Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PORTOFOLIO

Topik : KRISIS HIPERGLIKEMIA

Diajukan dalam rangka praktek klinis dokter internsip sekaligus bagian dari
persyaratan menyelesaikan program internsip dokter Indonesia
di RSUD Simo Boyolali

Disusun oleh :

dr. Dyah Putri Rovita

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

RUMAHSAKIT UMUM DAERAH SIMO

KABUPATEN BOYOLALI

2019
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS PORTOFOLIO

KRISIS HIPERGLIKEMIA

Disusun oleh :
dr. Dyah Putri Rovita

Telah dipresentasikan pada


Tanggal, 26 Maret 2019

Pembimbing,

dr. Yopie Ibrahim


BORANG PORTOFOLIO KASUS MEDIK

Topik : Krisis Hiperglikemia


Tanggal MRS : 12 Maret 2019
Presenter : dr. Dyah Putri Rovita
Tanggal Periksa : 12 Maret 2019
Tanggal Presentasi : Maret 2019 Pendamping : dr. Yopie Ibrahim
Tempat Presentasi :
Objektif Presentasi :
□ Tinjauan
□ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran
Pustaka
□ Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa

□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa □ Lansia
Bumil
□ Deskripsi : Perempuan, 75 tahun dengan keluhan lemas
□ Tujuan : Penegakkan diagnosa dan pengobatan yang tepat dan tuntas.
Bahan
□ Tinjauan Pustaka □ Riset □ Kasus □ Audit
Bahasan :
Cara
□ Diskusi □ Presentasi dan Diskusi □ E-mail □ Pos
Membahas :
Data Pasien : Nama : Ny. S, 75 tahun No. Registrasi : 190112xxxx
Nama RS : RSUD SIMO Telp : Terdaftar sejak:
Data Utama untuk Bahan Diskusi :
1. Diagnosis / Gambaran Klinis :
Pasien seorang perempuan usia 75 tahun datang dengan keluhan badan lemas dan
pusing sejak kemarin sore. Keluhan dirasakan terus menerus. Sebelum SMRS pasien
ke praktek klinik dokter dan disarankan untuk ke IGD karena gula darah tinggi. Pasien
dalam pengobatan diabetes mellitus dengan obat oral namun jarang kontrol. Pasien
didiagnosis diabetes sudah sejak lebih dari 5 tahun yang lalu.
Keluhan mual (+), muntah (-), kaki kesemutan (+), demam (-), sesak (-), nyeri dada (-
), keringat dingin (-). BAB dan BAK tidak ada keluhan.
2. Riwayat Pengobatan : obat oral anti diabetic
3. Riwayat Penyakit Dahulu: Riwayat DM sejak lebih dari 5 tahun dengan kontrol yang
kurang baik.
4. Riwayat Keluarga : Riwayat DM tidak diketahui, Riwayat hipertensi di keluarga (-)
5. Riwayat Pekerjaan : Pasien tidak bekerja
6. Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik : Status ekonomi keluarga pasien termasuk
dalam golongan menengah keatas.
7. Lain-lain :
Sosial ekonomi cukup, pasien menggunakan fasilitas BPJS Non PBI

Daftar Pustaka
Konsensus pengelolaan dan pencegahan DM tipe 2 di Indonesia, Prekeni 2015
Standards of Medical Care in Diabetes, American Diabetes Association 2016
Abbas E et al, 2016. Hyperglycemic crises in patients with diabetes mellitus.American
Diabetes Association. Diabetes Care volume 29, num 12, december 2006.
Gaglia JL, Wyckoff J, Abrahamson MJ . Acute hyperglycemic crisis in elderly. Med Cli
NAm 88: 1063-1084, 2010.
Kitabchi AE, Fisher JN, Murphy MB , Rumbak MJ, 2018 : Diabetic ketoacidosis and the
hyperglycemic hyperosmolar nonketotic state. In Joslin’s Diabetes Mellitus. 13th ed.
Kahn CR, Weir GC, Eds. Philadelphia, Lea & Febiger, 1994, p. 738–770
Marshall SM, Walker M, Alberti KGMM: Diabetic ketoacidosis and hyperglycaemic non -
ketotic coma. In International Textbook of Diabetes Mellitus. 2nd ed. Alberti
KGMM, Zimmet P, DeFronzo RA, Eds. New York, John Wiley, 1997, p. 1215–1229.
Ennis ED, Stahl EJ, Kreisberg RA : Diabetic ketoacidosis. In Diabetes Mellitus :Theory and
practice. 5th ed.Porte D Jr, Sherwin RS, Ed. Amsterdam, Elsevier,1997, 827 844.
Rosenbloom AL : Intracerebral crises during treatment of diabetic ketoacidosis. Diabetes
Care 13: 22-23, 2010 .
Care 13: 22-23, 2000 .
Hasil Pembelajaran :
1. Krisis Hiperglikemia
2. Penegakan diagnosis Krisis Hiperglikemia
3. Tatalaksana Krisis Hiperglikemia

Keterangan Umum :
Nama : Ny.S
Usia : 75tahun
No RM : 190112xxxx
Alamat : Sumbersari 13/04 bakalrejo, susukan
Agama : Islam
Suku : Jawa
Warga Negara : Warga Negara Indonesia (WNI)
Pekerjaan : Tidak bekerja
Status pernikahan : Menikah

A. ANAMNESIS
SUBJEKTIF
Keluhan Utama : lemas dan pusing
Pasien seorang perempuan usia 75 tahun datang dengan keluhan badan
lemas dan pusing sejak kemarin sore. Keluhan dirasakan terus menerus.
Sebelum SMRS pasien ke praktek klinik dokter dan disarankan untuk ke
IGD karena gula darah tinggi. Pasien dalam pengobatan diabetes mellitus
dengan obat oral namun jarang kontrol. Pasien di diagnosis diabetes sudah
sejak lebih dari 5 tahun yang lalu.
Keluhan mual (+), muntah (-), kaki kesemutan (+), demam (-), sesak (-),
nyeri dada (-), keringat dingin (-). BAB dan BAK tidak ada keluhan.
B. PEMERIKSAAN FISIK
OBJECTIVE
PEMERIKSAAN FISIK
 Keadaan Umum : Lemah
 Kesadaran : Compos Mentis
 Vital sign
o Tekanan Darah : 130/70mmHg
o Nadi: 89x/menit
o RR: 20x/menit
o Temp: 36,8C
 Kepala leher:
o Mata : Reflek pupil +/+ , Pupil isokor 2mm/2mm , konjunctiva anemis
-/-, ikterus -/-.

