Anda di halaman 1dari 17

INVESTIGASI OUTBREAK

DEFINISI

Outbreak adalah peningkatan insidensi kasus yang melebihi ekspektasi normal secara mendadak

pada suatu komunitas, di suatu tempat terbatas, misalnya desa, kecamatan, kota, atau institusi yang

tertutup (misalnya sekolah, tempat kerja, atau pesantren) pada suatu periode waktu tertentu
(Gerstman,

1998; Last, 2001; Barreto et al., 2006). Hakikatnya outbreak sama dengan epidemi (wabah).

Hanya saja terma kata outbreak biasanya digunakan untuk suatu keadaan epidemik yang terjadi

pada populasi dan area geografis yang relatif terbatas. Area terbatas yang merupakan tempat

terjadinya outbreak disebut fokus epidemik. Alasan lain penggunaan terma outbreak sebagai

pengganti epidemi karena kata epidemi atau wabah berkonotasi gawat sehingga dapat

menimbulkan kepanikan pada masyarakat (Tomes, 2000). Kata epidemi tidak disukai oleh para

pejabat sebab kejadian epidemi di suatu wilayah dapat menampar muka pejabat yang
bertanggungjawab

di wilayah tersebut. Karena itu biasanya terma epidemi atau wabah diganti dengan terma

yang lebih halus, yaitu outbreak atau kejadian luar biasa (extra-ordinary events), disingkat KLB.

Bahkan dalam bahasa Inggris juga dikenal kata yang lebih eufemistik (halus) daripada outbreak, yaitu

upsurge yang berarti peningkatan suatu kejadian peristiwa secara tiba-tiba.

Gambar 6.1 menyajikan outbreak (epidemi) penyakit sebagai suatu fungsi dari waktu. Untuk

penyakit infeksi akut, misalnya kolera, epidemi bisa terjadi dalam tempo beberapa hari. Tetapi untuk

penyakit kronis, misalnya kanker paru, epidemi bisa terjadi dalam tempo beberapa tahun atau

dekade (Greenberg et al., 2005). Jika jumlah agen infeksi (misalnya, parasit) menurun drastis pasca

epidemi, sehingga jumlah kasus menurun, keadaan itu disebut epidemic fadeout.

Dalam menentukan outbreak/ epidemi perlu batasan yang jelas tentang komunitas, daerah,

dan waktu terjadinya peningkatan kasus. Untuk dapat dikatakan outbreak/ epidemi, jumlah kasus

tidak harus luar biasa banyak dalam arti absolut, melainkan luar biasa banyak dalam arti relatif,

ketika dibandingkan dengan insidensi biasa pada masa yang lalu, disebut tingkat endemis

(Greenberg et al., 2005). Segelintir kasus bisa merupakan epidemi jika muncul pada kelompok,

tempat, dan waktu yang tidak biasa. Ditemukannya dua kasus penyakit yang telah lama absen
(misalnya, variola), atau pertama kali invasi di suatu populasi dan wilayah (misalnya, HIV/ AIDS),

dapat dikatakan epidemi, dan otoritas kesehatan dapat mulai melakukan penyelidikan dan

pengendalian terhadap epidemi itu (Last, 2001).

Konsep epidemi berlaku untuk penyakit infeksi, penyakit non-infeksi, perilaku kesehatan,

maupun peristiwa kesehatan lainnya, misalnya epidemi kolera, epidemi SARS, epidemi gizi buruk

anak balita, epidemi merokok, epidemi stroke, epidemi Ca paru, dan sebagainya (Gerstman, 1998;

Last, 2001; Greenberg et al., 2005; Barreto et al., 2006). Contoh, tahun 1981 di Los Angeles diteGambar

6.1 Timbulnya epidemi penyakit dengan berlangsungnya

waktu (Sumber: Greenberg et al., 2005)

mukan di kalangan pria homoseksual sejumlah kasus (disebut cluster) radang paru langka, yaitu

pneumonia pneumocystis carinii (kini pneumocystis jiroveci pneumonia). Meski hanya menyangkut

segelintir kasus (rare events), peristiwa itu merupakan peristiwa luar biasa (extra-ordinary

events) yang dapat disebut epidemi, karena belum pernah dijumpai sebelumnya. Penyakit itu lalu

dikenal sebagai AIDS (Acquired Immuno-Deficiency Syndrome).

Outbreak terjadi jika terdapat ketidakseimbangan antara penjamu, agen, dan lingkungan: (1)

Keberadaan patogen (agen yang menimbulkan penyakit) dalam jumlah cukup untuk menjangkiti

sejumlah individu; (2) Terdapat modus transmisi patogen yang cocok kepada individu-individu

rentan; (3) Terdapat jumlah yang cukup individu-individu rentan yang terpapar oleh patogen

(Greenberg et al., 2005).

