Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PORTOFOLIO

Topik : OBSERVASI DYSPNEU DD BRONKITIS DAN


PPOK, HT URGENCY, VES QUADRIGEMINI

Diajukan dalam rangka praktek klinis dokter internsip sekaligus bagian dari
persyaratan menyelesaikan program internsip dokter Indonesia
di RSUD Simo Boyolali

Disusun oleh :

dr. Anneke Nandia Paramitha

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

RUMAHSAKIT UMUM DAERAH SIMO

KABUPATEN BOYOLALI

2019
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS PORTOFOLIO

OBSERVASI DYSPNEU DD BRONKITIS DAN PPOK, HT


URGENCY, VES QUADRIGEMINI

Disusun oleh :
dr. Anneke Nandia Paramitha

Telah dipresentasikan pada


Tanggal, 16 Januari 2019

Pembimbing,

dr. Yopie Ibrahim


BORANG PORTOFOLIO KASUS MEDIK

Observasi Dyspneu Dd Bronkitis Dan Ppok, HT urgency, Ves


Topik :
Quadrigemini
Tanggal MRS : 2 Januari 2019 dr. Anneke Nandia
Presenter :
Tanggal Periksa : 2 Januari 2019 Paramitha
Tanggal Presentasi : 16 Januari 2019 Pendamping : dr. Yopie Ibrahim
Tempat Presentasi :
Objektif Presentasi :
□ Tinjauan
□ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran
Pustaka
□ Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa

□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa □ Lansia
Bumil
□ Deskripsi : Laki-laki, 77 tahun dengan keluhan sesak nafas
□ Tujuan : Penegakkan diagnosa dan pengobatan yang tepat dan tuntas.
Bahan
□ Tinjauan Pustaka □ Riset □ Kasus □ Audit
Bahasan :
Cara
□ Diskusi □ Presentasi dan Diskusi □ E-mail □ Pos
Membahas :
Data Pasien : Nama : Tn. H, 77 tahun No. Registrasi : 111005xxxx
Nama RS : RSUD SIMO Telp : Terdaftar sejak:
Data Utama untuk Bahan Diskusi :
1. Diagnosis / Gambaran Klinis :
Pasien seorang laki-laki usia 77 tahun datang dengan keluhan sesak nafassejak + 1
minggu yang lalu. Keluhan dirasakan terus menerus. Keluhan disertai dengan batuk
berdahak. Dahak berwarna kuning kehijauan. Sebelumnya pasien belum pernah
mengalami keluhan seperti ini. Sesak timbul ketika batuk, tidak timbul saat aktifitas
maupun istirahat. Batuk dan sesak dari hari ke hari semakin memberat dan tidak ada
perbaikan. Pasien juga mengeluh sulit makan, pusing dan badan terasa lemas.
2. Riwayat Pengobatan : tidak ada
3. Riwayat Kesehatan/Penyakit: Riwayat DM (-). Riwayat Hipertensi (-), riwayat
jantung (-), riwayat merokok (+), riwayat TB (-)
4. Riwayat Keluarga : Riwayat DM (-), Riwayat hipertensi di keluarga (-)
5. Riwayat Pekerjaan : Pasien sudah tidak bekerja
6. Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik : Status ekonomi keluarga pasien termasuk
dalam golongan menengah keatas.
7. Lain-lain :
Sosial ekonomi cukup, pasien menggunakan fasilitas mandiri

Daftar Pustaka
Akin ZE, Bilgin S. Classification of normal beat, atrial premature contraction and ventricular
premature contraction based on discrete wavelet transform and artificialneural
networks. 2017 Medical Technologies National Congress (TIPTEKNO). 2017;

Davey, Patrick, 2006. At a Glance Medicine, Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal; 89

Dubner S, Hadid C, Azocar D, Labadet C, Valsecchi C, Dominguez A. Radiofrequency


catheter ablation of frequent premature ventricular contractionsusing ARRAY
multi-electrode balloon catheter. Cardiol J. 2016;23(1):17–22.

Eugenio PL. Frequent premature ventricular contractions. Cardiol in Rev 2015;23(4):168–72.

Giles K, Green MS. Workup and management of patients with frequent premature ventricular
contractions. Canadian Journal of Cardiology. 2013;29(11):1512–5.

Harrison, T.R. 2005. Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th edition, USA: The Mac
Graw-Hill Companies. 1671-73

Jazra C, Wazni O, Jaroudi W. Are premature ventricular contractions in patients without


apparent structural heart disease really safe? Internat Cardiovasc ForumJ.2015;2(1).

Laplante L, Benzaquen BS. A Review of the potential pathogenicity and management of


frequent premature ventricular contractions. Pacing Clin
Electrophysiol.2016;39(7):723–30.

Mansjoer, Arif, dkk., ed. 2005. Kapita Selekta Kedokteran jilid 1 edisi ke-3 . Jakarta: Media
Aesculapius. Hal ; 224

PDPI., 2003. Bronkitis Kronis. Available in www.klikpdpi.comSudoyo, Aru W., dkk.


