menggunakan atau tidak menggunakan pelayanan
kesehatan tersebut. Alat kontrasepsi IUD memiliki efikasi tinggi untuk
mencegah kehamilan, tetapi metode itu tidak efektif jika diterapkan pada
komunitas yang memiliki nilai-nilai sosial bahwa memasang alat pada organ
reproduksi wanita merupakan cara yang tidak pantas.

Perspektif biomedis Perspektif populasi

Lingkungan Sosial
Agen infeksi

Akibat Akibat
Gen biologis paparan
paparan terhadap
terhadap distribusi
Toksin terjadinya penyakit
penyakit pada pada
individu populasi

8
Kultural Politik
Ekonomi

Gambar 3.2 Perspektif biomedis tentang akibat paparan


terhadap terjadinya penyakit pada individu dan perspektif
populasi tentang akibat paparan terhadap distribusi penyakit
pada populasi

9
KEDOKTERAN KOMUNITAS DAN
KEDOKTERAN KLINIS

Untuk bisa memahami dengan lebih jelas konsep kedokteran komunitas, perhatikan
perbedaan antara pendekatan kedokteran komunitas dan kedokteran klinis (Tabel 3.1).
Tabel 3.1 menunjukkan, kedokteran klinis memusatkan perhatian kepada pelayanan
kesehatan individu sakit, yaitu pasien. Kedokteran klinis mempelajari kesehatan dan
penyakit pada individu. Kedokteran klinis menggunakan perspektif biomedis
dalam memandang kausa penyakit. Kausa penyakit biasanya dilihat dengan model
kausasi tunggal dengan menggunakan Teori Kuman (Germ Theory), bahwa kausa
penyakit adalah kuman (misalnya, kausa tuberkulosis adalah Mycobacterium
tuberculosis; kausa sifilis adalah Treponema pallidum, dan sebagainya).

Di pihak lain, kedokteran komunitas menggunakan perspektif biomedis dan


populasi dalam memandang kausa penyakit dan masalah kesehatan. Kedokteran
komunitas menggunakan model kausasi majemuk (multikausal) dalam menjelaskan
terjadinya penyakit, baik pada individu maupun komunitas. Kejadian penyakit pada
individu merupakan akibat tidak hanya dari kausa proksimal atau kausa langsung (seperti
agen infeksi, toksin, gen, dan perilaku) tetapi juga kausa distal (faktor lingkungan, sosial,
ekonomi, kultural, dan politik). Sebagai contoh, terjadinya kasus tuberkulosis klinis
tidak hanya ditentukan oleh infeksi mycobacterium tuberkulosis tetapi juga sejumlah
faktor lain di tingkat individu maupun populasi.

Dokter sebagai klinisi memberikan pelayanan kuratif, mengembalikan keadaan


sakit pasien kepada keadaan sehat. Dokter komunitas memberikan pelayanan kesehatan
komprehensif, tidak hanya memberikan pelayanan kuratif dasar tetapi juga upaya
pencegahan primer, sekunder, dan tersier. Tingkat upaya pencegahan penyakit, terdiri
atas primer, sekunder, tersier, merupakan konsep epidemiologi, merujuk kepada upaya
pencegahan yang bisa dilakukan pada berbagai fase dalam kontinum perjalanan penyakit
yang disebut Riwayat Alamiah Penyakit (Natural History of Disease).