ALASAN MELAKUKAN INVESTIGASI OUTBREAK

Jika terjadi outbreak maka pihak berwewenang melakukan investigasi outbreak secara retrospektif

dan/ atau prospektif (apabila outbreak masih berlangsung) dengan alasan: (1) Mencegah bertambahnya

kasus dari outbreak sekarang; (2) Mencegah outbreak di masa mendatang, dengan cara

memperbaiki program kesehatan, sistem surveilans, dan sistem kesehatan; (3) Menerapkan sistem

surveilans (investigasi outbreak merupakan bagian dari sistem surveilans); (4) Mempelajari penyakit

baru; (5) Mempelajari aspek baru dari penyakit lama; (6) Memberi keyakinan kepada publik bahwa

telah diambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi outbreak, agar tidak terjadi situasi
panik; (7) Minimalisasi disrupsi ekonomi dan sosial akibat outbreak; (8) Mengajarkan apa dan bagaimana

epidemiologi (karena sesungguhnya investigasi outbreak merupakan prototipe epidemiologi,

mencakup epidemiologi deskriptif, epidemiologi analitik, dan penerapan hasil studi untuk
mengendalikan

dan mencegah penyakit).

TUJUAN INVESTIGASI OUTBREAK

Intinya, investigasi outbreak dilakukan untuk dua tujuan: (1) Mengetahui penyebab outbreak; (2)

Menyetop outbreak sekarang dan mencegah outbreak di masa mendatang (Greenberg et al., 2005).

Tujuan khusus investigasi outbreak adalah mengidentifikasi: (1) Agen kausa outbreak; (2) Cara

transmisi; (3) Sumber outbreak; (4) Carrier; (5) Populasi berisiko; (6) Paparan yang menyebabkan

penyakit (faktor risiko).

LANGKAH-LANGKAH INVESTIGASI OUTBREAK

Tabel 6.1 menyajikan 7 langkah investigasi outbreak. Perhatikan, jumlah langkah dan sekuensi

investigasi outbreak bisa bervariasi, tetapi intinya mencakup prinsip seperti disajikan Tabel 6.1.

Tabel 5.1 Langkah-langkah investigasi outbreak

1 Identifikasi outbreak

2 Investigasi kasus

3 Investigasi kausa

4 Langkah pencegahan dan pengendalian

5 Studi analitik (jika perlu)

6 Komunikasikan temuan

7 Evaluasi dan teruskan surveilans

Langkah pencegahan kasus dan pengendalian outbreak dapat dimulai sedini mungkin (do early)

setelah tersedia informasi yang memadai. Bila investigasi outbreak telah memberikan fakta yang

jelas mendukung hipotesis tentang kausa outbreak, sumber agen infeksi, dan cara transmisi yang

menyebabkan outbreak, maka upaya pengendalian dapat segera dimulai tanpa perlu menunggu

pengujian hipotesis oleh studi analitik yang lebih formal.


3

10

20

30

40

50

60

JJASONDJFMAMJ

Bulan dan tahun

Jumlah kasus

2006 2007

Gambar 6.2 Outbreak kasus Escherichia coli O157:H7

1. Identifikasi outbreak

Outbreak adalah peningkatan kejadian kasus penyakit yang lebih banyak daripada ekspektasi normal

di di suatu area atau pada suatu kelompok tertentu, selama suatu periode waktu tertentu. Informasi

tentang potensi outbreak biasanya datang dari sumber-sumber masyarakat, yaitu laporan pasien

(kasus indeks), keluarga pasien, kader kesehatan, atau warga masyarakat. Tetapi informasi tentang

potensi outbreak bisa juga berasal dari petugas kesehatan, hasil analisis data surveilans, laporan

kematian, laporan hasil pemeriksaan laboratorium, atau media lokal (suratkabar dan televisi).

Hakikatnya outbreak merupakan deviasi (penyimpangan) dari keadaan rata-rata insidensi

yang konstan dan melebihi ekspektasi normal Karena itu outbreak ditentukan dengan cara

membandingkan jumlah kasus sekarang dengan rata-rata jumlah kasus dan variasinya di masa lalu

(minggu, bulan, kuartal, tahun). Besar deviasi yang masih berada dalam ekspektasi normal bersifat

arbitrer, tergantung dari tingkat keseriusan dampak yang diakibatkan bagi kesehatan masyarakat di

masa yang lalu. Sebagai ancar-ancar kuantitatif, pembuat kebijakan dapat menggunakan mean+3SD

sebagai batas untuk menentukan keadaan outbreak. Batas mean+/- 3SD lazim digunakan dalam

biostatistik untuk menentukan observasi ekstrim yang disebut outlier (Duffy dan Jacobsen, 2001),

jadi suatu kondisi yang sesuai dengan definisi epidemi/ outbreak.


Sumber data kasus untuk menenetukan terjadinya outbreak: (1) Catatan surveilans dinas

kesehatan; (2) Catatan morbiditas dan mortalitas di rumah sakit; (3) Catatan morbiditas dan

mortalitas di puskesmas; (4) Catatan praktik dokter, bidan, perawat; (5) Catatan morbiditas upaya

kesehatan sekolah (UKS).

Contoh 1, salah satu bakteria yang paling sering menyebabkan klaster penyakit adalah

Escherechia coli O157:H7. Andaikan Juni 2007 terdapat 52 kasus Escherichia coli. Data jumlah kasus

per bulan dalam setahun terakhir disajikan Gambar 6.2. Apakah terjadi outbreak? Jawab: Dari data

dapat dihitung Mean= 14.3. SD= 5.7. Mean+3SD= 14.3* 3(5.7)= 31.4. Pada Juni 2007 terdapat 52

kasus, lebih banyak daripada ekspektasi normal= 31.4 kasus. Jadi Juni 2007 terjadi outbreak E. coli.

