Diajukan dalam rangka praktek klinis dokter internsip sekaligus bagian dari
persyaratan menyelesaikan program internsip dokter Indonesia
di RSUD Simo Boyolali
Disusun oleh :
KABUPATEN BOYOLALI
2019
LEMBAR PENGESAHAN
Krisis Hipertensi
Disusun oleh :
dr. Dyah Putri Rovita
Pembimbing,
g) Lain-lain :
Riwayat sosial ekonomi kurang, pasien berobat dengan BPJS.
Daftar Pustaka
Hasil Pembelajaran :
Krisis Hipertensi
Penegakan diagnosis Krisis Hipertensi
Tatalaksana Krisis Hipertensi
Keterangan Umum :
Nama : Ny. NS
Usia : 30 tahun
No RM :199128xxx
Alamat : Tegalrejo 30/08 Pelem Simo
Agama : Islam
Suku : Jawa
Warga Negara : Warga Negara Indonesia (WNI)
Pekerjaan : Pedagang
Status pernikahan : Menikah
A. ANAMNESIS
SUBJEKTIF
Keluhan Utama : Mimisan
Pasien perempuan usia 30 tahun datang dengan keluhan mimisan, keluhan
dirasakan sejak 5 jam SMRS, sebelumnya pasien mengeluhkan nyeri
kepala hebat kemudian pasien gunakan untuk beristirahat dan keluhan
berkurang, akan tetapi tidak lama kemudian timbul gejala mimisan
tersebut, keluhan mimisan hanya keluar dari hidung, tidak keluar melalui
mulut, mimisan dapat berhenti apabila di sumpal dengan kapas, akan tetapi
tidak lama kemudian timbul mimisan lagi.
Keluhan diperberat dengan aktifitas dan diperingan dengan isitirahat,
keluhan lain yang dikeluhkan adalah, nyeri kepala (+), pandangan sedikit
kabur (+), mual (+), kelemahan anggota gerak (-), lemas (+), BAB BAK
(+) DBN.
B. PEMERIKSAAN FISIK
OBJECTIVE
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Vital sign
o Tekanan Darah : 245/135 mmHg
o Nadi :131x/menit
o RR: 22x/menit
o Temp: 36,6 C
Kepala leher:
o Mata : Reflek pupil +/+ , Pupil isokor 2mm/2mm , konjunctiva anemis
-/-, ikterus -/-.
Pemeriksaan Funduskopi tidak dilakukan.
o THT :
MCH 28,5 pg
MCHC 34,9 %
HasilEKG
C. DIAGNOSIS BANDING
Hipertensi Emergency
Hipertensi Urgency
D. DIAGNOSIS KERJA
Hipertensi Emergency
E. PENATALAKSANAAN
a. Planning Therapy
1. Inf RL 20 tpm
2. Inj. Asam Tranexamat 500mg/12jam
3. Inj. Ranitidine 1A/12 jam
4. Captopril 25mg SL (ekstra IGD) Nilai TD Ulang
TD dinilai jam 10.00 200/110, jam 11.00 190/90
5. Amlodipine 1x10mg
6. Candesartan 1x16mg
7. Pemasangan Tampon Anterior
b. Planning Monitoring
1. Keluhan Subyektif
2. Tanda Vital
3. Hb
F. FOLLOW UP
TANGGAL PERJALANAN PENYAKIT PENATALAKSANAAN
15/09/2019 S : Pasien mengeluhkan nyeri P:
kepala (+), mimisan - IVFD RL 20 tpm
(+),pandangan kabur (-), mual (+), -inj. Ranitidine 1 amp/12
muntah (-), BAB BAK dbn jam
O : CM -Inj.As.Tranexamat
TD : 180/100 mmHg 500mg/12jam
N : 74x/menit
P : 24x/menit Po :
An (-/-), Ik (-/-) Po :
A : Krisis HT
BP : Vesikuler Po :
An (-/-), Ik (-/-) Po :
H. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
BAB I
PENDAHULUAN
2.1 DEFINISI
Krisis hipertensi adalah suatu keadaan peningkatan tekanan darah yang
mendadak sistolik ≥ 180 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik ≥ 120 mmHg,
pada penderita hipertensi, yang membutuhkan penanggulangan segera. Krisis
hipertensi dibagi menjadi dua kategori, yaitu hipertensi emergensi dan hipertensi
urgensi. Hipertensi emergensi adalah peningkatan secara mendadak tekanan darah
sistolik ≥ 180 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 120 mmHg disertai dengan
adanya kerusakan target organ akut atau progresif sehingga membutuhkan
penurunan tekanan darah segera. Hipertensi urgensi adalah peningkatan secara
mendadak tekanan darah sistolik ≥ 180 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 120
mmHg tanpa gejala yang berat atau kerusakan target organ progresif dimana
kondisi ini membutuhkan penurunan tekanan darah dalam beberapa jam. 2
2.2 EPIDEMIOLOGI
Hipertensi merupakan masalah klinis yang sangat umum di negara barat.