1
0
Tabel 3.1 Perbedaan pendekatan kedokteran komunitas dan
kedokteran klinis

No Variabel Kedokteran Klinis Kedokteran Komunitas


1 Klien Individu sakit (pasien) Individu sakit dan sehat, dan

2 Konsep kausasi Teori kuman (“Germ anggota


Kausasi majemuk (multikausal);
(peneybab) masalah theory”) – komunitas
prioritas
3 Level kausa masalah
kesehatan dan Individu
kausa tunggal Individu, keluarga,
kepada faktor komunitas,
risiko dan
perilaku,
4 kesehatan
penyakit danpelayanan
Jenis penyakit Kuratif lingkungannya
sosial, dan lingkungan
Komprehensif (preventif, promotif,
kesehatan kuratif, rehabilitatif); penekanan
pada pelayanan kesehatan
5 Tingkat kecanggihan Pelayanan medis Pelayanan kesehatan esensial
preventif dan promotif
6 pelayanan kesehatan
Level intervensi spesialistik
Individu (upaya kesehatan (=dasar,
Individu (UKP) dan komunitas
(pelayanan kesehatan) perorangan, primer)
7 Tujuan pelayanan Ketiadaan UKP) penyakit (upaya
Ketiadaan penyakit dan perbaikan
kesehatan masyarakat, UKM)
8 kesehatan
Dampak kesehatan (“absence
Kesehatan individu kualitas
Kesehatanhidup semua anggota
yang of disease”)
(pasien) komunitas
9 Tanggungjawab
ingin dicapai Dokter dan tenaga Dokter,
(“Health for tenaga kesehatan
All”), produktivitas
kesehatan kesehatan profesional,
dan
profesional dan komunitassosial-ekonomi
pembangunan

1
1
Pelayanan kesehatan dapat dilakukan pada level individu (upaya kesehatan
perorangan/ UKP) maupun level populasi (upaya kesehatan masyarakat, UKM). Upaya
pencegahan primer mencakup promosi kesehatan (misalnya, pendidikan kesehatan,
pemberian makanan tambahan dan mikronutrien) dan perlindungan spesifik (misalnya,
imunisasi untuk mencegah berbagai penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi,
penggunaan helm dan kacamata pengaman oleh pekerja untuk mencegah cedera,
pengabutan untuk membunuh Aedes aegypti sebagai vektor Demam Berdarah Dengue).

Upaya pencegahan sekunder meliputi deteksi dini penyakit (misalnya, skrining


hapusan Pap untuk kanker leher rahim, pemeriksaan tekanan darah untuk
mendeteksi hipertensi) dan pengobatan segera. Upaya pencegahan tersier meliputi
rehabilitasi, pemulihan fungsi dan anatomi, pembatasan kecacatan, pencegahan
komplikasi dan rekurensi, dan pencegahan kematian dini (misalnya, pemberian aspirin
pasca infark myokard akut untuk mencegah rekurensi dan kematian, fisioterapi dan
rehabilitasi pasien pasca stroke untuk mengembalikan semaksimal mungkin fungsi
kognitif, afektif dan psikomotor).

KEDOKTERAN KOMUNITAS DAN ILMU


KESEHATAN MASYARAKAT

Jelas bahwa konsep kedokteran komunitas merupakan perluasan dari konsep kedokteran
klinis, karena fokusnya tetap pada pelayanan kesehatan primer, tetapi masalah
(concern) yang diperhatikan tidak hanya kesehatan pasien an sich, tetapi juga kesehatan
keluarga dan anggota komunitas lainnya. Di sisi lain, kedokteran komunitas perlu
dibedakan dengan ilmu kesehatan masyarakat. Upaya kesehatan masyarakat
(UKM) yang dilakukan dokter yang berorientasi kedokteran komunitas adalah
UKM yang dilakukan sesuai dengan peran dan kapasitasnya sebagai seorang dokter,
bukan sebagai ahli kesehatan masyaarakat (public health specialist) (Wikipedia,
2010d). Sebagai contoh, telah banyak bukti kuat dari studi epidemiologi, biomedis, dan
klinis, yang menunjukkan bahwa merokok aktif maupun pasif merupakan kausa berbagai
penyakit kronis utama, seperti hipertensi, penjakit jantung koroner, diabetes melitus, dan
stroke. Tetapi kedokteran komunitas tidak menuntut seorang dokter untuk memiliki

1
2
kompetensi membuat rancangan undang- undang maupun melakukan advokasi
terbentuknya undang-undang, peraturan, atau kebijakan yang melarang merokok di
tempat-tempat umum. Intervensi tersebut dapat dirancang dan diimplementasikan oleh
ahli kesehatan masyarakat.