Perhatian, kenaikan jumlah kasus saja belum tentu mengisyaratkan outbreak. Terdapat

sejumlah faktor yang bisa menyebabkan jumlah kasus tampak meningkat: (1) Variasi musim

(misalnya, diare meningkat pada musim kemarau ketika air bersih langka) (2) Perubahan dalam

pelaporan kasus; (3) Perubahan definisi kasus (makin inklusif, makin banyak jumlah kasus); (4) Perbaikan

dalam prosedur diagnostik (makin sensitif, makin banyak jumlah kasus); (5) Kesalahan diagnosis

(misalnya, kesalahan hasil pemeriksaan laboratorium); (6) Peningkatan kesadaran petugas kesehatan

(meningkatkan intensitas pelaporan); (7) Media yang memberikan informasi bias dari sumber yang

tidak benar (menimbulkan false alert).

Terjadinya outbreak dan teridentifikasinya sumber dan kausa outbreak perlu ditanggapi

dengan tepat. Jika terjadi kenaikan signifikan jumlah kasus sehingga disebut outbreak, maka pihak

dinas kesehatan yang berwewenang harus membuat keputusan apakah akan melakukan investigasi

outbreak. Sejumlah faktor mempengaruhi dilakukan atau tidaknya investigasi outbreak: (1)

Keparahan penyakit; (2) Potensi untuk menyebar; (3) Pertimbangan politis; (4) Perhatian dan

tekanan dari masyarakat; (5) Ketersediaan sumber daya. Beberapa penyakit menimbulkan manifestasi

klinis ringan dan akan berhenti dengan sendirinya (self-limiting diseases), misalnya flu biasa.

Implikasinya, tidak perlu dilakukan investigasi outbreak maupun tindakan spesifik terhadap

outbreak, kecuali kewaspadaan. Tetapi outbreak lainnya akan terus berlangsung jika tidak ditanggapi

dengan langkah pengendalian yang tepat. Sejumlah penyakit lain menunjukkan virulensi tinggi,

mengakibatkan manifestasi klinis berat dan fatal, misalnya flu burung. Implikasinya, sistem
kesehatan perlu melakukan investigasi outbreak dan mengambil langkah-langkah segera dan tepat

untuk mencegah penyebaran lebih lanjut penyakit itu.

2. Investigasi kasus

DEFINISI KASUS Peneliti melakukan verifikasi apakah kasus-kasus yang dilaporkan telah didiagnosis

dengan benar (valid). Peneliti outbreak mendefinisikan kasus dengan menggunakan seperangkat

kriteria sebagai berikut: (1) Kriteria klinis (gejala, tanda, onset); (2) Kriteria epidemiologis (karakteristik

orang yang terkena, tempat dan waktu terjadinya outbreak); (3) Kriteria laboratorium (hasil

kultur dan waktu pemeriksaan) (Bres, 1986).

Definisi kasus harus valid (benar), baku, dan sebaiknya seragam. Definisi kasus yang baku

dan seragam penting untuk memastikan bahwa setiap kasus didiagnosis dengan cara yang sama,

konsisten, tidak tergantung pada siapa yang mengidentifikasi kasus, maupun di mana dan kapan

kasus tersebut terjadi. Definisi kasus yang baku memungkinkan dilakukannya perbandingan jumlah

kasus penyakit yang terjadi di suatu waktu atau tempat dengan jumlah kasus yang terjadi di waktu

atau tempat lainnya. Sebagai contoh, dengan definsi kasus baku dapat dibandingkan jumlah kasus

Demam Berdarah Dengue (DBD) yang terjadi pada Januari 2010 di Surakarta dengan jumlah kasus

pada Februari 2010 di kota itu. Demikian pula dapat dibandingkan jumlah kasus DBD yang terjadi

pada Januari 2010 di Surakarta dengan jumlah kasus pada Januari 2010 di Jakarta. Dengan definisi

kasus standar, maka jika ditemukan perbedaan jumlah kasus maka merupakan perbedaan yang

sesungguhnya, bukan karena perbedaan dalam mendiagnosis (CDC, 2010a). Penggunaan definisi

kasus seperti yang direkomendasikan Standar Surveilans WHO memungkinkan pertukaran informasi

tentang kejadian penyakit-penyakit secara internasional.

Dengan menggunakan definisi kasus, maka individu yang diduga mengalami penyakit akan

dimasukkan dalam salah satu klasifikasi kasus. Berdasarkan tingkat ketidakpastian diagnosis, kasus

dapat diklasifikasikan menjadi: (1) kasus suspek (suspected case, syndromic case), (2) kasus mungkin

(probable case, presumptive case), dan (3) kasus pasti (confirmed case, definite case). Tabel 6.2

menyajikan klasifikasi kasus menurut kriteria pemeriksaan klinis, epidemiologis, dan laboratoris.