2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid II. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal :
1111-13
Price., et al., 2006. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses-proses penyakit Ed 6.
Jakarta:EGC. Hal 165-168

Temiz A, Gazi E, Altun B, Gungor O, Barutcu A, Bekler A, et al. Fragmented QRS is


associated with frequency of premature ventricular contractions in patients without
overt cardiac disease. Anatolian J Cardiol. 2015;15(16):456–62.

West, John B., 2003. Pulmonary Pathophysiology, The Essential Sixth Edition. USA:
Lippincott Williams & Wilkins, a Wolters Kluwers Company. Hal : 156-59

Winkens RAG, Höppener PF, Kragten JA, Verburg MP, Crebolder HFJM. Are premature
ventricular contractions always harmless? Eur J Gen Pract. 2013;20(2):134–8.

Hasil Pembelajaran :
1. Obs. Dyspneu, HT urgency, ves quadrigemini
2. Penegakan diagnosis Obs. Dyspneu, HT urgency, ves quadrigemini
3. Tatalaksana Obs. Dyspneu, HT urgency, ves quadrigemini

Keterangan Umum :
Nama : Tn. H
Usia : 77tahun
No RM : 111005xxxx
Alamat : Tanjung, Klego
Agama : Islam
Suku : Jawa
Warga Negara : Warga Negara Indonesia (WNI)
Pekerjaan : Tidak bekerja
Status pernikahan : Menikah
A. ANAMNESIS
SUBJEKTIF
Keluhan Utama : sesak nafas
Pasien seorang laki-laki usia 77 tahun datang dengan keluhan sesak
nafassejak + 1 minggu yang lalu. Keluhan dirasakan terus menerus.
Keluhan disertai dengan batuk berdahak. Dahak berwarna kuning
kehijauan. Sebelumnya pasien belum pernah mengalami keluhan seperti
ini. Sesak timbul ketika batuk, tidak timbul saat aktifitas maupun istirahat.
Batuk dan sesak dari hari ke hari semakin memberat dan tidak ada
perbaikan. Pasien juga mengeluh sulit makan, pusing dan badan terasa
lemas.
Keluhan demam (-), nyeri dada (-), keringat dingin (-). BAB dan BAK
tidak ada keluhan.
• Riwayat Pengobatan : tidak ada
• Riwayat Kesehatan/Penyakit:Riwayat Kesehatan/Penyakit: Riwayat DM (-
). Riwayat Hipertensi (-), riwayat jantung (-), riwayat merokok (+),
riwayat TB (-)
• Riwayat Keluarga : Riwayat DM (-), Riwayat hipertensi di keluarga (-)
• Riwayat Pekerjaan : Pasiensudah tidak bekerja
• Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik : Status ekonomi keluarga pasien
termasuk dalam golongan menengah keatas.
• Lain-lain :
Sosial ekonomi cukup, pasien menggunakan fasilitas mandiri

B. PEMERIKSAAN FISIK
OBJECTIVE
PEMERIKSAAN FISIK
 Keadaan Umum : Sedang
 Kesadaran : Compos Mentis
 Vital sign
o Tekanan Darah : 190/90mmHg
o Nadi: 72x/menit
o RR: 24x/menit
o Temp: 36,5C
 Kepala leher:
o Mata : Reflek pupil +/+ , Pupil isokor 2mm/2mm , konjunctiva anemis
-/-, ikterus -/-.

o THT :

 Telinga: sekret (-)


 Hidung : nafas cuping hidung (-)
 Tenggorokan : dbn

o Bibir: sianosis (-)


o pembesaran KGB (-)
 Thorax:
o Pulmo:
 Inspeksi : simetris, retraksi (-)
 Palpasi : vocal fremitus kanan=kiri
 Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
 Auskultasi: Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-,
o Cor:
 Inspeksi: tak tampak ictus cordis
 Palpasi: ictus cordis tidak kuat angkat
 Perkusi: batas jantung dalam batas normal
 Auskultasi: s1 s2 tunggal , regular
 Abdomen:
o Inspeksi : flat, distensi (-) ulkus dekubitus pada regio superior
fissura para gluteal
o Auskultasi : bising usus (+) normal
o Palpasi : Hepar/lien tidak teraba
o Perkusi : tymphani (+)
o Turgor (+) baik

 Ekstrimitas : Hangat, Cappilary Refill Time < 2, udem (-)

Pemeriksaan Laboratorium Darah Lengkap


Hb 12,5 g/dl HbsAg -
Leukosit 8,77 Ur -
103sel/mm3
Trombosit 246 103sel/ul Cr -
MCV 83,4 fL GDS 148 mg/dl
MCH 30,9 pg CT -
MCHC 37,1g/dl BT -
Eritrosit 4,04106sel/ul Gol Darah -
Hematokrit 33,7%