KEDOKTERAN
KELUARGA

Cabang kedokteran komunitas yang memberikan perhatian khusus kepada kesehatan


keluarga sebagai sebuah unit adalah kedokteran keluarga. Kedokteran keluarga
(family medicine) adalah disiplin ilmu yang menekankan pentingnya pemberian
pelayanan kesehatan yang personal, primer, komprehensif, dan berkelanjutan
(continuing) kepada individu dalam hubungannnya dengan keluarga, komunitas, dan
lingkungannya. Disiplin kedokteran keluarga juga dikenal dengan nama lain, misalnya
“praktik umum” (gerenal practice) atau “kedokteran pelayanan primer” (primary care
medicine). Tetapi terma kedokteran keluarga lebih disukai untuk menekankan keluarga
sebagai unit sosial yang memberikan dukungan kepada individu. Keluarga merupakan
sebab dan akibat kesehatan dan penyakit pada individu. Masalah kesehatan pasien
sering kali disebabkan oleh masalah yang terdapat pada keluarga. Sebaliknya, masalah
kesehatan pasien dapat menyebabkan masalah kesehatan keluarga (National University of
Singapore, 2004; Wikipedia, 2010e).

Terdapat beberapa nilai-nilai utama yang dianut dalam kedokteran keluarga (National
University of
Singapore, 2004, Wikipedia,
2010e):
1. Pelayanan berpusat pada pasien (patient-centered care) dan perhatian khsus
kepada hubungan dokter-asien
2. Pendekatan holistik kepada pasien dan masalahnya – masalah penyakit pasien
tidak hanya disebabkan oleh dimensi fisik tetapi juga sosial dan psikologi (model
bio-pskio-sosial penyakit)

1
3
dari pasien, keluarga, dan komunitasnya. Memberikan perhtaian kepada aspek sosial
dan psikologi pasien sering kali efektif dalam memecahkan masalah fisik pasien.
Pendekatan holistik pada pasien sangat penting pada zaman sekarang ketika teknologi
tinggi kedokteran telah menyebabkan dehumanisasi pasien dan fragmentasi pelayanan
kesehatan.
3. Kedokteran pencegahan – memberikan dampak kepada status kesehatan yang lebih
panjang daripada kedokteran kuratif
4. Semua usia – dokter keluarga melayani orang dari segala usia, sehingga dokter
keluarga disebut sebagai “specialist in breadth”, berbeda dengan spesialis di
rumah sakit yang “specialist in depth”.
5. Dokter keluarga bersedia memberikan pelayanan tidak hanya di ruang konsultasi
klinik tetapi juga di rumah dan setting pelayanan lainnya.

KEDOKTERAN
OKUPASI

Cabang kedokteran komunitas yang memberikan perhatian khusus kepada komunitas


pekerja adalah kedokteran okupasi. Kedokteran okupasi (occupational medicine)
merupakan sebuah disiplin ilmu yang mempelajari pengaruh pekerjaan terhadap kesehatan
pekerja dan pengaruh kesehatan pekerja terhadap pekerjaan. Kedokteran okupasi
melakukan intervensi kesehatan yang ditujukan kepada para pekerja dan lingkungan
kerjanya, yang bersifat pencegahan primer (health promotion, specific protection),
sekunder (early detection and prompt treatment), dan tersier (disability limitation,
rehabilitation, prevention of premature death).

Kedokteran okupasi melakukan penilaian tentang berbagai risiko dan bahaya


(hazard) di tempat kerja bagi kesehatan pekerja, dan menerapkan upaya pencegahan
penyakit dan cedera, serta meningkatkan kesehatan populasi pekerja. Dokter okupasi
melakukan upaya menurunkan risiko, mencegah terjadinya penyakit dan cedera
akibat kerja, dengan menerapkan ventilasi setempat, penggunaan peralatan protektif
perorangan, perubahan cara bekerja, dan vaksinasi. Dokter okupasi melakukan
surveilans kesehatan melalui skrining/ pemeriksaan kesehatan secara berkala (Agius dan

1
4
Seaton, 2005).

Dokter okupasi juga melakukan pencegahan tersier, yakni melakukan upaya


pelayanan medis perorangan pasca penyakit untuk membatasi kecacatan, disfungsi sisa,
dan kematian, melakukan rehabilitasi, dan mencegah rekurensi penyakit, untuk
memulihkan dan meningkatkan derajat kesehatan masing-masing pekerja.