o THT :

 Telinga: sekret (-)


 Hidung : nafas cuping hidung (-)
 Tenggorokan : dbn

o Bibir: sianosis (-)


o pembesaran KGB (-)
 Thorax:
o Pulmo:
 Inspeksi : simetris, retraksi (-)
 Palpasi : vocal fremitus kanan=kiri
 Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
 Auskultasi: Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-,
o Cor:
 Inspeksi: tak tampak ictus cordis
 Palpasi: ictus cordis tidak kuat angkat
 Perkusi: batas jantung dalam batas normal
 Auskultasi: s1 s2 tunggal , regular, murmur (-)
 Abdomen:
o Inspeksi : flat, distensi (-)
o Auskultasi : bising usus (+) normal
o Palpasi : Hepar/lien tidak teraba
o Perkusi : tymphani (+)
o Turgor (+) baik

 Ekstrimitas : Hangat, Cappilary Refill Time < 2, udem (-)

Pemeriksaan Laboratorium Darah Lengkap


Hb 13,6 g/dl HbsAg -

Leukosit 6,28 103sel/mm3 Ur 20,5 mg/dl

Trombosit 302 103sel/ul Cr 0,77 mg/dl

MCV 75,2 fL GDS 534 mg/dl

MCH 28,2 pg CT -

MCHC 37,5 g/dl BT -

Eritrosit 4,83 106sel/ul Gol Darah -

Hematokrit 38,3% HBA1C 12,5%


Hasil EKG
C. DIAGNOSIS BANDING
Ketoasidosis diabetikum
Hiperosmolar hiperglikemik state

D. DIAGNOSIS KERJA
Ketoasidosis diabetikum

E. PENATALAKSANAAN
a) Planning Therapy
1. IVFD Nacl 0,9% loading 1 fl
2. Bolus IV RI 10 unit
b) Planning Monitoring
1. Keluhan Subyektif
2. KU VS
3. GDS / 2 jam
4. Ur Cr

H. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
PERKEMBANGAN PASIEN DI IGD

Jam GDS Terapi


15.05 534 mg/dl Loading Nacl 1 fl +
injeksi novorapid 10 unit
IV (bolus)
16.10 179 mg/dl Nacl 0,9% 20 tpm
16. 30 179 mg/dl Pindah bangsal

Perkembangan pasien dibangsal

13/03/2019 Ku lemah infus RL 20 TPM


Kesadaran Compos
inj. Ketorolac 1
Mentis amp/12jam
Kaki kesemutan (+) inj. Ranitidin 1 amp/24
GDS jam
07.00: 198 mg/dl RI 3 x 5 unit SC
Lantus 1 x 8 unit SC
Per Oral:
Gabapentin 2x100mg
Mecobalamin 1x500mg
14/03/2019 Ku sedang infus RL 20 TPM
Kesadaran CM inj. Ketorolac 1
Kaki kesemutan, nyeri amp/12jam
(+) inj. Ranitidin 1 amp/24
GDS jam
07.00: 168 mg/dl RI 3 x 5 unit SC
Lantus 1 x 8 unit SC
Per Oral:
Gabapentin 2x100mg
Mecobalamin 1x500mg
Lansoprazole 1x1
14/03/2019 GDS 168mg/dl Pasien BLPL
j 13.00 Terapi
-Lantus 0-0-10 unit SC
-RI 3 x 5 unit SC
-lansoprazole 1x1
- Gabapentin 2x100mg
-Mecobalamin 1x500mg
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Diabetes Melitus


Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemi yang terjadi akibat kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Manifestasi DM disebabkan karena defisiensi relatif atau absolut atau resistensi jaringan
terhadap insulin. Insulin merupakan hormon anabolik yang merangsang sintesis glikogen,
lemak dan protein. Pada defisiensi insulin, hormon antagonis insulin yang lebih dominan
sehingga terjadi hiperglikemia. Akibat hiperglikemia terjadi berbagai proses biokimia
dalam sel yang berperan dalam terjadinya komplikasi pada diabetes mellitus. (PERKENI,
2015).
Manifestasi komplikasi kronik dapat terjadi pada tingkat mikrovaskular
(retinopati diabetik, nefropati diabetik, neuropati diabetik, dan kardiomiopati) maupun
makrovaskular (stroke, penyakit jantung koroner, peripheral vascular disease).
Komplikasi lain dari DM dapat berupa kerentanan berlebih terhadap infeksi akibat
mudahnya terjadi infeksi saluran kemih, tuberkulosis paru, dan infeksi kaki, yang
kemudian dapat berkembang menjadi ulkus/gangren diabetic. (Wastadji, 2010)
Sesuai dengan anjuran American Diabetes Association (ADA) 2016, DM bisa
diklasifikasikan secara etiologi menjadi diabetes tipe 1, diabetes tipe II, diabetes dalam
kehamilan, dan diabetes tipe lain. DM tipe 1 atau yang dulu dikenal dengan nama Insulin
Dependent Diabetes Melitus (IDDM), terjadi karena kerusakan sel beta pankreas (reaksi
autoimun). Bila kerusakan sel beta telah mencapai 90% maka gejala DM mulai muncul.
Selain itu ada yang karena autoimun dan idiopatik DM tipe II merupakan 90% dari kasus
DM yang dulu dikenal sebagai non insulin dependent Diabetes Melitus (NIDDM) dan
mempunyai pola familial yang kuat. DM tipe II seringkali terjadi resistensi insulin
disertai defisiensi insulin relatif sampai defek sekresi insulin disertai resistensi insulin
(ADA, 2016).

Patogenesis
Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe II sangat kompleks, pada awalnya, terjadi
kegagalan aksi insulin dalam upaya menurunkan gula darah, mengakibatkan sel ß
pankreas akan mensekresikan insulin lebih banyak untuk mengatasi kekurangan insulin.
Dalam keadaan ini toleransi glukosa dapat normal tetapi suatu saat akan terjadi gangguan
dan menyebabkan gangguan toleransi glukosa (IGT) dan belum terjadi diabetes. Apabila
keadaan resistensi insulin bertambah berat disertai beban glukosa yang terus menerus, sel
ß pankreas dalam jangka waktu yang tidak lama tidak mampu mensekresikan insulin
untuk menurunkan kadar gula darah, disertai peningkatan glukosa hepatik dan penurunan
penggunaan glukosa oleh otot dan lemak yang mempengaruhi kadar gula darah puasa dan
pospandrial yang sangat karakteristik pada Diabetes Melitus Tipe II. Akhirnya sekresi
insulin oleh sel ß pankreas akan menurun dan terjadi hiperglikemia yang bertambah berat
dan terus menerus berlangsung (Cohen, 2001).