Hasil EKG
Pemeriksaan radiologi
Kesan : Bronkitis, cor normal

C. DIAGNOSIS BANDING
Bronkitis
PPOK

D. DIAGNOSIS KERJA
Obs. Dyspneu, HT urgency, VES quadrigemini

E. PENATALAKSANAAN
a) Planning Therapy
1. IVFD RA 20 tpm
2. Captopril SL 25 mg
3. O2 3 lpm
4. Inj. Ranitidin / 12 jam
5. Inj. Antrain / 8 jam
6. NAC 3x1
7. Amlodipin 1x5mg
8. Diltiazem 2x1

b) Planning Monitoring
1. Keluhan Subyektif
2. KU VS

H. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

Perkembangan pasien dibangsal

3/1/19 Ku sedang infus RA 20 TPM


Kesadaran Compos inj. MP 62,5mg/8jam
Mentis inj. Ranit/12jam
Pusing,sesek, batuk, Nebul ventolin/8jam
lemes Salbutamol 3x2mg
TD 153/70 NAC 3x1
Amlodipin 1x5mg
Candesartan 1x8mg
Diltiazem 2x1
4/1/19 Ku sedang infusRA20TPM
Kesadaran CM inj.MP62,5mg/8jam
Lemes, sesek inj.Ranit/12jam
TD 136/55 Nebulventolin/8jam
Levo 1x750mg
Salbutamol3x2mg
NAC3x1
Amlodipin1x5mg
Candesartan1x8mg
Diltiazem2x1
Obh 3x1cth
5/1/19 KU sedang infusRA20TPM
Nyeri perut +, sesek inj.MP62,5mg/8jam
TD 138/65 inj.Ranit/12jam
Omz1fl/24jam
Nebulventolin/8jam
Levo1x750mg
Salbutamol3x2mg
NAC3x1
Amlodipin1x5mg
Candesartan1x8mg
Diltiazem2x1
Obh3x1cth
Sukralfat3x1

6/1/19 Kubaik infusRA20TPM


KesadaranCM inj.MP62,5mg/8jam
Tidak ada keluhan inj.Ranit/12jam
TD136/55 Omz1fl/24jam
Nebulventolin/8jam
Levo1x750mg
Salbutamol3x2mg
NAC3x1
Amlodipin1x5mg
Candesartan1x8mg
Diltiazem2x1
Obh3x1cth
Sukralfat3x1
BLPL
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Bronkitis (Bronkitis inflamasi-Inflamation bronchi) digambarkan
sebagai inflamasi dari pembuluh bronkus. Inflamasi menyebabkan bengkak
pada permukaannya, mempersempit pembuluh dan menimbulkan sekresi dari
cairan inflamasi. Bronkitis kronis merupakan suatu gangguan
klinisyangditandaiolehpembentuka pembentukan mucus yang berlebihan
dalam bronkus dan bermanifestasi sebagai batuk kronik dan pembentukan
sputum selama sedikitnya 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dalam
2 tahun berturut-turut (Davey., 2006).
Bronkitis kronis adalah suatu kondisi peningkatan pembengkakan dan
lendir (dahak atau sputum) produksi dalam tabung pernapasan (saluran
udara). Obstruksi jalan napas terjadi pada bronkitis kronis karena
pembengkakan dan lendir ekstra menyebabkan bagian dalam tabung
pernapasan lebih kecil dari normal. Diagnosis bronkitis kronis dibuat
berdasarkan gejala batuk yang menghasilkan lendir atau dahak di hampir
setiap hari, selama tiga bulan, selama dua tahun atau lebih (setelah penyebab
lain untuk batuk telah dikeluarkan). (PDPI, 2003)

B. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO


Faktor etiologi utama adalah merokok dan polusi udara yang lazim di
daerah industri. Polusi udara yan terus menerus juga merupakan predisposisi
infeksi rekuren karena polusi memperlambat aktivitas silia dan fagositsis,
sehingga timbunan mukus menigkat sedangkan mekanisme pertahanannya
sendiri melemah. (Price dan Wilson, 2006)
1. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang
terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam
pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan (PDPI, 2003), (Sudoyo,
2006) :
a. Riwayat merokok
i. Perokok aktif
ii. Perokok pasif
iii. Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian
jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok
dalam tahun :
i. Ringan : 0-200
ii. Sedang : 200-600
iii. Berat : >600
2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja (West,
2003):
a. Polusi dalam ruangan
i. Asap rokok
ii. Asap kompor
b. Polusi luar ruangan
i. Polusi luar ruangan
ii. Gas buang kenderaan bermotor
iii. Debu jalanan
c. Polusi tempat kerja
i. bahan kimia
ii. zat iritasi
iii. gas beracun
3. Hipereaktivitis bronkus
4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
5. Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia

C. PATOFISIOLOGI
Temuan patologis utama pada bronkitis kronik adalah hipertrofi
kelenjar mukosa bronkus dan peningkatan jumlah dan ukuran sel-sel goblet,
dengan infiltraasi sel-sel radang dan edema mukosa bronkus. Pembentukan
mukus yang meningkat mengakibatkan gejala khas yaitu batuk kronis. Batuk
kronik yang disertai peningkatan sekresi bronkus tampaknya mempengaruhi
bronkiolus kecil sehingga bronkiolus tersebut rusak dan dindingnya melebar.
Faktor etiologi utama adalah merokok dan polusi udara yang lazim di daerah
industri. Polusi udara yan terus menerus juga merupakan predisposisi infeksi
rekuren karena polusi memperlambat aktivitas silia dan fagositsis, sehingga
timbunan mukus menigkat sedangkan mekanisme pertahanannya sendiri
melemah. (Price dan Wilson, 2006)