Tabel 6.2 Klasifikasi kasus menurut kriteria pemeriksaan klinis, epidemiologis, dan

laboratoris
Klasifikasi kasus Kriteria

Kasus suspek

(suspected case,

syndromis case)

Tanda dan gejala klinis cocok dengan penyakit, terdapat bukti

epidemiologi, tetapi tidak terdapat bukti laboratorium yang

menunjukkan tengah atau telah terjadi infeksi (bukti

laboratorium negatif, tidak ada, atau belum ada)

Kasus mungkin

(probable case,

presumptive case)

Tanda dan gejala klinis cocok dengan penyakit, terdapat bukti

epidemiologis, terdapat bukti laboratorium yang mengarah

tetapi belum pasti, yang menunjukkan tengah atau telah terjadi

infeksi (misalnya, bukti dari sebuah tes serologis tunggal)

Kasus pasti

(confirmed case,

definite case)

Terdapat bukti pasti laboratorium (serologis, biokimia,

bakteriologis, virologis, parasitologis) bahwa tengah atau telah

terjadi infeksi, dengan atau tanpa kehadiran tanda, gejala klinis,

atau bukti epidemiologis

Sumber: Bres (1986)

Klasifikasi kasus bersifat dinamis, bisa berubah dan direvisi selama investigasi seiring dengan

adanya tambahan informasi baru tentang sumber, modus transmisi, agen etiologi. Tabel 6.3

menyajikan contoh definisi kasus kolera menurut WHO.

Tabel 6.3 Definisi kasus kolera menurut WHO

KOLERA

Deskripsi kasus klinis


Pada area tidak terdapat penyakit kolera:

Dehidrasi berat atau kematian karena diare cair akut pada seorang pasien berusia 5 tahun atau lebih

Pada area endemis kolera:

Diare cair akut, dengan atau tanpa muntah pada seorang pasien berusia 5 tahun atau lebih

Pada area epidemi kolera:

Diare cair akut, dengan atau tanpa muntah, pada pasien

Kriteria laboratorium untuk diagnosis:

Isolasi Vibrio cholera O1 atau O139 dari tinja pada pasien dengan diare.

Klasifikasi kasus

Kasus suspek (suspect case): Kasus yang memenuhi definisi kasus klinis

Kasus mungkin (probable case): Tidak berlaku

Kasus pasti (confirmed case): Kasus suspek yang dikonfirmasi dengan hasil tes laboratorium

Catatan:

Kolera tidak terjadi pada anak balita. Memasukkan semua kasus diare cair akut pada kelompok usia 2-4
tahun

ke dalam pelaporan akan menurunkan spesifisitas pelaporan (banyak positif palsu). Untk keperluan

manajemen kasus diare cair akut di area epidemi kolera, semua pasien dengan diare cair akut
hendaknya

diklasifikasikan sebagai kasus suspek. Hanya kasus pasti yang harus dilaporkan kepada WHO.

Sumber: WHO, 1999

Klasifikasi kasus (yang berbeda tingkat kepastiannya tersebut) memungkinkan dilakukannya

upaya untuk meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas pelaporan. Kasus suspek bersifat sensitif

tetapi kurang spesifik, dengan tujuan mengurangi negatif palsu. Kasus mungkin dan kasus pasti

bersifat lebih sensitif dan lebih spesifik daripada kasus suspek, dengan tujuan mengurangi positif

palsu. Petugas kesehatan di tingkat pelayanan primer minimal harus mampu mendiagnosis kasus

suspek. Tergantung fasilitas laboratorium dan jenis penyakit, petugas kesehatan di tingkat pelayanan

primer pada umumnya hanya mampu mendiagnosis kasus suspek atau kasus mungkin. Tetapi untuk

penyakit tertentu, sebagian puskesmas dapat mendiagnosis kasus pasti, misalnya malaria dan

tuberkulosis paru. Demikian pula pada umumnya fasilitas pelayanan kesehatan sekunder (RS) yang
6

memiliki fasilitas laboratorium mampu mendiagnosis kasus pasti. Tetapi untuk penyakit tertentu,

misalnya kasus infeksi H5N1, hanya rumah sakit tertentu mampu mendiagnosis kasus pasti..

PENEMUAN KASUS Kasus pertama yang dilaporkan (kasus indeks) belum tentu sama dengan kasus

primer, yaitu kasus pertama dalam komunitas. Kasus pertama yang datang ke fasilitas pelayanan

kesehatan biasanya hanya merupakan sebagian kecil dari seluruh jumlah kasus yang ada (tip of the

iceberg, puncak gunung es). Karena itu, setelah mendefinisikan kasus, langkah investigasi

selanjutnya adalah mencari kasus (case finding). Tujuan penemuan kasus: (1) Mengetahui luas

outbreak; (2) Mengetahui populasi berisiko; (3) Mengidentifikasi kasus sekunder (kemungkinan

penyebaran dari orang ke orang); (4) Mengidentifikasi sumber-sumber infeksi; (5) Mengidentifikasi

kontak dengan kasus terinfeksi.

Untuk menemukan kasus-kasus lainnya, peneliti outbreak dianjurkan untuk menggunakan

sebanyak mungkin sumber informasi: (1) Surveilans aktif dan survei khusus (para peneliti dikirimkan

ke daerah yang terkena outbreak untuk mengumpulkan berbagai informasi tentang kondisi-kondisi

spesifik tertentu dari pelapor potensial, dokter, rumah sakit, sekolah, dan lain-lain); (2) Surveilans

pasif (mengandalkan laporan rutin oleh petugas kesehatan tentang penyakit-penyakit yang harus

dilaporkan); (3) Pengembangan informasi kasus yang diperoleh dari media (berita yang dilansir

media ditanggapi dengan mengecek kasus di lapangan).