Diagnosis Diabetes Melitus


Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan glukosa darah dan tidak hanya
berdasarkan adanya glukosuria. Pemeriksaan darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga
cara. Pertama, jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu
> 200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Kedua, dengan pemeriksaan
glukosa plasma puasa yang lebih mudah dilakukan, mudah diterima oleh pasien serta
murah, sehingga pemeriksaan ini dianjurkan untuk diagnosis DM (table 2.1.). Ketiga
dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa
lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun
memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam
praktek sangat jarang dilakukan. Keluhan klasik DM berupa poliuria, polidipsia,
polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain
dapat berupa lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur (PERKENI, 2015).

Tabel 2.1. Kriteria Diagnostik DM menurut ADA (2016)

Normoglikemia IFG atau IGT Diabetes

Gula darah puasa <100 Gula darah puasa Gula darah puasa > 126 mg/dl
mg/dl >100 &<126 mg/dl

Gula darah 2 jam PP Gula darah 2 jam PP Gula darah 2 jam PP >200 mg/dl
<140 mg/dl >140 mg/dl &<200
Gejala diabetes dan konsentrasi glukosa
mg/dl
darah sesaat >200 mg/dl

Sumber : American Dietetic Association, 2016

Keterangan :
IFT = Impaired Fasting Tolerance, IGT = Impaired Glucose Tolerance

Komplikasi Diabetes Melitus


Menurut laporan United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS),
Komplikasi kronis paling utama adalah penyakit kardiovaskuler dan stroke, diabetic foot,
retinopati, serta nefropati diabetika, Dengan demikian sebetulnya kematian pada diabetes
terjadi tidak secara Iangsung akibat hiperglikemia tetapi berhubungan dengan komplikasi
yang terjadi. Apabila dibandingkan dengan orang normal, maka penderita DM lima kali
Iebih besar untuk timbul gangren, tujuh belas kali Iebih besar untuk menderita kelainan
ginjal dan dua puluh lima kali Iebih besar untuk terjadinya kebutaan (Sarwono, 1996).
Selain komplikasi-komplikasi yang disebutkan di atas, penderita DM juga
memiliki risiko penyakit seperti stroke, hipertensi dan serangan jantung yang jauh Iebih
tinggi daripada populasi normal. OIeh sebab itu penderita DM perlu diobati agar dapat
terhindar dan berbagai komplikasi yang menyebabkan angka harapan hidup menurun
(Sarwono, 1996).

Komplikasi DM terdiri dari komplikasi akut dan komplikasi kronis. Komplikasi


akut dari diabetes mellitus adalah diabetic ketoacidosis (DKA), hyperglicemic
hyperosmolar state (HHS) dan hipoglikemi. Sedangkan komplikasi kronik dapat dibagi
menjadi 2 yaitu komplikasi vaskular dan non vaskular. Pada komplikasi vaskular, dibagi
lagi menjadi mikrovaskular (retinopathy, neuropathy, nephropathy) dan makrovaskular
(coronary artery disease (CAD), peripheral artery disease (PAD), cerebrovascular
disease). Komplikasi non vascular yaitu berupa gastroparesis, infeksi, dan perubahan
kulit (Fauci et al., 2010).

Hiperglikemia Krisis
Hiperglikemia krisis merupakan suatu komplikasi akut dari diabetes melitus
ditandai dengan tingginya kadar gula darah tubuh yang terdiri dari Ketoasidosis diabetik
(disingkat KAD) dan status hiperglikemia hiperosmolar (disingkat SHH). Manifestasi
utamanya adalah kekurangan insulin dan hiperglikemia yang berat. SHH terjadi ketika
defisiensi insulin yang relatif (terhadap kebutuhan insulin) menimbulkan dehidrasi dan
akhirnya menyebabkan kondisi hiperosmolaritas. KAD terjadi bila kekurangan insulin
yang berat tidak saja menimbulkan hiperglikemia dan dehidrasi yang berat tapi juga
mengakibatkan produksi keton meningkat serta asidosis. Diagnosis KAD ditegakkan bila
ditemukan hiperglikemia (≥ 250 mg/dL), ketosis darah atau urin, dan asidemia (pH < 7.3)
(Kitabchi AE et al, 2018).
Kebanyakan pasien DKA adalah pasien DM tipe 1; sedangkan pasien dengan DM
tipe 2 juga memiliki resiko selama terjadi stres katabolik akibat penyakit akut seperti
trauma, pembedahan, atau infeksi. Angka kematian pada KAD <5% pada rumah sakit
yang berpengalaman, sedangkan angka kematian pasien SHH masih tinggi yaitu pada
angka 11%. Kematian pada kondisi ini jarang disebabkan karena komplikasi metabolik
akibat hipergikemia atau ketoasidosis tetapi lebih berhubungan dengan penyakit yang
mendasarinya. Prognosis pada kedua kondisi akan lebih buruk pada pasien usia tua yang
ekstrim dan pada pasien dengan koma dan hipotensi (Kitabchi AE et al, 2018)..

Patogenesis
Pada semua krisis hiperglikemik, hal yang mendasarinya adalah defisiensi
insulin, relatif ataupun absolut, pada keadaan resistensi insulin yang meningkat. Kadar
insulin tidak adekuat untuk mempertahankan kadar glukosa serum yang normal dan untuk
mensupres ketogenesis. Hiperglikemia sendiri selanjutnya dapat melemahkan kapasitas
sekresi insulin dan menambah berat resistensi insulin sehingga membentuk lingkaran
setan dimana hiperglikemia bertambah berat dan produksi insulin makin kurang (Gaglia
JL et al, 2010)
Pada KAD dan SHH, disamping kurangnya insulin yang efektif dalam darah,
terjadi juga peningkatan hormon kontra insulin, seperti glukagon, katekholamin, kortisol,
dan hormon pertumbuhan. Hormon-hormon ini menyebabkan peningkatan produksi
glukosa oleh ginjal dan hepar dan gangguan utilisasi glukosa dijaringan, yang
mengakibatkan hyperglikemia dan perubahan osmolaritas extracellular (Kitabchi AE et
al, 2018).
Kombinasi kekurangan hormon insulin dan meningkatnya hormon kontrainsulin
pada KAD juga mengakibatkan pelepasan/release asam lemak bebas dari jaringan adipose
(lipolysis) ke dalam aliran darah dan oksidasi asam lemak hepar menjadi benda keton (ß-
hydroxybutyrate [ß-OHB] dan acetoacetate) tak terkendali, sehingga mengakibatkan
ketonemia dan asidosis metabolik. Pada sisi lain, SHH mungkin disebabkan oleh
konsentrasi hormon insulin plasma yang tidak cukup untuk membantu ambilan glukosa
oleh jaringan yang sensitif terhadap insulin, tetapi masih cukup adekuat ( dibuktikan
dengan C-peptide) untuk mencegah terjadinya lipolisis dan ketogenesis; akan tetapi bukti-
bukti untuk teori ini masih lemah ( 4). KAD dan SHH berkaitan dengan glikosuria, yang
menyebabkan diuresis osmotik, sehingga air, natrium, kalium, dan elektrolit lain keluar
(Ennis et al, 1997)