1. Asap rokok dan zat iritan (Harison, 2005) (West, 2003):


Asap rokok, debu di tempat kerja dan polusi udara merupakan
bahan-bahan iritan dan oksidan yang menyebabkan terjadinya bronkitis
kronik. Dari semua ini asap rokok merupakan penyebab yang paling
penting. Tidak semua orang yang terpapar zat ini menderita bronkitis
kronik, hal ini dipengaruhi oleh status imunologik dan kepekaan yang
bersifat familial. Di dalam asap rokok terdapat campuran zat yang
berbentuk gas dan partikel. Setiap hembusan asap rokok mengandung
radikal bebas yaitu radikal hidroksida (OH). Sebagian bebas radikal bebas
ini akan sampai ke alveolus. Partikel ini merupakan oksidan yang dapat
merusak paru; kerusakan parenkim paru oleh oksidan ini terjadi karena :

a. Kerusakan dinding alveolus


b. Modifikasi fungsi anti elastase pada saluran napas.
Antielastase seharusnya menghambat netrofil, oksidan
menyebabkan fungsi ini terganggu sehingga timbul kerusakan jaringan
interstitial alveolus. Partikulat yang terdapat dalam asap rokok dan udara
yang terpolusi mempunyai dampak yang besar terhadap pembersihan oleh
sistem mukosilier. Sebagian besar partikulat tersebut mengendap di lapisan
mukus yang melapisi mukosa bronkus, sehingga mengharnbat aktivitas
silia. Pergerakan cairan yang melapisi mukosa bronkus akan sangat
berkurang, mengakibatkan meningkatnya iritasi pada epitel mukosa
bronkus. Kelenjar mukosa dan sel goblet dirangsang untuk menghasilkan
mukus yang lebih banyak, hal ini ditambah dengan gangguan aktivasi silia
menyebabkan timbulnya batuk kronik dan ekspektorasi. Produksi mukus
yang berlebihan memudahkan terjadinya infeksi dan memperlambat proses
penyembuhan. Keadaan ini merupakan suatu lingkaran dengan akibat
terjadi hipersekresi. Di samping itu terjadi penebalan dinding saluran
napas sehingga dapat timbul mucous plug yang menyumbat jalan napas,
tetapi sumbatan ini masih bersifat reversibel. Bila iritasi dan oksidasi di
saluran napas terus berlangsung maka terjadi erosi epitel serta
pembentukan jaringan parut. Disamping itu terjadi pula metaplasia
skuamosa dan penebalan lapisan submukosa. Keadaan ini mengakibatkan
stenosis dan obstruksi saluran napas yang bersifat ireversibel.

2. Infeksi (Sudoyo, 2006):


Infeksi pada saluran nafas bukan penyebab pada brokitis kronis tapi
merupakan factor pencetus terjadinya eksaserbasi akut pada penyakit ini.
Infeksi akan memperparah gejala dan memperburuk fungsi paru. Infesi
pada traktus respiratorius pada waktu anak merupakan factor predisposisi
munculnya bronchitis kronis saat dewasa. Ini mungkin menjelaskan
kenapa bronchitis kronis tidak muncul pada semua perokok. Infeksi pada
traktus respiratorius waktu anak mungkin mengganggu perkembangan dan
fungsi paru yang berakibat pada terjadinya bronchitis kronis saar dewasa.

D. MANIFESTASI KLINIS
1. batuk berdahak (dahaknya bisa berwarna kemerahan)
2. sesak napas terutama saat batuk
3. sering menderita infeksi pernapasan (misalnya flu)
4. Ronchi haru-kasar, bengek atau mengi atau sesak
5. pembengkakan pergelangan kaki, kaki dan tungkai kiri dan kanan
6. wajah, telapak tangan
7. selaput lendir yang berwarna kemerahan
8. pipi tampak kemerahan
9. sakit kepala
10. gangguan penglihatan.
11. Bronkitis infeksiosa seringkali dimulai dengan gejala seperti pilek, yaitu
hidung meler, lelah, menggigil, sakit punggung, sakit otot, demam ringan
dan nyeri tenggorokan.
12. Batuk biasanya merupakan tanda dimulainya bronkitis. Pada awalnya
batuk tidak berdahak, tetapi 1-2 hari kemudian akan mengeluarkan dahak
berwarna putih atau kuning. Selanjutnya dahak akan bertambah banyak,
berwarna kuning atau hijau.
13. Pada bronkitis berat, setelah sebagian besar gejala lainnya membaik,
kadang terjadi demam tinggi selama 3-5 hari dan batuk bisa menetap
selama beberapa minggu.
14. Sesak napas terjadi jika saluran udara tersumbat. Sering ditemukan bunyi
napas mengi, terutama setelah batuk. Bisa terjadi pneumonia

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Darah rutin : Hb, Ht dan leukosit boleh didapatkan meningkat
b. Analisa gas darah : hipoksia dan hiperkapnia
2. Pemeriksaan faal paru
Spirometri : Ditemukan adanya penurunan kapasitas vital (VC) dan
volume ekspirasi kuat (FEV) serta peningkatan volume residual (RV)
dengan kapasitas paru total (TC) normal atau meningkat (Sudoyo, 2006).

