Anda di halaman 1dari 8

INVESTIGASI OUTBREAK

Definisi
Outbreak adalah peningkatan insidensi kasus yang melebihi
ekspektasi normal secara mendadak pada suatu komunitas, disuatu
tempat terbatas misalnya desa, kecamatan, kota, atau institusi yang
tertutup terjadi. Hakikatnya outbreak sam dengan epidemi ( wabah).
Area terbatas yang merupakan tempat terjadinya outbreak disebut fokus
epidemik. Untuk dapat dikatakan outbreak, jumlah kasus tidak harus luar
biasa. Tetapi untuk penyakit kronis, misalnya kanker paru, epidemi
bisa terjadi dalam tempo beberapa tahun atau dekade (Greenberg et
al., 2005). Jika jumlah agen infeksi (misalnya, parasit) menurun drastis
pasca epidemi, sehingga jumlah kasus menurun, keadaan itu disebut
epidemic fadeout.

Gambar 6.1 Timbulnya epidemi penyakit


dengan berlangsungnya waktu
(Sumber: Greenberg et al., 2005)

Dalam menentukan outbreak/ epidemi perlu batasan yang jelas


tentang komunitas, daerah, dan waktu terjadinya peningkatan kasus.
Untuk dapat dikatakan outbreak/ epidemi, jumlah kasus tidak harus luar
biasa banyak dalam arti absolut, melainkan luar biasa banyak dalam
arti relatif, ketika dibandingkan dengan insidensi biasa pada masa
yang lalu, disebut tingkat endemis (Greenberg et al., 2005).
Segelintir kasus bisa merupakan epidemi jika muncul pada
kelompok, tempat, dan waktu yang tidak biasa. Ditemukannya dua
kasus penyakit yang telah lama absen (misalnya, variola), atau
pertama kali invasi di suatu populasi dan wilayah (misalnya, HIV/
AIDS), dapat dikatakan epidemi, dan otoritas kesehatan dapat mulai
melakukan penyelidikan dan pengendalian terhadap epidemi itu (Last,
2001). Konsep epidemi berlaku untuk penyakit infeksi, penyakit non-
infeksi, perilaku kesehatan, maupun peristiwa kesehatan lainnya,
misalnya epidemi kolera, epidemi SARS, epidemi gizi buruk anak
balita, epidemi merokok, epidemi stroke, epidemi Ca paru, dan
sebagainya. Outbreak terjadi jika terdapat ketidakseimbangan antara
penjamu, agen, dan lingkungan:
(1) Keberadaan patogen (agen yang menimbulkan penyakit)
dalam jumlah cukup untuk menjangkiti sejumlah individu
(2) Terdapat modus transmisi patogen yang cocok kepada
individu-individu rentan
(3) Terdapat jumlah yang cukup individu-individu rentan yang
terpapar oleh patogen (Greenberg et al., 2005).

ALASAN MELAKUKAN INVESTIGASI OUTBREAK

Jika terjadi outbreak maka pihak berwewenang melakukan investigasi


outbreak secara retrospektif dan/ atau prospektif (apabila outbreak
masih berlangsung) dengan alasan:
(1) Mencegah bertambahnya kasus dari outbreak sekarang;
(2) Mencegah outbreak di masa mendatang, dengan cara memperbaiki
program kesehatan, sistem surveilans, dan sistem kesehatan;
(3) Menerapkan sistem surveilans (investigasi outbreak merupakan
bagian dari sistem surveilans);
(4) Mempelajari penyakit baru;
(5) Mempelajari aspek baru dari penyakit lama;
(6) Memberi keyakinan kepada publik bahwa telah diambil langkah-
langkah yang diperlukan untuk mengatasi outbreak, agar tidak terjadi
situasi panik;
(7) Minimalisasi disrupsi ekonomi dan sosial akibat outbreak;
(8) Mengajarkan apa dan bagaimana epidemiologi (karena
sesungguhnya investigasi outbreak merupakan “prototipe” epidemiologi,
mencakup epidemiologi deskriptif, epidemiologi analitik, dan penerapan
hasil studi untuk mengendalikan dan mencegah penyakit).

TUJUAN INVESTIGASI OUTBREAK


Intinya, investigasi outbreak dilakukan untuk dua tujuan:
(1) Mengetahui penyebab outbreak;
(2) Menyetop outbreak sekarang dan mencegah outbreak di masa
mendatang (Greenberg et al., 2005).
Tujuan khusus investigasi outbreak adalah mengidentifikasi:
(1) Agen kausa outbreak;
(2) Cara transmisi;
(3) Sumber outbreak;
(4) Carrier;
(5) Populasi berisiko;
(6) Paparan yang menyebabkan penyakit (faktor risiko).