Gambar 3. Bagan Patofisiologi KAD dan SHH

Faktor Pencetus
Krisis hiperglikemia pada diabetes tipe 2 biasanya terjadi karena ada keadaan
yang mencetuskannya. Faktor pencetus krisis hiperglikemia ini antara lain :
1. Infeksi : meliputi 20 – 55% dari kasus krisis hiperglikemia dicetuskan
olehInfeksi.
Infeksinya dapat berupa Pneumonia, Infeksi traktus urinarius, Abses, sepsis
2. Penyakit vaskular akut:
Penyakit serebrovaskuler
Infark miokard akut
Emboli paru
Thrombosis V.Mesenterika
3. Trauma, luka bakar, hematom subdural.
4. Heat stroke
5. Kelainan gastrointestinal:
Pankreatitis akut
Kholesistitis akut
Obstruksi intestinal
6. Obat-obatan :
Diuretika
Steroid
Lain-lain
Pada diabetes tipe 1, krisis hiperglikemia sering terjadi karena yang
bersangkutanmenghentikan suntikan insulin ataupun pengobatannya tidak adekuat.
Keadaan ini terjadi pada 20-40% kasus KAD. Pada pasien muda dengan DM tipe 1,
permasalahan psikologis 5 yang diperumit dengan gangguan makan berperan sebesar
20% dari seluruh faktor yang mencetuskan ketoasidosis. Faktor yang bisa mendorong
penghentian suntikan insulin pada pasien muda meliputi ketakutan akan naiknya berat
badan pada keadaan kontrol metabolisme yang baik, ketakutan akan jatuh dalam
hypoglikemia, pemberontakan terhadap otoritas, dan stres akibat penyakit kronis (Abbas
et al, 2016).

Diagnosis
1. Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik
Proses dari SHH biasanya muncul setelah beberapa hari sampai beberapa
minggu, sedangkan waktu perubahan episode KAD akut pada penderita baik DM tipe 1
atau 2 tampaknya lebih singkat. Meskipun gejala pada diabetes yang tidak terkontrol
dapat muncul selama beberapa hari, perubahan metabolik khas KAD biasanya akan
nampak dalam waktu yang cukup singkat (<24 jam). Gambaran klinis klasik pasien KAD
yaitu riwayat poliuri, polidipsi, penurunan berat badan, muntah, nyeri abdomen,
dehidrasi, lemah, perubahan status mental dan koma. Temuan fisik yaitu turgor kulit yang
menurun, pernafasan kussmaul, takikardi, hipotensi, perubahan status mental, syok, dan
bahkan koma. Hampir 25% dari pasien KAD mengalami muntah-muntah, yang bewarna
seperti kopi. Status mental dapat bervariasi dari sadar penuh hingga lethargy atau koma,
dimana lebih sering terjadi pada pasien SHH. Meskipun infeksi adalah faktur pencetus
utama baik pada KAD maupun SHH, pasien dapat bersuhu normal maupun hipotermia,
disebabkan vasodilatasi perifer. Hipotermia yang parah bila terjadi, merupakan tanda
prognosis yang buruk. Nyeri abdomen terkadang dapat menjadi mirip dengan akut
abdomen, muncul pada 50-75% kasus KAD. Nyeri abdomen biasanya membaik seiring
dengan koreksi dari hiperglikema dan metabolik asidosis. Gejala klinis yang paling
umum dari pasien SHH adalah perubahan sensoris. Pemeriksaan fisik didapatkan tanda
dehidrasi dengan berkurangnya turgor kulit, lemah, takikardi, dan hipotensi. Demam oleh
karena infeksi yang mendasari sering didapatkan, dan tanda asidosis (nafas kussmaul, bau
nafas aseton) biasanya tidak ditemukan. Pada beberapa pasien, tanda neurologis fokal
(hemiparesis, hemianopsia) dan kejang (kejang motorik parsial lebih sering daripada
kejang umum) dapat menjadi temuan klinis yang dominan (Abbas et al, 2016)..
2. Pemeriksaan Laboratorium
Evaluasi Laboratorium awal pasien dengan kecurigaan KAD atau SHH meliputi
penentuan kadar glukosa plasma, urea nitrogen/kreatinin serum, keton, elektrolit (dengan
anion gap), osmolaritas, analisa urine, benda keton urin dengan dipstik, analisa gas darah
pemeriksaan sel darah lengkap dengan hitung jenis. Elektrokardiogram, x-ray thorak, urin
lengkap, sputum atau kultur darah dapat diperiksakan jika terdapar indikasi. HbA1c dapat
menjadi bermanfaat untuk menentukan apakah episode akut ini merupakan akumulasi
bertahap proses diabetes yang belum diketahui atau tidak terkontrol sebelumnya atau
merupakan episode akut nyata pada pasien diabetes yang terkontrol dengan baik.
Tabel 3. Kriteria diagnosis dan total defisit cairan dan elektrolit pada KAD dan SHH