3. Investigasi kausa

WAWANCARA DENGAN KASUS Intinya, tujuan wawancara dengan kasus dan nara sumber terkait

kasus adalah untuk menemukan kausa outbreak. Dengan menggunakan kuesioner dan formulir

baku, peneliti mengunjungi pasien (kasus), dokter, laboratorium, melakukan wawancara dan
dokumentasi

untuk memperoleh informasi berikut: (1) Identitas diri (nama, alamat, nomer telepon jika

ada); (2) Demografis (umur, seks, ras, pekerjaan); (3) Kemungkinan sumber, paparan, dan kausa; (4)

Faktor-faktor risiko; (5) Gejala klinis (verifikasi berdasarkan definisi kasus, catat tanggal onset gejala

untuk membuat kurva epidemi, catat komplikasi dan kematian akibat penyakit); (6) Pelapor

(berguna untuk mencari informasi tambahan dan laporan balik hasil investigasi). Pemeriksaan klinis
ulang perlu dilakukan terhadap kasus yang meragukan atau tidak didiagnosis dengan benar

(misalnya, karena kesalahan pemeriksaan laboratorium).

Informasi tentang masing-masing kasus yang diwawancara/ ditemui dimasukkan dalam

tabel outbreak (=line listing). Dalam tabel outbreak, variabel-variabel tentang informasi kasus

diletakkan pada kolom, sedang urutan kasus diletakkan pada baris. Ikhtisar informasi tentang kasus

yang dicatat dalam tabel outbreak berguna untuk merumuskan teori/ hipotesis tentang sumber,

kausa, dan cara penyebaran penyakit.

EPIDEMIOLOGI DESKRIPTIF. Tujuan epidemiologi deskriptif adalah mendeskripsikan frekuensi dan

pola penyakit pada populasi menurut karakteristik orang, tempat, dan waktu. Dengan menghitung

jumlah kasus, menganalisis waktu, incidence rate, dan risiko, peneliti outbreak mendeskripsikan

distribusi kasus menurut orang, tempat, dan waktu, menggambar kurva epidemi, mendeskripsikan

kecenderungan (trends) kasus sepanjang waktu, luasnya daerah outbreak, dan populasi yang

terkena outbreak. Dengan epidemiologi deskriptif peneliti outbreak bisa mendapatkan menduga

kausa dan sumber outbreak.

Tabulasi. Langkah pertama, peneliti mendeskripsikan data epidemi menurut karakteristik orang

(kasus). Peneliti mempelajari perbedaan risiko kelompok-kelompok populasi yang terkena outbreak

berdasarkan karakteristik umur, gender, ras, pekerjaan, kelas sosial, status kesehatan, dan sebagainya.

Distribusi risiko (dengan kata lain, Attack Rate) berbagai kelompok ditampilkan dalam tabel.

Tanggal

Jumlah kasus

Gambar 6.3 Common-source outbreak

Kurva epidemi. Langkah kedua, peneliti mendeskripsikan data outbreak menurut waktu, dengan

membuat kurva epidemi. Kurva epidemi adalah grafik yang menghubungkan tanggal onset atau

masa inkubasi penyakit pada sumbu X dan jumlah kasus penyakit pada sumbu Y. Manfaat kurva

epidemi: (1) Memberikan petunjuk tentang agen infeksi dan masa inkubasi; (2) Mengisyaratkan

besarnya masalah dan perjalanan waktu outbreak; (3) Menunjukkan pola penyebaran (yakni, sumber

bersama, kontinu, atau propagasi); (4) Menunjukkan posisi populasi berisiko dalam perjalanan waktu
epidemi; (5) Dapat dilakukan stratifikasi menurut tempat (tempat tinggal, tempat kerja, sekolah),

atau karakteristik individu (umur, gender, ras, dan sebagainya), sehingga memungkinkan peneliti

untuk mempelajari variasi onset menurut tempat dan karakteristik orang; (6) Membantu peneliti

dalam melakukan monitoring dan evaluasi; (7) Memberikan petunjuk tambahan (misalnya, adanya

outlier).

Dalam menganalisis sebuah kurva epidemi, faktor-faktor berikut perlu diperhatikan untuk

membantu menafsirkan outbreak: (1) pola keseluruhan epidemi; (2) periode waktu orang terpapar;

(3) keberadaan outlier.

Dengan menggunakan kurva epidemi dapat dilihat pola penyebaran patogen, sehingga dapat

dibedakan 3 jenis utama outbreak: (1) Common-source outbreak (point-source outbreak), (2) Continual-
source

outbreak, dan (3) Propagated (person-to-person, progressive) outbreak. Gambar 6.3

menyajikan kurva epidemi sebuah common-source outbreak, ditandai oleh peningkatan jumlah

kasus dengan tajam, lalu menurun perlahan-lahan.

Common source outbreak terjadi jika agen penyebab ditularkan kepada orang-orang yang

terjangkit dari sumber yang sama pada saat yang sama, selama periode waktu yang terbatas

(pendek), biasanya selama satu masa inkubasi, biasanya terjadi pada satu tempat. Bentuk kurva ini

umumnya meningkat dengan tajam dan memiliki puncak yang tegas, disusul dengan penurunan

secara gradual. Kadang-kadang, sejumlah kasus tampak seperti gelombang yang menyusul sumber

titik selama satu masa inkubasi atau interval waktu. Penularan ini disebut point source with

secondary transmission sumber titik dengan penularan sekunder .