Hipertensi mengenai sekitar 72 juta orang di USA dan sekitar 1 miliar orang di
dunia. Kebanyakan dari mereka merupakan hipertensi primer dan sekitar 30% nya
tidak terdiagnosis. Selanjutnya, hanya sekitar 14% - 29% pasien di Amerika
dengan hipertensi memiliki tekanan darah yang terkontrol. Insiden dari hipertensi
meningkat sesuai umur. Pada studi Framingham angka kejadian hipertensi pada
pria meningkat dari 3,3% di usia 30-39 tahun menjadi 6,2% di usia 70-79 tahun.
Selain itu, insidensi hipertensi lebih tinggi pada ras Afrika-Amerika dibandingkan
mereka yang berkulit putih. Prevalensi dan insidensi hipertensi di Mexico-
Amerika sama atau lebih rendah dibandingkan dengan kulit putih non-Hispanik. 1
Di Indonesia masalah hipertensi cenderung meningkat. Hasil Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan bahwa 8,3%
penduduk menderita hipertensi dan meningkat menjadi 27,5% pada tahun 2004.
Menurut Pusat Penelitian Biomedis dan Farmasi Badan Penelitian Kesehatan
Departemen Kesehatan R.I tahun 2009, prevalensi hipertensi di Indonesia
meningkat mencapai 32,2%. Dari kasus hipertensi yang terjadi di Indonesia,
mereka yang memiliki riwayat minum obat hanya 7,8% atau hanya 24,2% dari
kasus hipertensi di masyarakat. Hal ini menunjukkan 75,8% kasus hipertensi di
Indonesia belum terdiagnosis dan terjangkau oleh pelayanan kesehatan. 1
Semakin meningkatnya kasus hipertensi yang terjadi di dunia dapat
menyebabkan semakin seringnya terjadi komplikasi lebih lanjut yang dapat
mengancam jiwa. Diperkirakan sekitar 1 % dari pasien hipertensi akan mengalami
krisis hipertensi. Sebelum adanya terapi antihipertensi, komplikasi ini mencapai
angka 7% dari populasi kejadian hipertensi. Secara epidemiologis, kejadian krisis
hipertensi paralel dengan distribusi hipertensi primer dalam komunitas, dan lebih
tinggi pada mereka orang African-American dan usia lebih tua, dimana pria
terkena 2 kali lebih sering dibandingkan wanita. Kebanyakan dari pasien yang
mengalami krisis hipertensi ialah mereka yang sudah terdiagnosis memiliki
hipertensi primer dan banyak diantaranya sudah diberikan terapi antihipertensi
dengan kontrol tekanan darah yang tidak adekuat. Pada beberapa penelitian yang
ada menunjukkan bahwa pasien dengan krisis hipertensi memiliki peluang yang
lebih besar untuk menderita gangguan somatoform,stroke serta penyakit jantung
hipertensi dan atau penyakit jantung koroner. Kurangnya tenaga dokter, kegagalan
untuk memberikan terapi antihipertensi lebih awal, serta ketidaksesuaian dalam
memberikan terapi antihipertensi menjadi faktor resiko yang cukup besar untuk
terjadinya hipertensi emergensi. Hal inilah yang menyebabkan semakin tingginya
kejadian krisis hipertensi yang terjadi pada pasien-pasien hipertensi. 1,2
2.3 PATOFISOLOGI
Patofisiologi terjadinya krisis hipertensi masih belum begitu jelas, namun
demikian ada dua peran penting yang menjelaskan patofisiologi tersebut yaitu :
1. Peran langsung dari peningkatan tekanan darah
2. Peran mediator endokrin dan parakrin