KAD terdiri dari trias biokimia yaitu hiperglikemia, ketonemia, dan metabolik
asidosis. Akumulasi dari asam keton mengakibatkan peningkatan anion gap. Anion gap
dihitung dengan mengurangi jumlah dari klorida dan konsentrasi bikarbonat dari
konsentrasi natrium (NA+ - (Cl-+HCO30-)). Anion gap normal berkisar <12+2 mEq/l.
Akan tetapi banyak laboratorium belakangan ini menghitung konsentrasi sodium dan
klorida menggunakan elektroda ion-spesifik, yang menghitung konsentrasi klorida plasma
2-6 mEq/l lebih tinggi dari metode penghitungan sebelumnya. Oleh karena itu, anion gap
normal dengan menggunakan metode tersebut berkisar antara 7 dan 9 mEq/l, dan anion
gap >10-12 mEq/l mengindikasikan adanya peningkatan anion gap asidosis. Derajat
keparahan dari KAD diklasifikasikan menjadi ringan, moderate, atau parah berdasarkan
keparahan dari metabolik asidosis (pH darah, bikarbonat, keton) dan adanya perubahan
status mental.
Kebanyakan pasien dengan krisis hiperglikemi datang dengan leukositosis
berbanding proporsional dengan konsentrasi badan keton dalam darah. Akan tetapi
leukositosis >25.000 menandakan adanya infeksi dan membutuhkan evaluasi lebih lanjut.
Konsentrasi natrium serum pada umumnya berkurang oleh karena perubahan osmotik
yang terjadi terus menerus dari intrasellular ke extracellular dalam keadaan
hiperglikemia. Konsentrasi kalium serum mungkin meningkat oleh karena pergeseran
kalium extracellular yang disebabkan oleh kekurangan hormon insulin, hypertonisitas,
dan asidemia. Pasien dengan konsentrasi kalium serum rendah atau lownormal pada saat
masuk, mungkin akan kekurangan kalium yang berat pada saat perawatan sehingga perlu
diberi kalium dan perlu monitoring jantung yang ketat, sebab terapi krisis hiperglikemia
akan menurunkan kalium lebih lanjut dan dapat menimbulkan disritmia jantung.
Penelitian terhadap osmolalitas serum dan perubahan kesadaran menunjukkan
bahwa terdapat hubungan postif linear antara kedua hal tersebut. Adanya stupor atau
koma pada pasien DM tanpa peningkatan osmolalitas efektif ( > 320 mOsm/kg) perlu
pertimbangan kemungkinan lain penyebab perubahan status mental. Pada mayoritas
pasien DKA kadar amilase meningkat, tetapi ini mungkin berkaitan dengan sumber
nonpankreatik. Serum lipase bermanfaat untuk 7 menentukan diagnosa banding dengan
pankreatitis. Nyeri abdominal dan peningkatan kadar amilase dan enzim hati lebih sering
terjadi pada DKA dibandingkan dengan SHH (Abbas et al, 2016).

Diagnosa Banding
Tidak semua pasien dengan ketoasidosis adalah KAD. Ketosis karena kelaparan
dan ketoasidosis alkoholik (KAA) dibedakan dengan anamnesis dan konsentrasi glukosa
plasma yang terentang dari sedikit meningkat ( jarang > 250 mg/dl) sampai hipoglikemia.
Sebagai tambahan, walaupun KAA dapat mengakibatkan asidosis, konsentrasi bikarbonat
serum pada keadaan ketosis kelaparan biasanya tidak lebih rendah dari 18 mEq/l.
KAD harus pula dibedakan dari penyebab lain terjadinya asidosis metabolik yang
tinggi anion gap seperti acidosis laktat, minum obat-obatan seperti salicylate, metanol,
ethylene glycol, dan paraldehyde, dan gagal ginjal kronis ( dimana lebih khas asidosis
hiperkhloremia daripada high-anion gap acidosis). Riwayat intoksikasi obat atau
menggunakan metformin harus dicari (Abbas et al, 2016)..

Terapi
Kebehasilan pengobatan KAD dan SHH membutuhkan koreksi dehidrasi,
hiperglikemia dan gangguan keseimbangan elektrolit; identifikasi komorbid yang
merupakan faktor presipitasi; dan yang sangat penting adalah perlu dilakukan monitoring
pasien yang ketat. Faktor presipitasi diobati, serta langkah-langkah pencegahan rekurensi
perlu dilaksanakan dengan baik.

Terapi cairan
Terapi cairan pada awalnya ditujukan untuk memperbaiki volume intravascular
dan extravascular dan mempertahankan perfusi ginjal. Terapi cairan juga akan
menurunkan kadar glukosa darah tanpa bergantung pada insulin, dan menurunkan kadar
hormon kontra insulin (dengan demikian memperbaiki sensitivitas terhadap insulin). Pada
keadaan tanpa kelainan jantung, NaCl 0.9% diberikan sebanyak 15–20 ml/kg berat
badan/jam atau lebih besar pada jam pertama ( 1–1.5 l untuk rata-rata orang dewasa).
Pilihan yang berikut untuk mengganti cairan tergantung pada status hidrasi, kadar
elektrolit darah, dan banyaknya urin. Secara umum, NaCl 0.45% diberikan sebanyak 4–
14 ml/kg/jam jika sodium serum meningkat atau normal; NaCl 0.9% diberikan dengan
jumlah yang sama jika Na serum rendah. Selama fungsi ginjal diyakinkini baik, maka
perlu ditambahkan 20–30 mEq/l kalium ( 2/3 KCl dan 1/3 KPO4) sampai pasien stabil
dan dapat diberikan secara oral. Keberhasilan penggantian cairan dapat dilihat dengan
pemantauan hemodinamik (perbaikan dalam tekanan darah), pengukuran input/output
cairan, dan pemeriksaan fisik. Penggantian cairan diharapkan dapat mengkoreksi defisit
dalam 24 jam pertama. Perbaikan osmolaritas serum mestinya tidak melebihi 3 mOsm·
kg-1 H2O· h-1 ( 14–20,22). Pada pasien dengan gangguan ginjal atau jantung,
pemantauan osmolaritas serum dan penilaian jantung, ginjal, dan status mental harus
sering dilakukan selama pemberian cairan untuk menghindari overload yang iatrogenik
(Abbas et al, 2016)..