3. Radiologi
Rontgen thorax (PA/Lateral)

a. Corakan bronkovaskuler meningkat


b. Tram-track appearance : penebalan dinding bronkial

F. DIAGNOSIS BANDING
Asma  Onset usia dini
 Gejala bervariasi dari hari ke hari
 Gejla pada waktu malam/dini hari lebih menonjol
 Dapat ditemukan alergi/rhinitis/eczema
 Riwayat asma dalam keluarga
 Hambatan aliran udara biasnya reversibel
Gagal jantung  Riwayat hipertensi
kongestif  Ronki basah halus di basal paru
 Gambaran foto toraks cardiomegali dan edema paru
 Pemeriksaan faal paru restriksi bukan obstruksi
Bronkiektasis  Sputum purulen dalam jumlah banyak
 Sering berhubungan dengan infeksi bakteri
 Ronki basah kasar dan jari tabuh
 Gambaran foto toraks Nampak honeycomb appearance dan
penebalan dinding bronkus

TBC  Onset di semua usia


 Gambaran foto toraks infiltrate
 Konfirmasi mikrobiologi (BTA)

Sindrom  Riwayat pengobatan anti TB adekuat


obstruksi pasca  Gambaran foto toraks bekas TB : fibrotic dan kalsifikasi
TB minimal
 Pemeriksaan faal paru menunjukkan obstruksi yang tidak
reversibel

Bronkiolitis  Usia muda


obliterasi  Tidak merokok
 Mungkin ada riwayat arthritis rematoid
 CT paru ekspirasi terlihat gambaran hipodens

Diffuse  Sering pada perempuan tidak merokok


bronchiolitis  Seringkali berhubungan dengan sinusitis
 Rontgen dan CT paru resolusi tinggi memperlihatkan
bayanagn diffuse nodul opak sentrilobular dan hiperinflasi

G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan umum pada bronkitis kronik bertujuan memperbaiki
kondisi tubuh penderita, mencegah perburukan penyakit, menghindari faktor
risiko dan mengenali sifat penyakit secara lebih baik. Termasuk dalam
penatalaksanaan umum ini adalah pendidikan buat penderita untuk mengenal
penyakitnya lebih baik, menghindari polusi, menghentikan kebiasaan
merokok, menghindari infeksi saluran napas, hidup dalam lingkungan yang
lebih sehat, makanan cukup gizi dan mencukupi kebutuhan cairan.
Penatalaksanaan khusus dilakukan untuk mengatasi gejala dan
komplikasi. Tindakan ini berupa pemberian obat-obatan, terapi respirasi dan
rehabilitasi.
Tujuan utama terapi harus menargetkan perbaikan gejala, seperti :
1. Mengurangi kelebihan lendir
2. Penurunan hipersekresi lendir dengan mengendalikan peradangan ;
3. Memfasilitasi penghapusan lendir
4. Modifikasi batuk
Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk memperlambat perjalanan
penyakit adalah:

1. Menghentikan kebiasaan merokok.


2. Menghindari polusi udara dan kerja di tempat yang mempunyai risiko
terjadinya iritasi saluran napas.
3. Menghindari infeksi dan mengobati infeksi sedini mungkin agar tidak
terjadi eksaserbasi akut.
4. Menegakkan diagnosis secara dini agar kelainan paru yang masih
reversibel dapat dideteksi sehingga usaha-usaha untuk menghindari
penyakit berlanjut menjadi kelainan yang ireversibel dapat dilakukan

Medikamentosa

1. Mukolitik dan ekpetorat


Guaifenesin bekerja dengan peningkatan vagally dimediasi dalam
jalan napas. Meskipun telah ditunjukkan penggunaan jangka panjang
umum guaifenesin belum terbukti bermanfaat dalam COPD atau
bronkitis kronik.

2. Methylxanthines and Short-Acting b-Adrenergic Receptor Agonists


(SABA)
Keduanya meningkatkan mucus clearance oleh beberapa mekanisme :

a. Meningkatkan napas diameter luminal


b. Meningkatkan frekuensi beat silia melalui peningkatan intraseluler
adenosin siklik monofosfat tingkat
c. Meningkatkan lendir hidrasi dengan merangsang sekresi saluran
napas Cl- melalui aktivasi fibrosis kistik transmembran
regulator
Ini menurunkan viskositas mukus, memungkinkan untuk
transportasi lebih mudah dengan silia pernafasan. Pada percobaan dalam
model hewan, jangka pendek b-agonis dikaitkan dengan up
regulationclearance mukosiliar. Demikian pula , methylxanthines
meningkatkan mukosiliar tidak hanya melalui properti bronchodilatory
mereka tetapi
juga dengan merangsang frekuensi silia beat, menambah saluran napas
transport ion epitel untuk meningkatkan lendir hidrasi dan
mempromosikan sekresi lendir di saluran udara lebih rendah. Studi klinis
theophylline di CB telah menunjukkan fungsi paru-paru meningkat tapi
tidak ada perubahan konsisten dalam batuk dan produksi sputum.
(American Journal Of Respiratory And Critical Care Medicine, 2013)

3. Long-Acting b-Adrenergic Receptor Agonists


Efek dari long-acting - b adrenergik agonis reseptor ( LABAs )
pada fungsi mukosiliar telah dikaitkan dengan manfaatnya
efek pada fungsi paru-paru. LABAs juga mengurangi hiperinflasi
dan meningkatkan arus puncak ekspirasi, yang penting
komponen batuk. Bukti in vitro menunjukkan salmeterol yang dapat
merangsang ciliary beat frekuensi. Demikian pula, formoterol secara
signifikan meningkatkan bersihan mukosiliar dibandingkan dengan
plasebo pada pasien dengan bronchitis.