2.3.1 Peran peningkatan Tekanan Darah
Peningkatan mendadak tekanan darah yang berat maka akan terjadi
gangguan autoregulasi disertai peningkatan mendadak resistensi vaskuler sistemik
yang menimbulkan kerusakan organ target dengan sangat cepat. Gangguan
terhadap sistem autoregulasi secara terus-menerus akan memperburuk keadaan
pasien selanjutnya. Pada keadaan tersebut terjadi keadaan kerusakan endovaskuler
(endothelium pembuluh darah) yang terus-menerus disertai nekrosis fibrinoid di
arteriolus. Keadaan tersebut merupakan suatu siklus (vicious circle) dimana akan
terjadi iskemia, pengendapan platelet dan pelepasan beberapa vasoaktif. Trigernya
tidak diketahui dan bervariasi tergantung dari proses hipertensi yang
mendasarinya.3,4
Bila stress peningkatan tiba-tiba tekanan darah ini berlangsung terus-
menerus maka sel endothelial pembuluh darah menganggapnya suatu ancaman
dan selanjutnya melakukan vasokontriksi diikuti dengan hipertropi pembuluh
darah. Usaha ini dilakukan agar tidak terjadi penjalaran kenaikan tekanan darah
ditingkat sel yang akan menganggu hemostasis sel. Akibat dari kontraksi otot
polos yang lama, akhirnya akan menyebabkan disfungsi endotelial pembuluh
darah disertai berkurangnya pelepasan nitric oxide (NO). Selanjutnya disfungsi
endotelial akan ditriger oleh peradangan dan melepaskan zat-zat inflamasi lainnya
seperti sitokin, endhotelial adhesion molecule dan endhoteli-1.3
Mekanisme ditingkat sel ini akan meningkatkan permeabilitas dari sel
endotelial, menghambat fibrinolisis dan mengaktifkan sistem koagulasi. Sistem
koagulasi yang teraktifasi ini bersama-sama dengan adhesi platelet dan agregasi
akan mengendapkan materi fibrinoid pada lumen pembuluh darah yang sudah
kecil dan sempit sehingga makin meningkatkan tekanan darah. Siklus ini
berlangsung terus dan menyebabkan kerusakan endotelial pembuluh darah yang
makin parah dan meluas.3
Gambar 1. Patofisiologi Hipertensi Emergensi 3
2.3.3 Peranan Mediator Endokrin dan Parakrin
Sistem renin-Angiotensin-Aldosteron (RAA) memegang peran penting
dalam patofisiologi terjadinya krisis hipertensi. Peningkatan renin dalam darah
akan meningkatkan vasokonstriktor kuat angiotensin II, dan akan pula
meningkatkan hormon aldosteron yang berperan dalam meretensi air dan garam
sehingga volume intravaskuler akan meningkat pula. Keadaan tersebut diatas
bersamaan pula dengan terjadinya peningkatan resistensi perifer pembuluh darah
yang akan meningkatkan tekanan darah. Apabila tekanan darah meningkat terus
maka akan terjadi natriuresis sehingga seolah-olah terjadi hipovolemia dan akan
merangsang renin kembali untuk membentuk vasokonstriktor angiotensin II
sehingga terjadi iskemia pembuluh darah dan menimbulkan hipertensi berat atau
krisis hipertensi.3,4
AUTOREGULASI
Autoregulasi adalah penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap
kebutuhan dan pasokan darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi
terhadap aliran darah dengan berbagai tingkatan perubahan kontriksi/dilatasi