Terapi Insulin
Pada keadaan KAD ringan ( tabel 1), insulin reguler diberikan dengan infus
intravena secara kontinu adalah terapi pilihan. Pada pasien dewasa, jika tidak ada
hipokalemia ( K+ < 3.3 mEq/l, maka pemberian insulin intravena secara bolus dengan
dosis 0.15 unit/kg bb, diikuti pemberian insulin reguler secara infus intravena yang
kontinu dengan dosis 0.1 unit· kg-1· h-1 ( 5–7 unit/jam pada orang dewasa). Pemberian
insulin secara bolus tidak dianjurkan pada pasien pediatrik; pemberian insulin reguler
dengan infus intravena secara kontinu dengan dosis 0.1 unit· kg-1· h-1 dapat diberikan
pada pasienpasien tersebut. Dosis insulin rendah ini pada umumnya dapat menurunkan
konsentrasi glukosa plasma sebanyak 50–75 mg· dl-1· h-1, sebanding dengan pemberian
insulin dosis tinggi (1-5) . Jika plasma glukosa tidak turun sebanyak 50 mg/dl dari awal
pada jam pertama, periksa dulu status hidrasi; jika baik, infus insulin dapat digandakan
tiap jam sampai tercapai penurunan glukosa yang stabil antara 50 dan 75 mg/jam dicapai.
Ketika glukosa plasma mencapai 250 mg/dl untuk KAD atau 300 mg/dl untuk
SHH, mungkin dosis insulin perlu diturunkan menjadi 0.05–0.1 unit· kg-1· h-1 ( 3–6
units/jam), dan dextrose ( 5–10%) ditambahkan pada cairan intravena. Sesudah itu, dosis
insulin atau konsentrasi dextrose perlu disesuaikan untuk memelihara rata-rata kadar
glukosa sampai asidosis pada KAD atau status mental dan hyperosmolaritas pada SHH
membaik.
Ketonemia biasanya lebih lama hilang dibandingkan dengan hiperglikemia.
Pengukuran ß-OHB dalam darah secara langsung adalah metoda yang lebih disukai untuk
pemantauan KAD. Metoda Nitroprusside hanya mengukur aseton dan asam acetoacetic.
Bagaimanapun, ß-OHB, asam yang paling banyak dan paling kuat pada KAD, tidaklah
terukur dengan metoda nitroprusside. Selama therapy, ß-OHB dikonversi ke asam
asetoacetik, yang membuat para klinisi percaya bahwa ketosis memperburuk keadaan.
Oleh karena itu, penilaian benda keton dari urin atau serum dengan metoda nitroprusside
tidak digunakan sebagai suatu indikator terapi.
Selama terapi untuk KAD atau SHH, darah harus diperiksa tiap 2–4 jam untuk
memeriksa elektrolit serum, glukosa, urea-N, creatinine, osmolaritas, dan pH vena ( untuk
DKA). Biasanya, analisa gas darah tidak perlu dilakukan berulang-ulang ; pH vena (pada
umumnya 0.03 unit lebih rendah dari pH arteri) dan gap anion dapat diikuti, untuk
memonitor resolusi asidosis. Sehingga BGA tidak diperlukan pengecekan secara berulang
pada monitor terapi KAD dengan pertimbangan menghindari nyeri dan komplikasi akibat
pengambilan darah arteri.
Ketika pasien sudah bisa makan, jadwal multiple-dose harus dimulai
menggunakan kombinasi insulin kerja pendek/singkat dengan insulin kerja menengah
atau lama untuk mengendalikan glukosa plasma. Pemberian insulin intravena tetap
diberikan untuk 1–2 jam setelah regimen campuran insulin dimulai untuk memastikan
hormon insulin plasma cukup. Suatu penghentian mendadak insulin intravena dengan
penundaan insulin subcutan akan memperburuk keadaan; oleh karena itu, perlu diberikan
insulin intravena dan inisiasi subkutan secara bersamaan. Pasien yang telah diketahui
menderita diabetes dapat diberikan insulin dengan dosis seperti sebelum mereka terkena
serangan KAD atau SHH dan jika dibutuhkan dilakukan penyesuaian. Pada pasien
diabetes yang baru, total insulin awal mungkin berkisar antara 0.5–1.0 unit· kg - 1· day-1,
dibagi menjadi sedikitnya dua dosis dalam bentuk campuran insulin kerja pendek dan
panjang sampai mencapai suatu dosis optimal yang diinginkan. Akan tetapi, penilaian
klinins yang baik dan pengecekan gula darah yang rutin adalah hal yang sangat vital
dalam inisiasi regimen baru insulin pada pasien yang belum pernah memakai insulin
(Abbas et al, 2016)..
Kalium
Untuk mencegah hipokalemia, penambahan kalium diindikasikan pada saat kadar
dalam darah dibawah 5.3 mEq/l, dengan catatan output urin cukup (50ml/jam). Biasanya,
20–30 mEq kalium ( 2/3 KCl dan 1/3 KPO4) pada setiap liter cairan infus cukup untuk
mempertahankan konsentrasi kalium serum antara 4–5 mEq/l. Penderita dengan KAD
jarang menunjukkan keadaan hipokalemia yang berat. Pada kasus-kasus demikian,
penggantian kalium harus dimulai bersamaan dengan cairan infus, dan terapi insulin
harus ditunda sampai konsentrasi kalium > 3.3 mEq/l untuk menghindari aritmia atau
cardiac arrest dan kelemahan otot pernapasan (1).
Di samping kekurangan kalium dalam tubuh, hiperkalemia ringan sampai sedang sering
terjadi pada penderita dengan krisis hiperglikemia. Terapi insulin, koreksi asidosis, dan
penambahan volume cairan akan menurunkan konsentrasi kalium serum (Abbas et al,
2016).
Bikarbonat
Penggunaan larutan bikarbonat pada KAD masih merupakan kontroversi ( 28).
Pada pH >7.0, aktifitas insulin memblok lipolysis dan ketoacidosis dapat hilang tanpa
penambahan bikarbonat. Pemberian bikarbonat berhubungan dengan meningkatnya
resiko hipokalemia, mengurangi upktake oksigen oleh jaringan, dan edema otak.
Beberapa penelitian prospektif gagal membuktikan adanya keuntungan atau perbaikan
pada angka morbiditas dan mortalitas dengan pemberian bikarbonat pada penderita KAD
dengan pH antara 6.9 dan 7.1 (10). Tidak ada laporan randomized study mengenai
penggunaan bikarbonat pada KAD dengan pH < 6.9.
Asidosis yang berat menyebabkan efek vaskuler yang kurang baik, jadi sangat
bijaksana pada pasien orang dewasa dengan pH < 6.9, diberikan sodium bikarbonat 100
mmol dalam 400 cc cairan steril (cairan isotonik) ditambah dengan 20 mEq KCl dengan
kecepatan 200 ml/jam selama 2 jam sampai ph vena >7.0. Tidak perlu tambahan
bikarbonat jika pH > 7.0. Pemberian insulin, seperti halnya bikarbonat, menurunkan
kalium serum; oleh karena itu supplemen Kalium harus diberikan dalam cairan infus
seperti diuraikan di atas dan harus dimonitor dengan ketat. Sesudah itu, pH aliran darah
vena harus diukur tiap 2 jam sampai pH mencapai 7.0, dan terapi bikarbonat harus
diulangi tiap 2 jam jika perlu. (Abbas et al, 2016).