4. Anticholinergics
Antikolinergik yang bekerja pada reseptor muscarinic dipercaya
dapat membantu mukus clearance oleh peningkatan diameter luminal
dan dengan menurunkan permukaan dan submukosa kelenjar sekresi
musin. Mereka juga dipercaya untuk memfasilitasi lendir batuk –induced
clearance. Namun, antikolinergik mungkin bisa mengeringkan saluran
nafas dengan depleting lendir permukaan saluran napas, sehingga
membuat pengeluaran dahak lebih sulit. In vivo , literatur
tidak mendukung penggunaan antikolinergik untuk pengobatan
CB. Bromide Ipratropium telah ditunjukkan untuk mengurangi kuantitas
dan tingkat keparahan batuk di bronchitics kronis namun tidak
efektif dalam meningkatkan pembersihan mukosiliar pada PPOK . di
sebuah studi dari 470 pasien dengan FEV1 39 % diprediksi , tiotropium
meningkatkan fungsi paru-paru , tetapi tidak mempengaruhi gejala batuk.
Dalam studi lain dari 39 pasien dengan COPD , tiotropium berkurang
jumlah batuk , tapi mukosiliar tidak diperbaiki. (American Journal Of
Respiratory And Critical Care Medicine, 2013)

5. Glucocorticoids
Ada bukti in vitro bahwa glukokortikoid mengurangi peradangan
dan produksi lendir. Dalam asma ,kortikosteroid inhalasi menurunkan
hiperplasia sel goblet. Deksametason juga telah terbukti menurunkan
epitel ekspresi gen musin gen MUC5AC di sel epitel bronkial manusia.
Mereka juga dapat mempercepat pembersihan mukosiliar. Kortikosteroid
inhalasi dapat mengurangi frekuensi eksaserbasi dan meningkatkan
kualitas -hidup skor pada PPOK.

6. Phosphodiesterase-4 Inhibitors
Phosphodiesterase - 4 ( PDE - 4 ) penghambatan menurunkan
peradangan dan membuat relaksasi otot polos saluran napas dengan
mencegah hidrolisis adenosin monofosfat siklik untuk tidak aktif.
Cilomilast dan roflumilast adalah second generation sangat spesifik PDE
- 4 inhibitor . Sebuah metaanalisis dari 23 acak uji coba roflumilast atau
cilomilast dibandingkan dengan placebo menemukan bahwa pengobatan
dengan inhibitor PDE - 4 hanya sedikit meningkat FEV1 ( 45.59 ml , 95
% CI , 39,1-52,03 ) tetapi mengurangi kemungkinan eksaserbasi ( OR ,
0,78 , 95 % CI,0,72-0,85). Roflumilast signifikan meningkatkan
prebronchodilator FEV1 dan penurunan tingkat sedang sampai parah
eksaserbasi dalam uji coba secara acak pasien dengan COP .
Dibandingkan dengan plasebo , roflumilast menurun eksaserbasi sebesar
17 % ( 95 % CI , 8-25 % ) ( 109 ) . Dalam dua uji coba 24 - minggu, 933
pasien dengan PPOK sedang sampai berat secara acak ditugaskan untuk
roflumilast ditambah salmeterol atau salmeterol saja , dan 743 pasien
secara acak ditugaskan untuk roflumilast ditambah tiotropium atau
tiotropium saja. Jadi, pada bronkitis kronik PDE - 4 inhibitor mungkin
memainkan peran preventif dalam mencegah perkembangan eksaserbasi
pada pasien dengan CB dan COPD .

7. Antioksidan
Oksidan yaitu zat yang terdapat pada asap rokok dan udara yang
terpolusi mempunyai andil untuk terjadinya bronkitis kronik.Anti
oksidan melindungi dan mempertahankan paru dari radikal-radikal anion
superoksid, hidrogen peroksid, radikal hidroksil dan anion hipohalida
yang diproduksi oleh sel radang. Anti oksidan dapat mengubah oksidan
menjadi molekul yang tidak berbahaya terhadap jaringan paru dan
menekan efek radikal bebas dari asap rokok. N-asetilsistein merupakan
suatu antioksidan, yaitu sumber glutation.