Contoh: sekelompok tamu yang menghadiri kenduri di suatu desa dan dengan waktu

bersamaan menyantap makanan yang terkontaminasi patogen (misalnya, tempe bongkrek yang

mengandung aflatoksin), lalu jatuh sakit, maka dapat terjadi common-source outbreak. Pada umumnya

outbreak karena makanan (foodborne disease outbreak) merupakan point-source outbreak,

sebab paparan patogen terjadi pada waktu yang sama dan berlangsung selama periode waktu yang

terbatas (singkat). Gambar 6.4 menunjukkan outbreak penyakit gastro-intestinal akibat kontaminasi

makanan dari sebuah paparan tunggal. Meskipun ada dua buah outlier pada data, tetapi kurva

epidemi dengan jelas menunjukkan sebuah outbreak selama periode waktu yang terbatas, dan
bentuk kurva yang mencerminkan karakteristik paparan dari sebuah sumber tunggal.

4. Melakukan pencegahan dan pengendalian

Bila investigasi kasus dan kausa telah memberikan fakta di pelupuk mata tentang kausa, sumber, dan

cara transmisi, maka langkah pengendalian hendaknya segera dilakukan, tidak perlu melakukan studi

analitik yang lebih formal. Prinsipnya, makin cepat respons pengendalian, makin besar peluang

keberhasilan pengendalian. Makin lambat repons pengendalian, makin sulit upaya pengendalian,

makin kecil peluang keberhasilan pengendalian, makin sedikit kasus baru yang bisa dicegah.

Prinsip intervensi untuk menghentikan outbreak sebagai berikut: (1) Mengeliminasi sumber

patogen; (2) Memblokade proses transmisi; (3) Mengeliminasi kerentanan (Greenberg et al., 2005;

Aragon et al., 2007). Sedang eliminasi sumber patogen mencakup: (1) Eliminasi atau inaktivasi patogen;

(2) Pengendalian dan pengurangan sumber infeksi (source reduction); (3) Pengurangan kontak

antara penjamu rentan dan orang atau binatang terinfeksi (karantina kontak, isolasi kasus, dan
sebagainya);

(4) Perubahan perilaku penjamu dan/ atau sumber (higiene perorangan, memasak daging

dengan benar, dan sebagainya); (5) Pengobatan kasus.

Blokade proses transmisi mencakup: (1) Penggunaan peralatan pelindung perseorangan

(masker, kacamata, jas, sarung tangan, respirator); (2) Disinfeksi/ sinar ultraviolet; (3) Pertukaran

udara/ dilusi; (4) Penggunaan filter efektif untuk menyaring partikulat udara; (5) Pengendalian

vektor (penyemprotan insektisida nyamuk Anopheles, pengasapan nyamuk Aedes aegypti,

penggunaan kelambu berinsektisida, larvasida, dan sebagainya).

Eliminasi kerentanan penjamu (host susceptibility) mencakup: (1) Vaksinasi; (2) Pengobatan

(profilaksis, presumtif); (3) Isolasi orang-orang atau komunitas tak terpapar (reverse isolation); (4)

Penjagaan jarak sosial (meliburkan sekolah, membatasi kumpulan massa).

5. Melakukan studi analitik (jika perlu)

Dalam investigasi outbreak, tidak jarang peneliti dihadapkan kepada teka-teki menyangkut sejumlah

kandidat agen penyebab. Fakta yang diperoleh dari investigasi kasus dan investigasi kausa kadang

belum memadai untuk mengungkapkan sumber dan kausa outbreak. Jika situasi itu yang terjadi,

maka peneliti perlu melakukan studi analitik yang lebih formal. Desain yang digunakan lazimnya
adalah studi kasus kontrol atau studi kohor retrospektif. Seperti desain studi epidemiologi analitik

lainnya, studi analitik untuk investigasi outbreak mencakup: (1) pertanyaan penelitian; (2) signifikansi

penelitian; (3) desain studi; (4) subjek; (5) variabel-variabel; (6) pendekatan analisis data; (7)

interpretasi dan kesimpulan.

Contoh, 75 orang menghadiri sebuah acara kenduri di sebuah desa. Terdapat 5 jenis

makanan dihidangkan. Esok harinya mulai berjatuhan sejumlah kasus penyakit, sehingga disimpulkan

terjadi outbreak karena makanan terkontaminasi (foodborne disease). Makanan mana dari ke 4

jenis tersebut yang mengandung agen kausal dan merupakan penyebab outbreak? Karena sebagian

besar kasus telah terjadi, maka peneliti melakukan studi kohor retrospektif untuk menjawab pertanyaan

tersebut. Data yang dikumpulkan disajikan dalam Tabel 6.4.

Penyebab outbreak dapat dianalisis dengan tabulasi silang untuk menghitung Risiko Relatif

(RR dan CI95%) untuk studi kohor, dan Odds Ratio (OR dan CI95%) untuk studi kasus kontrol. Dalam

contoh kasus ini, peneliti melakukan studi kohor retrospektif, sehingga analisis data dilakukan

dengan menghitung RR untuk masing-masing jenis makanan. Prinsipnya, jenis makanan dengan RR

(atau OR) tertinggi merupakan penyebab outbreak yang paling mungkin.