Fosfat
Pada KAD serum fosfat biasanya normal atau meningkat. Konsentrasi fosfat
berkurang dengan pemberian terapi insulin. Beberapa penelitian prospektif gagal
membuktikan adanya keuntungan dengan penggantian fosfat pada KAD ( 32), dan
pemberian fosfat yang berlebihan dapat menyebabkan hypocalcemia yang berat tanpa
adanya gejala tetani . Sehingga penggunaan fosfat secara rutin pada terapi KAD atau
SHH tidak menghasilkan keuntungan secara klinis pada pasien. Bagaimanapun, untuk
menghindari kelainan jantung dan kelemahan otot dan depresi pernapasan oleh karena
hipofosfatemia, penggantian fosfat kadangkadang diindikasikan pada pasien dengan
kelainan jantung, anemia, atau depresi pernapasan dan pada mereka dengan konsentrasi
fosfat serum < 1.0 mg/dl. Blia diperlukan, 20–30 mEq/l kalium fosfat dapat ditambahkan
ke larutan pengganti. Tidak ada studi mengenai penggunaan fosfat dalam HHS (Abbas et
al, 2016).

Gambar 3.2 Bagan Terapi KAD


Gambar 3.2 Bagan Terapi SHH

Komplikasi
Komplikasi pada krisis hiperglikemik dapat terjadi akibat KAD/SHH dan
komplikasi akibat pengobatan:
Penyulit KAD dan SHH yang paling sering adalah hipoglikemia dalam kaitan
dengan pemberian insulin yang berlebihan, hipokalemia dalam kaitan dengan pemberian
insulin dan terapi asidosis dengan bikarbonat, dan hiperglikemia sekunder akibat
penghentian insulin intravena setelah perbaikan tanpa pemenuhan yang cukup dengan
insulin subkutan. Biasanya, pasien yang sembuh dari KAD menjadi hyperkhloremi
disebabkan oleh penggunaan larutan saline berlebihan untuk penggantian cairan dan
elektrolit dan asidosis metabolik non-anion gap yang sementara dimana khlorida dari
cairan intravena menggantikan anion yang hilang dalam bentuk sodium dan garam-
kalium selama diuresis osmotik. Kelainan biokimia ini adalah sementara dan secara klinik
tidak penting kecuali jika terjadi gagal ginjal akut atau oliguria yang ekstrim.
Edema cerebral adalah suatu kejadian yang jarang tetapi merupakan komplikasi
KAD yang fatal, dan terjadi 0.7–1.0% pada anak-anak dengan DKA. Umumnya terjadi
pada anak-anak dengan DM yang baru didiagnosis, tetapi juga dilaporkan pada anak-anak
yang telah diketahui DM dan pada orang-orang umur duapuluhan (1,2,6). Kasus yang
fatal dari edema cerebral ini telah pula dilaporkan pada SHH. Secara klinis, edema
cerebral ditandai oleh perubahan tingkat kesadaran, dengan letargi, dan sakit kepala.
Gangguan neurologi mungkin terjadi secara cepat, dengan kejang, inkontinensia,
perubahan pupil, bradycardia, dan gagal nafas. Gejala ini makin menghebat jika terjadi
herniasi batang otak. Perburukan ini terjadi sangat cepat walaupun papilledema tidak
ditemukan Bila terjadi gejala klinis selain dari kelesuan dan perubahan tingkah laku ,
angka kematian tinggi (> 70%), dengan hanya 7–14% pasien yang sembuh tanpa kelainan
yang permanen. Walaupun mekanisme dari edema cerebral tidak diketahui diduga
diakibatkan oleh perubahan osmolaritas dari air pada sistem saraf pusat dimana terjadi
penurunan osmolaritas dengan cepat pada terapi KAD atau SHH. Kurangnya informasi
yang berhubungan dengan angka morbiditas edema cerebral pada pasien orang dewasa;
oleh karena itu, rekomendasi penilaian untuk pasien orang dewasa lebih secara klinis,
daripada bukti ilmiah. Pencegahan yang mungkin dapat mengurangi resiko edema
cerebral pada pasien dengan resiko tinggi adalah dengan penggantian defisit air dan
natrium berangsurangsur dengan perlahan pada pasien yang hyperosmolar (maksimal
pengurangan osmolaritas 3 mOsm· kg-1 H2O· h-1) dan penambahan dextrose dalam
larutan hidrasi saat glukosa darah mencapai 250 mg/dl. Pada SHH, kadar glukosa darah
harus dipertahankan antara 250-300 mg/dl sampai keadaan hiperosmoler dan status
mental perbaikan, dan pasien menjadi stabil (Rosenbloom AL, 2010).
Hypoxemia dan edema paru-paru yang nonkardiogenik dapat terjadi saat terapi
KAD. Hypoxemia disebabkan oleh suatu pengurangan dalam tekanan osmotik koloid
yang mengakibatkan penambahan cairan dalam paru-paru dan penurunan compliance
paru paru. Pasien dengan KAD yang mempunyai suatu gradien oksigen alveoloarteriolar
yang lebar pada saat pengukuran analisa gas darah awal atau ditemukannya ronkhi saat
pemeriksaan fisik berisiko lebih tinggi untuk terjadinya edema paru.
Peningkatan kadar amilase dan lipase yang non spesifik dapat terjadi pada KAD
maupun SHH. Pada penelitian Yadav dan kawan-kawan, peningkatan amilase dan lipase
terjadi pada 16– 25% kasus KAD. Kadar amilase dan lipase dapat meingkat sampai lebih
dari 3 kali nilai normal tanpa bukti klinik dan CT-scan pankreatitis. Walaupun demikian,
pankreatitis akut dapat juga terjadi pada 10 – 15% kasus KAD.
Dilatasi gaster akut akibat gastroparesis yang diinduksi oleh keadaan
hipertonisitas merupaka komplikasi yang jarang terjadi tetapi dapat fatal. Pada keadaan
ini risiko untuk terjadinya perdarahan gastrointestinal lebih besar. Mungkin diperlukan
dekompresi dengan naso-gastric tube dan pemberian agen-agen penurun asam lambung
sebagai tindakan profilaksis (Abbas et al, 2016).