Tetapi dokter okupasi juga memberikan pelayanan medis langsung kepada


pekerja yang sakit. Dokter okupasi menaksir besarnya masalah dan memberikan
pelayanan kuratif untuk mengatasi masalah penyakit yang dialami pekerja. Dokter
okupasi melakukan penatalaksanaan medis terhadap gangguan-gangguan penyakit
penting yang berhubungan dengan pekerjaan, mencakup pernapasan, kulit, luka bakar,
kontak dengan agen fisik atau kimia, keracunan, dan sebagainya. Dokter okupasi
menganalisis absensi pekerja, dan menghubungkannya dengan faktor- faktor penyebab
(Agius dan Seaton, 2005).

Semua kegiatan kedokteran okupasi tersebut ditujukan untuk melindungi,


memelihara, dan meningkatkan derajat kesehatan pekerja. Derajat kesehatan yang optimal
memberikan kontribusi bagi kinerja perusahaan, seperti produktivitas, laba (profitability),
dan kelangsungan hidup (survival) (Segal, 1999). Peningkatan derajat kesehatan pekerja
akan meningkatkan produktivitas laba, dan kelangsungan hidup perusahaan.

REFE
RENC
E:

Agius R , Seaton A (2005). Practical occupational medicine. UK: Hodder Headline/


Arnold Publishers
National University of Singapore (2004). Family medicine posting. Family medicine
primer 2004.
Singapore: Department of Community, Occupation and Family Medicine. National
University of

1
5
Singa
pore.

1
6
Segal L (1999). Issues in the economic evaluation of health promotion in the
workplace. Research
Report 3. Centre for Health Program Evaluation, Health Economics
Unit, Monash University.
The Free Dictionary (2010). Community medicine. medical-
dictionary.thefreedictionary.com/
community+medicine. Diakses 20 Agustus 2010.
Wikipedia (2010a). Biomedicine. en.wikipedia.org/wiki/Biomedicine. Diakses 24
Agustus 2010.
(2010b). Health sciences. en.wikipedia.org/wiki/Health_science
Diakses 24 Agustus 2010.
(2010c). Medicine. en.wikipedia.org/wiki/Medicine Diakses 24
Agustus 2010.
(2010d). Medicine. en.wikipedia.org/wiki/Public Health Diakses 24
Agustus 2010.
(2010e). Family medicine en.wikipedia.org › Health science ›
Medicine. Diakses 24 Agustus
2010.

R
E
F
E
R
E
N
S
I

1
7
Aragón T, Enanoria W, Reingold A (2007). Conducting an outbreak
investigation in 7 steps (or less).
Center for Infectious Disease Preparedness, UC Berkeley School
of Public Health.
http://www.idready.org. Diakses Juli 2007.
Bensimon CM, Upshur REG (2007). Evidence and effectiveness in
decisionmaking for quarantine. Am
J Public Health;97:S44-48.
Bres P (1986). Public health action in emergencies caused by epidemics: a
practical guide. Geneva: World Health Organization.
Calain P (2006). Exploring the international arena of global public health
surveillance. Health Policy and Planning 2007;22:2–12
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) (2002). Glossary of
epdemiologic terms. Centers
for Disease Control and Prevention, Atlanta, GA. www.cdc.gov/excite/
glossary. htm
(1996). Comprehensive plan for epidemiologic surveillance. Atlanta,
GA: Centers for Diseases
Control.
(1992). Principles of epidemiology: an introduction to applied
epidemiology and biostatistics.
2nd ed. Atlanta (GA):U.S. Dept. of Health and Human Services.
(1990). Guidelines for investigating clusters of health events.
MMWR, 39(RR-11): 1-15.
DepKes (2004). Keputusan Menteri Kesehatan No. 1479/MenKes/SK/X/2003,
tentang pedoman penyelenggaraan sistem surveilans epidemiologi
penyakit menular dan penyakit tidak menular terpadu. Jakarta: DepKes RI.
DeSalle R (2007). The natural history of infectious disease. American Museum
of Natural History. www.amnh.org/exhibitions/epidemic/. Diakses Juni
2007.
Duffy ME, Jacobsen BS (2001). Univariate descriptive statistics. In: Barbara
Hazard Munro (ed.):