Tabel 16.3 dengan jelas menunjukkan jenis makanan E memiliki RR tertinggi (5.71). Artinya,

makan jenis makanan E meningkatkan risiko penyakit sebesar 5.7 kali daripada tidak makan jenis

makanan itu. Dengan RR tertinggi, maka dapat disimpulkan jenis makanan E adalah penyebab

outbreak paling mungkin. Perhatikan analisis tentang risiko relatif dilakukan untuk masing-masing

jenis makanan secara terpisah. Dengan kata lain, Tabel 16.3 tidak menganalisis kemungkinan interaksi

antar jenis makanan. Interaksi (modikasi efek) adalah pengubahan efek paparan sebuah faktor

terhadap penyakit menurut tingkat paparan faktor lain yang disebut effect modifier (pengubah

efek).

Modifikasi efek adalah efek bersama (joint effect) antara dua atau lebih variabel terhadap

suatu variabel dependen yang membuat efek masing-masing variabel independen itu jika hadir

bersama berbeda dengan efek variabel independen itu jika hadir sendiri-sendiri. Jika memungkinkan,

peneliti outbreak hendaknya menganalisis kemungkinan modifikasi efek. Sebagai contoh, jika jenis

makanan C berinteraksi dengan jenis makanan E, sehingga memperkuat pengaruh E terhadap


terjadinya gejala klinis penyakit, maka dalam rangka pencegahan outbreak di masa mendatang,

kombinasi kedua jenis makanan tersebut perlu dihindari untuk mengurangi beratnya gejala klinis

kasus.

6. Mengkomunikasikan temuan

Temuan dan kesimpulan investigasi outbreak dikomunikasikan kepada berbagai pihak pemangku

kepentingan kesehatan masyarakat. Dengan tingkat rincian yang bervariasi, pihak-pihak yang perlu

diberitahu tentang hasil penyelidikan outbreak mencakup pejabat kesehatan masyarakat setempat,

pejabat pembuat kebijakan dan pengambil keputusan kesehatan, petugas fasilitas pelayanan

kesehatan, pemberi informasi peningkatan kasus, keluarga kasus, tokoh masyarakat, dan media.

Penyajian hasil investigasi dilakukan secara lisan maupun tertulis (laporan awal dan laporan akhir).

Pejabat dinas kesehatan yang berwewenang hendaknya hadir pada penyajian hasil investigasi

outbreak. Temuan-temuan disampaikan dengan bahasa yang jelas, objektif dan ilmiah, dengan

kesimpulan dan rekomendasi yang dapat dipertanggungjawabkan.

Peneliti outbreak memberikan laporan tertulis dengan format yang lazim, terdiri dari: (1)

introduksi, (2) latar belakang, (3) metode, (4) hasil-hasil, (5) pembahasan, (6) kesimpulan, dan (7)

rekomendasi. Laporan tersebut mencakup langkah pencegahan dan pengendalian, catatan kinerja

sistem kesehatan, dokumen untuk tujuan hukum, dokumen berisi rujukan yang berguna jika terjadi

situasi serupa di masa mendatang.

7. Mengevaluasi dan meneruskan surveilans

Pada tahap akhir investigasi outbreak, Dinas Kesehatan Kota/ Kabupaten dan peneliti outbreak perlu

melakukan evaluasi kritis untuk mengidentifikasi berbagai kelemahan program maupun defisiensi

infrastruktur dalam sistem kesehatan. Evaluasi tersebut memungkinkan dilakukannya


perubahanperubahan

yang lebih mendasar untuk memperkuat upaya program, sistem kesehatan, termasuk

surveilans itu sendiri. Investigasi outbreak memungkinkan identifikasi populasi-populasi yang

terabaikan atau terpinggirkan, kegagalan strategi intervensi, mutasi agen infeksi, ataupun
peristiwaperistiwa

yang terjadi di luar kelaziman dalam program kesehatan. Evaluasi kritis terhadap kejadian

outbreak memberi kesempatan kepada penyelidik untuk mempelajari kekurangan-kekurangan


dalam investigasi outbreak yang telah dilakukan, dan kelemahan-kelemahan dalam sistem

kesehatan, untuk diperbaiki secara sistematis di masa mendatang, sehingga dapat mencegah

terulangnya outbreak.

REFERENSI

Aragn T, Enanoria W, Reingold A (2007). Conducting an outbreak investigation in 7 steps (or less).

Center for Infectious Disease Preparedness, UC Berkeley School of Public Health.

http://www.idready.org. Diakses Juli 2007.

Bensimon CM, Upshur REG (2007). Evidence and effectiveness in decisionmaking for quarantine. Am

J Public Health;97:S44-48.

Bres P (1986). Public health action in emergencies caused by epidemics: a practical guide. Geneva:

World Health Organization.

Calain P (2006). Exploring the international arena of global public health surveillance. Health Policy

and Planning 2007;22:212

Centers for Disease Control and Prevention (CDC) (2002). Glossary of epdemiologic terms. Centers

for Disease Control and Prevention, Atlanta, GA. www.cdc.gov/excite/ glossary. htm

____ (1996). Comprehensive plan for epidemiologic surveillance. Atlanta, GA: Centers for Diseases

Control.