Langkah-Langkah Investigasi Outbreak


Tabel 5.1 menyajikan 7 langkah investigasi outbreak. Perhatikan, jumlah
langkah dan sekuensi investigasi outbreak bisa bervariasi, tetapi intinya
mencakup prinsip seperti disajikan Tabel 5.1.

Tabel 5.1 Langkah-langkah investigasi outbreak


1 Identifikasi outbreak
2 Investigasi kasus
3 Investigasi kausa
4 Langkah pencegahan dan pengendalian
5 Studi analitik (jika perlu)
6 Komunikasikan temuan
7 Evaluasi dan teruskan surveilans

Langkah pencegahan kasus dan pengendalian outbreak dapat dimulai


sedini mungkin (do early) setelah tersedia informasi yang memadai.
Bila investigasi outbreak telah memberikan fakta yang jelas mendukung
hipotesis tentang kausa outbreak, sumber agen infeksi, dan cara
transmisi yang menyebabkan outbreak, maka upaya pengendalian
dapat segera dimulai tanpa perlu menunggu pengujian hipotesis oleh
studi analitik yang lebih formal.
1. Identifikasi outbreak

Outbreak adalah peningkatan kejadian kasus penyakit yang lebih


banyak daripada ekspektasi normal di di suatu area atau pada suatu
kelompok tertentu, selama suatu periode waktu tertentu. Informasi
tentang potensi outbreak biasanya datang dari sumber-sumber
masyarakat, yaitu laporan pasien (kasus indeks), keluarga pasien, kader
kesehatan, atau warga masyarakat. Tetapi informasi tentang potensi
outbreak bisa juga berasal dari petugas kesehatan, hasil analisis data
surveilans, laporan kematian, laporan hasil pemeriksaan laboratorium,
atau media lokal (suratkabar dan televisi).
Hakikatnya outbreak merupakan deviasi (penyimpangan) dari
keadaan rata-rata insidensi yang konstan dan melebihi ekspektasi
normal Karena itu outbreak ditentukan dengan cara membandingkan
jumlah kasus sekarang dengan rata-rata jumlah kasus dan variasinya di
masa lalu (minggu, bulan, kuartal, tahun). Besar deviasi yang masih
berada dalam “ekspektasi normal” bersifat arbitrer, tergantung dari
tingkat keseriusan dampak yang diakibatkan bagi kesehatan masyarakat
di masa yang lalu.
Sumber data kasus untuk menenetukan terjadinya outbreak:
(1) Catatan surveilans dinas kesehatan;
(2) Catatan morbiditas dan mortalitas di rumah sakit;
(3) Catatan morbiditas dan mortalitas di puskesmas;
(4) Catatan praktik dokter, bidan, perawat;
Perhatian, kenaikan jumlah kasus saja belum tentu mengisyaratkan
outbreak. Terdapat sejumlah faktor yang bisa menyebabkan jumlah kasus
“tampak” meningkat: (1) Variasi musim (misalnya, diare meningkat pada
musim kemarau ketika air bersih langka) (2) Perubahan dalam pelaporan kasus;
(3) Perubahan definisi kasus (makin inklusif, makin banyak jumlah kasus); (4)
Perba- ikan dalam prosedur diagnostik (makin sensitif, makin banyak jumlah
kasus); (5) Kesalahan diagnosis (misalnya, kesalahan hasil pemeriksaan
laboratorium); (6) Peningkatan kesadaran petugas kesehatan (meningkatkan
intensitas pelaporan); (7) Media yang memberikan informasi bias dari sumber
yang tidak benar (menimbulkan “false alert”).
Terjadinya outbreak dan teridentifikasinya sumber dan kausa
outbreak perlu ditanggapi dengan tepat. Jika terjadi kenaikan signifikan jumlah
kasus sehingga disebut outbreak, maka pihak dinas kesehatan yang
berwewenang harus membuat keputusan apakah akan melakukan investigasi
outbreak. Sejumlah faktor mempengaruhi dilakukan atau tidaknya
investigasi outbreak: (1) Keparahan penyakit; (2) Potensi untuk menyebar;
(3) Pertimbangan politis; (4) Perhatian dan tekanan dari masyarakat; (5)
Ketersediaan sumber daya. Beberapa penyakit menimbulkan manifes- tasi klinis
ringan dan akan berhenti dengan sendirinya (self-limiting diseases), misalnya
flu biasa. Implikasinya, tidak perlu dilakukan investigasi outbreak
maupun tindakan spesifik terhadap outbreak, kecuali kewaspadaan. Tetapi
outbreak lainnya akan terus berlangsung jika tidak ditanggapi dengan langkah
pengendalian yang tepat. Sejumlah penyakit lain menunjukkan virulensi tinggi,
mengakibatkan manifestasi klinis berat dan fatal, misalnya flu burung.
Implikasinya, sistem kesehatan perlu melakukan investigasi outbreak dan
mengambil langkah-langkah segera dan tepat untuk mencegah penyebaran lebih
lanjut penyakit itu.
2. Investigasi kasus