Pemberian N-asetilsistein pada perokok dapat mencegah kerusakan


parenkim paru oleh efek oksidan yang terdapat dalam asap rokok. Di
samping sebagai anti oksidan, obat ini bersifat mukolitik yaitu
mengencerkan sekret bronkus sehingga mudah dikeluarkan. Pemberian
N-asetilsistein selama enam bulan pada penderita bronkitis kronik
memberikan perbaikan dalam hal jumlah sputum, purulensi sputum,
banyaknya eksaserbasi dan lamanya hari sakit secara bermakna.
(American Journal Of Respiratory And Critical Care Medicine,2013)

8. Antibiotik
Terapi Antibiotik umumnya tidak diindikasikan untuk pasien
bronkitis kronik. Terapi macrolide telah Terbukti memiliki sifat anti –
inflamasi Dan mungkin memiliki Peran Dalam pengobatan bronkitis
kronik. Mereka telah Terbukti dapat menghambat sitokin proinflamasi ,
menurunkan neutrofil Pecah , menghambat Migrasi Dan peningkatan
apoptosis, eosinophilic menurunkan peradangan, meningkatkan
Transportasi mukosiliar, mengurangi sel goblet sekresi. Dan penurunan
bronkokonstriksi. (American Journal Of Respiratory And Critical Care
Medicine,2013)

Obat Inhaler (µg) Larutan Oral Vial Durasi


Nebulizer injeksi (jam)
(mg/ml) (mg)
Adrenergik (β2-agonis)

Fenoterol 100-200 (MDI) 1 0,5% (sirup) 4-6


Salbutamol 100, 200 MDI&DPI 5 5mg (pil), 0,1 ; 0,5 4-6
0,24% (sirup)
Terbutaline 400,500 (DPI) 2,5 ; 5 (pil) 0,2; 0,25 4-6

Formoterol 4,5-12 MDI&DPI 12+


Salmeterol 25-50 MDI&DPI 12+
Antikolinergik
Ipatropium bromide 20,40(MDI) 0,25-0,5 6-8

Oxitropium bromide 100 (MDI) 1,5 7-9

Tiotropium 18(DPI) 24+

Methylxanthines
Aminophylline 200-600mg (pil) 240mg 24
Theophylline 100-600mg (pil) 24
Kombinasi adrenergik & antikolinergik

Fenoterol/Ipatropium 200/80 (MDI) 1,25/0,5 6-8


Salbutamol/Ipatropium 75/15 (MDI) 0,75/4,5 6-8
Inhalasi Glukortikosteroid

Beclomethasone 50-400(MDI&DPI) 0,2-0,4


Budenosid 100,200,400(DPI) 0,20, 0,25, 0,5
Futicason 50-500(MDI &DPI)
Triamcinolone 100(MDI) 40 40
Kombinasi β2 kerja panjang plus glukortikosteroid dalam satu inhaler

Formoterol/Budenoside 4,5/160; 9/320 (DPI)


50/100,250,500(DPI)
Salmoterol/Fluticasone
25/50,125,250(MDI)
Sistemik Glukortikosteroid
Prednisone 5-60 mg(Pil)
Methy-Prednisone 4, 8 , 16 mg (Pil)

H. KOMPLIKASI
1. gagal napas
a. Kronik
b. Akut pada gagal nafas kronik yang ditandai dengan :
i. Sputum bertambah dan purulen
ii. Sesak nafas dengan atau sianosis
iii. Demam
iv. Kesadaran menurun

2. cor pulmonal
Pembesaran jantung kanan (dilatasi atau hipertrofi) yang
disebabkan oleh karena kelainan-kelainan fungsi atau struktur paru.
Tidak termasuk disini perubahan paru yang disebabkan primer akibat
kelainan jantung kiri serta kelainan bawaan.

3. hipertensi pulmonal
Peningkatan abnormal tekanan arteri pulmonal ( normal saat
istirahat <20mmHg, saat senam <30mmHg)
I. PROGNOSIS
Prognosis jangka pendek maupun jangka panjang bergantung pada umur dan
gejala klinisnya. Pada eksaserbasi akut, prognosis baik dengan terapi. Pada
pasien bronkitis kronik dan emfisema lanjut dan VEP1 < 1 liter survival rate
selama 5-10 tahun mencapai 40%.