____ (1992). Principles of epidemiology: an introduction to applied epidemiology and biostatistics.

2nd ed. Atlanta (GA):U.S. Dept. of Health and Human Services.

____ (1990). Guidelines for investigating clusters of health events. MMWR, 39(RR-11): 1-15.

DepKes (2004). Keputusan Menteri Kesehatan No. 1479/MenKes/SK/X/2003, tentang pedoman

penyelenggaraan sistem surveilans epidemiologi penyakit menular dan penyakit tidak menular

terpadu. Jakarta: DepKes RI.

DeSalle R (2007). The natural history of infectious disease. American Museum of Natural History.

www.amnh.org/exhibitions/epidemic/. Diakses Juni 2007.

Duffy ME, Jacobsen BS (2001). Univariate descriptive statistics. In: Barbara Hazard Munro (ed.):

Statistical methods for health care research. Philadelphia, PA: Lippincott.

Folland S, Goodman AC, Stano S (2001). The economics of health and health care. Englewood Cliffs,

NJ: Prentice Hall, Inc.


Gerstman, BB (1998). Epidemiology kept simple: An introduction to classic and modern

epidemiology. New York: Wiley-Liss, Inc.

Giesecke J (2002). Modern infectious disease epidemiology. London: Arnold.

Gordis, L (2000). Epidemiology. Philadelphia, PA: WB Saunders Co.

GreenbergRS, Daniels SR, Flanders WD, Eley JW, Boring JR (2005). Medical epidemiology. New York:

Lange Medical Books/ McGraw-Hill.

JHU (=Johns Hopkins University) (2006). Disaster epidemiology. Baltimore, MD: The Johns Hopkins

and IFRC Public Health Guide for Emergencies.

Hornby AS (2003). Oxford advanced Learners Dictionary of current English. New York: Oxford

University Press.

Langmuir AD (1976). William Farr: Founder of modern concepts of surveillance. Int J Epidemiol, 5:

14

13-18

Last, JM (2001). A dictionary of epidemiology. New York: Oxford University Press, Inc.

Mandl KD, Overhage M, Wagner MM, Lober WB, Sebastiani P, Mostahari F, Pavlin JA, Gesteland PH,

Treadwell T, Koski E, Hutwagner L, Buckeridge DL , Aller RD, Grannis S (2004). Implementing

syndromic surveillance: A practical guide informed by the early experience. J Am Med Inform

Assoc., 11:141150.

McNabb SJN, Chungong S, Ryan M, Wuhib T, Nsubuga P, Alemu W, Karande-Kulis V, Rodier G (2002).

Conceptual framework of public health surveillance and action and its application in health

sector reform. BMC Public Health, 2:2 http://www.biomedcentral. Com

Monto AS (2005). The threat of an avian influenza pandemic. The New England Journal of Medicine,

352 (4): 323-325

Morton RF, Hebel JR, McCarter RJ (1990). A study guide to epidemiology and biostatistics. Rockville,

MD: Aspen Publishers.

Murti B (2006). Desain dan ukuran sampel untuk penelitian kuantitatif dan kualitatif di bidang

kesehatan. Yogyakarta: UGM Press.

Pavlin JA (2003). Investigation of disease outbreaks detected by syndromic surveillance systems.


Journal of Urban Health: Bulletin of the New York Academy of Medicine, 80 (Suppl 1): i107-

i114(1).

Rothman KJ (1990). A sobering start for the cluster busters conference. Am J Epidemiol, 132 (Suppl.

No. 1): S6-S13.

Sloan PD, MacFarqubar JK, Sickbert-Bennett E, Mitchell CM, Akers R, Weber DJ, Howard K (2006).

Syndromic surveillance for emerging infections in office practice using billing data. Ann Fam

Med 2006;4:351-358.

Tapla-Conyer R, Kuri-Morales P, Gonzalez-Urban L, Sarti E (2001). Evolution and reform of Mexican

National Epidemiological Surveillance System. Am J Public Health, 91 (11): 1758-1760.

Thacker SB, Choi K, Brachman PS (1983). The surveillance of infectious diseases. JAMA, 249: 1181-85

Tollman SM, Zwi AB (2000). Health system reform and the role of field sites based upon

demographic and health surveillance. Bull World Health Organization, 78(1): 125-134

Tomes N (2000). The making of a germ panic, then and now. Am J Public Health;90:191198.

WHO (2001). An integrated approach to communicable disease surveillance. Weekly epidemiological

record, 75: 1-8. http://www.who.int/wer

_____ (2002). Surveillance: slides. http://www.who.int

_____ (2007). WHO case definitions for human infections with influenza A(H5N1)

virus.www.who.int/csr/disease/avian_influenza/. Diakses Juli 2007.

Wikipedia (2007). AIDS. http://en.wikipedia.org/wiki/AIDS

Wuhib T, Chorba TL, Davidiants V, MacKenzie WR, McNabb SJN (2002). Assessment of the infectious

diseases surveillance system of the Republic of Armenia: an example of surveillance in The

Republics of the former Soviet Union. BMC Public Health, 2:3 http://www.biomedcentral.com.

Anda mungkin juga menyukai