pembuluh darah. Dengan pengetahuan autoregulasi dalam menurunkan tekanan
darah secara mendadak dimaksudkan untuk melindungi organ vital agar tidak
terjadi iskemi. Bila tekanan darah turun, terjadi vasodilatasi, jika tekanan darah
naik timbul vasokonstriksi. Pada individu normotensi, aliran darah otak masih
tetap pada fluktuasi mean arterial pressure (MAP) 70-105 mmHg. Rumus
perhitungan MAP ialah :
Sistolik + 2 x Diastolik
MAP =
3
Bila MAP turun di bawah batas autoregulasi, maka otak akan memakai
oksigen lebih banyak dari darah untuk kompensasi dari aliran darah yang
berkurang. Bila mekanisme ini gagal, maka dapat terjadi iskemi otak dengan
manifestasi klinik seperti mual, menguap, pingsan dan sinkope. Autoregulasi otak
ini kemungkinan disebabkan oleh mekanisme miogenik yang disebabkan oleh
stretch reseptor pada otot polos arteriol otak, walaupun hipoksia mempunyai
peranan dalam perubahan metabolisme di otak. Pada orang normal dengan
normotensi, autoregulasi aliran darah ke otak dipertahankan pada MAP antara 60-
120-140 mmHg sehingga penurunan tekanan darah yang cepat sampai batas
hipertensi, masih dapat ditoleransi. Pada penderita hipertensi kronis, penyakit
serebrovaskular dan usia tua, batas ambang autoregulasi ini akan berubah dan
bergeser ke kanan pada kurva dimana dipertahankan pada MAP tinggi yaitu 120-
160-180 mmHgsehingga pengurangan aliran darah terjadi pada tekanan darah
yang lebih tinggi.3,4,5
HIPERTENSI URGENSI
Pada hipertensi urgensi, tujuan pengobatan ialah penurunan tekanan darah
sama seperti hipertensi emergensi, hanya saja dalam waktu 24 sampai 48 jam.
Penderita dengan hipertensi urgensi tidak memerlukan rawat inap di rumah sakit.
Sebaiknya penderita ditempatkan di ruangan yang tenang, tidak terang, dan diukur
kembali dalam 30 menit. Bila tekanan darah masih sangat meningkat, maka dapat
dimulai pengobatan. Umumnya digunakan obat-obat oral antihipertensi dalam
menanggulangi hipertensi urgensi. Berikut ini ialah obat antihipertensi oral yang
diberikan, antara lain 5,6,7:
Nifedipine
Pemberian bisa secara sublingual (onset 5-10 menit), bukal (onset 5–10
menit), oral (onset 15-20 menit), durasi kerja 5 – 15 menit secara
sublingual/ buccal. Efek samping: sakit kepala, takikardi, hipotensi,
flushing, oyong.
Clonidine
Pemberian secara oral dengan onset 30–60 menit, durasi kerja 8-12 jam.
Dosis: 0,1-0,2 mg, dilanjutkan 0,05-0,1 mg setiap jam sampai dengan 0,7
mg. Efek samping: sedasi, mulut kering. Hindari pemakaian pada AV blok
derajat 2 dan 3, bradikardi, sick sinus syndrome. Over dosis dapat diobati
dengan tolazoline.
Captopril
Pemberian secara oral/sublingual. Dosis 25 mg dan dapat diulang setiap 30
menit sesuai kebutuhan. Efek samping: angioneurotik edema, rash, gagal
ginjal akut pada penderita bilateral renal arteri stenosis.
Prazosin
Pemberian secara oral dengan dosis 1-2 mg dan diulang per jam bila perlu.
Efek samping: sinkop, hipotensi ortostatik, palpitasi, takikardi, sakit
kepala.