1
8
Statistical methods for health care research. Philadelphia, PA: Lippincott.
Folland S, Goodman AC, Stano S (2001). The economics of health and health
care. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, Inc.
Gerstman, BB (1998). Epidemiology kept simple: An introduction to
classic and modern epidemiology. New York: Wiley-Liss, Inc.
Giesecke J (2002). Modern infectious disease
epidemiology. London: Arnold. Gordis, L (2000).
Epidemiology. Philadelphia, PA: WB Saunders Co.
GreenbergRS, Daniels SR, Flanders WD, Eley JW, Boring JR (2005). Medical
epidemiology. New York: Lange Medical Books/ McGraw-Hill.
JHU (=Johns Hopkins University) (2006). Disaster epidemiology. Baltimore,
MD: The Johns Hopkins
and IFRC Public Health Guide for Emergencies.
Hornby AS (2003). Oxford advanced Learner’s Dictionary of current
English. New York: Oxford
University Press.
Langmuir AD (1976). William Farr: Founder of modern concepts of
surveillance. Int J Epidemiol, 5:

1
9
13-18
Last, JM (2001). A dictionary of epidemiology. New York: Oxford University
Press, Inc.
Mandl KD, Overhage M, Wagner MM, Lober WB, Sebastiani P, Mostahari F,
Pavlin JA, Gesteland PH, Treadwell T, Koski E, Hutwagner L,
Buckeridge DL , Aller RD, Grannis S (2004). Implementing syndromic
surveillance: A practical guide informed by the early experience. J Am
Med Inform Assoc., 11:141–150.
McNabb SJN, Chungong S, Ryan M, Wuhib T, Nsubuga P, Alemu W, Karande-
Kulis V, Rodier G (2002).
Conceptual framework of public health surveillance and action and its
application in health sector reform. BMC Public Health, 2:2
http://www.biomedcentral. Com
Monto AS (2005). The threat of an avian influenza pandemic. The New England
Journal of Medicine,
352 (4): 323-325
Morton RF, Hebel JR, McCarter RJ (1990). A study guide to epidemiology and
biostatistics. Rockville, MD: Aspen Publishers.
Murti B (2006). Desain dan ukuran sampel untuk penelitian kuantitatif dan
kualitatif di bidang kesehatan. Yogyakarta: UGM Press.
Pavlin JA (2003). Investigation of disease outbreaks detected by “syndromic”
surveillance systems.
Journal of Urban Health: Bulletin of the New York Academy of
Medicine, 80 (Suppl 1): i107- i114(1).
Rothman KJ (1990). A sobering start for the cluster buster’s conference. Am J
Epidemiol, 132 (Suppl.
No. 1): S6-S13.
Sloan PD, MacFarqubar JK, Sickbert-Bennett E, Mitchell CM, Akers R,
Weber DJ, Howard K (2006).
Syndromic surveillance for emerging infections in office practice using
billing data. Ann Fam
Med 2006;4:351-358.

2
0
Tapla-Conyer R, Kuri-Morales P, Gonzalez-Urban L, Sarti E (2001). Evolution
and reform of Mexican
National Epidemiological Surveillance System. Am J Public Health, 91
(11): 1758-1760.
Thacker SB, Choi K, Brachman PS (1983). The surveillance of infectious
diseases. JAMA, 249: 1181-85
Tollman SM, Zwi AB (2000). Health system reform and the role of field
sites based upon demographic and health surveillance. Bull World Health
Organization, 78(1): 125-134
Tomes N (2000). The making of a germ panic, then and now. Am J Public
Health;90:191–198.
WHO (2001). An integrated approach to communicable disease surveillance.
Weekly epidemiological record, 75: 1-8. http://www.who.int/wer
(2002). Surveillance: slides. http://www.who.int
(2007). WHO case definitions for human infections with
influenza A(H5N1)
virus.www.who.int/csr/disease/avian_influenza/.
Diakses Juli 2007. Wikipedia (2007). AIDS.
http://en.wikipedia.org/wiki/AIDS
Wuhib T, Chorba TL, Davidiants V, MacKenzie WR, McNabb SJN (2002).
Assessment of the infectious
diseases surveillance system of the Republic of Armenia: an example of
surveillance in The
Republics of the former Soviet Union. BMC Public Health, 2:3
http://www.biomedcentral.com.

2
1

Anda mungkin juga menyukai