Ventrikel Extrasistol
Ventricular extrasystoles merupakan suatuaritmia ventrikel yang cukup
sering dipopulasi umum. Prevalensi kompleksprematur meningkat sesuai usia,
lebih seringpada laki-laki, dan pada gangguan elektrolitseperti hipokalemia.4
Temuan VES pada EKGcukup sering, mencapai 40-75% pada ECGmonitor.4
VES dideteksi pada EKG dengantemuan kompleks QRS durasi >0,12 detik
danperubahangelombangT yang discordant.1
Kompleks QRS pada VES tidak diawali dengangelombang P prematur
(sebagaimana padaatrial extrasystoles) namun dapat diawalidengan gelombang P
dari sinus yang terkonduksi tidak tepat waktunya.4
Munculnya VES berkaitan dengan berbagaistimulus dan dapat diproduksi
oleh stimulasi mekanis, elektrik dan kimiawi pada miokard,seperti: infeksi,
iskemia/inflamasi, hipoksia,pengobatan, electrolyte imbalance, miokardteregang,
atau konsumsi rokok, kafein, ataualkohol berlebihan.13 VES biasanya
tidakmemiliki kepentingan klinis pada pasien tanpapenyakit jantung struktural,
namun jika VESdibarengi gangguan struktural jantung, akanmeningkatkan
mortalitas dan morbiditas.2
Diagnosis pasti VES hanya dapat ditegakkandengan pemeriksaan
elektrokardiografi,karena kompleks prematur supraventrikulerumumnya dapat
memberikan gejala serupa.13Gejala berupa palpitasi atau rasa tidak nyamanakibat
kontraksi post-extrasystolic yang harusmemompakan darah lebih banyak.
FrequentVES dapat menyebabkan angina, hipotensi,atau bahkan gagal jantung.3
VES interpolated(tersisipkan antara dua kompleks sinusnormal) dapat
meningkatkan denyut jantung2 kali lipat untuk durasi singkat, dan berkenaan
dengan gangguan hemodinamik pasien.13,14
Secara EKG, terdapat beberapa pola ataukarakteristik VES. Berdasarkan
ragambentuknya, VES dapat dibagi menjadi VESunifocal/uniform dan VES
multifocal/multiform(gambar 3a).13 Berdasarkan pola repetisinya
VES dapat dibagi menjadi VES bigeminy(satu kompleks normal diikuti satu
VES),trigeminy (dua kompleks normal diikuti satuVES), quadrigeminy, atau
paired VES couplets/triplets yaitu dua atau lebih VES berpasangan(gambar
3b).3,13 Sebuah gambaran EKG padaVES yang cukup unik, yaitu fragmented
QRS(fQRS) berhubungan erat dengan frekuensi PVC. Morfologi fQRS dan umur
merupakanfaktor prediktor kuat terhadap kejadianfrequent VES.1

Tatalaksana VES sangat tergantung gambaranklinis. Bila tidak ada


gangguan jantung yangmendasari, VES tidak akan menjadi masalahterkait
morbiditas dan mortalitas, danhampir tidak diperlukan terapi anti-aritmia.18Selain
underlying heart disease, pengobatanVES juga tergantung gejala. Pada
pasiendengan keluhan yang bermakna, biasanyahingga mengganggu aktivitas
sehari-hari,pengobatan dibutuhkan baik medikamentosaataupun tindakan invasif.
Penyekat betamerupakan obat lini pertama. Jika tidak efektif,
flecainide, suatu obat anti-aritmia golonganIC menurut klasifikasi Vaughan-
Williams,dapat menjadi pilihan; tetapi harus hati-hatipada pasien dengan
underlying heart diseasekarena justru berpotensi pro-aritmik.
Terapimedikamentosa lain adalah amiodarone,namun karena efek sampingnya,
obat inihanya diberikan pada pasien dengan gejalasignifikan, terutama pada
pasien dengangangguan struktur dan fungsi jantung.2,18,19
DAFTAR PUSTAKA

Akin ZE, Bilgin S. Classification of normal beat, atrial premature contraction and
ventricular premature contraction based on discrete wavelet transform and
artificialneural networks. 2017 Medical Technologies National Congress
(TIPTEKNO). 2017;

Davey, Patrick, 2006. At a Glance Medicine, Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal; 89

Dubner S, Hadid C, Azocar D, Labadet C, Valsecchi C, Dominguez A.


Radiofrequency catheter ablation of frequent premature ventricular
contractionsusing ARRAY
multi-electrode balloon catheter. Cardiol J. 2016;23(1):17–22.

Eugenio PL. Frequent premature ventricular contractions. Cardiol in Rev


2015;23(4):168–72.

Giles K, Green MS. Workup and management of patients with frequent premature
ventricular contractions. Canadian Journal of Cardiology.
2013;29(11):1512–5.

Harrison, T.R. 2005. Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th edition,


USA: The Mac Graw-Hill Companies. 1671-73

Jazra C, Wazni O, Jaroudi W. Are premature ventricular contractions in patients


without apparent structural heart disease really safe? Internat Cardiovasc
ForumJ.2015;2(1).

Laplante L, Benzaquen BS. A Review of the potential pathogenicity and


management of frequent premature ventricular contractions. Pacing Clin
Electrophysiol.2016;39(7):723–30.

Mansjoer, Arif, dkk., ed. 2005. Kapita Selekta Kedokteran jilid 1 edisi ke-
3 . Jakarta: Media Aesculapius. Hal ; 224

PDPI., 2003. Bronkitis Kronis. Available in www.klikpdpi.comSudoyo, Aru W.,


dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid II. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Hal : 1111-13
Price., et al., 2006. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses-proses penyakit Ed 6.
Jakarta:EGC. Hal 165-168

Temiz A, Gazi E, Altun B, Gungor O, Barutcu A, Bekler A, et al. Fragmented


QRS is associated with frequency of premature ventricular contractions in
patients without
overt cardiac disease. Anatolian J Cardiol. 2015;15(16):456–62.

West, John B., 2003. Pulmonary Pathophysiology, The Essential Sixth


Edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins, a Wolters Kluwers
Company. Hal : 156-59

Winkens RAG, Höppener PF, Kragten JA, Verburg MP, Crebolder HFJM. Are
premature ventricular contractions always harmless? Eur J Gen Pract.
2013;20(2):134–8.

Anda mungkin juga menyukai