Pencegahan
Banyak kasus KAD dan SHH dapat dicegah dengan perawatan medik yang baik,
edukasi yang sesuai, dan komunikasi efektif dari tenaga kesehatan selama belum
timbulnya penyakit. Sick-day management harus mendapat perhatian. Hal ini meliputi
informasi spesifik pada 1) kapan menghubungi sarana pelayanan kesehatan 2) target
glukosa darah dan penggunaan short-acting insulin selama penyakit, 3) mengobati demam
dan infeksi, dan 4) inisiasi dari suatu diet cairan yang mudah dicerna yang mengandung
karbohidrat dan garam. Yang paling penting, pasien harus dinasehatkan untuk tidak
pernah menghentikan insulin dan untuk mencari dokter saat mulai sakit .
Sick-Day Management yang berhasil tergantung pada keterlibatan pasien dan
anggota keluarganya. Pasien atau anggota keluarganya harus mampu dengan teliti
mengukur dan mencatat kadar glukosa darah, benda keton pada urin atau darah ketika
glukosa darah > 300 mg/dl, dosis insulin, suhu badan, frekuensi pernafasan dan denyut
nadi permenit, dan berat badan. Pengawasan yang cukup dan sangat membantu dari staff
atau keluarga dapat mencegah terjadinya SHH dalam kaitan dengan keadaan dehidrasi
pada individu tua yang tidak mampu untuk mengenali atau menghindari kondisi ini.
Edukasi yang baik harus diberikan sehingga pasien mengenai tanda dan gejala newonset
diabetes; kondisi-kondisi, prosedur, dan obat-obatan yang memperburuk kendali kencing
manis; dan monitoring glukosa dapat mengurangi kejadian dan beratnya HHS (1,2).
Kesimpulan
Krisis hiperglikemia merupakan komplikasi akut yang dapat terjadi pada Diabetes
Mellitus (DM), baik tipe 1 maupun tipe 2. Keadaan tersebut merupakan komplikasi serius
yang mungkin terjadi sekalipun pada DM yang terkontrol baik. Krisis hiperglikemia
dapat terjadi dalam bentuk ketoasidosis diabetik (KAD), status hiperosmolar
hiperglikemik (SHH) atau kondisi yang mempunyai elemen kedua keadaan diatas. KAD
adalah keadaan yang ditandai dengan asidosis metabolik akibat pembentukan keton yang
berlebihan, sedangkan SHH ditandai dengan hiperosmolalitas berat dengan kadar glukosa
serum yang biasanya lebih tinggi dari KAD murni (Abbas E et al, 2006). Sangat penting
membedakan hiperglikemi krisis termasuk KAD atau SHH. Karena manajemen KAD
maupun SHH berbeda satu sama lain. Semakin cepat kita mengetahui tipe hiperglikemi
semakin cepat penanganan pasien sehingga kondisi pasien akan jauh lebih baik. Untuk
membedakan hiperglikemi krisis termasuk jenis KAD atau HHS dapat dilakukan
pemeriksaan penunjang seperti DL, SE, dan BGA. Selain terapi spesifik KAD maupun
SHH juga sangat penting terapi cairan untuk mencegah dehidrasi maupun mengobati
dehidrasi karena pada pasien-pasien hiperglikemi krisis rentan mengalami dehidrasi.
Pada kasus diatas, kemungkinan besar pasien mengalami penurunan kesadaran
diakibatkan oleh hiperglikemi tanpa membuang kemungkinan adanya penyebab lain
seperti hipertensif encephalopathy. Namun pada kasus diatas pasien tidak mengalami
gejala yang mendukung kearah hipertensif enchepalopathy sehingga dapat disimpulkan
kemungkinan penyebab penurunan kesadaran pada pasien tersebut adalah hiperglikemi
krisis itu sendiri. Untuk dapat memastikan penyebab pasti dari penurunan kesadaran
dapat dilakukan pemeriksaan tambahan seperti SE, dan BGA untuk mengetahui status
osmolaritas dan adanya metabolik asidosis, dimana kedua hal tersebut adalah gambaran
khas dari SHH serta KAD yang merupakan manifestasi dari hiperglikemi krisis.
Penekanan dalam kasus kali ini adalah bagaimana mendiagnosa pasien hiperglikemi
krisis serta penanganannya.
Hiperglikemia >250 mg/dL
disertai :
Riwayat DM
Perubahan status mental
hingga koma
Tanda Dehidrasi ( takikardi,
turgor menurun, hipotensi
hingga syok)
Demam

Rehidrasi dengan NS
0,45%-0,9% 1L/jam

Cek SE, BGA, DL, GDS Serial,


osmolaritas darah, UL, Ur/Cr

SHH
KAD
Perubahan sensoris
Gejala muncul lebih cepat (<24 jam)
Perubahan status mental lebih Bolus Insulin 0,1
nyeri abdomen (50-75% kasus KAD)
sering pada SHH IU/KGBB
- Muntah bewarna seperti kopi (25% kasus
Tanda2 asidosis (-) Drip Insulin 0,1
KAD)
IU/KGBB/Jam
Tanda2 asidosis (nafas kussmaul, bau
Hiperosmolar >320 mOsm/kg Cek Gds/jam
keton, ketonuria)

Metabolik asidodis (ph <7.00)


Anion Gap >12
Keton Urin (+)
Terapi sesuai bagan SHH Bikarbonat <15
Keton darah (+)

Terapi sesuai bagan KAD

Algoritma Hiperglikemi Krisis


Daftar Pustaka

Konsensus pengelolaan dan pencegahan DM tipe 2 di Indonesia, Prekeni 2015


Standards of Medical Care in Diabetes, American Diabetes Association 2016
Abbas E et al, 2016. Hyperglycemic crises in patients with diabetes
mellitus.American Diabetes Association. Diabetes Care volume 29, num
12, december 2006.
Gaglia JL, Wyckoff J, Abrahamson MJ . Acute hyperglycemic crisis in elderly.
Med Cli NAm 88: 1063-1084, 2010.
Kitabchi AE, Fisher JN, Murphy MB , Rumbak MJ, 2018 : Diabetic ketoacidosis
and the hyperglycemic hyperosmolar nonketotic state. In Joslin’s Diabetes
Mellitus. 13th ed. Kahn CR, Weir GC, Eds. Philadelphia, Lea & Febiger,
1994, p. 738–770
Marshall SM, Walker M, Alberti KGMM: Diabetic ketoacidosis and
hyperglycaemic non - ketotic coma. In International Textbook of Diabetes
Mellitus. 2nd ed. Alberti KGMM, Zimmet P, DeFronzo RA, Eds. New
York, John Wiley, 1997, p. 1215–1229.
Ennis ED, Stahl EJ, Kreisberg RA : Diabetic ketoacidosis. In Diabetes Mellitus
:Theory and practice. 5th ed.Porte D Jr, Sherwin RS, Ed. Amsterdam,
Elsevier,1997, 827 844.
Rosenbloom AL : Intracerebral crises during treatment of diabetic ketoacidosis.
Diabetes Care 13: 22-23, 2010 .

Anda mungkin juga menyukai