DEFINISI KASUS Peneliti melakukan verifikasi apakah kasus-kasus yang


dilaporkan telah didiagnosis dengan benar (valid). Peneliti outbreak
mendefinisikan kasus dengan menggunakan seperangkat kriteria sebagai
berikut: (1) Kriteria klinis (gejala, tanda, onset); (2) Kriteria epidemiologis
(karakteris- tik orang yang terkena, tempat dan waktu terjadinya outbreak);
(3) Kriteria laboratorium (hasil kultur dan waktu pemeriksaan) (Bres, 1986).
Definisi kasus harus valid (benar), baku, dan sebaiknya seragam.
Definisi kasus yang baku dan seragam penting untuk memastikan bahwa setiap
kasus didiagnosis dengan cara yang sama, konsisten, tidak tergantung pada
siapa yang mengidentifikasi kasus, maupun di mana dan kapan kasus tersebut
terjadi. Definisi kasus yang baku memungkinkan dilakukannya perbandingan
jumlah kasus penyakit yang terjadi di suatu waktu atau tempat dengan jumlah
kasus yang terjadi di waktu atau tempat lainnya. Sebagai contoh, dengan definsi
kasus baku dapat dibandingkan jumlah kasus Demam Berdarah Dengue (DBD)
yang terjadi pada Januari 2010 di Surakarta dengan jumlah kasus pada Februari
2010 di kota itu. Demikian pula dapat dibandingkan jumlah kasus DBD yang
terjadi pada Januari 2010 di Surakarta dengan jumlah kasus pada Januari 2010
di Jakarta. Dengan definisi kasus standar, maka jika ditemukan perbedaan
jumlah kasus maka merupakan perbedaan yang sesungguhnya, bukan karena
perbedaan dalam mendiagnosis (CDC, 2010a). Penggunaan definisi kasus
seperti yang direkomendasikan Standar Surveilans WHO memungkinkan
pertukaran informasi tentang kejadian penyakit-penyakit secara internasional.
Dengan menggunakan definisi kasus, maka individu yang diduga
mengalami penyakit akan dimasukkan dalam salah satu klasifikasi kasus.
Berdasarkan tingkat ketidakpastian diagnosis, kasus dapat diklasifikasikan
menjadi: (1) kasus suspek (suspected case, syndromic case), (2) kasus mungkin
(probable case, presumptive case), dan (3) kasus pasti (confirmed case, definite
case). Tabel 6.2 menyajikan klasifikasi kasus menurut kriteria pemeriksaan
klinis, epidemiologis, dan laboratoris.
Klasifikasi kasus Kriteria
Kasus suspek Tanda dan gejala klinis cocok dengan
(suspected case, penyakit, terdapat bukti epidemiologi, tetapi
syndromis case) tidak terdapat bukti laboratorium yang
menunjukkan tengah atau telah terjadi infeksi
Kasus mungkin (bukti laboratorium negatif, tidak ada, atau
(probable case, belum ada)
presumptive case) Tanda dan gejala klinis cocok dengan penyakit,
terdapat bukti epidemiologis, terdapat bukti
Kasus pasti laboratorium yang mengarah tetapi belum pasti,
(confirmed case, yang menunjukkan tengah atau telah terjadi
definite case) infeksi (misalnya, bukti dari sebuah tes serologis
tunggal) Terdapat bukti pasti laboratorium
(serologis, biokimia, bakteriologis, virologis,
parasitologis) bahwa tengah atau telah terjadi
infeksi, dengan atau tanpa kehadiran tanda, gejala
klinis, atau bukti epidemiologis
Sumber: Bres (1986)

Klasifikasi kasus bersifat dinamis, bisa berubah dan direvisi selama investigasi
seiring dengan adanya tambahan informasi baru tentang sumber, modus transmisi, agen
etiologi. Tabel 6.3 menyajikan contoh definisi kasus kolera menurut WHO.

Anda mungkin juga menyukai